Friday, September 11, 2020

THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH

Monggo yg kemarin minta artikel ttg ini bisa dikopas


THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH


[Agus Trisa]


Secara mendasar, manusia hidup di dunia ini adalah dalam rangka memenuhi dua hal yang melekat pada dirinya, yaitu kebutuhan jasmani (fisik) dan dorongan naluri. Untuk memenuhinya, manusia memerlukan dua hal, yaitu “alat” untuk memenuhinya kebutuhan dan “aktivitas” yang digunakan untuk memenuhinya. Alat dan aktivitas manusia itu banyak jenisnya. Ada yang sifatnya baku (tetap, tidak bisa digantikan yang lain), ada yang sifatnya tidak baku (fleksibel, bisa digantikan yang lain). Maka, manusia harus bisa mengidentifikasi berbagai “alat” dan “aktivitas” yang beragam ini, agar dalam menjalani kehidupan, hidup manusia terarah, terukur, dan tidak berakhir menjadi hal-hal yang kurang bermanfaat atau sia-sia.


Contohnya adalah lapar. Lapar adalah salah satu indikasi keberadaan kebutuhan jasmani (fisik). Setiap manusia, selama dia hidup, dia akan merasakan lapar. Maka manusia harus mencari alat dan aktivitas yang bisa membuatnya tidak lagi lapar. Untuk alatnya, tentu bisa berbagai macam alat. Alat di sini tentu maknanya adalah berupa makanan. Bisa dengan ubi (singkong), nasi, roti, ketela, jagung, sereal, atau yang lainnya.


Sedangkan untuk aktivitasnya, hanya satu yang bisa digunakan untuk memenuhinya, yaitu makan. Maka, makan ini menjadi aktivitas yang bersifat tetap atau baku. Sebab, aktivitas makan tidak bisa diganti dengan minum atau tidur. Sekalipun orang minum seember air atau tidur 10 jam, tetap itu tidak akan bisa menjadi “obat” lapar. Jadi, aktivitas makan ini menjadi aktivitas baku manusia yang tidak bisa diganti dengan aktivitas lain.


Adapun cara makannya seperti apa; apakah harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, dan makan malam), atau dua kali sehari (sahur dan berbuka), atau selalu makan setiap kali merasa lapar, ini adalah cara-cara makan yang sifatnya fleksibel, beragam cara bisa ditempuh. Maka, aktivitas makan, mau tidak mau tetap harus ditempuh manusia. Tetapi makan bukanlah sesuatu yang hendak dituju manusia. Sebab, akhir atau ending dari aktivitas makan, adalah hilangnya rasa lapar, dan bukan aktivitas makan itu sendiri. 


Dengan kata lain, tujuan orang makan adalah menghilangkan lapar, bukan “memenuhi aktivitas makan”. Misalnya, kita makan siang. Kita makan siang semata-mata karena saat itu kita lapar. Bukan karena “jam makan siang”. Seandainya saja, kita makan pagi (sarapan) terlalu banyak sehingga pada siang hari kita tidak merasa lapar, namun kita tetap memaksakan diri untuk makan (karena sudah jam makan siang), maka aktivitas makan siang ini tujuannya bukanlah menghilangkan rasa lapar, tetapi tujuannya adalah “terwujudnya aktivitas makan”, dalam hal ini aktivitas makan siang adalah bagian dari cara makan tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam). 


Tetapi jika kita makan siang, padahal kita masih kenyang karena makan pagi terlalu banyak, itu artinya kita makan siang bukan dalam rangka memenuhi tujuan makan yaitu “hilangnya rasa lapar”, tetapi dalam rangka memenuhi yang lainnya. Bisa saja tujuannya adalah “mewujudkan prinsip makan tiga kali sehari (makan pagi, siang, malam)”, atau bisa juga karena “ingin memenuhi selera makan karena ada menu baru”, dan sebagainya. Padahal, hukum asal makan adalah untuk “menghilangkan rasa lapar”. Ini contoh yang pertama.


Contoh lain adalah berkelompok. Berkelompok adalah indikasi yang menunjukkan adanya naluri manusia untuk mempertahankan eksistensi dirinya (bersama kelompoknya). Dari sisi dasar pendiriannya, ada begitu banyak jenis kelompok dalam kehidupan manusia. Ada kelompok yang didirikan atas dasar kepentingan materi, dan ada kelompok atas dasar kepentingan non-materi (atas dasar kepentingan kesamaan ide atau ideologi, kepentingan kesamaan nasib, kesamaan kepentingan perasaan, kepentingan kesamaan nasab, dan sebagainya). Sebuah kelompok didirikan karena manusia merasa nyaman dengan adanya kesatuan atau berbagai kesamaan tadi. Sedangkan dari sisi bentuknya, kelompok juga memiliki beberapa jenis. 


Ada keluarga, ada ormas, ada partai politik, ada majelis taklim, ada pula negara. Berbagai kelompok tadi didirikan dengan tujuan-tujuan tertentu. Apa tujuannya? Itu sangat bergantung pada jenis kelompoknya. Jika sebuah negara didirikan, maka tujuan-tujuannya meliputi kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. 


Dengan kata lain, tujuannya adalah menjaga jiwa, akal, dan kehormatan masyarakat. Inilah tujuan dari orang-orang yang mendirikan negara. Tanpa adanya negara (kekuasaan), maka berbagai tujuan tadi akan susah terwujud. Maka negara merupakan "alat baku" untuk tercapainya tujuan-tujuan tadi. Mengapa negara disebut sebagai alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan berbagai tujuan tadi, kecuali dengan adanya negara (kekuasaan, politik). Tidak bisa dengan model pendirian ormas, partai politik, majelis taklim, dan sejenisnya. Kalau pun ada ormas, partai politik, dan majelis taklim yang ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat, aktivitasnya juga pasti sangat terbatas, tidak bisa menjangkau seluruh warga masyarakat. Bisa jadi karena sumber daya yang dimiliki juga terbatas.


Misalnya dengan menggalang bantuan sosial atau kemanusiaan atau pendidikan atau kesehatan, kemudian mendirikan sekolah-sekolah atau rumah sakit. Hal-hal semacam ini hanya berlaku terbatas, tidak seluruh warga negara bisa dijangkau. Mengapa terbatas? Ya karena tidak memiliki kekuasaan, karena itu tidak kuasa (terbatas) dalam memenuhi seluruh kepentingan warga masyarakat. Berbeda jika hal-hal semacam itu dilakukan oleh negara (kekuasaan). Jika negara sudah berdiri, maka berbagai cara akan ditempuh oleh negara untuk mewujudkan tujuan-tujuannya di atas tadi, bukan hanya yang bisa dijangkau ormas, parpol, atau lembaga sosial. 


Caranya bisa bermacam-macam, bisa mendirikan berbagai macam sekolah, rumah sakit, bandara, membangun berbagai BUMN untuk mengelola sumber daya alam, memberikan permodalan untuk masyarakat, mendirikan lembaga-lembaga penjaga keamanan (baik keamanan dalam/polisi dan keamanan luar negeri/

tentara), mendirikan lembaga peradilan, mendirikan lembaga-lembaga administrasi negara, dan sebagainya. Ini semua adalah cara untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendirian negara. 


Karena itu bisa diambil kesimpulan, keberadaan negara, sebenarnya bukanlah tujuan. Karena tujuannya didirikannya negara adalah dalam rangka mencapai kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Jika negara bukan tujuan, lalu negara itu sebagai apa? Jawabannya sebagaimana disinggung di atas, negara merupakan “alat baku" untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi. Mengapa disebut alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi selain dengan adanya negara.


Buruknya kondisi suatu negara, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya, bisa jadi juga merupakan akibat dari tidak dipahaminya konsep ini secara benar. Misalnya, munculnya jargon NKRI harga mati. Jargon ini bisa jadi muncul karena menganggap bahwa NKRI (negara) adalah tujuan. Pernyataan ‘harga mati’ inilah yang mengindikasikan bahwa negara adalah tujuan. Sebab, istilah harga mati merupakan ungkapan untuk menunjukkan kerasnya usaha dalam hal mempertahankannya, sedangkan tidak ada suatu usaha keras ditempuh selain untuk meraih tujuan. Sehingga diambil kesimpulan bahwa dari pernyataan tersebut, bisa jadi muncul anggapan (artinya bisa jadi ya, bisa jadi tidak) bahwa keberadaan NKRI adalah tujuan. Dan apa yang bisa dilakukan seseorang ketika tujuannya sudah tercapai? 


Jawabannya, tidak akan ada lagi usaha keras yang dia tempuh, kecuali hanyalah aktivitas-aktivitas kecil saja. Maka dengan asumsi NKRI adalah tujuan, wajar jika setelah NKRI tegak, maka usaha untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, hanya dilakukan dengan sekedarnya. Mengapa? Ya, karena tujuan sudah tercapai. Akibatnya, rakyat akan merasakan kerugian yang luar biasa, baik rugi sumber daya alam (sumber daya alam dirampok asing) maupun rugi sumber daya manusianya (akhlak atau moralitas rakyat rusak karena pengaruh paham asing). Ini sebagai akibat dari salah memahami, bahwa keberadaan negara disangka tujuan. Padahal, tidak tepat jika menjadikan negara sebagai tujuan. Ini kalau dilihat dari anggapan bahwa NKRI adalah tujuan.


Sama halnya juga dengan memahami kekuasaan. Ketika menjelang pemilu, suasana di negara demokrasi begitu semarak, ramai. Partai politik, calon anggota legislatif, calon presiden, atau calon kepala daerah yang akan tampil “bertarung” dalam panggung demokrasi, akan mengeluarkan segala daya dan upaya untuk bisa meraih kekuasaan, memenangkan pertarungan. Biaya miliyaran mereka keluarkan, hanya untuk tercapainya tujuan. Apa tujuannya? Yaitu kekuasaan. Sampai di sini, siapa pun memahami, bahwa kekuasaan memang tujuan dari para peserta pertarungan demokrasi.


Padahal, jika kita memahami konsep normal suatu pemikiran asal, kekuasaan seharusnya tidak dianggap sebagai tujuan. Sebab, tujuannya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Ini tujuan asalnya, dan bukan meraih kekuasaan. Kekuasaan, hanyalah jalan baku untuk bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Kenapa jalan baku? Ya, seperti dijelaskan di atas, karena hanya dengan kekuasaanlah berbagai tujuan bisa terwujud, bukan dengan jalan yang lain. 


Kesalahan dalam memahami mana tujuan dan mana jalan baku dalam bernegara, akan berakibat pada terbengkalainya kepentingan rakyat. Kita bisa melihat, setelah seseorang jadi penguasa (memenangkan pertarungan demokrasi), apakah kebijakan mereka benar-benar akan berpihak kepada rakyat? Tentu kita bisa melihatnya sendiri. Utang negara yang semakin menggunung. Siapa yang harus membayar? Tentu rakyat. Subsidi energi (listrik dan BBM) dicabut. Siapa yang harus menanggung? Tentu rakyat. Sumber daya alam mengeluarkan hasil yang melimpah. Siapa yang menikmati? Tentu bukan rakyat. Ini terjadi, sebagai akibat dari memahami kekuasaan sebagai tujuan. Padahal, sebagaimana layaknya memahami negara, kekuasaan hanyalah jalan baku untuk mencapai tujuan-tujuan.


Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan dorongan naluri, manusia harus betul-betul memperhatikan aktivitas dan alat yang akan digunakan untuk memenuhinya; mana yang merupakan cara baku, cara tidak baku, alat yang tepat untuk memenuhi, alat yang tidak tepat untuk memenuhi; serta tujuan dari dilakukannya aktivitas tersebut. Jika hal tersebut tidak dipahami dengan baik, maka niscaya kehidupan manusia tidak akan berjalan efektif, efisien, terukur, dan terarah. 


Bisa dibayangkan, antara yang baku dengan yang tidak baku kebolak balik; mengira alat adalah tujuan padahal alat hanyalah sarana meraih tujuan; aktivitas baku tertukar dengan aktivitas tidak baku dan mengira memenuhi aktivitas baku sebagai tujuan. Ini semua adalah kekacauan hidup sebagai akibat dari tidak dipahaminya “cara-cara menjalani kehidupan”. Akhirnya, tujuan hidup manusia menjadi semakin kabur, tidak jelas mau seperti apa, tidak jelas mau dibawa kemana. Jika ketidakjelasan hidup ini dianut individu, maka hal itu hanya akan berdampak pada dirinya sendiri. Tetapi jika hal semacam ini dianut oleh suatu bangsa, atau pemimpin masyarakat, maka dampaknya akan sangat luas.


KHILAFAH, BUKANLAH TUJUAN


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memberikan penjelasan tentang hal ini. Beliau membedakan mana yang termasuk tujuan, sarana, cara, dan jalan. Tujuan adalah apa-apa yang ingin dicapai. Tujuan adalah ending dari segala usaha. Tujuan disebut dengan ghayah. Aktivitas atau “alat” yang bersifat baku dan tidak bisa digantikan yang lain dalam rangka memenuhi tujuan (ghayah), oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani disebut dengan istilah metode (thariqah/jalan). Pemakaian kata ‘alat’ dalam tanda kutip di sini hanya untuk memudahkan memahami, bukan alat yang dimaksud dalam konteks sarana (wasilah).


Dengan memahami ini, maka thariqah merupakan hukum syara’ tertentu yang harus (wajib) dilakukan. Sedangkan aktivitas yang bersifat fleksibel atau tidak baku dalam rangka meraih tujuan, disebut dengan cara/gaya (uslub). Sementara berbagai sarana prasarana atau “alat-alat” yang digunakan untuk meraih tujuan disebut dengan sarana (wasilah). Wasilah dan uslub ini sangat berkaitan erat. Sebab, membahas tentang wasilah, tidak akan bisa dilepaskan dari membahas tentang uslub.


Contohnya adalah Khilafah. Khilafah adalah jalan baku untuk mencapai tujuan perjuangan Islam. Disebut jalan baku, karena tidak ada jalan lain untuk mencapai tujuan, selain dengan Khilafah. Maka, khilafah adalah sebuah thariqah atau metode atau jalan baku untuk tercapainya tujuan. Lantas, apa tujuan yang hendak dicapai? Tujuan yang hendak dicapai adalah diterapkannya syariat Islam secara keseluruhan atau menjalankan kehidupan Islam. Disebut “menjalankan kehidupan Islam” sebab, kehidupan yang Islami tidak akan berjalan (terwujud) tanpa penerapan syariat Islam secara keseluruhan. Inilah tujuan yang (seharusnya) hendak dicapai oleh banyak organisai pergerakan Islam.


Jadi, Khilafah bukanlah tujuan. Khilafah adalah sebuah metode (thariqah) atau jalan baku untuk mencapai tujuan. Sedangkan tujuannya (ghayah), tidak lain adalah menerapkan syariat Islam. Mengapa penerapan syariat Islam dijadikan tujuan? Sebab, menerapkan syariat Islam adalah suatu kewajiban dan penerapan syariat Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Allah berfirman:


ﻓَﺎﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻋَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَﻙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ


“…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…” (QS. al-Maidah: 48)


ﻭَﺃَﻥِ ﺍﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻭَﺍﺣْﺬَﺭْﻫُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﻔْﺘِﻨُﻮﻙَ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ


“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan kamu terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu….” (QS. al-Maidah: 49)


Apa yang diturunkan Allah? Tidak lain adalah wahyu yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunah, dan apa yang ditunjukkan keduanya, yaitu ijma’ sahabat dan qiyas. Wahyu Allah ini meliputi akidah (keyakinan), dan syariah (tata aturan hidup bagi manusia). Syariah meliputi tiga aspek : (1) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan Allah, yang tercakup dalam aturan berakidah dan aturan beribadah; (2) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan dirinya sendiri yang meliputi aturan-aturan tentang makanan-minuman, pakaian, dan akhlak; dan (3) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan sesama manusia, yang meliputi muamalat dan uqubat (sistem sanksi). Muamalat dalam Islam meliputi fiqh muamalah (fikih ekonomi), fiqh munakahah (fikih sosial/pergaulan pria dan wanita), dan fiqh siyasah (fikih berpolitik, bagaimana mengatur tatanan masyarakat). Sedangkan keberadaan uqubat (sistem sanksi) adalah dalam rangka menjaga agar penerapan muamalat Islam berjalan baik. Inilah ruang lingkup dari syariat Islam yang wajib untuk diterapkan.


Karena menerapkan syariat Islam adalah kewajiban, dan kaum muslimlah yang akan menerapkannya, maka kaum muslim harus terbangun kesadarannya (sadar bahwa syariat Islam wajib diterapkan oleh mereka). Jika terbangunnya kesadaran kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam merupakan tujuan yang ingin dicapai, maka berdakwah di tengah-tengah kaum muslim agar terikat dengan syariat Islam, merupakan jalan baku (thariqah) untuk membangun kesadaran kaum muslim. Jadi, dakwah adalah thariqah atau jalan baku untuk meraih tujuan, yaitu tumbuhnya kesadaran kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam.


Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami, jika Khilafah atau mendirikan Khilafah dijadikan tujuan (sesuatu yang ingin dicapai dan ending dari segala usaha), maka jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam tidak perlu melakukan aktivitas dakwah. Organisasi tersebut cukup membentuk laskar-laskar kemiliteran. Jika dirasa sudah cukup kuat, maka tibalah saatnya melakukan kudeta, kepung istana negara, sandera kepala negara, lalu deklarasikan berdirinya Khilafah. Tercapailah tujuan. Tidak perduli, apakah umat Islam siap atau tidak dengan diterapkan syariat Islam. Tidak perduli dalam perjalanan Khilafah apakah terjadi pelanggaran terhadap syariat Islam atau tidak. Sebab, itu bukanlah tujuan. Karena yang menjadi tujuannya adalah Khilafah. Inilah yang akan terjadi, jika Khilafah dijadikan tujuan (ghayah). Dan dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pemahaman seperti ini adalah salah.


Tetapi jika “menerapkan syariat Islam” atau “menjalankan kehidupan Islam” adalah yang dijadikan tujuan dari perjuangan jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam, maka metode (thariqah) yang harus ditempuh tidak lain adalah dengan dakwah untuk membangun kesadaran masyarakat tentang wajib dan pentingnya syariat Islam. Justru penerapan syariat Islam inilah yang merupakan inti dari aktivitas setelah Khilafah berdiri. Maka, tujuan belum dikatakan tercapai (berhasil), jika setelah Khilafah berdiri, justru terjadi banyak pelanggaran syariat Islam. Jadi, bisa diambil kesimpulan, bahwa Khilafah tidak boleh dijadikan tujuan perjuangan jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam, tetapi yang harus menjadi tujuannya adalah agar umat menerapkan syariat Islam.


Dari pemahaman tersebut, maka kelompok atau jamaah dakwah Islam seperti HTI yang berjuang ingin menegakkan Khilafah, tidak akan menjadikan Khilafah menjadi tujuan perjuangan. Tetapi bagi ormas HTI, Khilafah “sekedar” metode atau thariqah atau jalan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya, yaitu menerapkan syariat Islam secara kaaffah (menyeluruh). Karena itulah, HTI tidak akan dan tidak akan pernah memiliki atau membentuk laskar atau sayap militer dalam bentuk apa pun. 


Jika sampai ada aktivitas semacam ini (pembentukan kelaskaran), itu artinya HTI telah keluar (melanggar) prinsip-prinsip dalam seluruh aktivitasnya, dan tentulah akan bertentangan dengan konsep thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah yang digagas pendirinya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Maka, pernyataan mantan Kepala BNPT, Ansyaad Mbai dalam sidang PTUN yang menyatakan bahwa HTI memiliki sayap milter yang disembunyikan, jelas adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta alias dusta. Dia kurang belajar atau kurang dalam memahami HTI itu seperti apa. Allah berfirman :


ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺫُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻤَﻠُﻮﺍ ﺑُﻬْﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَﺇِﺛْﻤًﺎ ﻣُﺒِﻴﻨًﺎ


“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS al-Ahzab: 58)


Agar umat terbangun kesadaran akan penting dan wajibnya menerapkan syariat Islam, maka harus ada dakwah. Pembahasan tentang dakwah ini begitu luas, baik dari sisi objek (sasaran), materi dakwah, maupun cara/gaya berdakwah. Dalam konteks objek atau sasarannya, maka sasaran dakwah itu ada dua, yaitu kaum muslim dan nonmuslim. Dakwah untuk orang nonmuslim adalah dakwah untuk mengajak mereka masuk ke dalam agama Islam. Sedangkan dakwah kepada sesama orang Islam adalah dakwah untuk mengajak mereka agar lebih baik lagi dalam menjalani hidup dengan aturan agama Islam. 


Sementara itu dari sisi materi dakwahnya, ini sangat bergantung pada pemahaman da’i terhadap kondisi realitas yang ada. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah masalah akidah maka materi dakwahnya berfokus pada pembinaan akidah. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah kerusakan akhlak, maka dakwahnya berfokus pada pembinaan akhlak. Jika seorang da’i menganggap bahwa akar permasalahan umat adalah politik (ketiadaan Khilafah), maka fokus dakwahnya adalah pada bidang politik Islam. Begitu seterusnya. Semua materi dakwah memang sangat bergantung dari pemahaman seorang da’i tentang realitas kondisi umat.


Sedangkan untuk cara atau gaya dakwah, ini sangat berkaitan dengan cara penyampaiaan materi-materi dakwah. Cara atau gaya dakwah merupakan bentuk dari uslub dalam dakwah. Ada dakwah yang dilakukan dengan cara tatsqif jama’i (pembinaan secara umum) seperti mengadakan pengajian umum di masjid atau aula, seminar di gedung pertemuan, muktamar di lapangan besar; ada pula yang dilakukan dengan cara membentuk kelompok-kelompok kajian (halqah). Ada dakwah yang dilakukan dengan penyiaran di media massa (televisi, koran, majalah, radio), ada dakwah yang dilakukan melalui penyampaian syair-syair (nasyid). Ada yang dilakukan di indoor (di dalam ruangan), ada juga yang outdoor (di ruang terbuka). Ada yang sembunyi-sembunyi, ada yang dengan model terbuka. Dan sebagainya. Semua ini masuk dalam ranah (uslub) dalam berdakwah. Tetapi tanpa dibedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah; maka akan muncul keruwetan pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas. 


Karena itu, dalam berdakwah, setiap da’i hendaknya tetap memandang mana thariqah, mana uslub, mana wasilah, dan mana ghayah. Ini penting untuk dipahami, sebagaimana pentingnya memahami bahwa persoalan lapar itu hanya bisa diselesaikan dengan makan, dan bukan minum. Makan pun tidak harus dengan nasi, tetapi bisa juga dengan singkong atau roti. Makan pun tidak harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam), karena bisa juga dengan dua kali sehari (sahur dan berbuka), empat kali sehari (makan pagi, makan siang, makan sore, makan malam), atau seperlunya saja (makan hanya pada saat lapar). Jangan sampai seorang da’i terjebak dalam aktivitas, namun tanpa memahami realitas atau hakikat dari aktivitas tersebut; apakah termasuk thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.


‘DAKWAH BISA TERSELENGGARA DI RUANG PUBLIK’ BUKANLAH TUJUAN


Dakwah secara terbuka di tempat umum, misalnya dengan mengadakan pengajian akbar di lapangan besar dengan alasan bisa menampung banyak orang. Dilihat dari sisi aktivitasnya, ini termasuk uslub berdakwah. Bukan thariqah dakwah yang bersifat baku. Dakwah seperti ini memang menguntungkan, karena bisa mendatangkan banyak peserta dan pesan dakwah bisa tersebar secara meluas. Tetapi tetap harus diperhatikan bahwa tujuan (ghayah) dari aktivitas dakwah, adalah untuk membangun kesadaran umat akan Islam, baik akidah maupun syariahnya. Tujuan (ghayah) dari dakwah, bukanlah “terselenggaranya acara dakwah”. 


Sehingga seandainya saja ada penguasa kafir yang melarang penggunaan ruang publik untuk aktivitas dakwah seperti Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno, sesungguhnya itu bukanlah akhir dari dakwah. Kejadian seperti ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dakwah ini telah berakhir, atau merupakan bencana bagi Islam. Kurang pas lagi, jika kemudian diikuti dengan pandangan, misalnya, “Berarti kelak kita harus mendukung calon kepala daerah muslim agar dakwah di ruang publik bisa dilegalkan.” Sikap seperti ini seringkali muncul sebagai ikutan dari adanya kejadian yang menghalangi dakwah. 


Padahal, jika dipikir lebih mendalam, sikap seperti ini sama artinya dengan menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” (misalnya Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno), adalah thariqah (hal yang baku) yang tidak bisa tidak, harus terlaksana. Atau, menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” adalah ghayah (tujuan, akhir dari segala sesuatu), yang ketika gagal terlaksana maka berakhir sudah segala-galanya. Padahal, ini (dakwah di ruang publik) bukanlah thariqah melainkan ‘sekedar’ uslub dalam berdakwah, yang jika kurang berhasil dalam uslub ini maka harus dipikirkan uslub lain, agar tujuan (ghayah) dari dakwah bisa tercapai. Apa itu? Yaitu tercapainya kesadaran umat akan Islam. 


Lebih jauh lagi, secara politik, sikap seperti di atas justru akan bisa menyebabkan kekalahan politik umat. Umat akan menjadi mudah dibelokkan dari satu sikap ke sikap lain, umat akan menjadi lebih mudah untuk dibeli kepentingan-kepentingannya hanya karena kondisi-kondisi seperti di atas. Umat akan bisa dimanfaatkan oleh partai-partai politik tertentu untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, karena memang jumlah suaralah yang menjadi tolok ukur kemenangan di dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, jamaah-jamaah dakwah Islam diharapkan dapat membimbing umat menuju sikap berpegang pada prinsip, agar perjuangan umat tidak kehilangan arah, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.


Keberadaan jamaah dakwah dalam rangka mewujudkan tujuan dakwah merupakan hal yang sangat penting. Bahkan, hal ini merupakan perintah dari Allah:


ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ۚ ﻭَﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ


“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)


MASUK JAMAAH DAKWAH, BUKANLAH TUJUAN


Karena itulah, di dunia ini ada begitu banyak jamaah dakwah, entah berbentuk organisasi massa atau yayasan yang bergerak di bidang sosial dan dakwah, atau juga berbentuk partai politik. Di Indonesia sendiri, jamaah dakwah itu ada NU, Muhammadiyah, Persis, MTA, HTI, FPI, Dewan Dakwah, Syarikat Islam, al-Washliyah, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut merupakan wasilah dalam rangka mewujudkan ghayah, yaitu kesadaran umat akan pentingnya menjadikan Islam (baik akidah maupun syariahnya) sebagai jalan hidup. Maka, orang boleh-boleh saja mau ngaji di mana pun dia mau jika memang ingin turut berperan dalam rangka aktivitas penyadaran umat. Bisa masuk NU (Nahdhatul Ulama), Muhammadiyah, MTA (Majelis Tafsir Al-Quran), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Persis (Persatuan Islam), Dewan Dakwah, atau yang lainnya. Jadi, kalau ada orang yang mengira bahwa orang diajak masuk jamaah dakwah tertentu adalah untuk dicuci otaknya, atau masuk jamaah dakwah tertentu adalah semata-mata demi kepentingan jamaah tersebut, ini menunjukkan bahwa orang tersebut sudah mengira bahwa jamaah dakwah adalah ghayah (tujuan). Padahal tidak. Orang yang menganggap semacam ini sesungguhnya sedang berhalusinasi.


Orang tersebut mengira, orang diajak ngaji di NU semata-mata untuk kepentingan NU, orang ngaji di Muhammadiyah semata-mata untuk kepentingan Muhammadiyah, orang ngaji bersama FPI semata-mata untuk kepentingan FPI, orang ngaji bersama HTI semata-mata untuk kepentingan HTI, orang ngaji bersama MTA semata-mata untuk kepentingan MTA. Sampai-sampai ditambahi pernyataan “Kelompok-kelompok dakwah itu adalah bid’ah, mereka berpecah belah, tidak usah ikut firqah-firqah tersebut.” Dikiranya, ngaji dengan jamaah-jamaah dakwah tersebut tujuannya semata-mata demi besarnya tubuh jamaah tersebut (semoga Allah menghilangkan pikiran-pikiran seperti ini). Ini pemahaman yang salah atau keliru dalam memahami jamaah dakwah. Bahkan, keliru atau salah kaprah pemahamannya, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah. Ruwet. 


Padahal, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut di atas, bukanlah ghayah atau tujuan orang ngaji (semoga setiap jamaah tidak menjadikan besarnya jamaah sebagai tujuan). Jamaah dakwah hanyalah wasilah (sarana) untuk tujuan yang sebenarnya. Apa itu? Yaitu agar orang yang ngaji semakin memahami Islam, baik akidah maupun syariahnya. Adapun adanya perbedaan atau keragaman jamaah dakwah (ada banyak jamaah dakwah), itu dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami realitas persoalan-persoalan umat. Perbedaan cara pandang terhadap persoalan umat inilah yang berimbas pada perbedaan fokus aktivitasnya, sebagaimana sudah disinggung di atas. Jadi, kalau mau ngaji bersama jamaah-jamaah dakwah, ya dipersilakan saja. Asal tetap memahami, bahwa masuk ke dalam jamaah tersebut bukanlah tujuan, tetapi jamaah dakwah hanyalah sebagai wasilah (sarana) untuk meraih tujuan yang sebenarnya. Mau memilih yang mana? Ya, itu tergantung pada masing-masing orang, sesuai dengan pemahamannya sendiri-sendiri terhadap permasalahan umat dan jalan apa yang akan ditempuh oleh masing-masing jamaah dakwah.


Wallahu a’lam.

Sunday, September 6, 2020

Ribut ribut soal "Islam Radikal" masuk lewat pemuda Good Looking... Baca ini biar paham apa yang sebenarnya sedang terjadi.*

 *Ribut ribut soal "Islam Radikal" masuk lewat pemuda Good Looking... Baca ini biar paham apa yang sebenarnya sedang terjadi.*


Oleh: Saifullah Al-Maslul

“Tujuan jangka pendek dari perang ini haruslah untuk menghancurkan Islam militan, namun tujuan jangka panjang dari perang ini adalah modernisasi Islam.” —Daniel Pipes


Pada tahun 2004, Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum yang juga dikenal sebagai dalang gerakan Islamophobia menulis sebuah artikel berjudul “Rand Corporation and Fixing Islam”. Dalam tulisannya tersebut, Pipes mengaku senang. Harapannya untuk memodifikasi Islam berhasil diterjemahkan dalam sebuah strategi oleh peneliti Rand Corporation, Cheryl Benard.

Oleh Benard, misi ini ia sebut dengan istilah religious building, upaya untuk membangun agama Islam alternatif. Benard mengakui bahwa misi ini sangat berbahaya dan kompleks, jauh lebih menakutkan dibanding misi nation building. Sedangkan Pipes, menganalogikan misi ini sebagai upaya untuk masuk ke dalam wilayah yang belum terpetakan. “Ini adalah sesuatu yang belum pernah dicoba sebelumnya,” tulisnya.

Sebelumnya, Cheryl Benard, yang berdarah Yahudi ini pernah mencetuskan ide untuk mengubah Islam menjadi agama yang pasif dan tunduk kepada Pemerintah AS. Serangkaian strategi pun dirancang dan dituliskan. Ia memaparkan konsepnya itu dalam buku berjudul “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies.”

Mereka ingin mengubah Islam, karena ajarannya yang murni tidak akan mengizinkan non-Muslim mengendalikan umat Islam, sumber daya mereka, tanah mereka, atau kekayaan mereka. Bagi mereka ini adalah masalah besar.

Gayung beraambut. Presiden George W. Bush Jr menyambut strategi tersebut. Khilafah menjadi salah satu ajaran dalam Islam yang mereka hantam. Dalam sebuah pidatonya pada bulan September 2006, Bush mengungkapkan:

“Mereka berharap untuk membangun utopia politik kekerasan di Timur Tengah, yang mereka sebut Khilafah.. Khilafah ini akan menjadi kekaisaran Islam totaliter yang mencakup semua wilayah Muslim, baik saat ini maupun di masa lalu, membentang dari Eropa ke Afrika Utara, Timur Tengah, hingga Asia Tenggara…”


Tak hanya itu, dalam pidato yang sama, Bush pun bersumpah, tak akan membiarkan khilafah tegak. “Saya tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Dan tidak ada seorangpun Presiden Amerika di masa depan yang akan membiarkannya juga.”


Jika AS mampu mencegah pembentukan kekhalifahan, mengontrol minyak dan sumber daya energi lainnya di dunia Islam, maka, akibatnya, mereka akan memiliki kekuatan untuk memaksakan kebijakannya di seluruh dunia yang bergantung pada minyak tersebut.


Misi yang dicanangkan oleh Benard adalah bagian dari program perang melawan teror, sebuah perang yang menurut Presiden George W. Bush dan Menteri Luar Negeri saat itu, Colin Powell, identik dengan Perang Salib.

“Perang salib ini, perang melawan terorisme ini akan memakan waktu cukup lama. Dan rakyat Amerika harus bersabar. Saya akan bersabar,” kata Bush dalam pidatonya tahun 2001.

Pada tahun 2004, dalam percakapannya dengan presiden Pakistan saat itu, Pervez Musharraf, Powell mengatakan, “Saya memanggil Presiden Musharraf dan berkata: ‘Kami butuh jawaban Anda sekarang. Kami membutuhkan Anda sebagai bagian dari kampanye ini, perang salib ini.’”

Islam ala Rand Corp

Prtanyaannya, bisakah Amerika meyakinkan kaum Muslimin di seluruh dunia untuk menerima “Islam ala Rand” ini? Tidak. Rand  Corporation pun telah mengakui hal ini. Mereka meyakini bahwa umat Islam telah kehilangan kepercayaan kepada Amerika. AS kalah dalam perang gagasan di dunia Islam, gagal mempromosikan kebijakannya kepada umat Islam yang waspada terhadap niat dan kemunafikan Amerika, menurut penasehat Pentagon.


Maka dari itu, Rand Corp menyatakan bahwa dalam program ini tangan Amerika harus disembunyikan. Sementara, boneka Muslim yang dipilih dengan hati-hati harus berada di garis depan untuk mengantarkan Islam versi baru ini.

Lantas siapa yang akan menjadi boneka dalam Islam ala Rand Corp?

Bagi mereka, mitra ideal untuk menjalankan pekerjaan ini adalah Muslim dari ‘dalam’ komunitas umat Islam yang akan bekerja untuk kepentingan Amerika. Rand melabeli mereka sebagai kaum ‘modernis/moderat’. Ciri dari kelompok modernis ini, menurut Benard, adalah keinginan untuk “memodernkan dan mereformasi Islam, agar sejalan dengan zaman.”

Lalu, bagaimana mereka mampu menjalankan misi dari pemerintah AS tersebut?

Pertama, Rand merekomendasikan agar Muslim yang memahami Islam sejati dan ingin menerapkan Syariat Islam disingkirkan, dengan melabelinya sebagai fundamentalis dan ekstremis, pengecut dan pengacau. Rand memberi saran kepada Amerika untuk mendiskreditkan dan menghina para pengikut Islam sejati.


Setelah menyingkirkan kelompok “fundamentalis”, AS akan mengangkat kaum modernis sebagai role model dan pemimpin Islam. Mereka memberikan dukungan kepada kaum modernis, apapun yang mereka minta, antara lain dengan mengontrol sistem pendidikan, pendanaan, liputan media, sehingga kaum modernis bisa menyingkirkan halangan yang menghambat dominasi Amerika. RAND menyarankan:

*“Buat role model dan para pemimpin (dari kalangan modernis) … Mereka harus dipelihara dan ditampilkan secara publik sebagai wajah Islam kontemporer … Modernis yang berisiko menghadapi persekusi (karena penodaan dan pengkhianatan mereka) harus dibangun (citranya) sebagai pemimpin hak-hak sipil yang pemberani. Publikasikan dan distribusikan karya mereka dengan dukungan biaya. Dorong mereka menulis untuk masyarakat dan para pemuda. Perkenalkan pandangan mereka ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Beri mereka panggung di publik. Buat pendapat dan penilaian mereka tentang pertanyaan mendasar dari penafsiran agama tersedia bagi masyarakat, dalam persaingan dengan para fundamentalis dan tradisionalis, yang memiliki website, penerbitan, sekolah, institut, dan banyak kendaraan lain untuk menyebarkan pandangan mereka.”*


Untuk strategi jangka panjang, Rand menyarankan agar para boneka modernis ini mampu membuat para pemuda Islam memeluk sekularisme, bangga dengan sejarah non-Islam dan pra-Islam, melalui kurikulum sekolah dan media lainnya. Dengan demikian, konsep mengenai Syariat, jihad, dan khilafah yang benar akan rusak dalam pikiran para pemuda Islam, bahkan membuat mereka benci dan menjauhinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Rand juga menyarankan agar pemerintah AS mendukung pengembangan ormas yang bisa dimanfaatkan.


*“Generasi Muslim berikutnya dapat dipengaruhi jika pesan Islam demokratis bisa dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan media publik di negara-negara yang bersangkutan … Posisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan “tandingan” untuk para pemuda Islam yang tidak puas. Fasilitasi dan dorong kesadaran akan sejarah dan budaya pra-Islam dan non-Islam mereka, di media dan kurikulum negara-negara terkait. Bantu pengembangan organisasi kemasyarakatan yang independen, untuk mempromosikan budaya sipil.*


*Islam Nusantara?*

Jika kita lihat di Indonesia, semua strategi tersebut sudah dan sedang diterapkan. Tapi, apakah masih ada strategi lain? Ya, tentu ada. Rand juga merekomendasikan perpecahan di dunia Islam dengan menciptakan Islam versi nasionalistik negara tertentu.


*“Kembangkan Islam Barat, Islam Jerman, Islam AS, dan lainnya*. Hal ini membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang komposisi, praktek dan pemikiran yang berkembang di dalam komunitas-komunitas ini. Bantu dalam memunculkan, mengekspresikan, dan “mengkodifikasi” pandangan mereka.”


Tiga belas tahun berikutnya, tepatnya bulan Maret 2016, strategi penerapannya di Asia Tenggara kembali digodok di Semarang. Beberapa pakar diundang untuk merumuskannya. Pesertanya dari Indonesia, Australia, Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, hingga Filipina. Dari Indonesia, hadir Wahid Institute dan Ma’arif Institute.


Rekomendasi dari forum tersebut dituangkan dalam sebuah laporan berjudul *“Counter-Narratives for Countering Violent Extremism (CVE) in South East Asia”yang dirilis oleh Hedayah Center, lembaga think tank yang berbasis di Uni Emirat Arab yang lahir atas inisiatif sebuah forum global pimpinan Inggris*. Laporan tersebut merekomendasikan tiga ajaran dalam Islam yang harus dimodifikasi, yaitu khilafah, jihad, dan al-wala’ wal-bara’.

Modifikasi ajaran Islam tidak hanya dilakukan dengan mengubah definisi. AS juga menyarankan agar penggunaan beberapa istilah-istilah Islami mulai dihindari, seperti *jihad*, *syariah*, dan *ummah*, sebagaimana yang ditulis dalam laporan yang dirilis Dewan Penasihat Keamanan Dalam Negeri AS pada tahun 2016.


Selain itu, rekomendasi lainnya adalah dengan mengembangkan Islam dalam konteks lokal. Islam Indonesia, bukan Islam di Indonesia. Narasi yang lebih dikedepankan adalah narasi toleransi dan pluralisme, dan bahwa Islam juga sama dengan agama-agama yang lain. Untuk membangun identitas Islam lokal tersebut, antara lain dengan mengembangkan materi khutbah dengan konteks lokal yang mengedepankan tema-tema toleransi, perdamaian, hak perempuan, dan seterusnya.

Rekomendasi lebih detail dirilis pada bulan Agustus 2016 dengan judul “Undermining Violent Extremist Narratives in South East Asia: A How To Guide”.  Laporan tersebut berisi panduan yang lebih praktis dalam mengimplementasikan strategi di atas. Sasaran utama dari proyek ini adalah pemuda dan wanita.

Agar pesan-pesan dan narasi tersebar lebih efektif, mereka menyarankan penggunaan tokoh agama yang bisa digalang untuk menyebarkan Islam alternatif ini. Untuk medianya penyebarannya, dilakukan mulai dengan menggunakan media sosial, televisi, film, radio, media cetak, komik, buku, hingga kegiatan-kegiatan diskusi.

Skenario Islamofobia

Terakhir, sebagai tambahan informasi, dalam bukunya yang berjudul “Islamophobia and the Politics of Empire”, Prof. Deepa Kumar menjelaskan tentang dua skenario Islamofobia yang, menurutnya, berakar dari narasi Paus Urbanus pada saat Perang Salib. Saat itu, Paus membangun narasi yang menggambarkan Islam dan Nabi Muhammad SAW dengan begitu buruk. Hal ini dilakukan untuk memobilisir warga Eropa agar mau melakukan perang Salib dan untuk mencegah  mereka dari masuk Islam.


Kumar menjelaskannya dengan istilah Islamophobia konservatif dan Islamophobia liberal. Istilah Islamophobia konservatif mungkin cukup familiar bagi kita. Ialah mereka yang memandang bahwa Islam secara instrinsik adalah agama yang buruk, musuh bagi kemodernan, kebebasan, dan semacamnya.

Sementara Islamophobia liberal, jelas Kumar, dilabelkan kepada mereka yang muncul dalam retorika lebih lembut. Meski sebenarnya tidak kalah jahat. Mereka membagi adanya “Good Muslims” dan “Bad Muslims”. “Good Muslims” adalah umat Islam yang mau bekerja untuk Barat. Kumar menganalogikan pendekatan Islamofobia liberal sebagai “penjajahan berbulu domba”.

Jadi, jika hari ini kita mendapati begitu banyak fenomena industri kebencian pada Islam dan ajarannya, dengan berbagai tingkatannya, tidak perlu heran. Ada sebuah skenario global yang sangat besar dengan dana milyaran dollar yang saat ini sedang dijalankan, sebagai tindak lanjut dari kebencian ratusan tahun yang bermula dari Perang Salib di masa lalu. *Pertanyaannya, di posisi mana kita berada?*

Thursday, September 3, 2020

Murabahah yang Disebut oleh Bank Islami dan Hukum Syara’ Tentangnya

 Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Laman Facebook Beliau “Fiqhiyun”


Jawaban Pertanyaan: 


Murabahah yang Disebut oleh Bank Islami dan Hukum Syara’ Tentangnya

Kepada Asyraf Abdul Halil Thaithiy


Soal:


Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Kami tahu bahwa murabahah sebagai konsep adalah boleh secara syariy. Tetapi saya yakin bahwa fakta murabahah saat ini di bank-bank islami -bank syariah- menyalahi syara khususnya di kalangan warga kita di Palestina. Yang mana nasabah menentukan barang pada pedagang dan menyepakati harga tertentu dengan pedagang itu, dan nasabah itu mengakadkan kesepakatan dengan bank dan bank melakukan pembelian barang tersebut dan menyerahkannya kepada nasabah itu dan bank mengagunkan barang tersebut baik berupa properti, mobil atau lainnya. Kemudian kepemilikannya berpindah kepada nasabah setelah pembayaran jumlah yang sama dengan harga barang ditambah jumlah atau prosentase yang ditetapkan sesuai jangka waktu pembayaran dan bank menganggap jumlah tambahan sebagai kompensasi proses transaksi ... Apakah Anda berkenan menjelaskan hukum syara pada transaksi semisal ini? Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda.


Jawab:


Waalaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertanyaan Anda mencakup tiga perkara:

Pertama: murabahah dan hukumnya ...

Kedua: Apa yang disebut oleh bank islami -bank syariah- bahwa itu merubahah ...

Ketiga; topik mengagunkan barang yang dibeli ...

Berikut penjelasannya kepada Anda:

Terkait fakta murabahah dan hukumnya, kami telah menjelaskan hal itu dalam Jawab Soal tertanggal 19 Rajab 1434 H-29 Mei 2013 M. Di antara yang ada di dalam Jawab Soal tersebut sebagai berikut:

[... murabahah itu secara bahasa berarti meraih laba.  Dikatakan: bitu al-mutâ murâbahatan, yaitu saya menjualnya secara murabahah.

Sedangkan menurut istilah, murabahah adalah seorang penjual menawarkan barang dagangannya untuk dijual dengan kadar modalnya dan laba yang jelas (disepakati).  Dan murabahah itu termasuk jual beli amanah (bay al-amânah), sebab bersandar pada keamanahan penjual dalam memberitahukan modal barang dagangannya.

Murabahah itu secara syariy adalah boleh sebab murabahah itu adalah menjual dengan laba atas harga pembelian awal si penjual.  Jika penjual berkata, saya jual kepada Anda barang ini dengan laba sekian atas harga pembelian saya, dan ia memberi tahu pembeli harga pembelian awalnya itu, dan pembeli menerima, maka ini boleh sebab itu adalah jual beli yang diketahui dengan jelas (malûm).] selesai.

Adapun apa yang ada di pertanyaan Anda seputar apa yang disebut jula beli murabahah di bank-bank islami -bank syariah- maka kami telah menjawab masalah ini secara rinci pada 24 Rajab 1434 H-03 Juni 2013 M. dan saya ulangi kepada Anda apa yang ada di Jawab Soal tersebut:

[... معاملة البنوك الإسلامية التي تسمى بيع المرابحة هي معاملات مخالفة للشرع، وذلك من وجوه أبرزها:

[ ... Muamalah bank islami yang disebut jual beli murabahah adalah muamalah yang menyalahi syara’.  Hal itu karena beberapa aspek, yang paling menonjol:

Pertama, bank melangsungkan akad jual beli dengan pembeli sebelum bank membeli mobil atau kulkas … Padahal Rasul saw melarang jual beli sesuatu yang belum Anda miliki.  Dari Hakim bin Hizam ia berkata, aku katakan: 

يَا رَسُولَ اللَّهِ، يَأْتِينِي الرَّجُلُ يَسْأَلُنِي الْبَيْعَ، لَيْسَ عِنْدِي مَا أَبِيعُهُ، ثُمَّ أَبِيعُهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ: «لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»

Ya Rasulullah saw, ada orang yang datang padaku menanyakan jual beli, saya tidak punya apa yang saya jual, kemudian aku beli dari pasar.  Maka Rasulullah saw bersabda:jangan kamu jual apa yang bukan milikmu (HR Ahmad).


Ini Hakim bin Hizam bertanya kepada Rasul saw tentang pembeli yang datang kepadanya untuk membeli barang darinya yang belum ia miliki, lalu ia pergi ke pasar dan membelinya kemudian ia jual kepada pembeli itu, maka Rasul saw melarang hal itu kecuali barang itu sudah dia miliki kemudian ia tawarkan kepada pembeli jika suka silahkan membeli dan jika tidak silahkan tidak membeli.

Untuk menjelaskan hal itu kami katakan: orang pergi ke bank meminta utang finansial  Bank bertanya kepadanya kenapa ia ingin utang atau uang?  Orang tadi berkata untuk saya belikan kulkas, mobil, mesin cuci  lalu bank melangsungkan kesepakatan dengan orang tadi bahwa bank akan membelikan orang tadi kulkas dan bank menjualnya kepada orang tadi secara kredit dengan angsuran dengan harga sekian. Kesepakatan itu menjadi mengikat sebelum bank membeli kulkas, kemudian bank pergi dan membeli kulkas untuk orang tadi.  Orang tadi tidak bisa untuk tidak membeli kulkas itu dari bank, sebab kesepakatan dengan bank telah terjadi sebelum kulkas itu menjadi milik bank.  Jadi akad tersebut telah sempurna sebelum bank memiliki kulkas tersebut.

Tidak dikatakan bahwa bank menjualnya ke pembeli setelah bank membelinya.  Tidak dikatakan demikian sebab kesepakatan bank dengan pembeli telah sempurna dalam bentuk yang mengikat sebelum bank membeli barang itu dengan bukti bahwa pembeli tidak bisa menolak pembeliannya setelah bank membeli barang itu untuknya.  Jadi akad itu sudah sempurna dalam bentuk mengikat sebelum bank membelinya.

Seandainya bank memiliki gudang, di situ ada beberapa kulkas dan bank tawarkan kepada orang tadi, jika ia suka silahkan membeli dan jika tidak silahkan tidak membeli, seperti halnya penjual kulkas lainnya, maka pada saat itu jual beli tersebut sah baik kontan ataupun dengan angsuran.

Kedua, tidak boleh jika pembeli terlambat membayar angsuran lalu utangnya atas pembelian tersebut ditambah, sebab ini adalah riba dan itu yang disebut riba nasiah.  Riba jahiliyah itu diberlakukan pada masa jahiliyah.  Dahulu jika telah jatuh tempo dan debitor tidak mampu membayar maka temponya ditambah dan utang itu bertambah.  Islam datang dan mengharamkannya secara final, dan debitor yang musir (kesulitan membayar utang) diberi tangguh tanpa ada penambahan utang.

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (TQS al-Baqarah [2]: 280) 


Oleh karena itu tidak boleh bermuamalah dengan bank sesuai yang telah disebutkan di atas] selesai.

Adapun topik mengagunkan barang yang dibeli sampai angsurannya lunas seluruhnya maka kami telah menjawab hal itu pada 06 Syaban 1436 H-24 Mei 2015 M dengan jawaban rinci. Di situ dinyatakan:

[ ... Masalah ini dikenal di dalam fikih dengan disebut rahnu al-mabî alâ tsamanihi mengagunkan barang atas harganya-. Artinya, barang tersebut tetap tergadai pada penjual samai pembeli membayar harga. Masalah ini tidak muncul jika penjual dan pembeli itu keduanya seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw dalam hadits yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari dari Jabir bin Abdullah ra:

«رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ، وَإِذَا اشْتَرَى، وَإِذَا ‏اقْتَضَى»

“Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang mudah dan toleran jika menjual, jika membeli dan jika menuntut haknya pada orang lain.” 


Akan tetapi, kadang-kadang penjual dan pembeli berselisih seputar serah terima barang atau pembayaran harga. Kadang kala penjual setelah akad jual beli ia sengaja menahan barang yakni menjadikan barang itu agunan yang dia kuasai sampai harganya dibayar dan berikutnya muncullah masalah ini. Masalah ini diperselisihkan diantara para fukaha. Diantara mereka ada yang memperbolehkannya dengan syarat-syarat. Diantara mereka ada yang tidak memperbolehkannya. Ada juga yang memperbolehkannya pada kondisi tertentu dan tidak memperbolehkannya pada kondisi lainnya dan selain itu.

Yang saya rajihkan setelah mengkaji masalah ini adalah sebagai berikut:

Pertama, jenis jual beli:

Barang yang dijual adalah barang yang ditakar, ditimbang atau dihitung seperti jual beli beras, kapas atau jual beli tekstil (kain) dan lainnya.

Barang yang dijual bukan barang yang ditakar, ditimbang atau dihitung seperti jual beli mobil, jual beli rumah, jual beli hewan . dan lainnya.

Kedua, harga barang:

Harganya tunai kontan, seperti Anda membeli barang dengan harga sepuluh ribu tunai dibayar sekaligus kontan.

Harganya ditangguhnya untuk tempo tertentu, seperti Anda membeli barang dengan harga sepuluh ribu dan Anda bayar setahun kemudian (kredit satu tahun).

Harganya sebagian kontan dan sebagian lagi ditangguhkan, seperti Anda membeli barang lalu Anda bayar pertama lima ribu (tunai) dan lima ribu lagi Anda bayar setahun kemudian (kredit satu tahun) atau Anda angsur bulanan 

Ketiga: hukum syaranya berbeda sesuai perbedaan apa yang disebutkan di atas:

Kondisi pertama: barangnya adalah bukan barang yang ditakar, ditimbang atau dihitung yakni semisal menjual rumah, mobil atau hewan 

Harganya kontan, yakni Anda membeli mobil seharga sepuluh ribu kontan dan hal itu ditetapkan di dalam akad.

Pada kondisi ini, penjual boleh menahan barang tersebut, yakni barang itu tetap tergadai padanya sampai harganya yang tunai itu dibayar kontan sesuai akad.  Dalil atas yang demikian adalah hadits yang mulia yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, dan at-Tirmidzi berkata hadits hasan dari Abu Umamah, ia menuturkan: “aku pernah mendengar Nabi saw bersabda pada kutbah Haji Wada’:

«العَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ، وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ، وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ» 

“Pinjaman itu ditunaikan (dikembalikan), dan az-za’im adalah gharim dan utang dibayar”

Az-za’îm adalah al-kafîl (orang yang menanggung). Ghârim adalah dhâmin (orang yang menjamin). Aspek penarikan argumentasi dalam hadits tersebut adalah pada sabda Nabi saw wa ad-dayn maqdhiyun utang (harus) dibayar-.  Maka pembeli jika menerima barang sebelum ia membayar harga maka berarti ia telah membelinya secara utang, dan ad-dayn maqdhiyun utang itu harus dibayar-. Yakni yang prioritas (pertama-tama) untuk membayar utang selama pembeliannya secara kontan.  Dan dengan ungkapan yang lain, ia harus membayar harga pertama-tama selama harga dalam akad tersebut adalah tunai kontan  Al-Kasani berkata di dalam Badâ`iu ash-Shanâ`I mengomentari hadits tersebut (sabda Nabi saw ad-dayn maqdhiyun utang harus dibayar-, Nabi saw mendeskripsikan utang itu harus dibayar secara umum atau mutlak, maka seandainya penyerahan harga itu lebih belakangan dari penyerahan barang maka berarti utang tersebut belum dibayar, dan ini menyalahi nash.)

Atas dasar itu maka penjual boleh menahan barang padanya sampai pembeli membayar harganya.  Dan dengan begitu maka disitu tidak ada utang. Dan ini sesuai dengan akad sebab jual beli tersebut tidak secara utang (kredit) akan tetapi dengan harga tunai.

Harga ditangguhkan (kredit), seperti Anda membeli mobil dengan harga sepuluh ribu yang Anda bayar setahun kemudian (kredit satu tahun). Pada kondisi ini, tidak boleh barang ditahan sampai harga lunas sebab harga tersebut sesuai akad ditangguhkan dengan persetujuan penjual. Jadi penjual tidak boleh menahan barang untuk menjamin harganya selama ia telah menjualnya dengan harga yang ditangguhkan. Sebab ia menggugurkan hak dirinya untuk menahan barang. Dan oleh karena itu maka ia tidak boleh menahan barang tersebut, akan tetapi ia harus menyerahkan barang itu kepada pembeli.

Harganya sebagian tunai dan sebagian lagi ditangguhkan. Seperti Anda membeli mobil dengan pembayaran pertama lima ribu yang Anda bayarkan tunai dan lima ribu lagi Anda bayar setahun lagi sekaligus (kredit satu tahun dibayar sekaligus) atau Anda membayarnya secara angsuran selama tempo-tempo itu.

Pada kondisi ini, penjual boleh menahan barang sampai harga tunainya dibayar, dan setelah itu ia tidak boleh menahan barang untuk terlunasinya pembayaran harga tangguhnya. Hal itu karena apa yang telah kami sebutkan pada point 1 dan 2. 

Ringkasnya, bahwa penjual boleh menahan barang atas harganya yang tunai. Yakni jika akad jual beli tersebut dengan harga tunai yang dibayar kontan, maka penjual boleh menahan barang padanya sampai pembeli membayar harga tunai itu sesuai akad.

Demikian juga penjual boleh menahan barang padanya sampai pembeli membayar pembayaran yang disegerakan (tunai) sesuai akad jual beli.

Tidak dikatakan di sini, bagaimana pembeli mengagunkan barang sebelum ia menerimanya, yakni sebelum ia memilikinya? Hal itu karena agunan (rahn) itu tidak boleh kecuali pada apa yang boleh dijual, dan karena barang yang dibeli tidak boleh dijual kecuali setelah diserahterimakan bersandar pada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dari Ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda kepada Utab bin Usayd:

«إِنِّيْ قَدْ بَعَثْتُكَ إِلَى أَهْلِ اللهِ، وَأَهْلِ مَكَّةَ، ‏فَانْهَهُمْ عَنْ بَيْعٍ مَا لَمْ يَقْبِضُوْا»

“Sungguh aku telah mengutusmu kepada Ahlillah dan penduduk Mekah, maka laranglah mereka dari menjual apa yang belum mereka terima.”


Dan hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari Hakim bin Hizam, ia berkata: “ya Rasulullah, aku menjual dagangan yang banyak, lalu apa yang halal untukku dan apa yang diharamkan atasku?” Maka Rasulullah saw bersabda:

«لَا تَبِيعَنَّ مَا لَمْ تَقْبِضْ»

“Jangan engkau jual apa yang belum engkau terima.”


Hadits-hadits ini gamblang dalam melarang dari menjual apa yang belum diterima, lalu bagaimana bisa barang yang dibeli diagunkan sebelum diterima?

Tidak dikatakan demikian sebab kedua hadits ini adalah berkaitan dengan barang yang ditakar dan ditimbang Adapun jika barang itu bukan yang demikian (bukan barang yang ditakar, ditimbang) seperti rumah, mobil, hewan dan sebagainya maka boleh menjualnya sebelum diterima. Hal itu bersandar kepada hadits Rasul saw yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Umar ra, ia berkata: 

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ‏ﷺ‏ فِي سَفَرٍ، فَكُنْتُ عَلَى بَكْرٍ صَعْبٍ لِعُمَرَ، فَكَانَ يَغْلِبُنِي، فَيَتَقَدَّمُ أَمَامَ ‏القَوْمِ، فَيَزْجُرُهُ عُمَرُ وَيَرُدُّهُ، ثُمَّ يَتَقَدَّمُ، فَيَزْجُرُهُ عُمَرُ وَيَرُدُّهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ‏ﷺ‏ لِعُمَرَ: «بِعْنِيهِ»، قَالَ: هُوَ لَكَ يَا رَسُولَ ‏اللَّهِ، قَالَ: «بِعْنِيهِ» فَبَاعَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ‏ﷺ، فَقَالَ النَّبِيُّ ‏ﷺ‏: «هُوَ لَكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، تَصْنَعُ بِهِ مَا شِئْتَ» 

“Kami bersama Nabi saw dalam sebuah perjalanan. Aku naik onta remaja milik Umar yang jalannya cepat. Onta itu membuatku menang. Aku pun mendahului di depan kaum itu, maka Umar melarangnya dan mengembalikannya (ke belakang). Kemudian ia mendahului lagi. Umar pun melarangnya dan mengembalikannya (ke belakang lagi). Lalu Nabi saw bersabda kepada Umar ra: juallah kepadaku!  Umar pun berkata: itu untukmu ya Rasulullah. Nabi saw bersabda: juallah kepadaku! Maka Umar pun menjualnya kepada Rasulullah saw. Lalu Nabi saw bersabda: itu untukmu ya Abdullah bin Umar, perbuatkah dengannya apa yang engkau mau!


Tasharruf pada barang yang dibeli, dalam bentuk tasharruf hibah sebelum diterima ini menunjukkan atas sempurnanya kepemilikan barang sebelum diterima. Dan menunjukkan bolehnya menjual barang tersebut sebab barang itu telah sempurna kepemilikan penjual terhadapnya.

Atas dasar itu maka boleh mengagunkan barang sebelum diterima selama boleh menjualnya sebelum barang itu diterima. Akan tetapi ini hanya pada kondisi jika barang itu bukan barang yang ditakar, ditimbang atau dihitung seperti rumah, hewan dan semisalnya, dan pada kondisi terakadkannya jual beli dengan harga tunai, atau pada kondisi adanya pembayaran yang tunai pada akad jual beli. Maka boleh mengagunkan barang yang dibeli itu sebelum diterima sampai dibayarkan harga yang disegerakan (harga tunai) atau pembayaran yang disegerakan (pembayaran kontannya).

Kondisi kedua: barang yang dijual termasuk barang yang ditakar, ditimbang seperti membeli sejumlah beras, kapas, atau kain Pada kondisi tersebut maka tidak boleh menahan barang yang dijual itu atas harganya apapun fakta harganya: tunai kontan, kredit sekali bayar atau kredit dengan beberapa angsuran:

Jika harganya tunai kontan maka tidak boleh menahan barang tersebut seperti yang kami jelaskan di atas.

Jika harga kredit maka tidak boleh menahan barang yang dijual, yakni tidak boleh mengagunkannya. Sebab tidak boleh mengagunkan barang yang ditakar, dan ditimbang sebelum diserahterimakan, sesuai hadits Rasul saw yang telah disebutkan di atas. Dan penjual disini dalam kondisi jual beli dengan harga yang tunai kontan itu (berhak memilih) diantara dua perkara:

Antara ia menjual barang tersebut dengan harga tunai kontan dan ia serahkan barang itu kepada pembeli serta ia bersabar atasnya baik harga itu diberikan kepada secara tunai kontan atau setelah beberapa waktu, tanpa menjadikan barang tersebut sebagai agunan 

Atau ia tidak menjual barang tersebut yakni tanpa menahan barang sebagai agunan sama sekali.

Atas dasar itu maka jika sudah terakadkan jual beli dengan harga tunai atau secara kredit (dengan tempo) pada kondisi barang yang ditakar atau ditimbang maka penjual tidak boleh menahan barang tersebut sebagai agunan padanya sampai harganya dibayar.

Ini yang saya rajihkan. Wallâh alam wa ahkam] selesai.

Dengan semua ini, telah sempurna jawaban atas pertanyaan Anda, wallâh waliyyu at-tawfîq.


Saudaramu Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah


12 Muharam 1442 H

31 Agustus 2020 M


http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/70264.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2725425754370098?__tn__=K-R-R

Sunday, August 23, 2020

Relasi Agama dan Negara

 EMPAT PILAR NEGARA KHILAFAH


Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi, S.Si, MSI**


Relasi Agama dan Negara


Khilafah dapat disebut juga "negara Islam" (ad dawlah al islamiyah) atau "sistem pemerintah Islam" (nizham al hukm fi al islam). Meskipun Khilafah adalah ajaran Islam yang asli (genuine), namun banyak umat Islam yang kurang memahaminya. Keaslian ajaran Khilafah itu dapat dibuktikan dari pandangan Islam mengenai relasi (hubungan) agama dan negara (kekuasaan). Pandangan Islam ini dirumuskan dalam kalimat "Al Islam diin wa minhu ad daulah." (Isam adalah agama, di antaranya adalah ajaran tentang bernegara). Ini berbeda dengan konsep sekularisme dari Barat yang memisahkan agama dan negara (fashlud diin ‘an ad daulah). Agama dan negara dalam ajaran Islam tidak terpisah, karena dua sebab berikut ;


Pertama, karakter Rasulullah SAW yang menyatukan fungsi kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (ri`asah). Setelah hijrah ke Madinah (622 M), Rasulullah SAW bukan hanya berkedudukan sebagai nabi (penyampai risalah), namun juga berkedudukan sebagai kepala negara (ra`is ad dawlah). Terbukti Rasulullah SAW menjalankan fungsi-fungsi kepala negara, seperti mengadakan perjanjian, mengumumkan perang, mengirim atau menerima duta besar, dan seterusnya. Setelah Rasulullah SAW wafat, fungsi kenabian (nubuwwah) berakhir, yakni tak ada nabi lagi, tapi fungsi kepemimpinan (ri`asah) tetap diteruskan oleh para khalifah (kepala negara) selanjutnya.[1]


Ini berbeda dengan karakter Nabi Isa AS, yang menjadi panutan beragama (dan dipertuhankan) bagi kaum Nasrani di Barat. Nabi Isa AS hanya menjalankan fungsi kenabian (nubuwwah), tapi tidak mempunyai fungsi kepemimpinan (ri`asah). Hal ini karena pada saat itu Nabi Isa AS hidup di bawah Kerajaan Romawi. Maka dari itu wajar, orang Barat menganggap agama dan negara terpisah, karena Nabi Isa AS sendiri memang hanya seorang nabi, tidak menjalankan fungsi sebagai penguasa.


Kedua, karakter agama Islam itu sendiri yang bersifat komprehensif (syumuliah), yaitu tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, tapi mengatur segala aspek kehidupan. (Lihat QS Al Ma`idah [5] : 3 ; QS An Nahl [16] : 89). Karenanya Islam membutuhkan eksistensi negara atau kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum Islam secara menyeluruh.[2]


Maka dari itu, agama dan negara (kekuasaan) tak terpisah, perhatikan misalnya sabda Rasulullah SAW :

أَلاَ إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ، فَلاَ تُفَارِقُواْ الْكِتَابَ


"Ingatlah, sesungguhnya Al Kitab (Al Qur`an) dan kekuasaan (as sulthan) akan terpisah, maka (jika hal itu terjadi) janganlah kamu berpisah dari Al Kitab (Al Qur`an)." (HR Thabrani). [3]


Sabda Rasulullah SAW ini juga menegaskan konsep kekuasaan sebagai bagian ajaran Islam :

لينقضن عرى الإسلام عروة ، عروة ، فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي تليها ، وأولهن نقضًا الحكم ، وآخرهن الصلاة


"Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu, maka setiap satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan pada simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah kekuasaan (pemerintahan) sedang yang paling akhir terurai adalah shalat." (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim).[4]


Karakter agama Islam yang komprehensif ini (termasuk mengajarkan aspek kekuasaan) berbeda dengan karakter agama Nasrani yang tidak komprehensif, yaitu hanya mengatur persoalan aqidah dan akhlak. Agama Nasrani bukan sistem kehidupan (system of life) dan tak punya konsep bernegara, karena itu agama Nasrani dapat terlaksana tanpa ditopang sebuah negara. Perjanjian Baru sendiri dengan tegas memisahkan aspek agama dan negara, sebagaimana disebutkan dalam Matius,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan." (Matius 22:21).


Jelaslah bahwa agama dan negara dalam Islam tidak terpisah, berbeda dengan pandangan sekularisme Barat yang memisahkan agama dari negara. Kitab yang berjudul Al Islam wa Ushul Hukm karya Ali Abdur Raziq (1926) yang berusaha membuktikan terpisahnya agama (Islam) dari negara, adalah kitab yang batil karena nyata-nyata memalsukan ajaran Islam yang asli tentang ajaran bernegara.[5]


Takrif (Definisi) Khilafah


Dalam kitab-kitab fiqih dan ushuluddin, Khilafah disebut juga dengan istilah Imamah. Imam Nawawi menegaskan dalam kitabnya Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab (Juz 15 hlm. 517), bahwa Imamah atau Khilafah atau Imarah Al Mukminin adalah sinonim (mutaradif).[6]


Banyak definisi tentang Khilafah. Definisi Khilafah menurut Taqiyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) adalah sebagai berikut :

اَلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعاً فِي الدُّنْيَا لإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ، وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى الْعَالَمِ


"Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia."[7]


Dari definisi Khilafah di atas, dapat dipahami tiga poin penting :


Pertama, bahwa Khilafah itu adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia. Jadi Khilafah bukan kepemimpinan khusus (ri`asah khashash), seperti kepemimpinan seorang wali (gubernur) di suatu wilayah (propinsi), atau seperti kepemimpinan khusus pada bidang tertentu, misalnya kepemimpinan seorang Qadhi Qudhat dalam bidang peradilan Islam (Al Qadha`). Dapat dipahami juga Khilafah adalah institusi politik pemersatu umat Islam, sebab kepemimpinan Khilafah bersifat umum bagi umat Islam seluruh dunia, tanpa melihat lagi batas-batas negara-bangsa (nation state) yang ada sekarang ini.[8]


Kedua, bahwa fungsi pertama Khilafah adalah menerapkan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik itu politik (pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Penerapan syariah ini adalah politik dalam negeri dari negara Khilafah.[9]


Ketiga, bahwa fungsi kedua Khilafah adalah mengemban (menyebarkan) dakwah Islam ke seluruh dunia. Metode untuk mengemban dakwah ini adalah dengan menjalankan jihad fi sabilillah ke negara-negara lain. Mengemban dakwah dengan jalan jihad fi sabilillah inilah yang menjadi dasar politik luar negeri dari negara Khilafah.[10]


Maka dari itu, dengan keberadaan Khilafah, akan dapat terwujud paling tidak 3 (tiga) hal sbb; pertama, persatuan umat dalam satu negara, yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Ali ‘Imran : 103). Kedua, penerapan syariah Islam secara menyeluruh (kaaffah), yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Al Baqarah : 208; QS Ali ‘Imran : 85). Ketiga, penyebarluasan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia dan seluruh alam, yang menjadi karakter agama Islam (lihat misalnya QS Al Anbiya` : 107).


Sebaliknya, dengan tiadanya Khilafah, akan terjadi keburukan dan dosa bagi umat Islam paling tidak dalam 3 (tiga) hal sbb; Pertama, umat Islam akan terpecah belah dan tercerai berai, seperti kenyataan sekarang yang terpecah menjadi 50-an negara lebih. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi kafir penjajah atas umat Islam (QS An Nisaa` : 141). Kedua, syariah Islam tidak dapat diterapkan secara menyeluruh, tapi hanya sebagiannya saja. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi hukum non Islam (hukum jahiliyah) atas umat Islam (QS Al Maaidah : 50). Ketiga, karakter agama Islam sebagai agama dan rahmat bagi seluruh umat manusia tidak dirasakan lagi. Yang dirasakan adalah kebalikannya, yaitu penderitaan dalam segala bidang akibat dominasi kapitalisme yang menindas dan menghisap umat manusia di seluruh dunia. Kondisi buruk ini tak dibenarkan Islam (QS Thahaa : 123-125).


Kewajiban Khilafah (Imamah)


Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu'taddu bihi). [11]


Disebutkan dalam kitab Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :

أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه


"Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat." [12]


Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan,"Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini - sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya." [13]


Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, "Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]..."[1]


Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,"Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan." [14]


Dalil-Dalil Kewajiban Khilafah


Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qaidah Syar'iyyah.


Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ


"Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu." (QS An-Nisaa` : 59)


Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. [15]


Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :

فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ


"Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (QS Al Maidah : 48)


Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu.[16]


Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah : 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.[17]


Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :

من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية


"Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah." (HR Muslim, no 1851).


Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya.[18]


Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :

إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم


"Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin)." (HR Abu Dawud).


Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).


Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.


Adapun dalil Ijma' Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :

نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين


"Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma' (kesepakatan) para shahabat dan tabi'in..." (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).


Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :

اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله


"Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW." (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa'iqul Muhriqah, hlm. 7).


Adapun dalil Qaidah Syar'iah, adalah kaidah yang berbunyi :

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب


"Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya."


Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah.[19]


Berdasarkan penjelasan di atas, Khilafah hukumnya wajib berdasarkan 4 (empat) dalil, yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qaidah Syar'iyyah.


Empat Pilar Negara Khilafah


Khilafah mempunyai empat pilar (qaidah) yang mutlak wajib ada demi keberadaan dan kelangsungan keberadaan Khilafah. Jika salah satu pilar ini tidak ada, berarti Khilafah tidak ada atau telah berubah menjadi bentuk negara atau sistem pemerintahan lain yang tidak Islami. Kedudukan empat pilar ini seperti halnya rukun-rukun shalat, yang jika salah satu rukun itu tidak ada, maka shalatnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah SWT.


Keempat pilar Khilafah ini adalah sebagai berikut [20]  :


Pertama, kedaulatan di tangan syariah, bukan di tangan rakyat.


Kedua, kekuasaan di tangan umat.


Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin.


Keempat, hanya khalifah saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara', dan khalifah saja yang berhak melegislasi UUD dan segenap UU.


Pilar pertama, kedaulatan adalah ditangan syariah (as siyadah li as syar'i), dengan kata lain ialah bahwa yang berhak mengatur manusia hanyalah Syariah Islam, bukan hukum yang lain. Sebab definisi kedaulatan (as siyadah, sovereignty) adalah otoritas tertinggi yang bersifat mutlak yang merupakan satu-satunya pihak yang berhak mengeluarkan hukum untuk mengatur perbuatan manusia dan benda-benda yang digunakan manusia.[21]


Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan seluruh umat Islam, bahwa kedaulatan di tangan syariah, sebab kedaulatan di tangan syariah itu artinya adalah hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum bagi manusia (lihat misalnya QS Al An'am : 57; QS Asy Syura : 10).[22]


Jika pilar pertama tentang kedaulatan ini hilang, yakni kedaulatan berubah menjadi di tangan rakyat, berarti Khilafah itu dengan sendirinya sudah hancur dan berubah menjadi sistem demokrasi. Dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat, yang berarti bahwa satu-satunya pihak yang berhak mengatur hidup manusia adalah manusia itu sendiri, bukan Allah SWT. Inilah perbedaan paling mendasar antara sistem Khilafah dan sistem demokrasi. Dalam Khilafah, kedaulatan di tangan syariah. Sedang dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Jelas demokrasi adalah paham kufur yang sangat bertentangan dengan Islam.


Pilar kedua, menetapkan kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah). Kekuasaan (as sulthan) didefinisikan sebagai otoritas untuk menerapkan hukum-hukum dan perundang-undangan. Pilar kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah) ini mengandung arti bahwa umatlah yang berhak memilih pemimpin yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari hadis-hadis tentang baiat, bahwa seseorang tak menjadi pemimpin (khalifah), kecuali dibaiat (dipilih) oleh umat. Juga dapat dipahami dari hadis tentang pengangkatan pemimpin (ta`miir), yakni bahwa dalam perjalanan oleh tiga orang, harus diangkat pemimpin (amir) oleh pihak yang dipimpin (yakni umat). Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kekuasaan dalam Islam itu ada di tangan umat (as sulthan li al ummah).[23]


Jika pilar tentang kekuasaan ini hilang, yaitu kekuasaan tak lagi di tangan umat, misalnya berubah menjadi di tangan keluarga atau suku tertentu, berarti Khilafah itu sudah hancur dan berubah menjadi sistem monarki (kerajaan). Contoh sistem monarki adalah Kerajaan Saudi Arabia yang kekuasaannya berada di tangan keluarga Ibnu Saud secara eksklusif. Inilah perbedaan mendasar Khilafah dengan sistem monarki. Dalam Khilafah, kekuasaan di tangan umat. Sedang dalam sistem monarki, kekuasaan secara eksklusif dimiliki oleh keluarga tertentu.


Pilar ketiga Khilafah, menetapkan bahwa mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Pilar ini mempunyai dua dimensi pengertian. Pertama, khalifah yang diangkat wajib satu orang saja, tidak boleh lebih. Kedua, mengangkat khalifah itu sendiri adalah wajib hukumnya, bukan sunnah, mubah, dan sebagainya.[24]


Jika pilar ini hilang dalam negara Khilafah, misalnya khalifah yang diangkat ada dua orang, maka otomatis Khilafah telah hancur dan berubah menjadi sistem lain. Sebab Syariah Islam telah mengharamkan membaiat dua orang khalifah pada waktu yang sama, sesuai sabda Nabi SAW,"Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." (HR Muslim).


Jadi pilar ketiga ini memastikan persatuan umat di bawah satu kepemimpinan. Maka dari itu, jelas kelitu sekali kondisi umat Islam yang terpecah belah dipimpin oleh banyak pemimpin sebagaimana dalam sistem negara-bangsa (nation state) sekarang ini. Demikian pula juga suatu kekeliruan jika mengangkat khalifah tidak lagi dianggap sebagai kewajiban, atau malah dianggap perbuatan criminal.


Pilar keempat, menegaskan bahwa Khalifah mempunyai hak khusus dalam melegislasikan hukum syara' menjadi undang-undang yang berlaku umum dan bersifat mengikat. Hal ini didasarkan pada Ijma' Shahabat yang melahirkan kaidah syar'iyah yang termasyhur,"Amrul Imam yarfa'ul khilaf." (Perintah Imam [khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar'iyah lain yang tak kalah masyhur,"Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri maa yahdutsu min musykilat." (Imam [khalifah] berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi).[25]


Jika pilar keempat ini tidak ada, misalnya hak legislasi diserahkan kepada lembaga legislatif, bukan menjadi hak khusus khalifah, maka Khilafah hakikatnya sudah hancur dan berubah menjadi sistem demokrasi yang menetapkan hak legislasi ada di tangan lembaga legislatif.


Penutup


Demikianlah sekilas penjelasan tentang wajibnya Khilafah dan empat pilar Khilafah. Diharapkan, umat Islam mulai terbuka mata hati dan pikirannya untuk bersedia mempelajari dan mendukung ajaran Islam yang asli ini.


Umat Islam tak boleh lagi tertipu oleh kaum liberal sekular yang terus menerus menjajakan ide-ide kufur dan menyesatkan seperti sekularisme dan demokrasi dari Dunia Barat yang memang sekular dan Kristen. Marilah kembali ke konsep Khilafah, ajaran bernegara yang asli dari Islam, walaupun orang-orang kafir dan munafik pasti akan membencinya. Wallahu a'lam.


= = = =


*Makalah disampaikan dalam Seminar Khilafah Islamiyah, dengan tema Khilafah Solusi Terbaik Permasalahan Umat, diselenggarakan oleh HTI Bengkulu, di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Bengkulu, Minggu, 10 Juni 2012.


**DPP HTI (Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia).


CATATAN AKHIR :


[1] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 116-117.


[2] Sayyid Muhammad Habib Al Ubaidi Al Maushili, Hablul I'tisham wa Wujub Al Khilafah fi Diinil Islam, hlm. 70-71; Hisyam Al Badrani, An Nizham As Siyasi Ba'da Hadm Daulah Al Khilafah, hlm. 46.


[3] Lihat Ath Thabrani, Al Mu'jam Al Shaghir no 794; dalam Al Mu'jam Al Kabir, juz 20 hlm. 76; no 172; Ibnu Hajar Al Haitsami, Majma'uz Zawa`id, Juz 5 hlm. 225-226.


[4] Lihat Musnad Ahmad, 1/251; Shahih Ibnu Majah no 257; Al Hakim dalam Al Mustadrak, 4/92; disahihkan oleh Nashiruddin Al Albani, Shahih Al Jami' As Shaghir no. 4951, Juz 5 hlm.15.


[5] Sangat menyedihkan kaum liberal yang dangkal pikirannya terus menerus menggunakan kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm karya Ali Abdur Raziq untuk membodohi umat Islam bahwa Islam tidak mengajarkan konsep Negara (Khilafah). Padahal sudah banyak kitab yang mengkritik secara telak kitab tersebut, misalnya : Muhammad Imarah, Al Islam wa Ushul Al Hukm li Ali Abd Ar Raziq Dirasah wa Watsa`iq, (Beirut : Al Mu`assah Al Arabiyah), 2000; Ruysdi Ilyan, Al Islam wa Al Khilafah, (Baghdad: Darus Salam), 1976; Sayyid Taqiyuddin Sayyid, Radd Hai`ah Kibar Al ‘Ulama ‘Ala Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm li Ali Abd Ar Raziq, (Kairo : t.p), 1414 H; Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Naqd ‘Ilmi li Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm, (Kairo : Mathba'ah Salafiyah), 1344 H; Muhammad Imarah, Naqdh Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm li Syaikh Al Islam Muhammad Khidhir Al Husain, (Kairo : Dar Nahdhah Mishr), 1998.


[6] Lihat Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 35. Lihat juga Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 190.


[7] Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyah Al Islamiyah, (Beirut : Darul Ummah), 2003, Juz 2 hlm. 14


[8] Lihat Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Definisi Imarah, Juz 6 hlm.149.


[9] Hizbut Tahrir, Afkar Siyasiyah, 1994, hlm. 7-9.


[10] Hizbut Tahrir, Afkar Siyasiyah, 1994, hlm. 7-9.


[11] Lihat Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163.


[12] Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Bab Al Imamah Al Kubra, Juz 6 hlm. 164.


[13] Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34.


[14] Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78


[15] Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.


[16] Ibid. hlm. 50.


[17] Ibid. hlm. 51.


[18] Ibid. hlm. 52.


[19] Ibid., hlm. 61.


[20] Lihat pembahasan empat pilar Khilafah dalam Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa'id Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah), 1980. Kitab ini adalah pengembangan dari konsep Hizbut Tahrir yang terdapat dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir, seperti Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002; atau Muqaddimah Ad Dustur, 2010, dan sebagainya. Pada gilirannya, kitab Mahmud Abdul Majid Al Khalidi itu lalu dirujuk oleh ulama lain, seperti Dr. Shalah as Shawi, dalam kitabnya Nazhariyah As Siyadah.


[21] Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa'id Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah), 1980, hlm. 24; lihat kitabnya yang lain, Naqdh An Nizham Ad Dimuqrathi, (Beirut : Darul Jiil; Amman : Maktabah Al Muhtasib), 1984, hlm. 30. Lihat juga Shalah As Shawi, Nazhariyah As Siyadah wa Atsaruha ‘Ala Syar'iyyah Al Anzhimah Al Wadh'iyyah, hlm. 10.


[22] Shalah As Shawi, Nazhariyah As Siyadah wa Atsaruha ‘Ala Syar'iyyah Al Anzhimah Al Wadh'iyyah, hlm. 31-32.


[23] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 41-42.


[24] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 43-44


[25] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 44-45.


[1] Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78

Saturday, August 22, 2020

THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH

 THARIQAH, USLUB, WASILAH, DAN GHAYAH


[Agus Trisa]


Secara mendasar, manusia hidup di dunia ini adalah dalam rangka memenuhi dua hal yang melekat pada dirinya, yaitu kebutuhan jasmani (fisik) dan dorongan naluri. Untuk memenuhinya, manusia memerlukan dua hal, yaitu “alat” untuk memenuhinya kebutuhan dan “aktivitas” yang digunakan untuk memenuhinya. Alat dan aktivitas manusia itu banyak jenisnya. Ada yang sifatnya baku (tetap, tidak bisa digantikan yang lain), ada yang sifatnya tidak baku (fleksibel, bisa digantikan yang lain). Maka, manusia harus bisa mengidentifikasi berbagai “alat” dan “aktivitas” yang beragam ini, agar dalam menjalani kehidupan, hidup manusia terarah, terukur, dan tidak berakhir menjadi hal-hal yang kurang bermanfaat atau sia-sia.


Contohnya adalah lapar. Lapar adalah salah satu indikasi keberadaan kebutuhan jasmani (fisik). Setiap manusia, selama dia hidup, dia akan merasakan lapar. Maka manusia harus mencari alat dan aktivitas yang bisa membuatnya tidak lagi lapar. Untuk alatnya, tentu bisa berbagai macam alat. Alat di sini tentu maknanya adalah berupa makanan. Bisa dengan ubi (singkong), nasi, roti, ketela, jagung, sereal, atau yang lainnya.


Sedangkan untuk aktivitasnya, hanya satu yang bisa digunakan untuk memenuhinya, yaitu makan. Maka, makan ini menjadi aktivitas yang bersifat tetap atau baku. Sebab, aktivitas makan tidak bisa diganti dengan minum atau tidur. Sekalipun orang minum seember air atau tidur 10 jam, tetap itu tidak akan bisa menjadi “obat” lapar. Jadi, aktivitas makan ini menjadi aktivitas baku manusia yang tidak bisa diganti dengan aktivitas lain.


Adapun cara makannya seperti apa; apakah harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, dan makan malam), atau dua kali sehari (sahur dan berbuka), atau selalu makan setiap kali merasa lapar, ini adalah cara-cara makan yang sifatnya fleksibel, beragam cara bisa ditempuh. Maka, aktivitas makan, mau tidak mau tetap harus ditempuh manusia. Tetapi makan bukanlah sesuatu yang hendak dituju manusia. Sebab, akhir atau ending dari aktivitas makan, adalah hilangnya rasa lapar, dan bukan aktivitas makan itu sendiri. 


Dengan kata lain, tujuan orang makan adalah menghilangkan lapar, bukan “memenuhi aktivitas makan”. Misalnya, kita makan siang. Kita makan siang semata-mata karena saat itu kita lapar. Bukan karena “jam makan siang”. Seandainya saja, kita makan pagi (sarapan) terlalu banyak sehingga pada siang hari kita tidak merasa lapar, namun kita tetap memaksakan diri untuk makan (karena sudah jam makan siang), maka aktivitas makan siang ini tujuannya bukanlah menghilangkan rasa lapar, tetapi tujuannya adalah “terwujudnya aktivitas makan”, dalam hal ini aktivitas makan siang adalah bagian dari cara makan tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam). 


Tetapi jika kita makan siang, padahal kita masih kenyang karena makan pagi terlalu banyak, itu artinya kita makan siang bukan dalam rangka memenuhi tujuan makan yaitu “hilangnya rasa lapar”, tetapi dalam rangka memenuhi yang lainnya. Bisa saja tujuannya adalah “mewujudkan prinsip makan tiga kali sehari (makan pagi, siang, malam)”, atau bisa juga karena “ingin memenuhi selera makan karena ada menu baru”, dan sebagainya. Padahal, hukum asal makan adalah untuk “menghilangkan rasa lapar”. Ini contoh yang pertama.


Contoh lain adalah berkelompok. Berkelompok adalah indikasi yang menunjukkan adanya naluri manusia untuk mempertahankan eksistensi dirinya (bersama kelompoknya). Dari sisi dasar pendiriannya, ada begitu banyak jenis kelompok dalam kehidupan manusia. Ada kelompok yang didirikan atas dasar kepentingan materi, dan ada kelompok atas dasar kepentingan non-materi (atas dasar kepentingan kesamaan ide atau ideologi, kepentingan kesamaan nasib, kesamaan kepentingan perasaan, kepentingan kesamaan nasab, dan sebagainya). Sebuah kelompok didirikan karena manusia merasa nyaman dengan adanya kesatuan atau berbagai kesamaan tadi. Sedangkan dari sisi bentuknya, kelompok juga memiliki beberapa jenis. 


Ada keluarga, ada ormas, ada partai politik, ada majelis taklim, ada pula negara. Berbagai kelompok tadi didirikan dengan tujuan-tujuan tertentu. Apa tujuannya? Itu sangat bergantung pada jenis kelompoknya. Jika sebuah negara didirikan, maka tujuan-tujuannya meliputi kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. 


Dengan kata lain, tujuannya adalah menjaga jiwa, akal, dan kehormatan masyarakat. Inilah tujuan dari orang-orang yang mendirikan negara. Tanpa adanya negara (kekuasaan), maka berbagai tujuan tadi akan susah terwujud. Maka negara merupakan "alat baku" untuk tercapainya tujuan-tujuan tadi. Mengapa negara disebut sebagai alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan berbagai tujuan tadi, kecuali dengan adanya negara (kekuasaan, politik). Tidak bisa dengan model pendirian ormas, partai politik, majelis taklim, dan sejenisnya. Kalau pun ada ormas, partai politik, dan majelis taklim yang ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat, aktivitasnya juga pasti sangat terbatas, tidak bisa menjangkau seluruh warga masyarakat. Bisa jadi karena sumber daya yang dimiliki juga terbatas.


Misalnya dengan menggalang bantuan sosial atau kemanusiaan atau pendidikan atau kesehatan, kemudian mendirikan sekolah-sekolah atau rumah sakit. Hal-hal semacam ini hanya berlaku terbatas, tidak seluruh warga negara bisa dijangkau. Mengapa terbatas? Ya karena tidak memiliki kekuasaan, karena itu tidak kuasa (terbatas) dalam memenuhi seluruh kepentingan warga masyarakat. Berbeda jika hal-hal semacam itu dilakukan oleh negara (kekuasaan). Jika negara sudah berdiri, maka berbagai cara akan ditempuh oleh negara untuk mewujudkan tujuan-tujuannya di atas tadi, bukan hanya yang bisa dijangkau ormas, parpol, atau lembaga sosial. 


Caranya bisa bermacam-macam, bisa mendirikan berbagai macam sekolah, rumah sakit, bandara, membangun berbagai BUMN untuk mengelola sumber daya alam, memberikan permodalan untuk masyarakat, mendirikan lembaga-lembaga penjaga keamanan (baik keamanan dalam/polisi dan keamanan luar negeri/

tentara), mendirikan lembaga peradilan, mendirikan lembaga-lembaga administrasi negara, dan sebagainya. Ini semua adalah cara untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendirian negara. 


Karena itu bisa diambil kesimpulan, keberadaan negara, sebenarnya bukanlah tujuan. Karena tujuannya didirikannya negara adalah dalam rangka mencapai kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Jika negara bukan tujuan, lalu negara itu sebagai apa? Jawabannya sebagaimana disinggung di atas, negara merupakan “alat baku" untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi. Mengapa disebut alat baku? Sebab, tidak ada jalan lain untuk mewujudkan tujuan-tujuan tadi selain dengan adanya negara.


Buruknya kondisi suatu negara, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya, bisa jadi juga merupakan akibat dari tidak dipahaminya konsep ini secara benar. Misalnya, munculnya jargon NKRI harga mati. Jargon ini bisa jadi muncul karena menganggap bahwa NKRI (negara) adalah tujuan. Pernyataan ‘harga mati’ inilah yang mengindikasikan bahwa negara adalah tujuan. Sebab, istilah harga mati merupakan ungkapan untuk menunjukkan kerasnya usaha dalam hal mempertahankannya, sedangkan tidak ada suatu usaha keras ditempuh selain untuk meraih tujuan. Sehingga diambil kesimpulan bahwa dari pernyataan tersebut, bisa jadi muncul anggapan (artinya bisa jadi ya, bisa jadi tidak) bahwa keberadaan NKRI adalah tujuan. Dan apa yang bisa dilakukan seseorang ketika tujuannya sudah tercapai? 


Jawabannya, tidak akan ada lagi usaha keras yang dia tempuh, kecuali hanyalah aktivitas-aktivitas kecil saja. Maka dengan asumsi NKRI adalah tujuan, wajar jika setelah NKRI tegak, maka usaha untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, hanya dilakukan dengan sekedarnya. Mengapa? Ya, karena tujuan sudah tercapai. Akibatnya, rakyat akan merasakan kerugian yang luar biasa, baik rugi sumber daya alam (sumber daya alam dirampok asing) maupun rugi sumber daya manusianya (akhlak atau moralitas rakyat rusak karena pengaruh paham asing). Ini sebagai akibat dari salah memahami, bahwa keberadaan negara disangka tujuan. Padahal, tidak tepat jika menjadikan negara sebagai tujuan. Ini kalau dilihat dari anggapan bahwa NKRI adalah tujuan.


Sama halnya juga dengan memahami kekuasaan. Ketika menjelang pemilu, suasana di negara demokrasi begitu semarak, ramai. Partai politik, calon anggota legislatif, calon presiden, atau calon kepala daerah yang akan tampil “bertarung” dalam panggung demokrasi, akan mengeluarkan segala daya dan upaya untuk bisa meraih kekuasaan, memenangkan pertarungan. Biaya miliyaran mereka keluarkan, hanya untuk tercapainya tujuan. Apa tujuannya? Yaitu kekuasaan. Sampai di sini, siapa pun memahami, bahwa kekuasaan memang tujuan dari para peserta pertarungan demokrasi.


Padahal, jika kita memahami konsep normal suatu pemikiran asal, kekuasaan seharusnya tidak dianggap sebagai tujuan. Sebab, tujuannya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (ketercukupan) kebutuhan mansyarakat (warga negara), mencerdaskan kehidupan masyarakat, menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Ini tujuan asalnya, dan bukan meraih kekuasaan. Kekuasaan, hanyalah jalan baku untuk bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Kenapa jalan baku? Ya, seperti dijelaskan di atas, karena hanya dengan kekuasaanlah berbagai tujuan bisa terwujud, bukan dengan jalan yang lain. 


Kesalahan dalam memahami mana tujuan dan mana jalan baku dalam bernegara, akan berakibat pada terbengkalainya kepentingan rakyat. Kita bisa melihat, setelah seseorang jadi penguasa (memenangkan pertarungan demokrasi), apakah kebijakan mereka benar-benar akan berpihak kepada rakyat? Tentu kita bisa melihatnya sendiri. Utang negara yang semakin menggunung. Siapa yang harus membayar? Tentu rakyat. Subsidi energi (listrik dan BBM) dicabut. Siapa yang harus menanggung? Tentu rakyat. Sumber daya alam mengeluarkan hasil yang melimpah. Siapa yang menikmati? Tentu bukan rakyat. Ini terjadi, sebagai akibat dari memahami kekuasaan sebagai tujuan. Padahal, sebagaimana layaknya memahami negara, kekuasaan hanyalah jalan baku untuk mencapai tujuan-tujuan.


Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan dorongan naluri, manusia harus betul-betul memperhatikan aktivitas dan alat yang akan digunakan untuk memenuhinya; mana yang merupakan cara baku, cara tidak baku, alat yang tepat untuk memenuhi, alat yang tidak tepat untuk memenuhi; serta tujuan dari dilakukannya aktivitas tersebut. Jika hal tersebut tidak dipahami dengan baik, maka niscaya kehidupan manusia tidak akan berjalan efektif, efisien, terukur, dan terarah. 


Bisa dibayangkan, antara yang baku dengan yang tidak baku kebolak balik; mengira alat adalah tujuan padahal alat hanyalah sarana meraih tujuan; aktivitas baku tertukar dengan aktivitas tidak baku dan mengira memenuhi aktivitas baku sebagai tujuan. Ini semua adalah kekacauan hidup sebagai akibat dari tidak dipahaminya “cara-cara menjalani kehidupan”. Akhirnya, tujuan hidup manusia menjadi semakin kabur, tidak jelas mau seperti apa, tidak jelas mau dibawa kemana. Jika ketidakjelasan hidup ini dianut individu, maka hal itu hanya akan berdampak pada dirinya sendiri. Tetapi jika hal semacam ini dianut oleh suatu bangsa, atau pemimpin masyarakat, maka dampaknya akan sangat luas.


KHILAFAH, BUKANLAH TUJUAN


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memberikan penjelasan tentang hal ini. Beliau membedakan mana yang termasuk tujuan, sarana, cara, dan jalan. Tujuan adalah apa-apa yang ingin dicapai. Tujuan adalah ending dari segala usaha. Tujuan disebut dengan ghayah. Aktivitas atau “alat” yang bersifat baku dan tidak bisa digantikan yang lain dalam rangka memenuhi tujuan (ghayah), oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani disebut dengan istilah metode (thariqah/jalan). Pemakaian kata ‘alat’ dalam tanda kutip di sini hanya untuk memudahkan memahami, bukan alat yang dimaksud dalam konteks sarana (wasilah).


Dengan memahami ini, maka thariqah merupakan hukum syara’ tertentu yang harus (wajib) dilakukan. Sedangkan aktivitas yang bersifat fleksibel atau tidak baku dalam rangka meraih tujuan, disebut dengan cara/gaya (uslub). Sementara berbagai sarana prasarana atau “alat-alat” yang digunakan untuk meraih tujuan disebut dengan sarana (wasilah). Wasilah dan uslub ini sangat berkaitan erat. Sebab, membahas tentang wasilah, tidak akan bisa dilepaskan dari membahas tentang uslub.


Contohnya adalah Khilafah. Khilafah adalah jalan baku untuk mencapai tujuan perjuangan Islam. Disebut jalan baku, karena tidak ada jalan lain untuk mencapai tujuan, selain dengan Khilafah. Maka, khilafah adalah sebuah thariqah atau metode atau jalan baku untuk tercapainya tujuan. Lantas, apa tujuan yang hendak dicapai? Tujuan yang hendak dicapai adalah diterapkannya syariat Islam secara keseluruhan atau menjalankan kehidupan Islam. Disebut “menjalankan kehidupan Islam” sebab, kehidupan yang Islami tidak akan berjalan (terwujud) tanpa penerapan syariat Islam secara keseluruhan. Inilah tujuan yang (seharusnya) hendak dicapai oleh banyak organisai pergerakan Islam.


Jadi, Khilafah bukanlah tujuan. Khilafah adalah sebuah metode (thariqah) atau jalan baku untuk mencapai tujuan. Sedangkan tujuannya (ghayah), tidak lain adalah menerapkan syariat Islam. Mengapa penerapan syariat Islam dijadikan tujuan? Sebab, menerapkan syariat Islam adalah suatu kewajiban dan penerapan syariat Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Allah berfirman:


ﻓَﺎﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻋَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَﻙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ


“…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…” (QS. al-Maidah: 48)


ﻭَﺃَﻥِ ﺍﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻭَﺍﺣْﺬَﺭْﻫُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳَﻔْﺘِﻨُﻮﻙَ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ


“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan kamu terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu….” (QS. al-Maidah: 49)


Apa yang diturunkan Allah? Tidak lain adalah wahyu yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunah, dan apa yang ditunjukkan keduanya, yaitu ijma’ sahabat dan qiyas. Wahyu Allah ini meliputi akidah (keyakinan), dan syariah (tata aturan hidup bagi manusia). Syariah meliputi tiga aspek : (1) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan Allah, yang tercakup dalam aturan berakidah dan aturan beribadah; (2) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan dirinya sendiri yang meliputi aturan-aturan tentang makanan-minuman, pakaian, dan akhlak; dan (3) aspek yang mengatur interaksi manusia dengan sesama manusia, yang meliputi muamalat dan uqubat (sistem sanksi). Muamalat dalam Islam meliputi fiqh muamalah (fikih ekonomi), fiqh munakahah (fikih sosial/pergaulan pria dan wanita), dan fiqh siyasah (fikih berpolitik, bagaimana mengatur tatanan masyarakat). Sedangkan keberadaan uqubat (sistem sanksi) adalah dalam rangka menjaga agar penerapan muamalat Islam berjalan baik. Inilah ruang lingkup dari syariat Islam yang wajib untuk diterapkan.


Karena menerapkan syariat Islam adalah kewajiban, dan kaum muslimlah yang akan menerapkannya, maka kaum muslim harus terbangun kesadarannya (sadar bahwa syariat Islam wajib diterapkan oleh mereka). Jika terbangunnya kesadaran kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam merupakan tujuan yang ingin dicapai, maka berdakwah di tengah-tengah kaum muslim agar terikat dengan syariat Islam, merupakan jalan baku (thariqah) untuk membangun kesadaran kaum muslim. Jadi, dakwah adalah thariqah atau jalan baku untuk meraih tujuan, yaitu tumbuhnya kesadaran kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam.


Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami, jika Khilafah atau mendirikan Khilafah dijadikan tujuan (sesuatu yang ingin dicapai dan ending dari segala usaha), maka jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam tidak perlu melakukan aktivitas dakwah. Organisasi tersebut cukup membentuk laskar-laskar kemiliteran. Jika dirasa sudah cukup kuat, maka tibalah saatnya melakukan kudeta, kepung istana negara, sandera kepala negara, lalu deklarasikan berdirinya Khilafah. Tercapailah tujuan. Tidak perduli, apakah umat Islam siap atau tidak dengan diterapkan syariat Islam. Tidak perduli dalam perjalanan Khilafah apakah terjadi pelanggaran terhadap syariat Islam atau tidak. Sebab, itu bukanlah tujuan. Karena yang menjadi tujuannya adalah Khilafah. Inilah yang akan terjadi, jika Khilafah dijadikan tujuan (ghayah). Dan dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pemahaman seperti ini adalah salah.


Tetapi jika “menerapkan syariat Islam” atau “menjalankan kehidupan Islam” adalah yang dijadikan tujuan dari perjuangan jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam, maka metode (thariqah) yang harus ditempuh tidak lain adalah dengan dakwah untuk membangun kesadaran masyarakat tentang wajib dan pentingnya syariat Islam. Justru penerapan syariat Islam inilah yang merupakan inti dari aktivitas setelah Khilafah berdiri. Maka, tujuan belum dikatakan tercapai (berhasil), jika setelah Khilafah berdiri, justru terjadi banyak pelanggaran syariat Islam. Jadi, bisa diambil kesimpulan, bahwa Khilafah tidak boleh dijadikan tujuan perjuangan jamaah (ormas, kelompok) dalam Islam, tetapi yang harus menjadi tujuannya adalah agar umat menerapkan syariat Islam.


Dari pemahaman tersebut, maka kelompok atau jamaah dakwah Islam seperti HTI yang berjuang ingin menegakkan Khilafah, tidak akan menjadikan Khilafah menjadi tujuan perjuangan. Tetapi bagi ormas HTI, Khilafah “sekedar” metode atau thariqah atau jalan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya, yaitu menerapkan syariat Islam secara kaaffah (menyeluruh). Karena itulah, HTI tidak akan dan tidak akan pernah memiliki atau membentuk laskar atau sayap militer dalam bentuk apa pun. 


Jika sampai ada aktivitas semacam ini (pembentukan kelaskaran), itu artinya HTI telah keluar (melanggar) prinsip-prinsip dalam seluruh aktivitasnya, dan tentulah akan bertentangan dengan konsep thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah yang digagas pendirinya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Maka, pernyataan mantan Kepala BNPT, Ansyaad Mbai dalam sidang PTUN yang menyatakan bahwa HTI memiliki sayap milter yang disembunyikan, jelas adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta alias dusta. Dia kurang belajar atau kurang dalam memahami HTI itu seperti apa. Allah berfirman :


ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺫُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻤَﻠُﻮﺍ ﺑُﻬْﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَﺇِﺛْﻤًﺎ ﻣُﺒِﻴﻨًﺎ


“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS al-Ahzab: 58)


Agar umat terbangun kesadaran akan penting dan wajibnya menerapkan syariat Islam, maka harus ada dakwah. Pembahasan tentang dakwah ini begitu luas, baik dari sisi objek (sasaran), materi dakwah, maupun cara/gaya berdakwah. Dalam konteks objek atau sasarannya, maka sasaran dakwah itu ada dua, yaitu kaum muslim dan nonmuslim. Dakwah untuk orang nonmuslim adalah dakwah untuk mengajak mereka masuk ke dalam agama Islam. Sedangkan dakwah kepada sesama orang Islam adalah dakwah untuk mengajak mereka agar lebih baik lagi dalam menjalani hidup dengan aturan agama Islam. 


Sementara itu dari sisi materi dakwahnya, ini sangat bergantung pada pemahaman da’i terhadap kondisi realitas yang ada. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah masalah akidah maka materi dakwahnya berfokus pada pembinaan akidah. Jika seorang da’i menganggap bahwa permasalahan mendasar umat adalah kerusakan akhlak, maka dakwahnya berfokus pada pembinaan akhlak. Jika seorang da’i menganggap bahwa akar permasalahan umat adalah politik (ketiadaan Khilafah), maka fokus dakwahnya adalah pada bidang politik Islam. Begitu seterusnya. Semua materi dakwah memang sangat bergantung dari pemahaman seorang da’i tentang realitas kondisi umat.


Sedangkan untuk cara atau gaya dakwah, ini sangat berkaitan dengan cara penyampaiaan materi-materi dakwah. Cara atau gaya dakwah merupakan bentuk dari uslub dalam dakwah. Ada dakwah yang dilakukan dengan cara tatsqif jama’i (pembinaan secara umum) seperti mengadakan pengajian umum di masjid atau aula, seminar di gedung pertemuan, muktamar di lapangan besar; ada pula yang dilakukan dengan cara membentuk kelompok-kelompok kajian (halqah). Ada dakwah yang dilakukan dengan penyiaran di media massa (televisi, koran, majalah, radio), ada dakwah yang dilakukan melalui penyampaian syair-syair (nasyid). Ada yang dilakukan di indoor (di dalam ruangan), ada juga yang outdoor (di ruang terbuka). Ada yang sembunyi-sembunyi, ada yang dengan model terbuka. Dan sebagainya. Semua ini masuk dalam ranah (uslub) dalam berdakwah. Tetapi tanpa dibedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah; maka akan muncul keruwetan pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas. 


Karena itu, dalam berdakwah, setiap da’i hendaknya tetap memandang mana thariqah, mana uslub, mana wasilah, dan mana ghayah. Ini penting untuk dipahami, sebagaimana pentingnya memahami bahwa persoalan lapar itu hanya bisa diselesaikan dengan makan, dan bukan minum. Makan pun tidak harus dengan nasi, tetapi bisa juga dengan singkong atau roti. Makan pun tidak harus tiga kali sehari (makan pagi, makan siang, makan malam), karena bisa juga dengan dua kali sehari (sahur dan berbuka), empat kali sehari (makan pagi, makan siang, makan sore, makan malam), atau seperlunya saja (makan hanya pada saat lapar). Jangan sampai seorang da’i terjebak dalam aktivitas, namun tanpa memahami realitas atau hakikat dari aktivitas tersebut; apakah termasuk thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.


‘DAKWAH BISA TERSELENGGARA DI RUANG PUBLIK’ BUKANLAH TUJUAN


Dakwah secara terbuka di tempat umum, misalnya dengan mengadakan pengajian akbar di lapangan besar dengan alasan bisa menampung banyak orang. Dilihat dari sisi aktivitasnya, ini termasuk uslub berdakwah. Bukan thariqah dakwah yang bersifat baku. Dakwah seperti ini memang menguntungkan, karena bisa mendatangkan banyak peserta dan pesan dakwah bisa tersebar secara meluas. Tetapi tetap harus diperhatikan bahwa tujuan (ghayah) dari aktivitas dakwah, adalah untuk membangun kesadaran umat akan Islam, baik akidah maupun syariahnya. Tujuan (ghayah) dari dakwah, bukanlah “terselenggaranya acara dakwah”. 


Sehingga seandainya saja ada penguasa kafir yang melarang penggunaan ruang publik untuk aktivitas dakwah seperti Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno, sesungguhnya itu bukanlah akhir dari dakwah. Kejadian seperti ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dakwah ini telah berakhir, atau merupakan bencana bagi Islam. Kurang pas lagi, jika kemudian diikuti dengan pandangan, misalnya, “Berarti kelak kita harus mendukung calon kepala daerah muslim agar dakwah di ruang publik bisa dilegalkan.” Sikap seperti ini seringkali muncul sebagai ikutan dari adanya kejadian yang menghalangi dakwah. 


Padahal, jika dipikir lebih mendalam, sikap seperti ini sama artinya dengan menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” (misalnya Lapangan Monas atau Gelora Bung Karno), adalah thariqah (hal yang baku) yang tidak bisa tidak, harus terlaksana. Atau, menganggap bahwa “dakwah di ruang publik” adalah ghayah (tujuan, akhir dari segala sesuatu), yang ketika gagal terlaksana maka berakhir sudah segala-galanya. Padahal, ini (dakwah di ruang publik) bukanlah thariqah melainkan ‘sekedar’ uslub dalam berdakwah, yang jika kurang berhasil dalam uslub ini maka harus dipikirkan uslub lain, agar tujuan (ghayah) dari dakwah bisa tercapai. Apa itu? Yaitu tercapainya kesadaran umat akan Islam. 


Lebih jauh lagi, secara politik, sikap seperti di atas justru akan bisa menyebabkan kekalahan politik umat. Umat akan menjadi mudah dibelokkan dari satu sikap ke sikap lain, umat akan menjadi lebih mudah untuk dibeli kepentingan-kepentingannya hanya karena kondisi-kondisi seperti di atas. Umat akan bisa dimanfaatkan oleh partai-partai politik tertentu untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, karena memang jumlah suaralah yang menjadi tolok ukur kemenangan di dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, jamaah-jamaah dakwah Islam diharapkan dapat membimbing umat menuju sikap berpegang pada prinsip, agar perjuangan umat tidak kehilangan arah, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah.


Keberadaan jamaah dakwah dalam rangka mewujudkan tujuan dakwah merupakan hal yang sangat penting. Bahkan, hal ini merupakan perintah dari Allah:


ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ۚ ﻭَﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ


“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)


MASUK JAMAAH DAKWAH, BUKANLAH TUJUAN


Karena itulah, di dunia ini ada begitu banyak jamaah dakwah, entah berbentuk organisasi massa atau yayasan yang bergerak di bidang sosial dan dakwah, atau juga berbentuk partai politik. Di Indonesia sendiri, jamaah dakwah itu ada NU, Muhammadiyah, Persis, MTA, HTI, FPI, Dewan Dakwah, Syarikat Islam, al-Washliyah, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut merupakan wasilah dalam rangka mewujudkan ghayah, yaitu kesadaran umat akan pentingnya menjadikan Islam (baik akidah maupun syariahnya) sebagai jalan hidup. Maka, orang boleh-boleh saja mau ngaji di mana pun dia mau jika memang ingin turut berperan dalam rangka aktivitas penyadaran umat. Bisa masuk NU (Nahdhatul Ulama), Muhammadiyah, MTA (Majelis Tafsir Al-Quran), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Persis (Persatuan Islam), Dewan Dakwah, atau yang lainnya. Jadi, kalau ada orang yang mengira bahwa orang diajak masuk jamaah dakwah tertentu adalah untuk dicuci otaknya, atau masuk jamaah dakwah tertentu adalah semata-mata demi kepentingan jamaah tersebut, ini menunjukkan bahwa orang tersebut sudah mengira bahwa jamaah dakwah adalah ghayah (tujuan). Padahal tidak. Orang yang menganggap semacam ini sesungguhnya sedang berhalusinasi.


Orang tersebut mengira, orang diajak ngaji di NU semata-mata untuk kepentingan NU, orang ngaji di Muhammadiyah semata-mata untuk kepentingan Muhammadiyah, orang ngaji bersama FPI semata-mata untuk kepentingan FPI, orang ngaji bersama HTI semata-mata untuk kepentingan HTI, orang ngaji bersama MTA semata-mata untuk kepentingan MTA. Sampai-sampai ditambahi pernyataan “Kelompok-kelompok dakwah itu adalah bid’ah, mereka berpecah belah, tidak usah ikut firqah-firqah tersebut.” Dikiranya, ngaji dengan jamaah-jamaah dakwah tersebut tujuannya semata-mata demi besarnya tubuh jamaah tersebut (semoga Allah menghilangkan pikiran-pikiran seperti ini). Ini pemahaman yang salah atau keliru dalam memahami jamaah dakwah. Bahkan, keliru atau salah kaprah pemahamannya, sebagai akibat dari tidak bisa membedakan mana thariqah, uslub, wasilah, dan ghayah. Ruwet. 


Padahal, keberadaan jamaah-jamaah dakwah tersebut di atas, bukanlah ghayah atau tujuan orang ngaji (semoga setiap jamaah tidak menjadikan besarnya jamaah sebagai tujuan). Jamaah dakwah hanyalah wasilah (sarana) untuk tujuan yang sebenarnya. Apa itu? Yaitu agar orang yang ngaji semakin memahami Islam, baik akidah maupun syariahnya. Adapun adanya perbedaan atau keragaman jamaah dakwah (ada banyak jamaah dakwah), itu dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami realitas persoalan-persoalan umat. Perbedaan cara pandang terhadap persoalan umat inilah yang berimbas pada perbedaan fokus aktivitasnya, sebagaimana sudah disinggung di atas. Jadi, kalau mau ngaji bersama jamaah-jamaah dakwah, ya dipersilakan saja. Asal tetap memahami, bahwa masuk ke dalam jamaah tersebut bukanlah tujuan, tetapi jamaah dakwah hanyalah sebagai wasilah (sarana) untuk meraih tujuan yang sebenarnya. Mau memilih yang mana? Ya, itu tergantung pada masing-masing orang, sesuai dengan pemahamannya sendiri-sendiri terhadap permasalahan umat dan jalan apa yang akan ditempuh oleh masing-masing jamaah dakwah.


Wallahu a’lam.