Friday, August 20, 2010

Ketimpangan Hukum Antara Ustadz Baasyir Dan Pezina Ariel Peterpan

Ketimpangan Hukum Antara Ustadz Baasyir Dan Pezina Ariel Peterpan
Sobat muda, masih ingatkah kamu dengan kasus video porno tiga artis yaitu Ariel, Luna Maya dan Cut Tari? Yupz, tiga orang ini adalah pelaku pornoaksi yang efeknya langsung terasa yaitu perkosaan semakin meningkat setelah pelaku menonton video mesum ini. Tak tanggung-tanggung, pelakunya adalah anak di bawah umur sedangkan korbannya adalah gadis cilik di bawah umur pula. Sedikitnya 35 kasus yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak. Ini yang tereskpos. Berapa banyak kasus yang tidak dilaporkan dan menjadi bara dalam sekam dalam merusak moral generasi muda kita?
Coba kamu bandingkan dengan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir. Belum ada bukti nyata nan kuat, namun ulama yang sudah tua renta ini malah diperlakukan bak penjahat kelas kakap. Tim penangkap memakai penutup muka lengkap yang hanya kelihatan kedua mata saja. Senjata tertodong seolah-olah korban adalah sosok yang sangat berbahaya. Ustadz Ba’asyir dan teman-temannya diperlakukan sedemikian menghinakan. Masyarakat pun bertanya-tanya, ada apa ini?
Ya, ada apa ini? Awal-awal Ramadhan, umat Islam Indonesia diberi ‘surprise’ pahit oleh kepolisian. Seorang ulama yang sudah sepuh ditangkap lagi, masih dengan alasan yang sama. GeJe alias gak jelas. Alasannya sih nanti di pengadilan saja digelar bukti-bukti yang mengarah Baasyir dituduh menyuport dan mendanai terorisme Aceh. Sikap ini seolah-olah menganggap masyarakat Indonesia bodoh dan mudah dibodohi oleh pihak yang berwajib.
Kasus yang lalu saja masih segar dalam ingatan bahwa penangkapan Ba’asyir sangat kental sekadar memenuhi pesanan sang majikan yaitu Amerika. Beberapa kali sidang pengadilan digelar namun tak ada satu bukti pun bisa menjerat Ba’asyir. Akhirnya ujung-ujungnya dalih pemalsuan dokumen dijadikan alasan. Kalau sekadar pemalsuan dokumen, masa iya sih perlu penangkapan memakai todongan popor senjata segala? Padahal banyak tuh warga negara lain yang memalsukan dokumen juga aman-aman saja tak bisa disentuh hukum sama sekali.
…penangkapan Ba’asyir sangat kental sekadar memenuhi pesanan sang majikan yaitu Amerika…
Mengapa pula hal ini penting untuk diketahui oleh kamu para remaja? Hal ini penting untuk dibahas agar kamu semua nyadar bahwa negeri yang kita cintai ini sedang dalam kondisi terjajah. Di tengah nuansa persiapan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus yang akan datang, ternyata kita ini masih masuk kategori negara yang belum merdeka. At least, kepastian dan kemerdekaan hukum masih mahal harganya di sini.
Ariel, Luna Maya dan Cut Tari yang mempopulerkan nama bangsa secara negatif hingga ke luar negeri sana, tak segera diselesaikan secara hukum kasusnya. Bahkan muncul banyak pembela kemesuman mereka dengan dalih HAM. Mereka lupa bahwa HAM yang mereka agung-agungkan itu telah memakan korban dan menodai banyak gadis cilik berusia di bawah 10 tahun. Andai anak mereka sendiri yang mengalami hal tersebut, apa iya HAM masih didengungkan?
Pihak kepolisian menyatakan bahwa penangkapan Ba’asyir demi untuk mengamankan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Pernah nggak kepolisian bertindak cepat menangkap Ariel, Luna Maya dan Cut Tari dengan alasan yang sama? Bukankah tindakan tiga orang ini sudah sangat meresahkan masyarakat sehingga perlu diamankan untuk kepentingan bersama? Tapi mana buktinya?
…Pernah nggak kepolisian bertindak cepat menangkap Ariel, Luna Maya dan Cut Tari dengan alasan yang sama? Bukankah tindakan tiga orang ini sudah sangat meresahkan masyarakat sehingga perlu diamankan untuk kepentingan bersama?...
Ariel tidak ditangkap tapi dia datang sendiri ke Mabes Polri menyerahkan diri. Entah siapa pula yang menyuruh dia untuk mengambil langkah tersebut. Ditengarai ada pihak-pihak tertentu yang mendesak Ariel menyerahkan diri setelah Presiden SBY turut campur berkomentar tentang videonya tersebut. Luna Maya bagaimana? Dia masih lenggang kangkung menghadiri pernikahan salah satu teman artis tanpa rasa malu sedikit pun tampil di depan umum. Meskipun untuk Cut Tari, lumayan terpukul dengan kasus video mesum tersebut. Ya iyalah, statusnya kan sebagai seorang istri. Bila syariat Islam diterapkan atas dirinya, hukum rajam hingga mati adalah solusinya.
Di sini jelas, ketimpangan hukum diberlakukan atas keduanya alias berat sebelah. Di satu sisi hukum berpihak pada Ariel sang artis dengan jutaan penggemar, di sisi lain Ba’asyir terzalimi hanya karena ia berdakwah dan membela Islam. Membela sebuah keyakinan yang katanya dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia. Tapi nyatanya, mayoritas penduduk Indonesia yang katanya muslim itu malah lebih membela Ariel si Peterporn daripada Ba’asyir. Begitu juga sikap kepolisian dalam dua kasus yang berbeda ini. Namun yakinlah, kebenaran itu akan tampak sebagaimana kepolisian telah malu hati untuk penangkapan sebelumnya ketika bukti itu tak juga bisa dihadirkan di pengadilan. Maka, makar siapakah yang lebih baik? Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik pembuat makar. Kita tunggu dan lihat saja perkembangan kasus ini selanjutnya. Wallahu ‘alam. [riafariana/voa-islam.com]
sumber : http://voa-islam.com/teenage/young-spirit/2010/08/16/9234/ketimpangan-hukum-antara-ustadz-baasyir-dan-pezina-ariel-peterpan/

Bila Shaum Menjadi Benteng Individu Kita, Dimana Khilafah yang Menjadi Benteng Umat ?

Bila Shaum Menjadi Benteng Individu Kita, Dimana Khilafah yang Menjadi Benteng Umat ?
Suatu waktu Rasulullah SAW bersabda: “Shaum itu adalah benteng (junnah). Maka, orang yang sedang shaum hendaknya tidak berkata jorok dan tidak bertindak bodoh. Apabila ada pihak yang memeranginya atau mengejeknya, maka katakanlah kepadanya ‘Aku sedang berpuasa!’ (beliau mengulanginya dua kali)” (HR. Bukhari, Muslim). Ada hal amat menarik dalam hadits ini. Shaum disebut sebagai junnah atau benteng. Junnah artinya penjaga (wiqoyah) dan penutup (satrah) dari terjerumusnya seseorang kedalam kemaksiatan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka. Juga, junnah bermakna penjaga dari neraka karena menahan syahwat (al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, Juz II, hal. 670).
Hal ini menegaskan bahwa shaum (puasa) merupakan benteng yang sifatnya individual. Shaum menjadi penawar terhadap nafsu dan syahwat pribadi dan berujung pada penjagaan kemaksiatan secara individual. Perkara tersebut menjadi lebih jelas ketika kita memperhatikan penuturan Abdullah bin Mas’ud. Dahulu kala, beliau berjalan bersama dengan Rasulullah SAW. Pada saat berjalan bersama-sama itu, Nabi bersabda: “Barangsiapa yang sudah mampu, hendaklah dia kawin (menikah) karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak sanggup (menikah) maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi benteng (wijaun) baginya” (HR. Bukhari). Hadits ini mengisyaratkan puasa sebagai benteng ‘nafsu dan syahwat individual’. Karenanya, dapat dipahami bahwa shaum memang merupakan benteng individual.
Bila shaum merupakan benteng individual maka hal-hal yang merusak masyarakat, tentu, tidak dapat dicegah dan dijaga oleh semata-mata shaum. Namanya juga individual hanya akan dapat menuntaskan perkara yang sifatnya juga individual. Karenanya dapat dipahami mengapa kristenisasi masih terjadi, aliran sesat terus dibiarkan, peredaran video mesum tak terbendung, harta kekayaan rakyat terus digasak pejabat dan dijual kepada asing, korupsi para pejabat tambah menggila, stigma Islam dengan terorisme tak berhenti, pemutar balikan Islam ala liberal makin dilegalisasi. Adalah kurang relevan bila untuk melindungi umat dari semua itu sekedar mengandalkan shaum yang sifatnya individual.
Islam memang agama paripurna. Allah SWT bukan hanya mensyariatkan shaum sebagai benteng individual, melainkan juga mensyariatkan kepemimpinan umat (imamah, khilafah) sebagai benteng masyarakat secara keseluruhan. Berkaitan dengan masalah ini, Junjungan kita Muhammad SAW bersabda: “Dan sesungguhnya imam adalah laksana benteng (junnah), dimana orang-orang akan berperang mengikutinya dan berlindung dengannya. Maka jika dia memerintah dengan berlandaskan taqwa kepada Allah dan keadilan, maka dia akan mendapatkan pahala. Namun jika dia berkata sebaliknya maka dia akan menanggung dosa” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari berbagai kitab hadits maupun syarahnya dapat dipahami bahwa istilah imam maksudnya sama dengan khilafah. Menurut Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhariy, imam disini maknanya pemerintah tertinggi yang mengurusi urusan umat. Dengan menjadi benteng, imam mencegah musuh menyakiti kaum Muslim dan mencegah masyarakat saling menyakiti satu sama lain (al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, Juz III, hal. 1080). Sementara itu, meminjam penjelasan Imam as-Suyuthi, imam sebagai benteng berarti imam sebagai pelindung sehingga dapat mencegah musuh menyakiti kaum Muslim dan mencegah masyarakat saling menyakiti satu sama lain. Juga, memelihara kekayaan Islam. Kaum Muslim bersama dengan imam tersebut memerangi kaum kafir, pembangkang dan penentang kekuasaan Islam, dan semua pelaku kerusakan. Imam melindungi umat dari seluruh keburukan musuh, pelaku kerusakan, dan kezhaliman (ad-Dibaj Syarhu Shahih Muslim bin al-Hujaj, Juz IV, hal. 454; Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, Juz XII, hal. 230).
Kenyataan bahwa imam/khalifah sebagai benteng kaum Muslim ini dicatat dengan baik dalam sejarah Islam. Sekedar contoh, ketika Islam diterapkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (rh), pendapatan Negara surplus hingga tak ada seorang pun yang berhak mendapatkan zakat. Rakyat betul-betul tersejahterakan. Dulu pernah ada tentara Romawi melecehkan perempuan dengan menarik jilbabnya, segeralah Khalifah Mu’tashim mengerahkan pasukan untuk melindungi keamanan dan kehormatan perempuan itu. Berbeda dengan itu, perempuan Islam sekarang nyawanya saja tidak dihargai. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penjajahan AS di Afghanistan telah membunuh 2 juta perempuan muslimah, sementara sebanyak 744.000 perempuan Muslim di Irak tewas. Saat Islam diterapkan, kehormatan perempuan dijaga dengan sebaik-baiknya.
Nyatalah, kita perlu dua benteng. Shaum sebagai benteng individual, dan yang tak kalah pentingnya adalah khalifah sebagai benteng umat Islam secara keseluruhan. Karenanya, benteng individual yang diraih pada bulan Ramadhan selayaknya dijadikan modal untuk mewujudkan kekhilafahan sebagai benteng umat Islam dalam kehidupan. Insya Allah.[MR Kurnia]
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/17/bila-shaum-menjadi-benteng-individu-kita-dimana-khilafah-yang-menjadi-benteng-umat/

Seruan Toleransi dan Pluralisme yang Menyesatkan !

Seruan Toleransi dan Pluralisme yang Menyesatkan !
Kalaulah menjalankan syariah Islam yang kaffah (menyeluruh) dianggap hak umat Islam Indonesia yang mayoritas , justru pemerintah yang didukung oleh elit minoritas liberal-sekuler telah menghambat hak utama umat Islam ini.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan perlunya toleransi keagamaan sementara meningkatnya seruan kepadanya agar mengambil tindakan tegas terhadap golongan Islam radikal, yang terus menyerang golongan minoritas. Dalam pesan kemerdekaannya, Presiden SBY menekankan perlunya toleransi keagamaan sementara meningkatnya seruan kepadanya agar mengambil tindakan tegas terhadap golongan Islam radikal, yang terus menyerang golongan minoritas.

Dalam pidato penting di depan parlemen pada malam menjelang Peringatan HUT Kemerdekaan RI, Presiden SBY menyerukan kepada rakyat Indonesia agar menghayati kehidupan harmonis sejati dalam masyarakat pluralistis.SBY menghendaki pembangunan kehidupan demokratis dan adil dan menekankan perlunya memelihara dan memperkuat persaudaraan, harmoni dan toleransi sebagai bangsa.(VOA ; Senin, 16 Agustus 2010)
Sehari sebelumnya, ribuan orang dari Jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Wahid Institut, dan elemen organisasi masyarakat lain berunjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Ahad (15/8). Mereka menagih janji pemerintah tentang kebebasan beragama.

Tampak sebuah gerakan yang sistematis belakangan ini yang membangun opini bahwa di Indonesia tidak ada kebebasan beragama, golongan Islam radikal menyerang golongan minoritas, gereja dibakar, gereja dirubuhkan . Opini kemudian disertai dengan pernyataan bahwa pluralism di Indonesia terancam, Pancasila terancam, dan berujung pada NKRI terancam. Siapa yang mengancam ? Kelompok-kelompok Islam radikal yang memperjuangkan syariah.
Jelas ada penyesatan politik luar biasa dibalik ini semua. Benarkah di Indonesia tidak ada kebebasan beragama ? Benarkah di Indonesia pembangunan gereja terhambat ? Kenyataannya tidaklah seperti itu. Menurut Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Atho Mudzhar pertumbuhan tempat ibadah yang terjadi sejak 1977 hingga 2004 justru meningkat. Pertumbuhan rumah ibadah Kristen justru lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam, pada periode itu meningkat 64,22 persen, Kristen Protestan 131,38 persen, Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen (Republika: 18 Februari 2006)

Laporan Majalah Time juga berbicara lain, dalam tulisan yang berjudul Christianity’s Surge in Indonesia (http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,1982223,00.html) majalah itu menunjukkan gelora peribadahan pemeluk kristen di Indonesia. “Banyak yang mengira Indonesia adalah sebuah negeri Muslim, tetapi lihatlah orang-orang ini ” kata pendeta David Nugroho. Dia membanggakan jemaat gerejanya yang berkembang , sekarang berjumlah 400 orang , naik dari 30 orang saat didirikan pada tahun 1967. “Kami tidak takut untuk menunjukkan iman kami .”,ujar Pendeta David
Dalam laporan yang ditulis Hannach Beech (26/04/2010) itu gelora pertumbuhan kristen di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ledakan penganut kristen di Asia. Jumlah umat Kristen Asia meledak menjadi 351 juta pengikut pada tahun 2005, naik dari 101 juta di tahun 1970 (merujuk kepada the Pew Forum on Religion and Public Life yang berbasis Washington, D.C. )
Masih menurut laporan TIME, sensus penduduk tahun 2000 jumlah penduduk kristen hanya 10% dari penduduk Indonesia. Sesuatu yang tidak dipercaya oleh pemimpin-pemimpin kristiani. Bukti sederhananya, di Tamenggung pada tahun 1960 tidak ada gereja Evangelical sama sekali. Namun sekarang terdapat lebih dari 40 gereja Evangelical.
Di ibukota Jakarta sekarang dibangun‘megachurches’ gereja megah yang baru, seperti layaknya Texas (yang dikenal banyak terdapat gereja) dengan menara yang menjulang tinggi ke langit .Penganut kristen lain ramai-ramai beribadah di gereja-gereja tidak resmi di hotel-hotel dan mall , bersaing dengan para pengunjung yang meningkat di akhir pekan. Patung Yesus Kristus tertinggi dibangun pada tahun 2007, di kota Manado di Indonesia timur. Sementara TV kabel Indonesia menyiarkan chanel yang mendakwahkan Kristen 24-jam terus menerus.
Melarang Beribadah ?
Disamping itu tentu sangat keliru menyimpulkan ketika pembangunan sebuah gereja dihambat berarti tidak ada kebebasan beragama. Umat Islam selama ini tidaklah mempersoalan hak umat Kristen untuk beribadah. Ajaran Islam juga memberikan hak kepada agama lain seperti Kristen untuk beribadah sebebas-bebasnya. Islam melarang pemaksaan untuk memeluk ajaran Islam apalagi menghancurkan tempat-tempat ibadah umat non muslim. Dalam sejarah Khilafah Islam , umat kristen hidup berdampngan secara harmonis dibawah naungan syariah Islam.

Yang dipersoalkan umat Islam selama ini adalah pembangunan gereja yang melanggar aturan. Seperti membangun gereja di tempat pemukiman yang mayoritas muslim sementara yang beragama kristen disana sedikit. Apalagi sudah banyak terjadi gereja dijadikan basis kristenisasi untuk memurtadkan penduduk sekitar yang muslim.
Dalam kasus Bekasi yang kemudian menjadi pemicu unjukrasa bentrok diawali ketika pihak kristen menggunakan mempergunakan tempat yang semestinya tidak diperuntukkan bagi peribadahan. Pantas warga di sekitarnya tak berkenan. Karenanya rumah ibadah itu kemudian disegel oleh Pemkot Bekasi.Jemaat tersebut mengadakan ibadah di lahan kosong seluas 2.300 meter persegi di kawasan Pondok Timur Indah, Bekasi, pada Ahad (8/8/2010). Warga sekitar pun tak berkenan. Mereka membubarkan acara tersebut. Wargapun diprovokasi hingga menyebabkan bentrok.
Pemerintah Kota Bekasi sudah menyiapkan tempat gedung untuk ibadah. Tapi para jemaat sendiri yang menolak. Di Bekasi sendiri berdiri tiga bangunan ilegal yang dijadikan sebagai tempat ibadah. Di antaranya, Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Kecamatan Mustika Sari, Gereja Gelilea Galaxi di Kecamatan Bekasi Selatan, Gereja Vila Indah Permai (VIP) di Kecamatan Bekasi Utara.Rencana pendirian gereja juga seringkali dengan cara menipu warga.
Panitia pembanguna Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor memalsukan tandangan tangan warga. Anehnya IMB keluar padahal tidakada satu wargapun yang menandatanganinya. Padahal berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri pembangunan fasilitas sosial wajib memiliki 60 hingga 90 tanda tangan warga.
Cerita lain, pada November 2009 Satuan Polisi Pamong Praja membongkar lima gereja di Desa Bencongan, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang. Lima bangunan gereja yang dibongkar adalah Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Huria Gereja Batak Protestan (HKBP), Gereja Pantekosta Haleluya Indonesia (GPHI), Gereja Bethel Indonesia (GBI) dan Gereja Pantekosta Indonesia (GPI). Mengapa gereja-gereja itu dibongkar? Berdasarkan keterangan pejabat setempat, pembangunan lima gereja yang berdiri di lahan seluas 110 hektar milik Sekretariat Negara (Sekneg) itu menyalahi aturan karena tidak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Sebelumnya, tiga kali peringatan sudah dikeluarkan Pemda Tangerang, namun pihak Kristiani tetap tak peduli.

Penyesatan Politik Sistematis
Fakta-fakta seperti ini sering tidak diungkap, jadi memang ada kesengajaan untuk membangun opini bahwa di Indonesia tidak ada kebebasan beragama. Di sisi lain, sangat jarang diblow-up oleh media massa terutama media internasional, bagaimana sulitnya umat Islam mendirikan masjid di tempat-tempat yang mayoritas penduduknya non muslim seperti di daerah Papua, Bali, atau Timor Timur (saat masih bergabung dengan Indonesia).

Isu pembangunan gereja ini kemudian dipolitisasi oleh kelompok-kelompok liberal untuk mengkampanyekan ide sesat mereka tentang pluralisme oleh sudah difatwakan haram oleh MUI. Alasan melindungi pluralisme inilah yang digunakan untuk membenarkan kelompok-kelompok sesat yang menyimpang dari Islam. Disisi lain menuntut ormas-ormas Islam yang mereka cap radikal dibubarkan. Alasan menjaga Pluralisme juga digunakan membenarkan pembangunan gereja-gereja tanpa izin . Dengan alasan pluralisme ini digunakan oleh pihak kristen untuk membenarkan kegiatan misionaris mereka memurtadkan umat Islam. Semua ini menunjukkan memang ide pluralisme sangat berbahaya bagi umat Islam.
Pihak Kristen sendiri sudah sejak lama menolak larangan menyebarkan agama kristen pada umat lain termasuk umat Islam. Beberapa tokoh Islam seperti H.M. Rasjidi dan M. Natsir pernah mengusulkan agar pemerintahmembuat peraturan yang pada intinya melarang penyiaran agama lain kepada orang yang sudah beragama tertentu. Namun kalangan Kristen seperti T.B. Simatupang menentang usul itu, karena menurut mereka hal itu bertentangan dengan sifat-dasar agama Kristen sebagai agama misioner, maupun dengan kebebasan beragama (termasuk beralih agama) yang dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (HAM) maupun Undang-Undang Dasar 1945 (Jan S Aritonang; interfidei.or.id/pdf/DS19113)
Tidak hanya itu, isu pembangunan gereja ini juga digunakan kelompok sekuler liberal untuk melakukan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok Islam yang mereka cap radikal dan ingin menegakkan syariah Islam. Tidak heran kalau mereka yang selama ini memang getol menyerang syariah Islam seperti orang-orang yang tergabung dalam Wahid Institute dan Jaringan Islam Liberal (JIL) sangat aktif berperan .
Logika minoritas yang ditindas oleh mayoritas juga sangat menyesatkan. Umat Islam memang mayoritas dari segi jumlah , namun umat Islam di Indonesia justru menjadi korban dari elit-elit minoritas sekuler baik secara ekonomi maupun politik. Dengan kebijakan kapitalisme elit-elit minoritas ini menyengsarakan rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Kalau kita jujur, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dengan kebijakan kapatalis-Liberal ini ? Jelas bukan mayoritas umat Islam.
Kita juga mempertanyakan , kenapa kelompok liberal-sekuler yang mengklaim mendukung HAM diam seribu bahasa saat terjadi pembantaian terhadap umat Islam Palestina, Irak dan Afghanistan, termasuk diam terhadap pembantaian umat Islam di Ambon dan Poso. Mereka juga diam terhadap ketika Aktifis-aktifis dan ulama umat Islam juga diperlakukan semena-mena atas nama perang melawan terorisme ala Amerika. Terakhir, kita ingin mengatakan kalaulah menjalankan syariah Islam yang kaffah (menyeluruh) dianggap hak umat Islam Indonesia yang mayoritas , justru pemerintah yang didukung oleh elit minoritas liberal-sekuler telah menghambat hak utama mayoritas umat Islam ini. (Farid Wadjdi)
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/17/seruan-toleransi-dan-pluralisme-yang-menyesatkan/

Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Hukum Mengucapkan Selamat Natal
bersama Ustadz Sigit Pranowo, Lc. al-Hafidz
Assalamu'alaikum Pa Ustadz

Saya ingin bertanya bagaimana hukumnya dalam Islam mengucapkan selamat natal. Apakah haram hukumnya? Bagaimana bila alasannya ingin menjaga hubungan baik dgn teman-teman ataupun relasi? Terima kasih untuk jawabannya.

Pertanyaan kedua, bagaimana hukumnya seorang pegawai supermarket yang diminta atasan untuk mengenakan topi sinterklaus dalam rangka memeriahkan natal.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
De
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Perbedaan Pendapat tentang Mengucapkan Selamat Natal
Diantara tema yang mengandung perdebatan setiap tahunnya adalah ucapan selamat Hari Natal. Para ulama kontemporer berbeda pendapat didalam penentuan hukum fiqihnya antara yang mendukung ucapan selamat dengan yang menentangnya. Kedua kelompok ini bersandar kepada sejumlah dalil.
Meskipun pengucapan selamat hari natal ini sebagiannya masuk didalam wilayah aqidah namun ia memiliki hukum fiqih yang bersandar kepada pemahaman yang mendalam, penelaahan yang rinci terhadap berbagai nash-nash syar’i.
Ada dua pendapat didalam permasalahan ini :
1. Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin—semoga Allah merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meredhoi adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya didalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan.
Diantara bentuk-bentuk tasyabbuh :
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.
Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim didalam menyerupai perayaan hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus didalam ibadah mereka.

2. Jumhur ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Hari Natal.
Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman Allah swt :Artinya :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Terlebih lagi jika mereka mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah swt :
وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا ﴿٨٦﴾
Artinya :# “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An Nisaa : 86)
Lembaga Riset dan Fatwa Eropa juga membolehkan pengucapan selamat ini jika mereka bukan termasuk orang-orang yang memerangi kaum muslimin khususnya dalam keadaan dimana kaum muslimin minoritas seperti di Barat. Setelah memaparkan berbagai dalil, Lembaga ini memberikan kesimpulan sebagai berikut : Tidak dilarang bagi seorang muslim atau Markaz Islam memberikan selamat atas perayaan ini, baik dengan lisan maupun pengiriman kartu ucapan yang tidak menampilkan simbol mereka atau berbagai ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam seperti salib. Sesungguhnya Islam menafikan fikroh salib, firman-Nya :
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا ﴿١٥٧﴾
Artinya : “Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 157)
Kalimat-kalimat yang digunakan dalam pemberian selamat ini pun harus yang tidak mengandung pengukuhan atas agama mereka atau ridho dengannya. Adapun kalimat yang digunakan adalah kalimat pertemanan yang sudah dikenal dimasyarakat.
Tidak dilarang untuk menerima berbagai hadiah dari mereka karena sesungguhnya Nabi saw telah menerima berbagai hadiah dari non muslim seperti al Muqouqis Pemimpin al Qibthi di Mesir dan juga yang lainnya dengan persyaratan bahwa hadiah itu bukanlah yang diharamkan oleh kaum muslimin seperti khomer, daging babi dan lainnya.
Diantara para ulama yang membolehkan adalah DR. Abdus Sattar Fathullah Sa’id, ustadz bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an di Universitas Al Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustadz Syari’ah di Univrsitas Qatar, Ustadz Musthafa az Zarqo serta Syeikh Muhammad Rasyd Ridho. (www.islamonline.net)
Adapun MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1981 sebelum mengeluarkan fatwanya, terlebih dahulu mengemukakan dasar-dasar ajaran Islam dengan disertai berbagai dalil baik dari Al Qur’an maupun Hadits Nabi saw sebagai berikut :
A) Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan.
B) Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampur-adukkan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain.
C) Bahwa ummat Islam harus mengakui ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa Almasih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain.
D) Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa Almasih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik.
E) Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab: Tidak.
F) Islam mengajarkan bahwa Allah SWT itu hanya satu.
G) Islam mengajarkan ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan.
Juga berdasarkan Kaidah Ushul Fikih
''Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan mushalihnya tidak dihasilkan)''.
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :
1. Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
2. Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
3. Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata'ala dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.
Mengucapkan Selamat Hari Natal Haram kecuali Darurat
Diantara dalil yang digunakan para ulama yang membolehkan mengucapkan Selamat Hari Natal adalah firman Allah swt :
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)
Ayat ini merupakan rukhshoh (keringanan) dari Allah swt untuk membina hubungan dengan orang-orang yang tidak memusuhi kaum mukminin dan tidak memerangi mereka. Ibnu Zaid mengatakan bahwa hal itu adalah pada awal-awal islam yaitu untuk menghindar dan meninggalkan perintah berperang kemudian di-mansukh (dihapus).
Qatadhah mengatakan bahwa ayat ini dihapus dengan firman Allah swt :
....فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ ﴿٥﴾
Artinya : “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At Taubah : 5)
Adapula yang menyebutkan bahwa hukum ini dikarenakan satu sebab yaitu perdamaian. Ketika perdamaian hilang dengan futuh Mekah maka hukum didalam ayat ini di-mansukh (dihapus) dan yang tinggal hanya tulisannya untuk dibaca. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini khusus untuk para sekutu Nabi saw dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan Nabi saw dan tidak memutuskannya, demikian dikatakan al Hasan.
Al Kalibi mengatakan bahwa mereka adalah Khuza’ah, Banil Harits bin Abdi Manaf, demikian pula dikatakan oleh Abu Sholeh. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah Khuza’ah.
Mujahid mengatakan bahwa ayat ini dikhususkan terhadap orang-orang beriman yang tidak berhijrah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud didalam ayat ini adalah kaum wanita dan anak-anak dikarenakan mereka tidak ikut memerangi, maka Allah swt mengizinkan untuk berbuat baik kepada mereka, demikianlah disebutkan oleh sebagian ahli tafsir… (al Jami’ li Ahkamil Qur’an juz IX hal 311)
Dari pemaparan yang dsebutkan Imam Qurthubi diatas maka ayat ini tidak bisa diperlakukan secara umum tetapi dikhususkan untuk orang-orang yang terikat perjanjian dengan Rasulullah saw selama mereka tidak memutuskannya (ahli dzimmah).
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban kafir dzimmi adalah sama persis dengan kaum muslimin di suatu negara islam. Mereka semua berada dibawah kontrol penuh dari pemerintahan islam sehingga setiap kali mereka melakukan tindakan kriminal, kejahatan atau melanggar perjanjian maka langsung mendapatkan sangsi dari pemerintah.
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Janganlah kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang diantara mereka di jalan maka sempitkanlah jalannya.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan sempitkan jalan mereka adalah jangan biarkan seorang dzimmi berada ditengah jalan akan tetapi jadikan dia agar berada ditempat yang paling sempit apabila kaum muslimin ikut berjalan bersamanya. Namun apabila jalan itu tidak ramai maka tidak ada halangan baginya. Mereka mengatakan : “Akan tetapi penyempitan di sini jangan sampai menyebabkan orang itu terdorong ke jurang, terbentur dinding atau yang sejenisnya.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XIV hal 211)
Hadits “menyempitkan jalan” itu menunjukkan bahwa seorang muslim harus bisa menjaga izzahnya dihadapan orang-orang non muslim tanpa pernah mau merendahkannya apalagi direndahkan. Namun demikian dalam menampilkan izzah tersebut janganlah sampai menzhalimi mereka sehingga mereka jatuh ke jurang atau terbentur dinding karena jika ini terjadi maka ia akan mendapatkan sangsi.
Disebutkan didalam sejarah bahwa Umar bin Khottob pernah mengadili Gubernur Mesir Amr bin Ash karena perlakuan anaknya yang memukul seorang Nasrani Qibti dalam suatu permainan. Hakim Syuraih pernah memenangkan seorang Yahudi terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib dalam kasus beju besinya.
Sedangkan pada zaman ini, orang-orang non muslim tidaklah berada dibawah suatu pemerintahan islam yang terus mengawasinya dan bisa memberikan sangsi tegas ketika mereka melakukan pelanggaran kemanusiaan, pelecehan maupun tindakan kriminal terhadap seseorang muslim ataupun umat islam.
Keadaan justru sebaliknya, orang-orang non muslim tampak mendominanasi di berbagai aspek kehidupan manusia baik pilitik, ekonomi, budaya maupun militer. Tidak jarang dikarenakan dominasi ini, mereka melakukan berbagai penghinaan atau pelecehan terhadap simbol-simbol islam sementara si pelakunya tidak pernah mendapatkan sangsi yang tegas dari pemerintahan setempat, terutama di daerah-daerah atau negara-negara yang minoritas kaum muslimin.
Bukan berarti dalam kondisi dimana orang-orang non muslim begitu dominan kemudian kaum muslimin harus kehilangan izzahnya dan larut bersama mereka, mengikuti atau mengakui ajaran-ajaran agama mereka. Seorang muslim harus tetap bisa mempertahankan ciri khas keislamannya dihadapan berbagai ciri khas yang bukan islam didalam kondisi bagaimanapun.
Tentunya diantara mereka—orang-orang non muslim—ada yang berbuat baik kepada kaum muslimin dan tidak menyakitinya maka terhadap mereka setiap muslim diharuskan membalasnya dengan perbuatan baik pula.
Al Qur’an maupun Sunah banyak menganjurkan kaum muslimin untuk senantiasa berbuat baik kepada semua orang baik terhadap sesama muslim maupun non muslim, diantaranya : surat al Mumtahanah ayat 8 diatas. Sabda Rasulullah saw,”Sayangilah orang yang ada di bumi maka yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. Thabrani) Juga sabdanya saw,”Barangsiapa yang menyakiti seorang dzimmi maka aku akan menjadi lawannya di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Perbuatan baik kepada mereka bukan berarti harus masuk kedalam prinsip-prinsip agama mereka (aqidah) karena batasan didalam hal ini sudah sangat jelas dan tegas digariskan oleh Allah swt :
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
Artinya : “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. Al Kafirun : 6)
Hari Natal adalah bagian dari prinsip-prinsip agama Nasrani, mereka meyakini bahwa di hari inilah Yesus Kristus dilahirkan. Didalam bahasa Inggris disebut dengan Christmas, Christ berarti Kristus sedangkan Mass berarti masa atau kumpulan jadi bahwa pada hari itu banyak orang berkumpul mengingat / merayakan hari kelahiran Kristus. Dan Kristus menurut keyakinan mereka adalah Allah yang mejelma.
Berbuat kebaikan kepada mereka dalam hal ini adalah bukan dengan ikut memberikan selamat Hari Natal dikarenakan alasan diatas akan tetapi dengan tidak mengganggu mereka didalam merayakannya (aspek sosial).
Pemberian ucapan selamat Natal baik dengan lisan, telepon, sms, email ataupun pengiriman kartu berarti sudah memberikan pengakuan terhadap agama mereka dan rela dengan prinsip-prinsip agama mereka. Hal ini dilarang oleh Allah swt dalam firman-Nya,
إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ﴿٧﴾
Artinya : “Jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar : 7)
Jadi pemberian ucapan Selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani baik ia adalah kerabat, teman dekat, tetangga, teman kantor, teman sekolah dan lainnya adalah haram hukumnya, sebagaimana pendapat kelompok pertama (Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibn Baaz dan lainnya) dan juga fatwa MUI.
Namun demikian setiap muslim yang berada diantara lingkungan mayoritas orang-orang Nasrani, seperti muslim yang tempat tinggalnya diantara rumah-rumah orang Nasrani, pegawai yang bekerja dengan orang Nasrani, seorang siswa di sekolah Nasrani, seorang pebisnis muslim yang sangat tergantung dengan pebisinis Nasrani atau kaum muslimin yang berada di daerah-daerah atau negeri-negeri non muslim maka boleh memberikan ucapan selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya tersebut disebabkan keterpaksaan. Ucapan selamat yang keluar darinya pun harus tidak dibarengi dengan keredhoan didalam hatinya serta diharuskan baginya untuk beristighfar dan bertaubat.
Diantara kondisi terpaksa misalnya; jika seorang pegawai muslim tidak mengucapkan Selamat Hari Natal kepada boss atau atasannya maka ia akan dipecat, karirnya dihambat, dikurangi hak-haknya. Atau seorang siswa muslim apabila tidak memberikan ucapan Selamat Natal kepada Gurunya maka kemungkinan ia akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di suatu daerah atau negara non muslim apabila tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada para tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan tekanan sosial dan lain sebagainya.
مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٠٦﴾
Artinya : “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An Nahl : 106)
Adapun apabila keadaan atau kondisi sekitarnya tidaklah memaksa atau mendesaknya dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya terhadap diri dan keluarganya maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan Selamat Hari Natal kepada mereka.
Hukum Mengenakan Topi Sinterklas
Sebagai seorang muslim sudah seharusnya bangga terhadap agamanya yang diimplementasikan dengan berpenampilan yang mencirikan keislamannya. Allah swt telah menetapkan berbagai ciri khas seorang muslim yang membedakannya dari orang-orang non muslim.
Dari sisi bisnis dan muamalah, islam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba yang merupakan warisan orang-orang jahiliyah. Dari sisi busana, islam memerintahkan umatnya untuk menggunakan busana yang menutup auratnya kecuali terhadap orang-orang yang diperbolehkan melihatnya dari kalangan anggota keluarganya. Dari sisi penampilan, islam meminta kepada seorang muslim untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis.
Islam meminta setiap umatnya untuk bisa membedakan penampilannya dari orang-orang non muslim, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis.” (Muttafaq Alaih)
Islam melarang umatnya untuk meniru-niru berbagai prilaku yang menjadi bagian ritual keagamaan tertentu diluar islam atau mengenakan simbol-simbol yang menjadi ciri khas mereka seperti mengenakan salib atau pakaian khas mereka.
Terkadang seorang muslim juga mengenakan topi dan pakaian Sinterklas didalam suatu pesta perayaan Natal dengan teman-teman atau bossnya, untuk menyambut para tamu perusahaan yang datang atau yang lainnya.
Sinterklas sendiri berasal dari Holland yang dibawa ke negeri kita. Dan diantara keyakinan orang-orang Nasrani adalah bahwa ia sebenarnya adalah seorang uskup gereja katolik yang pada usia 18 tahun sudah diangkat sebagai pastor. Ia memiliki sikap belas kasihan, membela umat dan fakir miskin. Bahkah didalam legenda mereka disebutkan bahwa ia adalah wakil Tuhan dikarenakan bisa menghidupkan orang yang sudah mati.
Sinterklas yang ada sekarang dalam hal pakaian maupun postur tubuhnya, dengan mengenakan topi tidur, baju berwarna merah tanpa jubah dan bertubuh gendut serta selalu tertawa adalah berasal dari Amerika yang berbeda dengan aslinya yang berasal dari Turki yang selalu mengenakan jubah, tidak mesti berbaju merah, tidak gendut dan jarang tertawa. (disarikan dari sumber : http://h-k-b-p.blogspot.com)
Namun demikian topi tidur dengan pakaian merah yang biasa dikenakan sinterklas ini sudah menjadi ciri khas orang-orang Nasrani yang hanya ada pada saat perayaan Hari Natal sehingga dilarang bagi setiap muslim mengenakannya dikarenakan termasuk didalam meniru-niru suatu kaum diluar islam, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” (Muttafaq Alaih)
Tidak jarang diawali dari sekedar meniru berubah menjadi penerinaan dan akhirnya menjadi pengakuan sehingga bukan tidak mungkin bagi kaum muslimin yang tidak memiliki dasar keimanan yang kuat kepada Allah ia akan terseret lebih jauh lagi dari sekedar pengakuan namun bisa menjadikannya berpindah agama (murtad)
Akan tetapi jika memang seseorang muslim berada dalam kondisi terdesak dan berbagai upaya untuk menghindar darinya tidak berhasil maka ia diperbolehkan mengenakannya dikarenakan darurat atau terpaksa dengan hati yang tidak redho, beristighfar dan bertaubat kepada Allah swt, seperti : seorang karyawan supermarket miliki seorang Nasrani, seorang resepsionis suatu perusahaan asing, para penjaga counter di perusahaan non muslim untuk yang diharuskan mengenakan topi sinterklas dalam menyambut para tamunya dengan ancaman apabila ia menolaknya maka akan dipecat.
Wallahu A’lam

Negara Menjamin Ijtihad Setiap Muslim

Negara Menjamin Ijtihad Setiap Muslim
Pengantar
Dakwah Islam adalah dakwah universal. Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Karenanya, para Sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in serta generasi sesudahnya yang dengan tulus konsisten mengikuti aktivitas dakwah mereka, senantiasa melakukan futûhat (perluasan dakwah) dalam rangka meninggikan agama Allah; mengeluarkan manusia dari kezaliman sistem, rezim dan agama thaghut menuju keadilan Islam; dan dari sempitnya dunia menuju keluasan iman; serta dari kegelisahan jiwa menuju ketenangan dan ketenteraman hati dengan menjalankan syariah Allah SWT.
Akan tetapi, untuk mewujudkan keadilan di tengah-tengah manusia, syariah Islam harus mencakup seluruh aspek kehidupan serta menjawab setiap persoalan yang muncul sepanjang zaman. Apalagi Allah SWT telah berfirman:
وَنَزَّلنا عَلَيكَ الكِتٰبَ تِبيٰنًا لِكُلِّ شَيءٍ
Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS an-Nahl [16]: 89).
Namun, hal ini tidak berarti bahwa al-Quran dan as-Sunnah menjawab secara tekstual semua kejadian dan setiap fakta yang terjadi setiap saat. Asy-Syathibi berkata, “Syariah tidak menetapkan hukum secara rinci hingga bagian yang terkecil. Namun, syariah datang membawa perkara dan pernyataan yang sifatnya umum yang mencakup berbagai persoalan yang tidak terbatas.” (Asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, IV/48).
Jadi, di sinilah keberadaan ijtihad sangat penting bagi umat ini, bahkan merupakan kewajiban syariah itu sendiri. Sebab, hanya dengan ijtihad ini syariah Islam akan mampu menjawab setiap persoalan yang terjadi kapan pun dan dimana pun. Hizbut Tahrir sebagai motor penggerak ide penegakkan kembali Negara Khilafah telah menyiapkan payung hukum agar ijtihad ini tetap ada sepanjang masa.
Telah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam yang telah disiapkan Hizbut Tahrir menyongsong tegaknya kembali Negara Khilafah, khususnya pasal 9 yang berbunyi: Ijtihad adalah fardhu kifâyah dan setiap muslim berhak melakukan ijtihad apabila telah memenuhi syarat-syaratnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 41).
Definisi Ijtihad
Dalam Mu’jam Ushûl al-Fiqh (Hasan: 1998, 21) disebutkan bahwa kata al-ijtihâd (ijtihad) berasal dari kata al-juhd, yakni al-masyaqqah (kepayahan) dan ath-thâqah (kekuatan). Oleh karena itu, ijtihad menurut pengertian bahasa adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk mewujudkan perkara yang berat dan sulit (Abu Rustah, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl, Dirâsât fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 257).
Adapun menurut pengertian istilah, ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syariah yang bersifat praktis dengan cara istinbâth (penggalian hukum) (Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl, hlm. 370). Dalam Taysîr al-Wushûl (Abu Rustah: 2000, 257), ijtihad menurut istilah ahli ushul fikih adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari dugaan kuat terhadap hukum syariah sehingga seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakannya.
Dengan demikian, berdasarkan definisi di atas, ijtihad dapat dikatakan sebagai ijtihad yang syar’i jika telah memenuhi tiga hal: Pertama, mengerahkan segenap kemampuan sehingga seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakannya. Kedua, usaha keras itu dilakukan dalam rangka mencari dugaan kuat terhadap hukum syariah. Ketiga, dugaan kuat itu harus berasal dari nash syariah (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, I/209).
Artinya, seseorang tidak diangap sebagai mujtahid, yakni orang melakukan ijtihad, jika dalam mencari dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) itu tidak mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya, tidak untuk mencari hukum syariah dan tidak di-istinbâth-kan (digali) dari nash (dalil) syariah, yakni tidak dari al-Quran dan as-Sunnah.
Hukum Ijtihad
Syariah Islam menjadikan ijtihad dalam rangka menggali (istinbâth) hukum syariah dari khithâb asy-Syâri’ (seruan pembuat hukum)–yakni dari nash-nash yang diwahyukan kepada Rasulullah saw., yaitu al-Quran dan as-Sunnah–adalah wajib atas kaum Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 41).
Ada dua aspek yang menjadikan ijtihad itu sebagai sebuah kewajiban atas kaum Muslim. Pertama: aspek ‘aqliyah; akal mengharuskan adanya ijtihad. Sebab, nash-nash itu bersifat terbatas dan berakhir. Padahal berbagai peristiwa dan kejadian baru terus bermunculan. Di sisi lain, umat Islam wajib menjalani hidup ini sesuai dengan aturan dan ketentuan agama (hukum syariah). Jadi, harus ada ijtihad untuk mengetahui hukum syariah atas setiap kejadian dan peristiwa yang baru. Dengan demikian, ijtihad sangat diperlukan sepanjang zaman selama kehidupan masih ada. Jika tidak, maka berapa banyak peristiwa dan kejadian yang tidak diketahui hukumnya; agama pun akan kehilangan perannya, dan hukum syariah disia-siakan (Thawilah, Atsar al-Lughah fi Ikhtilâf al-Mujtahidîn, hlm. 36).
Mengingat tidak mungkin mengetahui hukum syariah atas setiap peristiwa yang terjadi tanpa ijtihad, maka ijtihad menjadi wajib. Kaidah syariah mengatakan:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Sesuatu yang karenanya kewajiban menjadi sempurna, maka (adanya) sesuatu itu menjadi wajib (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 42).
Kedua: aspek syar’iyyah; syariah mewajibkan ijtihad. Banyak dalil yang menetapkan bahwa ijtihad itu wajib. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saw.:
«إذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ»
Jika hakim membuat keputusan dengan ijtihad, lalu ia benar dengan ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Sebaliknya, hakim yang membuat keputusan dengan ijtihad, lalu ia salah dengan ijtihadnya, maka ia mendapatkan satu pahala (HR al-Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash).
Hadis ini menunjukkan bahwa bagi seorang mujtahid, melakukan ijtihad merupakan keharusan setiap ada peristiwa yang terjadi, khususnya peristiwa-peristiwa baru. Dengan demikian, hadis ini secara implisit memerintahkan agar seorang mujtahid senantiasa melakukan ijtihad dalam rangka menggali hukum syariah (Thawilah, Atsar al-Lughah, hlm. 37).
Rasulullah saw. juga pernah bersabda kepada Ibnu Mas’ud yang memerintahkannya agar berijtihad:
«اقْضِ بِـالْكتَابِ وَالسُّنَةِ إِذَا وَجَدْتَهُمَا، فَـإِذَا لَـْم تـَجِدِ الـحُكْمَ فِـيْهِمَا اجْتَهِدْ رَأْيَكَ»
Putuskanlah berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah jika kamu mendapatkan pada keduanya. Jika kamu tidak mendapatkan hukum pada keduanya, maka berijtihadlah dengan pendapatmu (Al-Amidi, Al-Ahkâm fi Ushûlil Ihkâm, 3/226).
Berdasarkan hal ini, para ulama ushul fikih telah menetapkan bahwa ijtihad fardhu kifâyah atas kaum Muslim. Karena itu, tidak boleh ada satu masa pun yang di dalamnya tidak ada seorang mujtahid. Apabila masing-masing sepakat meninggalkan ijtihad, maka semuanya berdosa. Sebab, jalan untuk mengetahui hukum syariah tidak lain adalah ijtihad. Apalagi jika dalam suatu masa tidak ada seorang mujtahid yang akan menjadi sandaran dalam mengetahui hukum syariah, yang hal itu akan menyebabkan terabaikannya hukum syariah; tentu hal yang seperti ini tidak boleh terjadi (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 42).
Syarat-syarat Ijtihad
Ijtihad bukan sesuatu yang sangat sulit hingga mustahil dilakukan. Sebab, ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari dugaan kuat terhadap hukum syariah. Bagi orang yang telah mampu dan telah memenuhi syarat-syarat ijtihad, melakukan ijtihad ini bukan perkara yang mustahil (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 43).
Adapun terkait dengan syarat-syarat ijtihad, ulama berbeda dalam menetapkannya. Dalam Mu’jam Ushûl al-Fiqh ditetapkan tujuh syarat. Dalam Atsar al-Lughah fi Ikhtilâf al-Mujtahidîn ditetapkan sembilan syarat. Namun, dari semua itu ada dua syarat mendasar yang harus terpenuhi dalam berijtihad. Pertama: mengerti dalil-dalil as-sam’iyah (al-Quran dan as-Sunnah) yang darinya digali kaidah dan hukum syariah. Kedua: mengerti dilâlah (maksud dan makna) kata yang biasa dipakai dalam bahasa Arab serta penggunaannya yang benar dan fasih (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 43). Abdullah (1990: 46) menambahkan satu syarat lagi, yaitu mengerti hakikat fakta yang hendak dihukumi, yang disebut dengan manâth al-hukm (obyek hukum). Sekalipun demikian, dalam hal manâth al-hukm ini, ia tidak harus mengetahui sendiri; ia bisa saja bertanya kepada orang lain (Muslim atau non-Muslim) yang ahli tentang fakta (manâth al-hukm) ini.
Terkait dengan al-Quran, Imam al-Ghazali tidak mensyaratkan harus menguasai seluruh al-Quran, namun cukup yang berkaitan dengan hukum saja, yaitu sekitar lima ratus ayat; tidak harus hafal di luar kepala, namun cukup mengetahui tempatnya saja sehingga mudah menemukan ketika membutuhkannya. Begitu juga dengan as-Sunnah, cukup menguasai hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum; tidak harus hafal diluar kepala, namun cukup memiliki kitab shahih, seperti Sunan Abu Dawud dan lainnya, serta mengetahui masing-masing babnya hingga mudah ketika membutuhkannya. Akan tetapi, jika mampu menghapalnya di luar kepala, itu lebih baik dan lebih sempurna (Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi Ushûlil Fiqh, hlm. 342).
Ruang Ijtihad
Tidak semua hukum syariah dapat dijadikan majâl (ruang) ijtihad. Karena itu, ada ulama ushul yang mendefinisikan ijtihad sebagai: usaha keras mujtahid dalam rangka mencari hukum syariah dengan cara istinbâth (penggalian hukum) atas masalah yang tidak memiliki dalil qath’i baik dari nash (al-Quran dan as-Sunnah) maupun Ijmak, yakni Ijmak Sahabat (Hasan, Mu’jam Ushûl al-Fiqh, hlm. 21). Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan:
لاَ اِجْتَهَادَ مَعَ النَّصِّ
Tidak boleh ada ijtihad ketika ada nash (Al-Bujairimi, Tuhfatul Habîb ‘ala Syarkh al-Khathîb, II/130).
Ada dua majâl (ruang) yang di dalamnya ijtihad boleh dilakukan. Petama: hukum syariah yang nash (dalil)-nya tidak qath’i. Ijtihad di sini dilakukan dalam rangka untuk memahami makna nash, serta mengungkap maksud kata dan pengertian yang dikehendakinya. Kedua: hukum syariah yang semula tidak ada nash (dalil)-nya. Ruang ijtihad di sini sangat luas dan dilakukan untuk menggali (istinbâth) hukum atas setiap fakta atau kejadian baru menurut ketetapan Asy-Syâri’ (Pembuat hukum) melalui amarat (‘illat) yang menunjukkan pada hukum (Thawilah, Atsar al-Lughah, hlm. 40).
Dengan UUD (Dustûr), khususnya pasal 9 ini, Negara Khilafah menjamin hak setiap Muslim untuk melakukan ijtihad ketika syara-syarat ijtihadnya telah terpenuhi. Pasalnya, ijtihad adalah fardhu kifâyah bagi kaum Muslim serta perkara yang mungkin dilakukan oleh seluruh kaum Muslim. Dengan ijtihad ini, kelayakan syariah Islam sebagai jawaban atas setiap persoalan yang terjadi sepanjang zaman akan dapat terwujud. WalLâhu a’lam bish-shawâb. []Muhammad Bajuri
Daftar Bacaan
Abdullah, Muhammad Husin, Dirâsât fi al-Fikr al-Islâmiyah, (Beirut: Dar al-Bayariq), Cetakan I, 1990.
Abu Rustah, Atha’ bin Khalil bin Ahmad bin Abdul Qadir al-Khathib, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl, Dirâsât fi Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Ummah), Cetakan II, 2000.
Al-Amidi, Ali bin Muhammad bin Salim at-Taghlibi Abul Hasan Saifuddin, Al-Ahkâm fi Ushûl al-Ihkâm, (Beirut: Dar al-Fikr), 1996.
Al-Bujairimi, Sulaiman bin Muhammad bin Umar, Tuhfat al-Habîb ‘ala Syarkh al-Khathîb, (Dar al-Ma’rifah), tanpa tahun.
Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Abu Hamid, Al-Mustashfa fi Ushûlil Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1993.
Hasan, Khalid Ramadhan, Mu’jam Ushûl al-Fiqh, (Ar-Raudhah), Cetakan I, 1998.
An-Nabhani, asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhani, asy-Syaikh Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2001.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah, Irsyâd al-Fukhûl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1994.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi, Al-Muwâfaqât, (Beirut: Dar al-Fikr), tanpa tahun.
Thawilah, Abdul Wahab Abdus Salam, Atsar al-Lughah fi Ikhtilâf al-Mujtahidîn, (Dar as-Salam), Cetakan II, 2000.
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/17/negara-menjamin-ijtihad-setiap-muslim/

Jubir HTI : Pidato SBY , Tidak Mencerminkan Seorang Presiden

Ini sebagai Tabayyun Al Hukman...........
Jubir HTI : Pidato SBY , Tidak Mencerminkan Seorang Presiden
Jakarta,-Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus lalu terus menuai kritik. Banyak pengamat menilai bahwa pidato tersebut hanya pencitraan dan tidak menyentuh permasalahan utama yang dihadapi rakyat. Bahkan Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto menilai SBY itu berpidato tidak seperti layaknya seorang presiden berpidato. Tetapi tidak lebih seperti seorang pengamat yang sedang menyampaikan hasil amatannya.
Ismail mengingatkan bahwa SBY itu seorang presiden. Ia bukan seorang pengamat politik, bukan seorang anggota DPR, juga bukan rakyat biasa. Dia adalah seseorang yang ditangannya ada kewenangan dan kewajiban. Jadi semestinya pidatonya itu mencerminkan seorang presiden.
“Tapi saya melihat pidatonya itu baru mencerminkan dia sebagai seorang pengamat,dia potret masalah-masalah yang ada tetapi tidak terlihat langkah dia sebagai seorang presiden,” ujarnya kepada mediaumat.com, Selasa (17/8) petang di Jakarta.
Dia hanya mengatakan tahu banyak pilkada bermasalah, demokrasi mahal, ada ini ada itu, tetapi apa tindakan dia sebagai seorang presiden? “Saya ingin mengatakan daripada dia berpidato seperti itu lebih baik dia diam tetapi banyak melakukan berbagai hal yang diperlukan oleh rakyat banyak!” tegasnya. Misalnya, menerapkan kebijakan praktis soal gas sehingga rakyat tidak diteror lagi oleh ledakan gas; menstabilkan harga-harga agar tidak naik terus.
SBY pun terlalu membesar-besarkan sesuatu yang kecil. SBY menganggap pluralitas terancam, terorisme mengancam. Coba adakan jajak pendapat, tanya rakyat, apa yang sebenarnya paling menakutkan mereka? Bukan pluralisme dan bukan terorisme. Soalnya terorisme itu mengancam apa? itu hanya klaim dari para pejabat, khususnya dari kepolisian. Setelah bom Rizt Carlton kan tidak ada lagi. Bom itu pun relatif kecil ya. Artinya ada masalah lain yang lebih besar yang luput dari perhatian SBY.
Demoralisasi masyarakat misalnya. Itu lebih bahaya lagi dari terorisme. Banyak masyarakat yang putus asa sehingga bunuh diri. Itu kan harus diketahui akar penyebabnya? Itu semua kan terkait erat dengan kebijakan ekonomi yang berakibat menyengsarakan rakyat, ditambah lagi minimnya edukasi keimanan sehingga membuat rakyat rentan stress dan mengambil jalan pintas dengan bunuh diri.
Jumlah korban bunuh diri ini lebih banyak daripada korban bom. Jadi sebenarnya bahaya mana?”Sehingga saya bependapat, sebagai pengamat pun SBY juga gagal menjadi pengamat yang baik untuk mengidentifikasi masalah negara ini!” ungkapnya.
Minoritas Tindas Mayoritas
Ismail pun menyinggung soal toleransi antar umat beragama. Ketika pelanggaran itu menimpa umat mayoritas dianggap tidak ada masalah tetapi umat minoritas selalu membesar-besarkan masalah yang menimpanya. Padahal kalau ditelisik, sebenarnya kesalahan bermula pada umat minoritas itu sendiri.
Hebohnya Jemaah Kristen HKBP di Bekasi, itu sebenarnya kasus kecil yang dibesar-besarkan. Itukan problem mereka sendiri. Problem administratif sebenarnya. Tetapi seolah-olah dianggap sebagai problem penindasan, agama mayoriyas terhadap minoritas. Mereka tidak memenuhi syarat untuk mendirikan gereja. Tetapi tetap mendirikan tempat ibadah, sehingga kan menjadi ilegal, warga setempat jelas saja tidak terima. Kemudian dibesar-besarkan seakan-akan umat yang mayoritas yang bersalah dan tidak toleransi.
Padahal banyak sekali diskriminasi yang ditimpakan kepada umat Islam. Lihatlah umat Islam di Bali, betapa sulitnya umat Islam mendirikan masjid di sana. Umat Islam tidak boleh adzan. Begitu juga umat Islam di NTT, di Papua, nasibnya juga sama. Tapi itu tidak diekspos, jadi seolah-olah yang dijadikan masalah kerukunan itu ketika ada orang non Muslim itu yang punya masalah, kemudian dicaplah orang Islam sebagai tidak toleran. Tetapi giliran umat Islam yang punya masalah tidak dianggap sebagai problem kerukunan antar umat beragama. “Nah, presiden juga lupa menyinggung masalah ini,” ungkap Ismail.
Itu baru sedikit bermasalah dengan umat Islam, itupan karena kesalahan umat Kristen sendiri yang tidak memenuhi syarat administratif mendirikan gereja. Sudah dihebohkan. Lha umat Islam sendiri malah sudah ditembagi oleh pemerintah! Kasus baru-baru ini saja di Cawang itu kan ditembak, dan polisi tidak tahu siapa mereka yang ditembak. Kalau tidak tahu siapa mereka itu, mengapa ditembak? Kalau sudah tahu mati, mengapa kemudian polisi tidak tahu siapa yang ditembak itu? Itukan sebenarnya masalah. Tapi SBY tidak pernah menyinggung-nyinggung ini. Seolah-olah absah kalau orang ditembak begitu saja, dengan cap teroris kemudian dianggap selesai.
“Intinya SBY itu berpidato tidak seperti layaknya seorang presiden berpidato, mutu pidatonya sangat mengecewakan, dianggap sebagai pengamat pun pengamatannya saja sudah keliru.” pungkasnya.[] joko prasetyo
http://hizbut-tahrir.or.id/2010/08/17/jubir-hti-pidato-sby-tidak-mencerminkan-seorang-presiden/

Islam Tidak Anti Kekerasan

Islam Tidak Anti Kekerasan
Oleh: Wildan Hasan
Seringkali kita mendengar ungkapan bahwa Islam anti kekerasan, seiring terjadinya berbagai aksi-aksi kekerasan akhir-akhir ini di tanah air yang entah kenapa dituduhkan kepada Islam. Islam anti kekerasan adalah sebuah ungkapan apologetik yang menyesatkan saat dijadikan pembelaan bahwa Islam sebagai way of life tidak mengajarkan kekerasan. Benarkah?
Keras atau kekerasan itu sifatnya fithriyyah (manusiawi) sebagaimana lembut juga adalah fitrah. Hal yang menjadi tabiat dasar manusia yang tidak bisa dan tidak boleh dihilangkan melainkan harus diarahkan dan diberdayakan untuk tujuan kebajikan.
Oleh karena kekerasan adalah manusiawi, maka barangsiapa yang melarang seseorang berbuat kekerasan maka telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kekerasan tidak lagi manusiawi ketika dilakukan secara berlebihan, sebagaimana juga dengan kelembutan atau kedamaian.
Di dalam Islam, ‘berlebihan’ dikenal dengan istilah tatharruf. Tatharruf adalah setiap aktifitas yang dilakukan tidak sesuai dengan proporsinya. Dalam literatur fikih Islam seringkali terdapat penggunaan kalimat ifrath dan tafrith yaitu upaya berlebihan dalam bermudah-mudah dan berlebihan dalam mempersulit.
Islam adalah agama yang proporsional tidak berat sebelah dan sesuai dengan sifat-sifat dasar kemanusiaan, sehingga Islam disebut juga agama fitrah. Artinya jika seseorang tidak berislam berarti ia melawaan hakikat kemanusiaannya. Dengan demikian ‘berlebihan’ bertentangan dengan ruh agama, berlebihan sering dibahasakan dengan istilah ekstrim. Ekstrimisme inilah yang dalam bahasa Islam disebut dengan tatharruf.
Kekerasan tidak lagi manusiawi ketika dilakukan secara berlebihan, sebagaimana juga dengan kelembutan atau kedamaian.
Setiap hal yang berlebihan atau ekstrim pasti tidak baik, termasuk dalam persoalan-persoalan kebaikan sekalipun. Sebagai contoh, kecintaan kita kepada Allah harus proporsional sesuai dengan yang diajarkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Jika tidak, bisa jadi kita menggambarkan Allah sebagai sosok konkrit yang real ada di hadapan kita. Maka jadilah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyyah sebelum Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam diutus.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala sangat tidak menyukai hal-hal yang berlebihan, sebagaimana yang ditegaskan-Nya dalam banyak ayat Al-Qur’an. Diantaranya:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan berperang (melakukan kekerasan), namun dengan syarat harus tetap di jalan Allah yang diterjemahkan dalam bentuk perang yang tidak melebihi batas. Perang yang tetap menghormati hak-hak kemanusiaan. Perang yang tidak seperti perang bar-barnya kaum selain Islam. Perang yang memang menjadi salah satu Sunnatullah yang harus dijalani saat keadaan mengharuskan demikian. Perang yang beradab dengan pemenuhan terhadap syarat dan rukunnya. Inilah perang dalam Islam.
Oleh karena itu problemnya bukan pada persoalan kekerasannya. Tapi pada penempatan kekerasan tersebut. Sebagai agama fitrah, Islam jelas mengadopsi ‘kekerasan’ sebagai salah satu manhaj dakwah. Namun Islam menempatkan kekerasan pada proporsi yang sebenarnya. Sebab secara manusiawi, tidak semua persoalan kehidupan hanya bisa diselesaikan oleh kelembutan semata.
Sebagai agama fitrah, Islam jelas mengadopsi ‘kekerasan’ sebagai salah satu manhaj dakwah. Namun Islam menempatkan kekerasan pada proporsi yang sebenarnya. Sebab secara manusiawi, tidak semua persoalan kehidupan hanya bisa diselesaikan oleh kelembutan semata.
Kekerasan fisik yang salah satu bentuknya adalah perang (qital) diakui secara syar’I oleh Islam sebagai hukum qhat’i dengan bertebarannya ayat maupun hadits yang melegitimasinya.
Islam sebagai agama beradab sangat menghormati fitrah manusia saat mengakomodir ‘kekerasan’ yang dengan secara ketat melakukan pembatasan-pembatasan demi penghormatan terhadap hak asasi manusia tersebut.
Dalam peperangan, agar tetap di Jalan Allah dan tidak melebihi batas, Islam melarang umatnya untuk; membunuh orang yang tidak terlibat langsung dengan peperangan seperti membunuh perempuan dan anak-anak, atau membunuh yang sedang beribadah. Islam juga melarang merusak pepohonan, tempat-tempat ibadah, fasilitas umum dan mencincang mayat. Islam juga mengharuskan sebelum terjadi peperangan terlebih dahulu ditawarkan kepada pihak musuh 3 hal; masuk Islam, membayar jizyah (pajak) atau berperang. Dan Islam sangat menekankan untuk lebih berharap perdamaian daripada terjadinya peperangan saat tiga tawaran itu diajukan.
Itulah yang dimaksud bahwa Allah tidak menyukai hal-hal yang berlebihan sekalipun dalam situasi peperangan. Maka jika perang dalam Islam dikaitkan dengan kekerasan sebagai aktifitas yang abnormal, biadab, barbar dan destruktif. Lalu apakah kita juga akan menyebut Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan para sahabat sebagai bidab dan barbar disebabkan melakukan peperangan?
Padahal sejarah dunia mencatat, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menegur sahabatnya yang membunuh musuh saat mengucapkan syahadat. Jenderal besar Khalid bin Walid membiarkan kemahnya tidak dibongkar saat peperangan karena diatasnya ada burung yang sedang bersarang dan penunggang kuda ulung sahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bernama Abu Qatadah memberikan air wudhunya ketika seekor kucing menghampiri berharap minum. Di luar itu semua ada sebuah adagium di antara para ahli sejarah dan politikus dunia bahwa seringkali peperangan dibutuhkan untuk mencapai kedamaian. Tidak akan ada perdamaian jika tidak ada peperangan.
Sebagai perbandingan, jika hanya Islam yang dituduh pelaku ‘kekerasan’. Silahkan buka-bukalah catatan sejarah kelam Yahudi dan Kristen, niscaya bulu kuduk anda akan merinding seolah bukan manusia yang melakukan keganasan itu semua melainkan segerombolan serigala lapar dalam setiap babak sejarahnya. Sampai abad yang diklaim sebagai abad modern, abad milik mereka ini, siapakah yang saat ini sangat hoby berperang dan menumpahkan darah?
Adapun teks-teks syariat yang dijadikan legitimasi perang (jihad) tidak pada tempatnya, pelakunya adalah oknum. Oknum akan senatiasa ada pada setiap agama dan kelompok masyarakat. Sehingga ekstrimitas dalam Islam tidak bisa dipakai untuk menjudge bahwa Islam agama yang keliru, terlebih jika yang dipersalahkan adalah konsep jihad dalam Islam.
Terkait hal itu, jika dilihat melalui perspektif teori konspirasi terlihat jelas bahwa gembar-gembor ungkapan Islam anti kekerasan diproduksi oleh musuh-musuh Islam yang menginginkan konsep jihad dalam Islam tereduksi atau paling tidak ada reinterpretasi yang sesuai dengan selera mereka.
JIHAD adalah syariat Islam yang paling ditakuti oleh musuh-musuhnya. Mereka berusaha membuat persepsi yang salah tentang jihad sebagai suatu kejahatan karena mengandung kekerasan. . .
Ala kulli hal, kita tahu betul bahwa JIHAD adalah syariat Islam yang paling ditakuti oleh musuh-musuhnya. Perjalanan sejarah membuktikan, mereka tidak pernah menang melawan jihadnya umat Islam. Lalu mereka membuat mempersepsikan Jihad sebagai kejahatan karena mengandung ‘kekerasan’ sehingga diharap umat Islam mengenyampingkan JIHAD sebagai sesuatu yan diwajibkan. Dan menanglah mereka tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga. Maka dalam arti yang sebenarnya, ISLAM TIDAK ANTI KEKERASAN. Wallahu a’lam (PurWD/voa-islam.com)
http://www.voa-islam.com/islamia/liberalism/2010/08/20/9368/islam-tidak-anti-kekerasan/