Thursday, August 7, 2014

subsidi di cabut demi rakyat : kebohongan yang nyata


Subsidi Dicabut Demi Rakyat: Kebohongan Yang Nyata

Di tengah hiruk-pikuk kampanye Pilpres, Bank Dunia kembali menekan Pemerintah Indonesia dan presiden terpilih agar bisa mengurangi subsidi energi, khususnya subsidi BBM, bahkan menghapuskannya. Bank Dunia meminta presiden baru nanti bisa menaikkan harga BBM subsidi menjadi Rp 8.500/liter. Menurut Direktur Kemiskinan Bank Dunia untuk Asia Pasifik Timur, Sudhir Shetty, menyatakan kesejahteraan bisa dirasakan semua orang asalkan subsidi BBM dikurangi, bahkan dihilangkan, kemudian dialihkan ke program masyarakat miskin yang membutuhkan. “Ini perlu dipikirkan oleh pengambil keputusan,” tegasnya dalam Seminar Bank Dunia, Indonesia: Avoiding The Trap, Senin 23/6) di Hotel Mandarin, Jakarta.

Demi Rakyat, Subsidi Dihapus?

Kenaikan BBM selalu diikuti dengan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok dan naiknya tarif angkutan umum. Akibtanya, daya beli masyarakat berkurang atau terjadi inflasi. Kenaikan BBM juga akan membangkrutkan industri kecil dan menengah. Dampaknya adalah terjadinya PHK. Bisa dipastikan, kenaikan BBM justru meningkatkan jumlah rakyat miskin.

Karena itulah setiap rencana kenaikan BBM selalu diikuti dengan janji Pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi rakyat miskin yang terkena dampak kenaikan BBM. Kompensasi bisa dalam bentuk bantuan tunai langsung atau janji mengalihkan anggaran subsidi untuk peningkatan belanja infrastruktur yang diklaim bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Namun, itu semua sebenarnya hanya kebohongan yang selalu di ulang-ulang. Faktanya sebenarnya, setiap kenaikan BBM berdampak pada peningkatan jumlah orang miskin dan pengangguran. Pada awal tahun 2006 (setahun setelah kenaikan harga BBM 30% pada tahun 2005), misalnya, jumlah orang miskin melonjak menjadi 39,05 juta (17,75%). Artinya, program BLT yang digelontorkan saat itu tidak berhasil menekan dampak kenaikan harga BBM. Begitu juga tahun 2013. Menurut Menteri Perencaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana, akibat kenaikan harga BBM bersubsidi, jumlah orang miskin baru mencapai 4 juta jiwa. (Kompas.com, 27/5/2013).
.
Di Balik Pesan Berulang Bank Dunia

Bank Dunia dan para ekonom kapitalis tak pernah kenal lelah. Mereka terus-menerus menyerang kebijakan subsidi BBM. Berbagai dalih mereka kemukakan. Tujuannya agar kenaikan BBM diterima oleh rakyat. Mereka bahkan selalu mengatakan “demi kepentingan rakyat atau untuk kesejahteraan rakyat” saat akan menaikkan BBM.

Sungguh ironis, penghapusan subsidi atau kenaikan harga BBM terus dilakukan ini meski merugikan dan menyengsarakan sebagian besar rakyat. Lalu sebenarnya untuk kepentingan siapa penghapusan subsidi BBM tersebut?
Sejak masa pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan SBY, IMF dan World Bank terus memberikan utang baik dalam bentuk utang proyek maupun dana segar. Utang proyek adalah utang dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan jasa secara kredit. Adapun utang yang berupa dana segar dari World Bank hanya diberikan dengan skema SAP (Struktural Adjustment Project). Pencairan SAP ini mensyaratkan Pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang mengarah pada kebijakan untuk:

1. Mengurangi peran Pemerintah dalam menyediakan barang publik seperti listrik maupun pelayanan umum seperti pendidikan dan kesehatan.
2. Memberikan keleluasaan pada pemilik modal untuk mengelola barang publik dan pelayanan umum sebagaimana mengelola perusahaan yang bertujuan mengejar dan menumpuk keuntungan.

Karena itu dapat ‘dimengerti’ jika arah kebijakan Pemerintah akan ‘condong ke pasar’, yakni pada kepentingan para pemilik modal, bukan ‘condong ke rakyat’.
Lalu muncullah Undang-undang Migas. Sejak UU No. 22/2001 tentang migas diundangkan, perlahan-perlahan migas akan diliberalisasi. Mulai 2005 harga beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM) sudah bisa dinaikkan secara bertahap sesuai mekanisme pasar. Karena itu kenaikan BBM merupakan salah satu amanat UU Migas No. 22/2001. UU ini menyerahkan harga migas pada mekanisme pasar seperti yang disebutkan dalam pasal 2: Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengola-han, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan.

Pasal ini dikuatkan dengan Perpres No. 5/ 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c: “Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertim-bangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.”

Ketentuan ini diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM: Program utama: (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional.

Karena itulah sejak Tahun 2008, Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) sudah “mengejar-ngejar” Pemerintah Indonesia agar memastikan penghapusan subsidi BBM. Pada 1 November 2010, Sekjend OECD, Angel Gurria, menemui sejumlah pejabat tinggi Indonesia, termasuk Wapres Boediono dan Menkeu waktu itu, Agus Martowardoyo. OECD menyakinkan Pemerin-tah Indonesia agar segera menghapus subsidi BBM dan listrik hingga 2014.

Forum G-20 di Pittsburgh (2009) dan Gyeongju (2010) juga mendesak penghapusan subdisi BBM. Di Gyeongju, Korea Selatan, Pemerintah Indonesia menjanjikan akan melaksanakan penghapusan subdisi energi, khususnya BBM dan TDL, mulai pada tahun 2011. Maka dari itu, kenaikan BBM sebenarnya tidak ada kaitannya dengan defisit anggaran, fiskal yang tidak sehat maupun naiknya harga minyak mentah dunia. Semua itu hanya dijadikan alat atau momentum untuk menutupi alasan sebenarnya, yaitu liberalisasi secara menyeluruh di bidang migas dan energi.

Kesejahteraan Rakyat dalam Persfektif Islam.

Sistem kapitalis telah gagal memberikan kesejahteraan kepada umat manusia baik secara materi maupun non materi. Dalam indikator ekonomi, rasio gini Indonesia tahun 2013 menyentuh angka 0,41. Artinya, 1% penduduk menikmati 41% pendapatan, kekayaan atau sumberdaya. Kondisi ini menggambarkan ketimpangan yang luar biasa antara penduduk kaya dan penduduk miskin. Jadi, walaupun Indonesia negara kaya, jumlah penduduk miskinnya saat itu melebihi 100 juta orang. Adapun mereka yang secara ekonomi tergolong menengah dan kaya, walaupun secara materi kebutuhan pokoknya terpenuhi bahkan sampai kebutuhan sekunder dan tersiernya bisa mereka nikmati, ternyata banyak yang tidak merasakan kebahagian dan kesejahteraan sehingga hidupnya penuh dengan tekanan alias stres.

Karena itulah kesejahteraan dalam pandangan Islam bukan hanya dinilai dengan ukuran material saja. Kesejahteraan juga dinilai dengan ukuran non-material seperti kebutuhan spiritual yang terpenuhi, nilai-nilai moral yang terpelihara dan keharmonisan sosial yang tercipta.

Dalam pandangan Islam, masyarakat dikatakan sejahtera bila terpenuhi dua kriteria. Pertama: kebutuhan pokok setiap individu rakyat terpenuhi; baik pangan, sandang, papan, pendidikan maupun kesehatannya. Kedua: agama, harta, jiwa, akal dan kehormatan manusia terjaga dan terlindungi.
Dalam pandangan syariah Islam kewajiban mewujudkan kesejahteraan merupakan tugas bersama individu, masyarakat dan negara.
Secara individual, setiap Muslim didorong untuk mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya—tubuh, akal, waktu dan usia—yang merupakan anugerah Allah SWT. Setiap individu didorong agar menggunakan kaidah kausalitas untuk mewujudkan kesejahteraan-nya. Agar tercukupi kebutuhannya, setiap lelaki dewasa wajib bekerja. Setiap orang wajib memperhatikan siapa saja keluarga dan kerabatnya yang menjadi tanggungannya. Negara dapat melakukan intervensi ketika ada seseorang yang malas bekerja atau terlantar. Padahal ada anggota keluarganya yang berada.

Negara memiliki peran yang sangat besar dalam mewujudkan kesejahteraan, yaitu melalui kebijakan politik ekonomi Islam. Semua ini diwujudkan dalam bentuk politik anggaran, politik pertanian, politik industri dan lain-lain.
Adapun masyarakat memiliki fungsi utama, yakni kontrol sosial. Mereka harus bisa ikut memastikan individu bisa terus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Mereka juga berperan dalam mengawasi dan mengoreksi pemerintahan agar istiqamah dalam menerapkan syariah Islam yang menjamin pemenuhan kesejahteraan di masyarakat.

Dengan demikian kesejahteraan tidak hanya buah sistem ekonomi semata. Kesejahteraan juga buah dari sistem hukum, sistem politik, sistem budaya, dan sistem sosial. Allah SWT telah menjadikan agama ini sebagai dînul kâmil, agama yang sempurna. Syariahnya mengatur seluruh aspek kehidupan baik politik, ekonomi, hukum, sosial maupun budaya. Bila syariah diterapkan secara kaffah oleh Daulah Khilafah, niscaya kesejahteraan hakiki akan terwujud dalam kehidupan ini. Demikianlah sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membukakan pintu keberkahan dari langit dan bumi untuk mereka. Akan tetapi, mereka mendustakan ayat-ayat Kami. Karena itu Kami menyiksa mereka atas apa yang mereka lakukan (QS al-A’raf [7]: 96).
WalLahu a’lam bi ash-Shawab. []

No comments: