Friday, June 17, 2011

Rochmat S Labib: HT Tidak Menggunakan Kekerasan

Rochmat S Labib: HT Tidak Menggunakan Kekerasan

Pengantar:

Di tengah isu aksi kekerasan berbau terorisme yang kemudian oleh
sebagian kalangan dikaitkan dengan perjuangan menegakkan syariah dan
Khilafah, tentu menarik untuk mengetahui lebih jauh visi-misi dan
metode perjuangan Hizbut Tahrir (HT). Jelas, karena HT adalah salah
satu�jika bukan satu-satunya�gerakan yang konsisten dan telah melewati
waktu yang cukup panjang dalam perjuangan menegakkan syariah dan
Khilafah. Bagaimana sebetulnya visi-misi HT? Bagaimana HT
mengartikulasikan gagasan-gagasannya? Bagaimana pula pandangan HT
tentang aksi kekerasan dalam mewujudkan tujuan menegakkan syariah dan
Khilafah?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, Redaksi kembali
mewawancarai Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia, Rochmat S Labib.
Berikut petikannya.


Metode apa yang ditempuh HT untuk mewujudkan Khilafah?

Khilafah merupakan kewajiban syar�i atas seluruh kaum Muslim. Cara
menegakkan Khilafah juga harus syar�i. Sebab, Islam tidak hanya
mewajibkan dan menjelaskan gambaran sistemnya, namun juga menjelaskan
thar�qah atau metode menegakkan sistem itu.


Lalu bagaimana merumuskan thar�qah tersebut?

Thar�qah dakwah merupakan hukum syariah sehingga harus digali dari
dari dalil-dali syar�i. Karena itu, sirah Nabi saw. amat relevan untuk
dikaji. Sebab, beliau adalah uswah hasanah, termasuk dalam menegakkan
dawlah, mengubah d�r kufr menjadi d�r al-Isl�m.

Perlu saya tegaskan, sirah Nabi saw. termasuk as-Sunnah sehingga bisa
dan harus dijadikan sebagai hujjah, tentu setelah diverikasi
kesahihannya. Agar lebih sempurna, sirah Nabi saw. tersebut dikaitkan
dengan berbagai ayat yang turun ketika itu. Sebab, perbuatan
Rasulullah saw. juga implementasi dari ayat-ayat yang turun kepada
beliau.


Dengan berbekal sirah Nabi saw. dan ayat-ayat tersebut, apakah setiap
orang bisa merumuskannya?

Tentu tidak. Sebagai bagian dari hukum syariah, hanya ulama yang
sampai derajat mujtahid saja yang boleh berijtihad dalam perkara ini.
Hanya seorang mujtahid yang bisa menggali thariqah dakwah dari
dalil-dalil syar�i yang ada. Alhamdulillah, muassis Hizbut Tahrir,
yakni al-�Allamah asy-Syaykh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahul-L�h
adalah seorang ulama yang mencapai derajat mujtahid. Beliau pun telah
berhasil merumuskan thar�qah dakwah yang digali dari dalil-dalil
syariah.


Bisa dijelaskan thar�qah dakwah tersebut?

Secara garis besar, thar�qah tersebut berupa sejumlah aktivitas yang
harus dilaksanakan dalam tiga marhalah (tahapan atau periode, red.).
Marhalah pertama adalah marhalah at-tatsq�f (tahap pembinaan dan
pengkaderan). Tahap ini dilakukan untuk membentuk pribadi-pribadi yang
meyakini fikrah dan thariqah Islam yang diadopsi oleh Hizb hingga
terbentuk sebuah kutlah hizbiyyah (kelompok politik). Mereka yang
berhimpun dalam kutlah itu dibina agar siap mengemban dakwah dan
memikul semua beban perjuangan.

Tahapan ini didasarkan pada tahapan awal dakwah Rasulullah saw.
Setelah diperintahkan menyampaikan risalah, beliau segera
mengerjakannya, terutama terhadap orang-orang yang beliau kenal.
Orang-orang yang beriman kemudian dibina, dikader dan diorganisasi di
tempat-tempat yang tidak diketahui publik, seperti di rumah al-Arqam,
bukit-bukit, dan lain-lain. Dakwah tersebut berlangsung selama tiga
tahun hingga turun QS al-Hijr [15]: 94 yang memerintahkan Rasulullah
saw. berdakwah secara terang-terangan di tengah masyarakat. Perintah
tersebut menunjukkan bahwa itu merupakan thar�qah yang harus
dikerjakan. Sejak itu, dakwah Rasulullah saw. memasuki tahapan
berikutnya, yakni berinteraksi dengan masyarakat secara terbuka.


Itu juga dijalankan Hizbut Tahrir?

Ya. Setelah sukses pada tahap pertama, Hizb pun melangkah pada tahapan
kedua itu, yakni marhalah at-taf�ul ma�a al-ummah (tahap berinteraksi
dengan umat). Dalam tahapan ini, tsaq�fah murakkazah (pembinaan
intensif, red.) yang dijalankan pada tahap pertama tetap dilanjutkan,
namun ditambah dengan beberapa aktivitas lainnya. Di antaranya adalah
tsaq�fah jam�iyyah, yakni pembinaan yang ditujukan untuk publik.
Berbagai diskusi, seminar, konferensi, tablig akbar dan semacamnya
termasuk dalam aktivitas ini.

Dengan pembinaan umum tersebut, pemikiran Islam akan menyebar luas di
tengah masyarakat. Tujuannya agar tercipta al-wa�y al-��m, kesadaran
umum di tengah-tengah umat tentang Islam. Pada gilirannya, kesadaran
umum tersebut akan melahirkan ar-ra�y al-��m, opini umum, yakni opini
kolektif yang menghendaki kembalinya Khilafah dalam kehidupan.


Tema apa yang perlu digencarkan agar berkembang menjadi opini umum?

Ya tentu tentang Islam sebagai ideologi. Temanya fokus pada pemikiran
dan hukum-hukum yang mendasar dan penting bagi umat, seperti akidah
Islam serta kewajiban terikat dengan hukum syariah, menerapkan Islam
dalam semua aspek kehidupan, menegakkan Khilafah, jihad f�
sab�lil-L�h, menyatukan negeri-negeri Islam, dan lain-lain.
Digencarkan pula tentang keharaman menerapkan sekularisme,
kapitalisme, demokrasi serta semua sistem dan hukum produk manusia;
juga tentang keharaman berpecah-belah lebih dari satu negara, bahaya
nasionalisme, dan lain-lain. Dengan begitu, umat ini memiliki komitmen
kuat untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah dan menjaga eksistensinya,
sebagaimana penduduk Madinah ketika itu.


Akankah semulus itu?

Tentu terjadi benturan-benturan. Masyarakat yang menjadi lahan dakwah
bukan ruang hampa yang kosong dari pemikiran. Di dalamnya sudah
berkembang berbagai pemikiran, termasuk pemikiran yang sesat dan
batil. Ada sekularisme, kapitalisme, liberalisme, pluralisme,
feminisme dan lain-lain. Semua ide sesat itu harus dienyahkan dari
benak umat. Untuk itu, dilakukanlah ash-shir� al-fikr�, pertarungan
pemikiran. Caranya, dengan menelanjangi kesesatan semua ide tersebut,
merobohkan bangunan argumentasinya dan menunjukkan kebobrokannya. Pada
saat yang sama ditunjukkan kebenaran dan keunggulan Islam.

Sesungguhnya aktivitas ini juga merupakan bagian dari thar�qah dakwah
Rasulullah saw. Dalam marhalah ini, beliau banyak menyerang berbagai
kepercayaan, nilai-nilai, adat-istiadat dan kebiasaan Jahiliah. Ini
semakin jelas jika kita melihat tema ayat-ayat yang turun pada saat
itu.


Selain itu?

Benturan politik. Ini tidak bisa dihindari. Sebab, kondisi umat Islam
yang kini hidup dalam cengkeraman sistem kufur ini tidak terjadi
dengan sendirinya. Ini terjadi karena skenario dan konspirasi
negara-negara kafir penjajah. Untuk mempertahankan keadaan itu,
ditanamlah para penguasa yang menjadi antek dan boneka mereka.
Penguasa bukan bekerja untuk umat, namun untuk kepentingan
negara-negara penjajah yang menjadi majikannya.

Khilafah tidak bisa didirikan selama umat dalam keadaan demikian. Umat
harus dibebaskan. Caranya, umat harus diberi kesadaran yang benar
tentang penjajah dan anteknya itu. Maka dari itu, Hizb pun membongkar
berbagai makar dan konspirasi negara-negara kafir penjajah itu. Secara
terbuka Hizb juga menunjukkan penentangan terhadap para penguasa antek
tersebut dan mengungkap pengkhianatan mereka; juga menasihati mereka
agar mengubah sikapnya yang lebih memilih sistem kufur dan loyal
kepada negara-negara kafir penjajah. Aktivitas ini termasuk dalam
al-kif�h al-siy�s�, perjuangan politik.

Aktivitas ini juga dilakukan Rasulullah saw. dalam dakwahnya. Beliau
menghadapi para pemuka Arab Jahiliah yang mencengkeram masyarakat.
Al-Quran juga menentang Abu Lahab dan para pemimpin Jahiliah lainnya
sekaligus mengungkap jatidiri mereka yang sebenarnya.


Bagaimana respon negara-negara penjajah dan para penguasa antek?

Mereka tentu gerah. Mereka juga amat takut jika umat memiliki
kesadaran tersebut. Karena itu, mereka berusaha keras menghalangi Hizb
yang berdakwah di tengah umat. Bahkan berbagai tindakan keji mereka
lakukan untuk membungkam Hizb. Rezim Karimov di Uzbekistan, misalnya,
telah menahan dan memenjarakan ribuan anggota Hizb dan pendukungnya.
Hafidz Asad di Suriah pernah membantai lebih dari 300 anggota Hizb
hanya dalam satu malam. Qaddafi pernah menggantung sejumlah anggota
Hizb di depan umum. Saddam Husaein pernah membunuh ratusan anggota
Hizb. Musharraf menganiaya dan dan memenjara ratusan anggota Hizb.
Tindakan serupa juga dilakukan oleh rezim Turki, Bangladesh, Tunisia
dan lain-lain.


Bagaimana Hizb Tahrir menyikapi hal itu?

Hizb tetap istiqamah. Semua tindakan keji tidak akan mampu memalingkan
Hizb dari perjuangannya. Hizb tidak akan tunduk oleh tekanan penguasa,
atau tergoda dengan iming-iming kekuasaan, apalagi berkompromi dengan
kekuatan kufur sembari menggadaikan Islam.

Sikap ini juga demi meneladani Rasulullah saw. Saat beliau ditawari
harta, tahta dan wanita dengan syarat meninggalkan dakwah, beliau
tegas menolak.


Tidak melakukan perlawanan secara fisik atau mengangkat senjata?

Tidak. Hizb tetap sabar dan istiqamah dengan thar�qah yang diadopsi,
yakni tidak menggunakan kekuatan fisik, baik dalam menghadapi pelakuan
keji atau dalam meraih kekuasaan. Sikap ini pun diambil dari sikap
Rasulullah saw. Dalam menjalani marhalah ini, banyak Sahabat yang
difitnah, disiksa, diboikot, bahkan dibunuh. Ketika ada sebagian
Sahabat memohon kepada Rasulullah saw. untuk menggunakan kekerasan,
Rasulullah saw. menolak keinginan mereka. Bahkan ketika permintaan
yang sama disampaikan setelah Baiat �Aqabah yang kedua beliau
menyatakan, �Lam nu�mar bidz�lika (Kita belum diperintahkan untuk
itu).�

Alhamdulillah, kesabaran itu perlahan membuahkan hasil. Para penguasa
antek itu berguguran satu-persatu. Hafidz Asad, Saddam Husain, Raja
Abdullah dan Raja Fahd telah mati. Musharraf, Ben Ali, dan Husni
Mubarak telah tumbang dari kekuasannya. Insya Allah, Qaddafi, Karimov
dan para penguasa represif lainnya akan segera menyusul. Sebaliknya,
atas pertolongan Allah SWT dan taufik-Nya, Hizb tetap eksis hingga
kini, bahkan hari demi hari terus mengalami kemajuan.


Bisa ditunjukkan kemajuan tersebut?

Alhamdulillah, opini yang terus kita bangun semakin menguat. Tuntutan
terhadap tegaknya Khilafah kian nyaring. Kerinduan umat untuk bersatu
dalam satu institusi Khilafah semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Ini bisa dilihat dari besarnya animo umat terhadap acara-acara yang
kita adakan. Hasil-hasil survei juga menunjukkan angka signifikan
dukungan terhadap syariah dan Khilafah.

Pada saat yang sama, kepercayaan masyarakat Muslim terhadap demokrasi
melorot tajam. Di negeri ini, misalnya, setelah demokratisasi telah
digencarkan lebih dari sepuluh tahun, rakyat justru makin apatis.
Hampir semua Pilkada dimenangkan oleh golput. Wajar saja. Sebab,
demokrasi tidak membuat rakyat menjadi sejahtera. Rakyat bahkan tambah
sengsara. Korupsi makin menjadi-jadi. Undang-undangnya justru banyak
memihak pada kepentingan asing.

Kita makin yakin, tegaknya Khilafah makin dekat.


Apakah cukup dengan meningkatnya opini itu Khilafah bisa tegak?

Tentu tidak. Ada satu faktor lagi yang harus ada, yakni dukungan ahl
al-quwwah, pemegang kekuasaan riil. Dari merekalah diharapkan
kekuasaan bisa diserahkan kepada Hizb sehingga pendirian Khilafah bisa
diproklamirkan. Untuk itu Hizb melakukan aktivitas thalab an-nushrah,
mencari pertolongan dari pemegang kekuasaan riil.

Perlu saya tegaskan, ini adalah satu-satunya metode yang syar�i dalam
pengambilalihan kekuasaan. Aktivitas inilah yang dilakukan Rasulullah
saw. untuk mendapatkan kekuasaan. Beliau melakukan kontak dengan para
pemuka kabilah di Arab untuk tujuan ini. Meskipun sering mendapatkan
penolakan, beliau tetap mencari pertolongan tanpa berputus asa.
Diceritakan Ibnu Saad dalam Thabaq�t-nya, beliau menghubungi lebih
dari 15 kabilah. Ini menunjukkan aktivitas tersebut merupakan thar�qah
yang harus dijalankan.

Sebagaimana kita tahu, akhirnya beliau bertemu dengan para pemuka
kabilah Aus dan Khazraj dari Madinah. Mereka mau beriman dan bersedia
menyerahkan kekuasaan mereka kepada Rasulullah saw. hingga berdirilah
negara Islam pertama di Madinah.

Saat itu terjadi, maka berlangsunglah marhalah berikutnya, marhalah
ketiga, yakni marhalah istil�m al-hukm wa tathb�q al-Isl�m, tahap
penyerahan kekuasan dan penerapan Islam. Saat itulah Daulah Islam
didirikan dengan menerapkan hukum Islam secara total dan mengemban
dakwah ke seluruh dunia.


Kapan itu bisa terjadi lagi?

Insya Allah dalam waktu dekat. Tegaknya Khilafah semata merupakan
pertolongan Allah SWT. Allah SWT telah berjanji akan memberikan
pertolongan-Nya kepada siapa pun yang menolong agama-Nya. Kita tidak
tahu kapan janji itu akan ditunaikan. Namun, kita yakin Allah SWT
pasti menunaikan janji-Nya. []

Siapakah Musuh Kita?

Siapakah Musuh Kita?


Minggu, 22 Mei 2011 02:04 administrator
Email Cetak PDF

Pada kesempatan yang penuh barakah ini, kami wasiatkan kepada diri kami sendiri juga kepada segenap jama’ah kaum muslimin, agar senantiasa bertaqwa kepada Alloh Ta’ala. Marilah kita mengindahkan perintah Alloh Ta’ala dan Rasul-Nya dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauh dari segala larangan-Nya, karena semua itu merupakan urgensi dari ketaqwaan. Dengan ketaqwaan, Alloh akan memberikan keselamatan di dunia dan di akhirat; di dunia memperoleh kebahagiaan walaupun hidup sederhana, di akhirat memperoleh warisan surga.

Kita memahami, fitrah manusia itu dapat mengetahui dan mengenal kebenaran, serta menjauhi dan menghindari kebathilan. Namun bukan berarti bahwa mengamalkan al haq atau menghindari kebathilan adalah sesuatu yang mudah.

Ada beberapa rintangan dan hambatan yang menjadi ujian. Ada musuh yang selalu menghalangi dari jalan al haq. Dan sebaliknya ada musuh yang selalu berusaha membimbing ke arah yang bathil.

Musuh-musuh ini memberikan gambaran tentang kebenaran dengan gambaran yang tidak menyenangkan dan menjijikkan. Sebaliknya memoles perbuatan dosa dengan sesuatu yang menyenangkan, membahagiakan dan penuh dengan kenikmatan. Akhirnya banyak orang yang terpedaya, meninggalkan jalan yang benar dan mengikuti jalan yang bathil, na’udzubillahi mindzalik.

Karenanya, wahai saudara-saudaraku, kita perlu mengetahui musuh-musuh kita, agar dapat bersikap. Musuh tetaplah musuh, yang harus kita musuhi dan kita perangi. Bukan malah menjadikan mereka sebagai teman, apalagi sebagai pembimbing. Siapakah musuh-musuh yang selalu berusaha mengajak manusia kepada perbuatan batil dan keliru?

Jama’ah jum’ah yang dirahmati Allah Ta’ala

Musuh yang pertama adalah setan. Tidaklah ada tujuan setan kecuali menyesatkan manusia dari jalan kebenaran. Ialah yang telah mengeluarkan Adam alaihissalam dari jannah. Dan ia bersumpah akan menyesatkan manusia dari kebenaran, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ (16) ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

Iblis menjawab: "Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). [ Al A’rof : 16 – 17 ].

Sumpah ini tidak main-main. Betapa banyak manusia yang menjadi pengikut setan dan menjadi wali-walinya di bumi. Mereka membuat kerusakan di bumi dengan berbagai perbuatan syirik dan kemaksiatan. Mereka selalu mengajak manusia untuk memenuhi jalan-jalan menuju neraka. Sebaliknya, mereka menghalang-halangi manusia dari jalan kebenaran dan jalan menuju jannah-Nya. Allah Ta’ala juga sudah memperingatkan kita tentang syaitan dalam ayat-Nya :

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ [فاطر : 6]

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu), Karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu Hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala

Setan ada dua jenis. Setan yang berbentuk jin dan setan yang berbentuk manusia. Jika setan yang berbentuk jin mempengaruhi manusia lewat jalan darah, maka setan berbentuk manusia lebih berbahaya dengan mempengaruhi manusia lewat hal-hal yang nyata sehingga sedikit dari manusia yang selamat darinya.

Ada cara yang diajarkan oleh islam dalam melawan syetan. Diantaranya adalah dengan tawakkal, meninggalkan maksiat, serta senantiasa dzikrullah dengan qiroatul qur’an dan do’a-doa harian. Sedangkan setan yang berbentuk mansia, kita harus jauhi majlis-majlis mereka, nahyu munkar terhadap mereka dan bahkan menggunakan kekuatan jika diperlukan untuk menghentakan berbagai kemaksiatan dan kesyirikan yang mereka lakukan.

Jama’ah jum’ah yang rahmati Allah Ta’ala

Musuh manusia yang kedua, adalah nafsu yang senantiasa mengajak kepada keburukan. Hawa nafsu ini cenderung kepada kebathilan, menghalangi manusia agar tidak menerima kebenaran dan tidak mengamalkannya. Jika jiwa ini muthmainnah (tenang dalam kebenaran), lebih mengutamakan yang hak, maka dia akan membimbing manusia ke arah yang benar dan berjalan di atas jalan keselamatan.

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam memberikan sebuah standart keimanan yang lurus hingga dapat menundukkan hawa nafsunya. Beliau bersabda :

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ

“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga hawa nafsunya tunduk kepada apa yang telah aku sampaikan”. [ Arba’in an nawawiyah hadist yang ke 41 ].

Yang lebih parah lagi adalah menjadikan hawa nafsu ini sebagai ilah, yaitu menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahan selain Allah. Disebutkan dalam firman Allah:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? [ Al Jatsiyah : 23 ]

Ibnu Katsir menjelaskan : Yang memerintahkan ia hanyalah hawa nafsunya. Sesuatu itu dianggap baik jika hawa nafsunya menganggap baik sehingga ia kerjakan. Sebaliknya, sesuatu dianggap jelek jika hawa nafsunya menganggap jelek sehingga ia tinggalkan. [ tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut ].

Seseorang yang selalu memperturutkan segala keinginannya, ia tidak akan peduli dengan akibat buruknya. Dalam sebuah atsar diriwayatkan, di bawah kolong langit ini, tidak ada yang lebih jelek dibandingkan hawa nafsu yang diperturutkan.

Adapun musuh manusia yang ketiga adalah gemerlap dunia, kenikmatan dan hiasannya. Keindahan dunia dan berbagai kenikmatan semunya, telah menipu banyak orang, membuat manusia lupa kepada tujuan hidupnya yang hakiki. Padahal kehidupan akhirat dan segala isinya jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupan dunia yang fana.

Bahkan Rasulullah sallallahu alaihiwasallam lebih takut jika ummatnya nanti dibukakan berbagai pintu-pintu dunia dibandingkan jika ummat beliau ditimpa kemiskinan. Beliau bersabda :

مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

Tidaklah kefakiran aku takutkan atas kalian. Akan tetapi yang aku takutkan jika dibukakan atas kalian dunia sebagaimana telah dibukakan terhadap orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian berlomba-lomba terhadapnya sebagaimana mereka berlomba-lomba terhadapnya, dan kalian celaka sebagaimana mereka telah celaka. [ HR. Bukhori Muslim ].

Betapa banyak orang yang tertipu terhadap dunia. Mereka menjadi hamba dunia sehingga lalai terhadap kewajiban-kewajiban yang telah Allah Ta’ala perintahkan pada kepadanya. Tidaklah ia berbuat kecuali hanya karena dunia. Sungguh ini adalah kecelakaan yang besar.

Jama’ah jum’ah yang rahmati Allah Ta’ala

Demikian beberapa musuh yang sering menghalangi manusia untuk melaksanakan kataatan. Semoga Allah melindungi kita semua dari semua makar dan tipu daya yang menyesatkan.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْم

KHUTBAH KEDUA

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَسَلّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

Jika musuh-musuh bisa menguasai diri seorang manusia, maka dampak yang terlihat adalah tidak semangat dalam melakukan ketaatan. Dan sebaliknya, ia justru semangat dan tidak takut melakukan perbuatan maksiat. Lebih parah lagi jika bangga menjadi ahli maksiat.

Meski begitu, Allah subhanahu wa ta’ala tidak membiarkan para hamba-Nya untuk menghadapi musuhnya seorang diri. Allah subhanahu wa ta’ala berjanji akan menolong manusia dalam menghadapi musuh-musuhnya. Allah memerintahkan kepada kita agar memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, serta memerintahkan manusia agar memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam melakukan amalan yang susah atau berat baginya.

Semoga Allah senantiasa menolong kita dalam menghadapi godaan musuh-musuh, yang senantiasa menghalangi manusia dari jalan ketaatan. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang ikhlas, dalam menegakkan kebenaran ini, dan senantiasa mengikuti petunjuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. [ Amru ]

http://www.an-najah.net/index.php?option=com_content&view=article&id=191:siapakah-musuh-kita&catid=60:masud&Itemid=106

Bagaimana Menghadapi Tukang Santet

Bagaimana Menghadapi Tukang Santet

Assalamu'alaikum pak ustad

Saya ingin bertanya tentang masalah nujum atau yang disebut-disebut orang santet. sebenernya saya tidak percaya itu ada, namun banyak yang bilang itu sering dilakukan orang.

Kebetulan ada teman saya yang kena santet (informasi dari orang pinter katanya). Yang bilang dia kena santet dengan alasan persaingan bisnis. ada tetangga nya yang tidak suka lalu mengirimkan hal yang tidak baik tersebut.

Yang saya ingin tanyakan adalah:

1. apakah benar santet itu ada?

2. bagaimana cara mengatasi/ mencegah agak tidak terkena itu, dan apabila emang itu ada dan terkena itu bagaimana mengatasinya

3. kalopun itu tetangganya itu bener melakukan nya, berarti dia telah melakukan hal yang menyerang ato menzalimi dan ada hak kita untuk membalas, menurut ustad bagaimana seharus nya bersikap dalam hal ini

Terima kasih banyak pak ustad.

jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sejak dari awal, urusan santet ini sepenuhnya sudah berlumur dosa. Mulai dari dukun yang memberi informasi tentang adanya 'kiriman' santet dari si fulan dan si fulan, hingga teknik bagaimana mengatasi santet itu sendiri.

Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Sejak mulai dari informasi (tuduhan) dari si dukun, bahwa ada kiriman santet dari si fulan dan si fulan, informasi ini saja sudah merupakan fitnah besar. Biasanya berisi kebohongan yang berlipat. Benar atau tidak benar informasi itu, yang pasti sumber informasinya sudah pasti jin atau setan. Dan mendapat informasi dari jin atau setan sudah merupakan larangan dan dosa.

Apalagi kalau ternyata info itu salah, dan kebanyakannya memang salah, maka dosa tuduhan yang salah sudah terbayang. Dan inilah fitnah awal dari sebuah santet.

Anggaplah misalnya setan dan jin itu memang punya kekuatan ghaib, sehingga punya kemampuan 'mengirim' penyakit atau penderitaan tertentu, maka sangat besar kemungkinannya semua merupakan konspirasi. Wah, rupanya para jin itu juga jagoan konspirasi. Ya, mereka memang punya mafia layaknya dunia mafioso.

Konspirasi untuk menjerat manusia sudah seringkali mereka lakukan.Biasanyalangkah pertamanya, satu jin mengerjai seseorang, entah dengan cara dibuat takut atau dirasuki.

Langkah berikutnya, mafia jin itu memanfaatkan dukun untuk memberi info bahwa orang yang sering kerasukan jin itu sebenarnya disantet oleh seseorang. Sehinggaorang-orang pun berusaha untuk memusuhi orang yang dituduh punya ilmu santet itu. Maka jadilah peperangan hingga saling berbunuhan antara sesama manusia.

Langkah lainnya adalah membisiki para dukun lain untuk melawansantet dengan santet juga. Tapi hebatnya, agar tidak dianggap santet, biasanya diberi embel-embel yang menarik dan menipu. Misalnya, ilmu itu tidak dibilang santet, tetapi berbagai bentuk penghalusan seperti isilah 'ilmu putih'.

Kesannya agak masuk akal, orang-orang aka menganggap bahwa namanya saja ilmu putih, berartiilmu itu ilmu yang baik. Apalagi yang melakukannya orang yang pakai kostum pak haji, lengkap dengan peci haji, sorban, sarung, tasbih, bahkan jubah. Lalu mereka melakukan ritual-ritual aneh seolah-olah sedang bertarung dengan jin.

Padahal jelas sekali ujung-ujungnya, ternyata mereka juga berkolaborasi dengan jin juga.Ternyata yang dibilang sebagaiilmu putih dandianggap baik itu menggunakan kekuatan jin, teman mafia jin yang pertama.

Kalau anda pernah mengerti dunia tender dalam bisnis, mungkin anda pernah dengar adanya kongkalikong antara pejabat dan pengusaha. Walau pun ada keharusan tender, tapi si pengusaha memasukkan tiga proposal dengan nama yang berbeda, padahal ujung-ujungnya sama. Proposal mana pun yang akan menang, tetap saja dia jugayang memenangkan tender itu.

Akal bulus yang sama juga dilakukan oleh mafian jin. Bahkan boleh dibilang justru mereka inilah yang mula-mula mengajarkan teknis licik itu.

Melawan Santet

Buat kita yang beriman kepada Allah dan Rasulullah SAW, melawan santet yang semata-mata merupakan sihir dari jin tentu sudah jelas caranya, yaitu dengan ruqyah syar'iyah. Dan hanya itulah yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad SAW dan syariah Islamiyah.

Para Ulama mengatakan bahwa ruqyah adalah suatu bacaan dan doa yang dibacakan dan ditiupkan untuk mencari kesembuhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawamengatakan bahwaruqyah artinya memohon perlindungan. Dan Sa’ad Muhammad Shadiq menyebutkan bahwa ruqyah pada hakekatnya adalah berdoa dan tawassul untuk memohon kepada Allah kesembuhan bagi orang yang sakit dan hilangnya gangguan dari badannya.

Dalil tentang masyru'iyah ruqyah ini ada banyak, di antaranya adalah firman Allah SWT berikut ini:

Dan kami turunkan Al-Qur’an yang dia itu sebagai obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(QS. Al-Isra': 82)

Katakanlah: Dia (Al-Qur’an) bagi orang-orang yang beriman sebagai petunjuk dan obat. (QS. Fushshilat: 44)

Sedangkan dari sunnah nabawiyah, dalil tentang ruqyah syar'iyah antara lain:

Dari Aisyah ra berkata bahwa Nabi SAW pernah meniup untuk dirinya dalam keadaan sakit menjelang wafatnya dengan bacaan Al-Mu’awwidzat, surat Al-Ikhlash dan Al-Mu’awwidzatain. Maka ketika beliau kritis, akulah yang meniupkan bacaan itu dan aku usapkan kedua tangannya ke tubuhnya karena keberkahan tangannya. (HR Bukhari, Muslim).

Dari ‘Asiyah ra berkata bahwaRasulullah SAW bila sakit, jibril meruqyahnya. Ia berkata: “Dengan nama Allah, dia membebaskanmu, dan dari setiap penyakit dia menyembuhkanmu, dan dari setiap orang yang dengki ketika dengki, dari setiap orang yang punya mata berbahaya. (HR.Muslim, dalam Syarah An Nawawi 4/1718)

Dari Ibnu Abbas bahwa wanita datang membawa anaknya pada RasulullahSAW dan berkata ”Wahai rasul, ia terkena penyakir gila”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memantrainya (meruqyah) dan mengusap dadanya, lalu anak itu muntah dan keluar dari mulutnya seperti binatang kecil lalu bergerak.

Ubay ibn Ka’ab berkata: Ketika aku berada di dekat Rasulullah SAW datanglah seorang Arab Badui menemui beliau seraya berkata: “Wahai nabi Allah! Sesungguhnya saudaraku sedang sakit. ”Apa sakitnya” balas Beliau. Ia menjawab, ”Ia kerasukan Jin, wahai nabi Allah.” Kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi, ”Bawa saudaramu itu ke sini!”Maka orang itu pun membawakan saudaranya itu kehadapan baliau. Maka Rasulullah SAW meminta perlindungan kepada Allah untuk diri saudaranya itu dengan membacakan surah Al-Fatihah, empat ayat pertama dari surah Al-Baqarah, dua ayat pertengahan darinya, yaitu ayat yang ke-163 dan ke-164, ayat Kursi, dan tiga ayat yang terakhir dari surat Al-Baqarah tersebut. Kemudian ayat yang ke-18 dari surah Ali ‘Imram, ayat yang ke-54 dari surah al-A’araf, ayat yang ke-116 dari surah al-Mu’minun, ayat yang ketiga dari surah al-Jin, sepuluh ayat pertama dari surah ash-Shaffat, ayat yang ke-18 dari surah Ali ‘Imran, tiga ayat terakhir dari surah al-Hasyr, surah al-Ikhlas, dan mu’awwidzatain (surah Al-Aalaq dan An-Nas). ”Ubay ibn ka’ab menambahkan, ”Andaikata RasulullahSAW tidak mengajarkan hal itu kepada kita, niscaya binasalah kita. Maka, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat bagi sekalian alam.

Para peruqyah qadungan terkadang sulit dibedakan dengan yang sesuai syariah. Tapi untuk membedakanya, ada beberapa trik sederhana. Misalnya dalam hal rujukan dan referesi. Kalau rujukannya adalah kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama yang lurus, seperti kitab Wiqayatul Insan Minal Jinni Wasysyaithan, karya Syeikh WAhid Abdussalam Baali, insya Allah akan terjamin.

Tapi kalau rujukannya merupakan kitab-kitab yang syirik dan menyimpang, biasanya praktek itu bukan ruqyah syar'iyah, hanya cassingnya saja. Mesin di dalamnya tetap saja sihir. Dan bedanya sederhana, adakah jin ikut serta dalam proses itu. Kalau ada jin ikut serta, jelaslah hal itu termasuk dilarang.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1205819520

Apa yang Harus Dilakukan Kalau Nanti Saya Sudah Masuk Islam?

Apa yang Harus Dilakukan Kalau Nanti Saya Sudah Masuk Islam?

Assalammualaikum wr wb,

Ustadz status saya saat ini non muslim. Saya ada keinginan unttk memeluk agama Islam. Saya sudah baca tentang bisanya masuk Islam secara online, hanya dengan meyakini 2 hal yaitu mengingkari semua bentuk Tuhan kecuali Allah Swt dan meyakini Muhammad adalah nabi yang diutus oleh Allah. Dan dengan mengucapkan kalimat syahadat saja tanpa disaksikan oleh orang lain, kita sudah bisa memeluk Islam.

Yang ingin saya tanyakan....setelah resmi menjadi muslim, apa lagi yang harus saya lakukan? Apakah saya harus belajar mengaji terlebih dahulu atau belajar cara-cara sholat?

Itu yang saya bingungkan Ustadz....maka dari itu saya mohon penjelasan dr Ustadz.

Terima kasih.

jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Mungkin perlu diluruskan bahwa kami tidak mengatakan bisa masuk Islam secara online. Karena dua kalimat syahadat itu adalah ikrar untuk diri sendiri, bukan akad antara dua belah pihak.

Bilal bin Rabah dahulu masuk Islam tanpa harus dilihat oleh siapa-siapa, bahkan beliau merahasiakan keIslamannya. Hal itu bisa terjadi karena untuk masuk Islam tidak dibutuhkan ritual seperti pembaptisan atau akad antara dua belah pihak.

Jadi kalau mau masuk Islam, ya ucapkan saja di dalam diri sendiri dua kalimat syahadat dengan mengerti dan meyakini makna keduanya. Kalau hal itu dilakukan, pada hakikatnya seseorang sudah menjadi muslim, tanpa harus online atau berkaitan dengan orang lain. Sebab ikrar masuk Islam pada hakikatnya tidak mensyaratkan saksi, kecuali nanti dalam urusan muamalah.

Kewajiban Setelah Masuk Islam

Kami sebenarnya ingin mengatakan bahwa jauh sebelum seseorang menyatakan diri masuk Islam, dia sudah wajib untuk mempelajari agama Islam. Dan inilah bedanya umat Islam di masa Nabi dengan di masa sekarang.

Orang Arab Quraisy atau non muslim lainnya, sudah mengenal agama yang dibawa Muhammad SAW sebelum mereka menyatakan diri masuk Islam. Semua prinsip dasar agama Islam begitu terang di mata mereka. Karena kalau kita kaitkan dengan ayat tidak ada paksaan masuk Islam, menjadi sangat relevan.

Tidak ada paksaan untuk masuk agama Islam, karena sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. (QS. Al-Baqarah: 256)

Perhatikan pada bagian lafadz: telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Inilah yang menjadi kunci keberhasilan dakwah nabi Muhammad SAW. Tidak ada seorang kafir pun yang tidak dibuat paham dengan agama Islam. Apalagi orang yang sudah masuk Islam, pasti sangat paham dengan agama Islam.

Dakwah nabi sebelum mengajak orang masuk Islam adalah menjelaskan kisi-kisi dan detail ajaran Islam, justru kepada semua orang yang bukan muslim. Sehingga para gembong Quraisy menjadi sangat paham dan mengerti apa maunya agama Islam, bahkan hingga masalah yang sangat detail dan rinci.

Maka kalau merek mau masuk Islam, urusannya cuma tinggal hidayah saja. Secara logika dan pemahaman, mereka telah berhasil dibuat paham dan mengerti agama Islam.

Bahkan yang lebih menarik, ketika saat itu Abu Sufyan belum masuk Islam, beliau sudah bisa menjadi narasumber tentang kajian agama Islam. Tidak tanggung-tanggung, yang menjadi audience-nya adalah seorang Kaisar Heraklius, raja Romawi yang juga telah mendengar tentang agama Islam.

Sang Kaisar penasaran dan ingin mengerti isi dan esensi ajaran agama Islam, maka dia pun mengundang Abu Sufyan yang kebetulan sedang berdagang di Syam. Kebetulan juga Abu Sufyan ini punya jabatan sebagai 'Wali Kota Makkah'. Maka pemandangannya menjadi menarik, karena seorang yang belum memeluk agama Islam sudah bisa menjadi nara sumber yang mampu menjelaskan detail ajaran agama Islam.

Coba kita bercermin ke hari ini, janganlah orang non Islam, justru umat Islam sendiri malah banyak yang tidak mengerti apa-apa tentang ajaran agamanya. Berapa banyak umat Islam yang tidak mengerti bagaimana cara wudhu' atau shalat. Sedikit sekali di antara mereka yang tahu bahwa shalat lima waktu wajib dilaksanakan.

Sebagai bukti, saat ini di salah satu stasiun TV swasta nasional ada sebuah acara yang amat digemari oleh semua umur. Acara itu live disiarkan secara langsung, mulai tepat jam 18.00 hingga selesai beberapa jam kemudian. Anehnya, acara live yang dimulai beberapa menit sebelum waktu Maghrib itu tidak dibreak untuk shalat, padahal dilangsungkan di teater Tanah Air yang menampung sekian banyak pengunjung.

Kita lihat langsung ada sekian ratus muslim yang ada di gedung itu tidak shalat Maghrib. Padahal banyak juga yang pakai kerudung atau haji.

Begitu juga ketika terjadi pertandingan sepak bola di stadion, kita lihat waktu maghrib masuk, tetapi pemain terus saja main bola dan ribuan penonton tetap terus asyik bersorak sorai, sampai waktu Maghrib lewat.

Begitu juga kalau kita dalam perjalanan malam naik kendaraan umum antara kota, kita lihat hanya satu atau dua orang saja dari penumpang yang shalat Shubuh. Selebihnya entah mereka tahu atau tidak bahwa shalat shubuh itu wajib.

Entah mereka tahu apa tidak bahwa shalat Maghrib dan Shubuh itu wajib, yang jelas faktanya mereka tidak shalat pada waktunya.

Berapa banyak dari mereka tidak tahu bahkan yang tidak menyakini adanya hari kiamat, surga, neraka, yaumul hisab bahkan termasuk alam kubur. Berapa banyak dari mereka yang tidak tahu bagaimana sikap dan tindakan yang wajib kita lakukan terhadap Rasulullah SAW.

Dan yang paling memprihatinkan, nyaris mayoritas kaum muslimin di negeri ini tidak ada yang bisa memahami ayat-ayat Al-Quran yang mereka lantunkan. Karena mereka tidak paham bahasa Arab. Padahal 17 rakaat yang tiap hari mereka lakukan dan baca ayat Quran di dalamnya, tidak sah kalau tidak pakai bahasa Arab.

Kewajiban Tiap Muslim

Kewajiban setiap muslim adalah mempelajari isi dan esensi agama. Baik lewat majelis taklim, pengajian, diskusi, baca buku, browsing di internetatau dalam bentuk sebuah perkuliahan khusus tentang agama Islam. Perkuliahan adalah bentuk pelajaran agama Islam yang paling ideal.

Dibandingkan dengan yang lainnya seperti pengajian yang hanyadilakukan paling intensif hanya seminggu sekali, jelaslah perkuliahan itu lebih baik, karenadilakukan tiap hari. Dalam satu hari bisa jadi ada beberapa mata kuliah yang berbeda. Otomatis belajar Islam lewat perkuliahan jauh lebih intensif dari pada lewat pengajian atau majelis taklim.

Selain itu, dalam sebuah perkuliahan, biasanya dosen atau nara sumbernya adalah ada banyak dan masing-masing adalah orang yang berkualitas. Masing-masing datang dengan keahliannya dan spesifikasi keahlian bidang ilmunya.

Ada dosen khusus yang mengajar mata kuliah Aqidah, Fiqih, Ushul Fiqih, Quran, Tafsir, Hadits, Tarikh, Tsaqafah, Bahasa Arab, Sastra Arab, Logika (manthiq), Hukum Waris, Qawa'id Fiqhiyah dan seterusnya.

Jadi dengan ikut menjadi mahasiswa pada sebuah perkuliahan syariah Islam, seseorag akan mendapatkan begitu banyak materi pelajaran yang tidak akan bisa didapatnya kalau hanya sekedar ikut pengajian.

Bayangkan kalau ada seorang muallaf masuk Islam, lalu diwajibkan untuk ikut kuliah syariah seperti di atas, selama 8 semester untuk mendapatkan setidaknya 144 SKS, kalau dia sampai lulus, setidaknya ilmu pengetahuannya sudah bisa melebihi seorang ustadz kondang.

Nah, kalau mau online bukan masuk Islamnya, tapi kuliahnya yang bisa online. Silahkan kuliah di Kampus Eramuslim.Kuliah yang bisa dilakukan jarak jauh ini tentu bukan cuma buat mereka yang baru masuk Islam, buat mereka yang sejak lahir sudah secara tidak sengaja tiba-tiba jadi muslim pun tetap berlaku. Sebab ya itu tadi, betapa miskinnya umat Islam ini dengan ilmu-ilmu yang terkait dengan ajaran agama Islam.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1206589449

HOS Cokro Aminoto Mercusuar Syareat Islam di Indonesia

HOS Cokro Aminoto

Mercusuar Syareat Islam di Indonesia

"Tjokroaminoto mempunyai keyakinan yang teguh, bahwa Negara dan bangsa kita tak akan mentjapai kehidupan jang adil dan makmur, pergaulan hidup jang aman dan tenteram, selama keadilan sosial sepandjang adjaran-adjaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan mendjadi hukum dalam Negara kita, sekalipun sudah merdeka.

Terbukti sekarang, sekalipun Negara dan bangsa kita sudah merdeka dan berdaulat bernaung dibawah pandji-­pandji sang merah putih, namun rakjat jelata jang berpuluh-puluh jumlahnja belum merasakan kenikmatan dan kelezatan hidup dan kehidupan sehari-­harinja. Rakyat masih tetap menderita matjam - matjam kesukaran dan kemelaratan. Kekatjauan timbul dimana­-mana. Perampokan penggedoran. Pentjulikan dan pembunuhan seolah-ilah tak dapat diatasi oleh pihak (alat) pemerintahan.

Dikota-kota besar nampak pula kerusakan moral (budi pekerti) bangsa kita. Bukan sadja pelajturan jang meradjalela dari kota-kota sampai desa-­desa, tetapi pihak jang dikatakan kaum terpeladjar, pemuda dan pemudi tak ada batas lagi pergaulan hidupnja, pergaulan jang merdeka. Pergaulan jang mempengaruhi alam pikiran pada kesesatan. Sumber-sumber pelatjuran telah menjadi pergaulan hidup yang modern. Kemadjuan jang mentjontoh dunia barat jang memang sudah rusak. Rusak budi­-pekertinja dan rochaninja. Tak ada kendali didalam djiwa jang dapat menahan hawa nafsunja. Inilah semuanja yang oleh ketua Tjokroaminoto dikatakan Djahiliah modern.

Kalau alat-alat pemerintah RI jang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik pihak atasan maupun sampai bawahan sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah, jakinlah Negara akan rusak dan hantjur dengan sendirinja, sebab segala perbuatan djahat, korupsi, penipuan, suapan dan sebagainja jang terang terang merugikan Negara, dikerjakan dengan aman oleh mereka itu sendiri, rakjat mengerti sebab rakjat jang menjadi korban" (Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950)

Sang raja tanpa mahkota begitulah kaum Kompeni Belanda menyebutnya, lihai cerdas, dan bersemangat. Di takuti dan juga disegani lawan – lawan politiknya. Perjuangnya dalam membela hak kaum pribumi saat itu benar - benar menempatkan dirinya menjadi seoarang tokoh yang benar-benar dihormati pada saat itu. HOS Cokroaminoto lahir di desa Bakur, Madiun Jawa Timur 16 Agustus 1883. Ia anak kedua dari dua belas bersaudara putra dari Raden Mas Cokro Amiseno, seorang Wedana Kleco dan cucu RT Adipati Negoro bupati Ponorogo. Terlahir dari keluarga bangsawan tak membuatnya bersikap angkuh, justru karena itulah ia akhirnya menjadi sebuah motor penggerak kemerdekaan bagi Indonesia disaat semua manusia tertidur dalam belaian kompeni Belanda. Dialah tokoh politik yang berhasil menggabungkan retorika politik melawan penjajah Belanda dengan ideology Islam, sehingga mengenyahkan penjajah dari bumi Nusantara.

Setelah menamatkan study di Oplayding School Foor Inladishe Ambegtenaren (OSVIA), sekolah pegawai pemerintahan pribumi Magelang. Setelah itu ia mengikuti jejak kepriayian ayahnya sebagai pegawai pangreh praja walaupun akhirnya ia tinggalkan karena muak dengan kebiasaan sembah jongkok yang baginya sangat melecehkan.

Tahun 1905 Cokro pindah ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan dagang, di samping ia juga belajar di sekolah malam Hogore Burger School. Bersama istrinya, Suharsikin ia mendirikan rumah kost di rumahnya. yang nantinya melalui rumah inilah Cokro menyalurkan ilmunya dalam agama, politik dan berorasi yang akhirnya menjadi cikal bakal pembentukan tokoh – tokoh penting di Indonesia. Seperti Soekarno yang Nasionalis, SM kartosuwirjo yang Islamis Dan Muso-Alimin yang Komunis. R. A. Suharsikin adalah cermin wanita yang selalu memberikan bantuan moril, selalu menjadi kebiasaannya, jika suaminya bepergian untuk kepentingan perjuangannya, istri yang sederhana dan prihatin ini mengiringi suaminya dengan sholat tahajud, dengan puasa, dan do’a. perbedaan idiologi dari murid - muridnya tersebut secara tidak langsung memberikan warna sendiri bagaimana secara aktif ide-ide, ilmu dan gagasan Cokro menghujam kedada mereka. Walaupun dengan pemahaman yang beraneka ragam sesuai dengan latar belakang, pendidikan dan pekerjaanya masing masing. Jadi, pertarungan Soekarno, Kartosuwirjo dan Muso-alimin sejatinya adalah pertarungan tiga murid dari seorang guru Cokroaminoto. Hal ini mengisaratkan bahwa adanya perbedaan tafsir para murid terhadap guru dan kernudian mendorong kecenderungan yang berbeda pula.

Dalam beberapa hal, ide Islam Cokro lebih dipahami oleh Kartosuwirjo dengan Darul Islamnya, ia melanjutkan perjuangan yang telah dirintis oleh Cokro yakni menuntut Indonesia bersyariat. Dengan dasar itu ia akhirnya memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat, sebagai reaksi atas penghianatan Soekarno-Hatta terhadap piagam Jakarta.

Untuk merealisasikan perjuangan menuntut Indonesia bersyareat ia masuk ke dalam Sarekat Dagang Islam (SDI) yang saat itu dipimpin oleh H.Samanhudi di Solo, sebuah pergerakan pertama Indonesia yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Bukan Budi Utomo seperti yang diketahui saat ini, karena SDI lahir lebih muda yakni lahir pada tahun 1908 sedangkan SDI 1905 pendistorsian sejarah semacam ini jelas kejahatan yang dilakukan oleh musuh – musuh Islam untuk mengkaburkan perjuangan Indonesia bersyariat. Karena memang tujuan SDI adalah kemerdekaan dan pemberlakuan syareat Islam. Semenjak masuknya ia kedalam SDI, SDI berubah menjadi sebuah organisasi yang besar dan menakutkan bagi kolonial. Kemahirannya serta kepiawaiannya berpolitik dalam menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan memihak kepentingan rakyat membuat SDI begitu di gandrungi Rakyat pribumi. Terlebih setelah SDI berubah menjadi SI dan ia menjadi pemimpin SI. Lewat Cokro tujuan SI mulai di perjelas yakni kemerdekaan Indonesia dan pemberlakuan Syareat Islam bagi segenap lapisan rakyat.

Karena aktifitas politiknya Belanda akhirnya menangkap Cokro pada tahun 1921 karena dikhawatirkan akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat pribumi walaupun akhirnya dibebaskan pada tahun 1922, sebuah cobaan yang lazim diterima para penegak syariat islam di seluruh dunia. Pada tanggal 14-24 juni 1916 diadakanlah kongres Nasional pertama di Bandung. Di dalam kongres tersebut Cokro mengupas tentang pembentukan bangsa dan pemerintahan sendiri. Sebuah langkah yang sangat berani saat itu karena bagi rakyat pribumi kemerdekaan adalah hal yang tabu untuk disampaikan. Suatu langkah politik yang benar-benar berani. Cokro membangun opini rakyat yang belum mengerti politik untuk berpihak terhadap perjuanganya. Yaitu menuntut Indonesia merdeka dan bersyariat Islam.

Di tengah pemerintah kolonial yang masih kuat apalagi saat itu Belanda masih menerapkan peraturan Reegerings Reglement(RR) sebuah peraturan yang berisi larangan berpolitik, berkumpul untuk membahas perjuangan kemerdekaan. Yang otomatis Cokro saat itu harus berhadapan dengan dua lawan yaitu Belanda dan Pangreh Praja yang menjadi kaki tangan Belanda. Pada tahun 1924, Cokro mulai aktif dalam komite –komite pembahasan kekhilafahan yang dicetuskan pemimpin politik Wahabiah Arab, Ibnu Saud. Sebuah langkah untuk memperkuat barisan menuju kemerdekaan dan kekhalifahan dunia.

Bagi Cokro, Islam adalah sesuatu yang harus di perjuangkan dan di persatukan, sebagai dasar kebangsaan yang hendak di proses menuju Indonesia. Tipikal Cokro, identik dengan AI-Afghani yang juga merupakan tokoh politik Pan-Islamisme (kebangkitan Islam). Cokro dan Afghoni juga sama-sama mengalami kegagalan dalam perjuangan Pan-Islamismenya. Namun, arti penting keduanya bukan pada kemenangan atau kekalahan. Keduanya menjadi penting karena menggulirkan momentum perubahan pemikiran dalam Islam. Keduanya juga menjadi ruh perjuangan bagi kepentingan politik Islam.

Ruh Cokro akan masih terus bergerak menjadi spirit perjuangan ketika islam di artikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak statis. Yang mengatakan ," Setinggi­tinggi ilmu, semurni-murni tauhid , sepintar­-pintar siasat". Beliau wafat pada tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta, dan dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. (Saif).

(disarikan dari "H.O.S TJOKROAMINOTO, Hidup dan Perdjuangannja, karya Amelz, Bulan Bintang)

Sumber : al-ikhwah Edisi 3 Tahun I ~ Maret 2009 M / Rabiul Awwal 1430 H

NB: Mengenai Ibnu Saud, ada beberapa pendapat; yang paling santer adalah ia menghianati, bughat (memberontak) dari kekhalifahan terakhir dengan dibantu “Si Lawrence of Arabia”. Pendapat kedua, Ibnu Saud memberontak karena menganggap khalifah terakhir tidak konsisten dengan Dienul Islam. Insyaallah kita bahas lagi topik ini di lain kesempatan.

Kewajiban Berhukum kepada Syariat Islam (2)

Kewajiban Berhukum kepada Syariat Islam (2)

Wajib Melakukan Tahkim Ketika Imamul Muslimin (Khalifah) Beserta Para Qodhinya Tidak Ada


Yaitu ketika kaum muslimin tidak mempunyai imam yang memerintah mereka dan tidak ada pula pengadilan syar’i yang mereka jadikan untuk memutuskan perkara. Dan inilah keadaan kebanyakan kaum muslimin pada hari ini. Maka saya tidak katakan bahwa mereka boleh, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengembalikan permasalahan mereka kepada orang yang mempunyai kelayakan untuk melaksanakan pengadilan syar’i, untuk memutuskan perkara sesuai dengan syariat. Jika tidak ada orang yang mempunyai kelayakan maka mereka memilih orang yang terbaik, secara berurut sesuai dengan tingkatannya, dan haram bagi mereka untuk bertahkim kepada undang-undang buatan manusia yang kafir.


Dalilnya adalah; semua yang kami sebutkan pada keadaan pertama di atas, khususnya perkataan Syaikh Dhouyan dalam kitab “Manaarus Sabiil” dan perkataan Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughniy”, ditambah lagi:


1. Al-Qodhi Abu Ya’la Al-Hambali berkata: ”Seandainya di suatu daerah tidak ada qodhinya, lalu mereka (para ulama’) bersepakat untuk mengangkat seorang qodhi yang mereka ikuti, lalu mesti dilihat, jika ada imam maka pegangkatan itu batal, namun jika tidak ada imam maka pengangkatannya itu sah, dan keputusannya berlaku bagi mereka. Namun jika setelah qodhi tersebut mengkaji permasalahan, ada imam baru, pengkajian itu tidak dilanjutkan sampai ada ijin dari imam, namun apa yang telah diputuskan tidak menjadi batal.

Dan Ahmad telah menyatakan bahwa apabila ada dua orang yang memutuskan perkara, maka keputusannya itu berlaku”. (Al-Ahkaam As-Sulthoniyyah, hal. 73) Yang dijadikan landasan adalah perkataan beliau: Jika imam itu tidak ada maka manusia boleh mengangkat seorang qodhi. Adapun perkataannya: jika ada imam pengangkatan itu batal, hal ini tidak membatalkan pendapat kami yang kami sebutkan pada bagian pertama. Karena pengangkatan qodhi itu adalah bagian dari hak imam, adapun yang kami bahas pada bagian pertama di atas adalah masalah bertahkim kepada hakam dan bukan masalah pengangkatan qodhi. Dan diatas telah saya sebutkan beberapa perbedaan antara hakam dan qodhi.

...Jika imam itu tidak ada maka manusia boleh mengangkat seorang qodhi...

2. Imam As Suyuuthi –beliau bermazhab Syafi’i– berkata: ”Ibnu Subki berkata dalam kitab At-Tarsyiikh (bahwa) Al-Khowarizmi menyebutkan dalam kitab Al-Kaafiy bahwa pemberontak yang menguasai sebuah daerah lalu ia mengangkat qodhi yang bukan seorang mujtahid, atau tidak ‘adil (bisa dipercaya) sedangkan penduduk daerah itu tidak mampu menolaknya, apakah hukum dan keputusan-keputusannya berlaku, seperti menikahkan budak perempuan dan menggunakan harta anak yatim ? Hal ini mengandung dua kemungkinan:

Salah satunya adalah: tidak berlaku, dan cara yang bisa ditempuh kaum muslimin adalah bertahkim kepada orang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara yang mereka hadapi. Namun jika mereka tidak mendapatkan orang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, maka berlakulah keputusan qodhi tersebut, karena darurat”. (Ar-Rodd ‘Alaa Man Akhlada Ilal-Ardh, karangan As-Suyuthi, hal. 88, cet. Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1403 H).


3. Ibnu ‘Abidin berkata: ”Jika tidak ada wali (penguasa) lantaran dikalahkan oleh orang-orang kafir, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menentukan seorang wali (penguasa) dan imam Jum’at”. Ia juga mengatakan: ”Adapun negara yang penguasanya adalah orang-orang kafir, maka kaum muslimin boleh mengadakan shalat-shalat Jum’at dan hari raya, dan seorang qodhi menjadi qodhi atas dasar kerelaan dari kaum muslimin. Mereka harus mengangkat seorang wali (penguasa) dari kalangan mereka”. Dia juga mengatakan: ”Jika tidak ada pemerintahan dan juga tidak ada orang yang boleh untuk diangkat sebagai penguasa, sebagaimana yang terjadi di sebagian negeri kaum muslimin seperti Cordova (daerah Spanyol / Andalusia) pada saat sekarang, wajib bagi kaum muslimin untuk bersepakat terhadap seseorang di antara mereka untuk mereka jadikan wali (penguasa), lalu ia mengangkat seorang qodhi yang akan memutuskan perkara di antara mereka. Ia juga mengangkat seorang Imam yang mengimami mereka dalam shalat Jum’at”. (Haasyiyatu Roddil Mukhtaar ‘Alad Durril Mukhtaar IV / 308 dan sebagian terdapat pada III / 253).

...Jika tidak ada wali (penguasa) lantaran dikalahkan oleh orang-orang kafir, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menentukan seorang wali (penguasa) dan imam Jum’at...

4. Imamul-Haromain Al-Juwaini telah berbicara dalam masalah ini dengan panjang lebar, beliau berkata: ”Sekarang tiba saatnya saya untuk berbicara seandainya pada suatu masa tidak ada penguasanya yang mencukupi, kosong dari orang yang layak untuk menjadi seorang imam (khalifah) –sampai perkataan beliau– adapun yang diperbolehkan bagi setiap orang untuk bebas menentukan diri mereka sendiri, akan tetapi adab menuntut untuk meneliti orang yang layak memimpin dan orang yang top di masa itu, seperti mengadakan shalat Jum’at, memberangkatkan pasukan untuk berjihad dan melaksanakan hukum qishas pada pembunuhan dan luka, lalu manusia mengangkatnya sebagai pemimpin ketika tidak ada imam –sampai perkataannya– dan apabila manusia tidak mendapatkan seorang pemimpin yang akan mereka jadikan rujukan, maka mustahil mereka itu disuruh berpangku tangan, tidak melakukan usaha untuk menolak kerusakan.


Kalau mereka bermalas-malasan dalam melaksanakan perintah yang memungkinkan mereka laksanakan, maka akan tersebar kerusakan pada negara dan manusia –sampai perkataannya– sebagian ulama’ mengatakan: seandainya pada suatu masa terjadi kekosongan pemerintah, maka setiap penduduk suatu daerah harus mengangkat seorang yang pandai di antara mereka, yang akan mereka ikuti petunjuk dan perintahnya, dan mereka jauhi apa yang dia larang. Karena jika mereka tidak melakukannya mereka akan kebingungan ketika terjadi banyak permasalahan –sampai perkataannya– Kemudian segala urusan yang menjadi kewajiban Imam diserahkan kepadanya.


Maka jika pada suatu masa terjadi kekosongan penguasa yang memiliki kekuatan, kemampuan dan pengetahuan, maka segala permasalahan dikembalikan kepada para ulama’. Dan semua orang harus kembali kepada ulama’ mereka, kemudian semua permasalahan di semua daerah diputuskan oleh ulama’ tersebut. Jika mereka melaksanakannya, maka mereka telah mendapat petunjuk ke jalan yang lurus, dan para ulama’ tersebut menjadi pemimpin kaum muslimin. Jika kesulitan untuk menyatukan mereka untuk mengikuti salah seorang ulama’ maka setiap daerah mengikuti ulama’ mereka. Jika pada suatu daerah banyak ulamanya maka yang diikuti adalah yang paling ‘alim. Seandainya mereka sama-sama ‘alim, maka kemungkinan ini sangat jarang dan hampir-hampir tidak ada.

...Kalau mereka bermalas-malasan dalam melaksanakan perintah yang memungkinkan mereka laksanakan, maka akan tersebar kerusakan pada negara dan manusia...

Dan jika mereka sepakat untuk meminta pendapat mereka semua, padahal keadaan dan mazhabnya bermacam-macam, hal ini mustahil. Jika mereka berselisih dan tidak mau mengalah dan mengakibatkan pertengkaran dan permusuhan, maka menurutku untuk menyelesaikannya dengan diundi, maka orang yang keluar dalam undian itulah yang dipilih.” (hal. 385-391).


Kemudian Al-Juwaini mengatakan bahwasanya jika pada suatu masa tidak terdapat ulama’ mujtahidin, dan tidak ada yang tersisa kecuali orang-orang yang menukil pendapat dari mazhab-mazhab para imam, beliau mengatakan: ”Sesungguhnya orang fakih yang kami sebutkan cirinya tersebut bagi seorang mustaftiy (orang yang meminta fatwa) menduduki kedudukan seorang imam mujtahid, ia naik ke tingkat yang tinggi dalam batasan-batasan tertentu.” (Al-Ghiyaatsiy, hal. 427, cet.II, tahqiq Dr. ‘Abdul ‘Adzim Ad Daib 1401 H).


Yang dimaksud perkataan Al-Juwaini tersebut adalah, bahwasanya yang dimintai fatwa itu adalah orang yang paling layak lalu kalau tidak ada, orang yang satu tingkat di bawahnya, dan begitu seterusnya. Dengan demikian kalau ada Mujtahid, tidak boleh meminta fatwa kepada seorang muqollid, namun kalau tidak ada mujtahid boleh meminta fatwa kepada muqollid. Begitu pula dalam masalah bertahkim, orang yang dimintai untuk memutuskan perkara adalah orang yang paling ’alim, lalu kalau tidak ada, orang yang satu tingkat di bawahnya. Ibnul Qayyim berkata: ”Hal yang mirip dengan ini adalah ketika penguasa itu tidak mendapatkan orang yang diangkat untuk menjadi qodhi kecuali orang yang tidak memenuhi syarat, dalam keadaan seperti ini, negeri itu tidak boleh dikosongkan dari qodhi, akan tetapi diangkat orang yang terbaik”. (A’laamul Muwaqqi’iin IV / hal. 196-197. Ibnu Taimiyah juga mengatakan seperti ini dalam Al-Ikhtiyaarot Al-Fiqhiyyah hal. 332).


Inilah perkataan para ulama’ salaf mengenai suatu masa yang tidak ada imam tertinggi (khalifah) nya, bahwasanya wajib atas seluruh penduduk negeri untuk berhukum kepada ahlul ‘ilmi (ulama’) di antara mereka yang mujtahid. Jika tidak ada, maka berhukum kepada orang yang terbaik setelahnya, dan begitu seterusnya. Karena perintah Allah untuk melaksanakan hukum itu tertuju kepada seluruh umat Islam. Allah berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا

“Pencuri baik laki-laki maupun perempuan potonglah tangan mereka” (QS. Al-Ma-idah)

dan Allah berfirman:

أَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا

“orang-orang yang berzina laki-laki maupun perempuan, cambuklah ia” (QS. An Nur)

Dan ayat-ayat yang lain. Sedangkan Imam mewakili umat Islam dalam melaksanakan perintah tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ

“Sesungguhnya Imam itu adalah perisai” (muttafaq ‘alaih)

Dalam hadits juga disebutkan:

فَالإِمَامُ الأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ

“Imam Yang tertinggi menjadi pemimpin, dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (muttafaq ‘alaih)

...Maka jika Imam itu tidak ada, maka perintah itu kembali kepada umat Islam secara umum. Mereka harus mengangkat orang yang layak untuk memutuskan perkara...


Maka jika Imam itu tidak ada, maka perintah itu kembali kepada umat Islam secara umum. Mereka harus mengangkat orang yang layak untuk memutuskan perkara. Ahmad bin Hambal berkata: ”Manusia harus mempunyai seorang hakim, (kalau tidak) apakah hak-hak manusia itu akan hilang?” Dan Abu Ya’la menyebutkan dalam kitab Al-Ahkaam Ash-Shulthoniyyah hal. 24 dan 71. Hal itu karena mengangkat seorang qodhi itu termasuk fardhu kifayah untuk menjaga keadilan. Maka jika tidak ada sebagian orang yang melaksanakannya, semuanya berdosa. Allah berfirman:

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan” (QS. An Nisa’: 135)

dan Allah berfirman:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (QS. Al-Hadid: 25)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyinggung permasalahan yang semacam dengan ini secara lebih jelas. Yaitu sesungguhnya hukum-hukum dan huduud itu diperintahkan kepada umat Islam secara keseluruhan. Dan yang melaksanakannya adalah pemerintah yang mempunyai kemampuan. Maka jika penguasa tidak ada dan memungkinkan untuk melaksanakannya maka wajib melaksanakannya –jika dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari pada kerusakan yang ditimbulkan akibat meninggalkannya– beliau mengatakan: ”Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk melaksanakan huduud dan huquuq secara mutlak, sebagaimana firman Allah:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا

“Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan mereka.”

Dan juga firman Allah :

أَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا

“Pezina laki-laki dan perempuan, cambuklah mereka.”

dan begitu pula firman Allah;

وَلاَ تُقْبَلُوامِنْهُمْ شَهَادَةُ أَبَدًا

“Dan janganlah kalian terima kesaksian mereka selamanya”

Namun hal ini dimengerti bahwa yang diperintahkan itu haruslah orang yang mampu melaksanakannya. Dan orang yang tidak mampu tidak wajib melaksanakannya. Dan juga diketahui bahwa kewajiban ini adalah fardhu kifayah. Hal ini seperti jihad, bahkan kewajiban tersebut bagian dari jihad. Maka firman Allah :

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ

“Diwajibkan atas kalian untuk berperang”

Dan firmanNya:

وَقَاتِلُوا فِى سَبِيْلِ اللهِ

“Dan berperanglah kalian dijalan Allah ”

Dan Firman Allah :

إِلاَّ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ

”Jika kalian tidak berangkat berperang, Allah akan mengadzab kalian.”


Dan ayat-ayat semacam ini adalah fardhu kifayah, terhadap orang-orang yang mampu. Sedangkan kemampuan adalah kekuasaan. Oleh karena itu melaksanakan hukum huduud merupakan kewajiban orang yang memegang kekuasaan dan wakil-wakilnya.


Dan menurut sunnah, hendaknya kaum muslimin itu memiliki satu imam, sedangkan yang lainnya adalah wakilnya. Namun seandainya sebagian kaum muslimin keluar dari kekuasaan imam tersebut karena bermaksiat, sedangkan yang lain tidak mampu, atau karena yang lainnya. Maka dalam keadaan seperti ini ada beberapa imam.


Dalam keadaan seperti ini setiap imam wajib untuk melaksanakan hukum hudud, dan memenuhi hak. Oleh karena itu para ulama’ mengatakan bahwa ahlul baghyi (pemberontak) itu hukumnya berlaku, sebagaimana berlakunya hukum-hukum ahlul adli. Begitu juga jika mereka berebut kekuasaan dan mereka menjadi berkelompok-kelompok, maka wajib bagi setiap kelompok untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut terhadap orang-orang yang mentaati mereka. Ini ketika terjadi perpecahan pemimpin, begitu pula ketika mereka tidak berpecah belah, akan tetapi ketaatan mereka kepada pemimpin tertinggi tidak sempurna. Sesungguhnya meskipun kekuasaan mereka tidak ada, mereka tetap wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban itu. Begitu juga seandainya sebagian pemerintah itu tidak mampu melaksanakan hukum huduud dan hak, atau mereka menyia-nyiakannya, maka kewajiban itu ditanggung oleh orang yang mampu melaksanakannya.


Sedangkan orang yang mengatakan: ”Tidak boleh melaksanakan hukum hudud kecuali Imam atau wakilnya”. Hal itu adalah ketika mereka mampu melaksanakan keadilan, sebagaimana yang dikatakan oleh para fuqaha, permasalahan itu diserahkan kepada penguasa. Hal itu adalah jika hakim (penguasa) itu adil dan mampu. Namun jika ia menyia-nyiakan harta anak yatim, atau dia tidak mampu untuk menegakkan keadilan, permasalahan itu tidak wajib diserahkan kepadanya, ketika memungkinkan untuk menegakkan keadilan tanpa hakim (penguasa). Begitu juga seorang amir (gubernur) jika dia melalaikan hukum hudud, atau dia tidak mampu melaksanakannya, maka hukum-hukum tersebut tidak wajib untuk diserahkan kepadanya sedangkan masih memungkinkan untuk melaksanakannya tanpa dia.

...Pada dasarnya kewajiban-kewajiban ini mestinya dilaksanakan dengan cara yang terbaik. Jika kewajiban itu bisa dilaksanakan bersama seorang amir, maka tidak dibutuhkan lagi orang lain...

Pada dasarnya kewajiban-kewajiban ini mestinya dilaksanakan dengan cara yang terbaik. Jika kewajiban itu bisa dilaksanakan bersama seorang amir, maka tidak dibutuhkan lagi orang lain. Namun jika kewajiban itu tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan beberapa orang, maka kewajiban itu dilaksanakan dengan beberapa orang tersebut, jika dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kerusakan yang melebihi kerusakan dalam meninggalkannya. Sesungguhnya masalah ini sama dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar. Namun jika pelaksanaannya menimbulkan kerusakan pada penguasa dan rakyat melebihi kerusakan yang ditimbulkan akibat tidak melaksanakan hukum tersebut, maka suatu kerusakan tidak boleh ditolak dengan kerusakan yang lebih parah. Wallohu a’lam”. (Majmuu’ Fataawaa XXXIV / 175-176).


Inilah perkataan para ulama’ yang menerangkan sahnya –bahkan wajibnya– orang untuk bersepakat melaksanakan hukum di antara mereka –semampunya– ketika tidak ada imam (Khalifah), dengan bertahkim kepada orang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara sesuai dengan syariat dari orang yang paling baik, kalau tidak ada dipilih orang yang setingkat di bawahnya, dan begitu seterusnya. bersambung...


[Judul asli: Wujuubut-Tahaakum Ilasy-Syari’ah karya Syaikh ‘Abdul Qadir Bin ‘Abdul ‘Aziz, diterjemahkan oleh Abu Hamzah].

Kewajiban Berhukum kepada Syariat Islam (1)

Kewajiban Berhukum kepada Syariat Islam (1)

Sesungguhnya berhukum kepada Syariat wajib hukumnya bagi kaum muslimin –pada permasalahan dan persengketaan yang terjadi pada mereka– dan hal ini merupakan ashlul-iman (pokok keimanan) sehingga orang yang tidak melaksanakannya –ketika wajib dilaksanakan dan ia mampu melaksanakannya– ia kafir, berdasarkan firman Allah:

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisa’ 65).

Sedangkan mayoritas kaum muslimin lalai terhadap kewajiban syar’i ini. Selain itu mereka pasrah dengan berlakunya undang-undang kafir terhadap darah, kehormatan, dan harta mereka. Sedangkan orang yang menyadari kewajiban ini, sebagian mereka menyangka bahwa melaksanakan kewajiban tersebut mustahil ketika berlaku undang-undang kafir di negara mereka. Padahal tidak demikian.

Karena sesungguhnya kaum muslimin masih mempunyai kemampuan untuk berhukum kepada syariat terhadap perkara dan persengketaan mereka, meskipun berlaku undang-undang kafir di negara mereka. Yaitu dengan cara berhukum atas dasar suka sama suka kepada orang yang layak dan mampu untuk memutuskan perkara di antara mereka, seperti kepada seorang ulama’, atau pelajar (tholibul ‘ilmi), sesuai dengan kemampuan. Dan selama hal ini masih memungkinkan, maka berhukum kepada syariat ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah:

”Maka bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian!” (QS. Ath-Thaghabun 16).

Dan berdasarkan sabda Nabi SAW: ”Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian, laksanakanlah semampu kalian!” (Hadits Muttafaq ‘alaih)

Permasalahan ini –yaitu berhukumnya kaum muslimin atas dasar suka sama suka kepada orang yang layak untuk memutuskan perkara– dalam kitab-kitab fiqih dikenal sebagai “at-tahkim” (memutuskan perkara kepada seseorang), yaitu kebalikan “at-taqodhiy” (memutuskan perkara) kepada Qodhiy (hakim) yang diangkat oleh Imamul muslimin (kholifah).

...Bertahkim ini diperbolehkan ketika ada Qodhiy yang ditunjuk, dan hukumnya wajib ketika tidak ada qodhiy yang ditunjuk secara sah menurut syar’i...

Bertahkim ini diperbolehkan ketika ada Qodhiy yang ditunjuk, dan hukumnya wajib ketika tidak ada qodhiy yang ditunjuk secara sah menurut syar’i, sebagaimana yang terjadi di berbagai negara kaum muslimin pada hari ini.

Penjelasan Atas Bolehnya Bertahkim Ketika Ada Qodhiy Yang Sah Menurut Syar’i yang Diangkat di negara Islam

Di negara yang diberlakukan syariat Islam dan diperintah oleh seorang Imam Muslim, dan di sana ia mengangkat qodhiy-qodhiy tertentu yang ditugasi untuk memutuskan perkara di antara manusia, kaum muslimin diperbolehkan untuk berhukum kepada seseorang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, berdasarkan suka sama suka, selain kepada qodhiy yang diangkat oleh Imamul Muslimin, dan keputusan hakam (orang yang mereka jadikan hakim) ini wajib mereka laksanakan.

Dan secara dasar pemikiran para ulama’ dari berbagai mazhab tidak ada yang memperselisihkannya. Namun yang mereka perselisihkan adalah permasalahan apa saja yang diperbolehkan untuk bertahkim. Dan apakah hakam itu boleh memutuskan semua perkara sebagaimana qodhiy yang ditunjuk atau ia hanya boleh memutuskan beberapa perkara saja?, Dan anda akan melihat bahwa perselisihan para ulama’ dalam hal ini kembali kepada keberadaan qodhiy yang telah ditunjuk, dan sebagian ulama’ berpendapat bahwa pada persengketaan yang besar tidak ada yang boleh memutuskannya kecuali qodhiy. Dengan demikian, perselisihan pada masalah apa saja yang diperbolehkan bertahkim ini mestinya menjadi hilang ketika tidak ada qodhiy yang ditunjuk oleh Imamul Muslimin.

Begitu pula anda akan melihat, bahwa tahkim itu dapat menghilangkan kesusahan bagi orang (rakyat) dan bagi para qodhiy sendiri. Karena tidak setiap penduduk negara Islam bisa mengajukan permasalahan mereka kepada qodhiy dengan tanpa kesusahan, seperti orang-orang yang tinggal di pedalaman, dll. Jika mereka bertahkim kepada seseorang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara di antara mereka, akan dapat menghilangkan kesusahan bepergian bagi mereka dan ringan pula tanggungan Qodhiy. Inilah yang disinggung oleh Al-Qodhiy Abu Bakar Ibnul ‘Arobiy dalam Ahkaamul-Qur’an hal. 622-623.

...anda akan melihat, bahwa tahkim itu dapat menghilangkan kesusahan bagi orang (rakyat) dan bagi para qodhiy sendiri...

Dan berikut ini perkataan para ulama’ dari berbagai mazhab yang menyatakan atas bolehnya bertahkim ketika ada qodhiy yang ditunjuk di negara Islam:

1. Ibnu Dhouyan Al-Hambaliy, berkata dalam kitab Syarhud-Daliil: ”Jika ada dua orang atau lebih bertahkim kepada seseorang yang layak untuk menyelesaikan masalah mereka, maka keputusan hakam tersebut berlaku, hal itu pada setiap permasalahan yang keputusan qodhiy yang ditunjuk oleh Kholifah atau wakilnya berlaku”. Berdasarkan Hadits Abu Syuroih RA, dalam hadits itu ia mengatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمِي إِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيْئٍ أَتُونِي فَحَكَمْتُ بَيْنَهُمْ فَرَضِيَ كُلاَّ الفَرِيْقَيْنِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaumku jika berselisih pendapat pada masalah apa saja, mereka datang kepadaku, maka saya putuskan permasalahan mereka dan kedua belah pihak rela dengan keputusanku”, maka Rasulullah SAW mengatakan:
مَا أَحْسَنَ هَذَا

“Alangkah baiknya ini” (Hadits diriwayatkan oleh An Nasa’iy)

“‘Umar dan Ubay juga bertahkim kepada Zaid bin Tsabit. Juga ‘Utsman dan Tholhah bertahkim kepada Jubair bin Muth’im RA, padahal mereka bukan Qodhiy”. Dalam matannya dikatakan: ”Keputusannya itu sebagai pemutus perselisihan, maka tidak halal bagi seorang pun untuk membatalkannya, bagaimanapun keputusannya jika benar.” Dan dikatakan dalam Syarah (penjelasan)nya: ”Karena orang yang diperbolehkan untuk memutuskan perkara, keputusannya harus dilaksanakan, sebagaimana qodhiy yang ditunjuk Imam” (Manaarus-Sabiil Syarhud-Daliil II/459 cet. Al-Maktab Al-Islami 1404 H). Hadits Abu Syuroih tersebut adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’iy.

2. Ibnu Qudamah merinci permasalahan ini dalam kitabnya Al-Kaafiy IV / 436 cet. Al-Maktab Al-Islami 1402 H, dan dalam kitab Al-Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir XI/483-484. Berikut ini perkataannya dalam kitab Al-Mughniy: ”(Pasal), apabila ada dua orang bertahkim kepada seseorang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara dan keduanya rela untuk memutuskan perkara kepada orang tersebut, lalu orang itu memutuskan perkara dua orang tersebut, maka hal ini diperbolehkan dan keputusan orang tersebut berlaku atas kedua orang tersebut. Abu Hanifah juga berpendapat seperti ini. Adapun Asy Syafi’iy ada dua riwayat tentang pendapatnya, salah satunya adalah: keputusan orang tersebut tidak berlaku kecuali atas kerelaan kedua orang yang bertahkim tersebut, karena tahkim itu terjadi karena sama-sama rela, dan kerelaan itu tidak ada kecuali setelah mengetahui keputusannya.

Adapun dalil kami adalah hadits yang diriwayatkan Abu Syuroih RA, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda kepadanya:
إِنَّ اللهَ هُوَ الحَكَمُ فَلِمَ تُكَنَّى أَبَا الحَكَمَ ؟ قَالَ إِنَّ قَوْمِي إِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيْئٍ أَتُونِي فَحَكَمْتُ بَيْنَهُمْ فَرَضِيَ عَلَيَّ الفَرِيْقَانِ . قَالَ: مَا أَحْسَنَ هَذَا فَمَنْ أَكْبَرَ وَلَدُكَ ؟ قَالَ شُرَيْحُ قَالَ: فَأَنْتَ أَبُو شُرَيْحُ

“Sesungguhnya Allah itu Al-Hakam (pemutus perkara), kenapa kamu dijuluki Abul Hakam?” Abu Syuroih menjawab: ”Sesungguhnya kaumku jika berselisih pendapat pada masalah apa saja mereka datang kepadaku, lalu aku putuskan perkara mereka, dan kedua belah pihak sama-sama rela dengan keputusanku” maka Beliau mengatakan: ”Alangkah baiknya ini. Siapa nama anakmu yang paling besar?” Abu Syuroih menjawab: ”Syuroih” Rasulullah bersabda: ”Kalau begitu kamu Abu Syuroih”. (HR An-Nasa’iy).

Dan diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwasanya Beliau bersabda:
مَنْ حَكَمَ بَيْنَ اثْنَيْنِ تَرَاضَيَا بِهِ فَلَمْ يَعْدِلُ بَيْنَهُمَا فَهُوَ مَلْعُوْنٌ

“Barangsiapa memutuskan perkara antara dua orang yang keduanya sama-sama rela kepadanya, tapi dia tiada berbuat adil maka ia terlaknat.”

Seandainya keputusannya tidak wajib mereka laksanakan, tentu ia tidak tercela seperti ini. Dan juga karena ‘Umar dan Ubay bertahkim kepada Syuroih sebelum ia diangkat sebagai qodhiy, begitu pula ‘Utsman dan Tholhah bertahkim kepada Jubair bin Muth’im RA, padahal mereka bukanlah qodhiy.

Jika ada yang mengatakan; bukankah ‘Umar dan ‘Utsman adalah Imam, sehingga apabila mereka menyerahkan keputusan kepada seseorang, maka orang tersebut menjadi qodhiy. Kami jawab; tidak ada riwayat dari keduanya kecuali rela sama rela untuk bertahkim kepada Syuroih, dengan demikin maka Syuroih tidak menjadi qodhiy. Dan apa yang dikatakan orang itu tidak benar karena apa bila ia rela dengan orang yang memutuskan perkara itu, ia wajib melaksanakan keputusannya sebelum ia mengetahui apa yang ia putuskan. Jika demikian maka tidak boleh membatalkan keputusan orang yang diangkat sebagai hakim itu selama keputusan itu tidak membatalkan keputusan orang yang mempunyai kekuasaan. Dan Asy Syafi’iy juga berpendapat seperti ini. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan: “Penguasa berhak membatalkan keputusan tersebut jika keputusan itu bertentangan dengan pendapatnya, karena ikatan ini berkaitan dengan hak hakim, maka ia berhak untuk membatalkannya sebagaimana ikatan yang terkait dengan haknya”.

Sedangkan menurut pendapat kami, keputusan ini sah dan harus dilaksanakan. Sehingga tidak boleh dibatalkan karena bertentangan dengan pendapatnya, sebagaimana keputusan orang yang mempunyai kuasa hukum. Dan apa yang mereka katakan itu tidak benar, karena sesungguhnya keputusan itu wajib dilaksanakan oleh dua orang yang bersengketa, maka bagaimana keputusan itu bisa tergantung? Seandainya benar begitu, maka berarti ia juga berhak membatalkannya meskipun tidak bertentangan dengan pendapatnya, dan kami tidak sependapat bahwa kesepakatan itu tergantung orang lain.

Jika demikian maka kedua belah pihak yang bersengketa berhak untuk mencabut tahkim itu sebelum persidangan dimulai, karena tahkim itu tidak dilaksanakan kecuali atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Hal ini seperti orang yang mencabut kembali kesepakatan untuk mempercayakan hartanya sebelum dipakai usaha. Namun jika ia mencabut setelah dimulai, maka ada dua pendapat, pertama; ia boleh mencabutnya, karena persidangan yang belum selesai itu sama dengan belum dimulai, kedua; ia tidak boleh mencabutnya, karena hal itu akan mengakibatkan setiap orang yang bertahkim, jika ia melihat sesuatu yang tidak ia setujui pada orang yang diangkat sebagai hakam itu, ia akan membatalkan, dengan demikian tujuan bertahkimpun tidak tercapai.

(Pasal) Al-Qodhiy mengatakan: ”Keputusan orang yang dipilih menjadi hakam itu berlaku pada semua hukum kecuali empat macam: nikah, li’an, qodzaf (tuduhan zina), dan qishosh. Karena hukum-hukum ini lain dari pada yang lain. Maka dalam hal ini hanya Imam atau wakilnyalah yang berhak untuk memutuskan perkara. Namun Abul Khoth-thob mengatakan; (dilihat dari) dzohirnya perkataan Ahmad (ia berpendapat) bahwa keputusan hakam itu berlaku pada hukum-hukum tersebut (nikah, li’an, qodzaf, dan qishosh). Adapun pendapat sahabat-sahabat Syafi’iy ada dua seperti dua pendapat diatas. Dan apabila qodhiy tersebut (maksudnya hakam) menulis surat kepada salah satu qodhiy kaum muslimin, yang berisi keputusan dia, maka ia wajib menerima dan melaksanakan surat itu, karena ia yang berkuasa untuk melaksanakan hukum, maka ia wajib menerima surat itu sebagaimana hakimnya Imam”. Selesai perkataan Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughniy, dan perkataan yang ia nukil dari Al-Qodhiy Abu Ya’la tentang masalah-masalah yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dalam bertahkim sama dengan yang dikatakan oleh Al-Qodhiy Ibnu Farhun Al-Malikiy dalam Kitab Tab-shirotul Hukkaam I/62.

Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitab Al-Kaafiy: ”Sahabat-sahabat kita berselisih pendapat tentang masalah yang diperbolehkan bertahkim. Adapun Abul Khoth-thob mengatakan: Dari dzohirnya perkataan Ahmad, diperbolehkan bertahkim pada setiap permasalahan yang dipersengketakan, hal ini diqiyaskan dengan qodhiy yang diangkat oleh Imam. Adapun Al-Qodhiy mengatakan: Ia boleh memutuskan perkara pada masalah harta saja, adapun masalah pernikahan, qishosh dan hukuman qodzaf tidak diperbolehkan bertahkim, karena masalah-masalah ini memerlukan kehati-hatian. Maka dalam masalah-masalah ini yang dilaksanakan adalah keputusan qodhiy yang diangkat oleh Imam, seperti permasalahan hudud”. (Al-Kaafiy karangan Ibnu Qudamah cet. Al-Maktab Al-Islami IV/436).

3. Imamul Haromain Al-Juwainiyy, mengatakan: ”Perkataan Asy Syafi’iy bermacam-macam dalam masalah bertahkim kepada seorang mujtahid pada masa adanya Imam (kholifah) yang melaksanakan hukum Islam apakah keputusan hakam itu berlaku?. Salah satu dari dua perkataannya, dan ini merupakan madzhab Abu Hanifah, adalah keputusannya berlaku sebagaimana keputusan qodhiy yang ditunjuk oleh Imam. Pendapat ini berdasarkan qiyas, dan menurutku tidak perlu menjabarkan landasan qiyas tersebut” (Al-Ghiyaatsiy cet. II, tahqiq Dr. ‘Abdul ‘Adzim Ad Daib 1401 H. hal. 389)

4. Disebutkan dalam kitab Fat-hul Qodiir Syarhul Hidaayah, buku Madzhab Hanafi: ”Apabila dua orang bertahkim kepada seseorang lalu ia memutuskan perkara keduanya, maka hal ini diperbolehkan”. Karena keduanya mempunyai kekuasaan terhadap diri mereka sendiri, maka mereka boleh bertahkim kepada seseorang dan keputusan orang tersebut berlaku atas keduanya. Hal ini apabila orang yang diangkat sebagai hakam itu mempunyai ciri-ciri seperti hakim –yaitu orang yang layak memberikan kesaksian- karena ketika itu ia seperti qodhiy yang memutuskan perkara antara dua orang, maka disyaratkan baginya untuk mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, dan tidak diperbolehkan bertahkim kepada orang kafir, budak, dzimmi, orang yang dijatuhi hukum qodzaf, orang fasik dan anak kecil, karena mereka tidak mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, sebab mereka tidak bisa diterima kesaksiannya.

Adapun orang fasik apabila ia memutuskan perkara menurut kami –madzhab Hanafi, sebagaimana yang lalu pada pembahasan orang yang diangkat– maksudnya adalah qodhiy yang diangkat oleh pemerintah. “Dan kedua orang yang bertahkim itu boleh mencabut tahkimnya sebelum hakam itu memutuskan perkara kepada keduanya”.Karena hakam itu mengikuti keduanya, sehingga dia tidak memutuskan perkara kecuali atas kerelaan kedua-duanya.”Dan jika ia memutuskan perkara, keduanya harus melaksanakan”. Karena keputusan itu diputuskan berdasarkan kekuasaan yang berlaku atas mereka. Jika keputusan itu diajukan ke qodhiy, lalu keputusan itu sesuai dengan pendapatnya, maka keputusan itupun dilaksanakan. “Karena tidak ada gunanya ia membatalkan hukum tersebut, kemudian ia memutuskan lagi dengan keputusan itu. “Dan jika keputusan itu tidak sesuai dengan pendapatnya, maka ia batalkan keputusan itu. “Karena keputusannya tidak wajib diikuti karena dia tidak diangkat sebagai hakam oleh qodhiy tersebut. “Dan tahkim tidak diperbolehkan dalam masalah hudud dan qishosh”.

Karena kedua orang yang bersengketa itu tidak mempunyai kekuasaan atas darah keduanya, maka mereka juga tidak berkuasa untuk menghalalkannya (menumpahkan darah). Maka darah itu tidak boleh ditumpahkan atas dasar kerelaan dari keduanya. Mereka mengatakan; Dikhususkannya hudud dan qishosh menunjukkan diperbolehkannya bertahkim pada masalah-masalah ijtihadiyyah”. (Fat-hul Qodiir V / 499). Beliau juga berkata: ”Dan jika keputusan hakam itu diangkat kepada qodhiy maka keputusan itu dilaksanakan kecuali bertentangan dengan Al-Qur’an atau sunnah atau ijma’, karena keputusan itu merupakan perkataan yang tidak ada dalilnya” . (Fat-hul Qodiir V / 487)

5. Abu Bakar Ibnul ‘Arobiy Al-Malikiy dalam mentafsirkan ayat:

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah , maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)

Beliau menyebut orang-orang Yahudi yang bertahkim kepada Nabi SAW, atas dasar kerelaan mereka, dan bahwa keputusan Nabi berlaku atas mereka. Ia (Ibnul ‘Arobiy) berkata: ”Masalah keenam: ketika mereka bertahkim kepada Nabi SAW, beliau memberlakukan keputusan beliau kepada mereka, dan mereka tidak bisa untuk menarik kembali. Dan semua orang yang bertahkim kepada seseorang dalam masalah agama, landasannya adalah ayat ini, Malik berkata: Jika seseorang bertahkim kepada seseorang, maka keputusannya berlaku, dan jika keputusannya itu diangkat kepada qodhiy, maka keputusan itu ia jalankan, kecuali jika keputusan itu merupakan kedzoliman yang nyata.

Dan Suhnun berkata: ”Kalau ia mau melaksanakan keputusan itu, Ibnul ‘Arobiy berkata: Hal itu pada masalah harta dan hak pribadi orang yang menuntutnya. Adapun masalah hudud, maka tidak ada yang boleh memutuskan kecuali pemerintah. Yang menjadi patokan adalah; setiap permasalahan yang hanya berkaitan dengan pribadi dua orang yang bersengketa, maka boleh bertahkim dan keputusannya berlaku –sampai beliau mengatakan– setelah diteliti yang benar adalah bahwa memutuskan perkara dikalangan manusia itu sebenarnya adalah hak mereka dan bukanlah hak penguasa, namun membebaskan dalam bertahkim akan menjadikan cacat pondasi kekuasaan yang akan mengakibatkan kekacauan dikalangan manusia bagaikan keledai. Maka harus ditunjuk orang yang menjadi pemutus perkara. Oleh karena itu syariat memerintahkan untuk mengangkat pemimpin supaya menyelesaikan sumber kekacauan, dan syariat juga mengijinkan bertahkim untuk memperingan mereka dari kesusahan mengangkat permasalahan kepada qodhiy, supaya kedua maslahat itu tercapai dan terpenuhi” (Ahkaamul Qur’an karangan Ibnul ‘Arobiy hal. 622-623). Dan Ibnul ‘Arobiy menyebutkan dalam hal. 621: bahwasanya bertahkimnya orang Yahudi kepada Nabi SAW itu terjadi atas kerelaan mereka, karena sebenarnya memutuskan perkara itu adalah hak pendeta mereka. Ath Thobari juga menyebutkan semacam ini ketika menafsirkan ayat:
فَإِنْ جَاؤُكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرَضُ عَنْهُمْ

“Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka” (QS. Al-Ma’idah 42).

...para sejarawan bersepakat bahwa Yahudi di Madinah pada zaman Rasulullah SAW, mereka adalah orang-orang yang mengikat perjanjian damai, yang tidak diberlakukan hukum Islam kepada mereka. Dan mereka bukanlah Ahludz-Dzimmah yang membayar jizyah...

Dan para ahli sejarah bersepakat bahwa Yahudi di Madinah pada zaman Rasulullah SAW, mereka adalah orang-orang yang mengikat perjanjian damai, yang tidak diberlakukan hukum Islam kepada mereka. Dan mereka bukanlah Ahludz-Dzimmah yang membayar jizyah. Oleh karena itu bertahkimnya mereka kepada Nabi pada perkara itu atas kerelaan mereka dan pilihan mereka dan bukan karena mereka tunduk pada hukum Islam. Inilah yang disebutkan oleh Asy Syafi’iy dalam Al-Umm IV / 129-130 kami nukil dari Ahmad Syakir dalam kitabnya ‘Umdatut Tafsir IV / 167.

6. Al-Khotthobiy dalam Syarhu Sunan Abiy Dawud-nya, ketika menjelaskan hadits kepemimpinan safar, yang berbunyi;
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةُ فِى سَفَرٍفَلِيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

“Jika tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin”

Al-Khotthobiy berkata: “Rasulullah memerintahkan hal itu supaya mereka tidak berselisih pendapat dan tidak terjadi perselisihan yang dapat menyusahkan mereka. Hadits ini juga menunjukkan bahwa apabila dua orang bertahkim kepada seseorang terhadap suatu masalah, lalu orang tersebut memutuskan dengan kebenaran, maka keputusannya itu berlaku”. (Ma’aalimus Sunan cet Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah 1401 H II / 260)

7. Dan di antara dalil atas bolehnya bertahkim dan berlakunya keputusan orang selain Imam atau para qodhiynya adalah bahwasanya bughot (pemberontak) itu jika menguasai suatu daerah, lalu mereka menjalankan hukum syar’iy, lalu mereka menarik harta (pajak) sesuai dengan tuntunan syariat, maka hukum mereka itu berlaku dan imam yang adil tidak bisa membatalkannya jika ia dapat menguasai daerah tersebut. Ibnu Qudamah berkata: ”Jika ahlul baghyi (pemberontak) itu mengangkat seorang qodhiy yang layak maka hukumnya sama dengan hukum ahlul ‘adli (qodhiy yang diberontak) dan keputusannya berlaku sebagaimana berlakunya hukum orang yang diberontak…” (Al-Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir X/70). Ibnu Qudamah juga berkata: ”Jika para pemberontak itu menguasai suatu daerah, lalu mereka melaksanakan hukum hudud, dan mereka mengambil harta zakat, jizyah dan khoroj, maka hal itu syah. Karena Ali tidak meneliti apa yang dilakukan dan dipungut oleh penduduk Basrah. Dan Ibnu ‘Umar membayarkan zakatnya kepada penarik zakat yang menjadi pembela al-haruriy (khowarij)..” (Al-Kaafiy IV / 152). Dan inilah yang ditetapkan oleh Al-Juwainiyy. (Al-Ghiyaatsiy hal. 374).

8. Dan apa yang ditetapkan oleh para fuqoha’ dari berbagai mazhab ini, yaitu bolehnya bertahkim kepada selain qodhiy yang diangkat di negara Islam, dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Mundzir An-Naisaburiy dalam kitabnya Al-Ijmaa’.

Merupakan ijma’ ulama’, beliau mengatakan: ”Ijma’ no. 254 para ulama’ bersepakat bahwa keputusan seorang qodhiy yang bukan qodhiy, diperbolehkan apabila pada masalah-masalah yang diperbolehkan”. (Kitaabul Ijmaa’ cet. Darut Thoyyibah 1402 H. hal. 75). Yang dia maksud “qodhiy yang bukan qodhiy” adalah qodhiy yang tidak ditunjuk oleh Imam. Sedang perkataannya berbunyi: ”Apabila termasuk permasalahan yang diperbolehkan” maksudnya; jika yang diputuskan oleh qodhiy tersebut diperbolehkan dalam syariat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: ”Qodhiy adalah sebutan bagi setiap orang yang memutuskan perkara antara dua orang, sama saja apakah dia itu kholifah atau penguasa atau wakilnya atau seorang wali (gubernur), atau orang yang menjabat sebagai pemutus perkara berdasarkan syariat atau wakilnya, sampai orang yang memutuskan perkara dikalangan anak-anak pada garis-garis yang mereka perselisihkan. Inilah yang dinyatakan oleh para sahabat Nabi SAW, dan pendapat inilah yang kuat”. (Majmuu’ Fataawaa XXVIII / 254).

Inilah dalil-dalil yang memperbolehkan bertahkim atas dasar kerelaan kepada seseorang yang mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara, yang mana orang tersebut bukan qodhiy yang ditunjuk oleh Imam di negara Islam, yang memerintah dengan berlandaskan syariat Islam. Dan Abu Bakar Ibnul Mundzirijma’ atas bolehnya hal ini. telah menukil



Catatan: beberapa perbedaan antara Hakam dan Qodhiy:

1. Hakam tidak perlu diangkat oleh Imam ketika itu. Sedangkan Qodhiy, ia tidak menjabat kedudukan itu kecuali dia diangkat oleh Imam.

2. Hakam tidak bisa memutuskan perkara kecuali atas kerelaan orang yang bertahkim, sedangkan qodhiy yang ditunjuk oleh Imam, ia memutuskan perkara antara orang yang bersengketa baik mereka rela maupun tidak rela. Dan dia berhak memaksa mereka untuk datang ke Majlis persidangan, jika mereka tidak mau datang dengan sukarela, ketika qodhiy menerima pengaduan.

3. Hakam tidak mempunyai hak secara umum untuk membahas persengketaan dan tidak pula mempunyai hak yang langgeng (terus menerus) untuk memutuskan perkara, karena hak secara umum dalam mengkaji dan kekekalan hak memutuskan perkara artinya adalah penguasa, dan yang semacam ini adalah hak qodhiy yang diangkat oleh imam.

Sedangkan hakam dan qodhiy mempunyai kesamaan dalam hal wajibnya memenuhi syarat-syarat untuk memutuskan perkara. Dan juga keputusan keduanya sama-sama harus diterima oleh orang yang bersengketa. Bedanya kalau qodhiy mempunyai kekuatan untuk melaksanakan hukumnya yaitu polisi, sedangkan hakam tidak mempunyai kekuatan jika ia membutuhkannya. Maka hendaknya orang yang bersengketa itu menerima pelaksanaan keputusannya –dan ini merupakan kewajiban mereka– namun jika mereka tidak mau melaksanakannya, ia bisa menulis surat kepada qodhiy yang diangkat imam, supaya memerintahkan pelaksanaan keputusannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah:

”Dan apabila qodhiy ini menulis surat kepada qodhiy kaum muslimin (yang ditunjuk) yang isinya adalah keputusannya, maka qodhiy tersebut wajib melaksanakan isi surat itu”. (Al-Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir XI/484) inilah pembahasan yang berkaitan dengan keadaan yang pertama (ketika ada pemerintahan Islam yang melaksanakan hukum Islam). Bersambung

[Judul asli: Wujuubut-Tahaakum Ilasy-Syari’ah karya Syaikh ‘Abdul Qadir Bin ‘Abdul ‘Aziz, diterjemahkan oleh Abu Hamzah].