Saturday, August 22, 2020

THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH

 THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH


[Agus Trisa]


Secara mendasar, manusia hidup di dunia ini adalah dalam rangka memenuhi dua hal yang melekat pada dirinya, yaitu kebutuhan jasmani (fisik) dan dorongan naluri. Untuk memenuhinya, manusia memerlukan dua hal, yaitu “alat” untuk memenuhinya kebutuhan dan “aktivitas” yang digunakan untuk memenuhinya. Alat dan aktivitas manusia itu banyak jenisnya. Ada yang sifatnya baku (tetap, tidak bisa digantikan yang lain), ada yang sifatnya tidak baku (fleksibel, bisa digantikan yang lain). Maka, manusia harus bisa mengidentifikasi berbagai “alat” dan “aktivitas” yang beragam ini, agar dalam menjalani kehidupan, hidup manusia terarah, terukur, dan tidak berakhir menjadi hal-hal yang kurang bermanfaat atau sia-sia.


Contohnya adalah lapar. Lapar adalah salah satu indikasi keberadaan kebutuhan jasmani (fisik). Setiap manusia, selama dia hidup, dia akan merasakan lapar. Maka manusia harus mencari alat dan aktivitas yang bisa membuatnya tidak lagi lapar. Untuk alatnya, tentu bisa berbagai macam alat. Alat di sini tentu maknanya adalah berupa makanan. Bisa dengan ubi (singkong), nasi, roti, ketela, jagung, sereal, atau yang lainnya.


Sedangkan untuk aktivitasnya, hanya satu yang bisa digunakan untuk memenuhinya, yaitu makan. Maka, makan ini menjadi aktivitas yang bersifat tetap atau baku. Sebab, aktivitas makan tidak bisa diganti dengan minum atau tidur. Sekalipun orang minum seember air atau tidur 10 jam, tetap itu tidak akan bisa menjadi “obat” lapar. Jadi, aktivitas makan ini menjadi aktivitas baku manusia yang tidak bisa diganti dengan aktivitas lain.


Adapun cara makannya seperti apa; apakah harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, dan makan malam), atau dua kali sehari (sahur dan berbuka), atau selalu makan setiap kali merasa lapar, ini adalah cara-cara makan yang sifatnya fleksibel, beragam cara bisa ditempuh. Maka, aktivitas makan, mau tidak mau tetap harus ditempuh manusia. Tetapi makan bukanlah sesuatu yang hendak dituju manusia. Sebab, akhir atau ending dari aktivitas makan, adalah hilangnya rasa lapar, dan bukan aktivitas makan itu sendiri. 


Dengan kata lain, tujuan orang makan adalah menghilangkan lapar, bukan “memenuhi aktivitas makan”. Misalnya, kita makan siang. Kita makan siang semata-mata karena saat itu kita lapar. Bukan karena “jam makan siang”. Seandainya saja, kita makan pagi (sarapan) terlalu banyak sehingga pada siang hari kita tidak merasa lapar, namun kita tetap memaksakan diri untuk makan (karena sudah jam makan siang), maka aktivitas makan siang ini tujuannya bukanlah menghilangkan rasa lapar, tetapi tujuannya adalah “terwujudnya aktivitas makan”, dalam hal ini aktivitas makan siang adalah bagian dari cara makan tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam). 


Tetapi jika kita makan siang, padahal kita masih kenyang karena makan pagi terlalu banyak, itu artinya kita makan siang bukan dalam rangka memenuhi tujuan makan yaitu “hilangnya rasa lapar”, tetapi dalam rangka memenuhi yang lainnya. Bisa saja tujuannya adalah “mewujudkan prinsip makan tiga kali sehari (makan pagi, siang, malam)”, atau bisa juga karena “ingin memenuhi selera makan karena ada menu baru”, dan sebagainya. Padahal, hukum asal makan adalah untuk “menghilangkan rasa lapar”. Ini contoh yang pertama.


Contoh lain adalah berkelompok. Berkelompok adalah indikasi yang menunjukkan adanya naluri manusia untuk mempertahankan eksistensi dirinya (bersama kelompoknya). Dari sisi dasar pendiriannya, ada begitu banyak jenis kelompok dalam kehidupan manusia. Ada kelompok yang didirikan atas dasar kepentingan materi, dan ada kelompok atas dasar kepentingan non-materi (atas dasar kepentingan kesamaan ide atau ideologi, kepentingan kesamaan nasib, kesamaan kepentingan perasaan, kepentingan kesamaan nasab, dan sebagainya). Sebuah kelompok didirikan karena manusia merasa nyaman dengan adanya kesatuan atau berbagai kesamaan tadi. Sedangkan dari sisi bentuknya, kelompok juga memiliki beberapa jenis. 


Ada keluarga, ada ormas, ada partai politik, ada majelis taklim, ada pula negara. Berbagai kelompok tadi didirikan dengan tujuan-tujuan tertentu. Apa tujuannya? Itu sangat bergantung pada jenis kelompoknya. Jika sebuah negara didirikan, maka tujuan-tujuannya meliputi kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. 


Dengan kata lain, tujuannya adalah menjaga jiwa, akal, dan kehormatan masyarakat. Inilah tujuan dari orang-orang yang mendirikan negara. Tanpa adanya negara (kekuasaan), maka berbagai tujuan tadi akan susah terwujud. Maka negara merupakan "alat baku" untuk tercapainya tujuan-tujuan tadi. Mengapa negara disebut sebagai alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan berbagai tujuan tadi, kecuali dengan adanya negara (kekuasaan, politik). Tidak bisa dengan model pendirian ormas, partai politik, majelis taklim, dan sejenisnya. Kalau pun ada ormas, partai politik, dan majelis taklim yang ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat, aktivitasnya juga pasti sangat terbatas, tidak bisa menjangkau seluruh warga masyarakat. Bisa jadi karena sumber daya yang dimiliki juga terbatas.


Misalnya dengan menggalang bantuan sosial atau kemanusiaan atau pendidikan atau kesehatan, kemudian mendirikan sekolah-sekolah atau rumah sakit. Hal-hal semacam ini hanya berlaku terbatas, tidak seluruh warga negara bisa dijangkau. Mengapa terbatas? Ya karena tidak memiliki kekuasaan, karena itu tidak kuasa (terbatas) dalam memenuhi seluruh kepentingan warga masyarakat. Berbeda jika hal-hal semacam itu dilakukan oleh negara (kekuasaan). Jika negara sudah berdiri, maka berbagai cara akan ditempuh oleh negara untuk mewujudkan tujuan-tujuannya di atas tadi, bukan hanya yang bisa dijangkau ormas, parpol, atau lembaga sosial. 


Caranya bisa bermacam-macam, bisa mendirikan berbagai macam sekolah, rumah sakit, bandara, membangun berbagai BUMN untuk mengelola sumber daya alam, memberikan permodalan untuk masyarakat, mendirikan lembaga-lembaga penjaga keamanan (baik keamanan dalam/polisi dan keamanan luar negeri/

tentara), mendirikan lembaga peradilan, mendirikan lembaga-lembaga administrasi negara, dan sebagainya. Ini semua adalah cara untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendirian negara. 


Karena itu bisa diambil kesimpulan, keberadaan negara, sebenarnya bukanlah tujuan. Karena tujuannya didirikannya negara adalah dalam rangka mencapai kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Jika negara bukan tujuan, lalu negara itu sebagai apa? Jawabannya sebagaimana disinggung di atas, negara merupakan “alat baku" untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi. Mengapa disebut alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi selain dengan adanya negara.


Buruknya kondisi suatu negara, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya, bisa jadi juga merupakan akibat dari tidak dipahaminya konsep ini secara benar. Misalnya, munculnya jargon NKRI harga mati. Jargon ini bisa jadi muncul karena menganggap bahwa NKRI (negara) adalah tujuan. Pernyataan ‘harga mati’ inilah yang mengindikasikan bahwa negara adalah tujuan. Sebab, istilah harga mati merupakan ungkapan untuk menunjukkan kerasnya usaha dalam hal mempertahankannya, sedangkan tidak ada suatu usaha keras ditempuh selain untuk meraih tujuan. Sehingga diambil kesimpulan bahwa dari pernyataan tersebut, bisa jadi muncul anggapan (artinya bisa jadi ya, bisa jadi tidak) bahwa keberadaan NKRI adalah tujuan. Dan apa yang bisa dilakukan seseorang ketika tujuannya sudah tercapai? 


Jawabannya, tidak akan ada lagi usaha keras yang dia tempuh, kecuali hanyalah aktivitas-aktivitas kecil saja. Maka dengan asumsi NKRI adalah tujuan, wajar jika setelah NKRI tegak, maka usaha untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, hanya dilakukan dengan sekedarnya. Mengapa? Ya, karena tujuan sudah tercapai. Akibatnya, rakyat akan merasakan kerugian yang luar biasa, baik rugi sumber daya alam (sumber daya alam dirampok asing) maupun rugi sumber daya manusianya (akhlak atau moralitas rakyat rusak karena pengaruh paham asing). Ini sebagai akibat dari salah memahami, bahwa keberadaan negara disangka tujuan. Padahal, tidak tepat jika menjadikan negara sebagai tujuan. Ini kalau dilihat dari anggapan bahwa NKRI adalah tujuan.


Sama halnya juga dengan memahami kekuasaan. Ketika menjelang pemilu, suasana di negara demokrasi begitu semarak, ramai. Partai politik, calon anggota legislatif, calon presiden, atau calon kepala daerah yang akan tampil “bertarung” dalam panggung demokrasi, akan mengeluarkan segala daya dan upaya untuk bisa meraih kekuasaan, memenangkan pertarungan. Biaya miliyaran mereka keluarkan, hanya untuk tercapainya tujuan. Apa tujuannya? Yaitu kekuasaan. Sampai di sini, siapa pun memahami, bahwa kekuasaan memang tujuan dari para peserta pertarungan demokrasi.


Padahal, jika kita memahami konsep normal suatu pemikiran asal, kekuasaan seharusnya tidak dianggap sebagai tujuan. Sebab, tujuannya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Ini tujuan asalnya, dan bukan meraih kekuasaan. Kekuasaan, hanyalah jalan baku untuk bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Kenapa jalan baku? Ya, seperti dijelaskan di atas, karena hanya dengan kekuasaanlah berbagai tujuan bisa terwujud, bukan dengan jalan yang lain. 


Kesalahan dalam memahami mana tujuan dan mana jalan baku dalam bernegara, akan berakibat pada terbengkalainya kepentingan rakyat. Kita bisa melihat, setelah seseorang jadi penguasa (memenangkan pertarungan demokrasi), apakah kebijakan mereka benar-benar akan berpihak kepada rakyat? Tentu kita bisa melihatnya sendiri. Utang negara yang semakin menggunung. Siapa yang harus membayar? Tentu rakyat. Subsidi energi (listrik dan BBM) dicabut. Siapa yang harus menanggung? Tentu rakyat. Sumber daya alam mengeluarkan hasil yang melimpah. Siapa yang menikmati? Tentu bukan rakyat. Ini terjadi, sebagai akibat dari memahami kekuasaan sebagai tujuan. Padahal, sebagaimana layaknya memahami negara, kekuasaan hanyalah jalan baku untuk mencapai tujuan-tujuan.


Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan dorongan naluri, manusia harus betul-betul memperhatikan aktivitas dan alat yang akan digunakan untuk memenuhinya; mana yang merupakan cara baku, cara tidak baku, alat yang tepat untuk memenuhi, alat yang tidak tepat untuk memenuhi; serta tujuan dari dilakukannya aktivitas tersebut. Jika hal tersebut tidak dipahami dengan baik, maka niscaya kehidupan manusia tidak akan berjalan efektif, efisien, terukur, dan terarah. 


Bisa dibayangkan, antara yang baku dengan yang tidak baku kebolak balik; mengira alat adalah tujuan padahal alat hanyalah sarana meraih tujuan; aktivitas baku tertukar dengan aktivitas tidak baku dan mengira memenuhi aktivitas baku sebagai tujuan. Ini semua adalah kekacauan hidup sebagai akibat dari tidak dipahaminya “cara-cara menjalani kehidupan”. Akhirnya, tujuan hidup manusia menjadi semakin kabur, tidak jelas mau seperti apa, tidak jelas mau dibawa kemana. Jika ketidakjelasan hidup ini dianut individu, maka hal itu hanya akan berdampak pada dirinya sendiri. Tetapi jika hal semacam ini dianut oleh suatu bangsa, atau pemimpin masyarakat, maka dampaknya akan sangat luas.


KHILAFAH, BUKANLAH TUJUAN


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memberikan penjelasan tentang hal ini. Beliau membedakan mana yang termasuk tujuan, sarana, cara, dan jalan. Tujuan adalah apa-apa yang ingin dicapai. Tujuan adalah ending dari segala usaha. Tujuan disebut dengan ghayah. Aktivitas atau “alat” yang bersifat baku dan tidak bisa digantikan yang lain dalam rangka memenuhi tujuan (ghayah), oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani disebut dengan istilah metode (thariqah/jalan). Pemakaian kata ‘alat’ dalam tanda kutip di sini hanya untuk memudahkan memahami, bukan alat yang dimaksud dalam konteks sarana (wasilah).


Dengan memahami ini, maka thariqah merupakan hukum syara’ tertentu yang harus (wajib) dilakukan. Sedangkan aktivitas yang bersifat fleksibel atau tidak baku dalam rangka meraih tujuan, disebut dengan cara/gaya (uslub). Sementara berbagai sarana prasarana atau “alat-alat” yang digunakan untuk meraih tujuan disebut dengan sarana (wasilah). Wasilah dan uslub ini sangat berkaitan erat. Sebab, membahas tentang wasilah, tidak akan bisa dilepaskan dari membahas tentang uslub.


Contohnya adalah Khilafah. Khilafah adalah jalan baku untuk mencapai tujuan perjuangan Islam. Disebut jalan baku, karena tidak ada jalan lain untuk mencapai tujuan, selain dengan Khilafah. Maka, khilafah adalah sebuah thariqah atau metode atau jalan baku untuk tercapainya tujuan. Lantas, apa tujuan yang hendak dicapai? Tujuan yang hendak dicapai adalah diterapkannya syariat Islam secara keseluruhan atau menjalankan kehidupan Islam. Disebut “menjalankan kehidupan Islam” sebab, kehidupan yang Islami tidak akan berjalan (terwujud) tanpa penerapan syariat Islam secara keseluruhan. Inilah tujuan yang (seharusnya) hendak dicapai oleh banyak organisai pergerakan Islam.


Jadi, Khilafah bukanlah tujuan. Khilafah adalah sebuah metode (thariqah) atau jalan baku untuk mencapai tujuan. Sedangkan tujuannya (ghayah), tidak lain adalah menerapkan syariat Islam. Mengapa penerapan syariat Islam dijadikan tujuan? Sebab, menerapkan syariat Islam adalah suatu kewajiban dan penerapan syariat Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Allah berfirman:


ﻓَﺎﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻋَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَﻙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ


“…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…” (QS. al-Maidah: 48)


ﻭَﺃَﻥِ ﺍﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻭَﺍﺣْﺬَﺭْﻫُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﻔْﺘِﻨُﻮﻙَ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ


“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan kamu terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu….” (QS. al-Maidah: 49)


Apa yang diturunkan Allah? Tidak lain adalah wahyu yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunah, dan apa yang ditunjukkan keduanya, yaitu ijma’ sahabat dan qiyas. Wahyu Allah ini meliputi akidah (keyakinan), dan syariah (tata aturan hidup bagi manusia). Syariah meliputi tiga aspek : (1) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan Allah, yang tercakup dalam aturan berakidah dan aturan beribadah; (2) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan dirinya sendiri yang meliputi aturan-aturan tentang makanan-minuman, pakaian, dan akhlak; dan (3) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan sesama manusia, yang meliputi muamalat dan uqubat (sistem sanksi). Muamalat dalam Islam meliputi fiqh muamalah (fikih ekonomi), fiqh munakahah (fikih sosial/pergaulan pria dan wanita), dan fiqh siyasah (fikih berpolitik, bagaimana mengatur tatanan masyarakat). Sedangkan keberadaan uqubat (sistem sanksi) adalah dalam rangka menjaga agar penerapan muamalat Islam berjalan baik. Inilah ruang lingkup dari syariat Islam yang wajib untuk diterapkan.


Karena menerapkan syariat Islam adalah kewajiban, dan kaum muslimlah yang akan menerapkannya, maka kaum muslim harus terbangun kesadarannya (sadar bahwa syariat Islam wajib diterapkan oleh mereka). Jika terbangunnya kesadaran kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam merupakan tujuan yang ingin dicapai, maka berdakwah di tengah-tengah kaum muslim agar terikat dengan syariat Islam, merupakan jalan baku (thariqah) untuk membangun kesadaran kaum muslim. Jadi, dakwah adalah thariqah atau jalan baku untuk meraih tujuan, yaitu tumbuhnya kesadaran kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam.


Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami, jika Khilafah atau mendirikan Khilafah dijadikan tujuan (sesuatu yang ingin dicapai dan ending dari segala usaha), maka jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam tidak perlu melakukan aktivitas dakwah. Organisasi tersebut cukup membentuk laskar-laskar kemiliteran. Jika dirasa sudah cukup kuat, maka tibalah saatnya melakukan kudeta, kepung istana negara, sandera kepala negara, lalu deklarasikan berdirinya Khilafah. Tercapailah tujuan. Tidak perduli, apakah umat Islam siap atau tidak dengan diterapkan syariat Islam. Tidak perduli dalam perjalanan Khilafah apakah terjadi pelanggaran terhadap syariat Islam atau tidak. Sebab, itu bukanlah tujuan. Karena yang menjadi tujuannya adalah Khilafah. Inilah yang akan terjadi, jika Khilafah dijadikan tujuan (ghayah). Dan dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pemahaman seperti ini adalah salah.


Tetapi jika “menerapkan syariat Islam” atau “menjalankan kehidupan Islam” adalah yang dijadikan tujuan dari perjuangan jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam, maka metode (thariqah) yang harus ditempuh tidak lain adalah dengan dakwah untuk membangun kesadaran masyarakat tentang wajib dan pentingnya syariat Islam. Justru penerapan syariat Islam inilah yang merupakan inti dari aktivitas setelah Khilafah berdiri. Maka, tujuan belum dikatakan tercapai (berhasil), jika setelah Khilafah berdiri, justru terjadi banyak pelanggaran syariat Islam. Jadi, bisa diambil kesimpulan, bahwa Khilafah tidak boleh dijadikan tujuan perjuangan jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam, tetapi yang harus menjadi tujuannya adalah agar umat menerapkan syariat Islam.


Dari pemahaman tersebut, maka kelompok atau jamaah dakwah Islam seperti HTI yang berjuang ingin menegakkan Khilafah, tidak akan menjadikan Khilafah menjadi tujuan perjuangan. Tetapi bagi ormas HTI, Khilafah “sekedar” metode atau thariqah atau jalan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya, yaitu menerapkan syariat Islam secara kaaffah (menyeluruh). Karena itulah, HTI tidak akan dan tidak akan pernah memiliki atau membentuk laskar atau sayap militer dalam bentuk apa pun. 


Jika sampai ada aktivitas semacam ini (pembentukan kelaskaran), itu artinya HTI telah keluar (melanggar) prinsip-prinsip dalam seluruh aktivitasnya, dan tentulah akan bertentangan dengan konsep thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah yang digagas pendirinya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Maka, pernyataan mantan Kepala BNPT, Ansyaad Mbai dalam sidang PTUN yang menyatakan bahwa HTI memiliki sayap milter yang disembunyikan, jelas adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta alias dusta. Dia kurang belajar atau kurang dalam memahami HTI itu seperti apa. Allah berfirman :


ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺫُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻤَﻠُﻮﺍ ﺑُﻬْﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَﺇِﺛْﻤًﺎ ﻣُﺒِﻴﻨًﺎ


“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS al-Ahzab: 58)


Agar umat terbangun kesadaran akan penting dan wajibnya menerapkan syariat Islam, maka harus ada dakwah. Pembahasan tentang dakwah ini begitu luas, baik dari sisi objek (sasaran), materi dakwah, maupun cara/gaya berdakwah. Dalam konteks objek atau sasarannya, maka sasaran dakwah itu ada dua, yaitu kaum muslim dan nonmuslim. Dakwah untuk orang nonmuslim adalah dakwah untuk mengajak mereka masuk ke dalam agama Islam. Sedangkan dakwah kepada sesama orang Islam adalah dakwah untuk mengajak mereka agar lebih baik lagi dalam menjalani hidup dengan aturan agama Islam. 


Sementara itu dari sisi materi dakwahnya, ini sangat bergantung pada pemahaman da’i terhadap kondisi realitas yang ada. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah masalah akidah maka materi dakwahnya berfokus pada pembinaan akidah. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah kerusakan akhlak, maka dakwahnya berfokus pada pembinaan akhlak. Jika seorang da’i menganggap bahwa akar permasalahan umat adalah politik (ketiadaan Khilafah), maka fokus dakwahnya adalah pada bidang politik Islam. Begitu seterusnya. Semua materi dakwah memang sangat bergantung dari pemahaman seorang da’i tentang realitas kondisi umat.


Sedangkan untuk cara atau gaya dakwah, ini sangat berkaitan dengan cara penyampaiaan materi-materi dakwah. Cara atau gaya dakwah merupakan bentuk dari uslub dalam dakwah. Ada dakwah yang dilakukan dengan cara tatsqif jama’i (pembinaan secara umum) seperti mengadakan pengajian umum di masjid atau aula, seminar di gedung pertemuan, muktamar di lapangan besar; ada pula yang dilakukan dengan cara membentuk kelompok-kelompok kajian (halqah). Ada dakwah yang dilakukan dengan penyiaran di media massa (televisi, koran, majalah, radio), ada dakwah yang dilakukan melalui penyampaian syair-syair (nasyid). Ada yang dilakukan di indoor (di dalam ruangan), ada juga yang outdoor (di ruang terbuka). Ada yang sembunyi-sembunyi, ada yang dengan model terbuka. Dan sebagainya. Semua ini masuk dalam ranah (uslub) dalam berdakwah. Tetapi tanpa dibedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah; maka akan muncul keruwetan pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas. 


Karena itu, dalam berdakwah, setiap da’i hendaknya tetap memandang mana thariqah, mana uslub, mana wasilah, dan mana ghayah. Ini penting untuk dipahami, sebagaimana pentingnya memahami bahwa persoalan lapar itu hanya bisa diselesaikan dengan makan, dan bukan minum. Makan pun tidak harus dengan nasi, tetapi bisa juga dengan singkong atau roti. Makan pun tidak harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam), karena bisa juga dengan dua kali sehari (sahur dan berbuka), empat kali sehari (makan pagi, makan siang, makan sore, makan malam), atau seperlunya saja (makan hanya pada saat lapar). Jangan sampai seorang da’i terjebak dalam aktivitas, namun tanpa memahami realitas atau hakikat dari aktivitas tersebut; apakah termasuk thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.


‘DAKWAH BISA TERSELENGGARA DI RUANG PUBLIK’ BUKANLAH TUJUAN


Dakwah secara terbuka di tempat umum, misalnya dengan mengadakan pengajian akbar di lapangan besar dengan alasan bisa menampung banyak orang. Dilihat dari sisi aktivitasnya, ini termasuk uslub berdakwah. Bukan thariqah dakwah yang bersifat baku. Dakwah seperti ini memang menguntungkan, karena bisa mendatangkan banyak peserta dan pesan dakwah bisa tersebar secara meluas. Tetapi tetap harus diperhatikan bahwa tujuan (ghayah) dari aktivitas dakwah, adalah untuk membangun kesadaran umat akan Islam, baik akidah maupun syariahnya. Tujuan (ghayah) dari dakwah, bukanlah “terselenggaranya acara dakwah”. 


Sehingga seandainya saja ada penguasa kafir yang melarang penggunaan ruang publik untuk aktivitas dakwah seperti Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno, sesungguhnya itu bukanlah akhir dari dakwah. Kejadian seperti ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dakwah ini telah berakhir, atau merupakan bencana bagi Islam. Kurang pas lagi, jika kemudian diikuti dengan pandangan, misalnya, “Berarti kelak kita harus mendukung calon kepala daerah muslim agar dakwah di ruang publik bisa dilegalkan.” Sikap seperti ini seringkali muncul sebagai ikutan dari adanya kejadian yang menghalangi dakwah. 


Padahal, jika dipikir lebih mendalam, sikap seperti ini sama artinya dengan menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” (misalnya Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno), adalah thariqah (hal yang baku) yang tidak bisa tidak, harus terlaksana. Atau, menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” adalah ghayah (tujuan, akhir dari segala sesuatu), yang ketika gagal terlaksana maka berakhir sudah segala-galanya. Padahal, ini (dakwah di ruang publik) bukanlah thariqah melainkan ‘sekedar’ uslub dalam berdakwah, yang jika kurang berhasil dalam uslub ini maka harus dipikirkan uslub lain, agar tujuan (ghayah) dari dakwah bisa tercapai. Apa itu? Yaitu tercapainya kesadaran umat akan Islam. 


Lebih jauh lagi, secara politik, sikap seperti di atas justru akan bisa menyebabkan kekalahan politik umat. Umat akan menjadi mudah dibelokkan dari satu sikap ke sikap lain, umat akan menjadi lebih mudah untuk dibeli kepentingan-kepentingannya hanya karena kondisi-kondisi seperti di atas. Umat akan bisa dimanfaatkan oleh partai-partai politik tertentu untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, karena memang jumlah suaralah yang menjadi tolok ukur kemenangan di dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, jamaah-jamaah dakwah Islam diharapkan dapat membimbing umat menuju sikap berpegang pada prinsip, agar perjuangan umat tidak kehilangan arah, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.


Keberadaan jamaah dakwah dalam rangka mewujudkan tujuan dakwah merupakan hal yang sangat penting. Bahkan, hal ini merupakan perintah dari Allah:


ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ۚ ﻭَﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ


“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)


MASUK JAMAAH DAKWAH, BUKANLAH TUJUAN


Karena itulah, di dunia ini ada begitu banyak jamaah dakwah, entah berbentuk organisasi massa atau yayasan yang bergerak di bidang sosial dan dakwah, atau juga berbentuk partai politik. Di Indonesia sendiri, jamaah dakwah itu ada NU, Muhammadiyah, Persis, MTA, HTI, FPI, Dewan Dakwah, Syarikat Islam, al-Washliyah, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut merupakan wasilah dalam rangka mewujudkan ghayah, yaitu kesadaran umat akan pentingnya menjadikan Islam (baik akidah maupun syariahnya) sebagai jalan hidup. Maka, orang boleh-boleh saja mau ngaji di mana pun dia mau jika memang ingin turut berperan dalam rangka aktivitas penyadaran umat. Bisa masuk NU (Nahdhatul Ulama), Muhammadiyah, MTA (Majelis Tafsir Al-Quran), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Persis (Persatuan Islam), Dewan Dakwah, atau yang lainnya. Jadi, kalau ada orang yang mengira bahwa orang diajak masuk jamaah dakwah tertentu adalah untuk dicuci otaknya, atau masuk jamaah dakwah tertentu adalah semata-mata demi kepentingan jamaah tersebut, ini menunjukkan bahwa orang tersebut sudah mengira bahwa jamaah dakwah adalah ghayah (tujuan). Padahal tidak. Orang yang menganggap semacam ini sesungguhnya sedang berhalusinasi.


Orang tersebut mengira, orang diajak ngaji di NU semata-mata untuk kepentingan NU, orang ngaji di Muhammadiyah semata-mata untuk kepentingan Muhammadiyah, orang ngaji bersama FPI semata-mata untuk kepentingan FPI, orang ngaji bersama HTI semata-mata untuk kepentingan HTI, orang ngaji bersama MTA semata-mata untuk kepentingan MTA. Sampai-sampai ditambahi pernyataan “Kelompok-kelompok dakwah itu adalah bid’ah, mereka berpecah belah, tidak usah ikut firqah-firqah tersebut.” Dikiranya, ngaji dengan jamaah-jamaah dakwah tersebut tujuannya semata-mata demi besarnya tubuh jamaah tersebut (semoga Allah menghilangkan pikiran-pikiran seperti ini). Ini pemahaman yang salah atau keliru dalam memahami jamaah dakwah. Bahkan, keliru atau salah kaprah pemahamannya, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah. Ruwet. 


Padahal, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut di atas, bukanlah ghayah atau tujuan orang ngaji (semoga setiap jamaah tidak menjadikan besarnya jamaah sebagai tujuan). Jamaah dakwah hanyalah wasilah (sarana) untuk tujuan yang sebenarnya. Apa itu? Yaitu agar orang yang ngaji semakin memahami Islam, baik akidah maupun syariahnya. Adapun adanya perbedaan atau keragaman jamaah dakwah (ada banyak jamaah dakwah), itu dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami realitas persoalan-persoalan umat. Perbedaan cara pandang terhadap persoalan umat inilah yang berimbas pada perbedaan fokus aktivitasnya, sebagaimana sudah disinggung di atas. Jadi, kalau mau ngaji bersama jamaah-jamaah dakwah, ya dipersilakan saja. Asal tetap memahami, bahwa masuk ke dalam jamaah tersebut bukanlah tujuan, tetapi jamaah dakwah hanyalah sebagai wasilah (sarana) untuk meraih tujuan yang sebenarnya. Mau memilih yang mana? Ya, itu tergantung pada masing-masing orang, sesuai dengan pemahamannya sendiri-sendiri terhadap permasalahan umat dan jalan apa yang akan ditempuh oleh masing-masing jamaah dakwah.


Wallahu a’lam.

Kasultanan banten

 KESULTANAN BANTEN

Kesultanan Banten adalah sebuah Kesultan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan, Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan sebagai antisipasi terealisasinya perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis tahun 1522 m.


Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati[6] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mengembangkan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan (dibangun 1600 M) menjadi kawasan kota pesisir yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.


Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang di waktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintahannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.


Pembentukan awal


Palangka Sriman Sriwacana


"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata."


Artinya:


"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten


Pandangan mata burung tentang Bantam, 1599.

Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan pucuk umum [7](penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.[8]


Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 M) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin: nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 M.[9] Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.


Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.


Latar belakang penguasaan Banten

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir) dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511.[butuh rujukan] Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.


Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putra mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.[10]


Pada tahun 1513 M, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten[11]


Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah,[2] sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan putranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktivitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt),[12] aktivitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang di mana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan[13] dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.


Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singgah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang muslim, tetapi upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.


Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.[10]


Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[14] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.


Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa[15] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca: Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão yang dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar) [16] Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[17]


Penguasaan Banten

Pada tahun 1522,[18] Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan.[19] Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 M. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 M.[20]


Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten[21] Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang


Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin.[22]


Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktivitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktivitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktivitas dakwahnya.[23] Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.


Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.[24]


Penyatuan Banten

Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir.[25]


Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.[18] Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai Banten dengan status sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 M),[4] kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten[26] meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak menahbiskan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten[27] Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.


Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.[25]


Penguasaan Lampung

Pada tahun 1525, Syarief Hidayatullah memasuki wilayah Labuhan Meringgai di Kerajaan Pugung[28]


Menurut Nurhalim (Raja Adat Melinting, Lampung Timur) kedatangan Syarief Hidayatullah ke Pugung pada awalnya dikarenakan oleh surat yang dikirimkan Ratu Galuh (penguasa Pugung, istri dari Anak Dalem Kesuma Ratu) melalui burung merpati yang bermaksud meminta pertolongan kepada penguasa diluar pulau untuk membantu Pugung menghadapi perampok dan bajak laut yang telah meresahkan[29]


Menurut Budiman Yaqub (Radin Kusuma Yuda) seorang budayawan dan sejarahwan daerah Lampung Selatan, Syarief Hidayatullah ketika akan memasuki wilayah Pugung beliau melihat cahaya kilat yang tegak dari langit[30].


Sesampainya Syarief Hidayatullah di kerajaan Pugung beliau bersedia membantu Ratu Galuh menangani perampokan dengan satu syarat yaitu jika perampokan berhasil diatasi, maka Ratu Galuh dan pengikutnya bersedia untuk memeluk agama Islam[31]


Pasca berhasil diatasinya para perampok tersebut, Syarief Hidayatullah kemudian mulai menyebarkan dakwah Islam di wilayah kerajaan Pugung. Ratu Galuh beserta pengikutnya bersedia menerima ajaran Islam dengan dibimbing oleh Syarief Hidayatullah[31]


Syarief Hidayatullah kemudian mengajukan lamaran kepada Ratu Galuh untuk menikahi anaknya yaitu putri Sinar Alam, namun dikarenakan ada peraturan adat di kerajaan Pugung dimana putri pertama harus menikah dengan keluarga yang masih kerabat kerajaan Pugung maka lamaran tersebut ditolak, menurut Budiman Yaqub, Ratu Galuh kemudian menawarkan putri Kandang Rarang anak dari Minak Raja Jalan[31] agar menjadi istri Syarief Hidayatullah dan disetujui, dari pernikahan dengan putri Kandangan Rarang, Syarief Hidayatullah memiliki seorang putera yang diberi nama Muhammad Sholeh atau masyarakat Lampung mengenalnya dengan nama Minak Gejala Ratu[31].


Syarief Hidayatullah kemudian pergi meninggalkan istrinya dan anaknya untuk kembali berdakwah dan pulang ke Cirebon, Syarief Hidayatullah menitipkan sebuah cincin kepada istrinya Kandang Rarang yang kelak harus diberikan kepada putera mereka Muhammad Sholeh[31]


Beberapa lama setelah kepergiannya, Syarief Hidayatullah kembali ke kerajaan Pugung untuk menengok istrinya Kandang Rarang dan anaknya Muhammad Sholeh, disana Syarief Hidayatullah mengetahui jika putri Sinar Alam anak dari Dalem Kesuma Ratu dengan Ratu Galuh belum juga menikah, Syarief Hidayatullah kemudian mengajukan lamaran kembali untuk menikahinya dan disetujui, dari pernikahannya dengan putri Sinar Alam, Syarief Hidayatullah dikaruniai seorang putera yang diberi nama Muhammad Aji Saka[32] atau yang menurut Nurhalim (Raja Adat Melinting) namanya adalah Minak Gejala Bidin[31], dari keturunan Muhammad Aji Saka inilah kemudian lahir pahlawan nasional asal Lampung yang bernama Radin Inten II[32]


Perluasan dakwah di Lampung

Dengan masuknya masyarakat adat Pugung kedalam Islam, maka secara berangsur-angsur masyarakat Lampung dalam rumpun adat Lampung Peminggir yang berada di pantai selatan Lampung memeluk agama Islam[28]


Wilayah-wilayah di Lampung secara berangsur-angsur berada dibawah kendali kesultanan Cirebon[33] hingga pada sekitar tahun 1530, Cirebon berhasil menguasai Lampung dan menempatkannya dibawah kendali Depati Banten[34]


Depati Banten (gubernur Banten) pada masa itu, Maulana Hasanuddin sangat tertarik dengan wilayah Lampung dikarenakan wilayah ini dianggap menguntungkan untuk menghasilkan lada. Pada masa itu para penguasa di Lampung suka menjual lada dengan harga tinggi guna mendapatkan berbagai barang komoditas[33].


Pembagian kerajaan Pugung

Pembagian terhadap kerajaan Pugung dimulai ketika Muhammad Sholeh dan Muhammad Aji Saka datang ke kesultanan Cirebon untuk menemui ayahnya Syarief Hidayatullah, di Cirebon mereka didik dengan ilmu syariat (agama Islam) dan keahlian beladiri, setelah keilmuan dan kemampuan anak-anaknya dirasa cukup, Syarief Hidayatullah menyuruh mereka kembali ke Pugung, kepada Muhammad Sholeh dia diberikan sebuah kotak kayu yang pada sisinya bertuliskan bacaan surat al Fatihah, shalawat nariyah dan ayat kursi dan kotak tersebut hanya boleh dibuka disaat penobatannya sebagai penguasa di Pugung sementara kepada Muhammad Aji Saka Syarief Hidayatullah memerintahkannya untuk mencari gunung tinggi di wilayahnya yang memiliki batu putih, Muhammad Aji Saka kemudian menemukan gunung yang sesuai dengan deskripsi ayahnya yaitu gunung Rajabasa[35]


Di Labuhan Meringgai kemudian diadakan musyawarah untuk membagi dua kerajaan Pugung, Muhammad Sholeh kemudian naik tahta menjadi penguasa di Labuhan Meringgai dan membuka kotak dari ayahnya, didalam kotak berisi selembar kain yang bertuliskan ratu darah putih, menurut Nurhalim (Raja Adat Melinting) arti dari ratu darah putih adalah pemimpin yang adil dan bijaksana, bersih dari segala sikap yang tercela[35], kerajaan yang dipimpin oleh Muhammad Sholeh kemudian dikenal dengan nama keratuan (kerajaan) darah putih Melinting atau kerajaan Melinting, sementara Muhammad Aji Saka memilih untuk menetap di wilayah gunung Rajabasa, wilayah kekuasaannya kemudian dikenal dengan nama keratuan (kerajaan) darah putih Rajabasa[35]


Kerajaan-kerajaan darah putih ini kemudian menjadi wilayah penyebaran agama Islam yang di Lampung sekaligus mampu membawa masyarakat rumpun adat Lampung Peminggir untuk memeluk Islam[28]


Banten sebagai kesultanan

Kesultanan Cirebon menggelar musyawarah dalam menyikapi peristiwa meninggalnya Pangeran Mohammad Arifin (depati Cirebon sekaligus putera mahkota kesultanan Cirebon) di Demak, Syarief Hidayatullah selaku penguasa kesultanan Cirebon pada saat itu tengah menetap di Banten[36], hasil dari musyawarah tersebut pada tahun 1552 m menyatakan bahwa putra pertama Syarief Hidayatullah yaitu Pangeran Maulana Hasanuddin yang menjabat sebagai depati Banten (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Banten) dinaikkan statusnya dari depati (gubernur) menjadi sultan atas wilayah Banten[37] yang kemudian mengembangkan kesultanan Banten sementara untuk mengisi kekosongan posisi sebagai wakil sultan Cirebon yang mengurusi kesultanan Cirebon saat Syarief Hidayatullah tidak berada di tempat diputuskan untuk diisi oleh Fadillah Khan (Fatahilah).[38]


Pada tahun 1552, setelah Maulana Hasanuddin resmi menjadi penguasa kesultanan Banten dengan ditahbiskan oleh ayahnya yaitu Syarief Hidayatullah sebagai Sultan di Banten.[37], Syarief Hidayatullah kembali ke Cirebon[36]


Pembagian wilayah taklukan antara kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon

Pasca perjanjian damai Cirebon dengan kerajaan Pajajaran di tahun 1530 dan setelah kesultanan Banten berdiri di tahun 1552, maka wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara dibagi dua. Menurut Carita Sajarah Banten, Sunan Gunung Jati[39] pada abad ke 15[40] membagi wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara menjadi dua bagian dengan sungai Citarum sebagai pembatasnya, sebelah timur sungai Citarum hingga sungai Cipunegara masuk wilayah Kesultanan Cirebon yang sekarang menjadi Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dan sebelah barat sungai Citarum hingga sungai Angke menjadi wilayah bawahan Kesultanan Banten dengan nama Jayakarta.[2]'[41]


Pada tahun 1568[42], Maulana Hasanuddin sebagai penguasa Banten yang juga membawahi wilayah Jayakarta mengangkat menantunya yaitu Kawis Adimarta (Tubagus Angke) suami dari Ratu Ayu Fatimah (anak ke enam dari Maulana Hasanuddin)[43] sebagai penguasa Jayakarta, sebelumnya, sejak peristiwa penaklukan Kelapa di tahun 1527 hingga diangkatnya Kawis Adimarta pada tahun 1568, wilayah ini berada dibawah kekuasaan Fadillah Khan[44]


Perluasan wilayah ke Lampung

Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke Lampung. Pada tahun 1530 ketika wilayah adat Lampung Peminggir telah memeluk agama Islam dan berada dibawah kekuasaan Syarief Hidayatullah[28] wilayah adat Lampung Abung (Pepadun) belum ada yang berada dibawah kekuasaan Syarief Hidayatullah, bahkan pada masa kekuasaan Maulana Hasanuddin sebagai Sultan Banten, masyarakat adat Lampung Abung (Pepadun) belum ada yang melakukan seba (menghadap Sultan) ke Banten, masyarakat Lampung Abung (Pepadun) pada masa itu masih mempertahankan adat istiadatnya yang bercorak animisme[28].


Pada sekitar awal abad ke 16 memang ada seorang minak dari kalangan masyarakat adat Lampung Abung (Pepadun) yang telah memeluk Islam seperti Minak Sangaji (dari kalangan Tulang Bawang) yang merupakan suami dari Bolan, namun Minak Sangaji diperkirakan menerima Islam bukan dari kesultanan Banten melainkan dari Melaka[28]


Maulana Hasanuddin berperan dalam penyebaran Islam di kawasan Lampung, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[2]


Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik takhta pada tahun 1570[45] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di Nusantara, tetapi gagal karena ia meninggal dalam penaklukan tersebut.[46]


Masyarakat Lampung Abung seba ke Banten

Pasca meninggalnya Sultan Banten Maulana Muhammad pada tahun 1596 pada penyerangan ke Palembang atas bujukan Pangeran Mas (putera Arya Penggiri, cucu Sunan Prawoto dari kesultanan Demak) yang berambisi menjadi penguasa Palembang[47] dan pasca meninggalnya Unyai terjadilah perselisihan diantara anak cucu Minak Paduka Begeduh, perselisihan tersebut berkenaan dengan persoalan seba (menghadap sultan), seba ke Banten atau ke Palembang[48] hingga salah satu dari mereka bergabung mengikuti kekuasaan kesultanan Banten[28] dan yang satunya lagi seba ke Palembang dan meninggalkan wilayah adat Lampung Abung.


Minak Paduka Begeduh memiliki 4 orang anak, yaitu Unyi, Nunyai, Nuban (perempuan) dan Subing. Minak Paduka Begeduh merupakan anak dari Minak Rio Begeduh, cucu dari Indra Gajah dan cicit dari Umpu Serunting yang mendirikan keratuan (kerajaan) Pemanggilan[28]. Minak Paduka Begeduh memiliki dua orang istri yaitu Minak Majeu Lemaweng dari keratuan (kerajaan) Pogung dan Minak Munggah di Abung dari Selebar[48]


Perwakilan dari masyarakat adat Abung yang seba (menghadap sultan) ke Banten adalah Minak Semelesem (cucu Unyai)[28], sementara dari kalangan masyarakat adat Lampung Abung (Pepadun) yang memilih untuk seba (menghadap sultan) ke Palembang adalah Mukodum muter alam, beliau kemudian tidak kembali lagi ke wilayah adat Lampung Abung dan memilih untuk membentuk masyarakat Kayu Agung dan menetap disana[48].


Hubungan erat kesultanan Banten dan Inggris

Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[2]


Pada tahun 1629, Sultan Banten Abu al Mafakir Mahmud Abdul Kadir mengirimkan surat kepada penguasa Inggris Raja Charles I menyatakan kegembiraannya karena orang-orang Inggris mau membuka lagi kantor dagangnya di Banten, selain itu Sultan Abu al Mafakir Mahmud Abdul Kadir juga meminta bantuan persenjataan dan mesiu kepada Inggris, hal tersebut berguna untuk memperkuat pertahanan kesultanan Banten[2]'[49]


Permintaan kesultanan Banten akan senjata dan mesiu sangat dimungkinkan untuk menghindari peristiwa penyerangan wilayah Banten pada 1626 terulang, saat itu dua tahun setelah serah terima kuasa mutlak dari wali Sultan Banten yaitu Pangeran Ranamanggala, Mataram pada masa kekuasaan Sultan Agung Hanyakrakusuma melakukan penyerangan kembali kepada kesultanan Banten yang kali ini dibantu oleh Palembang, namun penyerangan ini juga tidak berhasil[39]


Blokade Vereenigde Oostindische Compagnie dan Peristiwa Pabaranang

Sikap Bersahabat kesultanan Banten dengan Inggris ini bertolak belakang dengan sikap yang diambil kesultanan Banten kepada Belanda. Pada tahun 1633, Vereenigde Oostindische Compagnie melakukan penyerangan ke wilayah kesultanan Banten diantaranya Tanahara, Anyer dan Lampung, hal tersebut dikarenakan menurut Vereenigde Oostindische Compagnie orang Banten banyak yang melalukan pengerusakan dan perampokan kepada aset dan barang milik Vereenigde Oostindische Compagnie, pada bulan November terjadi peperangan besar antara kesultanan Banten dengan Vereenigde Oostindische Compagnie, pihak kesultanan Banten berhasil mengalahkan pasukan Vereenigde Oostindische Compagnie yang pada masa itu sedang lemah akibat berperang dengan Mataram[11]


Pada tanggal 5 Januari 1634 Vereenigde Oostindische Compagnie mengirimkan lagi pasukan laut yang lebih kuat untuk mengepung Surosowan, maka diadakanlah blokade menyeluruh atas wilayah perairan teluk Banten. Pengepungan Vereenigde Oostindische Compagnie di perairan Tanahara dapat digagalkan oleh pasukan yang dipimpin Tubagus Singaraja, pejabat kesultanan Banten di Tanahara, sedangkan pengepungan di perairan pelabuhan Banten, baru dapat digagalkan setelah digunakan taktik yang baru[11] yaitu dengan melakukan pembakaran blokade Vereenigde Oostindische Compagnie dengan kapal besar yang disebut Barungut, kapal Barungut yang sebelumnya diperbaiki di Batavia pada malam harinya dibakar atas usul Wangsadipa[2], peristiwa pembakaran blokade ini dikenal dengan nama Pabaranang[50].


Pembakaran blokade laut Vereenigde Oostindische Compagnie oleh kesultanan Banten terbagi dalam dua sesi, sesi pertama terjadi pada malam hari di tanggal 4 dan 5 Januari 1634 dan sesi kedua terjadi pada malam hari di tanggal 10 dan 11 Januari 1634[39]'[49].


Penyerangan kapal dagang kesultanan Banten oleh Vereenigde Oostindische Compagnie

Satu tahun setelah peristiwa Pabaranang yaitu pada tahun 1635 Belanda kembali melakukan penyerangan terhadap Banten kali ini yang menjadi sasarannya adalah kapal dagang Banten yang mengangkut cengkeh dari Ambon[49], Pangeran Anom (Abu al Ma'ali Ahmad) yang merupakan anak dari Sultan Banten Abu al Mafakir Mahmud Abdul Kadir sekaligus wakilnya lantas mengirimkan surat kepada Raja Charles I dari Inggis untuk meminta bantuan menghadapi Vereenigde Oostindische Compagnie di Batavia, Pangeran Abu al Ma'ali Ahmad meminta agar Inggris mau mengirimkan prajuritnya dalam membantu kesultanan Banten menghadapi Vereenigde Oostindische Compagnie namun jika Inggris berkeberatan atau tidak bersedia dengan alasan apapun maka Pangeran hanya akan meminta bantuan persenjataan saja, yakni meriam dan mesiu[2]'[49]


Penjajakan perdamaian dengan Belanda

Pada tahun 1636 kesultanan Banten melakukan penjajakan perdamaian dengan Belanda, pada masa ini situasi keamanan cenderung kondusif, Hindia Belanda pada saat itu ada dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Antonio van Diemen yang mulai menjabat sejak 1 Januari 1636. Pada masa penjajakan perdamaian ini kesultanan Banten pun mulai menghimbau kepada seluruh masyarakat di wilayah kesultanan Banten agar mulai menanam lada. Pada tahun 1639 perjanjian perdamaian berhasil dicapai[49]


Puncak kejayaan


De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[51]

Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[52] Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Tiongkok dan Jepang.[53]


Perintah penanaman lada dan perlawanan dari masyarakat

Himbauan penanaman kembali lada yang telah dimulai sejak 1636 menemui perlawanan masyarakat di daerah Lampung dan Bengkulu, masyarakat kerajaan-kerajaan di Bengkulu yang berada dibawah kendali kesultanan Banten seperti Selebar misalnya melawan himbauan penanaman lada yang mulai terkesan memaksa[49]


Penguasaan Sukadana

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertakhta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[54] Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.[45] Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.[55] Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.[45]


Pengaturan lada di Bengkulu

Pada tanggal 12 Februari 1663, Sultan Banten Abdul Fatah mengeluarkan keputusan membolehkan komoditas lada dijual kepada siapa saja namun lada yang hendak tersebut harus terlebih dahulu dibawa ke Banten, jika keputusan pengaturan penjualan lada ini dilanggar maka sebagai hukumannya istri dan anaknya akan dibawa ke Banten[56]


Banten dalam Kasus Perwalian kesultanan Cirebon dan perjuangan Raden Trunajaya

Pada saat Pangeran Girilaya dan kedua anak tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya diundang ke Mataram untuk menerima upacara penghormatan atas naiknya Pangeran Girilaya menjadi penguasa Cirebon namun ternyata tidak kunjung kembali, kesultanan Cirebon mengalami perguncangan karena tidak adanya pemimpin di kesultanan Cirebon. Pada masa tersebut untuk menghindari kesultanan Cirebon dari kekacauan dikarenakan di keraton Cirebon Pangeran Girilaya masih memiliki keturunan dari istri-istrinya yang lain seperti Pangeran Ketimang dan Pangeran Giyanti (anak Pangeran Girilaya dari istrinya yang merupakan keturunan bangsawan Cirebon) dan Bagus Jaka (anak Pangeran Girilaya dengan istrinya yang merupakan rakyat biasa), maka Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten menunjuk pangeran Wangsakerta (adik pangeran Martawijaya dan Kartawijaya) untuk menjadi wali sultan sampai ayahnya kembali.[57] Keluarga akhirnya menyetujui pangeran Wangsakerta menjadi Wali sampai kembalinya ayahnya pangeran Girilaya dari Mataram.


Lepasnya Karawang kepada Belanda dari Cirebon dan pembebasan para pangeran Cirebon

Sepeninggal sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram, penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak kepada Belanda, perjanjian antara keduanya untuk saling membantu pun dilakukan, pada masa pemberontakan Trunojoyo, Mataram meminta bantuan Belanda untuk memadamkannya, Belanda yang diwakili Admiral Speelman (yang dikemudian hari menjadi Gubernur Jendral Cornelis Speelman) melalui Syahbandar Jepara yaitu Wangsadipa mengajukan syarat yaitu perluasan wilayah kekuasaan Belanda hingga sungai Cipunegara (di bagian utara) terus menyusuri ke selatan hingga bertemu laut. Syarat tersebut dibawa oleh residen James Cooper pada tanggal 4 Maret 1677 dan diterima oleh sultan Mataram, Amangkurat I dan putranya (beberapa bulan sebelum Trunojoyo merebut ibu kota Mataram tanggal 28 Juni 1677 dan membebaskan putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan oleh Mataram yaitu Martawijaya dan Kartawijaya).[58]


Syarat tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I walau wilayah yang diminta sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon yaitu wilayah Karawang atau sebagian masyarakat mengenalnya dengan Rangkas Sumedang (wilayah antara sungai Citarum dan Cibeet hingga sungai Cipunegara yang sekarang menjadi kabupaten Karawang, kabupaten Purwakarta dan kabupaten Subang), para pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau melepaskan wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.[58]


Pangeran Wangsakerta yang berada di Cirebon dan menjadi wali setelah ayahnya (pangeran Girilaya) tidak kunjung kembali dari Mataram akibat ditahan oleh Amangkurat I kemudian meminta bantuan kesultanan Banten, sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang ditahan oleh Mataram, ketika Trunojoyo berhasil merebut keraton Mataram, orang-orang yang ada di dalamnya kemudian ditawan dan dibawa ke Kediri[59], awalnya Tronojoyo tidak mengetahui bahwa para pangeran Cirebon ada di antara para tahanan yang dibawa ke Kediri, setelah memeriksa para tahanan yang berasal dari Mataram dan menemukan para pangeran Cirebon, Trunojoyo kemudian membebaskan mereka dengan hormat dan mengirimnya ke kesultanan Banten.[58]


Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah dengan kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali sultan saja membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut kembali wilayah Karawang yang direbut Belanda secara ilegal dan paksa dengan bantuan Amangkurat I dari Mataram, sehingga ketika kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi kesultanan Cirebon dengan nama Kasepuhan dan Kanoman mereka mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Karawang yang diambil paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan kesultanan Cirebon paling barat ialah wilayah Kandang Haur dan sekitarnya hingga batas sungai Cipunegara.


Penyerangan Banten atas loji Belanda dan disingkirkannya wakil Mataram di Cirebon

Pada akhir tahun 1676, sebuah kapal dari Cirebon yang berlabuh di Banten memberitahu bahwa Pekalongan sudah berhasil dikuasai pasukan Trunajaya pada sekitar 25 Desember 1676, penguasa daerah pesisir pada masa itu Singawangsa diberitakan ikut dengan para pasukan Trunajaya[60]


Pada tanggal 2 Januari 1677, Tegal berhasil dikuasai pasukan Trunajaya tanpa kekerasan[60]


Pada tanggal 5 Januari 1677, pasukan Trunajaya yang dipimpin oleh Ngabehi Sindukarti (paman Trunajaya) dan Ngabehi Langlang Pasir sampai di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan, mereka menuntut agar wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai Syahbandar yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-syaratnya, yaitu[61]


1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram,

2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita,

3. Sandera Cirebon tidak ada lagi yang dikirim ke Mataram,

4. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pemerintahan rajanya sendiri,

5. Cirebon berada di bawah pertanggungan hak-hak Sultan Banten,

6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta mengakui Sultan Banten sebagai pelindung


Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan ancaman seandainya tidak diterima[61]. Martadipa yang pada saat itu telah berusia lanjut akhirnya menerima syarat yang disodorkan kepadanya atas nama Raden Trunajaya[60] dan bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada keturunan atau kerabat dekat Sultan Abdul Karim (Sultan Cirebon yang ditawan Mataram)[62]


Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim

Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau tetap[61]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan keraton.[57]


Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan:


Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)

Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)

Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713)

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.


Misi Rijckloff van Goens menghancurkan kesultanan Banten

Pada 4 Januari 1678, Rijckloff van Goens ditunjuk sebagai pengganti Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker kemudian pada 31 Januari 1679 Rijckloff van Goens menulis surat kepada pemerintah Belanda, dia menuliskan bahwa


“  yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita (Belanda) ialah penghancuran dan penghapusan Banten, Banten harus ditaklukan atau kompeni akan lenyap  ”

[63]


Pribawa dan masuknya Belanda pada Perjanjian 1681

Penobatan ketiga putra Sultan Cirebon Abdul Karim sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron pada tahun 1677 di Banten oleh Sultan Abdul Fatah dan dilanjutkan dengan deklarasi ketiganya di keraton Pakungwati pada 1679 ternyata masih menyisakan ketidakpuasan, Pangeran Martawijaya yang sudah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin dan berkuasa di kesultanan Kasepuhan masih beranggapan bahwa dia adalah pewaris tahta yang sah karena dia adalah putera tertua dari Sultan Cirebon Abdul Karim yang meninggal ketika dalam penawanan Mataram, konflik internal keturunan Sultan Abdul Karim diperkirakan bermula ketika Sultan Abdul Fatah dari Banten hanya memediasi ketiganya dengan cara menobatkan mereka bertiga sebagai penguasa wilayah dan penguasa peguron namun tidak membagi wilayah kekuasaan kepada masing-masingnya secara tetap dan mengikat[61]


Pangeran Martawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin kemudian menyampaikan keinginannya kepada utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang bernama Jacob van Dyck agar Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda mau membantunya mendapatkan tahta kesultanan Cirebon, hal ini kemudian mendapatkan penentangan oleh Pangeran Kartawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan Anom Badriddin dan Pangeran Wangsakerta yang telah dinobatkan menjadi Panembahan Nasiruddin. Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom Badruddin) berpendapat bahwa mereka telah sama-sama dinobatkan sebagai penguasa wilayah di Cirebon, menyikapi hal ini kemudian Pangeran Kartawijaya meminta perlindungan kepada kesultanan Banten, sementara Pangeran Wangsakerta (Panembahan Nasiruddin) menuntut agar dirinya juga dapat berkuasa di Cirebon karena selama terjadi kekosongan akibat ayah dan saudaranya ditawan oleh Mataram dialah yang menjadi Wali dan menjalankan pemerintahan kesultanan Cirebon[61]


Kesultanan Banten menyerang loji Belanda di Indramayu

Pada bulan April tahun 1679 kesultanan Banten menyerang Loji (bahasa Indonesia : gudang) Vereenigde Oostindische Compagnie di Indramayu dibawah pimpinan Arya Surya dan Ratu Bagus Abdul Qadir[64], penyerangan kesultanan Banten ini adalah bagian dari perang gerilya kesultanan Banten terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie dan sekutunya di pulau Jawa.


Jacob van Dyck dan surat Belanda 1680

Pada bulan September 1680, ketika pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon diambang kehancuran oleh Vereenigde Oostindische Compagnie, Jacob van Dyck yang sebelumnya adalah utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang diminta bantuan oleh Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh Syamsuddin) agar menyampaikan keinginannya supaya Vereenigde Oostindische Compagnie mau membantunya dalam mendapatkan tahta kesultanan Cirebon telah diutus ke Cirebon sebagai seorang Commissaris[61] (bahasa Indonesia : mediator atau penengah perjanjian) untuk menyerahkan surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang menyatakan bahwa pemerintahan tertinggi Belanda sudah menganggap para penguasa Cirebon sebagai raja-raja yang bebas tidak terikat oleh pihak manapun dan pemerintahan tertinggi Belanda berjanji akan melindungi para penguasa Cirebon dengan cara menempatkannya sebagai protektorat (wilayah dalam perlindungan Belanda)[61]


Pada saat yang sama Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens dan para penasehatnya yang diketuai oleh Cornelis Janzoon Speelman (menjabat sejak 18 Januari 1678[65]) sudah menyusun teks perjanjian yang akan diserahkan kepada tiga penguasa Cirebon, teks perjanjian tersebut disusun sendiri oleh Cornelis Janzoon Speelman yang kemudian pada tanggal 29 Oktober 1680 ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda[66]. Penunjukan Cornelis Janzoon Speelman sebagai Gubernur Jenderal dikarenakan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri, keinginan Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens untuk mengundurkan diri dikarenakan merasa tidak mampu lagi menghadapi penentangan demi penentangan yang dilakukan oleh Cornelis Janzoon Speelman dan rekan-rekannya di pemerintahan tinggi[66]


Pengajuan pengunduran diri yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens sebenarnya telah dilakukan sejak 1679 namun baru mendapatkan respon dari Heeren XVII (tujuh belas orang pemimpin tinggi Vereenigde Oostindische Compagnie) melalui surat tertanggal 29 Oktober 1680, didalam surat tersebut Heeren XVII menerima pengunduran dirinya dengan hormat dan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selama ini kepada Vereenigde Oostindische Compagnie, Heeren XVII menawarkan kepada anaknya yang bernama Rijckloff van Goens Jr yang pada masa itu menjabat sebagai Gubernur wilayah jajahan Belanda di Srilanka sebuah posisi di pemerintahan tinggi[66]


Pangeran Haji dan kekalahan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon

Pada masa gerilya ini Sultan Abdul Fatah dari kesultanan Banten menghadapi konflik internal yang dipicu oleh kekhawatiran Pangeran Haji akan tahta kesultanan Banten yang mungkin tidak akan jatuh kepadanya, konflik internal ini memulai puncaknya ketika Cornelis Janzoon Speelman ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menggantikan Rijckloff van Goens pada 29 Oktober 1680[66].


Pangeran Haji kemudian pada tanggal 25 November 1680 mengirimkan surat ucapan selamat kepada Cornelis Janzoon Speelman atas penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pengiriman surat ucapan selamat oleh Pangeran Haji kepada Cornelis Janzoon Speelman memicu kekecewaan Sultan Abdul Fatah dikarenakan pada masa itu Vereenigde Oostindische Compagnie baru saja menghancurkan pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon[11] yang berimbas pada berhasil dikuasai sepenuhnya wilayah kesultanan Cirebon oleh Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda[67].


Perjanjian 1681

Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah Rijckloff van Goens (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju ke Cirebon, iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.[61],[68]


Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681, diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di alun-alun yang disertai tembakan meriam sebagai bentuk penghormatan, kemudian surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari 1681 tersebut dibacakan.[61],[68].


Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan diantara para penguasa Cirebon dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon, Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon[69][70]. Pada perjanjian tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs[71], perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula[71], lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda).[72]


Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga membatasi perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan Vereenigde Oostindische Compagnie memperoleh hak di sana[67]


Perang saudara

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[2] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, tetapi pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.


Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.[73] Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, tetapi terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.[74]


Penurunan

Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Laksamana kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[75] Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.[76]


Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkeramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.


Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten[77] maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vasal dari VOC.[55]


Penghapusan kesultanan Banten dan lepasnya Lampung


Keris Naga Sasra yang digunakan oleh Pangeran Kornel (Pangeran Kusumahdinata IX) saat bersalaman menggunakan tangan kiri (pertanda adanya perlawanan terhadap kebijakan Belanda dalam pembangunan Jalan Raya Pos dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada peristiwa Cadas Pangeran


Reruntuhan Keraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia Belanda")


Reruntuhan Keraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, pada tahun 1933

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.[78] Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pad

Monday, August 17, 2020

Bagaimana kedudukan hadis tentang perpecahan umat islam

 



*Bagaimana Kedudukan Hadis Tentang Perpecahan Umat Islam?*

February 1, 2018 by Al-Wa'ie 

Soal:

Bagaimana kedudukan hadis tentang perpecahan umat Nabi Muhammad di akhir zaman? Sahih atau tidak? Jika sahih, lalu apa makna perpecahan dalam konteks hadis ini? Siapa pula kelompok selamat yang dimaksudkan?


Jawab:


Masalah ini telah dijawab dalam Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, tanggal 24 Raibul Akhir 1439 H/11 Januari 2018 M. Secara ringkas, sebagai berikut:

Pertama, hadis-hadis yang menyatakan perpecahan umat bisa dipilah menjadi tiga kelompok


Kelompok hadis yang menyebutkan umat berpecah menjadi 73 kelompok.


Kelompok hadis yang menyebutkan 73 kelompok dengan tambahan “kulluhâ fî an-nâr illâ wâhidatan” (semuanya di neraka, kecuali satu).

Kelompok hadis yang menyebutkan 73 kelompok disertai tambahan “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidatan” (semuanya di surga, kecuali satu).

Mengenai kelompok hadis pertama, yaitu yang menyatakan perpecahan umat Islam menjadi 73 kelompok, tetapi tanpa tambahan, status hadisnya sahih. Tidak ada ulama yang men-dha’îf-kannya. Antara lain berbunyi:


افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً

Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 firqah, Nasrani terpecah menjadi 71 atau 72 firqah, dan umatku akan terpecah menjadi 73 firqah.[1]


تَفَرَّقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ أَوْ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً

Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 firqah, Nasrani terpecah menjadi semisal itu dan umatku terpecah menjadi 73 firqah.[2]


اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلىَ إِحْدَى أَوْ اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً

Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 firqah,  Nashrani terpecah dalam 71 atau 72 firqah dan umatku terpecah menjadi 73 firqah.[3]


Kelompok hadis kedua, dengan tambahan “kulluhâ fî an-nâri illâ wâhidah (semuanya di neraka, kecuali satu), telah dinyatakan lebih dari satu riwayat dengan status sahih, atau dinilai sebagai hasan. Antara lain berbunyi:

… وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

“…Sungguh Bani Israel terpecah dalam 72 millah dan umatku akan terpecah dalam 73 millah. Semua mereka di neraka kecuali satu millah.” Mereka berkata, “Siapa dia, ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Apa yang aku dan para sahabatku di atasnya.”[4]


افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ

“Yahudi terpecah dalam 71 firqah, satu di surga dan 70 di neraka. Nasrani terpecah dalam 72 firqah, 71 di neraka dan satu di surga. Demi Zat Yang jiwaku dalam genggaman tangan-Nya, sungguh umatku akan terpecah dalam 73 firqah, satu di surga dan 72 di neraka.” Dikatakan, “Ya Rasulullah siapa mereka?” Beliau bersabda, “Al-Jamâ’ah.”[5]


إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً يَعْنِي الْأَهْوَاءَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Pengikut dua kitab terpecah dalam agama mereka menjadi 72 millah dan sungguh umat ini akan terpecah menjadi 73 millah, yakni hawa nafsu. Semuanya di neraka kecuali satu yaitu al-jamâ’ah.[6]


تَفْتَرِقُ هَذِهِ اْلأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً، قَالُوْا: وَمَا هِيَ تِلْكَ الْفِرْقَةَ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ اَلْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ

“Umat ini akan terpecah menjadi 73 firqah. Semuanya di neraka kecuali satu.” Mereka berkata, “Apa firqah itu?” Beliau menjawab, “Apa yang aku dan para sahabatku hari ini ada di atasnya.”[7]


إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا فِيْ دِيْنِهِمْ عَلَى اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ اْلأُمَّةُ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً يَعْنِيْ اَلْأَهْوَاءِ، كُلُّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً، وَهِيَ اَلْجَمَاعَةُ

Sungguh, Ahlul Kitab terpecah dalam agama mereka menjadi 72 millah. Sungguh umat ini akan terpecah menjadi 73 millah, yakni hawa nafsu. Semuanya di neraka kecuali satu, yaitu al-jamâ’ah.[8]


إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ تَفَرَّقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ…

Sungguh Ahlul Kitab terpecah dalam agama mereka menjadi 72 millah. Umat ini akan terpecah menjadi 73 millah. Semuanya di neraka, kecuali satu, yaitu al-jamâ’ah.[9]


أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Ingatlah, sungguh orang sebelum kalian dari kalangan Ahlul Kitab terpecah menjadi 72 millah. Sungguh millah ini akan terpecah menjadi 73; 72-nya di neraka dan satu di surga, yaitu al-jamâ’ah.[10]


Adapun kelompok hadis yang ketiga dengan tambahan “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidat[an]” (semuanya di surga, kecuali satu), riwayatnya di-dhâ’îf-kan oleh banyak ulama. Antara lain:

تَفَرَّقُ أُمَّتِي عَلَى سَبْعِينَ أَوْ إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهُمْ فِي الْجَنَّةِ إِلَّا فِرْقَةً وَاحِدَةً، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: الزَّنَادِقَةُ وَهُمُ الْقَدَرِيَّةُ

“Umatku terpecah menjadi 71 firqah. Semuanya di surga, kecuali satu”. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, siapa mereka?” Beliau menjawab, “Orang-orang zindiq dan mereka adalah al-Qadariyah.”[11]


تَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى بِضْعٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي الْجَنَّةِ إِلَّا فِرْقَةً وَاحِدَةً، وَهِيَ الزَّنَادِقَةُ

Umatku akan terpecah menjadi 70 sekian firqah. Semuanya di surga, kecuali satu firqah, yaitu az-zindiq.[12]


Jadi, ringkasnya hadis perpecahan umat Islam menjadi 73 kelompok tanpa tambahan statusnya sahih. Lalu hadis yang sama dengan tambahan “kulluhâ fî an-nâri illâ wâhidat[an]” (semuanya di neraka, kecuali satu) dinyatakan hasan oleh banyak ulama. Adapun hadis yang sama, dengan tambahan “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidat[an]” (semuanya di surga, kecuali satu), telah di-dha’îf-kan oleh banyak ulama. Yang mensahihkan atau menilai hasan hadis terakhir ini sedikit sekali.


Karena itu Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rasythah menguatkan status tambahan yang bisa digunakan, yaitu “kulluhâ fî an-nâri illâ wâhidat[an]” (semuanya di neraka, kecuali satu). Adapun tambahan yang lain, “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidatan” (semuanya di surga, kecuali satu), tidak bisa digunakan. Ini kesimpulan tentang status hadis di atas.


Kedua: Mengenai maknanya, ada dua:


Konotasi hakiki. Artinya, umat Islam ini memang benar-benar terpecah menjadi 73 kelompok. Hanya saja, semuanya tetap merupakan umat Islam, meski ada yang masuk neraka. Ini dijelaskan oleh Imam al-Khaththabi, dalam Ma’âlim as-Sunan, “Di dalam hadis ini ada petunjuk bahwa semua kelompok ini masih merupakan umat Islam dan tidak keluar dari agama ini. Pasalnya, Nabi saw. masih menjadikan mereka sebagai bagian dari umatnya.”[13] Itu artinya, umat Islam benar-benar terpecah menjadi 73 kelompok; ada yang selamat dan ada yang masuk neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.


Mengenai kelompok yang selamat ini (al-firqah an-nâjiyah), dalam riwayat ini maupun riwayat yang lain, adalah mereka yang terikat dengan tuntunan Nabi saw. dan para sahabatnya. Dalam riwayat lain digunakan redaksi “Jamâ’ah”. Karena itu ada yang menyebut kelompok yang selamat itu adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu mereka yang terikat dengan tuntunan Nabi saw. serta menjaga dan memperjuangkan jamaah [Khilafah].


Konotasi majaz. Artinya, yang dimaksud oleh hadis ini bukan makna yang sesungguhnya, melainkan kiasan. Tepatnya, hadis ini merupakan uslub Nabi untuk mengingatkan umatnya, agar tidak mengikuti Yahudi dan Nasrani, berpecah-belah hingga menjadi sekian kelompok. Jumlah di sini juga tidak berarti secara harfiah sebanyak itu, tetapi bisa diartikan katsrah (menjadi banyak). Kalimat dalam hadis ini memang berupa kalimat berita [kalam khabar], tetapi mempunyai konotasi larangan (nahy). Lalu bagaimana caranya agar tetap selamat? Jawabannya adalah dengan berpegang teguh pada tuntunan Nabi saw. dan jamaah kaum Muslim [Khilafah]. Kalau tidak ada, maka kita harus meninggalkan berbagai kelompok yang menyeru ke Neraka Jahanam, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Hudzaifah al-Yaman.

WalLâhu a’lam. []


Catatan kaki:

[1]    Hr. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, dari Abu Hurairah.


[2]    Hr. at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah. Dalam bab ini ada riwayat dari Sa’ad, ‘Abdullah bin Amru dan ‘Awf bin Malik. Abu Isa (at-Tirmidzi) berkata, “hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih”.

[3]    Hr. Al-Hakim, al-Mustadrak, dari Abu Hurairah. Al-Hakim berkata, “Ini adalah hadits shahih menurut syarat Muslim meski beliau tidak mengeluarkannya, dan hadits ini memiliki syahid… Adz-Dzahabi menyetujuinya.”


[4]    Hr. At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, dari Abdullah bin Amru. Abu Isa (at-Tirmidzi) berkata, “Hadits ini hasan gharib…”

[5]    Hr. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,  dari ‘Awf bin Malik.

[6]    Hr. Ahmad, Musnad.

[7]    Hr. Ath-Thabarani, Mu’jam ash-Shaghir dari Anas bin Malik.

[8]    Hr. Al-Baihaqi, Dalâ`il an-Nubuwwah.

[9]    Hr. Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahihayn. Al-Hakim berkata, “Sanad ini ditegakkan hujjah dalam penshahihan hadits ini… Dan disetujui oleh adz-Dahabi.”


[10]   Hr. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud. Al-Albani menilainya hasan.

[11]   Hr. Al-‘Uqaily, ad-Dhu’afa’ al-Kabir, dengan sanad dari Muhammad bin Marwan al-Qurasyi, dari Muhammad bin ‘Ubadah al-Wasithi, dari Musa bin Ismail al-Jabali, dari Mu’adz bin Yasin az-Zayyatu, dari al-Abrad bin Abi al-Asyras, dari Yahya bin Sa’id, dari Anas bin Malik. Al-‘Uqailiy berkata, “Mu’ad bin Yasin az-Zayyatu dari al-Abrad bin al-Asyras, orang yang majhul dan haditsnya tidak boleh diingat (ghayru mahfûzh).”


[12]   Hr. Al-‘Uqaily, ad-Dhu’afa’ al-Kabir, dari al-Hasan bin Ali bin Khalid al-Laytsi, dari Nu’aim bin Hamad, dari Yahya bin Yaman, dari Yasin az-Zayyatu dari Sa’ad bin Sa’id, saudaranya Yahya bin Sa’id al-Anshari dari Anas. Al-‘Uqailiy berkata, “Hadits ini tidak kembali kepada shahih, boleh jadi Yasin mengambilnya dari bapaknya atau dari Abrad ini. Dan hadits ini tidak punya asal dari hadits Yahya bin Sa’id dan tidak pula dari hadits Sa’ad.”


[13]   Al-Khatthabi, Ma’alim as-Sunan, Juz VII/4


Saturday, August 15, 2020

Mamahami Lafazh Kull Pada Hadits Bid’ah

 Mamahami Lafazh Kull Pada Hadits Bid’ah


Tanya:

Selama ini saya memahami kata kullu pada hadits “kull[u] bid’at[in] dhalâlat[un]” bermakna semua. Namun sebagian kalangan memahami itu makananya sebagian, sehingga ada bid’ah hasanah yang tidak termasuk bid’ah dhalalah. Sebenarnya apa kata kullu bisa bermakna sebagian? kapan bermakna sebagian? Di hadits tersebut menggunakan makna yang mana?

(Ratna Winarsih - Malang)


Jawab:

Bismillahirrahmanirrahim

Saudari benar, bahwa lafazh kull secara bahasa memang berarti: semua, seluruh, atau segala. Al-Imam Al-Jurjani (w. 816 H) dalam kamus at-Ta’rîfat menjelaskan lebih lanjut:


وَكَلِمَةُ كُلٍّ عَامٌّ تَقْتَضِي عُمُوْمَ الْأَسْمَاءِ .


“Dan kata kull itu berlaku umum meliputi keumuman semua kata benda.”[1]


Maksudnya adalah apabila ia mengenai sebuah kata benda, maka itu akan menimbulkan makna umum pada kata benda tersebut. Sebagai contoh, lafazh kull dalam hadits Rasulullah saw berikut ini.


« كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى »  قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى »


“Semua umatku akan masuk surga kecuali siapa yang enggan.” Mereka (para sahabat ra) berkata: Wahai Rasulullah, siapa yang enggan itu?  Beliau menjawab: “Siapa saja menaatiku ia akan masuk surga, dan siapa-siapa yang mendurhakaiku berarti ia telah enggan (masuk surga).”[2]


Ketika lafazh kull di situ mengenai lafazh ummatî (umatku) maka itu menimbulkan makna umum pada lafazh ummatî, yakni meliputi segenap umat Nabi Muhammad saw tanpa terkecuali.


Namun kemudian perlu diketahui, bahwa dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada kaidah yang mengatakan:


 يَبْقَى الْعَامُّ عَلَى عُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ


“Dalil umum akan senantiasa berlaku umum selama tidak ada dalil pengkhususan.”[3]


Di titik inilah lafazh kull berpeluang untuk tidak meliputi secara mutlak keumuman kata benda yang dikenainya. Yaitu manakala ada atau ditemukan dalil takhshîsh. Baik dalil takhshîsh tersebut terdapat dalam satu nash bersama dalil yang menunjukkan keumuman (at-takhshîsh al-muttashil), maupun dalil takhshîsh tersebut terdapat pada nash lain yang berbeda (at-takhshîsh al-munfashil).   


Dalam hadits di atas, dalil takhshîsh terdapat pada nash hadits itu sendiri. Yaitu bagian illâ man abâ (kecuali siapa-siapa yang enggan). Sehingga keumuman lafazh kull[u] ummatî (semua umatku) di situ menjadi makhshush (terkenai pengkhususan). Yakni dikhususkan bagi yang tidak taat untuk tidak termasuk ke dalam cakupan kull di situ.


Pemahaman seperti ini juga berlaku pada hadits kull[u] bid’at[in] dhalâlat[un] yang sedang ditanyakan. Asalnya ia berarti umum meliputi segala macam bid’ah tanpa terkecuali. Namun kemudian ditemukan dalil lain di luar nash umum tersebut yang menunjukkan adanya bid’ah yang tidak sesat. Di antaranya berupa Ijma’ Sahabat atas adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) di masa khalifah Umar bin Khaththab ra. Yaitu penyelenggaraan shalat tarawih secara terorganisir yang belum pernah ada di masa-masa sebelumnya. Dalam kesempatan itu Umar dengan jelas mengatakan:


« نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ »


“Ini merupakan sebaik-baik bid’ah.”[4]


Para sahabat tidak ada yang memprotes kebijakan dan pernyataan beliau ini, sehingga dipahami sebagai ijma’ akan adanya bid’ah yang bukan bid’ah dhalâlah. Ini menjadi mukhashshish (pengkhusus) bagi keumuman kata bid’ah pada hadits bid’ah dhalâlah. Berkenaan dengan hadits tersebut Al-Imam Al-Hafizh An-Nawawi Asy-Syafi’i (w. 676 H) menerangkan:


( وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ) هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ ... أَنَّ الْحَدِيْثَ مِن الْعَامِّ الْمَخْصُوْصِ وَكَذَا مَا أَشْبَهَهُ مِن الْأَحَادِيْثِ الْوَارِدَةِ وَيُؤَيِّدُ مَا قُلْنَاهُ قَوْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي التَّرَاوِيْحِ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ كَوْنِ الْحَدِيْثِ عَامًّا مَخْصُوْصًا قَوْلُهُ كُلُّ بِدْعَةٍ مُؤَكَّدًا بِكُلٍّ بَلْ يَدْخُلُهُ التَّخْصِيْصُ .


“(Sabda Nabi saw) dan semua bid’ah adalah sesat; ini merupakan redaksi umum yang terkenai takhshish (pengkhususan), yang artinya adalah bid’ah pada umumnya (bukan bid’ah secara mutlak, pentj.) … Bahwa hadits tersebut tergolong dalil umum yang terkenai pengkhususan, demikian pula halnya hadits-hadits serupa yang ada. Hal yang memperkuat pendapat kami ini adalah perkataan Umar bin Khaththab ra berkenaan shalat tarawih: “sebaik-baik bid’ah”. Sabda Nabi: “semua bid’ah” dengan penekanan menggunakan kata kull, tidak menghalangi untuk terbilangnya hadits tersebut sebagai hadits umum yang terkenai pengkhususan. Melainkan justru ia terkenai pengkhususan itu sendiri.”[5]


Jadi apabila dikembalikan pada pertanyaan di atas, maka jabawannya adalah bahwa lafazh kull tidak berarti sebagian, ia tetap bermakna semua, seluruh, atau segala. Hanya saja kemudian ia memungkinkan untuk di-takhshish (dikenai pengkhususan), sehingga itu menjadikannya tidak lagi bermakna umum secara mutlak alias tidak meliputi hal-hal yang dikhususkan darinya. Namun meski demikian kata tersebut tetap tidak berarti sebagian.


Di atas ini merupakan penjelasan menurut prespektif pendapat yang mengakui pembagian bid’ah menjadi hasanah dan dhalalah, yang itu adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i ra yang banyak diikuti oleh kalangan pesantren. Adapun menurut prespektif pendapat yang menganggap semua bid’ah adalah dhalalah tanpa terkecuali, mereka memahami kata bid’ah pada ungkapan Umar tersebut sebagai bid’ah secara bahasa bukan istilah[6]. Adapun kebolehan melakukannya, karena ia dipayungi oleh syari’at yang bersifat umum, sehingga bagi mereka apa yang dilakukan Umar itu tidak tergolong bid’ah secara istilah. Oleh sebab itu mereka tidak memberlakukannya sebagai mukhashshish bagi hadits bid’ah.


Walhasil, masing-masing dari dua kelompok tersebut sama-sama memahami kull berarti semua, seluruh, atau segala. Hanya bedanya, kelompok pertama memberlakukan takhshîsh atasnya sementara kelompok kedua tidak. Wallâhu a’lam[] 


05 Dzul Qa’dah 1436 H

Azizi Fathoni K 



[1] al-Jurjani, at-Ta’rîfât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 186.

[2] Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, nomor hadits 7280; Musnad Ahmad, Ahmad bin Hambal, nomor hadits 8713; Shahih Ibn Hibban, Ibnu Hibban, nomor hadits 17; al-Mustadrak, al-Hakim, nomor hadits 182.

[3] Lihat Taqiyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol 1 (Beirut: Dâr al-Ummah, 2003), 252.

[4] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, nomor hadits 2010; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibn Khuzaimah, nomor hadits 1100; Malik bin Anas, al-Muwaththa’, nomor hadits 279; al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, nomor hadits 3269.

[5] Abu Zakariya al-Nawawi, Syarh al-Nawawî ‘alâ Muslim, vol 6 (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, 1972), 154.

[6] Lihat Majmu' al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah al-Harrani, vol 20 hlm 163


BENARKAH HIZBUT TAHRIR MENGINGKARI KEMAKSUMAN PARA NABI?

 BENARKAH HIZBUT TAHRIR MENGINGKARI KEMAKSUMAN PARA NABI?


Tanggapan atas Tulisan KH. M. Najih Maimoen: Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII, dan Ma’had Zaitun. Sub Bab: Konsep Mengingkari Ishmah Al-Anbiya’


Azizi Fathoni K


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

الْحَمْدُ لله وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ الله وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاه . وَبَعْد


Sambil memohon pertolongan kepada Allah ‘azza wa jalla, al-faqir katakan: 


Pada bagian sub bab terkait kritik terhadap Hizbut Tahrir, Kyai Najih Meimoen selaku penulis di antaranya mencantumkan judul: Konsep Mengingkari ‘Ishmah Al-Anbiya`[i]


Al-faqir katakan: Judul tersebut rasanya kurang pas, karena yang menjadi pendapat Hizbut Tahrir adalah bahwa para nabi tidak maksum sebelum diutusnya mereka menjadi nabi atau rasul atau sebelum masa kenabian, bukan tidak maksum secara mutlak. Sehingga lebih tepatnya apabila ditulis dengan redaksi: Konsep Mengingkari ‘Ishmah Al-Anbiya` sebelum Masa Kenabian.


Karena sudah maklum kiranya dan menjadi perkara yang telah disepakati bersama bahwa para nabi adalah maksum setelah kenabian mereka atau setelah mereka menjadi nabi. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Imam al-Ushuli Abu al-Hasan al-Amidi (w. 631 H) dalam kitab ushulnya, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm:


وَأَمَّا بَعْدَ النُّبُوَّةِ فَالِاتِّفَاقُ مِنْ أَهْلِ الشَّرَائِعِ قَاطِبَةً عَلَى عِصْمَتِهِمْ عَنْ تَعَمُّدِ كُلِّ مَا يُخِلُّ بِصِدْقِهِمْ فِيمَا دَلَّتِ الْمُعْجِزَةُ الْقَاطِعَةُ عَلَى صِدْقِهِمْ فِيهِ مِنْ دَعْوَى الرِّسَالَةِ وَالتَّبْلِيغِ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى .


"Adapun setelah kenabian, maka telah ada konsensus oleh segenap ulama ushul atas kemaksuman mereka dari sengaja melakukan apa saja yang dapat menciderai kebenaran mereka pada apa yang ditunjukkan oleh mukjizat yang meyakinkan atas kebenaran mereka di dalamnya, berupa klaim kerasulan dan penyampaian risalah dari Allah ta’âlâ."[ii]


Dan dalam hal ini Hizbut Tahrir tidak menyalahi ijmak ulama Ahlussunnah barang sehelai rambut pun, bahwa para nabi adalah maksum setelah kenabian mereka. Disebutkan dalam kitab yang diadopsinya, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz I: 


وَالْحَقُّ أَنَّ كُلَّ مَا كَانَ طَلَبُ فِعْلِهِ أَوْ طَلَبُ تَرْكِهِ جَازِماً -أَيْ جَمِيْعَ الْفُرُوْضِ وَالْمُحَرَّمَاتِ- هُمْ مَعْصُوْمُوْنَ بِالنِّسْبَةِ لَهَا ، مَعْصُوْمُوْنَ عَنْ تَرْكِ الْوَاجِبَاتِ ، وَعَنْ فِعْلِ الْمُحَرَّمَاتِ ، سَوَاءٌ أَكَانَتْ كَبَائِرَ أَوْ صَغَائِرَ . أَيْ مَعْصُوْمُوْنَ عَنْ كُلِّ مَا يُسَمَّى مَعْصِيَّةً وَيَصْدُقُ عَلَيْهِ أَنَّهُ مَعْصِيَّةٌ ...


"Pendapat yang benar adalah bahwa setiap apa saja yang tuntutan pelaksanaan atau meninggalkan nya bersifat tegas (jâzim[an]) –artinya seluruh kewajiban dan keharaman–, maka berkenaan dengan itu mereka (para nabi dan rasul) adalah maksum. Mereka maksum dari meninggalkan kewajiban, dan maksum dari melakukan keharaman. Sama saja baik itu dosa kecil maupun dosa besar. Artinya, mereka maksum dari setiap apa yang disebut maksiat dan yang dibenarkan sebagai kemaksiatan. ..."[iii] 


Sampai pada bagian awal redaksi yang dicuplik oleh Kyai Najih Maimoen yang berbunyi:


إِلَّا أَنَّ هَذِهِ الْعِصْمَةَ لِلْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ إِنَّمَا تَكُوْنُ بَعْدَ أَنْ يُصْبِحَ نَبِيّاً أَوْ رَسُوْلاً بِالْوَحْيِ إِلَيْهِ .


"… hanya saja kemaksuman para nabi dan rasul adalah setelah mereka memiliki predikat kenabian dan kerasulan dengan turunnya wahyu kepada mereka."[iv]


Selanjutnya, setelah mengutip perkataan al-Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani terkait pendapat Hizbut Tahrir dalam topik yang sedang dikritisi, yang berbunyi:


إِلَّا أَنَّ هَذِهِ الْعِصْمَةَ لِلْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ إِنَّمَا تَكُوْنُ بَعْدَ أَنْ يُصْبِحَ نَبِيّاً أَوْ رَسُوْلاً بِالْوَحْيِ إِلَيْهِ . أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ فَإِنَّهُ يَجُوْزُ عَلَيْهِمْ مَا يَجُوْزُ عَلَى سَائِرِ الْبَشَرِ ، لِأَنَّ الْعِصْمَةَ هِيَ لِلنُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ .


"…hanya saja kemaksuman para nabi dan rasul adalah setelah mereka memiliki predikat kenabian dan kerasulan dengan turunnya wahyu kepada mereka. Adapun sebelum kenabian dan kerasulan boleh jadi mereka berbuat dosa seperti umumnya manusia. Karena keterpeliharaan dari dosa ('Ishmah) berkaitan dengan kenabian dan kerasulan saja."[v] 


Kyai Najih Maimoen kemudian menuliskan paragraf yang menimbulkan kesan seakan telah terjadi konsensus (ijmak) ulama Ahlussunnah akan kemaksuman para nabi sebelum masa kenabian mereka: 


"Para ulama Ahlussunnah telah sepakat bahwa para nabi pasti memiliki sifat jujur, amanah dan kecerdasan luar biasa. Dari sini diketahui bahwa Allah SWT tidak akan memilih seseorang untuk predikat ini kecuali orang yang tidak pernah jatuh dalam perbuatan hina, khianat, kebodohan dan kebohongan. Karena itu orang yang pernah terjatuh dalam hal-hal yang tercela tersebut tidak layak untuk menjadi nabi meskipun tidak lagi mengulanginya. Para nabi juga terpelihara dari kekufuran, dosa-dosa besar juga dosa-dosa kecil yang mengandung unsur kehinaan atau tidak, baik sebelum mereka menjadi nabi maupun sesudahnya baik sengaja atau tidak."[vi] 


Seraya beliau mengutip perkataan al-Imam Muhammad bin Ahmad al-Dasuki (w. 1230 H) dalam kitabnya Hasyiah Ummil Barahin:


قَوْلُهُ وَالْأَمَانَةُ : الْمُرَادُ بِهَا حِفْظُ ظَوَاهِرِهِمْ وَبَوَاطِنِهِمْ مِنَ الْوُقُوْعِ فِي الْمَكْرُوْهَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ ، سَوَاءٌ كَانَتِ الْمُحَرَّمَاتُ صَغَائِرَ أَمْ كَبَائِرَ ، كَانَتْ تِلْكَ الصَّغَائِرُ صَغَائِرَ خِسّةٍ كَسَرِقَةِ لُقْمَةٍ وَتَطْفِيْفِ كَيْلٍ ، أَوْ صَغَائِرَ غَيْرِ خِسّةٍ كَنَظْرٍ لِامْرَأَةٍ أَوْ لِأَمْرَدٍ بِشَهْوَةٍ ، كَانَتْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ أَوْ بَعْدَهَا ، عَمْدًا أَوْ سَهْوًا .


"Yang dimaksud dengan amanat mereka adalah keterjagaan lahir dan batin mereka dari terjerumus dalam hal-hal yang makruh dan haram, baik hal-hal yang haram itu berupa dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa-dosa kecil tersebut berupa dosa-dosa kecil yang hina seperti mencuri sesuap nasi dan mengurangi takaran, atau dosa kecil yang tidak hina seperti memandang (dengan sengaja dan menikmatinya) perempuan atau amrad (laki-laki ganteng) dengan syahwat, baik sebelum kenabian atau sesudahnya, baik disengaja atau lupa."[vii] 


Hal tersebut kemudian dipertegas dengan paragraf penutup beliau di akhir kritikannya dalam topik ini:


"Jadi, dengan berpijak terhadap pendapat an Nabhani bahwa para nabi boleh jadi melakukan perbuatan dosa apa saja sebelum menjadi nabi sebagaimana layaknya manusia biasa, Hizbut Tahrir telah ikut andil dalam menyebarluaskan epidemi virus liberalisme di tengah-tengah umat Islam diantaranya dengan jalan tidak mengakui kemaksuman para nabi. Kalau dibiarkan ini sangat berbahaya."[viii]


Al-faqir katakan: klaim ijmak tersebut kiranya perlu ditinjau ulang, atau dirinci lebih lanjut terkait apa maksudnya, kemaksuman sebelum kenabian kah atau setelahnya. Juga siapakah ulama yang menyebutkan adanya ijmak akan kemaksuman mereka sebelum kenabian tersebut, mengingat kutipan dari kitab Hasyiyah Ummil Barohin tidak menyebutkannya. 


Karena berbeda dengan kemaksuman nabi setelah kenabiannya yang telah disepakati ulama Ahlussunnah sebagaimana disinggung di awal, perihal kemaksuman nabi sebelum kenabiannya adalah perkara yang diperselisihkan (mukhtalaf fîh), bahkan di antara ulama Ahlussunnah sendiri. Berikut al-faqir kutipkan penjelasan al-Imam al-Amidi masih dalam kitab yang sama:


الْمُقَدِّمَةُ الْأُولَى . فِي عِصْمَةِ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ ، وَشَرْحِ الِاخْتِلَافِ فِي ذَلِكَ وَمَا وَقَعَ الِاتِّفَاقُ مِنْ أَهْلِ الشَّرَائِعِ عَلَى عِصْمَتِهِمْ عَنْهُ مِنَ الْمَعَاصِي وَمَا فِيهِ الِاخْتِلَافُ . أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَدْ ذَهَبَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِنَا وَكَثِيرٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِمُ الْمَعْصِيَةُ كَبِيرَةً كَانَتْ أَوْ صَغِيرَةً ، بَلْ وَلَا يَمْتَنِعُ عَقْلًا إِرْسَالُ مَنْ أَسْلَمَ وَآمَنَ بَعْدَ كُفْرِهِ . وَذَهَبَتِ الرَّوَافِضُ إِلَى امْتِنَاعِ ذَلِكَ كُلِّهِ مِنْهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ ; لِأَنَّ ذَلِكَ مِمَّا يُوجِبُ هَضْمَهُمْ فِي النُّفُوسِ وَاحْتِقَارَهُمْ وَالنُّفْرَةَ عَنِ اتِّبَاعِهِمْ ، وَهُوَ خِلَافُ مُقْتَضَى الْحِكْمَةِ مِنْ بَعْثَةِ الرُّسُلِ ، وَوَافَقَهُمْ عَلَى ذَلِكَ أَكْثَرُ الْمُعْتَزِلَةِ إِلَّا فِي الصَّغَائِرِ .


"Mukadimah Pertama, Tentang Kemaksuman Para Nabi ‘Alayhimus Salam, dan penjelasan adanya ikhtilaf dalam hal tersebut, serta apa saja di antara kemaksiatan yang disepakati oleh ulama ushul akan kemaksuman mereka di dalamnya dan apa saja yang di dalamnya terdapat ikhtilaf. Adapun sebelum kenabian, maka al-Qadhi Abu Bakar[ix], mayoritas sahabat kami (ulama Syafi’iyyah), dan banyak dari kalangan muktazilah berpendapat bahwasannya tidak tertutup kemungkinan bagi mereka melakukan kemaksiatan, baik dosa besar maupun kecil. Bahkan secara logika tidak tertutup kemungkinan akan diutusnya orang yang berislam dan beriman sebelum tadinya kafir. Sedangkan kalangan Rafidhah berpendapat bahwa tertutup kemungkinan bagi mereka akan hal itu semua sebelum kenabian. Karena itu diantara apa yang meniscayakan kehancuran diri, kehinaan, dan memicu kebencian orang untuk mengikuti mereka. Hal itu bertentangan dengan tujuan diutusnya para rasul. Mayoritas muktazilah sejalan dengan mereka dalam hal ini kecuali terkait dosa-dosa kecil."[x] 


Dan al-Imam al-Amidi sendiri termasuk mereka yang berpendapat akan ketidak maksuman para nabi sebelum masa kenabian. Beliau mengatakan:


وَالْحَقُّ مَا ذَكَرَهُ الْقَاضِي ; لِأَنَّهُ لَا سَمْعَ قَبْلَ الْبَعْثَةِ يَدُلُّ عَلَى عِصْمَتِهِمْ عَنْ ذَلِكَ، وَالْعَقْلُ دَلَالَتُهُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى التَّحْسِينِ وَالتَّقْبِيحِ الْعَقْلِيِّ، وَوُجُوبِ رِعَايَةِ الْحِكْمَةِ فِي أَفْعَالِ اللَّهِ تَعَالَى، وَذَلِكَ كُلُّهُ مِمَّا أَبْطَلْنَاهُ فِي كُتُبِنَا الْكَلَامِيَّةِ .


"Dan yang benar adalah apa yang dinyatakan oleh al-Qadhi (Abu Bakar al-Baqillani); dikarenakan tidak ada dalil sam’i sebelum masa kenabian yang menunjukkan akan kemaksuman mereka dari hal tersebut. Sementara akal, penunjukannya sebatas berdasarkan penilaian baik dan buruk menurut akal semata, dan keharusan memelihara hikmah yang terkandung dalam perbuatan-perbuatan Allah ta’ala. Dan itu semua di antara yang telah kami bantah di dalam kitab-kitab kami tentang ilmu kalam."[xi] 


Bahkan, berdasarkan keterangan yang dikutip oleh al-Imam Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H) dalam kitab ushul-nya al-Bahr al-Muhîth, pendapat Hizbut Tahrir ini tergolong sejalan dengan pendapat mayoritas ulama, di mana beliau juga termasuk mereka yang menganggapnya sebagai pendapat terkuat. Beliau mengatakan: 


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَالَ الْمَازِرِيُّ : لَا تُشْتَرَطُ الْعِصْمَةُ ، وَلَكِنْ لَمْ يَرِدْ فِي السَّمْعِ وُقُوعُهَا . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ : الصَّوَابُ عِصْمَتُهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ مِنْ الْجَهْلِ بِاَللَّهِ وَصِفَاتِهِ ، وَالتَّشْكِيكِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ ، وَقَدْ تَعَاضَدَتْ الْأَخْبَارُ عَنْ الْأَنْبِيَاءِ بِتَبْرِئَتِهِمْ عَنْ هَذِهِ النَّقِيصَةِ مُنْذُ وُلِدُوا ، وَنَشْأَتِهِمْ عَلَى التَّوْحِيدِ وَالْإِيمَانِ . وَنَقَلَ ابْنُ الْحَاجِبِ عَنْ الْأَكْثَرِينَ عَدَمَ امْتِنَاعِهَا عَقْلًا ، وَأَنَّ الرَّوَافِضَ ذَهَبُوا إلَى امْتِنَاعِهَا ، وَنَقَلَهُ غَيْرُهُ عَنْ الْمُعْتَزِلَةِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُوجِبُ هَضْمَهُ وَاحْتِقَارَهُ ، وَهُوَ خِلَافُ الْحِكْمَةِ ، وَالْأَصَحُّ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ، وَمِنْهُمْ الْقَاضِي .


"Adapun sebelum kenabian, al-Imam al-Maziri berkata: tidak disyaratkan adanya kemaksuman, akan tetapi tidak ada dalam dalil sam’i informasi akan terjadinya hal tersebut. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: yang benar adalah adanya kemaksuman mereka sebelum masa kenabian dari hal ketidak-tahuan akan Allah beserta sifat-sifat-Nya, dan keragu-raguan terkait hal itu. Banyak hadits yang saling menguatkan tentang bahwa mereka terbebas dari sifat kurang ini sejak dilahirkan, dan mereka tumbuh dalam ketauhidan dan keimanan. Sementara Ibnu Hajib meriwayatkan pendapat dari mayoritas ulama bahwa menurut akal kemungkinan tersebut tidak tertutup. Dan bahwasannya kalangan Rafidhah berpendapat akan tertutupnya kemungkinan tersebut, dan yang lain meriwayatkan pendapat ini dari Muktazilah; karena hal itu akan menghancurkan dan menghinakan dirinya. Dan itu bertentangan dengan tujuan diutusnya mereka. Dan yang paling benar adalah pendapat mayoritas ulama, yang di antaranya adalah al-Qadhi (Abu Bakar al-Baqillani)."[xii] 


Tidak jauh dari keterangan di atas, al-‘Arif Billah al-Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (w. 1350 H), yang tidak lain adalah kakek dari pendiri Hizbut Tahrir sendiri, menerangkan dalam kitab beliau berjudul al-Asâlîb al-Badî’ah fî Fadhl al-Shahâbah wa Iqnâ’ al-Syî’ah. 


وَلَا يَخْفَى أَنَّ عِصْمَةَ النَّبِيِّيْنَ غَيْرُ مُتَّفَقٍ عَلَيْهَا عِنْدَ جَمِيْعِ الْفِرَقِ الْإِسْلَامِيَّةِ . بَلْ قَالَ بَعْضُ الْخَوَارِجِ وَالْمُعْتَزِلَةِ بِعَدَمِ عِصْمَتِهِمْ فِي سِوَى التَّحْرِيْفِ وَالْخِيَانَةِ بِالتَّبْلِيْغِ ، فَهُمْ مَعْصُوْمُوْنَ مِنْهُمَا بِالْإِجْمَاعِ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ لِظَوَاهِرِ الْآيَاتِ وَالْأَحَادِيْثِ الْوَارِدَةِ بِارْتِكَابِهِمْ بَعْضَ الذُّنُوْبِ ، وَإِنْ كَانَ الْمُحَقِّقُوْنَ مِنْ أَئِمَّةِ الْعُلَمَاءِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالشِّيْعَةِ أَيْضًا مُتَّفِقِيْنَ عَلَى عِصْمَتِهِمْ مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوْبِ الْكَبَائِرِ وَالصَّغَائِرِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَبَعْدَهَا ، وَأَوَّلُوْا جَمِيْعَ مَا وَرَدَ فِي حَقِّهِمْ مِنْ ذَلِكَ . نَعَمْ مَذْهَبُ جُمْهُوْرِ أَهْلِ السُّنَّةِ عَدَمُ عِصْمَتِهِمْ مِنَ الذُّنُوْبِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، وَيَحْمِلُوْنَ مُعْظَمَ مَا وَرَدَ مِنْ ذَلِكَ فِي حَقِّهِمْ عَلَى وُقُوْعِهِ مِنْهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ .


"Bukan hal yang rahasia bahwa perihal kemaksuman para nabi tidak disepakati oleh seluruh kelompok-kelompok Islam. Melainkan sebagian Khawarij dan Muktazilah berpendapat bahwa mereka tidak maksum selain dalam hal pendistorsian dan pengkhianatan dalam penyampaian risalah. Para nabi –shalawâtullâhi ‘alayhim– maksum dalam dua hal tersebut secara ijmak, oleh karena adanya ayat dan hadits yang secara zhahir menunjukkan mereka melakukan sejumlah dosa. Meski para muhaqqiq dari para imam ulama Ahlussunnah dan juga Syi’ah bersepakat akan kemaksuman mereka dari segala dosa, besar maupun kecil, sebelum dan sesudah kenabian. Dan mereka menakwil semua dalil yang berkenaan dengan mereka dalam hal tersebut. Ya, mayoritas Ahlussunnah berpendapat mereka tidak maksum dari dosa sebelum kenabian, dan mereka memahami kebanyakan dalil yang berkenaan dengan hal tersebut bahwa itu mereka lakukan sebelum kenabian."[xiii]


Berdasarkan penjelasan demi penjelasan di atas, maka tidak benar dan berlebihan kiranya menyebut pendapat Hizbut Tahrir di sini adalah pendapat yang mengandung ajaran Liberalisme, apalagi dianggap sebagai pendapat yang berbahaya. Karena pendapat yang diikuti Hizbut Tahrir di sini merupakan pendapat para Imam di atas (al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, al-Maziri, al-Amidi, al-Zarkasyi), Jumhur Syafi’iyyah menurut keterangan al-Amidi, Mayoritas Ulama pada umumnya menurut keterangan Ibnu Hajib, dan Jumhur Ahlussunnah menurut keterangan al-Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani. Apakah berani kita menganggap beliau-beliau bukan Ahlussunnah, berpaham Liberal dan berbahaya? Tentu tidak, dan kita berlindung kepada Allah menyebut mereka dengan sebutan yang sedemikian ini. 


Semoga tulisan ini sekaligus menjadi pelajaran agar kita sangat amat berhati-hati saat melemparkan tuduhan. Yang sedianya boleh jadi dengan niat baik dan demi kebaikan bersama, namun karena kurang hati-hati atau terlanjur diliputi rasa tidak suka terhadap suatu kelompok tertentu yang kemudian berpengaruh pada kurangnya sikap adil, yang terjadi justru sang penulis jatuh kepada fitnah atau tuduhan keji terhadap saudaranya sendiri. Na'udzubillâhi min dzâlik.


Ghafarallâhu lî wa lahu wa li-sâ`iril muslimîn.. âmîn


_________


[i] H. Muhammad Najih Maimoen. 2013. Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII, dan Ma’had Zaitun. (Rembang: Perc. Al-Anwar Sarang Rembang). Hlm 17


[ii] Abu al-Hasan al-Amidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. (Beirut: al-Maktab al-Islami). vol 1 hlm 170


[iii] Taqiyuddin al-Nabhani. 2003. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. (Beirut: Dar al-Ummah). vol 1 hlm 134


[iv] Ibid. vol 1 hal 135


[v] Ibid.


[vi] H. Muhammad Najih Maimoen. Opcit. hlm 18


[vii] Muhammad bin Ahmad al-Dasuki. Hâsyiah Ummil Barâhin. hal 173


[viii] H. Muhammad Najih Maimoen. Opcit. hlm 21 


[ix] Beliau adalah al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin al-Thayyib al-Baqillani al-‘Asy’ari al-Maliki (w. 403 H)


[x] Abu al-Hasan al-Amidi, Opcit. vol 1 hlm 169


[xi] Ibid. hlm 170


[xii] Badruddin al-Zarkasyi. 1994. al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh. (Kairo: Dar al-Kutubi) vol 6 hlm 13 


[xiii] Yusuf bin Isma’il al-Nabhani. al-Asâlîb al-Badî’ah fî Fadhl al-Shahâbah wa Iqnâ’ al-Syî’ah. (Mesir: al-Maktabah al-Maimaniyyah). hlm 177.