Monday, August 17, 2020

Bagaimana kedudukan hadis tentang perpecahan umat islam

 



*Bagaimana Kedudukan Hadis Tentang Perpecahan Umat Islam?*

February 1, 2018 by Al-Wa'ie 

Soal:

Bagaimana kedudukan hadis tentang perpecahan umat Nabi Muhammad di akhir zaman? Sahih atau tidak? Jika sahih, lalu apa makna perpecahan dalam konteks hadis ini? Siapa pula kelompok selamat yang dimaksudkan?


Jawab:


Masalah ini telah dijawab dalam Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, tanggal 24 Raibul Akhir 1439 H/11 Januari 2018 M. Secara ringkas, sebagai berikut:

Pertama, hadis-hadis yang menyatakan perpecahan umat bisa dipilah menjadi tiga kelompok


Kelompok hadis yang menyebutkan umat berpecah menjadi 73 kelompok.


Kelompok hadis yang menyebutkan 73 kelompok dengan tambahan “kulluhâ fî an-nâr illâ wâhidatan” (semuanya di neraka, kecuali satu).

Kelompok hadis yang menyebutkan 73 kelompok disertai tambahan “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidatan” (semuanya di surga, kecuali satu).

Mengenai kelompok hadis pertama, yaitu yang menyatakan perpecahan umat Islam menjadi 73 kelompok, tetapi tanpa tambahan, status hadisnya sahih. Tidak ada ulama yang men-dha’îf-kannya. Antara lain berbunyi:


افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً

Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 firqah, Nasrani terpecah menjadi 71 atau 72 firqah, dan umatku akan terpecah menjadi 73 firqah.[1]


تَفَرَّقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ أَوْ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً

Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 firqah, Nasrani terpecah menjadi semisal itu dan umatku terpecah menjadi 73 firqah.[2]


اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلىَ إِحْدَى أَوْ اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً

Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 firqah,  Nashrani terpecah dalam 71 atau 72 firqah dan umatku terpecah menjadi 73 firqah.[3]


Kelompok hadis kedua, dengan tambahan “kulluhâ fî an-nâri illâ wâhidah (semuanya di neraka, kecuali satu), telah dinyatakan lebih dari satu riwayat dengan status sahih, atau dinilai sebagai hasan. Antara lain berbunyi:

… وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

“…Sungguh Bani Israel terpecah dalam 72 millah dan umatku akan terpecah dalam 73 millah. Semua mereka di neraka kecuali satu millah.” Mereka berkata, “Siapa dia, ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Apa yang aku dan para sahabatku di atasnya.”[4]


افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ

“Yahudi terpecah dalam 71 firqah, satu di surga dan 70 di neraka. Nasrani terpecah dalam 72 firqah, 71 di neraka dan satu di surga. Demi Zat Yang jiwaku dalam genggaman tangan-Nya, sungguh umatku akan terpecah dalam 73 firqah, satu di surga dan 72 di neraka.” Dikatakan, “Ya Rasulullah siapa mereka?” Beliau bersabda, “Al-Jamâ’ah.”[5]


إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً يَعْنِي الْأَهْوَاءَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Pengikut dua kitab terpecah dalam agama mereka menjadi 72 millah dan sungguh umat ini akan terpecah menjadi 73 millah, yakni hawa nafsu. Semuanya di neraka kecuali satu yaitu al-jamâ’ah.[6]


تَفْتَرِقُ هَذِهِ اْلأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً، قَالُوْا: وَمَا هِيَ تِلْكَ الْفِرْقَةَ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ اَلْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ

“Umat ini akan terpecah menjadi 73 firqah. Semuanya di neraka kecuali satu.” Mereka berkata, “Apa firqah itu?” Beliau menjawab, “Apa yang aku dan para sahabatku hari ini ada di atasnya.”[7]


إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا فِيْ دِيْنِهِمْ عَلَى اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ اْلأُمَّةُ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً يَعْنِيْ اَلْأَهْوَاءِ، كُلُّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً، وَهِيَ اَلْجَمَاعَةُ

Sungguh, Ahlul Kitab terpecah dalam agama mereka menjadi 72 millah. Sungguh umat ini akan terpecah menjadi 73 millah, yakni hawa nafsu. Semuanya di neraka kecuali satu, yaitu al-jamâ’ah.[8]


إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ تَفَرَّقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ…

Sungguh Ahlul Kitab terpecah dalam agama mereka menjadi 72 millah. Umat ini akan terpecah menjadi 73 millah. Semuanya di neraka, kecuali satu, yaitu al-jamâ’ah.[9]


أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Ingatlah, sungguh orang sebelum kalian dari kalangan Ahlul Kitab terpecah menjadi 72 millah. Sungguh millah ini akan terpecah menjadi 73; 72-nya di neraka dan satu di surga, yaitu al-jamâ’ah.[10]


Adapun kelompok hadis yang ketiga dengan tambahan “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidat[an]” (semuanya di surga, kecuali satu), riwayatnya di-dhâ’îf-kan oleh banyak ulama. Antara lain:

تَفَرَّقُ أُمَّتِي عَلَى سَبْعِينَ أَوْ إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهُمْ فِي الْجَنَّةِ إِلَّا فِرْقَةً وَاحِدَةً، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: الزَّنَادِقَةُ وَهُمُ الْقَدَرِيَّةُ

“Umatku terpecah menjadi 71 firqah. Semuanya di surga, kecuali satu”. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, siapa mereka?” Beliau menjawab, “Orang-orang zindiq dan mereka adalah al-Qadariyah.”[11]


تَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى بِضْعٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي الْجَنَّةِ إِلَّا فِرْقَةً وَاحِدَةً، وَهِيَ الزَّنَادِقَةُ

Umatku akan terpecah menjadi 70 sekian firqah. Semuanya di surga, kecuali satu firqah, yaitu az-zindiq.[12]


Jadi, ringkasnya hadis perpecahan umat Islam menjadi 73 kelompok tanpa tambahan statusnya sahih. Lalu hadis yang sama dengan tambahan “kulluhâ fî an-nâri illâ wâhidat[an]” (semuanya di neraka, kecuali satu) dinyatakan hasan oleh banyak ulama. Adapun hadis yang sama, dengan tambahan “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidat[an]” (semuanya di surga, kecuali satu), telah di-dha’îf-kan oleh banyak ulama. Yang mensahihkan atau menilai hasan hadis terakhir ini sedikit sekali.


Karena itu Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rasythah menguatkan status tambahan yang bisa digunakan, yaitu “kulluhâ fî an-nâri illâ wâhidat[an]” (semuanya di neraka, kecuali satu). Adapun tambahan yang lain, “kulluhâ fî al-jannati illâ wâhidatan” (semuanya di surga, kecuali satu), tidak bisa digunakan. Ini kesimpulan tentang status hadis di atas.


Kedua: Mengenai maknanya, ada dua:


Konotasi hakiki. Artinya, umat Islam ini memang benar-benar terpecah menjadi 73 kelompok. Hanya saja, semuanya tetap merupakan umat Islam, meski ada yang masuk neraka. Ini dijelaskan oleh Imam al-Khaththabi, dalam Ma’âlim as-Sunan, “Di dalam hadis ini ada petunjuk bahwa semua kelompok ini masih merupakan umat Islam dan tidak keluar dari agama ini. Pasalnya, Nabi saw. masih menjadikan mereka sebagai bagian dari umatnya.”[13] Itu artinya, umat Islam benar-benar terpecah menjadi 73 kelompok; ada yang selamat dan ada yang masuk neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.


Mengenai kelompok yang selamat ini (al-firqah an-nâjiyah), dalam riwayat ini maupun riwayat yang lain, adalah mereka yang terikat dengan tuntunan Nabi saw. dan para sahabatnya. Dalam riwayat lain digunakan redaksi “Jamâ’ah”. Karena itu ada yang menyebut kelompok yang selamat itu adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu mereka yang terikat dengan tuntunan Nabi saw. serta menjaga dan memperjuangkan jamaah [Khilafah].


Konotasi majaz. Artinya, yang dimaksud oleh hadis ini bukan makna yang sesungguhnya, melainkan kiasan. Tepatnya, hadis ini merupakan uslub Nabi untuk mengingatkan umatnya, agar tidak mengikuti Yahudi dan Nasrani, berpecah-belah hingga menjadi sekian kelompok. Jumlah di sini juga tidak berarti secara harfiah sebanyak itu, tetapi bisa diartikan katsrah (menjadi banyak). Kalimat dalam hadis ini memang berupa kalimat berita [kalam khabar], tetapi mempunyai konotasi larangan (nahy). Lalu bagaimana caranya agar tetap selamat? Jawabannya adalah dengan berpegang teguh pada tuntunan Nabi saw. dan jamaah kaum Muslim [Khilafah]. Kalau tidak ada, maka kita harus meninggalkan berbagai kelompok yang menyeru ke Neraka Jahanam, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Hudzaifah al-Yaman.

WalLâhu a’lam. []


Catatan kaki:

[1]    Hr. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, dari Abu Hurairah.


[2]    Hr. at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah. Dalam bab ini ada riwayat dari Sa’ad, ‘Abdullah bin Amru dan ‘Awf bin Malik. Abu Isa (at-Tirmidzi) berkata, “hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih”.

[3]    Hr. Al-Hakim, al-Mustadrak, dari Abu Hurairah. Al-Hakim berkata, “Ini adalah hadits shahih menurut syarat Muslim meski beliau tidak mengeluarkannya, dan hadits ini memiliki syahid… Adz-Dzahabi menyetujuinya.”


[4]    Hr. At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, dari Abdullah bin Amru. Abu Isa (at-Tirmidzi) berkata, “Hadits ini hasan gharib…”

[5]    Hr. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,  dari ‘Awf bin Malik.

[6]    Hr. Ahmad, Musnad.

[7]    Hr. Ath-Thabarani, Mu’jam ash-Shaghir dari Anas bin Malik.

[8]    Hr. Al-Baihaqi, Dalâ`il an-Nubuwwah.

[9]    Hr. Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahihayn. Al-Hakim berkata, “Sanad ini ditegakkan hujjah dalam penshahihan hadits ini… Dan disetujui oleh adz-Dahabi.”


[10]   Hr. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud. Al-Albani menilainya hasan.

[11]   Hr. Al-‘Uqaily, ad-Dhu’afa’ al-Kabir, dengan sanad dari Muhammad bin Marwan al-Qurasyi, dari Muhammad bin ‘Ubadah al-Wasithi, dari Musa bin Ismail al-Jabali, dari Mu’adz bin Yasin az-Zayyatu, dari al-Abrad bin Abi al-Asyras, dari Yahya bin Sa’id, dari Anas bin Malik. Al-‘Uqailiy berkata, “Mu’ad bin Yasin az-Zayyatu dari al-Abrad bin al-Asyras, orang yang majhul dan haditsnya tidak boleh diingat (ghayru mahfûzh).”


[12]   Hr. Al-‘Uqaily, ad-Dhu’afa’ al-Kabir, dari al-Hasan bin Ali bin Khalid al-Laytsi, dari Nu’aim bin Hamad, dari Yahya bin Yaman, dari Yasin az-Zayyatu dari Sa’ad bin Sa’id, saudaranya Yahya bin Sa’id al-Anshari dari Anas. Al-‘Uqailiy berkata, “Hadits ini tidak kembali kepada shahih, boleh jadi Yasin mengambilnya dari bapaknya atau dari Abrad ini. Dan hadits ini tidak punya asal dari hadits Yahya bin Sa’id dan tidak pula dari hadits Sa’ad.”


[13]   Al-Khatthabi, Ma’alim as-Sunan, Juz VII/4


Saturday, August 15, 2020

Mamahami Lafazh Kull Pada Hadits Bid’ah

 Mamahami Lafazh Kull Pada Hadits Bid’ah


Tanya:

Selama ini saya memahami kata kullu pada hadits “kull[u] bid’at[in] dhalâlat[un]” bermakna semua. Namun sebagian kalangan memahami itu makananya sebagian, sehingga ada bid’ah hasanah yang tidak termasuk bid’ah dhalalah. Sebenarnya apa kata kullu bisa bermakna sebagian? kapan bermakna sebagian? Di hadits tersebut menggunakan makna yang mana?

(Ratna Winarsih - Malang)


Jawab:

Bismillahirrahmanirrahim

Saudari benar, bahwa lafazh kull secara bahasa memang berarti: semua, seluruh, atau segala. Al-Imam Al-Jurjani (w. 816 H) dalam kamus at-Ta’rîfat menjelaskan lebih lanjut:


وَكَلِمَةُ كُلٍّ عَامٌّ تَقْتَضِي عُمُوْمَ الْأَسْمَاءِ .


“Dan kata kull itu berlaku umum meliputi keumuman semua kata benda.”[1]


Maksudnya adalah apabila ia mengenai sebuah kata benda, maka itu akan menimbulkan makna umum pada kata benda tersebut. Sebagai contoh, lafazh kull dalam hadits Rasulullah saw berikut ini.


« كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى »  قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى »


“Semua umatku akan masuk surga kecuali siapa yang enggan.” Mereka (para sahabat ra) berkata: Wahai Rasulullah, siapa yang enggan itu?  Beliau menjawab: “Siapa saja menaatiku ia akan masuk surga, dan siapa-siapa yang mendurhakaiku berarti ia telah enggan (masuk surga).”[2]


Ketika lafazh kull di situ mengenai lafazh ummatî (umatku) maka itu menimbulkan makna umum pada lafazh ummatî, yakni meliputi segenap umat Nabi Muhammad saw tanpa terkecuali.


Namun kemudian perlu diketahui, bahwa dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada kaidah yang mengatakan:


 يَبْقَى الْعَامُّ عَلَى عُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ


“Dalil umum akan senantiasa berlaku umum selama tidak ada dalil pengkhususan.”[3]


Di titik inilah lafazh kull berpeluang untuk tidak meliputi secara mutlak keumuman kata benda yang dikenainya. Yaitu manakala ada atau ditemukan dalil takhshîsh. Baik dalil takhshîsh tersebut terdapat dalam satu nash bersama dalil yang menunjukkan keumuman (at-takhshîsh al-muttashil), maupun dalil takhshîsh tersebut terdapat pada nash lain yang berbeda (at-takhshîsh al-munfashil).   


Dalam hadits di atas, dalil takhshîsh terdapat pada nash hadits itu sendiri. Yaitu bagian illâ man abâ (kecuali siapa-siapa yang enggan). Sehingga keumuman lafazh kull[u] ummatî (semua umatku) di situ menjadi makhshush (terkenai pengkhususan). Yakni dikhususkan bagi yang tidak taat untuk tidak termasuk ke dalam cakupan kull di situ.


Pemahaman seperti ini juga berlaku pada hadits kull[u] bid’at[in] dhalâlat[un] yang sedang ditanyakan. Asalnya ia berarti umum meliputi segala macam bid’ah tanpa terkecuali. Namun kemudian ditemukan dalil lain di luar nash umum tersebut yang menunjukkan adanya bid’ah yang tidak sesat. Di antaranya berupa Ijma’ Sahabat atas adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) di masa khalifah Umar bin Khaththab ra. Yaitu penyelenggaraan shalat tarawih secara terorganisir yang belum pernah ada di masa-masa sebelumnya. Dalam kesempatan itu Umar dengan jelas mengatakan:


« نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ »


“Ini merupakan sebaik-baik bid’ah.”[4]


Para sahabat tidak ada yang memprotes kebijakan dan pernyataan beliau ini, sehingga dipahami sebagai ijma’ akan adanya bid’ah yang bukan bid’ah dhalâlah. Ini menjadi mukhashshish (pengkhusus) bagi keumuman kata bid’ah pada hadits bid’ah dhalâlah. Berkenaan dengan hadits tersebut Al-Imam Al-Hafizh An-Nawawi Asy-Syafi’i (w. 676 H) menerangkan:


( وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ) هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ ... أَنَّ الْحَدِيْثَ مِن الْعَامِّ الْمَخْصُوْصِ وَكَذَا مَا أَشْبَهَهُ مِن الْأَحَادِيْثِ الْوَارِدَةِ وَيُؤَيِّدُ مَا قُلْنَاهُ قَوْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي التَّرَاوِيْحِ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ وَلَا يَمْنَعُ مِنْ كَوْنِ الْحَدِيْثِ عَامًّا مَخْصُوْصًا قَوْلُهُ كُلُّ بِدْعَةٍ مُؤَكَّدًا بِكُلٍّ بَلْ يَدْخُلُهُ التَّخْصِيْصُ .


“(Sabda Nabi saw) dan semua bid’ah adalah sesat; ini merupakan redaksi umum yang terkenai takhshish (pengkhususan), yang artinya adalah bid’ah pada umumnya (bukan bid’ah secara mutlak, pentj.) … Bahwa hadits tersebut tergolong dalil umum yang terkenai pengkhususan, demikian pula halnya hadits-hadits serupa yang ada. Hal yang memperkuat pendapat kami ini adalah perkataan Umar bin Khaththab ra berkenaan shalat tarawih: “sebaik-baik bid’ah”. Sabda Nabi: “semua bid’ah” dengan penekanan menggunakan kata kull, tidak menghalangi untuk terbilangnya hadits tersebut sebagai hadits umum yang terkenai pengkhususan. Melainkan justru ia terkenai pengkhususan itu sendiri.”[5]


Jadi apabila dikembalikan pada pertanyaan di atas, maka jabawannya adalah bahwa lafazh kull tidak berarti sebagian, ia tetap bermakna semua, seluruh, atau segala. Hanya saja kemudian ia memungkinkan untuk di-takhshish (dikenai pengkhususan), sehingga itu menjadikannya tidak lagi bermakna umum secara mutlak alias tidak meliputi hal-hal yang dikhususkan darinya. Namun meski demikian kata tersebut tetap tidak berarti sebagian.


Di atas ini merupakan penjelasan menurut prespektif pendapat yang mengakui pembagian bid’ah menjadi hasanah dan dhalalah, yang itu adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i ra yang banyak diikuti oleh kalangan pesantren. Adapun menurut prespektif pendapat yang menganggap semua bid’ah adalah dhalalah tanpa terkecuali, mereka memahami kata bid’ah pada ungkapan Umar tersebut sebagai bid’ah secara bahasa bukan istilah[6]. Adapun kebolehan melakukannya, karena ia dipayungi oleh syari’at yang bersifat umum, sehingga bagi mereka apa yang dilakukan Umar itu tidak tergolong bid’ah secara istilah. Oleh sebab itu mereka tidak memberlakukannya sebagai mukhashshish bagi hadits bid’ah.


Walhasil, masing-masing dari dua kelompok tersebut sama-sama memahami kull berarti semua, seluruh, atau segala. Hanya bedanya, kelompok pertama memberlakukan takhshîsh atasnya sementara kelompok kedua tidak. Wallâhu a’lam[] 


05 Dzul Qa’dah 1436 H

Azizi Fathoni K 



[1] al-Jurjani, at-Ta’rîfât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 186.

[2] Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, nomor hadits 7280; Musnad Ahmad, Ahmad bin Hambal, nomor hadits 8713; Shahih Ibn Hibban, Ibnu Hibban, nomor hadits 17; al-Mustadrak, al-Hakim, nomor hadits 182.

[3] Lihat Taqiyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol 1 (Beirut: Dâr al-Ummah, 2003), 252.

[4] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, nomor hadits 2010; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibn Khuzaimah, nomor hadits 1100; Malik bin Anas, al-Muwaththa’, nomor hadits 279; al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, nomor hadits 3269.

[5] Abu Zakariya al-Nawawi, Syarh al-Nawawî ‘alâ Muslim, vol 6 (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, 1972), 154.

[6] Lihat Majmu' al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah al-Harrani, vol 20 hlm 163


BENARKAH HIZBUT TAHRIR MENGINGKARI KEMAKSUMAN PARA NABI?

 BENARKAH HIZBUT TAHRIR MENGINGKARI KEMAKSUMAN PARA NABI?


Tanggapan atas Tulisan KH. M. Najih Maimoen: Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII, dan Ma’had Zaitun. Sub Bab: Konsep Mengingkari Ishmah Al-Anbiya’


Azizi Fathoni K


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

الْحَمْدُ لله وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ الله وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاه . وَبَعْد


Sambil memohon pertolongan kepada Allah ‘azza wa jalla, al-faqir katakan: 


Pada bagian sub bab terkait kritik terhadap Hizbut Tahrir, Kyai Najih Meimoen selaku penulis di antaranya mencantumkan judul: Konsep Mengingkari ‘Ishmah Al-Anbiya`[i]


Al-faqir katakan: Judul tersebut rasanya kurang pas, karena yang menjadi pendapat Hizbut Tahrir adalah bahwa para nabi tidak maksum sebelum diutusnya mereka menjadi nabi atau rasul atau sebelum masa kenabian, bukan tidak maksum secara mutlak. Sehingga lebih tepatnya apabila ditulis dengan redaksi: Konsep Mengingkari ‘Ishmah Al-Anbiya` sebelum Masa Kenabian.


Karena sudah maklum kiranya dan menjadi perkara yang telah disepakati bersama bahwa para nabi adalah maksum setelah kenabian mereka atau setelah mereka menjadi nabi. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Imam al-Ushuli Abu al-Hasan al-Amidi (w. 631 H) dalam kitab ushulnya, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm:


وَأَمَّا بَعْدَ النُّبُوَّةِ فَالِاتِّفَاقُ مِنْ أَهْلِ الشَّرَائِعِ قَاطِبَةً عَلَى عِصْمَتِهِمْ عَنْ تَعَمُّدِ كُلِّ مَا يُخِلُّ بِصِدْقِهِمْ فِيمَا دَلَّتِ الْمُعْجِزَةُ الْقَاطِعَةُ عَلَى صِدْقِهِمْ فِيهِ مِنْ دَعْوَى الرِّسَالَةِ وَالتَّبْلِيغِ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى .


"Adapun setelah kenabian, maka telah ada konsensus oleh segenap ulama ushul atas kemaksuman mereka dari sengaja melakukan apa saja yang dapat menciderai kebenaran mereka pada apa yang ditunjukkan oleh mukjizat yang meyakinkan atas kebenaran mereka di dalamnya, berupa klaim kerasulan dan penyampaian risalah dari Allah ta’âlâ."[ii]


Dan dalam hal ini Hizbut Tahrir tidak menyalahi ijmak ulama Ahlussunnah barang sehelai rambut pun, bahwa para nabi adalah maksum setelah kenabian mereka. Disebutkan dalam kitab yang diadopsinya, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz I: 


وَالْحَقُّ أَنَّ كُلَّ مَا كَانَ طَلَبُ فِعْلِهِ أَوْ طَلَبُ تَرْكِهِ جَازِماً -أَيْ جَمِيْعَ الْفُرُوْضِ وَالْمُحَرَّمَاتِ- هُمْ مَعْصُوْمُوْنَ بِالنِّسْبَةِ لَهَا ، مَعْصُوْمُوْنَ عَنْ تَرْكِ الْوَاجِبَاتِ ، وَعَنْ فِعْلِ الْمُحَرَّمَاتِ ، سَوَاءٌ أَكَانَتْ كَبَائِرَ أَوْ صَغَائِرَ . أَيْ مَعْصُوْمُوْنَ عَنْ كُلِّ مَا يُسَمَّى مَعْصِيَّةً وَيَصْدُقُ عَلَيْهِ أَنَّهُ مَعْصِيَّةٌ ...


"Pendapat yang benar adalah bahwa setiap apa saja yang tuntutan pelaksanaan atau meninggalkan nya bersifat tegas (jâzim[an]) –artinya seluruh kewajiban dan keharaman–, maka berkenaan dengan itu mereka (para nabi dan rasul) adalah maksum. Mereka maksum dari meninggalkan kewajiban, dan maksum dari melakukan keharaman. Sama saja baik itu dosa kecil maupun dosa besar. Artinya, mereka maksum dari setiap apa yang disebut maksiat dan yang dibenarkan sebagai kemaksiatan. ..."[iii] 


Sampai pada bagian awal redaksi yang dicuplik oleh Kyai Najih Maimoen yang berbunyi:


إِلَّا أَنَّ هَذِهِ الْعِصْمَةَ لِلْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ إِنَّمَا تَكُوْنُ بَعْدَ أَنْ يُصْبِحَ نَبِيّاً أَوْ رَسُوْلاً بِالْوَحْيِ إِلَيْهِ .


"… hanya saja kemaksuman para nabi dan rasul adalah setelah mereka memiliki predikat kenabian dan kerasulan dengan turunnya wahyu kepada mereka."[iv]


Selanjutnya, setelah mengutip perkataan al-Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani terkait pendapat Hizbut Tahrir dalam topik yang sedang dikritisi, yang berbunyi:


إِلَّا أَنَّ هَذِهِ الْعِصْمَةَ لِلْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ إِنَّمَا تَكُوْنُ بَعْدَ أَنْ يُصْبِحَ نَبِيّاً أَوْ رَسُوْلاً بِالْوَحْيِ إِلَيْهِ . أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ فَإِنَّهُ يَجُوْزُ عَلَيْهِمْ مَا يَجُوْزُ عَلَى سَائِرِ الْبَشَرِ ، لِأَنَّ الْعِصْمَةَ هِيَ لِلنُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ .


"…hanya saja kemaksuman para nabi dan rasul adalah setelah mereka memiliki predikat kenabian dan kerasulan dengan turunnya wahyu kepada mereka. Adapun sebelum kenabian dan kerasulan boleh jadi mereka berbuat dosa seperti umumnya manusia. Karena keterpeliharaan dari dosa ('Ishmah) berkaitan dengan kenabian dan kerasulan saja."[v] 


Kyai Najih Maimoen kemudian menuliskan paragraf yang menimbulkan kesan seakan telah terjadi konsensus (ijmak) ulama Ahlussunnah akan kemaksuman para nabi sebelum masa kenabian mereka: 


"Para ulama Ahlussunnah telah sepakat bahwa para nabi pasti memiliki sifat jujur, amanah dan kecerdasan luar biasa. Dari sini diketahui bahwa Allah SWT tidak akan memilih seseorang untuk predikat ini kecuali orang yang tidak pernah jatuh dalam perbuatan hina, khianat, kebodohan dan kebohongan. Karena itu orang yang pernah terjatuh dalam hal-hal yang tercela tersebut tidak layak untuk menjadi nabi meskipun tidak lagi mengulanginya. Para nabi juga terpelihara dari kekufuran, dosa-dosa besar juga dosa-dosa kecil yang mengandung unsur kehinaan atau tidak, baik sebelum mereka menjadi nabi maupun sesudahnya baik sengaja atau tidak."[vi] 


Seraya beliau mengutip perkataan al-Imam Muhammad bin Ahmad al-Dasuki (w. 1230 H) dalam kitabnya Hasyiah Ummil Barahin:


قَوْلُهُ وَالْأَمَانَةُ : الْمُرَادُ بِهَا حِفْظُ ظَوَاهِرِهِمْ وَبَوَاطِنِهِمْ مِنَ الْوُقُوْعِ فِي الْمَكْرُوْهَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ ، سَوَاءٌ كَانَتِ الْمُحَرَّمَاتُ صَغَائِرَ أَمْ كَبَائِرَ ، كَانَتْ تِلْكَ الصَّغَائِرُ صَغَائِرَ خِسّةٍ كَسَرِقَةِ لُقْمَةٍ وَتَطْفِيْفِ كَيْلٍ ، أَوْ صَغَائِرَ غَيْرِ خِسّةٍ كَنَظْرٍ لِامْرَأَةٍ أَوْ لِأَمْرَدٍ بِشَهْوَةٍ ، كَانَتْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ أَوْ بَعْدَهَا ، عَمْدًا أَوْ سَهْوًا .


"Yang dimaksud dengan amanat mereka adalah keterjagaan lahir dan batin mereka dari terjerumus dalam hal-hal yang makruh dan haram, baik hal-hal yang haram itu berupa dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa-dosa kecil tersebut berupa dosa-dosa kecil yang hina seperti mencuri sesuap nasi dan mengurangi takaran, atau dosa kecil yang tidak hina seperti memandang (dengan sengaja dan menikmatinya) perempuan atau amrad (laki-laki ganteng) dengan syahwat, baik sebelum kenabian atau sesudahnya, baik disengaja atau lupa."[vii] 


Hal tersebut kemudian dipertegas dengan paragraf penutup beliau di akhir kritikannya dalam topik ini:


"Jadi, dengan berpijak terhadap pendapat an Nabhani bahwa para nabi boleh jadi melakukan perbuatan dosa apa saja sebelum menjadi nabi sebagaimana layaknya manusia biasa, Hizbut Tahrir telah ikut andil dalam menyebarluaskan epidemi virus liberalisme di tengah-tengah umat Islam diantaranya dengan jalan tidak mengakui kemaksuman para nabi. Kalau dibiarkan ini sangat berbahaya."[viii]


Al-faqir katakan: klaim ijmak tersebut kiranya perlu ditinjau ulang, atau dirinci lebih lanjut terkait apa maksudnya, kemaksuman sebelum kenabian kah atau setelahnya. Juga siapakah ulama yang menyebutkan adanya ijmak akan kemaksuman mereka sebelum kenabian tersebut, mengingat kutipan dari kitab Hasyiyah Ummil Barohin tidak menyebutkannya. 


Karena berbeda dengan kemaksuman nabi setelah kenabiannya yang telah disepakati ulama Ahlussunnah sebagaimana disinggung di awal, perihal kemaksuman nabi sebelum kenabiannya adalah perkara yang diperselisihkan (mukhtalaf fîh), bahkan di antara ulama Ahlussunnah sendiri. Berikut al-faqir kutipkan penjelasan al-Imam al-Amidi masih dalam kitab yang sama:


الْمُقَدِّمَةُ الْأُولَى . فِي عِصْمَةِ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ ، وَشَرْحِ الِاخْتِلَافِ فِي ذَلِكَ وَمَا وَقَعَ الِاتِّفَاقُ مِنْ أَهْلِ الشَّرَائِعِ عَلَى عِصْمَتِهِمْ عَنْهُ مِنَ الْمَعَاصِي وَمَا فِيهِ الِاخْتِلَافُ . أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَدْ ذَهَبَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِنَا وَكَثِيرٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِمُ الْمَعْصِيَةُ كَبِيرَةً كَانَتْ أَوْ صَغِيرَةً ، بَلْ وَلَا يَمْتَنِعُ عَقْلًا إِرْسَالُ مَنْ أَسْلَمَ وَآمَنَ بَعْدَ كُفْرِهِ . وَذَهَبَتِ الرَّوَافِضُ إِلَى امْتِنَاعِ ذَلِكَ كُلِّهِ مِنْهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ ; لِأَنَّ ذَلِكَ مِمَّا يُوجِبُ هَضْمَهُمْ فِي النُّفُوسِ وَاحْتِقَارَهُمْ وَالنُّفْرَةَ عَنِ اتِّبَاعِهِمْ ، وَهُوَ خِلَافُ مُقْتَضَى الْحِكْمَةِ مِنْ بَعْثَةِ الرُّسُلِ ، وَوَافَقَهُمْ عَلَى ذَلِكَ أَكْثَرُ الْمُعْتَزِلَةِ إِلَّا فِي الصَّغَائِرِ .


"Mukadimah Pertama, Tentang Kemaksuman Para Nabi ‘Alayhimus Salam, dan penjelasan adanya ikhtilaf dalam hal tersebut, serta apa saja di antara kemaksiatan yang disepakati oleh ulama ushul akan kemaksuman mereka di dalamnya dan apa saja yang di dalamnya terdapat ikhtilaf. Adapun sebelum kenabian, maka al-Qadhi Abu Bakar[ix], mayoritas sahabat kami (ulama Syafi’iyyah), dan banyak dari kalangan muktazilah berpendapat bahwasannya tidak tertutup kemungkinan bagi mereka melakukan kemaksiatan, baik dosa besar maupun kecil. Bahkan secara logika tidak tertutup kemungkinan akan diutusnya orang yang berislam dan beriman sebelum tadinya kafir. Sedangkan kalangan Rafidhah berpendapat bahwa tertutup kemungkinan bagi mereka akan hal itu semua sebelum kenabian. Karena itu diantara apa yang meniscayakan kehancuran diri, kehinaan, dan memicu kebencian orang untuk mengikuti mereka. Hal itu bertentangan dengan tujuan diutusnya para rasul. Mayoritas muktazilah sejalan dengan mereka dalam hal ini kecuali terkait dosa-dosa kecil."[x] 


Dan al-Imam al-Amidi sendiri termasuk mereka yang berpendapat akan ketidak maksuman para nabi sebelum masa kenabian. Beliau mengatakan:


وَالْحَقُّ مَا ذَكَرَهُ الْقَاضِي ; لِأَنَّهُ لَا سَمْعَ قَبْلَ الْبَعْثَةِ يَدُلُّ عَلَى عِصْمَتِهِمْ عَنْ ذَلِكَ، وَالْعَقْلُ دَلَالَتُهُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى التَّحْسِينِ وَالتَّقْبِيحِ الْعَقْلِيِّ، وَوُجُوبِ رِعَايَةِ الْحِكْمَةِ فِي أَفْعَالِ اللَّهِ تَعَالَى، وَذَلِكَ كُلُّهُ مِمَّا أَبْطَلْنَاهُ فِي كُتُبِنَا الْكَلَامِيَّةِ .


"Dan yang benar adalah apa yang dinyatakan oleh al-Qadhi (Abu Bakar al-Baqillani); dikarenakan tidak ada dalil sam’i sebelum masa kenabian yang menunjukkan akan kemaksuman mereka dari hal tersebut. Sementara akal, penunjukannya sebatas berdasarkan penilaian baik dan buruk menurut akal semata, dan keharusan memelihara hikmah yang terkandung dalam perbuatan-perbuatan Allah ta’ala. Dan itu semua di antara yang telah kami bantah di dalam kitab-kitab kami tentang ilmu kalam."[xi] 


Bahkan, berdasarkan keterangan yang dikutip oleh al-Imam Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H) dalam kitab ushul-nya al-Bahr al-Muhîth, pendapat Hizbut Tahrir ini tergolong sejalan dengan pendapat mayoritas ulama, di mana beliau juga termasuk mereka yang menganggapnya sebagai pendapat terkuat. Beliau mengatakan: 


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَالَ الْمَازِرِيُّ : لَا تُشْتَرَطُ الْعِصْمَةُ ، وَلَكِنْ لَمْ يَرِدْ فِي السَّمْعِ وُقُوعُهَا . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ : الصَّوَابُ عِصْمَتُهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ مِنْ الْجَهْلِ بِاَللَّهِ وَصِفَاتِهِ ، وَالتَّشْكِيكِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ ، وَقَدْ تَعَاضَدَتْ الْأَخْبَارُ عَنْ الْأَنْبِيَاءِ بِتَبْرِئَتِهِمْ عَنْ هَذِهِ النَّقِيصَةِ مُنْذُ وُلِدُوا ، وَنَشْأَتِهِمْ عَلَى التَّوْحِيدِ وَالْإِيمَانِ . وَنَقَلَ ابْنُ الْحَاجِبِ عَنْ الْأَكْثَرِينَ عَدَمَ امْتِنَاعِهَا عَقْلًا ، وَأَنَّ الرَّوَافِضَ ذَهَبُوا إلَى امْتِنَاعِهَا ، وَنَقَلَهُ غَيْرُهُ عَنْ الْمُعْتَزِلَةِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُوجِبُ هَضْمَهُ وَاحْتِقَارَهُ ، وَهُوَ خِلَافُ الْحِكْمَةِ ، وَالْأَصَحُّ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ، وَمِنْهُمْ الْقَاضِي .


"Adapun sebelum kenabian, al-Imam al-Maziri berkata: tidak disyaratkan adanya kemaksuman, akan tetapi tidak ada dalam dalil sam’i informasi akan terjadinya hal tersebut. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: yang benar adalah adanya kemaksuman mereka sebelum masa kenabian dari hal ketidak-tahuan akan Allah beserta sifat-sifat-Nya, dan keragu-raguan terkait hal itu. Banyak hadits yang saling menguatkan tentang bahwa mereka terbebas dari sifat kurang ini sejak dilahirkan, dan mereka tumbuh dalam ketauhidan dan keimanan. Sementara Ibnu Hajib meriwayatkan pendapat dari mayoritas ulama bahwa menurut akal kemungkinan tersebut tidak tertutup. Dan bahwasannya kalangan Rafidhah berpendapat akan tertutupnya kemungkinan tersebut, dan yang lain meriwayatkan pendapat ini dari Muktazilah; karena hal itu akan menghancurkan dan menghinakan dirinya. Dan itu bertentangan dengan tujuan diutusnya mereka. Dan yang paling benar adalah pendapat mayoritas ulama, yang di antaranya adalah al-Qadhi (Abu Bakar al-Baqillani)."[xii] 


Tidak jauh dari keterangan di atas, al-‘Arif Billah al-Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (w. 1350 H), yang tidak lain adalah kakek dari pendiri Hizbut Tahrir sendiri, menerangkan dalam kitab beliau berjudul al-Asâlîb al-Badî’ah fî Fadhl al-Shahâbah wa Iqnâ’ al-Syî’ah. 


وَلَا يَخْفَى أَنَّ عِصْمَةَ النَّبِيِّيْنَ غَيْرُ مُتَّفَقٍ عَلَيْهَا عِنْدَ جَمِيْعِ الْفِرَقِ الْإِسْلَامِيَّةِ . بَلْ قَالَ بَعْضُ الْخَوَارِجِ وَالْمُعْتَزِلَةِ بِعَدَمِ عِصْمَتِهِمْ فِي سِوَى التَّحْرِيْفِ وَالْخِيَانَةِ بِالتَّبْلِيْغِ ، فَهُمْ مَعْصُوْمُوْنَ مِنْهُمَا بِالْإِجْمَاعِ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ لِظَوَاهِرِ الْآيَاتِ وَالْأَحَادِيْثِ الْوَارِدَةِ بِارْتِكَابِهِمْ بَعْضَ الذُّنُوْبِ ، وَإِنْ كَانَ الْمُحَقِّقُوْنَ مِنْ أَئِمَّةِ الْعُلَمَاءِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالشِّيْعَةِ أَيْضًا مُتَّفِقِيْنَ عَلَى عِصْمَتِهِمْ مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوْبِ الْكَبَائِرِ وَالصَّغَائِرِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَبَعْدَهَا ، وَأَوَّلُوْا جَمِيْعَ مَا وَرَدَ فِي حَقِّهِمْ مِنْ ذَلِكَ . نَعَمْ مَذْهَبُ جُمْهُوْرِ أَهْلِ السُّنَّةِ عَدَمُ عِصْمَتِهِمْ مِنَ الذُّنُوْبِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، وَيَحْمِلُوْنَ مُعْظَمَ مَا وَرَدَ مِنْ ذَلِكَ فِي حَقِّهِمْ عَلَى وُقُوْعِهِ مِنْهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ .


"Bukan hal yang rahasia bahwa perihal kemaksuman para nabi tidak disepakati oleh seluruh kelompok-kelompok Islam. Melainkan sebagian Khawarij dan Muktazilah berpendapat bahwa mereka tidak maksum selain dalam hal pendistorsian dan pengkhianatan dalam penyampaian risalah. Para nabi –shalawâtullâhi ‘alayhim– maksum dalam dua hal tersebut secara ijmak, oleh karena adanya ayat dan hadits yang secara zhahir menunjukkan mereka melakukan sejumlah dosa. Meski para muhaqqiq dari para imam ulama Ahlussunnah dan juga Syi’ah bersepakat akan kemaksuman mereka dari segala dosa, besar maupun kecil, sebelum dan sesudah kenabian. Dan mereka menakwil semua dalil yang berkenaan dengan mereka dalam hal tersebut. Ya, mayoritas Ahlussunnah berpendapat mereka tidak maksum dari dosa sebelum kenabian, dan mereka memahami kebanyakan dalil yang berkenaan dengan hal tersebut bahwa itu mereka lakukan sebelum kenabian."[xiii]


Berdasarkan penjelasan demi penjelasan di atas, maka tidak benar dan berlebihan kiranya menyebut pendapat Hizbut Tahrir di sini adalah pendapat yang mengandung ajaran Liberalisme, apalagi dianggap sebagai pendapat yang berbahaya. Karena pendapat yang diikuti Hizbut Tahrir di sini merupakan pendapat para Imam di atas (al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, al-Maziri, al-Amidi, al-Zarkasyi), Jumhur Syafi’iyyah menurut keterangan al-Amidi, Mayoritas Ulama pada umumnya menurut keterangan Ibnu Hajib, dan Jumhur Ahlussunnah menurut keterangan al-Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani. Apakah berani kita menganggap beliau-beliau bukan Ahlussunnah, berpaham Liberal dan berbahaya? Tentu tidak, dan kita berlindung kepada Allah menyebut mereka dengan sebutan yang sedemikian ini. 


Semoga tulisan ini sekaligus menjadi pelajaran agar kita sangat amat berhati-hati saat melemparkan tuduhan. Yang sedianya boleh jadi dengan niat baik dan demi kebaikan bersama, namun karena kurang hati-hati atau terlanjur diliputi rasa tidak suka terhadap suatu kelompok tertentu yang kemudian berpengaruh pada kurangnya sikap adil, yang terjadi justru sang penulis jatuh kepada fitnah atau tuduhan keji terhadap saudaranya sendiri. Na'udzubillâhi min dzâlik.


Ghafarallâhu lî wa lahu wa li-sâ`iril muslimîn.. âmîn


_________


[i] H. Muhammad Najih Maimoen. 2013. Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII, dan Ma’had Zaitun. (Rembang: Perc. Al-Anwar Sarang Rembang). Hlm 17


[ii] Abu al-Hasan al-Amidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. (Beirut: al-Maktab al-Islami). vol 1 hlm 170


[iii] Taqiyuddin al-Nabhani. 2003. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. (Beirut: Dar al-Ummah). vol 1 hlm 134


[iv] Ibid. vol 1 hal 135


[v] Ibid.


[vi] H. Muhammad Najih Maimoen. Opcit. hlm 18


[vii] Muhammad bin Ahmad al-Dasuki. Hâsyiah Ummil Barâhin. hal 173


[viii] H. Muhammad Najih Maimoen. Opcit. hlm 21 


[ix] Beliau adalah al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin al-Thayyib al-Baqillani al-‘Asy’ari al-Maliki (w. 403 H)


[x] Abu al-Hasan al-Amidi, Opcit. vol 1 hlm 169


[xi] Ibid. hlm 170


[xii] Badruddin al-Zarkasyi. 1994. al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh. (Kairo: Dar al-Kutubi) vol 6 hlm 13 


[xiii] Yusuf bin Isma’il al-Nabhani. al-Asâlîb al-Badî’ah fî Fadhl al-Shahâbah wa Iqnâ’ al-Syî’ah. (Mesir: al-Maktabah al-Maimaniyyah). hlm 177.


BENARKAH HIZBUT TAHRIR MENGINGKARI QADLO’-QODAR?

 BENARKAH HIZBUT TAHRIR MENGINGKARI QADLO’-QODAR?

.

Azizi Fathoni K.


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ


الْحَمْدُ لله وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ الله وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاه . وَبَعْد


Sambil memohon ma’ûnah Allah 'azza wa jalla, al-faqir katakan:


Terkait Hizbut Tahrir, Kyai Muhammad Najih Maimoen di antaranya menuliskan pembahasan yang berjudul: Konsep Mengingkari Qodlo’-Qodar (Taqdir Allah pada Perbuatan Ikhtiyari Manusia)[i]


Sebagai “bukti” atas tuduhan tersebut beliau mengutip dua ‘ibarat yang terdapat dalam kitab yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir, yaitu; Pertama:


وَهذِهِ الْأَفْعَالُ لَا دَخْلَ لَهَا بِالْقَضَاءِ وَلَا دَخْلَ لِلْقَضَاءِ بِهَا ، لِأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِيْ قَامَ بِهَا بِإِرَادَتِهِ وَاخْتِيَارِهِ ، وَعَلَى ذلِكَ فَإِنَّ الْأَفْعَالَ الْاِخْتِيَارِيَّةَ لَا تَدْخُلُ تَحْتَ الْقَضَاءِ


"Segala perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla Allah SWT, karena perbuatan tersebut ia lakukan atas inisiatif manusia itu sendiri dan dari ikhtiarnya. Maka semua perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan kehendak manusia tidak masuk dalam ruang lingkup qadla’." (asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol I hal 94-95)


dan ke-Dua:


فَتَعْلِيْقُ الْمَثُوْبَةِ أَوِ الْعُقُوْبَةِ بِالْهُدَى وَالضَّلَالِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْهِدَايَةَ وَالضَّلَالَ هُمَا مِنْ فِعْلِ الْإِنْسَانِ وَلَيْسَا مِنَ اللهِ


"Jadi menggantungkan adanya pahala sebagai balasan terhadap kebaikan dan siksaan sebagai balasan dari kesesatan, menunjukkan bahwa kebenaran dan kesesatan adalah perbuatan murni manusia itu sendiri, bukan berasal dari Allah." (Nidhâm al-Islâm, hal 22)


Dua ‘ibarat tersebut beliau pahami telah bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur`an, hadits Nabi SAW, ketetapan ulama, dan logika normal. Seraya berkesimpulan bahwa Hizbut Tahrir berpaham Muktazilah. Mengingkari Qadha’-Qadar, menganggap perbuatan ikhtiyari manusia sebagai hasil ciptaan manusia sendiri di luar kuasa dan kehendak Allah SWT, yang itu artinya –masih menurut beliau– Hizbut Tahrir menganggap Allah tunduk, lemah dan terkalahkan dengan terjadinya sesuatu di luar kehendak-Nya[ii].


Selain itu, Kyai Najih juga menuduh Hizbut Tahrir menganggap ilmu Allah SWT ada yang baik dan ada yang buruk (menyematkan sifat buruk kepada Allah SWT), lantaran Hizbut Tahrir telah mengartikan Qadar Allah SWT dengan ilmu Allah SWT.[iii]


Al-faqir katakan: Tuduhan Kyai M. Najih Maimoen bahwa Hizbut Tahrir berpaham Muktazilah dalam masalah Qadha’-Qadar, adalah tidak benar. Terlebih menganggap Allah SWT tunduk, lemah, dan terkalahkan, dengan terjadinya sesuatu (dalam hal ini perbuatan ikhtiyari manusia) di luar kehendak-Nya, ta’âla-Llâhu ‘uluwwan kabîran. Tidak benar sama sekali. Yang ada justru Hizbut Tahrir –menurut penilaian al-faqir– telah berhasil membahas permasalahan Qadha`-Qadar secara proporsional. Tanpa terjebak pada paham Qadariyah dan Jabariyyah (baik yang ekstrim maupun yang moderat), dengan tidak sedikitpun mengingkari bahwa manusia beserta perbuatannya berada dalam kuasa dan ciptaan Allah SWT. Sebagaimana yang akan al-faqir kemukakan setelah ini menurut apa yang dikatakan oleh Hizbut Tahrir sendiri di dalam kitab yang diadopsinya.


Karena ini bukan topik pembahasan yang sederhana, maka supaya jelas berikut al-faqir tunjukkan bagaimana konsep Hizbut Tahrir mengenai perbuatan manusia dalam kaitannya dengan al-Qadha` dan al-Qadar. Namun sebelum itu, sebaiknya memahami terlebih dahulu bagaimana pandangan Hizbut Tahrir mengenai pengertian Qadha`-Qadar dan apa yang menjadi dasar pembahasannya.


Pengertian Qadhâ`-Qadar dan Dasar Pembahasannya


Dalam pandangan Hizbut Tahrir, lafazh al-Qadha` dan al-Qadar masing-masing digunakan oleh syara’ dalam banyak arti[iv]. Namun, khusus terkait pengertian Qadha`-Qadar sebagai dua kata yang selalu bersandingan dengan pengertian yang saling terkait satu sama lain dengan objek pembahasan perbuatan manusia dan khâshiyyât (karakter khusus) benda dari tinjauan apakah ciptaan Allah SWT ataukah ciptaan manusia, menurut Hizbut Tahrir terdapat sejumlah pengertian oleh Ahli Kalam yang berbeda-beda. Di mana pengertian-pengertian tersebut tidak ada yang sesuai dengan makna bahasa dan tidak pula makna syar’i yang dijumpai dalam nash[v]. Sejauh ini –masih menurut Hizbut Tahrir– pengertian-pengertian itu muncul akibat adanya persinggungan pemikiran antara kaum muslim dengan kaum kafir yang bersenjatakan Filsafat Yunani, sehingga masing-masing kelompok berusaha memberikan pendapatnya menurut sudut pandang Islam. Nah, khusus dalam masalah Qadha`-Qadar ini Hizbut Tahrir menetapkan makna masing-masing dari al-Qadha` dan al-Qadar secara khusus berkaitan dengan objek pembahasan perbuatan manusia dan khâshiyyât benda. Terlepas bahwa di luar konteks ini, masing-masing dari keduanya memiliki banyak arti sebagaimana telah disinggung tadi.


Khusus dalam konteks pembahasan Qadha`-Qadar ini, Hizbut Tahrir mengartikan al-Qadha` sebagai: segala perbuatan manusia yang terjadi di luar kehendak manusia. Bahwa itu adalah Qadha` dari Allah SWT.


فَهذِهِ الْأَفْعَالُ كُلُّهَا الَّتِي حَصَلَتْ فِي الدَّائِرَةِ الَّتِي تُسَيْطِرُ عَلَى الْإِنْسَانِ هِيَ الَّتِي تُسَمَّى قَضَاءً ، لِأَنَّ اللهَ هُوَ الَّذِي قَضَى الْفِعْلَ ، وَلِأَنَّهُ لَا تُوْجَدُ حُرِّيَّةُ إِرَادَةٍ لِلْعَبْدِ فِي الْفِعْلِ ، وَلَيْسَ لَهُ أَيُّ اخْتِيَارٍ


"Segala perbuatan yang terjadi di wilayah yang menguasai manusia inilah yang dinamankan dengan Qadha`. Sebab Allah lah yang telah menetapkan perbuatan. Karena tidak adanya kebebasan berkehendak bagi seorang hamba dalam berbuat, dan ia tidak punya kuasa untuk memilih."[vi]


dan mengartikan kata al-Qadar sebagai: khâshiyyât (karakter khusus) yang ada pada setiap benda. Bahwa semua itu adalah Qadar dari Allah SWT.


الْقَدَر فِي بَحْثِ (الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ) هُوَ خَوَاصُّ الْأَشْيَاءِ الَّتِي يُحْدِثُهَا الْإِنْسَانُ فِيْهَا


"Kata al-Qadar dalam konteks pembahasan "Qadha`-Qadar" adalah karakter-karakter khusus setiap benda yang manusia munculkan padanya (saat melakukan perbuatan –penj.)."[vii]


Dua pengertian inilah yang selalu dijadikan acuan oleh Hizbut Tahrir dalam membahas permasalahan Qadha`-Qadar.


Adapun hal yang menjadi dasar pembahasan Qadha`-Qadar, menurut Hizbut Tahrir adalah tinjauan terhadap perbuatan manusia dari aspek pahala dan dosa. Bukan dari segi siapa yang menciptakan perbuatan, kehendak Allah atau manusia, ilmu Allah memaksa atau tidak, atau apa yang tertulis di Lauhulmahfûzh[viii]. Semua itu terkait sifat Allah dan –in syâ`Allâh– akan terjawab setelah tahu bagaimana hakikat perbuatan manusia sebenarnya.


Fakta Perbuatan Manusia


Hizbut Tahrir memandang bahwa secara faktual manusia itu terkait perbuatannya berada di antara dua wilayah: wilayah yang dikuasai manusia, dan wilayah yang menguasai manusia.


وَالْمُدَقِّقْ فِي أَفْعَالِ الْعِبَادِ يَرَى أَنَّ الْإِنْسَانَ يَعِيْشُ فِي دَائِرَتَيْنِ : إِحْدَاهُمَا يُسَيْطِرُ عَلَيْهَا ، وَهِيَ الدَّائِرَةُ الَّتِي تَقَعُ فِي نِطَاقِ تَصَرُّفَاتِهِ ، وَضِمْنَ نِطَاقِهَا تَحْصُلُ أَفْعَالُهُ الَّتِي يَقُوْمُ بِهَا بِمَحْضِ اخْتِيَارِهِ . وَالْأُخْرَى تُسَيْطِرُ عَلَيْهِ وَهِيَ الدَّائِرَةُ الَّتِي يَقَعُ هَوُ فِي نِطَاقِهَا ، وَتَقَعُ ضِمْنَ هَذِهِ الدَّائِرَةِ الْأَفْعَالُ الَّتِي لَا دَخْلَ لَهُ بِهَا ، سَوَاءٌ أَوَقَعَتْ مِنْهُ أَوْ عَلَيْهِ


"Siapa yang mencermati perbuatan manusia akan menjumpai bahwa manusia itu hidup dalam dua wilayah: pertama, wilayah yang dikuasainya. Yaitu wilayah yang meliputi tindakan-tindakan yang diperbuat manusia. Pada ranah tersebut segala perbuatan yang dilakukan manusia terjadi semata-mata berdasarkan pilihannya; dan ke-Dua, wilayah yang menguasai dirinya. Yaitu wilayah yang meliputi diri manusia. Pada ranah ini segala perbuatan yang manusia tidak turut campur di dalamnya itu terjadi. Baik terjadi melalui dirinya, maupun terjadi atas dirinya."[ix]


Kemudian dua wilayah tersebut diperrinci satu-persatu dalam paragraf-paragraf berikutnya. Terkait wilayah yang pertama dijelaskan:


فَالْأَفْعَالُ الَّتِي تَقَعُ فِي الدَّائِرَةِ الَّتِي تُسَيْطِرُ عَلَيْهِ لَا دَخْلَ لَهُ بِهَا وَلَا شَأْنَ لَهُ بِوُجُوْدِهَا ، وَهِيَ قِسْمَانِ : قِسْمٌ يَقْتَضِيْهِ نِظَامُ الْوُجُوْدِ مُبَاشَرَةً ، وَقِسْمٌ لَا يَقْتَضِيْهِ نِظَامُ الْوُجُوْدِ مُبَاشَرَةً ، وَإِنْ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ لَا يَخْرُجُ عَنْ نِظَامِ الْوُجُوْدِ


"Perbuatan-perbuatan yang terjadi pada wilayah yang menguasai manusia tersebut tidak ada kaitannya dengan manusia, dan tidak pula ada peran manusia dalam mewujudkannya. Perbuatan yang demikian ini ada dua macam: pertama yang dipengaruhi secara langsung oleh hukum alam (nizhâm al-wujûd); dan ke-dua yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh hukum alam. Meskipun sebenarnya segala sesuatu itu tidak ada yang lepas dari hukum alam."[x]


Lalu disebutkan sejumlah contoh, di antaranya: manusia tidak mampu menentukan warna mata dan bentuk kepalanya sendiri (untuk yang dipengaruhi hukum alam langsung); dan seseorang yang menembak burung tapi mengenai manusia lalu mati (untuk yang tidak dipengaruhi hukum alam langsung). Perbuatan manusia di wilayah ini tidak berpengaruh terhadap pahala dan dosa atau tidak akan dihisab, karena terjadi bukan atas inisiatif manusia sendiri. Kewajiban manusia adalah mengimani bahwa segala apa yang terjadi dalam wilayah ini adalah Qadha` dari Allah SWT[xi]. Inilah yang disebut sebagai Qadha` oleh Hizbut Tahrir dalam pembahasan Qadha`-Qadar seperti yang disebutkan di atas.


Dan terkait wilayah yang kedua, dijelaskan:


أَمَّا الْأَفْعَالُ الَّتِي تَقَعُ فِي الدَّائِرَةِ الَّتِي يُسَيْطِرُ عَلَيْهَا الْإِنْسَانُ فَهِيَ الدَّائِرَةُ الَّتِي يَسِيْرُ فِيْهَا مُخْتَاراً ضِمْنَ النِّظَامِ الَّذِي يَخْتَارُهُ ، سَوَاءٌ شَرِيْعَةُ اللهِ أَوْ غَيْرُهَا


"Adapun perbuatan yang terjadi di wilayah yang dikuasai oleh manusia, maka itulah wilayah di mana manusia berbuat berdasarkan pilihannya menurut aturan yang ia pilih, baik itu syari’at Allah atau bukan."[xii]


Lalu –masih di paragraf yang sama– disebutkan sejumlah contoh perbuatan di wilayah ini, di antaranya: manusia membakar dengan api dan memotong dengan pisau menurut kehendaknya. Perbuatan manusia di wilayah ini berpengaruh terhadap pahala dan dosa atau akan dihisab, karena terjadi atas inisiatif manusia sendiri. Sampai kemudian di akhir paragraf disebutkan bagian yang dikutip oleh Kyai Najih di atas. Yaitu yang berbunyi:


... وَهذِهِ الْأَفْعَالُ لَا دَخْلَ لَهَا بِالْقَضَاءِ وَلَا دَخْلَ لِلْقَضَاءِ بِهَا ، لِأَنَّ الْإِنْسَانَ هُوَ الَّذِيْ قَامَ بِهَا بِإِرَادَتِهِ وَاخْتِيَارِهِ ، وَعَلَى ذلِكَ فَإِنَّ الْأَفْعَالَ الْاِخْتِيَارِيَّةَ لَا تَدْخُلُ تَحْتَ الْقَضَاءِ


"... Perbuatan-perbuatan (yang bersifat pilihan –penj.) ini tidak terkait dengan Qadha`, tidak pula Qadha` terkait dengannya. Karena manusialah yang melakukan itu semua atas inisiatif dan ikhtiyarnya sendiri. Maka dari itu, segala perbuatan yang bersifat pilihan (af’al ikhtiyariyyah) tidak termasuk dalam ruang lingkup Qadha`."


Nah, Qadha` yang dimaksud di sini tentu adalah Qadha` dalam pengertian khususnya yang telah disebutkan di atas. Bukan Qadha` dalam arti ketentuan Allah SWT secara mutlak sebagaimana yang diasumsikan oleh Kyai Najih. Sehingga ungkapan Hizbut Tahrir tersebut tidak salah. Bahwa perbuatan ikhtiyariyyah tidak termasuk Qadha`, itu artinya perbuatan ikhtiyariyyah tidak termasuk perbuatan yang terjadi di luar kehendak manusia.


Sampai sini jelas, bahwa tuduhan Kyai Najih Maimoen dalam bukunya tersebut meleset. Dan disayangkan juga bahwa kalimat pertama pada bagian yang beliau kutip tersebut beliau terjemahkan dengan:


"Segala perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla Allah SWT."


Ini jelas tidak benar, sebab konteks yang sedang dibahas di situ adalah “perbuatan ikhtiyariyyah”, bukan “segala perbuatan”. Tentu terjemahan tersebut berpotensi menimbulkan kesalahan persepsi bagi para pembaca. Khusunya yang tidak mengerti bahasa Arab atau tidak mengerti konteksnya.


Pendapat Hizbut Tahrir Sejalan dengan Paham Muktazilah?


Dengan berpendapat bahwa perbuatan ikhtiyariyyah manusia tidak termasuk Qadha` dalam arti khususnya, dan juga bukan Qadar dalam arti khususnya, apakah berarti Hizbut Tahrir berpaham Muktazilah. Yaitu menganggap perbuatan ikhtiyariyyah sebagai ciptaan manusia sendiri (?). Jawabannya adalah: Tidak. Hizbut Tahrir meyakini bahwa segala benda yang ada beserta khashiyyatnya masing-masing, termasuk diri manusia sendiri beserta berbagai kebutuhan jasmani dan naluriah nya, juga hukum alam yang meliputi semuanya, seluruhnya adalah ciptaan Allah SWT. Itu artinya, menurut Hizbut Tahrir perbuatan manusia itu pada hakikatnya ialah ciptaan Allah SWT.


فَهذِهِ الْخَاصِّيَّاتُ الْمُعَيَّنَةُ الَّتِي أَوْجَدَهَا اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي الْأَشْيَاءِ وَفِي الْغَرَائِزِ وَفِي الْحَاجَاتِ الْعُضْوِيَّةِ الَّتِي فِي الْإِنْسَانِ هِيَ الَّتِي تُسَمَّى الْقَدَرَ ، لِأَنَّ اللهَ وَحْدَهُ هُوَ الَّذِي خَلَقَ الْأَشْيَاءَ وَالْغَرَائِزَ وَالْحَاجَاتِ الْعُضْوِيَّةَ وَقَدَّرَ فِيْهَا خَوَاصَّهَا ، فَحِيْنَ تَحْدُثُ الشَّهْوَةُ عِنْدَ الْإِنْسَانِ ، وَحِيْنَ يُبْصِرُ عِنْدَ فَتْحِ عَيْنَيْهِ ، وَحِيْنَ يَذْهَبُ الْحَجَرُ إِلَى أَعْلَى عِنْدَ دَفْعِهِ لِفَوْقٍ ، وَإِلَى أَسْفَلَ عِنْدَ دَفْعِهِ لِتَحْتٍ ، فَإِنَّ ذلِكَ كُلَّهُ لَيْسَ مِنْ فِعْلِ الْإِنْسَانِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ فِعْلِ اللهِ بِمَعْنَى أَنَّهُ طَبْعُ الْأَشْيَاءِ أَنْ تَكُوْنَ هكَذَا ، أَيْ خَلَقَهَا وَخَلَقَ فِيْهَا خَوَاصّ مُعَيَّنَةً . فَهِيَ مِنَ اللهِ تَعَالَى ، وَهِيَ لَيْسَتْ مِنَ الْعَبْدِ وَلَا شَأْنَ لَهُ فِيْهَا وَلَا أَثَرَ لَهُ مُطْلَقاً


"Berbagai khashiyyat tertentu yang telah Allah ciptakan pada benda-benda, bermacam naluri dan kebutuhan jasmani pada diri manusia, inilah yang disebut dengan al-Qadar. Karena Allah satu-satunya yang telah menciptkan benda, naluri, dan kebutuhan jasmani tersebut, serta menetapkan berbagai khashiyyat padanya. Ketika timbul syahwat pada diri manusia, ketika ia dapat melihat saat membuka matanya, ketika lemparan batu ke arah atas saat dilemparkan ke atas dan ke bawah saat dilemparkan ke bawah, sesungguhnya itu semua bukan perbuatan manusia. Melainkan adalah perbuatan Allah dalam arti: bahwasannya sudah menjadi karakter benda berlaku demikian. Artinya, Dia yang telah menciptakannya, menciptakan padanya khashiyyat-khashiyyat tertentu. Maka itu semua adalah dari Allah SWT, dan bukan dari diri hamba. Tidak ada peran serta dia di dalamnya, dan tidak pula ada pengaruhnya sama sekali."[xiii]


Contoh lain, tidaklah manusia itu memegang suatu benda kecuali karena Allah SWT menciptakan dorongan dalam dirinya untuk memegang benda tersebut (baik dorongan naluriah maupun kebutuhan jasmani); menciptakan dalam dirinya kuasa untuk memilih antara merealisasikannya atau tidak; menciptakan tangannya beserta berbagai khashiyyat padanya hingga benar-benar mampu memegang. Dan tidaklah air dapat tetap berada di dalam cangkir yang dipegangnya kecuali Allah yang menciptakan khashiyyat air memiliki masa dan bentuk sesuai wadahnya; menciptkan khashiyat bumi memiliki gaya gravitasi serta khashiyat cangkir yang menahannya tidak berhamburan, begitu seterusnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa perbuatan manusia itu hakikatnya adalah ciptaan Allah SWT, bukan ciptaan manusia. Manusia sebatas berkehendak dan memanfaatkan benda berdasarkan khashiyyat yang dibutuhkannya dalam merealisasikan kehendaknya itu.


Sampai di sini jelas bahwa tuduhan Hizbut Tahrir berpaham Muktazilah adalah tidak benar. Sebab kelompok Muktazilah menyakini bahwa perbuatan manusia itu ciptaan manusia sendiri, dan di kalangan mereka sendiri berbeda pendapat terkait khashiyyat benda, apakah ciptaan Allah atau manusia[xiv]. Terlebih lagi Hizbut Tahrir dengan jelas mengkritik paham Qadariyah sebagai paham yang menyelisihi nash al-Qur`an yang sharih:


وَهُمُ الَّذِيْنَ يُنْكِرُوْنَ الْقَدَرَ وَيَقُوْلُوْنَ بِأَنَّ اللهَ خَلَقَ أُصُوْلَ الْأَشْيَاءِ ثُمَّ تَرَكَهَا فَلَا يَعْلَمُ جُزْئِيَّاتِهَا ، وَهذَا خِلَافاً لِمَا وَرَدَ بِنَصِّ الْقُرْآنِ الصَّرِيْحِ مِنْ أَنَّ اللهَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ صَغِيْراً كَانَ أَوْ كَبِيْراً أَصْلاً كَانَ أَوْ فَرْعاً ، وَأَنَّهُ تَعَالَى قَدَّرَ كُلَّ شَيْءٍ قَبْلَ وُجُوْدِهِ أَيْ كَتَبَهُ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوْظِ أَيْ عَلِمَهُ قَبْلَ أَنْ يُوْجَدَ


"Merekalah (kelompok Qadariyah) orang-orang yang mengingkari al-Qadar dan berpendapat bahwa sesungguhnya Allah menciptakan pokok segala sesuatu lalu membiarkannya, tanpa mengetahui apa yang menjadi bagian-bagian nya. Ini menyelisihi ayat al-Qur`an yang jelas (sharîh) bahwasannya Allah adalah pencipta segala sesuatu, baik kecil maupun besar, baik pokok maupun cabang. Dan bahwasannya Dia telah menetapkan ketentuan setiap sesuatu sebelum keberadaannya, artinya Dia telah menuliskannya dalam al-Lauh al-Mahfuzh atau mengetahuinya sebelum kemudian menjadi ada."[xv]


Titik Temu dan Titik Beda


Jika tidak sepaham dengan Muktazilah, lantas bagaimana kedudukan pendapat Hizbut Tahrir ini di hadapan kelompok Jahmiyyah dan Ahlussunnah (Asy’ariyyah)? Maka al-faqir katakan: Hizbut Tahrir memiliki kesamaan dengan Jahmiyyah dan Asy’ariyyah dari segi bahwasannya perbuatan manusia dan khashiyat benda adalah ciptaan Allah SWT. Perbedaan baru tampak saat membahas ada-tidaknya kuasa dan kehendak manusia dalam berbuat.


Terkait ada-tidaknya kuasa dan kehendak manusia dalam melakukan perbuatan, Hizbut Tahrir dan Asy’ariyyah satu suara mengatakan ada. Sedangkan menurut Jahmiyyah, manusia itu dipaksa secara mutlak (musayyar mutlaqan), tanpa memiliki kuasa dan kehendak sama sekali. 


Sampai sini terlihat jelas bahwa Hizbut Tahrir sejalan dengan Asy’ariyyah, yaitu:


1. Menganggap perbuatan manusia dan khashiyyat benda sebagai ciptaan Allah, sehingga dengan begitu berbeda dengan Muktazilah; dan 


2. Menganggap manusia memiliki kuasa serta kehendak dalam berbuat di wilayah yang dikuasainya, sehingga dengan begitu berbeda dengan Jahmiyyah.


Perbedaan antara Hizbut Tahrir dan Asy’ariyyah baru muncul dalam perkara yang lebih cabang lagi, yaitu mengenai bagaimana mekanisme penciptaan Allah SWT atas perbuatan ikhtiyariyyah manusia.   


Menurut Asy’ariyyah, perbuatan manusia hanya terjadi oleh kuasa dan kehendak Allah SWT saja. Meskipun di waktu yang sama manusia juga memiliki kuasa dan kehendak sendiri. Di mana kemudian perbuatan ikhtiyariyyah itu dipahami terjadi saat kuasa dan kehendak manusia (kasb-ikhtiyar) "kebetulan" sejalan dengan kuasa dan kehendak Allah SWT. Di sini manusia seolah-olah memiliki kuasa dan kehendak yang mempengaruhi perbuatan sadarnya. Namun pada hakikatnya --masih menurut mereka-- perbuatan yang terjadi itu hanya dipengaruhi oleh kuasa dan kehendak Allah SWT saja (mukhayyar zhâhiran musayyar bâthinan). Hal ini karena dalam pandangan mereka, al-mu`atstsir (yang memberi pengaruh) atas terealisasinya perbuatan manusia itu adalah kuasa dan kehendak Allah SWT saja. Bukan kuasa dan kehendak manusia; dan bukan pula kuasa dan kehendak keduanya (Allah SWT dan manusia) sekaligus, di mana masing-masing saling tergantung satu sama lain. Karena mustahil bagi Allah SWT bergantung kepada makhluk dalam berkuasa dan berkehendak. Berdasarkan inilah al-Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menganggap Asy’ariyyah memiliki kemiripan dengan Jabariyyah[xvi]. Karena seperti apapun kuasa dan kehendak manusia –sekalipun diakui keberadaannya–, yang terjadi tetaplah murni menurut kuasa dan kehendak Allah SWT saja, tanpa dipengaruhi oleh kuasa dan kehendak manusia sama sekali.


Sedangkan menurut Hizbut Tahrir, perbuatan ikhtiyariyyah manusia itu melibatkan: manusia sendiri dengan segenap potensinya (akal, kebutuhan jasmani, dan naluri-naluri), benda-benda beserta khashiyyat-nya, dan hukum alam (nizhâm al-wujûd), yang kesemuanya merupakan ciptaan dan ketentuan dari Allah SWT. Sehingga perbuatan ikhtiyariyyah apapun yang dilakukan manusia, itu terjadi berkat kuasa dan kehendak-Nya[xvii]. Atau dengan ungkapan lain, perbuatan ikhtiyariyyah itu terjadi tidak lepas dari Taqdir Allah SWT, sementara perbuatan yang terjadi di luar itu merupakan Qadha` dari Allah SWT. Yaitu Allah yang menakdirkan manusia bisa memilih dan mengusahakan; Allah yang menakdirkan terbentangnya pilihan-pilihan di hadapannya; Allah yang menakdirkan baginya keleluasaan memilih atas pilihan-pilihan yang tersedia di hadapannya itu; dan Allah yang menaqdirkan mana di antara pilihan tersebut yang dipilih dan diusahakan maka akan terjadi sesuai dengan hukum ciptaanNya (khashiyyat benda, hukum alam, hukum kausalitas) yang berlaku. Adapun perbuatan yang terjadi di luar kuasa manusia, seperti karena ketidak-sengajaan, kegagalan dalam upaya merealisasikan pilihan, menyelisihi hukum alam seperti terlahirnya manusia tanpa bapak, maka itu semua termasuk Qadha' dari Nya yang juga tidak lepas dari Taqdir Nya. Seperti nabi Isa yang meski dilahirkan tanpa bapak, namun masih melalui proses kelahiran layaknya manusia lainnya.


Jadi Hizbut Tahrir berbeda secara ekstrim dengan kelompok Muktazilah berkenaan dengan perbuatan manusia ciptaan Allah atau manusia. Demikian pula berbeda secara ekstrim pula dengan kelompok Jahmiyyah terkait apakah manusia memiliki kuasa dan kehendak dalam melakukan perbuatan. Sedangkan dengan kelompok Asy’ariyyah, Hizbut Tahrir berbeda dalam ranah cabang-nya cabang, yaitu terkait bagaimana mekanisme penciptaan Allah SWT atas perbuatan ikhtiyariyyah manusia.


Tuduhan Menganggap Allah Tunduk, Lemah dan Terkalahkan


Dengan mencermati uraian di atas, tuduhan bahwa Hizbut Tahrir menganggap Allah tunduk, lemah dan terkalahkan dengan terjadinya sesuatu di luar kehendak-Nya, juga terbukti keliru. Karena, keleluasaan hamba dalam berbuat di wilayah yang dikuasainya adalah termasuk di antara yang dikehendaki oleh Allah SWT sendiri, di mana manusia akan dihisab menurut pilihan-pilihan di dalamnya dan mereka kelak akan menyesali atas pilihan buruknya.


وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ .


"Dan jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya. (mereka berkata): Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia kami akan beramal saleh. Sungguh kami adalah orang-orang yang yakin."[xviii]


Dan dalam berbuat justru manusia lah yang tunduk, lemah, terkalahkan oleh ketentuan-ketentuan Allah SWT. Manusia tidak akan bisa berbicara menggunakan telinga, memadamkan api dengan bahan bakar minyak, memotong besi menggunakan kertas, berjalan di atas air, kembali ke masa lalu, dan sebagainya.


Tuduhan Menyematkan Sifat Buruk Kepada Allah SWT


Terkait tuduhan Kyai Najih bahwa dengan mengartikan Qadar Allah SWT dengan ilmu Allah SWT, berarti Hizbut Tahrir telah menganggap ilmu Allah SWT ada yang baik dan yang buruk. Itu berarti menyematkan sifat buruk kepada Allah SWT. al-faqir katakan: pertama, perlu diperjelas bahwa pemaknaan Qadar di sini di luar bahasan Qadha`-Qadar; dan ke-dua, maksud Hizbut Tahrir di situ tidak sebagaimana yang dituduhkan dan diinterpretasikan oleh Kyai Najih. 


وَمَعْنَى كَلِمَةِ قَدَرٍ فِي هذَيْنِ الْحَدِيْثَيْنِ تَقْدِيْرُ اللهِ وَعِلْمُهُ ، أَيْ أَنْ تُؤْمِنَ بِأَنَّ الْأَشْيَاءَ يَكْتُبُهَا اللهُ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوْظِ وَيَعْلَمُهَا قَبْلَ أَنْ تُوْجَدَ خَيْرًا كَانَتْ أَمْ شَرًّا .


"Arti dari kata al-Qadar di dua hadits tersebut adalah takdir Allah dan ilmu-Nya. Artinya, anda mengimani bahwa segala sesuatu itu dituliskan oleh Allah dalam Lauhulmahfzh dan diketahui oleh-Nya sebelum menjadi ada, baik itu (segala sesuatu yang ditakdirkan dan diketahui tersebut –penj.) baik maupun buruk."[xix]


Yaitu mengimani taqdir Allah SWT dan ilmu-Nya yang mendahului apa yang ditakdirkan-Nya. Jadi bukan ilmu Allah semata dengan menyematkan keburukan kepada sifat Allah seperti yang dituduhkan. Bahkan jika kita teliti, pernyataan di atas sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh al-Imam al-Baihaqi dalam kutipan Kyai Najih sendiri:


فَالْإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ هُوَ الْإِيْمَانُ بِتَقَدُّمِ عِلْمِ اللهِ سُبْحَانَهُ بِمَا يَكُوْنُ مِنْ أَكْسَابِ الْخَلْقِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْمَخْلُوْقَاتِ ، وَصُدُوْرِ جَمِيْعِهَا عَنْ تَقْدِيْرٍ مِنْهُ ، وَخَلْقٍ لَهَا خَيْرِهَا وَشَرِّهَا .


"Iman terhadap al-Qadar ialah iman terhadap perihal lebih dahulunya pengetahuan Allah atas apa saja yang akan terjadi dari perbuatan makhluk dan lainnya. Serta munculnya semua itu berdasarkan ketentuan dan penciptaan Nya, baik dan buruknya."[xx]


Sampai di sini terbukti bahwa apa yang diasumsikan oleh Kyai Najih tidak benar adanya.


Kemudian terkait kutipan ‘ibarat yang ke-dua. Rupanya Kyai Najih Maimoen keliru dalam menuliskan sumber rujukan. Yang benar ‘ibarat tersebut ada di kitab al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah[xxi], bukan dari kitab Nizhâm al-Islâm. Wallâhu a’lam. Kemudian yang kedua, ‘ibarat dalam kitab tersebut terletak dalam pembahasan Petunjuk dan Kesesatan (al-Hudâ wa al-Dhalâl), bukan pembahasan Qadha’-Qadar. Beliau mengutipnya barangkali lantaran ada penyebutan perbuatan manusia dan perbuatan Allah di situ.


Maksud dari ‘ibarat tersebut akan menjadi jelas apabila kita membaca secara utuh topik pembahasan dalam kitab itu. Yakni bahwasannya dalam al-Qur`an ada kalanya perihal memberi petunjuk dan kesesatan itu dinisbatkan kepada perbuatan Allah SWT[xxii], dan ada kalanya perihal mengikuti petunjuk dan kesesatan itu dinisbatkan kepada perbuatan hamba[xxiii]. Dengan mengkompromikan kedua jenis ayat tersebut, maka diperoleh kesimpulan bahwa petunjuk dan kesesatan serta potensi menusia untuk mendapatkannya adalah ciptaan Allah SWT, namun Allah SWT akan memberikan petunjuk-Nya tersebut kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sesuai sikap pro-aktif manusia sendiri dalam menjemputnya[xxiv].


وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ.


"Barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk hatinya"[xxv].


Inilah yang dimaksud dari apa yang dikutip oleh Kyai Najih tersebut. Tidak sebagaimana yang beliau asumsikan secara keliru sebagai konsep mengingkari Qadha’-Qadar.


Maka dengan demikian, semua apa yang dituduhkan oleh Kyai M. Najih Maimoen terhadap Hizbut Tahrir seputar topik ini adalah keliru. Oleh karenanya, penting kiranya agar beliau meninjau kembali tulisannya tersebut dan memberikan klarifikasi atas tuduhan-tuduhan yang terbukti keliru tadi. Wallâhu ta'âlâ a’lam


Ghafarallâhu lanâ wa li-sâ`iril muslimîn


___________


[i] H. Muhammad Najih Maimoen. 2013. Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII, dan Ma’had Zaitun. (Rembang: Perc. Al-Anwar Sarang Rembang) hlm 8


[ii] Lihat Ibid. hlm 9-12


[iii] Lihat Ibid. hlm 15


[iv] Terkait apa saja arti al-Qadha`, lihat Taqiyuddin al-Nabhani. 2003. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. (Beirut: Dar al-Ummah) vol 1 hlm 84-85; dan mengenai apa saja arti al-Qadar, lihat kitab yang sama, hlm 79-82.


[v] Di antaranya, ada yang mengartikan Qadha` adalah ketetapan umum pada perkara-perkara umum saja, sementara Qadar adalah ketetapan umum pada perkara-perkara cabang atau rincian. Ada yang mengartikan Qadar adalah ketetapan Allah SWT yang belum terjadi, sedangkan Qadha` adalah terjadinya atau terciptanya apa-apa yang telah Allah SWT tetapkan. Dan ada juga yang menganggap bahwa Qadha` dan Qadar adalah di antara rahasia-rahasia Allah SWT. (Lihat Taqiyuddin al-Nabhani. 2003. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. (Beirut: Dar al-Ummah). vol 1 hlm 90-91)


[vi] Taqiyuddin al-Nabhani. 2003. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. (Beirut: Dar al-Ummah). vol 1 hlm 94


[vii] Ibid. hlm 96


[viii] Ibid. hlm 92


[ix] Ibid. hlm 92


[x] Ibid. hlm 93


[xi] Ibid. hlm 93-94


[xii] Ibid. hlm 94


[xiii] Ibid. hlm 95


[xiv] Lihat Ibid. hlm 91


[xv] Ibid. hlm 83


[xvi] Lihat Ibid. hlm 74


[xvii] Lihat Ibid. hlm 96


[xviii] QS. al-Sajdah: 12


[xix] Lihat Taqiyuddin al-Nabhani. Opcit. hlm 87


[xx] Lihat H. Muhammad Najih Maimoen. Opcit. hlm 16


[xxi] Lihat Taqiyuddin al-Nabhani. Opcit. 97


[xxii] Lihat Ibid. hlm 98


[xxiii] Lihat Ibid. hlm 99


[xxiv] Lihat Ibid. hlm 100


[xxv] QS. al-Taghâbun: 11

BENARKAH HIZBUT TAHRIR MENGINGKARI SIKSA KUBUR

 BENARKAH HIZBUT TAHRIR MENGINGKARI SIKSA KUBUR?



Tanggapan atas Tulisan KH. Muhammad Najih Maimoen: Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII, dan Ma’had Zaitun. Sub Bab: Konsep Mengingkari Siksa Kubur. 


Azizi Fathoni K.


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


الْحَمْدُ لله وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ الله وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاه . وَبَعْد


Sembari memohon ma’ûnah Allah ‘azza wa jalla, al-faqir katakan:


Pada bagian sub bab terkait kritik terhadap Hizbut Tahrir, Kyai Muhammad Najih Maimoen di antaranya juga menuliskan judul: Konsep Mengingkari Siksa Kubur[i] 


Sesuai dengan judul tersebut, Kyai Najih dalam paparannya menyebutkan bahwa Hizbut Tahrir telah mengingkari keberadaan siksa kubur, sembari beliau mengetengahkan bagaimana pandangan Ahlussunnah yang mengimaninya. Jelas ini akan memunculkan pada diri pembaca kesimpulan bahwa Hizbut Tahrir dalam isu ini telah menyelisihi Ahlussunnah alias bukan bagian dari mereka.


Tuduhan terhadap Hizbut Tahrir dalam hal ini beliau nyatakan secara tegas dalam dua paragraf berikut.


Pertama; paragraf di tengah paparan yang sekaligus mencantumkan apa yang beliau anggap sebagai “bukti” dalam tuduhannya, yaitu yang berbunyi:


"Pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur juga dijelaskan dalam buku al-Dausiyyah, kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir ketika menjelaskan hadits yang menyebutkan tentang siksa kubur. Menurut buku tersebut, meyakini siksa kubur yang terdapat dalam hadits tersebut adalah haram, karena haditsnya berupa hadits ahad, akan tetapi boleh membenarkannya. Bahkan salah seorang tokoh Hizbut Tahrir, yaitu Syaikh Umar Bakri pernah mengatakan dengan lucu dan kontradiktif: “Aku mendorong kalian untuk mempercayai adanya siksa kubur dan Imam Mahdi, namun barang siapa yang beriman kepada hal tersebut, maka ia berdosa."[ii]


Ke-Dua; paragraf pungkasan di akhir paparan dengan redaksi:


"Sudah barang tentu pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur karena alasan haditsnya termasuk hadits ahad dan bukan mutawatir, adalah tidak benar. Karena disamping adanya siksa kubur merupakan keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, juga hadits-hadits yang menerangkan adanya siksa kubur adalah hadits mutawatir ma’nan la lafdzon, dan bukan hadits ahad sebagaimana asumsi Hizbut Tahrir."[iii]


Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap penulis, al-faqir katakan: Tuduhan tersebut tidak benar. Perlu diketahui bahwa Hizbut Tahrir tidak pernah menyatakan pengingkaran terhadap siksa kubur. Adapun terkait apa yang penulis sebutkan berupa kitab al-Dausiyyah dan kutipan perkataan al-Syaikh Umar Bakri, keduanya bukan merupakan sumber primer yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir alias tidak termasuk pendapat resmi Hizbut Tahrir. Terlepas dari benar tidaknya kutipan tersebut, dan apa yang menjadi maksudnya. Yang terbilang sebagai pendapat Hizbut Tahrir hanyalah apa saja yang diterbitkan oleh Hizbut Tahrir pusat, Hizbut Tahrir di tiap-tiap wilayah, kantor i’lami Hizbut Tahrir, jurubicara resmi Hizbut Tahrir, dan para representator i’lami Hizbut Tahrir. Selain itu terhitung sebagai pendapat penulisnya meskipun dipublikasikan melalui website Hizbut Tahrir[iv]. 


Pendapat Resmi Hizbut Tahrir Terkait Permasalahan



Adapun yang menjadi pendapat resmi Hizbut Tahrir terkait permasalahan ini, adalah sebatas prinsip-prinsip dasar. Yaitu berkenaan dengan karakter akidah, kriteria dalil yang mendasarinya, sikap terhadap hadits ahad, dan konsekwensi bagi orang yang mengingkari. Termaktub dalam kitab yang diadopsinya:


وَعَلَى هَذَا فَلَابُدَّ أَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلُ الْعَقِيْدَةِ يَقِيْنِيًّا أَيْ دَلِيْلاً قَطْعِيًّا ، لِأَنَّ الْعَقِيْدَةَ قَطْعٌ وَجَزْمٌ وَيَقِيْنٌ ، وَلَا يُفِيْدُ الْقَطْعَ وَالْجَزْمَ وَالْيَقِيْنَ إِلَّا الدَّلِيْلُ الْقَطْعِيُّ . وَلِهَذَا لَابُدَّ أَنْ يَكُوْنَ قُرْآنًا أَوْ حَدِيْثًا مُتَوَاتِرًا عَلَى أَنْ يَكُوْنَ كُلٌّ مِنْهُمَا قَطْعِيَّ الدَّلَالَةِ . وَيَجِبُ أَخْذُهُ فِي الْعَقَائِدِ وَفِي الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ ، وَيُكَفَّرُ مُنْكِرُهُ وَمُنْكِرُ مَا دَلَّ عَلَيْهِ ، سَوَاءٌ أَكَانَ عَقِيْدَةً أَمْ حُكْمًا شَرْعِيًّا .


"Berdasarkan hal tersebut, maka dalil akidah haruslah meyakinkan atau dalil yang bersifat pasti. Sebab, akidah adalah kepastian, ketetapan, dan keyakinan. Dan tidak ada yang berfaidah kepastian, ketetapan, dan keyakinan kecuali dalil yang bersifat pasti. Maka dari itu, ia harus berupa al-Qur`an dan hadits mutawatir dengan syarat masing-masing dari keduanya memiliki penunjukan arti yang tegas (qath’î dalâlah). Wajib hukumnya mengamalkannya di bidang akidah dan hukum syari’at. Orang yang meningkarinya dan orang yang mengingkari makna yang ditunjukkannya akan dihukumi kafir, baik itu berupa akidah maupun hukum syari’at."[v]


Sedangkan untuk dalil yang tidak memenuhi kriteria sebagai dasar akidah, maka sikap Hizbut Tahrir adalah sebagaimana paragraf selanjutnya:


أَمَّا إِذَا كَانَ الدَّلِيْلُ خَبَرَ آحَادٍ فَإِنَّهُ لَا يَكُوْنُ قَطْعِيًّا ، فَإِنْ كَانَ صَحِيْحاً فَإِنَّهُ يُفِيْدُ غَلَبَةَ الظَّنِّ ، فَتُصَدَّقُ الْعَقَائِدُ الَّتِي جَاءَ بِهَا تَصْدِيْقاً ظَنِّيًّا ، لَا تَصْدِيْقًا جَازِمًا . وَلِهَذَا لَا يَجُوْزُ أَنْ تُعْتَقَدَ ، وَلَا أَنْ يُجْزَمَ بِهَا . لِأَن َّالْعَقِيْدَةَ قَطْعٌ وَجَزْمٌ ، وَخَبَرُ الْآحَادِ لَا يُفِيْدُ قَطْعًا وَلَا جَزْمًا ، وَإِنَّمَا يُفِيْدُ ظَنًّا ، وَلَا يُكَفَّرُ مُنْكِرُهُ ، وَلَكِنْ لَا يَجُوْزُ أَنْ يُكَذَّبَ ، لِأَنَّهُ لَوْ جَازَ تَكْذِيْبُهُ لَجَازَ تَكْذِيْبُ جَمِيْعِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْمَأْخُوْذَةِ مِنَ الْأَدِلَّةِ الظَّنِّيَّةِ ، وَلَمْ يَقُلْ بِذَلِكَ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ .


"Adapun apabila dalil tersebut berupa hadits ahad maka ia tidak bersifat pasti. Jika shahih maka ia berfaidah dugaan kuat, sehingga perkara akidah yang dikandungnya patut dibenarkan dengan pembenaran yang bersifat zhanni (asumtif), bukan pembenaran yang bersifat jâzim (pasti). Karenanya ia tidak boleh diyakini dan tidak pula dipastikan kebenarannya (sebagai bagian dari akidah –penj.). Karena akidah adalah kepastian, sementara hadits ahad tidak berfaidah kepastian. Ia hanyalah berfaidah dugaan. Dan orang yang mengingkari hadits ahad tidak dihukumi kafir. Namun ia tidak boleh didustakan, karena bila saja boleh mendustakannya niscaya boleh juga mendustakan seluruh hukum-hukum syari’at yang diambil dari dalil-dalil zhanni. Sementara tidak ada seorangpun di antara kaum muslim berpendapat demikian."[vi]


Dua ‘ibarat di atas sudah cukup menunjukkan bagaimana sikap Hizbut Tahrir dalam berakidah dan dalam menerima dalil-dalil syara’ yang memberitakan perkara ghaib (al-mughayyabât). Yaitu antara:


Pertama; Apabila dalilnya bersifat qath’i (pasti), berupa al-Qur`an dan hadits mutawatir, maka perkara ghaib yang diberitakannya terhitung sebagai akidah. Di mana pembenaran terhadapnya bersifat pasti, meyakinkan, bulat, total, sempurna, mutlak, atau kata apapun yang mewakilinya. Dengan indikasi menghukumi orang yang mengingkarinya sebagai kafir karena berarti telah mengingkari perkara qath’i yang tergolong akidah.


ke-Dua; Apabila dalilnya bersifat zhanni (asumtif), berupa hadits ahad, maka perkara ghaib yang diberitakannya tidak terhitung sebagai akidah. Pembenaran terhadapnya sebatas bersifat dugaan, asumtif, persangkaan, atau istilah lain yang semakna. Dengan indikasi tidak sampai menghukumi orang yang mengingkarinya sebagai kafir, melainkan sebatas berdosa, bermaksiat, atau fasik, karena belum terbilang mengingkari perkara qath’i yang tergolong akidah.


Konsep yang diadopsi Hizbut Tahrir ini sejalan dengan pandangan Jumhur 'Ulama yang diterangkan oleh al-Syaikh Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou dalam kitabnya al-Wajîz fî Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmî. Silahkan membacanya dengan seksama sambil mencermati point-point: karakter Akidah, kriteria dalil yang mendasarinya, sikap terhadap Hadits Ahad, dan konsekwensi bagi orang yang mengingkari.


الْعَقِيْدَةُ وَخَبَرُ الْوَاحِدِ

ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ لَا يُعْمَلُ بِهِ فِي الْعَقَائِدِ ، وَلَيْسَ هَذَا لِأَنَّهُمْ يَرُدُّوْنَ خَبَرَ الْوَاحِدِ أَوْ يُنْكِرُوْنَ الْعَمَلَ بِهِ ، فَقَدْ ذَكَرْنَا الْاِتِّفَاقَ عَلَى وُجُوْبِ الْعَمَلِ بِهِ ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ لِاصْطِلَاحٍ خَاصٍّ بِهِمْ فِي الْعَقَائِدِ . لِأَنَّهُمْ يَرَوْنَ أَنَّ الْعَقِيْدَةَ هِيَ الَّتِي تُمَيِّزُ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالْإِيْمَانِ ، وَمَا كَانَ كَذَلِكَ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُوْنَ إِلَّا عَنْ عِلْمٍ ، وَهُوَ الْاِدْرَاكُ الْجَازِمُ الْمُطَابِقُ لِلْوَاقِعِ عَنْ دَلِيْلٍ ، وَهَذَا غَيْرُ مُتَوَفِّرٍ فِي خَبَرِ الْوَاحِدِ ، لِأَنَّهُ لَا يُفِيْدُ إِلَّا الظَّنَّ ، وَمَا كَانَ كَذَلِكَ لَا يُسَمَّى عَقِيْدَةً ، وَمِنْ ثَمَّ لَا يُكَفَّرُ جَاحِدُهُ بِالْاِتِّفَاقِ . وَالْعَقِيْدَةُ لَا تَكُوْنُ إِلَّا عَنْ عِلْمٍ ، وَهَذَا لَا يَتَوَفَّرُ إِلَّا فِي الْخَبَرِ الْقَطْعِيِّ ، وَلِذَلِكَ يُحْكَمُ بِكُفْرِ مُنْكِرِ أَيِّ جُزْئِيَّةٍ مِنْ جُزْئِيَّاتِ الْعَقِيْدَةِ ، لِأَنَّهُ مُنْكِرٌ لِمَعْلُوْمٍ لَا لِمَظْنُوْنٍ . وَأَمَّا مَا وَرَدَ مِنْ أَخْبَارِ الْآحَادِ فِي شَأْنِ الْمُغَيَّبَاتِ ، كَعَذَابِ الْقَبْرِ ، وَالْحَوْضِ ، وَالصِّرَاطِ ، وَالشَّفَاعَةِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُوْرِ الْكَثِيْرَةِ الَّتِي شَحَنَتْ بِهَا كُتُبُ الْعَقِيْدَةِ عِنْدَ الْأَشَاعِرَةِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ ، فَيَجِبُ الْإِيْمَانُ بِهَا ، وَيُفَسَّقُ جَاحِدُهَا ، لِأَنَّهُ خَبَرُ وَاحِدٍ يَجِبُ الْعَمَلُ بِمُقْتَضَاهُ . إِلَّا أَنَّنَا لَا نَحْكُمُ بِكُفْرِ جَاحِدِهِ أَوْ مُؤَوِّلِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يُنْكِرْ شَيْئًا مِنَ الْعَقِيْدَةِ الثَّابِتَةِ بِالْقَوَاطِعِ . وَبِنَاءً عَلَى ذَلِكَ لَمْ نُكَفِّرْ الْمُعْتَزِلَةَ فِي إِنْكَارِهِمْ لِكَثِيْرٍ مِنَ الْمُغَيَّبَاتِ وَتَأْوِيْلِهَا مِمَّا ثَبَتَ بِدَلِيْلٍ ظَنِّيٍّ ، وَإِنَّمَا حَكَمْنَا عَلَيْهِمْ بِالْفِسْقِ .


"Akidah dan Hadits Ahad

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits ahad tidak digunakan dalam perkara-perkara akidah. Itu bukan berarti karena mereka menolak hadits ahad atau mengingkari penggunaannya. Telah kami sebutkan sebelumnya perihal adanya konsensus (ijmak) akan wajibnya mengamalkannya. Hal itu tadi tidak lain karena istilah khusus menurut mereka mengenai apa itu akidah. Sebab mereka memandang bahwa akidah merupakan perkara yang membedakan antara kufur dan iman. Sehingga jika demikian halnya maka ia tidak mungkin terealisasi kecuali hanya dari keyakinan (‘ilm). Yaitu pengetahuan pasti yang sesuai dengan realita berdasarkan dalil. Dan hal ini tidak terpenuhi dalam hadits ahad, karena ia tidak berfaidah kecuali hanya dugaan. Jika memang demikian maka ia tidak disebut sebagai akidah, dan untuk selanjutnya orang yang mengingkarinya tidak dihukumi kafir menurut kesepakatan ulama. Akidah tidak dapat terealisasi kecuali berdasarkan keyakinan, dan ini tidak terpenuhi kecuali pada hadits yang bersifat pasti (qaht’i). Oleh karenanya orang yang mengingkari bagian apapun di antara bagian-bagian akidah yang ada akan dihukumi kafir, karena ia telah mengingkari perkara pasti, bukan perkara asumtif. Adapun apa saja yang diriwayatkan berupa hadits ahad dalam permasalahan-permasalahan ghaib, seperti siksa kubur, haudh, shirath, syafa’at, dan banyak perkara lainnya yang memenuhi kitab-kitab akidah menurut asy’ariyyah dan di luar mereka di antara Ahlussunnah, maka wajib mempercayainya dan menghukumi fasik orang yang mengingkarinya, karena ia hadits ahad yang wajib untuk diamalkan isinya. Hanya saja kita tidak menghukumi kafir orang yang mengingkarinya atau orang yang menakwilkannya, karena ia belum mengingkari suatu apapun dari akidah yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’i. Berdasarkan hal ini, kita tidak menghukumi kafir kelompok Muktazilah terkait pengingkaran mereka terhadap banyak perkara ghaib serta penakwilannya, di antara apa-apa yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni. Kita hanya menghukumi mereka fasik."[vii]


Membenarkan Siksa Kubur Menurut Dalilnya


Tinggallah sekarang bagaimana menerapkan konsep Hizbut Tahrir tersebut pada kasus siksa kubur. Maka al-faqir katakan: Di sini Hizbut Tahrir tidak sampai mengadopsi suatu pendapat terkait rinciannya. Namun dengan tidak diadopsinya rincian tersebut tidak kemudian dipahami berarti Hizbut Tahrir mengingkari siksa kubur, atau tidak punya sikap terhadap siksa kubur. Tidak. Kenapa? Karena cukup dengan melihat bahwa dalil siksa kubur banyak berupa hadits shahih saja, sebagaimana menurut sejumlah keterangan yang dikutip oleh Kyai Najih Maimoen, maka berdasarkan ketentuan yang diadopsinya tadi sudah barang tentu Hizbut Tahrir mewajibkan pembenaran (tashdîq) atau percaya (îmân) terhadap keberadaannya.


Sampai di sini terbukti bahwa tuduhan Hizbut Tahrir mengingkari siksa kubur adalah keliru dan fitnah belaka.


Sementara yang al-faqir maksud belum mengadopsi rinciannya di atas, adalah terkait apakah derajat pembenaran di situ mencapai derajat pasti (tashdîqan jâziman) yang pengingkarnya dihukumi kafir; ataukah sebatas dugaan atau dugaan kuat (tashdîqan zhanniyyan) yang pengingkarnya tidak sampai kafir, melainkan dosa atau fasik. Hal itu berpulang pada penilaian terhadap tingkat kevalidan hadits-hadits siksa kubur itu sendiri. Apakah dinilai sudah mencapai derajat mutawâtir ma’nan (lâ lafzhan) sehingga meniscayakan ‘ilm (kepastian, keyakinan); ataukan masih dalam batasan ahad sehingga meniscayakan zhann (dugaan) atau ghalabat zhann (dugaan kuat).


Di sinilah Hizbut Tahrir memberi kelonggaran kepada para anggota-nya untuk memilih mana di antara keduanya yang dipandang lebih tepat, mengingat juga adanya perbedaan pendapat yang muktabar tentangnya. Ada sebagian ulama yang menilainya sudah mencapai mutawâtir ma’nan lâ lafzhan sebagaimana yang telah dikutip oleh Kyai Najih Maimoen dalam tulisannya. Dan ada juga yang menilainya masih dalam batasan ahad sebagaimana keterangan al-Syaikh Hasan Hitou saat menjelaskan pendapat jumhur ulama di atas.


Di antara jumhur tersebut ada Syamsul A`immah al-Sarakhsi al-Hanafi (w. 483 H), yang menyatakan dalam kitab usulnya (Ushûl al-Sarakhsî):


ثُمَّ قَدْ يَثْبُتُ بِالْآحَادِ مِنَ الْأَخْبَارِ مَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ فِيْهِ الْعِلْمَ فَقَطْ ، نَحْوُ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَسُؤَالِ مُنْكَرٍ وَنَكِيْرٍ ، وَرُؤْيَةِ اللهِ تَعَالَى بِالْأَبْصَارِ فِي الْآخِرَةِ ، فَبِهَذَا وَنَحْوِهِ يَتَبَيَّنُ أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ مُوْجِبٌ لِلْعِلْمِ . وَلَكِنَّا نَقُوْلُ : هَذَا الْقَائِلُ كَأَنَّهُ خُفِيَ عَلَيْهِ الْفَرْقُ بَيْنَ سُكُوْنِ النَّفْسِ وَطُمَأْنِيْنَةِ الْقَلْبِ وَبَيْنَ عِلْمِ الْيَقِيْنِ . فَإِنَّ بَقَاءَ احْتِمَالِ الْكَذِبِ فِي خَبَرِ غَيْرِ الْمَعْصُوْمِ مُعَايِنٌ لَا يُمْكِنُ إِنْكَارُهُ ، وَمَعَ الشُّبْهَةِ وَالْاِحْتِمَالِ لَا يَثْبُتُ الْيَقِيْنُ ، وَإِنَّمَا يَثْبُتُ سُكُوْنُ النَّفْسِ وَطُمَأْنِيْنَةُ الْقَلْبِ بِتَرَجُّحِ جَانِبِ الصِّدْقِ بِبَعْضِ الْأَسْبَابِ . وَقَدْ بَيَّنَّا فِيْمَا سَبَقَ أَنَّ عِلْمَ الْيَقِيْنِ لَا يَثْبُتُ بِالْمَشْهُوْرِ مِنَ الْأَخْبَارِ بِهَذَا الْمَعْنَى فَكَيْفَ يَثْبُتُ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ؟


"Lalu ada kalanya terdapat perkara-perkara tertentu yang ditetapkan berdasarkan hadits-hadits ahad yang hukum di dalamnya hanya keyakinan saja. Seperti siksa kubur, pertanyaan Munkar-Nakir, melihat Allah dengan mata telanjang di akhirat. Maka berdasarkan ini dan yang semacamnya menjadi jelas bahwa hadits ahad meniscayakan keyakinan. Akan tetapi kami (al-Imam al-Sarakhsi) katakan: Orang yang berkata demikian itu seolah-olah belum jelas baginya perbedaan antara ketenangan jiwa, ketentraman hati, dan antara keyakinan pasti. Bahwa adanya kemungkinan salah pada hadits yang diriwayatkan perawi yang tidak ma’shum adalah perkara yang terindera yang tidak mungkin diingkari. Dan dengan adanya syubhat serta kemungkinan salah tersebut maka keyakinan tidak dapat terealisasi. Yang ada hanyalah ketenangan jiwa dan ketentraman hati, berdasarkan lebih menonjolnya aspek benarnya dikarenakan sejumlah sebab. Kami telah menjelaskan pada kesempatan yang lalu bahwa keyakinan pasti tidak dapat terealisasi dengan hadits masyhur karena alasan ini, lantas bagaimana bisa itu terealisasi dengan hadits ahad?"[viii]


Dalam ‘ibarat-nya tersebut al-Imam al-Sarakhsi terlihat meng-iya-kan dan tidak mengingkari akan ke-ahad-an hadits-hadits siksa kubur. Melainkan justru meyakinkan perihal bahwa pembenaran terhdapnya sebatas menimbulkan ketenangan jiwa dan ketentraman hati, tidak sampai keyakinan pasti.


Dan di antara jumhur juga ada al-Imam al-Hafizh Zainuddin Abdur Rahim al-‘Iraqi (w. 806 H), yang mengatakan:


(الْعَاشِرَةُ) فِيْهِ إثْبَاتُ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَهْلِ الْحَقِّ خِلَافًا لِلْمُعْتَزِلَةِ ، وَقَدْ اشْتَهَرَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ حَتَّى كَادَتْ أَنْ تَبْلُغَ حَدَّ التَّوَاتُرِ ، وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ .


"Ke-Sepuluh: di dalamnya (hadits yang sedang disyarah, -penj.) terdapat penetapan adanya siksa kubur, dan ini merupakan madzhab ahlul haq, berbeda dengan Muktazilah. Sungguh telah masyhur hadits-hadits tentangnya hingga hampir mencapai batas ke-mutawatir-an. Dan mempercayainya adalah wajib."[ix]


Beliau menyebut hadits siksa kubur masih dalam batasan masyhur meski sudah di ambang batas kemutawatiran. Dan masyhur dalam istilah jumhur masih terkategori ahad dengan faidah ghalabat zhann (dugaan kuat/sangat kuat). Belum mencapai derajat ‘ilm (keyakinan pasti) betapapun sangat kecil dan nyaris hilang sudah kemungkinan salahnya. Mengingat bahwa zhann itu bertingkat, dimana sebagian zhann adalah lebih kuat dari sebagian lainnya. al-Qadhi Abu Ya’la al-Hambali (w. 458 H) menerangkan:


وَغَلَبَةُ الظَّنِّ : قُوَّةُ الظَّنِّ ، فَإِنَّ الظَّنَّ يَتَزَايَدُ ، وَيَكُوْنُ بَعْضُ الظَّنِّ أَقْوَى مِنْ بَعْضٍ .


"Ghalabatuzh-zhann adalah kuatnya dugaan, karena sesungguhnya dugaan itu bertingkat-tingkat, di mana sebagian dugaan lebih kuat dari sebagian lainnya."[x]


Sebagai indikasi bahwa sebagian ulama tidak sampai menganggapnya mutawatir adalah masih dianggapnya pengingkarnya sebagai bagian dari umat Islam, belum sampai dianggap kafir. Misalnya apa yang dikatakan oleh al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) ini:


قَوْلُهُمْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ . وَاخْتَلَفُوْا فِي عَذَابِ الْقَبْرِ : فَمِنْهُمْ مَنْ نَفَاهُ وَهُمُ الْمُعْتَزِلَةُ وَالخَوَارِجُ ، وَمِنْهُمْ مَنْ أَثْبَتَهُ وَهُمْ أَكْثَرُ أَهْلِ الْإِسْلَامِ ، وَمِنْهُمْ ...


"Pendapat Mereka (umat Islam) tentang Siksa Kubur. Mereka telah berbeda pendapat dalam perkara siksa kubur. Di antara mereka ada yang menegasikannya, mereka adalah kaum Muktazilah dan Khawarij. Di antara mereka ada yang membenarkan keberadaannya, mereka adalah mayoritas umat Islam. Dan di antara mereka ..."[xi]


Perihal tidak sampai kafirnya Muktazilah dan Khawarij di antaranya juga dinyatakan oleh al-Imam Abu Manshur Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H) dalam kitabnya al-Farq baynal Firaq, saat menjelaskan kategorisasi umat Islam[xii].


Sampai di sini juga terbukti bahwa anggapan Kyai Najih Maimoen tentang ke-ahad-an dalil siksa kubur hanya sekedar asumsi Hizbut Tahrir semata, adalah tidak benar. Yang benar, Hizbut Tahrir tidak sampai mengadopsi mana di antara mutawatir atau ahad. Sementara di antara ulama Ahlussunnah sendiri banyak yang mengakui akan ke-ahad-annya.


Walhasil, apa yang dituduhkan Kyai Najih Maimoen terhadap Hizbut Tahrir bahwa ia telah mengingkari siksa kubur dengan alasan haditsnya ahad adalah tidak benar, dan termasuk fitnah yang berpotensi menjadikan memar dan retak Ukhuwwah Islamiyyah antar sesama muslim. Selain juga dapat melenyapkan pahala amalan yang sudah dengan susah payah dikumpul dan usahakan. wal 'iyâdzu billâh


Oleh karananya menurut al-faqir perlu kiranya Kyai Najih membuat klarifikasi umum untuk meluruskan kesalahan atas tuduhan-tuduhan beliau yang juga sudah tersebar secara umum.


Ghafarallâhu lî wa lahu wa li sâ`iril muslimîn, wa razaqanâ husnal khitâm... âmîn 


___________


[i] H. Muhammad Najih Maimoen. 2013. Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII, dan Ma’had Zaitun. (Rembang: Perc. Al-Anwar Sarang Rembang) hlm. 21


[ii] Ibid. hlm. 22-23


[iii] Ibid. hlm. 25-26


[iv] Lihat: http://www.hizb-ut-tahrir.info/ . Di website Maktab I'lami Hizbut Tahrir Pusat keterangan tersebut berbunyi:


فقط إصدارات حزب التحرير، الولايات، المكاتب الإعلامية، الناطقين الرسميين والممثلين الإعلاميين لحزب التحرير تعبر عن رأي الحزب، وما عدا ذلك فهو يعبر عن رأي كاتبه وإن نشر في مواقع حزب التحرير .


Lihat: http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/


[v] Taqiyuddin al-Nabhani. 2003. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. (Beirut: Dar al-Ummah). vol. 1 hlm. 192


[vi] Ibid.


[vii] Muhammad Hasan Hitou. 1990. al-Wajîz fî Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmî. Cet. 3. (Beirut: Mu`assasah al-Risalah). hlm. 324-326


[viii] Ahmad bin Abu Sahal al-Sarakhsi. 1993. Ushûl al-Sarakhsî. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah). vol. 1 hlm. 329


[ix] Zainuddin Abdur Rahim al-‘Iraqi. t.t. Tharh al-Tatsrîb fî Syarh al-Taqrîb. (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi). vol. 3 hlm. 111


[x] Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain. 1993. al-‘Uddah fî Ushûl al-Fiqh. Cet. III. (Riyadh: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah). hlm. 83


[xi] Abu al-Hasan al-Asy’ari. 2005. Maqâlât al-Islâmiyyîn. (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah). vol. 2 hlm. 318


[xii] Lihat Abdul Qahir al-Baghdadi. 1993. al-Farq bayn al-Firaq. Cet. 2. (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah). hlm. 11


Friday, August 14, 2020

Cara cerdik sang jenderal menumbangkan kediktatoran

CARA CERDIK SANG JENDERAL MENUMBANGKAN KEDIKTATORAN


Serial Khatulistiwa


“Loe tahu, Than? Presiden Soekarno itu jatuh karena dikudeta oleh Soeharto. Dia bekerja sama dengan CIA Amerika melakukan Kudeta Merangkak untuk menggulingkan Soekarno. Di buku ini jelas sekali diceritakan ...” kata Dipo kepada Nathan sambil menunjukkan sebuah buku berlambang palu dan arit.


“Iya, soalnya Amerika juga berkepentingan menumbangkan kekuasaan Soekarno, lalu mereka menjadikan PKI sebagai kambing hitamnya. Kita harus meminta maaf kepada anak cucu PKI.” tambah Nathan.


“Loe berdua salah!!” kata Ahsan.


Dipo dan Nathan terkejut, serempak keduanya memandang Ahsan. Mereka bertiga tengah duduk lesehan, beristirahat sejenak di atas panggung utama Festival Kemerdekaan Khatulistiwa sore itu setelah rangkaian acara selesai. Sementara, panitia lain sedang merapikan berbagai peralatan dan stand booth masing-masing.


“Lho, dimana salahnya?” kata Dipo, sang Ketua OSIS, tidak terima.


“Pertama, loe berdua terlalu mengecilkan kekuatan PKI, seakan PKI itu partai lemah yang perlu dikasihani. Padahal, dia saat itu partai yang berkuasa dan ada dalam ring satunya Soekarno. Di masa itu, posisi PKI di atas angin sehingga mereka bisa dan berani membantai lawan-lawannya dengan cara keji, seperti aksi pembantaian aktivis pemuda Islam dan ratusan jama’ah shalat Shubuh dalam Peristiwa Kanigoro pada Januari 1965, tepat ketika bulan puasa.’ kata Ahsan merinding. “Bahkan, melalui manuver politiknya, mereka pun sanggup membubarkan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang tidak sejalan dengan ide komunis mereka melalui tangan Pemerintah Soekarno, sehingga otomatis PKI dan PNI-nya Soekarno saat itu menjadi partai tanpa pesaing. Dan di situlah lahir kediktatoraan Soekarno; mentahbiskan diri menjadi Presiden Seumur Hidup, memberlakukan Demokrasi Terpimpin, menuhankan Nasakom dan menghabisi siapa pun yang Anti Nasakom, memenjarakan para ulama Anti Komunis seperti Buya Hamka, menebarkan jaring stigma subversif kepada lawan politik, dan lain-lain.”


“Itu aja?” kata Nathan sinis.


“Yang kedua, loe juga terlalu membesarkan Soeharto, seakan dia yang memiliki kekuatan di militer dan menjadi _master mind_ keruntuhan Soekarno. Padahal, Mayjend Soeharto saat itu bukanlah siapa-siapa dan tidak punya kekuatan dibandingkan jenderal yang yang lain. Dia tidak termasuk jenderal yang dijadikan target penculikan PKI, itu artinya pengaruh dia di militer tidak besar sehingga PKI tidak perlu memperhitungkannya. Jabatannya sebagai Panglima Kostrad, masih kalah dibandingkan dengan Menteri Panglima Angkatan Darat (yang dijabat oleh Letjend Ahmad Yani) maupun Menko Hankam/Kepala Angkatan Bersenjata (Jenderal AH. Nasution). Jadi, ketika itu Soeharto hanyalah operator saja dan mendapatkan keuntungan kekuasaan, tapi bukan dia sebagai _master mind_ yang menumbangkan kediktatoran Soekarno dari tampuk kekuasaannya.”


“Jadi, siapa master mind-nya?”


“Abdul Haris Nasution.”


“Jenderal Nasution? Kok bisa?”


“Ya, beliaulah master mind yang menghentikan langkah PKI dan Soekarno. Sebagai Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, dialah orang nomor satu di jajaran militer, yang atasan langsungnya adalah Presiden. Dalam posisi itu, Jenderal Nasution memiliki akses dan wewenang ke seluruh angkatan, baik darat, laut maupun udara.” tegas Ahsan. “Dan jika kita melihat fakta sejarah, berdasarkan kronologis kejadian yang terjadi pada tahun 1965 hingga 1967, adalah salah kaprah jika kita menganggap bahwa Soeharto-lah yang menggulingkan Soekarno. Fakta sejarah di masa itu justru mengkonfirmasi, Jenderal Abdul Haris Nasution adalah orang yang paling berperan penting (master mind) dalam keruntuhan Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden Seumur Hidup.”


“Bagaimana jalan ceritanya, kok loe bisa berkesimpulan seperti itu?” tanya Dipo.


“Ketika G30S/PKI terjadi, Jenderal Nasution dikenal sebagai jenderal Anti Komunis dengan jabatan tertinggi di militer, maka dia adalah target utama yang harus dihilangkan. Kegagalan pasukan Cakrabirawa untuk membunuhnya adalah awal serangan balik yang maha dahsyat untuk Soekarno dan PKI.” terang Ahsan. “Dalam tubuh militer atau ABRI sendiri, saat itu terpecah dalam 2 kutub; kubu yang pro PKI dan Nasakom berhadapan dengan kubu yang Anti PKI dan Anti Nasakom.”


“Dari dua kubu militer itu, kubu mana yang melancarkan G30S?” tanya Dipo lagi.


“G30S adalah gerakan kolaborasi antara militer pro PKI dan Nasakom yaitu Letkol Untung dan Kolonel Latief (Divisi Diponegoro), Supardjo (Divisi Siliwangi), dan Mayor Udara Sujono; dengan PKI (Sjam Kamaruzaman, Pono dan DN Aidit di latar belakang).” jelas Ahsan. “Orang-orang Komunis menyebut mereka itu, para perwira berpikiran progresif revolusioner. Merekalah para tentara yang berhasil direkrut oleh PKI untuk mendukung Gerakan 30 September. Adalah Ketua Biro Khusus PKI Sjam Kamaruzaman yang memiliki tanggung jawab untuk itu. Sjam mengaku kekuatan tentara yang dibina PKI sudah cukup kuat untuk mengadakan gerakan di Jakarta, sedangkan di daerah akan ikut begitu di Jakarta meletup.”


“Lalu yang mereka hadapi siapa?”


“Mereka berkolaborasi untuk menghadapi para jenderal terkemuka Angkatan Darat (AD) yang mereka anggap menjadi ancaman bagi mereka.’ jawab Ahsan. “Pengkondisian awal sebelum penculikan dan pembantaian para jenderal AD itu adalah mereka melemparkan isu kudeta kepada para jenderal Anti PKI, terutama 8 perwira yang mereka sebut sebagai Dewan Jenderal, yaitu AH Nasution, Ahmad Yani, Suprapto, Ahmad Sukendro, S. Parman, MT Haryono, Sutojo, dan DI Pandjaitan. Dapat kita lihat, Soeharto tidak termasuk di dalamnya. Dan dalam perjalanannya, aksi G30S/PKI itu menewaskan enam jenderal, karena Ahmad Sukendro sedang berada di luar negeri dan AH. Nasution berhasil lolos.”


“Dan lolosnya Nasution, itu menjadi titik balik perlawanan terhadap G30S?”


“Betul, di sanalah skenario Tuhan berkehendak. PKI punya rencana, Tuhan juga punya rencana, dan akhirnya rencana Tuhan yang terbaik dan itu yang terjadi.” jawab Ahsan tajam. “Satu kegagalan menghabisi seorang Nasution, menjadi pukulan balik yang menghancurkan PKI.”


“Gak usah bawa-bawa Tuhan. Ini urusan politik!” kata Nathan sewot.


Ahsan tidak menanggapi, tetapi melanjutkan, “Abdul Haris Nasution adalah salah satu Jenderal TNI AD yang oleh dokumen CIA disebut sebagai Brain Trust, yaitu sekelompok jenderal pemikir di AD. Para Jenderal ini sering berseberangan dengan pemikiran Soekarno. Dalam masalah Komunis misalnya, para Jenderal ini memiliki pertanyaan besar, apakah AD bisa memberantas Komunis dengan Soekarno yang merasa keberatan? Demikian pula terkait aksi Ganyang Malaysia, sebagian jenderal terpaksa setuju pada perintah Soekarno untuk menyerang Malaysia. Namun, sebagian besar Jenderal TNI AD menolaknya. Mereka tak mau nyawa prajurit TNI AD digadaikan hanya untuk ambisi pribadi Soekarno. Apalagi dalam perang tersebut, ada upaya penyebaran faham komunisme oleh PKI dan menyokong Partai Komunis Malaysia. Para relawan yang disusupkan dalam perang itu, juga dipersenjatai dengan senjata kiriman dari negara komunis China, yang nantinya bakal diusulkan oleh DN Aidit untuk menjadi Angkatan Kelima.”


“Udah gak usah muter-muter. Trus, gimana caranya Nasution bisa memukul balik PKI? Itu yang kami mau tahu.” kata Nathan masih sewot. 


"Nasution berhasil lolos dengan luka di kakinya, dari tempat persembunyiannya, dia meraba-raba mengenai korps pasukan yang masih setia kepadanya. Berdasarkan pengalaman di masa perang kemerdekaan dan secara naluri militer, Nasution akhirnya memilih Mayjen Soeharto sebagai tempat perlindungannya. Apalagi informasi yang diperolehnya dari orang kepercayaannya, Soeharto merupakan jenderal yang masih teguh menunggu kepastian tentang keadaan dirinya. Akhirnya Jenderal Nasution memutuskan untuk menemui Soeharto di Markas Kostrad dengan segala resiko yang siap untuk dihadapinya.” terang Ahsan. “Di masa itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat (Kostrad) tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang. Namun, Soeharto dengan cerdik memanggil komandan RPKAD (Kopassus) Sarwo Edhie, dan meminta kesetiaannya dan pasukannya. Baru setelah memiliki pasukan dan kelengkapannya, Soeharto meminta Jenderal Nasution untuk datang ke Markas Kostrad. Di sinilah Jenderal Nasution kali pertama mendapat perawatan atas luka-lukanya, dan mulai melancarkan serangan balik. Sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, Nasution memberi perintah kepada Soeharto untuk mengambil alih komando TNI AD dan menjaga kesiagaan pasukan Angkatan Darat sembari menyusun serangan balasan. Sementara dari Halim, atas nama Dewan Revolusi, Soekarno menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat, menggantikan posisi Letjen Ahmad Yani. Mengetahui hal ini, Nasution segera mengamankan Pranoto di Markas Kostrad dan mem-briefingnya agar tidak menerima jabatan tersebut.”


Ahsan mengambil nafas sejenak. Dipo dan Nathan menunggu kelanjutan cerita Ahsan.


“Menyadari bahwa kekuatan AD yang dimilikinya saat itu hanya prajurit RPKAD dan sejumlah prajurit Kostrad sendiri, maka itu tidak cukup memadai. Nasution pun meminta bantuan Menteri Panglima Angkatan Laut, RE Martadinata, saat menjenguknya pada tanggal 2 Oktober 1965. Setelah mendengar penuturan Nasution, akhirnya RE Martadinata menyatakan bahwa TNI AL siap mendukung sepenuhnya langkah TNI AD untuk melawan Gerakan 30 Septenber.” kisah Ahsan. “Gabungan prajurit RPKAD dan TNI AL serta pasukan Kostrad yang seadanya, sukses memukul balik Gerakan 30 September dan memaksa Presiden Soekarno untuk pulang ke Istana dan membubarkan Dewan Revolusi. Saat itulah nama Jenderal Nasution berkibar di hati rakyat Indonesia. Namun sayang, di saat yang bersamaan, Nasution juga berduka atas kematian putrinya, Ade Irma Suryani yang meninggal pada tanggal 6 Oktober 1965 di RSPAD setelah menjalani operasi pengangkatan sisa peluru yang terakhir.”


“Lalu, setelah peristiwa G30S, Soeharto naik jabatan, khan?” ulas Dipo.


“Ya, dalam beberapa minggu pertama setelah G30S, Nasution terus menerus meloby Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani. Soekarno yang setelah 1 Oktober menginginkan Pranoto sebagai pimpinan Angkatan Darat dan ingin menunjuk Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib, akhirnya luluh menuruti keinginan Nasution.” jelas Ahsan. “Pada tanggal 14 Oktober 1965, Soeharto ditunjuk sebagai pimpinan Angkatan Darat dan secara resmi menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat pada 21 Februari 1966 saat pembentukan Kabinet Dwikora II atau yang dikenal sebagai Kabinet 100 Menteri.”


“Lalu posisi Nasution sendiri bagaimana?” tanya Dipo.


“Soekarno sebenarnya memahami karakter dan sepak terjang Nasution dan berencana untuk mengkebiri langkah Nasution dengan menawarkan posisi Wakil Presiden. Namun, Nasution cukup pintar dan cerdik. Melalui Soeharto, pada awal tahun 1966, Nasution mengeluarkan pernyataan bila Indonesia saat ini tidak ada kebutuhan untuk mengisi kursi Wakil Presiden yang kosong.” kata Ahsan. “Nasution dengan cerdik membidik posisi kursi Ketua MPRS. Tujuannya hanya satu, agar bisa menumbangkan Soekarno sehingga penderitaan rakyat Indonesia segera berakhir. Nasution melihat bahwa Soekarno telah diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup oleh MPRS, maka hanya MPRS saja yang dapat mencabut keputusan tersebut sekaligus melengserkannya. Dan pada Maret 1966, Nasution berhasil menjadi Ketua MPRS.”


“Maret 1966 itu bukannya ada Supersemar? Dan itu yang bikin Soeharto berkuasa.” tanya Dipo lagi.


“Ya, setelah Soeharto menerima Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) dari Soekarno, Nasution melihat dan menyadari bahwa Supersemar bukan hanya sekedar memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya sebagian kontrol eksekutif.” jelas Ahsan. “Nasution menyarankan kepada Soeharto bahwa ia berhak membentuk kabinet darurat untuk menggantikan kabinet yang pro kepada PKI. Soeharto sendiri berusaha berhati-hati dalam hal ini tentang apa yang dia bisa atau yang tidak bisa dia lakukan dengan kekuatan Supersemar, karena wewenang pembentukan kabinet adalah tanggung jawab presiden sepenuhnya. Disini Nasution mendorong Soeharto dan berjanji untuk memberikan dukungan penuh.”


“Soeharto mendengar arahan senior dan atasannya itu?” kejar Dipo.


“Dengan arahan dan dukungan Nasution itu, Soeharto semakin mantap. Dia mulai melakukan pembersihan kabinet dari unsur-unsur PKI.” tegas Ahsan. “Bahkan pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto menangkap Chaerul Saleh yang merupakan Ketua MPRS dan beberapa anggota MPRS yang pro PKI. Sebagai gantinya dibentuklah MPRS pengganti. Dari sinilah Nasution masuk menjadi anggota MPRS bersama Sukarni dan kawan kawan. MPRS yang baru pun segera bersidang dan secara aklamasi memilih Nasution sebagai Ketua MPRS yang baru. Namun, dengan dibubarkannya PKI dan underbow-nya, rakyat sudah merasa menang dan euforia. Rakyat kembali beraktivitas seperti biasa. Situasi negara sudah kembali kondusif. Nasution yang sudah menduduki kursi Ketua MPRS bagai sia-sia.”


“Iya dong, kalau memang situasi sudah kondusif, artinya Soekarno tidak akan jatuh khan?” ujar Nathan.


“Keadaan kondusif ini berjalan selama 2 bulan hingga akhir Mei 1966. Situasi kembali memanas saat tersebar kabar Soekarno akan mengawini gadis belia asal Kalimantan yang bernama Heldy DJafar. Gadis ini adalah isteri ke sembilan Soekarno, dan saat itu Soekarno berusia 65 tahun, sementara Heldy Djafar berusia 19 tahun.” terang Ahsan. “Perkawinan Soekarno dengan Heldy Djafar pada 11 Juni 1966 itu, seolah menyadarkan rakyat bila ternyata Soekarno memang tidak pernah memikirkan kepentingan dan kebutuhan rakyat, selain memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Rakyat kembali turun ke jalan. Kali ini tuntutan rakyat mengarah langsung kepada Soekarno. Tututan “Adili Soekarno”, “Mahmilubkan Soekarno”, “Turunkan Soekarno”, “Soekarno Gestapu Agung” dll tertulis dalam spanduk-spanduk yang digelar rakyat. Situasi negara kembali memanas. Situasi ini bagai menjadi amunisi bagi Nasution untuk menuntaskan cita-citanya.”


“Hmmm gitu ya ... jadi salah satu alasan Soekarno jatuh, karena perkawinannya.” Dipo berkata pelan sambil merenung.


“Pasca dilantik sebagai Ketua MPRS pada bulan Maret 1966, sebenarnya Nasution seperti kehilangan arah karena situasi yang sudah kondusif saat itu. Rakyat yang sudah merasa puas karena PKI sudah dibubarkan, sudah kembali beraktivitas dengan normal. Justru perkawinan Soekarno pada Juni 1966 dan gejolak yang timbul akibat perkawinan tersebut menjadi momen bagi Nasution untuk mempreteli kewenangan Presiden Soekarno melalui Sidang Umum MPRS yang kemudian digelar pada 21 Juni sampai 5 Juli 1966.” jelas Ahsan. “Sebagai mandataris rakyat, Nasution menampung aspirasi rakyat di MPRS. Dan di sinilah kecerdikan seorang Nasution, pada 21 Juni 1966, MPRS meratifikasi Supersemar. Dengan keputusan ini berarti Soekarno tidak dapat dan dilarang menarik kembali SP 11 Maret. Pada 22 Juni 1966, Soekarno mencoba melawan dengan menyampaikan pidato yang berjudul Nawaksara (Sembilan Butir Suara). Namun Nasution seolah bergeming bahwa Supersemar tidak boleh lagi dicabut atau ditarik kembali karena sudah diambil alih oleh MPRS sebagai pemegang mandat tertinggi.”


“Berarti pertarungan jatuh atau tidaknya Soekarno itu, di SU MPRS IV tahun 1966 itu ya, San? Dan pemegang kendalinya Nasution, bukan Soeharto.” ujar Dipo mulai menangkap.


“Ya, selama dua minggu itu, Nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS. Di bawah kepemimpinannya, MPRS mengambil beberapa langkah penting melalui 24 Ketetapannya seperti mencabut pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, mengeluarkan TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 tentang pelarangan faham Marxisme-Leninisme, pembubaran PKI, dan juga memerintahkan pemilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968.” lugas Ahsan menyampaikan. 


“Apakah ada ketetapan MPRS yang juga terkait dengan Soeharto?” tanya Nathan.


“Sidang MPRS IV itu juga meningkatkan kekuasaan Soeharto dan secara resmi memerintahkan Soeharto untuk merumuskan kabinet baru.” kata Ahsan. “Sebuah keputusan juga disahkan, yang menyatakan bahwa bila presiden berhalangan dan tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka presiden akan digantikan oleh pemegang mandat Supersemar, bukan Wakil Presiden karena jabatan Wakil Presiden kosong. Inilah kenapa Nasution dulu menolak ditawari kursi Wakil Presiden. Dengan menjadi ketua MPRS, Nasution bisa menumbangkan Soekarno secara konstitusional.”


“Tapi, Soekarno sebagai politisi ulung, tentu tidak tinggal diam dan pasti melakukan perlawanan khan, San?” sambung Dipo.


“Soekarno, merasa bila Supersemar telah dijadikan alat untuk melawannya, maka dia pun berusaha melawan. Pada HUT RI ke-21 tahun 1966, dalam pidatonya yang diberi judul Jasmerah, Soekarno berusaha menarik simpatik rakyat dengan menyebut bila SP 11 Maret sebagai sebuah surat perintah biasa, yang dapat diberikan kepada siapa saja. Soekarno juga berusaha mendikte (melecehkan) langkah-langkah yang telah dilakukan MPRS.” jawab Ahsan. “Pada kesempatan itu, Soekarno mengucapkan terima kasih kepada Soeharto yang telah menjalankan perintah yang diamanatkan SP 11 Maret. Beberapa kalangan menilai, pidato Soekarno ini seolah ingin membenturkan Soeharto dengan Nasution yang merupakan Ketua MPRS. Di satu sisi Soekarno menilai negatif langkah-langkah yang dilakukan Nasution lewat MPRS, dan di sisi lain memuji Soeharto yang telah menjalankan perintahnya.”


“Waahh pasti alot dan panas pertarungannya saat itu ya.” kata Dipo membayangkan.


“Soeharto sendiri sikapnya bagaimana, San? Dia gak ikut SU MPRS, khan?” tanya Nathan.


“Sikap Soeharto sendiri masih berbelas kasih kepada Soekarno, seperti membelanya di hadapan demostran rakyat. Tapi, tidak demikian dengan Nasution. Bagi Nasution, Soekarno harus segera dilengserkan dan diganti. Pada sidang MPRS tersebut, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan rakyat Indonesia saat itu. Nasution juga menyerukan agar Soekarno segera dibawa ke pengadilan.” jawab Ahsan. “Soekarno sendiri semakin defensif dan popularitasnya di kalangan rakyat Indonesia semakin menurun. Kemudian, pada 10 Januari 1967 Soekarno memenuhi permintaan MPRS untuk melengkapi pidato pertanggungjawabannya yang dia beri judul Pelengkap Nawaksara.”


“Isinya apa?” tanya Nathan.


“Walau dalam keadaan terpojok dengan dukungan yang kian melemah, namun kelicikan Soekarno seolah tidak pernah pudar. Pada salah satu poin “Pelengkap Nawaksara”, Soekarno menyatakan, jika dirinya (Soekarno) disalahkan atas peristiwa G30S, maka Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu (Nasution) juga harus dipersalahkan karena tidak mampu melihat dan mendeteksi akan terjadinya peristiwa G30S dan menghentikannya sebelum itu terjadi.” jelas Ahsan. “Poin ini jelas seperti ingin menjebak dan menjerat Nasution menjadi orang yang patut dipersalahkan juga. Tentu saja laporan pertanggung jawaban ini kembali ditolak mentah-mentah oleh MPRS yang dibawah kendali Nasution. Bahkan pada tanggal 13 Februari 1967. Nasution menyerang balik dengan mempertanyakan maksud ucapan Soekarno tentang “Dalam Sebuah Revolusi, Kadang Seorang Bapak Harus Memakan Anaknya Sendiri”. Pertanyaan ini tidak pernah mampu dijawab Soekarno hingga akhir hayatnya.”


“Dan akhirnya Soekarno tumbang oleh MPRS?” simpul Dipo.


“Ya, DPR-GR melalui resolusi dan memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai "Nawaksara" beserta Pelengkapnya, berpendapat bahwa "Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila". Dalam kaitan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS.” kata Ahsan. “Maka, pada tanggal 12 Maret 1967, secara resmi MPRS mencabut mandat kekuasaan dari Soekarno dan mengangkat pemegang mandat Supersemar (Soeharto) sebagai Plt Presiden sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966.”


“Soekarno menyerah?”


“Soekarno tampaknya sudah pasrah dengan nasibnya. Nasution kemudian mengambil sumpah Soeharto dan melantiknya sebagai Pejabat Presiden. Setahun kemudian pada 27 Maret 1968, Nasution kembali memimpin Sidang MPRS dan melakukan pemilihan presiden. Secara aklamasi anggota MPRS memilih dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, yang kemudian dia berkuasa hingga 21 Mei 1998 sebelum dipaksa mundur oleh Gerakan Reformasi.” pungkas Ahsan. “Jadi, dengan kronologi seperti itu, siapakah master mind kejatuhan Soekarno? Nasution atau Soeharto?”


Dipo dan Nathan tidak berminat menjawab, justru bertanya, “Setelah berhasil menumbangkan Soekarno dari tampuk kekuasaannya, apa yang kemudian dilakukan Nasution?”


“Setelah kemenangannya menumbangkan Kediktatoran Soekarno, Nasution secara perlahan menarik diri dari urusan politik di era Presiden Soeharto. Baginya, perjuanganna telah usai. Perjuangannya untuk membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman kediktatoran Soekarno telah tercapai. Namun sayang, perjuangannya untuk menuntut balas kematian putri bungsunya seolah mendapat jalan buntu. Soeharto yang diyakini dan dipercayainya untuk segera mengadili Soekarno ternyata tidak pernah menjalankan perintah TAP MPRS nomor 33 tahun 1967.” jelas Ahsan. “Sampai Soekarno meninggal dunia, Soeharto tidak pernah sekalipun berusaha menyeretnya ke depan sidang pengadilan untuk diadili. Bahkan sebagai bentuk penghormatan, pada tahun 1986 Soeharto memberi gelar Pahlawan Proklamasi kepada Soekarno-Hatta, mendirikan Tugu Proklamasi untuk menghormatinya, menyematkan nama Soekarno-Hatta pada nama Bandara Internasional Indonesia, dan terakhir, Soeharto menyematkan foto Soekarno-Hatta pada lembaran uang kertas Rp.100.000,-. Sementara, Nasution sendiri, bersama Soedirman dan Soeharto, menerima pangkat kehormatan sebagai Jenderal Besar (Bintang Lima). Pangkat tertinggi dalam kemiliteran, dan beliau meninggal dunia pada 6 September 2000 pada umur 82 tahun.”


“Berarti memang master mind penumpasan gerakan PKI dan penggulingan Soekarno itu, Abdul Haris Nasution, ya.” simpul Dipo. “Tapi kemudian, Soeharto yang memetik keuntungannya.”


“Gue masih mengganjal nich, San.” kata Nathan. “Kalo memang PKI itu udah berkuasa dan Soekarno ada di pihaknya, kenapa dia harus melakukan kudeta?”


“Dia bukan mengkudeta Soekarno, tapi dia mengkudeta Pimpinan Tinggi Angkatan Darat. Kenapa?” tanya Ahsan retoris. “Karena, hanya tinggal TNI AD yang menjadi ganjalan PKI mewujudkan cita-citanya. Seluruh kekuatan bangsa sudah ditaklukkannya. Partai Masyumi dan PSI sudah dibubarkannya, ulama dan tokoh politik sudah dipenjarakannya, koran dan media propaganda sudah dikuasainya, Buruh Tani Nelayan melalui BTI sudah dalam genggamannya, aktivis kebudayaan sudah didominasi Lekra, kaum wanita tidak ada yang berani melawan Gerwani, mahasiswa diprovokasi dan diintimidasi oleh CGMI menuntut pembubaran HMI, bahkan Angkatan Kelima di luar AD, AL, AU dan Polri, minta dibentuk dan dipersenjatai yang akan menjadi kekuatan sayap militer mereka. Jadi, tinggal selangkah lagi gerak mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Komunis, bagian dari komunis global. Dan seperti yang kita ketahui, PKI, Partai Komunis Indonesia. adalah partai komunis terbesar di dunia saat itu, di luar Uni Soviet dan China. Tapi, syukurlah Tuhan melindungi bangsa Indonesia. Di titik akhir, Tuhan selamatkan Nasution dari penculikan dan pembantaian mereka, lalu Nasution memukul balik dan menghancurkan PKI dan Komunisme di Indonesia.”


“Bagaimana dengan campur tangan asing? Dalam hal ini keterlibatan CIA Amerika, pasti ada khan?” tanya Nathan lagi.


“Pasti ada, dan bukan hanya CIA.“ jawab Ahsan. “Masa itu adalah puncak dari Perang Dingin antar dua negara adidaya, Amerika dan Uni Soviet beserta sekutu-sekutunya. Otomatis tak ada satu pun negara di dunia ini yang lepas dari pengaruh mereka. Dua negara pengusung ideologi Kapitalis dan Komunis itu, akan selalu ikut campur dan mendukung tokoh lokal yang sesuai dengan ideologi mereka. Mereka hanya mendukung, tapi _master mind_ pertarungan tetap tokoh lokal, dalam hal ini, Nasution.”


“Dan faktor Soekarnonya sendiri yang terlalu percaya diri dan tidak sensitif dengan perasaan rakyat Indonesia. Di saat bangsa sedang kalut dan berduka, tapi justru dia sebagai presiden malah mengawini gadis muda belia.” kata Dipo menambahkan.


“Kalau sekarang ini, Komunis berkuasa lagi seperti dulu, kira-kira siapa yang akan menjadi Nasution-nya ya, San?” tanya Dipo


“KITA lah....WAJIB itu....bukan kaleng kaleng” jawab Ahsan 


***


“Kalau ada anak muda baca Manifesto Komunis, belajar Marxisme-Leninisme, lantas TIDAK tertarik dengan faham komunis PKI,.... maka dia anak muda CERDAS DAN SHOLEH. Tapi kalau sudah mendalami Marxisme-Leninisme, sampai tua masih tetap komunis, maka dia AHLI  MINNA  NAAR........'


Are you ready gaes,......siap bergerak melenyapkan komunis PKI, Liberal, Syiah dan kapitalis.....???


*SIAP KOMANDAN*💪💪💪