Thursday, November 3, 2022

Apakah pengkritik penguasa kwawsriji

 Apakah kelompok yang mengkritik penguasa zalim bisa disebut khawarij? Itu tidak akan saya bahas di tulisan ini, silakan bisa dibaca di buku berjudul Catatan Kritis Seputar Dakwah Islam. Bisa dicari di Shopee.


Tapi saya hanya ingin sedikit memberikan kritik penulis buku ini, yaitu Dr. Muhammad Mahzun. Sebagian penulis sejarah Islam telah memandang bahwa permasalahan munculnya kelompok Khawarij adalah "semata-mata" dari perkara politik (kekhalifahan). Artinya, sebagian penulis tersebut melepaskan sisi terpenting dari munculnya persoalan kelompok Khawarij, yaitu sisi keimanan.


Dr. Muhammad Mahzun berpendapat, orang yang memandang persoalan kelompok Khawarij hanya dari sisi politik, telah menjadikan politik kontemporer untuk menghukumi persoalan politik masa lalu. Politik kontemporer di dunia modern seperti sekarang ini telah kehilangan "ruh" nya, dan sangat materialistik. Jauh dari perkara-perkara keimanan. Dan bisa jadi, pandangan semacam ini sangat dipengaruhi oleh polemik "pemisahan agama dan politik".


Kelompok Khawarij, dalam pandangan Dr. Muhammad Mahzun, sejak awal kemunculannya berakar pada Peristiwa Tahkim, yang mana orang-orang pengikut Ali ini telah minta Ali untuk mengikuti arahan politik Muawiyah yang dengan siasatnya dia meminta kaum muslim untuk "berhukum dengan hukum Allah". Namun, Ali yang juga merupakan seorang ahli politik dan strategi, tahu betul siasat politik Muawiyah. Karena itu, Ali menolaknya. Hingga perdebatan pun muncul antara Ali dan sebagian pendukungnya, yang berakhir dengan keluarnya (khuruj) sebagian dari mereka dari barisan pendukung Ali.


Munculnya semangat sebagian para pengikut Ali ini untuk bertahkim, menurut Dr. Muhammad Mahzun, muncul karena dorongan keimanan. Buktinya, ketika Ali menolak permintaan mereka, maka mereka jatuhkan vonis kafir kepada Ali bin Abi Thalib dan kepada siapa saja yang berpihak kepadanya. Mereka beranggapan bahwa Ali telah bertahkim kepada manusia, dan itu merupakan bentuk kekafiran. Bahkan juga termasuk Muawiyah yang dianggapnya sebagai biang kerok permusuhan di antara kaum muslim. Ini menunjukkan bahwa perkara keimanan tidak bisa dilepaskan dari peristiwa kemunculan kelompok Khawarij, atau yang lebih umum adalah peristiwa konflik berdarah umat Islam yang berujung pada perpecahan. Seolah-olah Dr. Muhammad Mahzun ingin mengatakan, separah-parahnya peristiwa yang menimpa umat Islam, tidak jauh-jauh dari keimanan. Tidak seperti kelompok sekuler. Seluruh peristiwa kehidupan yang mereka alami, semuanya materialistis. Kosong dari ruh keimanan. Saya tidak mengiyakan pandangan ini. Tapi hanya sekedar menyampaikan apa yang saya dapat dari membaca tulisan Dr. Muhammad Mahzun.


Apakah ini menunjukkan bahwa Dr. Muhammad Mahzun sedang membela kelompok Khawarij? Jawabannya sama sekali tidak. Justru di dalam buku ini, beliau banyak mengkritik kelompok ini sebagai kelompok yang sangat suka menggunakan aksi-aksi kekerasan dalam aksi politik mereka. Silakan bisa dibaca sendiri dalam buku beliau Meluruskan Sejarah Islam: Studi Kritis Peristiwa Tahkim (Tahqiq Mawaqif ash-Shahabah fi al-Fitnah).


Dengan meminjam cara pandang Dr. Muhammad Mahzun tentang kemunculan kelompok Khawarij, saya ingin menarik ke masa sekarang di negeri kita tercinta Indonesia ini, tentang apa yang disebut politik identitas (kadang disebut politik aliran) dan politik integritas. Politik identitas atau politik aliran adalah politik yang berbasis pada konsep-konsep ideologi atau agama. Sedangkan politik integritas adalah politik yang didasarkan pada kesetiaan dan sikap-sikap membangun. Oleh sebagian kalangan, politik aliran atau politik identitas dianggap sebagai politik yang berbahaya dan bersifat memecah belah, karena itu politik ini harus dihindari dan dibuang jauh-jauh. Yang ditumbuhkan haruslah politik integritas, karena dinilai memiliki sifat membangun dan progresif.


Seorang tokoh sekuler yang ingin memisahkan agama dari politik (model orang yang dikritik Dr. Muhammad Mahzun), sangat getol mengungkit-ungkit peristiwa tahkim dan juga kemunculan kelompok-kelompok dalam Islam seperti Sunni dan Syiah, dan menyebutnya sebagai politik aliran atau politik identitas. Dengan berapi-api dia beberkan peristiwa tersebut dengan narasi bahwa, "Politik identitaslah yang telah memecah belah umat Islam. Politik identitaslah yang telah membuat kaum muslim terpecah belah menjadi sunni dan syiah. Maka politik identitas, apapun yang menjadi basisnya harus disingkirkan."


Sejurus dengan itu, sang tokoh sekuler ini menyatakan, "Politik integritaslah yang seharusnya kita miliki. Integritas kita sebagai seorang warga negara, integritas kita sebagai bangsa Indonesia. Karena itu, kita harus bersatu, hilangkan sekat-sekat keberagamaan kita." Memang tidak ingin menghapuskan agama, tetapi bagi dirinya, jelas terlihat bahwa agama itu hendaknya cukup hanya dalam ranah individu dan bukan di ranah politik atau ranah publik.


Orang seperti ini ingin mencitrakan, orang-orang yang memiliki semangat keberislaman atau semangat menerapkan syariat Islam sebagai pemecah belah bangsa karena terpengaruh politik aliran atau politik identitas. Orang yang ingin menerapkan syariat Islam juga dianggap tidak memiliki integritas terhadap bangsa dan negara. Begitu narasinya dibangun. Intinya, agama harus dijauhkan dari politik. Persaingan dalam pilpres juga tidak boleh membawa-bawa semangat keberagamaan.


Dengan meminjam pandangan disampaikan oleh Dr. Muhammad Mahzun, kita bisa memahami bahwa orang-orang yang hanya membahas kelompok Khawarij dari sisi politik, termasuk orang-orang yang telah melepaskan keimanan dalam pembahasannya. Orang-orang seperti ini, tidak berbeda dengan orang sekarang yang sangat getol mengungkit-ungkit peristiwa tahkim dan kemunculan Sunni-Syiah dalam rangka membenturkan soal politik identitas dan politik integritas.


Lihat saja, ketika orang sekuler mulai membicarakan soal politik identitas dan politik integritas, apakah ada perkara-perkara keimanan yang mereka sebutkan dalam masalah tersebut. Jawabannya jelas tidak ada. Pembahasan langsung menjurus pada konten yang dimaksud, yaitu politik identitas dan politik integritas, dan sama sekali tidak membahas aspek-aspek keimanan. Dimana posisi surga dan neraka dalam pembahasan politik identitas dan politik integritas? Dimana posisi ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya saat membahas hal tersebut? Dimana posisi rasa takut kepada Allah ketika mengungkit-ungkit soal politik identitas dan politik integritas? Jawabannya, jelas tidak ada. Semua ini memang tidak ada, karena semangat pembahasan politik identitas dan politik integritas itu lepas dari keimanan. Keimanan pembahasnya hanya sebesar dirinya, dan tidak terpancar keluar. Akibatnya ya begitu itu, kadang iman, kadang tidak iman. Iman hanya terbatas pada tempat tertentu, sedangkan di tempat lain, keimanan wajib dilepaskan. Na'udzubillah.


Seorang muslim yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, yang takut akan adzab-Nya, yang mengimani adanya hari akhir, yang mengimani adanya malaikat yang senantiasa mencatat amal perbuatan, yang mengimani adanya perintah dan larangan Allah, tentu akan menjadikan ini semua sebagai asas dari cara pandangnya, termasuk cara pandang dia terhadap politik identitas atau politik integritas. Politik identitas yang dia miliki akan semakin menegaskan dirinya sebagai seorang muslim seutuhnya, bukan seorang muslim yang hanya menggunakan iman dalam ranah tertentu dan melepaskan keimanan dalam ranah yang lain. Sedangkan integritas yang dia miliki adalah integritas dia sebagai seorang muslim dan bukan integritas seorang yang setengah muslim. Integritas seorang muslim didasarkan pada keimanan. Sehingga semangat membangunnya dan semangat persatuannya pun didasarkan pada keimanan.


Kemajuan peradaban Islam pada masa lalu, dan persatuan umat manusia di bawah naungan Islam di masa dulu, merupakan bukti nyata dari politik integritas yang dibangun berdasarkan keimanan. Muslim dan kafir dzimmi, hidup bersama dan bernaung dalam kepemimpinan politik Islam sebagaimana sejarah di masa lalu telah membuktikan.


Di masa Rasulullah saw, beliau telah menyatukan manusia dari berbagai latar belakang. Ada di antara mereka yang berasal dari perbedaan suku, seperti suku Aus dan Khazraj, atau suku-suku yang ada di Madinah dan kaum Muhajirin yang berasal dari Makkah. Ada juga sebagian Yahudi yang tunduk dan patuh dengan kepemimpinan Islam yang dibawa Rasulullah saw. Beliau pun melalui sabdanya menjamin keselamatan ahlu dzimmah, yang kemudian ditaati dan dilanjutkan khalifah-khalifah setelahnya. Hal ini tidak lain karena politik integritas yang didasarkan kepada Islam. Politik integritas dalam Islam akan menyatukan manusia dan menempatkannya pada martabat yang mulia. Hal itu karena sifat atau karakter dari Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw adalah rahmatan lil alamin atau menjadi rahmat bagi seluruh alam. Perkara-perkara yang menjerumuskan akal sehat dan berpotensi merusak manusia, baik dalam bentuk benda fisik (seperti khamr) maupun yang berbentuk pemikiran (seperti sekulerisme atau sosialisme komunisme), akan dilarang. Karena bisa menjerumuskan manusia dalam kehinaan.


Berbeda dengan politik integritas yang tidak didasarkan pada Islam. Politik ini sama sekali tidak didasarkan pada keimanan. Sehingga perkara-perkara yang berasal dari paham kebebasan atau liberalisme yang menjadikan manusia seperti binatang (bahkan lebih buruk daripada binatang), justru diperbolehkan untuk diadopsi. Bahkan kebebasan atau liberalisme inilah yang dijadikan asas politik identitas. Orang boleh beragama, orang boleh tidak beragama. Orang boleh memelihara budaya yang merusak keyakinan, orang boleh menjaga tradisi yang menyimpang dari aturan agama. Orang bebas minum khamr asal dengan ketentuan tertentu atau batasan tertentu, orang bebas pula apakah mau beragama atau tidak beragama. Satu-satunya yang tidak diperbolehkan adalah aturan agama mengatur kehidupan masyarakat. Ini yang tidak boleh. Karena itu, bagi seorang muslim, semakin Islami dia, semakin taat dia, maka dia akan dicap radikal dan bertentangan dengan politik integritas. Na'udzubillahi min dzalik.


Begitulah. Politik identitas atau politik aliran dilarang. Tidak boleh. Tidak boleh membawa-bawa agama atau simbol agama dalam politik. Tetapi bagi orang sekuler barangkali ada pengecualian. Kecuali jika mendekati masa pemilihan umum. Maka diperbolehkan melibatkan agama atau simbol-simbol agama dalam rangka meraup suara kaum muslim. Tidak heran jika banyak politisi sekuler mendadak terlihat alim dan Islami saat pemilihan umum menjelang. Inilah nasib umat Islam. Diperalat dan dipermainkan.

No comments: