Sunday, August 14, 2022

MEMBONGKAR ULAMA DAN KITAB RUJUKAN KAUM SEKULAR YANG SANGAT ANTI KHILAFAH

 MEMBONGKAR ULAMA DAN KITAB RUJUKAN KAUM SEKULAR YANG SANGAT ANTI KHILAFAH 


Oleh : Abulwafa Romli

https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/08/membongkar-ulama-dan-kitab-rujukan-kaum.html?m=1


Bismillaah...

Kitab Al-Islam wa Ushululhukmi (الإسلام وأصول الحكم) ditulis setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah oleh Musthafa Kemal Attatruk tahun 1924 M. Pada kitab tersebut penulisnya Ali Abdur Roziq (1888 - 1966) yang ketika itu masih menjabat sebagai syaikh Al Azhar menyatakan, bahwa Islam itu agama tanpa negara, Islam itu risalah spiritual yang tidak punya kaitan dengan pemerintahan, politik dunia, pengelolaan alam dan pengaturan masyarakat. Dan bahwa Muhammad shollallahu `alaihi wasallam tidak mendirikan negara, tidak memimpin pemerintahan, tidak mengatur masyarakat dan tidak pernah mengajak kepada hal itu. Muhammad shallallahu `alaihi wasallam hanyalah seorang rasul penyampai wahyu. 


Intinya, Ali Abdur Roziq telah menyamakan agama Islam dengan agama Kristen dan lainnya, dan mengajak kepada akidah sekularisme yang memisahkan antara agama (Islam) dan negara.


• Tujuh Kesesatan Kitab Al Islam wa Ushulul Hukmi.


Setelah terbitnya kitab Al Islam wa Ushulul Hukmi Dewan Ulama Besar Al Azhar Cairo Mesir melakukan penelitian kemudian mengadili penulisnya sehingga ia dikeluarkan dari jajaran Ulama Al Azhar. 


Dewan Ulama Besar Al Azhar Mesir  yang ditandatangani oleh 24 ulama besar telah merilis Tujuh Penyimpangan Besar dalam kitab Al Islam wa Ushulul Hukmi sebagai berikut :


١. جعل الشريعة الإسلامية شريعة روحية محضة لا علاقة لها بالحكم والتنفيذ في أمور الدنيا.

1. Menjadikan syariah Islam sebatas syariah spiritual yang tidak punya kaitan dengan pemerintahan dan pelaksanaan urusan dunia.


٢. وأن الدين لا يمنع من أن جهاد النبي صلى الله عليه وسلم كان في سبيل الملك لا في سبيل الدين ولا لإبلاغ الدعوة إلى العالمين.

2. Bahwa agama (Islam) tidak melarang bahwa jihadnya Nabi shallallahu alaihi wasallam itu di jalan kekuasaan, bukan di jalan agama, dan tidak untuk menyampaikan dakwah ke seluruh dunia.


٣. وأن نظام الحكم في عهد النبي صلى الله عليه وسلم كان موضوع غموض أو إبهام أو اضطراب أو نقص وموجباً للحيرة.

3. Bahwa sistem pemerintahan di masa Nabi shallallahu alaihi wasallam itu topik yang tidak jelas, samar, kacau, kurang dan membingungkan.


٤. وأن مهمة النبي صلى الله عليه وسلم كانت بلاغاً للشريعة مجرداً عن الحكم والتنفيذ.

4. Bahwa tugas utama Nabi shallallahu alaihi wasallam hanyalah menyampaikan syariah yang terlepas dari pemerintahan dan pelaksanaan urusan dunia.


٥. إنكار إجماع الصحابة على وجوب نصب الإمام، وعلى أنه لابد للأمة ممن يقوم بأمرها في الدين والدنيا.

5. Mengingkari Ijmak Sahabat atas kewajiban mengangkat Imam A'zham (khalifah), dan bahwa umat harus memiliki Imam yang mengatur urusannya, baik urusan agama maupun dunia.


٦. إنكار أن القضاء وظيفة شرعية.

6. Mengingkari bahwa peradilan itu tugas pelaksanaan syariah.


٧. وأن حكومة أبي بكر والخلفاء الراشدين من بعده رضي الله عنهم كانت لا دينية.

7. Dan bahwa pemerintahan Abu Bakar dan para khalifah setelahnya radhiyallahu anhum itu bukan pemerintahan agama.


(Lihat; Hukmu Haiati Kibaaril 'Ulamaai fii Kitaabil Islaami wa Ushuulil Hukmi, hal. 5-6).


•Kemudian sejumlah Ulama Besar juga satu persatu membantah kitab Al Islam wa Ushulul Hukmi dan diantara kitab bantahannya ialah :


1. Kitab Haqiiqotul Islaami wa Ushuulul Hukmi (حقيقة الإسلام و أصول الحكم), karya Syaikh Muhammad Bukhait Al Muthi'iy.


2. Kitab Naqdhu Kitaabil Islam wa Ushuulil Hukmi (نقض كتاب الأسلام وأصول الحكم), karya Syaikh Al Khidhir Husain, terbit tahun 1926 M.


3. Kitab Naqdun 'Ilmiyyun likitaabil Islaami wa Ushuulul Hukmi (نقض علمي لكتاب الإسلام وأصول الحكم), karya At Thahir bin 'Asyur.


4. Al Islaam wal Khilaafah (الإسلام والخلافة), karya Dr. Muhammad Dhiyauddin Arrais.


Sangat wajar dalam kitab-kitab bantahan para Syaikhul Azhar yang merupakan panutan utama Ulama Ahlussunnah wal jama'ah, mereka sangat membela Khilafah dan sepakat memecat Ali Abdur Roziq dari jabatan Syaikhul Azhar karena kesesatan pemikirannya yang tertuang dalam kitabnya itu. Ali Abdur Roziq sendiri tercatat sebagai tokoh Muslim sekuler pertama dan menjadi rujukan bagi kaum sekular setelahnya dari mereka yang anti khilafah serta cinta sejati kepada sistem demokrasi - republik atau mulai main mata dengan sistem sosialis - komunis yang notabene sangat kontradiksi dari sistem khilafah.


• Lebih tegas lagi, Prof. Dr. Assayyid Taqiyuddin Assayyid telah menulis kitab berjudul: "Raddu Haiati Kibaaril ‘Ulamai ‘ala Kitaabil Islami wa Ushulil Hukmi li 'Ali Abdir Roziq" (رد هيئة كبار العلماء على كتاب الإسلام وأصول الحكم لعلي عبد الرازق). Dimana kitab itu memuat bantahan telak para Ulama Al-Azhar terhadap pemikiran sesat Ali Abdur Roziq.


Dan di bagian akhir kitab tersebut, beliau menjelaskan sanksi atas Ali Abdur Roziq:


"Maka, berdasarkan sebab-sebab tersebut, kami jajaran Ulama Al-Azhar berdasarkan ijma (kesepakatan) dua puluh empat Ulama dari Haiatu Kibaril Ulama menghukum Syaikh Ali Abdur Roziq, yang merupakan salah seorang Ulama Universitas Al-Azhar dan Hakim di Mahkamah Syar’iyah, dengan mengeluarkannya dari jajaran ulama, yakni dari jabatan Syiakhul Azhar dan Kehakiman.


Sanksi hukuman tersebut ditetapkan di Dar al-Idarah al-‘Ammah al-Ma’ahid ad-Diniyyah, pada hari Rabu, 22 Muharam 1344 H/12 Agustus 1925 M." [Radd Hay’at Kibar al-‘Ulama ‘ala Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm li Ali Abd al-Roziq].


• Ancaman bagi kaum sekular :

https://abulwafaromli.blogspot.com/2022/03/azab-bagi-kaum-sekular.html?m=1


*Ternyata Azab Kaum Sekular Sama Dengan Azab Kaum Munafik Dan Raja Fir'aun Beserta Keluarga Dan Tentaranya. Gak Percaya?* 


أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ ٱلْكِتَٰبِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْىٌ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلْعَذَابِ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

"Apakah kalian beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripada kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat [asyaddil 'adzaab]. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat" (QS. Al-Baq|arah [2]:85).


Wallahu A'lam bisshawab 

Semoga bermanfaat, aamiin


#KhilafahAjaranIslam

#IslamRahmatanLilAlamin

Thursday, August 4, 2022

Buku KENISCAYAAN RUNTUHNYA KAPITALISME

 KENISCAYAAN RUNTUHNYA KAPITALISME


July 29, 2022


Nama Kitab : Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah (Keniscayaan Runtuhnya Kapitalisme Barat).


Penulis : Hamad Fahmi Thabib (Abu Al-Mu’tashim) – Baitul Maqdis, Palestina


Tebal :  502 halaman


Sekilas Isi:


 


Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Pengantar


Bagi kaum sekular dan liberal di Barat, peradaban Kapitalisme dianggap peradaban yang paling hebat. Francis Fukuyama, pemikir Amerika asal Jepang, bahkan mengklaim dengan hancurnya komunisme awal 1990-an, peradaban Kapitalisme telah menjadi babak akhir sejarah (the end of history). (Usman, 2003:43).


Tapi apakah kehancuran komunisme berarti kehebatan kapitalisme? Nanti dulu. Mantan Presiden AS Richard Nixon sendiri tak begitu yakin akan kemampuan kapitalisme. Dalam bukunya Seize the Moment, Nixon menceritakan pertemuannya dengan Presiden Soviet Kruschev. “Anak cucumu nanti akan hidup di bawah naungan komunisme,” kata Kruschev kepada Nixon. Lalu Nixon menjawab,”Justru anak cucumu yang nanti akan hidup dalam kebebasan.” Nixon pun berkomentar,”Saat itu aku yakin apa yang dikatakan Kruschev salah, tapi aku justru tak yakin dengan ucapanku sendiri.” (Usman, 2003:46).


Walhasil, keruntuhan komunisme tidaklah otomatis berarti kapitalisme itu hebat. Karena sebenarnya kapitalisme tak kalah rusaknya dengan komunisme. Kerusakan kapitalisme inilah yang dibongkar total oleh Hamad Fahmi Thabib (Abu Al-Mu’tashim) dalam kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah (Keniscayaan Runtuhnya Kapitalisme Barat). “Kerusakan adalah tanda awal kehancuran,” tegas beliau dalam kitabnya itu (h. 490). Kitab inilah yang akan kita telaah kali ini.


Hamad Fahmi Thabib sendiri, adalah seorang ulama dan pemikir Hizbut Tahrir dari Baitul Maqdis, Palestina. Di tanah yang penuh barakah itulah beliau menulis kitabnya tersebut tahun 2004, dengan tebal 502 halaman. Thabib juga dikenal dengan karya-karya lainnya yang cemerlang dan visioner, yaitu kitab Al-Muâhadat fi Asy-Syariah Al-Islamiyah (Hukum Perjanjian dalam Syariah Islam) (2002), dan kitab Al-Khilafah Ar-Rasyidah Al-Mau’udah wa At-Tahaddiyat (Khilafah Rasyidah yang Telah Dijanjikan dan Tantangan-Tantangannya) (Jakarta : HTI Press), 2008.


Gambaran Isi Kitab


Thabib melihat dengan penuh keprihatinan bahwa umat manusia terutama di Barat kini tengah hidup menderita di bawah cengkeraman kapitalisme. Dalam berbagai sistem kehidupannya, khususnya sistem politik, ekonomi, dan sosial, manusia gagal menikmati hidup yang sejahtera dan bahagia. Mereka mencari jalan menuju keselamatan (thariqu an-najah) namun tak tahu harus melangkah ke mana.


Itulah yang melatarbelakangi Thabib menulis kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah. Dengan kitabnya itu Thabib bertujuan untuk membongkar kerusakan kapitalisme-demokrasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, serta menunjukkan bahwa tidak ada lagi jalan selamat kecuali kembali kepada ideologi Islam. (h. 9).


Metode penulisan Thabib untuk mencapai tujuannya itu cukup sistematik. Thabib mengkritik lebih dulu asas peradaban kapitalisme, yaitu ide sekularisme, sebelum mengkritik sistem-sistem kapitalis yang lahir dari asas itu, yaitu sistem politik, ekonomi, dan sosial. Thabib juga melakukan studi komparasi antara sistem-sistem kapitalis tersebut, dengan sistem-sistem selevel dalam Islam.


Berdasarkan metode itu, Thabib menjelaskan pikirannya dalam 3 (tiga) bab utama untuk menerangkan kerusakan kapitalisme, yaitu : Pertama, kerusakan sistem politiknya (h. 67-258). Kedua, kerusakan sistem ekonominya (h. 259-375). Ketiga, kerusakan sistem sosialnya (h. 376-488). Pada masing-masing bab, setelah menerangkan kerusakannya, Thabib secara kontras langsung membandingkan dengan sistem Islam.


Sekularisme Sumber Kerusakan


Sebelum menerangkan kerusakan kapitalisme dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, Thabib lebih dulu menerangkan sumber kerusakannya. Ibarat pohon, kapitalisme mempunyai akar tunggang yang menjadi sumber segala masalah, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).


Sekularisme adalah paham rusak, karena tidak memuaskan akal dan tidak selaras dengan fitrah manusia (h. 30). Disebut tak memuaskan akal, karena sekularisme hanya jalan tengah (al-hall al-wasath) antara dua kutub ekstrem, yaitu ketundukan total pada dominasi Gereja di satu sisi dan penolakan total terhadap agama Katolik di sisi lain. Akhirnya, diambil jalan tengahnya sebagai hasil langkah pragmatis, bukan hasil proses berpikir yang masuk akal. Tunduk total pada Gereja tidak, menolak total agama Katolik juga tidak. Jadi agama tetap diakui keberadaannya, tapi hanya berfungsi di gereja, tidak boleh lagi berperan di sektor publik seperti politik, ekonomi, dan sosial sebagaimana di Abad Pertengahan (486 – 1453 M). Bangsa Eropa Kristen sudah kapok hidup terbelakang di abad-abad kegelapan itu, ketika Gereja membunuh 300 ribu ilmuwan, 32 ribu di antaranya dibakar hidup-hidup. (h.24).


Disebut tak sesuai fitrah, karena sekularisme telah menafikan naluri beragama (gharizah tadayyun), sebagai bagian dari fitrah manusia. Padahal naluri beragama secara natural mengakui kelemahan dan ketidakmampuan diri dalam mengatur kehidupan. Thabib lalu menegaskan,”Kerusakan pada asas yang mendasari kapitalisme Barat inilah yang membawa atau mengakibatkan rusaknya segala aspek kehidupan praktis manusia.” (h. 50).


Kerusakan Sistem Politik


Sistem politik Barat adalah sistem rusak, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. Kerusakannya ada pada dua aspek : Pertama, pada sistemnya secara normatif (fikriyah); Kedua, pada praktiknya secara empiris (amaliyah). Sumber kerusakannya terpulang pada ide sekularisme, yang melenyapkan aspek spiritual (nahiyah ruhiyah) dalam politik dan hanya menonjolkan pertimbangan materi. (h. 69).


Politik dalam negeri Barat, nampak dalam penerapan ide kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Penerapan ketiga ide ini boleh dibilang tidak ada, atau kalaupun ada, sangat banyak kekangannya. Kebebasan beragama tidak dinikmati umat Islam secara wajar di Barat, karena mereka sering kali dilarang atau dibatasi untuk memiliki masjid. Bahkan di Perancis muslimah dilarang memakai kerudung. Kebebasan berperilaku juga banyak mengalami kekangan, misal ada UU yang melarang poligami (h. 80).


Mengenai demokrasi, faktanya kedaulatan bukanlah di tangan rakyat, melainkan di tangan pemilik modal. Untuk menjadi anggota senat diperlukan biaya 427.117 dolar AS, dan untuk menduduki jabatan presiden perlu 500 miliar dolar AS (data 1989). Praktik HAM juga menjadi tanda tanya besar, karena dengan mekanisme pasar, hak dasar manusia (sandang, pangan, & papan), hanya dapat diakses oleh orang kaya, bukan orang miskin. (h. 96).


Politik luar negeri ala kapitalisme juga penuh kerusakan. Thabib menjelaskan bahwa politik luar negeri kapitalis dibangun atas dasar imperialisme –dalam segala bentuknya– yang tak lepas dari karakter materialistik alias menghisap kekayaan. (h. 111). Imperialisme ini dapat berbentuk perang militer secara langsung untuk meraih hegemoni politik dan ekonomi, seperti yang dilancarkan AS di Panama, Irak, dan Afghanistan. Imperialisme dapat pula berbentuk penjajahan ekonomi melalui penguasaan moneter dan utang jangka panjang untuk menancapkan dominasi politik dan politik atas negeri yang berhutang. Dapat pula imperialisme itu berbentuk pengendalian lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan segenap organisasinya, atau berbentuk penyebaran ide-ide yang menyesatkan seperti globalisasi, WTO, dan perdagangan bebas. (h. 121). Imperialisme juga dilaksanakan melalui kaum liberal kaki tangan Barat untuk menyerang hukum-hukum Islam, seperti poligami, khitan perempuan, atau talak yang dianggap sebagai penindasan atas perempuan. (h. 126).


Setelah menerangkan kerusakan sistem politik Barat, Thabib kemudian menerangkan sistem politik yang benar, yaitu sistem politik Islam, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. (h. 166). Sistem politik Islam dibangun di atas dasar Aqidah Islamiyah, sehingga berbagai aturannya akan bersifat spiritual (ruhiyah), yaitu terkait dengan Allah SWT, terkait dengan pahala dan dosa. Sistem yang demikian akan menentukan makna kebahagiaan bagi individu. Orang akan bahagia saat merasa telah mentaati Allah dan merasa mendapat pahala. Sebaliknya orang akan merasa khawatir saat berbuat maksiat kepada Allah dan merasa mendapat dosa (h. 172).


Itu sangat berbeda dengan sistem politik kapitalis yang kosong dari aspek spiritual sehingga hanya mempertimbangkan aspek materi untuk menentukan bahagia tidaknya seseorang. Faktanya, dengan materi berlimpah tidak menjamin kebahagiaan. Thabib menceritakan kisah putera direktur perusahaan mobil Opel (Jerman). Sang putera mendapat limpahan harta yang tak terbatas. Sarapan pagi di Berlin, makan siang di Paris, dan makan malam di London. Menggunakan pakaian dan mobil terbaik. Teman perempuan bergonta-ganti. Tapi, dia merasa hampa dan akhirnya ditemukan mati bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri. Dia menulis surat,”Aku mengira kebahagiaan ada pada traveling (tamasya), tapi aku tak menemukannya. Aku pun mengira kebahagiaan ada pada perempuan, tapi aku pun tak mendapatkannya. Aku mengira kebahagiaan ada pada makanan dan minuman, tapi aku juga tak menemukannya. Mungkin aku dapat menemukan kebahagiaan di alam lain…” (h. 173).


Tujuan sistem politik Islam bukanlah untuk menghisap kekayaan, melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT, di bawah pimpinan Khalifah. Sistem Khilafah inilah yang akan mewujudkan ketenteraman (thuma`ninah) dengan menjamin keamanan, jaminan kebutuhan pokok, dan keadilan di dalam negeri. (h. 173).


Politik luar negeri Islam dengan jihad fi sabilillah juga bukan bertujuan materi, tapi bertujuan dakwah dan menerapkan Islam. Thabib membuktikan bahwa penduduk yang ditaklukkan melalui jihad akhirnya memeluk Islam secara sempurna seperti para penakluknya. Ini menujukkan hubungan yang baik antara penakluk dan yang ditaklukkan, karena adanya penerapan hukum Islam secara baik. Sejarah mengisahkan penaklukan Samarkand di Asia Tengah yang unik. Samarkand ditaklukkan secara militer tanpa didahului dakwah dan tawaran jizyah. Maka penduduknya yang non muslim memprotes kepada hakim. Hakim memutuskan telah terjadi penyimpangan, lalu memerintahkan pasukan Islam untuk keluar dari Samarkand dan mengulang proses penaklukan. Pasukan Islam diharuskan lebih dulu mendakwahi penduduknya agar masuk Islam atau menawari mereka membayar jizyah. Melihat keputusan hakim yang adil, penduduk Samarkand malah masuk Islam. (h. 226)


Kerusakan Sistem Ekonomi


Sistem ekonomi kapitalisme didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta, dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini, menurut Thabib tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi misalnya dianggap menguntungkan, meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga. (h. 271).


Kerusakan sistem ekonomi kapitalisme juga dapat dilihat dari berbagai institusi utama kapitalisme, yaitu sistem perbankan, sistem perusahaan kapitalisme (PT), dan sistem uang kertas (fiat money). Berbagai krisis ekonomi dan moneter seringkali bersumber dari sistem-sistem tersebut. (h. 277).


Sistem ekonomi Islam, sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalisme. Asasnya adalah wahyu yang selalu mengaitkan Aqidah Islam dengan hukum-hukum ekonomi. Jadi barang dilihat dari segi halal dan haram, bukan dari segi bermanfaat atau tidak. Bisnis prostitusi yang dibolehkan kapitalisme, dianggap ilegal karena hukumnya haram dalam Islam. (h. 300).


Islam juga menolak institusi utama kapitalisme. Sistem perbankan ditolak karena ribawi, sistem perusahaan kapitalisme ditolak karena bertentangan dengan hukum syirkah (perusahaan syariah), dan sistem uang kertas ditolak karena bertentangan dengan sistem moneter Islam yang berbasis emas dan perak. (h. 333).


Kerusakan Sistem Sosial


Sistem sosial (nizham ijtima’i) di Barat juga penuh dengan kerusakan, karena asasnya adalah sekularisme. Akibatnya interaksi pria wanita kering dari nilai sipiritual dan hanya didominasi pertimbangan materi semata. (h. 375).


Sekularisme juga menyebabkan wanita hanya dianggap komoditas dagang dan sebagai pemuas nafsu laki-laki semata. Perselingkuhan dianggap “pertemanan”, cerai dilarang, tapi poligami justru dianggap perbuatan kriminal. (h. 379-388).


Sistem sosial yang bobrok seperti ini, telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan kebejatan moral, dan melahirkan anak-anak zina (h. 398).


Sistem sosial Islam, asasnya adalah Aqidah Islam yang selalu mengaitkan interaksi pria wanita dengan pahala dan dosa (h. 439). Maka wanita dianggap sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, juga sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Perselingkuhan diharamkan, cerai dibolehkan, dan poligami tak dilarang.


Thabib berulang kali menegaskan, keruntuhan kapitalisme akan terjadi cepat atau lambat, sebagaimana sosialisme. Karena asasnya telah rusak, demikian pula berbagai sistem kehidupan yang dibangun di atas asas itu. Hanya Islam saja yang menjadi jalan keselamatan (thariq an-najah) umat manusia, bukan yang lain. [ ]


DAFTAR BACAAN


Al-Basyr, Muhammad bin Saud. Amerika di Ambang Keruntuhan (As-Suquuth min Ad-Daakhil). Penerjemah Mustholah Maufur. (Jakarta : Pustaka Al Kautsar). 1995.


Risen, James. Negara Haus Perang (State of War). Penerjemah Joko Subinarto. (Bandung : Zenit). 2007


Shoelhi, Mohammad. Di Ambang Keruntuhan Amerika. (Jakarta : Grafindo Khazanah Islam). 2007


Shutt, Harry. Runtuhnya Kapitalisme (The Decline of Capitalism). Penerjemah Hikmat Gumilar. (Jakarta : Teraju : 2005).


Usman, Muhammad Nuroddin. Menanti Detik-Detik Kematian Barat. (Solo : Era Intermedia). 2003.


Sumber :


Buku: Keniscayaan Runtuhnya KapitalismeKENISCAYAAN RUNTUHNYA KAPITALISME


July 29, 2022


Nama Kitab : Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah (Keniscayaan Runtuhnya Kapitalisme Barat).


Penulis : Hamad Fahmi Thabib (Abu Al-Mu’tashim) – Baitul Maqdis, Palestina


Tebal :  502 halaman


Sekilas Isi:


 


Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Pengantar


Bagi kaum sekular dan liberal di Barat, peradaban Kapitalisme dianggap peradaban yang paling hebat. Francis Fukuyama, pemikir Amerika asal Jepang, bahkan mengklaim dengan hancurnya komunisme awal 1990-an, peradaban Kapitalisme telah menjadi babak akhir sejarah (the end of history). (Usman, 2003:43).


Tapi apakah kehancuran komunisme berarti kehebatan kapitalisme? Nanti dulu. Mantan Presiden AS Richard Nixon sendiri tak begitu yakin akan kemampuan kapitalisme. Dalam bukunya Seize the Moment, Nixon menceritakan pertemuannya dengan Presiden Soviet Kruschev. “Anak cucumu nanti akan hidup di bawah naungan komunisme,” kata Kruschev kepada Nixon. Lalu Nixon menjawab,”Justru anak cucumu yang nanti akan hidup dalam kebebasan.” Nixon pun berkomentar,”Saat itu aku yakin apa yang dikatakan Kruschev salah, tapi aku justru tak yakin dengan ucapanku sendiri.” (Usman, 2003:46).


Walhasil, keruntuhan komunisme tidaklah otomatis berarti kapitalisme itu hebat. Karena sebenarnya kapitalisme tak kalah rusaknya dengan komunisme. Kerusakan kapitalisme inilah yang dibongkar total oleh Hamad Fahmi Thabib (Abu Al-Mu’tashim) dalam kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah (Keniscayaan Runtuhnya Kapitalisme Barat). “Kerusakan adalah tanda awal kehancuran,” tegas beliau dalam kitabnya itu (h. 490). Kitab inilah yang akan kita telaah kali ini.


Hamad Fahmi Thabib sendiri, adalah seorang ulama dan pemikir Hizbut Tahrir dari Baitul Maqdis, Palestina. Di tanah yang penuh barakah itulah beliau menulis kitabnya tersebut tahun 2004, dengan tebal 502 halaman. Thabib juga dikenal dengan karya-karya lainnya yang cemerlang dan visioner, yaitu kitab Al-Muâhadat fi Asy-Syariah Al-Islamiyah (Hukum Perjanjian dalam Syariah Islam) (2002), dan kitab Al-Khilafah Ar-Rasyidah Al-Mau’udah wa At-Tahaddiyat (Khilafah Rasyidah yang Telah Dijanjikan dan Tantangan-Tantangannya) (Jakarta : HTI Press), 2008.


Gambaran Isi Kitab


Thabib melihat dengan penuh keprihatinan bahwa umat manusia terutama di Barat kini tengah hidup menderita di bawah cengkeraman kapitalisme. Dalam berbagai sistem kehidupannya, khususnya sistem politik, ekonomi, dan sosial, manusia gagal menikmati hidup yang sejahtera dan bahagia. Mereka mencari jalan menuju keselamatan (thariqu an-najah) namun tak tahu harus melangkah ke mana.


Itulah yang melatarbelakangi Thabib menulis kitabnya Hatmiyah Inhidam Ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah. Dengan kitabnya itu Thabib bertujuan untuk membongkar kerusakan kapitalisme-demokrasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, serta menunjukkan bahwa tidak ada lagi jalan selamat kecuali kembali kepada ideologi Islam. (h. 9).


Metode penulisan Thabib untuk mencapai tujuannya itu cukup sistematik. Thabib mengkritik lebih dulu asas peradaban kapitalisme, yaitu ide sekularisme, sebelum mengkritik sistem-sistem kapitalis yang lahir dari asas itu, yaitu sistem politik, ekonomi, dan sosial. Thabib juga melakukan studi komparasi antara sistem-sistem kapitalis tersebut, dengan sistem-sistem selevel dalam Islam.


Berdasarkan metode itu, Thabib menjelaskan pikirannya dalam 3 (tiga) bab utama untuk menerangkan kerusakan kapitalisme, yaitu : Pertama, kerusakan sistem politiknya (h. 67-258). Kedua, kerusakan sistem ekonominya (h. 259-375). Ketiga, kerusakan sistem sosialnya (h. 376-488). Pada masing-masing bab, setelah menerangkan kerusakannya, Thabib secara kontras langsung membandingkan dengan sistem Islam.


Sekularisme Sumber Kerusakan


Sebelum menerangkan kerusakan kapitalisme dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, Thabib lebih dulu menerangkan sumber kerusakannya. Ibarat pohon, kapitalisme mempunyai akar tunggang yang menjadi sumber segala masalah, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).


Sekularisme adalah paham rusak, karena tidak memuaskan akal dan tidak selaras dengan fitrah manusia (h. 30). Disebut tak memuaskan akal, karena sekularisme hanya jalan tengah (al-hall al-wasath) antara dua kutub ekstrem, yaitu ketundukan total pada dominasi Gereja di satu sisi dan penolakan total terhadap agama Katolik di sisi lain. Akhirnya, diambil jalan tengahnya sebagai hasil langkah pragmatis, bukan hasil proses berpikir yang masuk akal. Tunduk total pada Gereja tidak, menolak total agama Katolik juga tidak. Jadi agama tetap diakui keberadaannya, tapi hanya berfungsi di gereja, tidak boleh lagi berperan di sektor publik seperti politik, ekonomi, dan sosial sebagaimana di Abad Pertengahan (486 – 1453 M). Bangsa Eropa Kristen sudah kapok hidup terbelakang di abad-abad kegelapan itu, ketika Gereja membunuh 300 ribu ilmuwan, 32 ribu di antaranya dibakar hidup-hidup. (h.24).


Disebut tak sesuai fitrah, karena sekularisme telah menafikan naluri beragama (gharizah tadayyun), sebagai bagian dari fitrah manusia. Padahal naluri beragama secara natural mengakui kelemahan dan ketidakmampuan diri dalam mengatur kehidupan. Thabib lalu menegaskan,”Kerusakan pada asas yang mendasari kapitalisme Barat inilah yang membawa atau mengakibatkan rusaknya segala aspek kehidupan praktis manusia.” (h. 50).


Kerusakan Sistem Politik


Sistem politik Barat adalah sistem rusak, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. Kerusakannya ada pada dua aspek : Pertama, pada sistemnya secara normatif (fikriyah); Kedua, pada praktiknya secara empiris (amaliyah). Sumber kerusakannya terpulang pada ide sekularisme, yang melenyapkan aspek spiritual (nahiyah ruhiyah) dalam politik dan hanya menonjolkan pertimbangan materi. (h. 69).


Politik dalam negeri Barat, nampak dalam penerapan ide kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Penerapan ketiga ide ini boleh dibilang tidak ada, atau kalaupun ada, sangat banyak kekangannya. Kebebasan beragama tidak dinikmati umat Islam secara wajar di Barat, karena mereka sering kali dilarang atau dibatasi untuk memiliki masjid. Bahkan di Perancis muslimah dilarang memakai kerudung. Kebebasan berperilaku juga banyak mengalami kekangan, misal ada UU yang melarang poligami (h. 80).


Mengenai demokrasi, faktanya kedaulatan bukanlah di tangan rakyat, melainkan di tangan pemilik modal. Untuk menjadi anggota senat diperlukan biaya 427.117 dolar AS, dan untuk menduduki jabatan presiden perlu 500 miliar dolar AS (data 1989). Praktik HAM juga menjadi tanda tanya besar, karena dengan mekanisme pasar, hak dasar manusia (sandang, pangan, & papan), hanya dapat diakses oleh orang kaya, bukan orang miskin. (h. 96).


Politik luar negeri ala kapitalisme juga penuh kerusakan. Thabib menjelaskan bahwa politik luar negeri kapitalis dibangun atas dasar imperialisme –dalam segala bentuknya– yang tak lepas dari karakter materialistik alias menghisap kekayaan. (h. 111). Imperialisme ini dapat berbentuk perang militer secara langsung untuk meraih hegemoni politik dan ekonomi, seperti yang dilancarkan AS di Panama, Irak, dan Afghanistan. Imperialisme dapat pula berbentuk penjajahan ekonomi melalui penguasaan moneter dan utang jangka panjang untuk menancapkan dominasi politik dan politik atas negeri yang berhutang. Dapat pula imperialisme itu berbentuk pengendalian lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan segenap organisasinya, atau berbentuk penyebaran ide-ide yang menyesatkan seperti globalisasi, WTO, dan perdagangan bebas. (h. 121). Imperialisme juga dilaksanakan melalui kaum liberal kaki tangan Barat untuk menyerang hukum-hukum Islam, seperti poligami, khitan perempuan, atau talak yang dianggap sebagai penindasan atas perempuan. (h. 126).


Setelah menerangkan kerusakan sistem politik Barat, Thabib kemudian menerangkan sistem politik yang benar, yaitu sistem politik Islam, baik politik dalam negeri maupun luar negerinya. (h. 166). Sistem politik Islam dibangun di atas dasar Aqidah Islamiyah, sehingga berbagai aturannya akan bersifat spiritual (ruhiyah), yaitu terkait dengan Allah SWT, terkait dengan pahala dan dosa. Sistem yang demikian akan menentukan makna kebahagiaan bagi individu. Orang akan bahagia saat merasa telah mentaati Allah dan merasa mendapat pahala. Sebaliknya orang akan merasa khawatir saat berbuat maksiat kepada Allah dan merasa mendapat dosa (h. 172).


Itu sangat berbeda dengan sistem politik kapitalis yang kosong dari aspek spiritual sehingga hanya mempertimbangkan aspek materi untuk menentukan bahagia tidaknya seseorang. Faktanya, dengan materi berlimpah tidak menjamin kebahagiaan. Thabib menceritakan kisah putera direktur perusahaan mobil Opel (Jerman). Sang putera mendapat limpahan harta yang tak terbatas. Sarapan pagi di Berlin, makan siang di Paris, dan makan malam di London. Menggunakan pakaian dan mobil terbaik. Teman perempuan bergonta-ganti. Tapi, dia merasa hampa dan akhirnya ditemukan mati bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri. Dia menulis surat,”Aku mengira kebahagiaan ada pada traveling (tamasya), tapi aku tak menemukannya. Aku pun mengira kebahagiaan ada pada perempuan, tapi aku pun tak mendapatkannya. Aku mengira kebahagiaan ada pada makanan dan minuman, tapi aku juga tak menemukannya. Mungkin aku dapat menemukan kebahagiaan di alam lain…” (h. 173).


Tujuan sistem politik Islam bukanlah untuk menghisap kekayaan, melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT, di bawah pimpinan Khalifah. Sistem Khilafah inilah yang akan mewujudkan ketenteraman (thuma`ninah) dengan menjamin keamanan, jaminan kebutuhan pokok, dan keadilan di dalam negeri. (h. 173).


Politik luar negeri Islam dengan jihad fi sabilillah juga bukan bertujuan materi, tapi bertujuan dakwah dan menerapkan Islam. Thabib membuktikan bahwa penduduk yang ditaklukkan melalui jihad akhirnya memeluk Islam secara sempurna seperti para penakluknya. Ini menujukkan hubungan yang baik antara penakluk dan yang ditaklukkan, karena adanya penerapan hukum Islam secara baik. Sejarah mengisahkan penaklukan Samarkand di Asia Tengah yang unik. Samarkand ditaklukkan secara militer tanpa didahului dakwah dan tawaran jizyah. Maka penduduknya yang non muslim memprotes kepada hakim. Hakim memutuskan telah terjadi penyimpangan, lalu memerintahkan pasukan Islam untuk keluar dari Samarkand dan mengulang proses penaklukan. Pasukan Islam diharuskan lebih dulu mendakwahi penduduknya agar masuk Islam atau menawari mereka membayar jizyah. Melihat keputusan hakim yang adil, penduduk Samarkand malah masuk Islam. (h. 226)


Kerusakan Sistem Ekonomi


Sistem ekonomi kapitalisme didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta, dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini, menurut Thabib tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi misalnya dianggap menguntungkan, meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga. (h. 271).


Kerusakan sistem ekonomi kapitalisme juga dapat dilihat dari berbagai institusi utama kapitalisme, yaitu sistem perbankan, sistem perusahaan kapitalisme (PT), dan sistem uang kertas (fiat money). Berbagai krisis ekonomi dan moneter seringkali bersumber dari sistem-sistem tersebut. (h. 277).


Sistem ekonomi Islam, sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalisme. Asasnya adalah wahyu yang selalu mengaitkan Aqidah Islam dengan hukum-hukum ekonomi. Jadi barang dilihat dari segi halal dan haram, bukan dari segi bermanfaat atau tidak. Bisnis prostitusi yang dibolehkan kapitalisme, dianggap ilegal karena hukumnya haram dalam Islam. (h. 300).


Islam juga menolak institusi utama kapitalisme. Sistem perbankan ditolak karena ribawi, sistem perusahaan kapitalisme ditolak karena bertentangan dengan hukum syirkah (perusahaan syariah), dan sistem uang kertas ditolak karena bertentangan dengan sistem moneter Islam yang berbasis emas dan perak. (h. 333).


Kerusakan Sistem Sosial


Sistem sosial (nizham ijtima’i) di Barat juga penuh dengan kerusakan, karena asasnya adalah sekularisme. Akibatnya interaksi pria wanita kering dari nilai sipiritual dan hanya didominasi pertimbangan materi semata. (h. 375).


Sekularisme juga menyebabkan wanita hanya dianggap komoditas dagang dan sebagai pemuas nafsu laki-laki semata. Perselingkuhan dianggap “pertemanan”, cerai dilarang, tapi poligami justru dianggap perbuatan kriminal. (h. 379-388).


Sistem sosial yang bobrok seperti ini, telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan kebejatan moral, dan melahirkan anak-anak zina (h. 398).


Sistem sosial Islam, asasnya adalah Aqidah Islam yang selalu mengaitkan interaksi pria wanita dengan pahala dan dosa (h. 439). Maka wanita dianggap sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, juga sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Perselingkuhan diharamkan, cerai dibolehkan, dan poligami tak dilarang.


Thabib berulang kali menegaskan, keruntuhan kapitalisme akan terjadi cepat atau lambat, sebagaimana sosialisme. Karena asasnya telah rusak, demikian pula berbagai sistem kehidupan yang dibangun di atas asas itu. Hanya Islam saja yang menjadi jalan keselamatan (thariq an-najah) umat manusia, bukan yang lain. [ ]


DAFTAR BACAAN


Al-Basyr, Muhammad bin Saud. Amerika di Ambang Keruntuhan (As-Suquuth min Ad-Daakhil). Penerjemah Mustholah Maufur. (Jakarta : Pustaka Al Kautsar). 1995.


Risen, James. Negara Haus Perang (State of War). Penerjemah Joko Subinarto. (Bandung : Zenit). 2007


Shoelhi, Mohammad. Di Ambang Keruntuhan Amerika. (Jakarta : Grafindo Khazanah Islam). 2007


Shutt, Harry. Runtuhnya Kapitalisme (The Decline of Capitalism). Penerjemah Hikmat Gumilar. (Jakarta : Teraju : 2005).


Usman, Muhammad Nuroddin. Menanti Detik-Detik Kematian Barat. (Solo : Era Intermedia). 2003.


Sumber :


Mazhab

 MAZHAB


Oleh: M. Shiddiq Al-Jawi


Pengertian Mazhab


Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).


Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali  hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.


Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i. (Nahrawi, 1994: 208).


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395).


Lahirnya Mazhab


Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H (Al-Hashari, 1991: 209; Khallaf, 1985:46; Mahmashani, 1981: 35). Pada masa ini, tercatat telah lahir paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dengan para imamnya masing-masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) (Lihat: al-’Alwani, 1987: 88; as-Sayis, 1997: 146).


Bagaimana mazhab-mazhab itu lahir di tengah masyarakat dalam kurun sejarah saat itu? Seperti dijelaskan Nahrawi (1994: 164-168), terdapat berbagai faktor dalam masyarakat yang mendorong aktivitas keilmuan yang pada akhirnya melahirkan berbagai mazhab fikih, antara lain:


Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.


Kedua, kesungguhan para ulama dan fukaha.


Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fikih dan fukaha


Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm). Pada masa ini telah dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadis, fikih, dan tafsir yang memudahkan tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fikih.


Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama. Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih (Nahrawi, 1994: 164-168. Lihat juga: Al-Hudhari Bik, 1981: 174-182; Khallaf, 1985:  46-48; Al-Hashari, 1991: 209-213).


Terbentuknya Mazhab


Bagaimana terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994: 386), berbagai mazhab itu terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian  (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.


Lebih jauh An-Nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut. Ini disebabkan adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash (An-Nabhani, 1994: 387-392). Penjelasannya sebagai berikut:


Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:


Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah; sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah. (Khallaf, 1985: 57-58).


Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai  ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya. (Khallaf, 1985: 58-59).


Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. (Khallaf, 1985: 59).


Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah. (An-Nabhani, 1994: 388-389).


Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadîts (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qûl). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘  (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum). (Khallaf, 1985: 61; Az-Zuhaili, 1996: 909-911).


Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil mafhûm mukhâlafah dari nash. (Khallaf, 1985: 64).


Tentang Bermazhab


Bolehkan kita bertaklid (mengikuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994:232) menyatakan, sesungguhnya Allah Swt. tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah Swt. kepada kita adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah saw. kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita. (QS al-Hasyr [59]: 7).


Karena itu, An-Nabhani menandaskan, secara syar‘î kita tidak dibenarkan kecuali mengikuti hukum-hukum Allah; tidak dibenarkan kita mengikuti pribadi-pribadi tertentu. (An-Nabhani, 1994: 232).


Akan tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Mereka mengambil hukum syariat yang digali  oleh orang lain, yaitu para mujtahidin. Karena itu, di tengah-tengah umat kemudian banyak yang bertaklid pada hukum-hukum yang digali oleh seorang mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka dan menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka (An-Nabhani, 1994: 232). Persoalannya, apakah bermazhab ini sesuatu yang dibenarkan syariat Islam?


An-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap masalah ini. Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah hukum-hukum syariat yang digali oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika umat berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah pribadi mujtahid (syakhsh al-mujtahid), bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan syariat Islam (An-Nabhani, 1994: 232).


Walhasil, para pengikut mazhab wajib memperhatikan hal ini dengan sangat seksama; sekali lagi, sangat seksama, yaitu bahwa yang mereka ikuti hanyalah hukum syariat yang digali oleh mujtahid, bukan pribadi mujtahid yang bersangkutan. Kalau seseorang bermazhab Syafi’I, misalnya, maka wajiblah dia mempunyai persepsi, bahwa yang dia ikuti bukanlah Imam Syafi’i sebagai pribadi (taqlîd asy-syaksh), melainkan hukum syariat yang digali oleh Imam Syafi’i (taqlîd al-ahkâm). Jika persepsinya tidak demikian, maka para pengikut mazhab pada Hari Kiamat kelak akan ditanya oleh Allah Azza wa Jalla, mengapa mereka meninggalkan hukum Allah dan mengikuti pribadi-pribadi yang statusnya juga sesama hamba-Nya seperti halnya para pengikut mazhab itu? (An-Nabhani, 1994: 232 & 394).


Bermazhab Secara Benar


Para pengikut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar tentang bermazhab (seperti diuraikan sebelumnya), wajib memahami setidaknya 2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab (Abdullah, 1995: 372), yaitu:


Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta‘âshub) terhadap mazhab yang diikutinya (Ibn Humaid, 1995: 54). Tidaklah benar, ketika Syaikh Abu Hasan Abdullah al-Karkhi (w. 340 H), seorang ulama mazhab Hanafi, berkata secara fanatik, “Setiap ayat al-Quran atau hadis yang menyalahi ketetapan mazhab kita bisa ditakwilkan atau dihapus (mansûkh).” (Abdul Jalil Isa, 1982: 74).


Karena itu, jika terbukti mazhab yang diikutinya salah dalam suatu masalah, dan pendapat yang benar (shawâb) ada dalam mazhab lain, maka wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang benar itu menurut dugaan kuatnya. Para imam mazhab sendiri mengajarkan agar kita tidak bersikap fanatik. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Idzâ shaha al-hadîts fahuwa madzhabî (Jika suatu hadis/pendapat telah dipandang sahih maka itulah mazhabku).” (Al-Bayanuni, 1994: 90).


Al-Hakim dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan, bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga pernah berkata, “Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadis, amalkanlah hadis tersebut dan lemparkanlah pendapatku ke tembok.” (Al-Dahlawi, 1989: 112).                            


Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab, kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Beliau pun membenarkan hal tersebut dengan taqrîr-nya. (Abdullah, 1995: 373).


Hizbut Tahrir Sebuah Mazhab?


Satu persoalan yang juga menarik adalah, apakah Hizbut Tahrir itu suatu mazhab atau bukan? Jawabnya, Hizbut Tahrir bukanlah sebuah mazhab, melainkan sebuah partai politik –non parlemen kufur– yang berideologi Islam. Hizbut Tahrir adalah sebuah kelompok yang berdiri di atas dasar ideologi Islam yang diyakini para anggotanya, yang diperjuangkan untuk menjadi pengatur interaksi masyarakat dalam segala aspek kehidupan.


Disebutkan dalam kitab Hizbut Tahrir (1995: 22) bab Keanggotaan Hizbut Tahrir, bahwa Hizbut Tahrir adalah partai bagi seluruh kaum Muslim tanpa melihat lagi faktor kebangsaan, warna kulit, dan mazhab mereka, karena Hizbut Tahrir memandang mereka semua dengan pandangan Islam. (Lihat: Hizbut Tahrir, 1995: 22).


Namun demikian, jika umat Islam menaruh kepercayaan (tsiqah) kepada kualitas keilmuan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, radhiyallâhu ‘anhu, pendiri Hizbut Tahrir, maka dimungkinkan akan dapat terwujud mazhab An-Nabhani—bukan mazhab Hizbut Tahrir—pada masa mendatang. Sebab, beliau adalah mujtahid mutlak yang memiliki metode istinbâth (ushul fikih) tersendiri dan meng-istinbâth hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut. Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhûm Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah (1991: 267) berkata, “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fukaha dan mujtahidin, namun beliau tidak mengikuti satu mazhab dari mazhab-mazhab yang telah dikenal. Sebaliknya, beliau mengadopsi ushul fikih yang khas bagi beliau dan menggali  hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut.”  Wallâhu a‘lam. [Pernah Dipublikasikan Jurnal Al-Wa’ie: 01/01/2005]


Daftar Pustaka


Abdullah, M. Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl sl-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.


Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah. 1989. Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Inshâf fî Bayân Asbâb al-Ikhtilâf). Terjemahan oleh Mujiyo Nurkholis. Bandung: CV Rosda.


Al-‘Alwani, Thaha Jabir. 1987. Adâb Al-Ikhtilâf fî al-Islâm. Washington: Al-Ma’had Al-‘Alami li Al-Fikr Al-Islami (IIIT).


Al-Bakri, As-Sayyid. T.t. I‘ânah ath-Thâlibîn. Jld. I. Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putera.


Al-Bayanuni, M. Abul Fath. 1994. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mazhab (Dirâsât fî al-Ikhtilâfât


al-Fiqhiyah). Terjemahan oleh Zaid Husein Al-Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu.


Al-Hashari, Ahmad. 1991. Târîkh al-Fiqh al-Islami Nasy’atuhu, Mashâdiruhu, Adwâruhu, Madârisuhu. Beirut: Darul Jil.


An-Nabhani, Taqiyuddin. 1994. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah. Jld.  I. Beirut: Darul Ummah


As-Sayis, M. Ali. 1997. Fiqih Ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâdi wa Athwâruhu). Terjemahan oleh M. Muzamil. Solo: CV Pustaka Mantiq.


Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Jld. II. Beirut: Darul Fikr.


Bik, M. Al-Hudhari. 1981. Târîkh Tasyrî‘ al-Islâmi. T.tp.: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah.


Ibn Humaid, Shalih Abdullah. 1995. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khilâf). Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.


Isa, Abdul Jalil. 1982. Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidak Boleh Diperselisihkan Antar Sesama Umat Islam (Mâ Lâ Yajûzu fîhi al-Khilâf bayna al-Muslimîn). Terjemahan oleh M. Tolchah Mansoer &


Masyhur Amin. Bandung: PT Alma’arif.


Khallaf, Abdul Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulâshah Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islâmî). Terjemahan oleh Zahri Hamid & Parto Djumeno. Yogyakarta: Dua Dimensi.


Mahmashani, Subhi. 1981. Filsafat Hukum Dalam Islam (Falsafah at-Tasyrî‘ fî al-Islâm). Terjemahan oleh


Ahmad Sudjono. Bandung: PT Alma’arif.


Nahrawi, Ahmad. 1994. Al-Imâm asy-Syâfi‘i fî Mazhabayhi al-Qadîm wa al-Jadîd. Kairo: Darul Kutub.


Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhûm al-‘Adalah al-Ijtimâ‘yah fî al-Fikri al-Islâmî al- Mu‘âshir. Beirut: Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah.

Monday, August 1, 2022

ISLAM ITU ADIL, DEMOKRASI ITU ZALIM

 *ISLAM ITU ADIL, DEMOKRASI ITU ZALIM*


Oleh: Zakariya al-Bantany


Di negara demokrasi itu, sangat banyak sekali yang namanya pengadilan. Dan juga banyak sekali gedung pengadilan. Beserta petugas pengadilan, dan aparat penegak hukum keadilan.


Namun, keadilan di dalam negara demokrasi itu realitas faktanya tidak ada. Sebab, keadilan dalam negara demokrasi itu, hanyalah ilusi belaka. Yang tersimpan di dalam kotak pandora hitam, penuh noda, ilusi dan fatamurgana.


Jadi, sangat wajar dalam negara demokrasi itu, hukum itu laksana pisau yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Bahkan, parahnya kini hanya makin tajam ke Islam, namun justru makin tumpul ke kafir.


Sesungguhnya keadilan itu hanya ada pada Islam. Sebab, Islam adalah keadilan itu sendiri. Selain Islam pasti zalim, kufur dan bathil.


Karena itulah, demokrasi itu pasti zalim, kufur dan bathil. Juga demokrasi sesat menyesatkan dan haram.


Jadi, mustahil demokrasi itu adil, dan mustahil pula bisa mewujudkan keadilan. Justru, demokrasi itu menjadi biang masalah berbagai kezaliman, penjajahan dan kerusakan. Di berbagai penjuru muka bumi ini, dan khususnya pula di seluruh penjuru negeri ini.


Maka, hanya Islam yang adil dan mampu pula mewujudkan keadilan itu sendiri. Sebab, Islam bersumber dari Dzat Yang Maha Adil. Yaitu, Allah SWT Sang Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam semesta, manusia, dan kehidupan.


Allah itu Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Dan Allah itu Maha Tahu apa yang terbaik bagi umat manusia, kehidupan dan alam semesta. Maka itulah, Allah menurunkan dan hanya memilih Islam. Sebagai agama, ideologi, way of life, dan sistem kehidupan yang paripurna dan terbaik. Bagi seluruh umat manusia, kehidupan dan alam semesta tersebut.


Oleh karena itu, Islam memiliki fikrah (pemikiran/mafahim/blueprint/konsepsi)-nya. Berupa seperangkat sistem peraturan hidup (an-Nidzham), yang menjadi solusi real untuk mewujudkan keadilan itu sendiri. Yaitu, Syariah Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dari perkara akidah, ibadah, makanan, minuman, pakaian, nafsiyah, dan akhlaqiyah. Hingga pula perkara mu'amalah [politik, ekonomi, sosial, budaya, pergaulan pria-wanita, pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan]).


Dan Islam pun memiliki thariqah (roadmap/metodologi)-nya, untuk menerapkan Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Yaitu, berupa kiyan siyasiy (institusi politik). Yang disebut Khilafah/Imamah (Daulah Islam/Darul Islam). Sehingga terwujudlah keadilan tersebut, di muka bumi dan di alam semesta.


Dan ini pernah terbukti selama lebih dari 13 abad lamanya. Ketika Khilafah/Imamah (Daulah Islam/Darul Islam) masih ada dan memimpin peradaban dunia. Sejak masa Rasulullah Saw berhasil mendirikan Daulah Islam yang pertama di Madinah. Dan kemudian beliau Saw pun menjadi kepala negara pertamanya. Kemudian dilanjutkan masa Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayah, dan Khilafah Abbasiyah. Hingga terakhir Khilafah Utsmaniyah, yang berakhir pada 03 Maret 1924 masehi.


Jadi, sangat wajar dan logis. Bila banyak ilmuwan dan sejarahwan Barat, yang secara objektif meneliti sejarah Khilafah. Akhirnya, mereka berkesimpulan mengakui keadilan dalam negara Khilafah Islam. Dan mereka pun memuji Khilafah Islam tersebut.


Mereka diantaranya seperti:


*1. Thomas Walker Arnold (Sejarahwan Kristen)*


T.W. Arnold ini adalah seorang orientalis dan sejarahwan Kristen. Meski dia beragama Kristen, ia ternyata memuji kerukunan beragama dalam negara Khilafah. Dalam bukunya, The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith. Ia banyak membeberkan fakta-fakta kehidupan beragama dalam negara Khilafah. Ia berkata:


"The treatment of their Christisn subject by of Ottoman emperors -at least for two centuries after their conquest of greece- exhibits a toleration such as was at that time quite uknown in the rest of Eroupe (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa)." [The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith, 1896, hlm. 134].


Dia juga berkata:


"....Kaum kalvinis Hungaria dan Transilvania serta Negara Utaris (Kesatuan). Yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut, juga lebih suka tunduk pada pemerintah Turki daripada berada dibawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik: kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam... kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen dibawah pemerintahan Sultan."


Orientalis Inggris ini juga berkata:


"Ketika Konstantinopel dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya pelindung gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil..."


*2. Will Durant (Sejarahwan Barat)*


Will Durant adalah seorang sejarahwan barat. Kalau T.W. Arnold tadi memuji kerukunan beragama negara Khilafah, Will Durant justru memuji kesejahteraan negara Khilafah. Dalam buku yang ia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, ia mengatakan:


"Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka."


*3. Mary McAleese (Presiden ke-8 Irlandia)*


Orang ketiga yang memuji negara Khilafah adalah Mary McAleese. Ia adalah Presiden ke-8 Irlandia yang menjabat dari tahun 1997 sampai 2011 . Selain Presiden, Ia juga anggota Delegasi Gereja Katolik Episkopal untuk Forum Irlandia Baru pada 1984 dan anggota delegasi Gereja Katolik ke North Commission on Contentious Parades pada 1996. Meski dia beragama kristen Katolik, namun tak disangka, ia memuji kedermawanan negara Islam (negara Khilafah).


Dalam pernyataan persnya, ia memuji bantuan Khilafah Turki Utsmani ke negaranya, Irlandia, sekitar tahun 1847. Bantuan itu dikirimkan ke Irlandia saat terkena musibah kelaparan hebat (The Great Famine), yang membuat 1 juta penduduknya meninggal dunia. Terkait bantuan itu, Mary McAleese berkata:


“Sultan Ottoman (Khilafah Utsmani)  mengirimkan tiga buah kapal, yang penuh dengan bahan makanan, melalui pelabuhan-pelabuhan Irlandia di Drogheda. Bangsa Irlandia tidak pernah melupakan inisiatif kemurahan hati ini,"


Untuk mengenang jasa Khilafah tersebut, kini Irlandia menggunakan logo Khilafah Turki Utsmani (Bulan Sabit) di Club Sepak Bolanya. "Selain itu, kita melihat simbol-simbol Turki pada seragam tim sepak bola kita," katanya.


 

*4. Karen Amstrong (Mantan Biarawati)*


Tak hanya dari kalangan sejarahwan dan presiden saja yang memuji Khilafah. Namun, kalangan mantan biarawati pun takjub akan Khilafah. Siapa dia? Dialah Karen Amstrong. Dia adalah mantan biarawati sekaligus penulis terkenal.


Tak beda jauh dengan T.W. Arnold, penulis Amstrong ini juga memuji kehidupan beragama yang ada dalam negara Khilafah (baca: peradaban Islam). Dalam negara Khilafah, agama selain Islam mendapatkan perlakuan yang sangat baik. Bahkan, menurut Karen Amstrong, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di Andalusia. "Under Islam, the Jews had Enjoyed a golden age in al-Andalus" tulis Karen Amstrong.


[http://m.voa-islam.com/news/citizens-jurnalism/2017/10/19/53842/empat-orang-barat-ini-memuji-negara-khilafah/].


So my brothers, do you still want democracy or do you just choose the Khilafah ?!


Wis Khilafah wae, titik tidak pakai koma. Khilafah yes, Syariah yes, Islam yes. Dan demokrasi no, kapitalisme no, sekulerisme no, titik.


Wallahu a'lam bish shawab. []


#DemokrasiNo

#IslamYes

#SyariahKhilafahYes

#ReturnTheKhilafah

#KhilafahReborn

Friday, July 29, 2022

Fatahilah

 Sejarah putra aceh di ibukota jakarta 


Fatahillah

( Faletehan/Pangeran Jayakarta I/ Pangeran Pasai/ Fathullah Khan)


Lahir : Pasai, Aceh Utara 1471 M

Sultan Cirebon ke - 3 : 1568 - 1570 M

Penakhluk Sunda Kelapa.

Orang Tua : ♂Mahdar Ibrahim, ♀Syarifah Siti Musallimah.

Istri : ♀Ratu Pambayun / Nyai Pembaya, ♀Ratu Wulung Ayu / Nyai Ratu Ayu, ♀Ratu Nawati Rarasa / Ratu Wanawati Raras.

Anak : ♂Pangeran Sendang Garuda, ♀Ratu Ayu Pembayun, ♀Ratu Nawati Rarasa / Ratu Wanawati Raras, Kyai Mas Abdul Aziz, Maulana Abdullah.

Wafat : Kesultanan Cirebon, Cirebon, Jawa Barat 1570 M

Makam : Jl. Alun-Alun Ciledug No.53, Astana, Kec. Gunungjati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat 45151.


Keterangan : 


Fatahillah dengan karomahnya, memimpin Pasukan Kesultanan Demak mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Pertempuran melawan Portugis, juga pernah dilakukan Fatahillah di Malaka. Ulama besar dan panglima perang yang tangguh ini, dilahirkan di lingkungan Kesultanan Pasai, Aceh, dengan nama Fadhillah atau Maulana Fadhillah pada 1471 dari ibu Syarifah Siti Musalimah binti Maulana Ishak, dan ayah, Mahdar Ibrahim Patakan bin Abdul Ghofur. Ayahnya merupakan mufti Kesultanan Pasai, yang terkenal menguasai ilmu-ilmu agama. Gelar Maulana diperoleh karena konon masih keturunan Nabi Muhammad, SAW (dari golongan Sayyid atau Syarif atau Habib).


Kemampuan Fatahillah di bidang kemiliteran, hingga membuatnya menjadi panglima perang yang handal, tak lepas dari lingkungannya di Kesultanan Pasai. Sebagai anak yang terlahir di lingkungan Kesultanan Pasai, dia memperoleh pendidikan kemiliteran terutama kemiliteran laut. Kesultanan Pasai yang terletak di Selat Malaka, sangat mengandalkan armada lautnya dibanding pasukan darat. Namun demikian, sebagai anak dari ulama besar Fadhillah juga memperoleh pendidikan ilmu-ilmu agama yang mumpuni.


Memasuki usia 24 tahun Fadhillah meninggalkan kampung halamannya, untuk merantau menambah pengalaman. Dia kemudian pergi ke Kesultanan Malaka, yang pada saat itu yang berkuasa adalah Sultan Mahmud Syah yang juga sahabat ayahnya. Sehingga Fadhillah mendapat kedudukan sebagai Tumenggung. Dalam ekpedisi pelayarannya ke Selat Malaka, karena karomah dan kedigdayaannya, Fadhillah sempat menghalau para bajak laut yang berkeliaran di Selat Malaka. Hal ini yang membuat kagum Laksamana Hang Tuah, pemimpin tertinggi Angkatan Laut Kesultanan Malaka. Karenanya ketika Laksamana Hang Tuah lengser, kedudukan sebagai laksamana dipercayakan kepadanya Fadhillah dengan gelar "Laksamana Khoja Hasan". Kepiawaian Fadhillah sungguh tidak mengecewakan, dia mampu mengamankan Selat Malaka, sehingga perniagaan melalui jalur ini aman dan menguntungkan kerajaan. Fadhillah mengabdi selama 15 tahun, tepatnya pada 1510 dia mengundurkan diri karena bermaksud kembali ke Pasai, untuk memperdalam ilmu keagamaan. Namun setelah satu tahun mengundurkan diri, yakni pada 1511 Kesultanan Malaka diserang dan berhasil diduduki Portugis, Sultan Mahmud Syah pun terpaksa mengungsi ke Pulau Bintan. Dari pengungsiannya ini Sultan Mahmud Syah meminta bantuan ke Demak. Atas permintaan ini armada Kesultanan Demak dipimpin Pati Unus pada 1512 menyerang Portugis di Malaka, tapi karena kurang persiapan maka kehabisan perbekalan sehingga pasukan ditarik mundur kembali ke Demak.


Dalam penyerangan oleh armada Demak ini Fadhillah turut bergabung, tapi ketika armada Demak mundur, dia tidak ikut ke Demak melainkan kembali ke Pasai. Di Pasai kegagalan serangan Demak, ramai dibicarakan oleh para pejabat kesultanan maupun para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Menurut mereka kegagalan serangan Demak bukan semata-mata kurangnya perbekalan saja, tetapi juga kalah dalam teknologi persenjataan (ketika itu pasukan Demak belum memiliki meriam) serta belum memahami betul strategi perang menghadapi bangsa Eropa. Berdasarkan saran para ulama, tokoh masyarakat serta para pejabat kerajaan yang takut serangan Portugis berlanjut ke Pasai, maka berangkatlah Fadhillah merantau guna mempelajari teknologi pembuatan senjata meriam dan strategi perang menghadapi bangsa Eropa yang lebih maju. Pilihan pertama yang dituju adalah negeri leluhurnya yakni daerah Nasrabat, India (tempat asal Maulana Jamaludin Husein/Syekh Jumadil Kubro). Di Nasrabat setelah dia bertemu sanak kerabatnya, dan dianjurkan menggunakan marga keluarganya yaitu Azmatkhan. Sehingga namanya menjadi Fadhillah Azmatkhan, namun entah kenapa dia lebih populer dengan nama Fadhillah Khan. Setelah selesai mempelajari teknik pembuatan senjata api dan meriam, Fadhillah Khan melanjutkan perjalanan ke Turki, guna mempelajari strategi perang melawan bangsa Eropa.


Pada tahun 1519 ketika Fadhillah bermaksud kembali ke Pasai, ternyata kapalnya tidak dapat memasuki Selat Malaka, karena sudah dikuasai Portugis yang pada 1513 juga telah menguasai Pasai. Karena tidak dapat masuk ke Selat Malaka, maka Fadhillah membelokkan kapalnya menuju Palembang, kemudian diteruskan ke Cirebon, guna menjumpai pamannya yang menjadi penguasa Cirebon, yaitu Sunan Gunung Jati. Mengingat pada waktu itu kesultanan Demak Bintoro, bermaksud mengadakan serangan kedua ke Malaka, maka oleh Sunan Gunung Jati, Fadhilah Khan diajak menghadap ke Demak menemui Sultan Pati Unus. Kehadiran Fadhillah yang datang dari Turki dengan membawa teknologi perang yang baru tentu saja membesarkan hati Kerajaan Demak, oleh karena itu Fadhillah Khan langsung diangkat sebagai wakil pimpinan pasukan tertinggi, sedangkan pimpinan pasukan tertinggi dijabat oleh Pati Unus dengan gelar Senapati Sarjawala.


Serangan kali ini boleh dibilang besar-besaran, karena selain dipimpin oleh Sultan Demak sendiri penyerangan ini menggunakan sekitar 400 kapal dan membawa lebih dari 10 ribu prajurit gabungan tiga kerajaan, sehingga sempat membuat Portugis was-was.


Tetapi saat perang baru berlangsung tiga hari, ada peluru nyasar menghantam kapal yang berakibat gugurnya Pati Unus, maka untuk menghindari kehancuran total Fadhillah Khan segera mengambil alih pimpinan pasukan, dan menarik mundur sambil menyelamatkan jenazah Pati Unus untuk dibawa kembali ke Demak. Kegagalan penyerangan besar-besaran ini membuat petinggi tiga kesultanan dan para wali berhitung. Jika harus mengulangi serangan ke Malaka, tentu membutuhkan biaya besar serta persiapan yang lama. Maka atas saran Sunan Gunung Jati strategi dirubah, kali ini bukan menyerang ke Malaka tapi dengan memancing Portugis keluar dari Malaka. Untuk itu perlu membatasi ruang gerak sekutu Portugis di Jawa, yaitu Kerajaan Pajajaran. Secara kebetulan pula, ketika itu Kerajaan Pajajaran telah mengundang Portugis untuk membuat Benteng di Sunda Kelapa, yang merupakan satu-satunya pelabuhan milik Kerajaan Pajajaran yang tersisa setelah Cirebon dan Banten menjadi Kerajaan Islam. Kehadiran Armada Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa telah ditunggu-tunggu oleh pasukan gabungan di bawah pimpinan Fadhillah Khan. Armada Portugis terdiri dari sejumlah kapal jenis Galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam.


Sedangkan Armada Perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa, yang ukurannya jauh lebih kecil dari Galleon. Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis. Namun dengan bekal teknologi persenjataan dari negeri leluhurnya (Nasrabat India) dan ilmu strategi menghadapi Eropa yang dipelajarinya dari Turki. Maka Fadhillah Khan beserta pasukannya mampu mengatasi pasukan darat Portugis yang menggunakan pedang, bedil, dan meriam serta berlindung dengan topi baja.


Sedangkan pasukan darat Fadhillah Khan hanya mengandalkan tombak, kujang, pedang, keris dan meriam-meriam kecil. Dengan karomah yang diberikan Allah SWT akhirnya pasukan Fadhillah Khan berhasil meluluhlantakkan pasukan darat Portugis, dan diikuti oleh armada lautnya pada 22 Juni 1527. Empat kapal Portugis yang berada di laut lepas tidak berani memasuki Teluk Sunda Kelapa dan memilih kembali ke Malaka. Pasca keberhasilan menghancurkan Portugis di Sunda Kelapa, Fadhillah Khan memperoleh gelar baru yakni Fatahillah yang artinya kemenangan dari Allah SWT. Pada 1568, Sunan Gunung Jati wafat, sedangkan cucunya yang direncanakan untuk mengganti kedudukannya (Pangeran Adipati Cirebon) justru telah meninggal lebih dahulu. Oleh karena itu, Fatahillah diangkat menjadi Sultan Cirebon dan masyarakat sering menyebutnya sebagai Sunan Gunung Jati II karena kepiawaiannya dalam ilmu agama.

Wednesday, July 20, 2022

TAHUKAH ANDA JIKA ANDA SEORANG SEKULER??

 TAHUKAH ANDA JIKA ANDA SEORANG SEKULER??


Oleh : Ustadzah Inayah Faizah


 Sekulerisme merupakan induk dari sistem kapitalisme dan sistem sosialis-komunis. Th 1648 negara2 Kristen Eropa mengadakan Perdamaian Westphalia(Peace of Westphalia) untuk mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan di Jerman. Pada perjanjian ini ditetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan atas konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus&gereja Katolik Roma. sehingga Perjanjian Westphalia dianggap sebagai cikal bakal Sekulerisme. 


 Sekulerisme ini lahir sebagai jalan tengah atau sikap moderat antara dua pemikiran yang kontradiktif yaitu :

1. Pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh rohaniawan gereja di eropa sepanjang Abad Pertengahan( abad V-XV) yaitu pemikiran yg mengharuskan ketundukan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama.

2.Pemikiran sebagian para filsuf&cendekiawan yang mengingkari keberadaan Al-Khaliq.

 

Akibatnya muncullah gerakan2 penentangan terhadap dogma2 gereja yg menjadi pemicu berbagai revolusi tak terkecuali dalam pmbentukan sistem pemerintahan. Pemisahan fungsi Agama dalam seluruh aspek kehidupan (Sekulerisasi)pun terjadi.


Sementara itu di Eropa Timur,Khilafah Ustmani mengalami kemunduran yang sangat cepat. Ditinggalkannya bahasa Arab sebagai Bahasa yg wajib dipelajari,ditutupnya pintu Ijtihad,masuknya paham2/pemikiran2 asing serta berbagai faktor yg menyebabkan kemunduran Islam-pun semakin masiv. Pada Th 1828 di masa Sultan Mahmud II, pemikiran dan sistem sekuler merasuk cepat ke tubuh Khilafah menggantikan pemikiran&sistem Islam.


Sekulerisme melalui jalur Demokrasi masuk lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi,munculnya mentri dalam struktur negara dan disusunnya beberapa undang2 yang diadopsi dari undang2 Barat. Keadaan semakin memburuk karena krisis ekonomi dan kekalahan atas perang Krimea dg Rusia(1856)sehingga negara Kristen Eropa berhasil memaksa Khilafah Ustmaniyah melepaskan diri sebagai Negara Islam sebagai syarat untuk masuk kedalam Keluarga Internasional,akibatnya kontrol terhadap wilayah2nya makin lemah. Hingga hilanglah kekuatan Khilafah Ustmaniyah yg berakhir dg pembubaran kekhilafahan pd tahun 1924.


Diatas hanya sedikit sejarah secara garis besar tentang awal sekulerisme&penyebarannya hingga sampai pd umat muslim. Patutnya kaum muslim sadar bahwa virus sekulerisme ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam.


Pemisahan fungsi agama dalam seluruh aspek kehidupan (baca-sekulerisasi)membuat sebagian besar kaum muslim anti melibatkan agama dalam beberapa urusan umat. Tak hanya dibidang politik yang mereka bilang "jangan bawa2 agama dalam berpolitik",tapi hampir disegala bidang kehidupan. seolah Islam hanyalah agama ruhiyah yang hanya boleh diranah ibadah saja.


Mari kita cek lagi ayat ini :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

[البقرة/208]


“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.” [Al-Baqarah : 208]


Kata kaffah ini berasal dari bahasa Arab,  , yang dalam kamus “al-Munjid” (1986) berarti  (kelompok), atau   (seluruh mereka). Demikian pula dalam A Dictionary of Moderen Written Arabic (1974), kata   diartikan sebagai totality, entirety (keseluruhan, semuanya). Al-Jalalain (1984) menafsirkan kaffah: masuklah ke dalam Islam dengan seluruh keadaan lahir maupun batin. Hal ini juga sejalan dengan tafsiran al-Wajiz (tnp. Th): masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, tidak sebagian-sebagian, dan amalkanlah seluruh hukum-hukumnya, dan tidak bersikap munafik. Al-Maraghi (tnp. Th) menerangkan bahwa ayat itu berarti perintah untuk mengambil Islam secara keseluruhannya, memahami maksud-maksudnya, mengamalkannya, serta menerapkan keseluruhan hukum-hukumnya tanpa terkecuali.


Belum lagi ayat-ayat lain yang mewajibkan kita untuk melakukan setiap amal perbuatan tak boleh terlepas dr hukum-hukum syara'. mulai dari bangun tidur hingga bangun negara, aturan masuk kamar mandi hingga keluar negri-pun ada. Pantaslah jika ada yang mengaku muslim tapi masih menganggap Islam sebagai agama ritual belaka, tak mau menerapkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupannya,bahkan masih mengambil hukum-hukum selain Islam dalam urusan umat, maka akan digolongkan sebagai kaum SEKULER.


Renungkanlah...


وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (50)


“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik [49]. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? [50]”


Tak ada kata terlambat untuk merubah pemikiran, campakkan pemikiran sekuler dan kembali pada pemikiran Islam agar predikat muslim tak hanya sekedar identitas disaat kita wafat saja. wallahu'alam bisshowab..


#UninstallSekulerisme

#InstallIslamKaffah

#khilafahAjaranIslam


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2232422866848395&id=2176570719100277

Saturday, July 16, 2022

CIRI- CIRI ORANG YANG KELIHATAN SHOLEH TAPI PEMIKIRAN MASIH SEKULER

CIRI- CIRI ORANG YANG KELIHATAN SHOLEH TAPI PEMIKIRAN MASIH SEKULER

Oleh : Prof. Dr.Ing. H. Fahmi Amhar 

Orang itu, subhanallah, begitu sholehnya.
Tak pernah ia ketinggalan sholat shubuh di masjidnya. Puasa Dawud juga selalu dikerjakannya. Istri dan putri-putrinya juga memakai jilbab dengan anggunnya. Taddarus Qur'an, ya setiap hari minimal satu juz dibacanya. Menghafal Qur'an bahkan salah satu obsesinya. Dia juga gemar bersedekah ke siapa saja. Atau silaturahmi ke para Ulama dan orang-orang tua.

Shalawat dan dzikir sering menghias bibirnya. Kalau pilih makanan, halal itu nomor satu baginya. Dan pergi umrah menjadi ritual tahunannya. Ya, orang itu begitu sholehnya.

Namun dia menganggap perbankan ribawi tak usah dilarang negara; toh bank syariah sudah dibolehkan, biarlah semuanya saling berlomba. 

Soal HPH, konsensi tambang atau sejenisnya itu bukan urusan ulama; biarlah semua diserahkan kepada para ahlinya.

Ulama juga tidak usah ribut soal hutang luar negeri yang terus berbunga,kalau perlu datangkan pakar dari IMF atau Bank Dunia.

Dia juga menganggap pelacuran di berbagai kota bukan urusannya; toh negara belum mampu memberikan solusi pada para PSK-nya; yang penting dia tidak terlibat, apalagi menikmatinya.

Kalau soal pornografi, ulama silakan menjaga umatnya saja; tidak usah ribut-ribut, apalagi mendemo televisi dan media.

Dia juga menganggap wajar miras ditawarkan di hotel bintang lima; kan ada turis asing atau non muslim yang menikmatinya; yang penting bukan di minimarket di dekat rumahnya.

Dia bahkan menganggap hukuman hudud dan qishash itu tidak perlu ada, karena hukuman yang sekarang ini sudah lebih adil begitu rupa.

Maka ternyata, orang sholeh itu bisa sekuler juga.

Seolah-olah Qur'an yang dia baca, itu hanya untuk individu saja, sama sekali tidak berlaku untuk masyarakat, apalagi negara.

Kita yang selama ini salah duga, seolah-olah, yang sekuler itu pasti fasik lah orangnya. Padahal antara kesalehan individu dan kesalehan sosial, ya inilah bedanya.

Orang sholeh yang sebenarnya tidak pernah membedakan ayat tentang puasa: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al Baqarah: 183),

dengan ayat tentang qishaash atas pembunuhan berencana: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).

Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka siksa yang sangat pedih baginya." (QS. Al Baqarah: 178)

Dia tidak membeda-bedakan ayat, karena semua adalah perintah-Nya. Dan Dia Yang Maha Tinggi lebih tahu tentang segalanya.[]

Sanad ilmu Al allamah Syaikh Taqiyuddin An Nabhani Rahimahullah

 Nih silahkan di simak sanad ilmu Al allamah Syaikh Taqiyuddin An Nabhani Rahimahullah


Ustadz Ahmad bin Mukhtar (anggota grup FTI ini) sedang melakukan penelusuran ke berbagai sumber terkait silsilah guru dan murid, ditemukan ringkasan sanad syaikh Taqiyuddin al-Nabhani sbb:


1. Sanad ilmu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy bersambung ke Imam Ahmad


Syaikh al-Mujaahid Taqiyuddin an-Nabhaniy, dari Syaikh Yusuf bin Isma'il an-Nabhaniy, dari Syaikh Yusuf al-Barqaawiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Hasan asy-Syiththiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Mushthafa bin Sa'id ar-Ruhaybaaniy as-Suyuthiy al-Hanbaliy, dari Syaikh asy-Syihaab Ahmad bin 'Abdullah ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Abu al-Mawaahib Muhammad bin 'Abdul Baqiy ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy dan Syaikh al-'allamah al-Fahhamah 'abdul Qadir bin 'umar at-Taghlubiy ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, [**keduanya**] dari Syaikh 'Abdul Baqiy bin 'Abdul Baqiy ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Mu'ammar 'Abdur Rahman bin Yusuf 'Ali al-Buhuutiy al-Mishriy al-Hanbaliy, dari Syaikh Taqiyuddin bin Ahmad an-Najjaar al-Futuuhiy al-Hanbaliy dari Syaikh Abu al-Qadhiy asy-Syihaab Ahmad bin 'Abdul 'Aziz al-Qaahiriy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Qadhiy asy-Syihab Abu Haamid Ahmad bin Nuur ad-Din al-Hanbaliy dan Syaikh Badr ad-Din Abu al-Ma'aaliy Muhammad an-Naashir al-Mishriy al-Hanbaliy dan asy-Syihab Ahmad al-Jawjariy al-Qahiriy al-Hanbaliy, [**semuanya**] dari Syaikh al-Qadhiy 'Izzuddin abu al-Barkaat Ahmad bin al-Qadhiy Burhan ad-Din al-Kinaaniy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Jamaal 'Abdullaah bin al-Qadhiy 'Ala ad-Din 'Ali al-Kinaaniy al-Hanbaliy, dari 'Ala ad-Din Abu al-Hasan 'Ali ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Fakhr 'Ali bin Ahmad al-Maqdisiy al-Hanbaliy (dikenal sebagai Ibn al-Bukhaariy), dari Syaikh Abu 'Ali Hanbal bin 'Abdullah ar-Rishaafiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Abu al-Qaasim Hubatullaah bin Muhammad al-Hanbaliy, dari Abu 'Ali al-Hasan bin 'Ali at-Tamiimiy al-Baghdaadiy (dikenal sebagai ibn al-Mudzhib al-Wa'izh al-Hanbali) , dari Syaikh Abu Bakr Ahmad bin Ja'far al-Qathii'iy al-Hanbaliy, dari 'Abdullah bin al-Imaam Ahmad bin Hanbal, dari al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibaaniy


2. Sanad ilmu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy bersambung ke Imam at-Tirmidziy


الشيخ تقي الدين النبهاني عن الشيخ يوسف بن اسماعيل عن الشيخ إبراهيم السقا ، عن ثعيلب بن سالم الفشني ، عن الشهاب أحمد بن عبد الفتاح الملوي والشهاب أحمد بن الحسن الجوهري ،كلاهما ( أي الملوي والجوهري ) عن عبد الله بن سالم البصري ، عن الشمس محمّد بن العلاء البابلي ، عن الشيخ سالم بن محمّد السنهوري ، عن النجم محمّد بن أحمد الغيطي ، عن القاضي زكريا بن محمّد الأنصاري ،عن العزّ عبد الرحيم بن محمّد المعروف بابن الفرات الحنفي ، عن أبي حفص عمر ابن الحسن بن مزيد بن أميلة المراغي ، عن الفخر علي بن أحمد بن البخاري الحنبلي ، عن أبي حفص عمر بن محمّد بن طَبَرْزد البغدادي ،أخبرنا أبوالفتح عبد الملك بن عبد الله بن أبي سهل الكَروخي ، عن أبي عامر محمود بن القاسم الأزْدي ، أخبرنا أبو محمّد عبد الجبار بن محمّد بن عبد الله الجرَّاحي المَرْوزِي , أخبرنا أبو العباس محمّد بن أحمد المَحْبُوبي , أخبرنا الامام أبو عيسى محمّد بن عيسى بن سَوْرَة التِرْمِذي


3. Sanad Ilmu Syaikh Taqiyuddin bersambung hingga Imam al-Bukhariy


الشيخ تقي الدين النبهاني عن الشيخ يوسف بن اسماعيل عن الشيخ ابراهيم بن حسن السقا (١٢١٢ - ١٢٩٨) عن الشيخ محمد بن محمد الامير الصغير - محدث (١٢٤٦) عن ابيه محمد الامير الكبير عن الشيخ علي بن محمد العربي السقاط عن الشيخ محمد بن احمد بن عقيلة عن المحدث الكبير الشيخ حسن بن علي العجيمي المكي عن الشيخ عيسى بن محمد الثعلبي عن الشيخ سلطان بن احمد المزاحي عن الشيخ احمد بن خليل السبكي عن الشيخ محمد بن احمد الغيطي عن الشيخ زَكَريَّا بنِ مُحمَّدٍ الأنْصَارِي (926)، عَنْ الحَافظِ أحمَدَ بنِ عَليِّ بنِ حَجَرٍ العَسْقَلانيِّ (852)، وهُو بسَماعِه لجَمِيْعِه عَلى الحَافِظِ أبي إسْحَاقَ إبْرَاهيمَ بنِ أحمَدَ التَّنُوخِي البَعْلي الأصْلِ، ثُمَّ الدِّمِشْقِي (709-800)، بسَماعِه لجَمِيْعِه على الشيخ أبي العَبَّاسِ أحمَدَ بنِ أبي طَالِبِ بنِ نِعْمَةَ بنِ الشِّحْنَةِ الحَجَّارِ (624-730) عن الشيخ السِّرَاجُ أبُو عَبْدِ اللهِ بنُ الحُسَينِ بنِ المُبَارَكِ الزَّبِيْدِيُّ الحَنْبليُّ (546-631) عن الشيخ أبو الوَقْتِ عَبْدُ الأوَّلِ بنُ عِيْسَى بنِ شُعَيْبٍ السِّجْزيُّ (458-553) عن الشيخ أبو الحَسَنِ عَبْدُ الرَّحمنُ بنُ مُحمَّدِ بنِ الم

ُظَفَّرِ بنِ مُعَاذٍ الدَّاوُدِيُّ (374-467) عن الشيخ أبُو مُحمَّدٍ عَبْدُ اللهِ بنُ أحمَدَ بنِ حمُّوْيَه السَّرَخْسِيُّ (293-381) عن الشيخ أبُو عَبْدِ اللهِ مُحمَّدُ بنُ يُوسُفَ بنِ مَطَرِ بنِ صَالِحٍ بنِ بِشْرِ بنِ إبْرَاهِيْم البُخَارِيُّ الفَرَبْرِيُّ (231-320) عن الإمَامُ أبُو عَبْدِ اللهِ مُحمَّدُ بنُ إسْماعِيْلَ بنِ إبْرَاهِيْم بنِ المُغِيرَةِ الجُعْفِيُّ البُخَارِيُّ رَحِمهُ الله


4. Sanad ilmu Syaikh Taqiyuddin yang bersambung hingga Imam asy-Syafi'iy


*تقي الدين النبهاني* عن يوسف بن اسماعيل النبهاني عن *شمس الدين محمد الانبابي الشافعي* عن ابراهيم بن محمد الباجوري عن شيخيه محمد الفضالي والسيد حسن بن درويس القويسني كلاهما عن عبدالله ابن حجازي الشرقاوى عن *محمد بن سالم الحفني* عن ابي حامد محمد بن محمد البديري عن البرهان ابراهيم بن حسن الكورانى عن الصفى احمد بن محمد القشاغي سماعا لبعضه واجازه لسائره عن *الشمس محمد بن احمد الرملي الصغير* اجازه عن *شيخ الاسلام زكرياء بن محمد الانصارى* عن *الحافظ ابن حجر العسقلانى* عن الصلاه محمد بن احمد بن ابى عمرو المقدسي عن مسند الدنيا الفخر ابى الحسن غلى بن احمد بن عبد الواهد السعدي عرف بابن البخاري عن ابي المكارم احمد بن محمد اللبان وابي جعفر محمد ابن احمد بن نصر الصيدلاني كلاهما عن ابي على الحسن بن احمد الحداد عن *الحافظ ابي نعيم احمد بن عبدالله الاسبهاني* عن ابي العباس محمد بن يعقوب الاصم قال اخبرنا ابومحمد الربيع بن سليمان المراري قال اخبرنا به *الامام المجتهد ابو عبدالله محمد bبن ادريس الشافعى المطلبى القرشي*

Thursday, July 14, 2022

HUKUM HUKUM SYIRKAH

 HUKUM HUKUM SYIRKAH


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Pengertian Syirkah


Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku(fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziridalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).


Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).


Hukum Dan Rukun Syirkah


Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi Saw bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:


Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:


Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].


Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:

(1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;

(2)dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);

(3) obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:

(1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;

(2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).

Macam-Macam Syirkah


Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukumsyirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:

(1)syirkah inân;

(2) syirkah abdan;

(3) syirkah mudhârabah;

(4) syirkah wujûh; dan

(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148).

An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân,abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah(Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).


Syirkah Inân


Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.


Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.


Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).


Syirkah ‘Abdan


Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.


Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).


Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).


Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].


Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya dengan taqrîrbeliau (An-Nabhani, 1990: 151).


Syirkah Mudhârabah


Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilahmudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnyaqirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).


Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah.


Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja.


Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).


Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Saw) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.


Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath,Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).


Syirkah Wujûh


Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).


Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).


Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).


Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).


Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).


Syirkah Mufâwadhah


Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).


Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).


Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.


Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujudsyirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûhantara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.


Daftar Pustaka

1. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.

2. Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute.

3. Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.

4. Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.

5. —————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. Darus Salam.

6. Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.

7. Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.

8. Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.