Monday, November 4, 2019

SANAD KEILMUAN SYAIKH TAQIYYUDDIN AN-NABHANI

SANAD KEILMUAN SYAIKH TAQIYYUDDIN AN-NABHANI
(Edisi Arab dan Terjemah)

لوامع نور المسجد الأقصى في التعريف بسلسلة الأسانيد لمشايخ العلامة المجاهد القاضي تقي الدين بن إبراهيم النبهاني
.
Buku Kilauan Cahaya Masjid Al Aqsa ini berisi Silsilah Sanad Ilmu al-Syaikh al-Mujahid Taqiyuddin bin Ibrahim an-Nabhani rahimahullahu ta'ala.
.
Kutaib ini bukan hanya menceritakan kepribadian, perjalanan ilmiah dan politik beliau, tetapi menelusur guru-guru beliau dan silsilah guru-gurunya (sanad ilmu) hingga tersambung ke ulama-ulama besar kebanggaan umat Islam.
.
Tidak kurang dari 56 ulama besar yang sanad ilmu beliau sampai kepada mereka rahimahumullah ta'ala. al-Syaikh al-Mujahid Taqiyuddin an-Nabhani sanad ilmunya sampai kpd syaikh Zakariya al-Anshari, Imam as-Suyuthi, al-Hafizh Ibnu Hajar, Imam al-Dzahabi, Imam Syirazi, dst. Juga sampai kepada Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Ibnu Hibban, Imam al-Hakim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tirmidzi, Imam al-Nasa'i, Imam Ibnu Majah, Imam al-Darimi, Imam al-Daraquthni, Imam al-Baihaqi, dst. Juga sampai kepada Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Abdil Bar, Ibnu Abi Syaibah, Imam Sufyan al-Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam al-Baghawi, Imam al-Thabari, Imam Ibnu Qutaibah, Imam Ibnu Abi Hatim, dll. Semuanya ditelusur dari tidak kurang dari delapan orang guru utama beliau.
.
Kutaib ini disusun oleh seorang 'alim yang memiliki perhatian dalam bidang sanad, Abu Muhammad Ahmad bin Mukhtar dan diberikan pengantar oleh KH. Hafidz Abdurrahman. Untuk menyempurnakannya ditahqiq oleh Yuana Ryan Tresna, dimurajaah/ditash-hih oleh Ade Sudiana, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Robi Pamungkas, dan ditata-letak oleh Mada Wijaya.
.
Mudah-mudahan membantu meyakinkan bagi siapa saja yg masih ragu terhadap al-syaikh al-mujahid terkait dengan keilmuannya yang sebenarnya mu'tamad, mu'tabar dan mustaqir.
.
Berbahagialah mereka yang mengemban pemikirannya dan meneguknya dengan metode halqah secara intensif dan sungguh-sungguh.
.
Sekitar 1 bulan lagi sdh selesai cetak, in sya Allah. Harga buku arab 40.000 dan terjemah 48.000. Satu paket cukup 85.000. Dapatkan diskon khusus untuk pembelian dalam jumlah banyak. Untuk daerah Bandung dsk, bagi yg minat bisa hub nomor di atas (WA 085659293549)

Friday, November 1, 2019

Para Imam dan Ulama Lurus membicarakan Khilafah

Para Imam dan Ulama Lurus membicarakan Khilafah.

1. Imam Al-Ghazali
KHILAFAH WAJIB
(Al-Iqtishad fi Al-I'tiqad, hlm.99)

2. Imam Nawawi
KHILAFAH WAJIB
(Syarah Shahih Muslim, Juz 12, hlm.205)

3. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
KHILAFAH WAJIB
(Fathul Bari, Juz 12, hlm.205)

4. Imam Mawardi
KHILAFAH WAJIB
(Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, hlm.5)

5. Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami
KHILAFAH WAJIB
(As-Shawa'iqul Muhriqah, hlm.17)

6. Imam Al-Qurtubi
KHILAFAH WAJIB
(Al-Jami'li Ahkamil Qur'an, Juz 1, hlm.624)

7. Imam Syaukani
KHILAFAH WAJIB
(Nailul Authar, Juz VIII, hlm.265)

8. Imam Ibnu Taimiyyah
KHILAFAH WAJIB
(Majmu'ul Fatawa, Juz 28, hlm.390)

9. Imam Ibnu Khaldun
KHILAFAH WAJIB
(Muqaddimah, hlm.191)

10. Syeikh Wahbah Zuhaili
KHILAFAH WAJIB
(Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VIII, hlm.272)

_Dan imam-imam lainnya yang berbicara tentang Khilafah dalam kitab-kitabnya_

11. Imam al-Kasani, Badâ’i ash-Shanâ’i fî Tartîb asy-Syarâ’i XIV/406

12. Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtâr, IV/205

13. Imam al-Muwaq, At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl, V/131

14. Imam Abu Zakaria an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291

15. Imam an-Nawawi, Raudhâh ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, III/433

16. Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj ath-Thulâb, II/268

17. Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204

18. Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25

19. Abu al-Hasan Nur ad-Din al-Mula al-Harawi al-Qari, Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il, II/219

20. Muslim al-Yusuf, Dawlah al-Khilâfah ar-Râsyidah wa al-‘Alaqât ad-Dawliyah, hlm 23

21. Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, hlm. 34

22. Rasyid Ridha dalam kitabnya, Al-Khilâfah aw al-Imâmah al-‘Uzhma, hlm. 101

23. Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah, II/13

24. Rawwas Qal’ah Jie dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ, hlm. 64 dan 151

25. Ibrahim Anis dkk dalam Al-Mu‘jam al-Wasîth, 1/27 dan 251

Dan sebagainya.

Berbeda halnya dengan Ulama sekarang ada segelintir yang Menolak Khilafah, Menganggap Khilafah Berbahaya dan Bertentangan dengan Suatu Falsafah Buatan Manusia.
Sungguh mereka bukanlah Ulama Akhirat, bukan Ulama Ikhlas, bukan Ulama Rujukan.

Berpegang teguhlah dan dengarlah serta ikutilah para Ulama Yang Soleh dan Shahih serta Turut Memperjuangkan Syariah dan Khilafah sebagai kewajiban besar untuk ditegakkan.

Paterbeek

■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■
🌏🇮🇩  _Apa hubungan dari Katolik masa kini (topeng dari Fremason, Illuminati untuk "The New World Order"), CIA Amerika, Neo Komunis RRC, Laskar Kristus, Densus 88, Pebisnis Hoaqiau (keturunan Tionghoa) papan atas Indonesia, CSIS, rezim PDIP Jokowi-Luhut Panjaitan, dsb.;_ dalam usaha peminggiran peranan umat Islaam di Indonesia?

Simak tulisan di bawah baik-baik. Sebagai pengetahuan, setidaknya.

Dan waspadalah kalian, kaum beriman pewaris ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa (Islaam, Tawhiid) pesan 124.000 nabi sejak awal jaman!

Ingatlah, _dasar negara RI ini adalah *Tawhiid, Ketuhanan Yang Maha Esa (Tunggal)*_ (simak pasal 29 ayat 1 UUD 1945). Bukan tuhan yang maha tiga, maha banyak, maha dewa, dsb.

Dan _*Allah* diakui memberikan berkat dan rahmat kemerdekaan RI di Pembukaan UID 1945._ Bukan yang lain.

Ingatlah, NKRI ini utamanya dibangun oleh darah dan air mata para ulama, muslimiin!

_Mereka tidak pernah benar-benar pergi, hendak menjajah halus atau langsung, Indonesia! Yang kaya-raya sumber daya alamnya, strategis letaknya, tetapi rakyatnya banyak yang bodoh dan diperbodohi._

Mereka jaringan Kapitalis-Yahudi Zionis Fremason (bertabirkan Katolik atau Protestan) dan pebisnisnya, untuk New World Order.

Juga Neo Komunis RRC yang sudah setengah Kapitalis, setengah Komunis, tetapi tetap anti agama. Dengan One Belt One Road (OBOR) untuk menguasai dunia dan mempersatukan keturunan Cina. Dan jaringan pebisnisnya.

Plus bahaya Syi'ah yang sudah bersumpah menguasai dunia dan membunuhi Muslimiin (Ahlus Sunnah)! Dan sedang dibuktikan mereka di Suriah, Iraq, Yaman, Libanon.

Dan jaringan kaum kafiruun, munafiquun anti Islaam manapun. Termasuk pelaku pemurtadan, Sekuleris, Pluralis, Liberalis, hingga Kejawen, Dukun, Ahmadiyah, LGBT, dsb.

Yang kesemuanya pada akhirnya akan bersatu di bawah Dajjal (*), bersama Jin Kafir (Setan), dan Iblis.

(*) Dajjal berciri-ciri sama dengan Mossiach (Messiah) bagi Yahudi, Imam Kedua Belas bagi Syi'ah, Anti Kristus bagi Kristen. 🌍

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

*Jaringan Pemusnah Pater Beek Untuk Hancurkan Islam di Rezim 2 Jokowi Menguat*

https://www.nahimunkar.org/jaringan-pater-beek-untuk-hancurkan-islam-indonesia-menguat-di-rezim-2-jokowi/

By Djoko Edhi Abdurrahman, Anggota Komisi III DPR (2004 – 2009), Advokat, Wasek Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum PBNU.


_Pater Beek sudah meninggal 1983. Tapi jaringannya, yang terdiri dari CIA, Katolik Roma, PMKRI Radikal, Kasebul, Tentara Jesuit, dan CSIS sendiri sedang dalam masa puncak kemampuan penghancuran, seiring periode kedua Presiden Jokowi._

Setelah menghancurkan Komunis Indonesia, target jaringan itu adalah penghancuran Islam Indonesia.

Maka ketika Jokowi naik jadi presiden kedua kalinya, perhatian saya tercurah ke jaringan pemusnah Pater Beek yang makin massif. Tadinya dibahas di PN1.

Jaringan ini menguasai Densus 88, penyidik KPK, Katolik PDIP, dan kelompok bisnis papan atas Hoaqiau.

Dalam sejumlah diskusi, tak ada perbedaan pendapat bahwa jaringan pemusnah Pater Beek itu, adalah ancaman bagi aktivis Islam.

Setelah komunis dipunahkan, sesuai target Pater Beek, adalah penghancuran Islam.

Penghancuran Islam sudah dimulai sejak Orba, dan successfull. PPP dihabisi oleh Golkarnya Pater Beek, kini tinggal parpol marginal yang tak punya makna bagi Komunitas Islam.

_Periode Kedua Jokowi, adalah kemenangan jaringan Pater Beek melawan gerakan Islam dengan PDIP sebagai ruling party yang sukses menundukkan semua parpol koalisi._

Bahkan berhasil menarik Prabowo Subianto, panglima perang yang kabur dari medan perang 02 itu ke koalisi 01.  Memalukan!

Saya mengutip artikel anonim untuk mengenalkan Pater Beek, pendiri CSIS dan pendiri Sekbergolkar. Tanpa mengenal Pater Beek, niscaya gagal memahami peta pertarungan Islam versus Katolik di global village pada FGD mendatang.

_Katolik di situ harus dibaca Freemason, juga Barat, yang sangat paranoid akan bangkitnya Khilafah Islamiyah dari Indonesia, setelah dua kali Perang Dunia pecah gegara Khilafah Islamiyah._

Jaringan Katolik itu penting, apakah mereka masih anti komunis, ketika komunis telah bermutasi menjadi one state two systems.

Bentuk nyatanya terkini, adalah OBOR (One Belt One Road - Satu Sabuk Satu Jalan, Satu China) dan OBOR Inisiative.

Faktanya, Hoaqiau Indonesia malah jadi proxy RRC.

_Musuh satu-satunya adalah Islam untuk dihancurkan via sejumlah jargon radikal: khilafah, terorisme, takfiri._

“Gereja harus berperan dalam mengatur Negara, kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui Negara”, kata Pater Beck Josephus Gerardus van Beek.

Pater Beek lahir di Amsterdam, 12 Maret 1917, meninggal di Jakarta, 17 September 1983 pada usia 66 tahun. Ia  pastor Yesuit (Katolik Roma), dikenal dengan panggilan Pater Beek.

Kemampuannya kurang lebih sama dengan Van Der Plass, arsitek Indonesia RIS (Republik Indonesia Serikat). Pater Beek juga dianggap lanjutan Van Der Plass.

Pater Beek lahir di Amsterdam, Belanda, sebagai bungsu dari empat bersaudara. Ia bungkas  ketika Perang Dunia I meletus. Sejak anak-anak ia dididik di kolese yang dikelola oleh imam-imam Yesuit.

Setelah itu masuk ke Serikat Yesus dan menjadi novisiat tahun pertama di Mariendaal, Grave, pada 7 September 1935.

Novisiat tahun kedua, 1937, dijalaninya di Girisonta, Indonesia. Ketika menjadi novis (siswa novisiat), semangat mudanya dikobarkan dengan gairah pergi ke tanah misi, Hindia Belanda, tanah jajahan Pemerintah Kerajaan Belanda, negerinya.

Ketika Jepang menduduki Indonesia, Pater Beek sempat menghuni kamp interniran di Kesilir, Banyuwangi (1943), kamp Banyubiru, Semarang (1944), kamp Cikudapateuh, Bandung (1945), dan kamp Pundong, Bantul (1946).

Meskipun ia rohaniwan, berkewarga negaraan asing, Pater Beek lama bertugas di Indonesia.

Ialah otak pembentukan lembaga CSIS (Center for Strategic and International Studies) pada 1 September 1971.

Ketika politik Indonesia dikuasai Komunis, ia menggalang aliansi dengan TNI dan melahirkan Sekbergolkar (Sekretaris Bersama Golongan Karya), cikal bakal Golkar.

Pater Beek menulis surat terbuka monumental kepada Presiden Soekarno. Surat kritik tajam terhadap kebijakan Presiden Soekarno itu, memberi tekanan terhadap PKI.

Ia menggunakan nama samaran Dadap Waru, bertanggal 5 November 1965. Isi surat itu agar Bung Karno bersikap tegas menindak PKI.

Selain pernah sebagai Kepala Asrama Realino, Pater Beek juga turut mengawali Biro Dokumentasi. Biro Dokumentasi adalah biro Serikat Yesus Provinsi Indonesia pada tahun 1961 semasa Pater Georgius Kester menjadi Provinsial.

Biro itu menyediakan bahan studi dan analisis keadaan berdasarkan tolok ukur ajaran dan moralitas Katolik untuk digunakan aktivis.

Dalam kegiatannya, biro itu menyiarkan dokumen mengenai kebijakan pemerintah dan evaluasi atas berbagai kejadian penting di Indonesia.

Apa yang dilakukan Biro Dokumentasi itu kemudian menjadi asupan bagi masyarakat, khususnya umat Katolik di Indonesia, untuk menghadapi perkembangan sosial, politik masyarakat, serta bersikap kritis terhadap pemerintah.

_Analisis yang dihasilkan Biro Dokumentasi kemudian diedarkan kepada aktivis yang terlibat dalam Front Pancasila dan Sekbergolkar._

Biro itu, antara lain, menghasilkan kajian tentang sosialisme yang mempertemukannya dengan intepretasi gagasan sosialisme yang disodorkan PKI.

Vatikan kemudian memindahkan Beek dari Indonesia karena diminta oleh Kabakin, waktu itu Letjen Soetopo Yuwono. Beek kembali lagi ke Indonesia pada 1974.

Ia meninggal 17 September 1983 di RS Saint Carolus, Jakarta, dalam usia 66 tahun. Ia dimakamkan di Giri Sonta, kompleks pemakaman dan peristirahatan ordo Serikat Yesus di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.


Agen CIA

_Fakta bahwa Beek adalah agen CIA, selain diungkap di buku “Pater Beek, Freemason dan CIA” dikemukakan pula oleh Dr. George J. Aditjondro (penulis yang juga mantan anak buah Beek), dalam artikel berjudul "CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani"._

Di artikel itu, George menulis: "Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal anti-Komunis yang bekerja sama dengan pastur yang pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong" (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong).

Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka, tidak sulit untuk dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA.

Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia.

Fakta yang diungkap George didukung disertasi Mujiburrahman berjudul "Feeling Threatened Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Orde".

_Dalam buku "Pater Beek, Freemason dan CIA", Sembodo mengatakan, mereka yang digerakkan Beek untuk membentuk organisasi-organisasi itu, adalah mahasiswa Katolik yang telah dipersiapkan melalui Kasebul (Kaderisasi Sebulan), seperti misalnya Sekjen DPP PDIP,  Hasto Christianto, contohnya._

Melalui Kasebul, Beek menciptakan banyak kader radikal militan untuk memperjuangkan misi Katolik, yang terpenting  pada masa ORBA adalah untuk menghancurkan kekuatan politik Islam di Indonesia, memarginalisasi umat Islam dan menyingkirkan umat Islam Indonesia dari peran strategis pemerintahan dan negara.

Sebagai tindak lanjut, pada 3 Oktober 1965 para mahasiswa itu membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan GESTAPU (KAP-GESTAPU) yang, pada 23 Oktober 1965 berganti nama menjadi Front Pancasila.

Ketua umumnya Subchan ZE (Ketua PBNU, yang akhirnya terbunuh di Mekkah) dan Sekjennya Harry Tjan Silalahi, kader Beek.

Setelah Front Pancasila terbentuk, organisasi lain juga terbentuk.

Di antaranya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KAPMI (Kesatuan Aksi Pemuda Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Pemuda Pelajar Indonesia), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), dan KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia).

Bersama Front Pancasila, organisasi itu melakukan demonstrasi menuntut pembubaran PKI berikut semua organisasi underbouw-nya.

Tuntutan mereka dipertegas dalam Resolusi Front Pancasila saat Rapat Raksasa Pengganyangan Kontra Revolusi pada 9 November 1965 di Lapangan Banteng, Jakarta.

Resolusi ini antara lain berisi tuntutan agar PKI dibubarkan dan tokoh-tokohnya diajukan ke pengadilan. Resolusi diserahkan secara langsung kepada wakil pemerintah yang hadir di tempat itu.

Dari semua organisasi mahasiswa tersebut, yang paling fenomenal adalah pembentukan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) karena organisasi yang dibentuk pada 25 Oktober 1965 ini merupakan organisasi yang dibentuk berkat kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP), Mayjen dr. Syarief Thayeb.

Organisasi-organisasi tersebut adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), SOMAL (Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal), Mahasiswa Pancasila (Mapacas), dan IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia).

‘Bermainnya tangan’ Beek di organisasi ini terlihat dari dominasi kader pastur itu di organisasi ini. Bahkan ketua presidium organisasi ini adalah kader Pater Beek, yakni Cosmas Batubara.

Sembodo menegaskan, Cosmas termasuk kader Beek yang giat menggalang aksi mahasiswa untuk mempercepat tergulingnya Soekarno dan hancurnya PKI.

Sembodo bahkan berani menyebut bahwa KAMI-lah organisasi yang menjadi poros utama Beek untuk menciptakan puting beliung yang menghancurkan Soekarno dan PKI.

Masih menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, Van den Heuval dalam laporan-laporannya menjelaskan, Beek mulai menggalang kekuatan mahasiswa sejak mengajar di Universitas Atmajaya.

Dari sini ia membangun sel di kalangan mahasiswa dengan menyadari, selain tentara, mahasiswa merupakan kekuatan besar yang dapat digerakkan.

Terbukti, ketika para pendukung Soekarno, terutama tentara, bereaksi, mahasiwalah yang dikerahkan untuk memukul balik reaksi itu.

Peranan Beek dalam pengorganisasian mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno, dibenarkan ISAI melalui hasil investigasinya yang dipublikasikan dalam buku berjudul "Bayang-bayang PKI".

“Selama bertahun-tahun Pater Beek telah menghimpun dan membina anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk ditempa sebagai kekuatan anti-Komunis. Basis utamanya adalah PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) yang saat itu merupakan underbouw Partai Katolik.

Tokoh-tokoh PMKRI pula yang kemudian banyak terlibat dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

_Dengan pengaruh dan jaringan anti-Komunis yang kuat itu, tak heran banyak dugaan bahwa Pater Beek memainkan peranan penting dalam gerakan anti-Komunis. Antara lain, ia sering disebut sebagai penghubung antara AD dengan CIA._

Strategi KAMI untuk menggulingkan Soekarno sangat halus. Pada awal gerakan, organisasi ini seolah mendukung sang the founding father dan hanya menuntut pembubaran PKI.

Akan tetapi  ketika Soekarno tidak memedulikan tuntutan itu, maka strategi diubah. Mereka mulai melancarkan perang terbuka terhadap Soekarno dengan cara menggelar demonstrasi secara bertubi-tubi untuk mendesak Soekarno mengundur diri sebagai presiden.

Soekarno tentu saja naik pitam dan meminta agar KAMI dibubarkan.
Saat KAMI terpojok, Beek segera mengefektifkan sel-selnya yang telah ditanam di pemerintahan.

_Dalam buku berjudul "Army and Politics in Indonesia', Harold Crouch memaparkan, alih-alih membubarkan KAMI, Ali Moertopo justru memindahkan markas organisasi itu dari kampus UI ke Komando Tempur II Kostrad di mana Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin Ali Mutopo berkantor._

Seperti mendapat perlindungan, pemimpin KAMI, Cosmas Batubara menjadi aman di sana. Bahkan dari sana pula gerakan KAMI dapat ‘dikendalikan’ oleh Ali Murtopo, dan kembali dikobarkan.

Ali Murtopo tidak sendiri mengobarkan kembali aksi KAMI itu. Ia dibantu Kemal Idris dan Sarwo Edhi.

Bahkan agar terkesan gerakan KAMI mendapat dukungan luas dari masyarakat dan jumlah peserta demonstrasi semakin lama semakin banyak, Ali Murtopo membagi-bagikan jaket kuning yang serupa dengan jaket almamater UI, kepada mahasiswa dari kampus lain agar mereka dapat ikut serta berdemo.

Crouch menyebut, jaket itu berasal dari CIA.

Tentang pembagian jaket almamater UI palsu itu diungkap Manai Sophian di buku "Bayang-bayang PKI"

Katanya: "Saya punya dua jaket kuning yang didatangkan dari Hawai itu. Saya simpan, akan saya kasih tunjuk kalau ada orang yang tidak percaya. Jaket kuning itu dipakai anak-anak sekolah di Amerika menjelang musim dingin dan dipakai juga oleh sheriff. Lantas didatangkan ke sini. Dan oleh Ali Murtopo disuruh dibagi-bagikan. Jaket kuning ini memang bukan jaket kuning UI”.

Ketika akhirnya Soekarno benar-benar membekukan KAMI, Ali Murtopo membentuk dua organisasi baru untuk melancarkan demonstrasi anti-Soekarno selanjutnya, yaitu KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim.

Demonstrasi besar-besaran inilah yang memaksa Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), surat yang aslinya hingga kini masih misterius keberadaannya, dan menjadi pertanda awal kejatuhan sang the founding father.

Hebatnya, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, Soeharto mampu melumpuhkan partai yang beranggotakan sekitar 20 juta orang.

Dalam buku "Pater Beek, Freemason dan CIA", Sembodo menyatakan bahwa keberhasilan Soeharto itu tak lepas dari campur tangan Beek.

Melalui Ali Murtopo, Beek menyerahkan 5.000 nama pentolan PKI dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk Madiun yang menjadi salah satu basis PKI, kepada CIA.

Oleh Dinas Intelijen Amerika Serikat itu, data diserahkan kepada Soeharto agar orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar itu ditangkap.

Hal ini terungkap setelah wartawati Amerika Serikat, Kathy Kadane, mewawancarai mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, pejabat CIA, dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

Mantan pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat, Lydman, mengakui kalau pengumpulan nama-nama orang PKI selain dilakukan oleh stafnya, juga dibantu oleh Ali Murtopo yang kala itu menjabat sebagai kepala Opsus. Dengan dua cara ini, maka 5.000 nama pentolan PKI terkumpul.

Mengapa Ali Murtopo menyerahkan dulu daftar itu kepada CIA, dan tidak langsung saja kepada Soeharto?

_Jawabannya jelas, karena Ali Murtopo adalah anak buah Beek, dan selain anggota Freemason, Beek adalah anggota CIA._

Jadi, sebelum daftar itu digunakan oleh Soeharto, CIA harus men-screening-nya dulu agar tidak ada nama yang sebenarnya merupakan bagian dari CIA, ikut terbantai.

Jejak Beek mungkin bisa dilacak dari perlakuan Soeharto selanjutnya kepada Soekarno. Setelah tidak lagi menjadi presiden, Soeharto menjadikan Soekarno sebagai tahanan politik, dan mengisolasinya dari dunia luar.

Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Soeharto juga tidak mau memenuhi amanat Soekarno untuk memakamkannya di Istana Batu Tulis, Bogor.

Melalui Keppres RI No. 44 Tahun 1970, Soekarno dimakamkan di kota kelahirannya, Blitar, Jawa Timur.

Menghancurkan Islam!

Setelah Soekarno dihabisi, selanjutnya, melalui tangan Soeharto, Islam menjadi sasaran berikutnya yang dihabisi oleh Pater Beek.

Naiknya Soeharto menjadi presiden tak ubahnya bagai kunci pembuka jalan yang mempermudah misi Pater Beek selanjutnya: menghancurkan Islam!

Maka tak heran jika selama hampir 20 tahun pertama  Orde Baru (1967-1987) banyak terjadi peristiwa yang menyakiti dan merugikan umat Islam.

_Dalam buku "Pater Beek, Freemason dan CIA", Sembodo mengatakan untuk mencapai misinya ini, Beek menggunakan konsep Gereja dalam ‘mewarnai kehidupan di bumi’, yakni berperan aktif dalam berbagai lini kehidupan bernegara._

Ia mengacu pada tulisan Richard Tanter yang bunyinya: “Visi (Pater) Beek pribadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara, kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui Negara”.

Dari visi ini, tegas Sembodo, jelas sekali bahwa Pater Beek mempunyai kehendak untuk ‘mewarnai’ kehidupan politik di Indonesia dengan ‘mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara’.

Dengan kata lain, Beek menempatkan banyak orang-orangnya di berbagai posisi strategis di dalam pemerintahan Orde Baru, era pemerintahan Soeharto.

Dengan konsep seperti ini, maka dikembangkanlah konsep Negara yang oleh Daniel Dhakidae dalam bukunya yang berjudul "Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru", disebut sebagai ‘Negara Organik’.

Menurut Daniel, konsep ini merujuk pada ajaran Thomas Aquinas, yaitu adanya jaminan ketenteraman lewat suatu pemerintahan yang ‘keras’, yang mempunyai kemampuan memerintah dan kemampuan memaksa.

Konsep negara organik seperti ini akan menolak paham liberalisme dan sosialisme, karena paham liberalisme dianggap memberikan tempat istimewa bagi pribadi, sedangkan sosialisme dianggap menghalalkan perjuangan kelas yang akan menghancurkan tatanan Negara organik.

Di atas konsep seperti itu lah awalnya Orde Baru dibangun. Sebagai sebuah negara organik, Orde Baru mempunyai dua ciri yang menonjol, yakni hirarki (sentralistik) dan harmonisme.

Agar Negara kuat, maka harus dipegang secara hirarkis di mana yang paling atas memegang kontrol, terhadap orang-orang di bawahnya.

Sementara untuk menjaga ketenteraman, maka harmonisme harus dijaga dengan cara sebisa mungkin menghilangkan perbedaan pendapat, dan setiap permasalahan diselesaikan secara musyawarah.

Dua perwira TNI AD yang didekati Beek adalah Yoga Sugama dan Ali Murtopo. Kedua orang ini direkrut karena dinilai memiliki kriteria sesuai yang ia butuhkan.

Apalagi karena kedua orang inilah yang mendukung Soeharto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Dukungan diberikan saat Soeharto masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta.

Jadi, setelah mendapatkan pion utama untuk menyukseskan misinya, Beek mendapatkan pembantu-pembantu pion utamanya itu.

Maka lengkap sudah pion-pion yang ia butuhkan. Tinggal mencari pion-pion pendukung lain sebagai kacung-kacung ketiga pion ini.

Beek mengenal sosok Yoga Sugama dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), salah satu organisasi yang menjadi tunggangannya dalam menyukseskan misi-misinya. Organisasi ini bahkan ikut memiliki peranan penting dalam penggulingan Soekarno.

Karir Yoga seluruhnya dihabiskan di dunia yang sepak terjangnya selalu dilakukan secara diam-diam dan sulit dilacak itu.

Selain di Jepang, ia pernah mendapat pendidikan intelijen di Inggris pada 1951. Kehebatannya dalam dunia yang satu ini, juga sifatnya yang cenderung machiavelis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan), sesuai yang dibutuhkan Pater Beek.

Apalagi karena untuk dapat menyukseskan misi-misinya, Beek memang harus melakukan gerakan seperti layaknya seorang intel.

_Meski ia seorang pastur, predikat itu hanya alat untuk mencapai misi-misinya_. Itu sebabnya dalam lembaran sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi-perguruan tinggi, nama ini tidak pernah sekali pun muncul karena ia memang tak pernah memunculkan dirinya secara terang-terang dalam beragam peristiwa di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30S/PKI maupun peristiwa-peristiwa besar lainnya.

Beek mengenal sosok Ali Mutopo juga dari PMKRI. Di mata Beek, Ali adalah sosok yang ambisius dan machiavelis, sosok yang dibutuhkannya. Apalagi karena Ali juga bukan seorang Muslim yang taat, meski berasal dari keluarga santri.

Seperti Soeharto, Ali dikenal sebagai penganut ajaran kejawen atau Islam abangan. Mengenai hubungan Ali Murtopo dengan Beek, Dr. George J. Aditjondro memberikan penjelasan:

Banyak yang tak percaya kalau Ali Murtopo (yang berasal dari keluarga santri di pesisir Pulau Jawa) bisa menjadi orang yang sangat anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang Islam di awal Orde Baru.

Yang orang cenderung lupa adalah, bahwa Ali Murtopo punya rencana berkuasa. Oleh karena itu, semua yang merintanginya untuk mencapai tujuannya haruslah ditebas habis.

Musuhnya bukan cuma Islam, tapi juga perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti HR Dharsono, Kemal Idris, Sarwo Edhi Wibowo, dan Soemitro (Pangkopkamtib).

Almarhum HR Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi dengan orang-orang PSI untuk menciptakan sistem politik baru untuk menyingkirkan Soeharto.

Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi presiden. Sedang Sarwo Edhi difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang ke atas) Soeharto.

Maka jelas apa yang membuat Beek merasa cocok merekrut orang ini.

_Di kemudian hari terbukti bahwa Ali Murtopo merupakan ‘abdi’ Beek yang setia, yang patuh pada apapun perintah Beek untuk menghancurkan Islam yang merupakan agama Ali Murtopo sendiri._

Untuk mencapai tujuan yang besar, maka dibutuhkan modal dan sarana yang besar pula. Pater Beek tentu menyadari hal ini, sehingga menjadikan Soeharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo saja tidak cukup, maka harus ada pion-pion yang menjadi pendukung ketiga pilar utamanya ini agar tujuan tercapai.

Sebelum dan selama mendekati Soeharto, Yoga Sugama, dan Ali Murtopo, Beek juga mendekati orang-orang di luar institusi militer.

Di antaranya adalah mahasiswa yang dalam beberapa peristiwa, terbukti dapat dijadikan motor paling efektif untuk melancarkan sebuah gerakan dan membuat perubahan.

_Bagi Beek, merekrut mahasiswa Islam untuk menjadi ‘anggota pasukannya’ tentulah tidak mudah. Maka dengan didukung agen-agen CIA dan Freemason yang lain, ia menggarap mahasiswa Katolik. Maka berdirilah PMKRI pada 25 Mei 1947._

Dalam buku "Pater Beek, Freemason dan CIA", Sembodo menulis, berdirinya PMKRI bermula dari hasil fusi Federasi Katholieke Studenten Vereniging (KSV) dan Perserikatan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Yogyakarta.

Kala itu Federasi PSV memiliki cabang di beberapa kota di Indonesia, yakni KSC St. Bellarminus Batavia yang didirikan di Jakarta pada 10 November 1928, KSV St. Thomas Aquinas Bandung yang didirikan pada 14 Desember 1947, dan KSV St. Lucas Surabaya yang didirikan pada 12 Desember 1948.

Federasi KSV yang didirikan pada 1949 diketuai Gan Keng Soei (KS Gani) dan Ouw Jong Peng Koen (PK O Jong). Sedang PMKRI Yogyakarta yang didirikan pada 25 Mei 1947 diketuai pertama kali oleh St. Munadjat Danusaputro.

Di antara tokoh-tokoh PMKRI yang menonjol di era Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah dua bersaudara Liem Bian Koen (Sofian Wanandi) dan Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi).

Menurut Mujiburrahman dalam desertasi bertajuk ‘Feeling Threatened Muslim-Christian Releations in Indonesia’s New Orde’, kedua bersaudara ini merupakan kader utama Beek di PMKRI.

Kedua orang ini merupakan motor gerakan mahasiswa untuk menggulingkan Soekarno dan membasmi PKI. Setelah kedua ‘musuh’ tersebut dihancurkan, mereka kemudian mengorganisasikan penindasan terhadap Islam.

Selain kedua bersaudara tersebut, dalam desertasi Mujiburrahman, juga menyebut kader Beek yang lain, yakni Cosmas Batubara dan Harry Tjan Silalahi.

Di era Orde Baru, Cosmas menduduki berbagai jabatan penting, termasuk menteri. Ia kelahiran Simalungun 19 September 1938 lulusan Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan FISIP UI yang aktif di PMKRI sejak masih kuliah. Ia bahkan sempat menjadi ketua umum organisasi itu.

Harry Tjan Silalahi yang lahir di Jogjakarta pada 11 Februari 1934 pernah menjabat sebagai sekjen Partai Katolik. Ia aktif berorganisasi sejak masih SMA, dimana kala itu ia menjadi anggota Chung Lien Hui, organisasi keturunan Tionghoa.

Di bawah kepemimpinannya, organisasi itu berganti nama menjadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI). Ia juga aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia.

Setelah lulus SMA, Harry pindah ke Jakarta dan kuliah di Fakultas Hukum UI. Ia lulus pada 1962. Selama kuliah, ia aktif di perkumpulan Sin Ming Hui dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan terpilih menjadi sekjen. Dari sini lah ia dikenal Pater Beek dan direkrut.

Selain menggarap mahasiswa di dalam negeri, melalui Ali Moertopo, Beek juga menggarap mahasiswa Indonesia yang tengah menuntut ilmu di luar negeri.

_Mahasiswa-mahasiswa ini kelak akan menjadi bagian dari CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang menjadi think thank Orde Baru dalam setiap kebijakan, khususnya terkait upaya merginalisasi dan penyingkiran umat Islam di seluruh sektor kehidupan bangsa._

Tentang pembangunan jaringan ini diungkap sendiri oleh Harry Tjan Silalahi dalam tulisan berjudul "Centre Lahir dari Tantangan dan Jaman":

“Bapak Ali Moertopo almarhum mendorong para aktivis di dalam negeri untuk mengadakan kontak kerjasama dengan para aktivis mahasiswa di luar negeri tersebut.

Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa Barat, seperti antara lain di Perancis, yang waktu itu dipimpin Daoed Joesoef, PPI Belgia yang diketuai Saudara Surjanto Puspowardojo, PPI Swiss yang dipimpin oleh Saudara Biantoro Wanandi, demikian pula PPI Jerman Barat yang dipimpin oleh Saudara Hadi Susanto, telah mengambil sikap seperti yang ditunjukkan para mahasiswa dan sarjana yang ada di Indonesia”.

_Menurut M. Sembodo dalam buku "Pater Beek, Freemason, dan CIA", para mahasiswa dan pemuda-pemuda Katolik tersebut kemudian diberi pelatihan oleh Pater Beek yang dikenal dengan sebutan Kaderisasi Sebulan (Kasbul), untuk dijadikan ‘Laskar Kristus’ yang menjalankan Kristenisasi di Indonesia secara besar-besaran._

_Dalam pikiran mereka ditanamkan doktrin bahwa Islam adalah musuh, Islam adalah agama pedang, Islam adalah perampok Yerusalem, Islam adalah perebut Konstantinopel, dan Islam adalah agama anti-Kristus._

Tuduhan-tuduhan ngawur.

Apa saja pelajaran yang diberikan kepada para mahasiswa dan pemuda itu, Richard Tanter mengemukakan:

"(Pater) Beek menyelenggarakan kursus-kursus satu bulanan secara reguler bagi mahasiswa, aktivis, maupun kaum muda pedesaan.

Dengan menghadirkan pastur maupun rohaniawan, sebagai bagian dari program kaderisasi; pelatihan keterampilan kepemimpinan, kemampuan berbicara di hadapan publik, keterampilan menulis, ‘dinamika kelompok’, serta analisis sosial.”

Sedang Cosmas Batubara menjelaskan begini:

“Beliau (Pater Beek) hanya memberikan training-training untuk menghadapi Komunis. Kita didoktrin agar kuat melawan Marxisme-Leninisme. Juga diajarkan bagaimana kelompok Komunis itu beraksi, dan bagaimana menghadapi mereka. Itu kami pelajari. Kalau tidak, bagaimana kami bisa melawan CGMI.”

Apa yang dikatakan Cosmas ini membenarkan adanya Kasebul, namun membantah menyerang Islam. Namun Richard Tanter mengungkapkan begini:

“Bagi (Pater) Beek, ada dua musuh besar, baik bagi Indonesia maupun Gereja, adalah Komunisme dan Islam, dimana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan; sama-sama memiliki kualitas ancaman.”

Jadi, jelas, Beek memang menggunakan ‘pasukannya’ untuk terlebih dahulu menghancurkan Komunis di Indonesia, dan setelah itu Islam.

Tanter mengatakan begini, “Pasca 1965, posisi militan yang anti-Islam digaungkan dengan arus dominan yang berlaku dalam kepemimpinan Angkatan Darat ketika itu."

_"Indonesia yang diidealkan Beek adalah Indonesia yang nasionalistik, non-Islamik, dengan golongan Kristen mendapatkan tempat yang istimewa”._

_Dengan metode menggunakan mahasiswa sebagai ‘pasukan tempur’, Pater Beek sukses menghancurkan dua musuh sekaligus, Komunis dan Islam, dan bahkan waktu kemudian membuktikan bahwa setelah itu Kristenisasi berjalan dengan mulus di Indonesia._

Tentu saja, setelah Soeharto menjadi presiden.


Islam Korban Rezim Orba

Sejak Suharto naik ke puncak kekuasaan menjadi Presiden RI, Beek leluasa menjalankan misi utama berikutnya:

Menghancurkan Islam.

Ketergantungan Soeharto kepada Amerika, posisi Beek sebagai Pastur Jesuit dan agen CIA memudahkan dirinya memberikan masukan dan nasihat mengenai kebijakan pemerintah ORBA.

Berdasarkan pengakuan Beek, dia bertindak selaku konsultan pribadi Soeharto sejak 1966 sampai 1983 menjelang kematiannya.

Untuk memastikan Soeharto selalu menjalankan masukan dan pertimbangan Gereja Katolik, walau Beek sedang tidak berada di Indonesia, pada 1 September 1971 didirikan CSIS.

_Hadi Soesatro, Harry Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi, Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani dan Benny Moerdani menjadi penasihat dan konsultan Soeharto ketika Beek berada di luar negeri._

Sekembalinya Beek dari Amerika pada 1974, dia telah menyiapkan rencana strategis jangka panjang untuk memastikan pemerintah ORBA berjalan sesuai misinya.

Pada 17 September 1983 Beek meninggal dunia. Misinya menghancurkan politik Islam dan marginalisasi umat Islam Indonesia diteruskan CSIS dan para kadernya.

Sejak 1971 sampai 1987 Rezim Orba berhasil menghancurkan politik Islam dan menempatkan umat Islam Indonesia sebagai kelompok paria dalam semua sektor kehidupan.

_Perubahan sikap dan kebijakan Soeharto kepada umat Islam pada 1988 di mana CSIS ditinggalkan Soeharto, Benny Moerdani disingkirkan dan umat Islam mulai dirangkul Soeharto, menimbulkan kemarahan besar dan rencana penjatuhan Soeharto oleh CSIS dan Sofyan Wanandi dan seluruh kader Kasebul._

Soeharto Tumbang

_Setelah bertahun-tahun berupaya menjatuhkan Soeharto yang berhubungan mesra dengan umat Islam, kesempatan emas menjatuhkan Soeharto terbuka lebar dengan bergabungnya James Riady teman karib Bill Clinton Presiden AS._

Setelah melalui pengondisian dengan berbagai cara:

Penyebaran fitnah KKN Soeharto dan Keluarga Cendana, Penunggangan penculikan aktivis yang dilakukan Tim Mawar dengan kasus lain yaitu penghilangan paksa 14 orang, sabotase ekonomi, perampokan BLBI, sampai mendorong aksi demo mahasiswa di kampus – kampus Katolik – Kristen dan merekayasa terjadinya kerusuhan Mei 98, akhirnya Soeharto mengundurkan diri 21 Mei 1998.

Berkuasa Kembali Di Era Jokowi

_CSIS dan kelompok Kasebul bersama konglomerat Tionghoa kembali berkuasa penuh seperti era ORBA 1971 – 1988 melalui terpilihnya Jokowi sebagai Presiden_.

_CSIS kembali menjadi think tank pemerintah dan meneruskan misi utamanya menghancurkan politik Islam dan marginalisasi umat Islam Indonesia._

@geloranews@geloranews

22 Oktober 2019

nahimunkar.or,

Saturday, October 26, 2019

HTI & FPI Anti Demokrasi Tapi Mencari Rejeki Di Negara Demokratis?:: ------------------------------

HTI & FPI Anti Demokrasi Tapi Mencari Rejeki Di Negara Demokratis?::
------------------------------
Oleh: Yunno Al-Haqirin

Kata-kata seperti ini sebuah pikiran kekanak-kanakan yang keluar dari seorang bocah SMP yang sudah kehabisan akal & kata-kata tapi masih ingin menang bacot. Tidak lebih dari itu.

Dan apabila kalimat ini keluar dari mulut seorang ulama, santri, atau profesor Islam, itu menandakan bahwa Al-Qur’an hanyalah sebuah dongeng tanpa hikmah bagi orang itu.

Sekedar dibaca, dihafal, ditilawahkan, tanpa diambil pelajarannya. Hanya sampai tenggorokan, tapi tidak menyentuh hati & akalnya.

Mengapa? Karena bagi orang-orang yang seperti ini, ukuran halal-haram, boleh-tidak, mungkin-mustahil, & benar-salahnya semua disandarkan pada hal-hal yang bersifat duniawi, bukan pelajaran atau hikmah dari Islam (termasuk kisah-kisah dalam Al-Qur’an).

Artinya, dengan watak, mental, & pemikiran seperti itu, orang-orang tersebut akan menjadi budak yang tunduk pada penguasa dunia sekaligus musuh para Nabi & Rasul pada jamannya. INGAT, dengan watak, mental, & pemikiran seperti di atas.

Apakah mereka akan mengatakan dengan lancang seperti:

“Wahai Ibrahim, kalau kamu tidak suka dengan sistem & peraturan di negaranya Namrudz, kenapa kamu tinggal & cari makan disini?”

“Wahai Musa, kalau kamu tidak suka dengan Fir’aun & peraturannya, kenapa kamu masih tinggal disini?”
“Wahai Nuh, pergi saja dari negara ini & jangan mencoba merubahnya kalau kamu tidak suka dengan warisan nenek moyang kami.

“Wahai Isa, kalau kamu tidak suka dengan undang-undang & konstitusi Romawi, jangan mencoba mengubahnya karena ini sudah kesepakatan bangsa Yahudi & Romawi.”

“Wahai Luth, kalau kamu tidak suka dengan kebebasan di negeri kami, keluar saja.”
“Wahai Muhammad, kalau kamu tidak suka dengan tradisi & peninggalan nenek moyang bangsa Quraisy, maka pergilah dari Makkah & jangan mencoba mengubah-ubah apapun dengan da’wahmu. Makkah harga mati!!!”

“Wahai Sulaiman, jangan kritik negara Bilqis karena dia punya negara & aturan sendiri. Jangan ikut campur.”

Dsb dll dst.

Maka jadilah Allah s.w.t yang maha agung yang “harus” tunduk, patuh, & menyesuaikan diri dengan aturan, hukum, & kemauan manusia.

Sebenarnya apabila orang-orang mau berpikir & jantan dalam mengakui kesalahan atau kekhilafannya, maka mudah saja. Cukup dengan mengatakan,
“kenapa bukan kalian yang keluar dari alam semestanya Allah sekarang juga kalau tidak suka hukum & ketentuan Allah?

 Menerapkan hukum syariat Islam secara kaffah itu wajib. Tegaknya Khilafah pun sudah menjadi janjiNya. Maka kalau kalian tidak suka, kenapa bukan kalian saja yang keluar dari alam semestanya Allah sekarang juga kalau masih punya rasa malu & rasa tahu diri?”

Dengan begitu, memang benar bahwa tugas para penda’wah adalah sama seperti tugas para Nabi & Rasul terdahulu, yaitu berda’wah, mengubah kejahiliyahan & kekafiran menjadi keimanan & ketaatan, membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia ataupun ciptaanNya, mengurus urusan umat dengan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah s.w.t, serta menjalankan hukum dariNya dengan kaffah (meskipun kita tidak akan pernah bisa semulia mereka).

Para Nabi memang berda’wah di dalam keasingan sebuah negara, masyarakat, agama palsu, maupun sistem. Namun hal itu tidak membuat mereka “merasa tidak enakan” untuk tidak menyesuaikan diri dengan apapun yang tidak sesuai dengan segala yang telah diturunkan & diperintahkan oleh Allah s.w.t.

Allah, agamaNya, & hukumNya sudah pasti lebih tinggi dari apapun yang berada di dunia maupun alam semesta.

Karena itu, para pejuang yang menggunakan selendang para Nabi & Rasul -yaitu selendang da’wah- pasti tetap akan berda’wah & berjuang untuk menegakkan hukum Allah sekalipun mereka berada di negeri asing yang mereka masih harus mencari tempat tinggal & mencari makan di dalamnya.
Mengingat bahwa dunia ini adalah milik Allah, bukan milik “mereka”.

Monday, October 21, 2019

ANTARA QADHI AL-QUDHAT AL-MAWARDI DAN AL-'ALAMAH QADHI AN-NABHANI

ANTARA QADHI AL-QUDHAT AL-MAWARDI DAN AL-'ALAMAH QADHI AN-NABHANI

KH Hafid Abdurrahman

Nama lengkapnya adalah ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Nama kunyah-nya adalah Abu al-Hasan, dan populer dengan nama al-Mawardi. Al-Mawardi dinisbatkan kepada pembuatan dan penjualan air mawar (al-warad), dimana keluarganya populer dengan sebutan itu.

Beliau dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 364 H. Beguru kepada ulama’ Bashrah di zamannya, Abu al-Qasim as-Shumairi (w. 386). Setelah as-Shumairi wafat, beliau melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu di Baghdad, yang nota bene, ketika itu menjadi pusat pengetahuan dan tsaqafah di zamannya. Di sana, beliau belajar kepada ulama’ besar dan terkemuka Baghdad, Abu al-Hamid al-Isfirayini (w. 406 H). Boleh dikatakan, al-Mawardi telah menjadi murid spesialnya.

Beliau belajar bahasa dan sastra kepada Imam Abu Muhammad al-Bafi (w. 398 H). Beliau orang yang paling alim di zamannya dalam bidang Nahwu, sastra dan Balaghah, luar biasa dalam menyampaikan ceramah. Al-Mawardi sangat terpengaruh dengan kehebatan gurunya ini. Karena itu, beliau banyak menimba dari ulama’ ini.

Al-Mawardi adalah salah seorang fuqaha’ mazhab Syafii, yang sudah sampai pada level Mujtahid. Beliau sangat konsisten mengikuti mazhab Syafii sepanjang hayatnya. Belum ada satu bukti pun yang bisa digunakan untuk membuktikan kepindahannya dalam salah satu fase hidupnya ke mazhab yang lain. Ini tampak pada karyanya di bidang fikih, yang dihasilkannya. Kesibukannya untuk mengajar, menghasilkan karya-karya fikih telah mengantarkannya pada jabatan Qadhi al-Qudhat (Kepala Hakim) pada tahun 429 H. Bahkan, juga mengantarkannya sebagai pemimpin mazhab Syafii di zamannya.

Gaya penulisannya sangat jelas dan lugas. Pilihan kata dan maknanya juga sangat jelas. Susunan kata dan redaksinya juga serasi. Tidak hanya itu, beliau juga dikenal dengan akhlaknya yang tinggi, dan mempunyai rekam jejak pergaulan yang besih. Dengan karunia umur yang panjang hingga 86 tahun, wafat tahun 450 H, di tengah berbagai kesibukannya, beliau termasuk ulama’ yang mewariskan khazanah keilmuan yang luar biasa kepada umat Islam.

Karya al-Imam al-‘Allamah Qadhi al-Qudhat al-Mawardi, rahimahu-Llah, meliputi berbagai bidang keilmuan. Meski perhatiannya yang paling besar beliau curahkan untuk fikih. Di antara karyanya di bidang fikih adalah: al-Iqna’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-Hawi, Qawanin al-Wuzara’, Tashil an-Nadhr, dan Ta’jil ad-Dzafr. Karya-karya ini terbukti merupakan karya al-Mawardi, dan telah dinyatakan dengan jelas dan lugas dalam kitab-kitab Tarjamah dan Thabaqat as-Syafiiyah.

Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, merupakan kitab yang ditulis oleh al-Mawardi atas permintaan Khalifah di zamanannya, yaitu al-Qa’im bi Amri-Llah (422-467 H). Meski tidak ada bukti secara autentik, bahwa Khalifah al-Qa’im bi Amri-Llah yang meminta beliau, sebagaimana Abu Yusuf menulis kitabnya, al-Kharaj, atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid, namun melihat kedudukannya sebagai Qadhi Qudhat tahun 429 H, yang tak lain adalah era Khalifah Khalifah al-Qa’im bi Amri-Llah, maka kemungkinan itu sangat kuat.

Hukum-hukum yang dituangkan dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini, sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh al-Mawardi:

“Saya sengaja mengkhususkan sebuah kitab untuk membahas hukum-hukum yang terkait dengan kekuasaan, yang berisi perkara memang wajib ditaati, agar berbagai mazhab para fuqaha’ bisa diketahui, dan apa yang menjadi hak dan kewajibannya bisa dipenuhi, supaya adil pelaksanaan dan keputusannya..”[1]

Karena itu, di dalam kitab ini beliau membahas kaidah tentang sistem politik, administrasi, keuangan, peperangan dan sosial di dalam Negara Khilafah di zamannya. Dalam penulisannya, beliau berpijak pada al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, sebagaimana dalil yang lazim digunakan di kalangan mazhab Syafii. Beliau juga menjelaskan berbagai pandangan mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik dan tentu Imam Syafii sendiri. Sementara mazhab Hanbali boleh dibilang tidak disinggung sama sekali. Mungkin karena Imam Ahmad lebih dekat sebagai Ahli Hadits, ketimbang sebagai fuqaha’.

Boleh jadi karena alasan itulah, maka al-‘Allamah Qadhi al-Qudhat, Abu Ya’la al-Farra’ (w. 458) menulis kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, dengan judul dan isi yang kurang lebih sama untuk menjelaskan hukum-hukum yang sama, tetapi berdasarkan mazhab Hanbali, agar Khalifah di zamannya juga mengetahui pandangan mazhab Hanbali, dan bisa menunaikan apa yang menjadi hak dan kewajibanya.

Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya al-Imam al-Mawardi ini terdiri dari dua puluh bab, antara lain, tentang akad Imamah, pengangkat Wizarat (pembantu Khalifah), bukan wizarat dengan konotasi kementerian seperti dalam sistem Demokrasi, pengangkat Imarah ‘ala al-Bilad (kepala daerah), pengkatan Imarah ‘ala al-Jihad (komando jihad), dan sebagainya. Termasuk bab tentang penetapan Jizyah dan Kharaj, hukum Ihya’ al-Mawat (menghidupkan tanah mati), eksplorasi air (termasuk tambang), Hima dan Irfaq (proteksi lahan dan kepemilikan umum), hingga Diwan (administrasi), Ahkam al-Jara’im (hukum tindak kriminal), dan Hisbah.

Dilihat dari struktur pembahasannya, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah memang memuat hukum-hukum yang oleh penulisnya dianggap sangat dibutuhkan oleh para penguasa, khususnya Khalifah dan jajarannya, di satu sisi, agar bisa menjalankan apa yang menjadi kewajibannya. Di sisi lain, juga bisa menjadi pegangan masyarakat, agar mengetahui apa yang menjadi haknya, dan kewajiban para penguasa itu terhadap diri mereka. Dengan begitu, mereka mempunyai pedoman untuk melakukan check and balance.

Namun, kitab ini masih mencampuradukkan hukum-hukum syara’ yang membahas sistem pemerintahan (Nidzam al-Hukm), sistem ekonomi (an-Nidzam al-Iqtishadi), sanksi hukum (Nidzam al-‘Uqubat), termasuk masalah administrasi dalam satu kitab. Karena itu, jika kita simpulkan, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini sebagai kitab yang khusus membahas tentang sistem pemerintah, sebenarnya tidak tepat. Karena di dalamnya ada juga pembahasan tentang hukum lain. Tetapi, ini bisa dimaklumi, karena sistematika keilmuan dan sistem di era itu belum se detail saat ini.

Konsekuensinya, jika kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini kita implementasikan pada saat ini, tentu kurang sistematis. Meski, isinya cukup memadai berbagai pembahasan yang dibutuhkan, termasuk sebagai referensi awal dan autentik. Dikatakan sebagai sebagai referensi awal, karena ini merupakan salah kitab paling awal yang membahas sistem pemerintahan. Dikatakan autentik, karena kitab ini sekaligus menjadi dokumen autentik untuk menjawab keraguan orang yang selama ini menuduh, bahwa Khilafah tidak ada. Sistem Khilafah tidak jelas. Khilafah tidak wajib, dan tuduhan-tuduhan bodoh lainnya.

Karena itu, bisa dimengerti, jika saat ini kita membutuhkan referensi lain, selain kitab ini, sebagai pelengkap sekaligus menjawab kebutuhan modern yang belum terjawab dengan lugas dan jelas dalam kitab ini. Inilah yang kemudian bisa kita temukan dalam kitab al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, rahimahu-Llah (w. 1977 M), Nidzam al-Hukm fi al-Islam. Kitab yang terakhir ini bisa dikatakan sebagai sistemisasi karya al-Mawardi dalam konteks kekinian, sekaligus menjawab apa yang belum ada di zamannya, dan dibutuhkan ijtihad baru. Istilah Wazir Tafwidh dan Wazir Tanfidz, yang digunakan oleh al-Mawardi, misalnya, digunakan oleh an-Nabhani, tetapi dengan konotasi yang tepat dan akurat dalam konteksnya. Karena itu, beliau istilahkan dengan Mu’awin Tafwidh dan Mu’awin Tanfidz. Karena, istilah Wazir di sini konotasinya Mu’awin, bukan konotasi “Menteri” dalam sistem Demokrasi.

Apa yang tampak tidak jelas dalam pembahasan al-Mawardi, seperti masalah Wilayatu al-‘Ahdi (putra mahkota), status hukumnya, dan bagaimana memahami keabsahannya sebagai proses transisi kekuasaan, juga didudukkan dengan tepat dan akurat oleh an-Nabhani. Meski dalil-dalil dan riwayat yang digunakannya sama, tetapi perspektif dan istimbat-nya berbeda. Dari sini, akhirnya kita tahu, apakah di dalam Islam mengenal putra mahkota, atau tidak? Kalau pun ada, bagaimana proses dan mekanismenya? Termasuk metode baku pengangkatan Khalifah, yang selama ini dianggap tidak jelas. Semuanya dibahas dengan lugas dan jelas.

Kembali kepada karya-karya al-Mawardi di bidang politik, dimana kitab ini bukan satu-satunya karya beliau, bisa disimpulkan, bahwa beliau fokus menjelaskan hukum-hukum fikih berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas dalam masalah ini. Beliau sangat sedikit sekali menggunakan syair, kata bijak dan metafor dalam kitabnya. Berbeda ketika kita membaca kitabnya yang lain, seperti Adab ad-Dunya wa ad-Din. Di sini, kita akan menemukan banyak sekali syair, kata bijak dan metafor yang digunakan untuk mendukung pendapatnya.

Ini bisa dipahami, karena tujuan penulisan karya-karyanya di bidang politik ini memang berbeda dengan yang lain. Tetapi, ada yang menarik. Dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini, maupun karya fikih politik beliau yang lain, beliau sama sekali tidak terpengaruh dengan teori-teori Socrates, Plato, Aristoteles atau filsuf Yunani lainnya. Meski, ketika itu buku-buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Dengan begitu, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Qadhi al-Qudhat al-Mawardi ini merupakan kitab rujukan penting. Namun, kitab ini mempunyai kedudukan dan kekuatan tersendiri. Selain penulisnya yang nota bene adalah Mujtahid, kitab ini ditulis oleh salah seorang pelaku sejarah, dengan jabatan Qadhi al-Qudhat, di zamannya. Karena itu, meski ini bukan rujukan satu-satunya, tetapi kitab ini penting, sekaligus menjadi dokumen autentik penerapan sistem pemerintahan Islam di dalam Negara Khilafah, di era Khilafah ‘Abbasiyyah.

Bogor, 23 Dzulhijjah 1435 H

17 Oktober 2014 M

KH Hafidz Abdurrahman

Tuesday, October 15, 2019

Perjalanan ke Jantungnya Teror

https://g.co/kgs/brdmBZ

*Perjalanan ke Jantungnya Teror*


Mencengangkan, 10 tesis politisi jerman tentang Islam. Seorang  politikus dari partai CDU (Kristen-Demokrat) yang pernah 18 tahun duduk di parlemen Jerman, Jürgen Todenhöfer, telah membaca Qur'an.

Setelah membaca, mengamati dan berpikir, Todenhöfer menulis. Hasilnya: sebuah buku “Feinbild Islam – Zehn Thesen gegen Hass” (Potret Buruk Islam – Sepuluh Tesis Anti Kebencian”), yang terbit di akhir tahun 2011. Berikut ringkasannya:

1. Barat Lebih “Brutal“ dari Dunia Islam

Todenhöfer, dalam tesis pertama, mengingatkan fakta sejarah yang sering terlupa di dua abad terakhir. Barat jauh lebih brutal daripada dunia Muslim. Jutaan warga sipil Arab tewas sejak kolonialisme dimulai. Atas nama kolonialisasi, Prancis pernah membunuh lebih dari dua juta penduduk sipil di Aljazair, dalam kurun waktu 130 tahun. Atas nama kolonialisasi, Italia pernah menggunakan phosphor dan gas mustard untuk menghabisi penduduk sipil di Libya. Atas nama kolonialisasi, Spanyol juga pernah menggunakan senajata kimia di Marokko.

Tidak berbeda di era setelah perang dunia kedua. Dalam invansi perang Teluk kedua, semenjak tahun 2003, UNICEF menyebutkan, 1,5 juta penduduk sipil Irak terbunuh. Sepertiganya anak-anak. Tidak sedikit dari korban terkontaminasi amunisi uranium. Di Baghdad, hampir setiap rumah kehilangan satu anggota keluarganya.

Sebaliknya, di dua abad terakhir, tidak satu pun negara islam menyerang, mengintervensi, mengkolonialisasi Barat. Perbandingan jumlah korban mati (dunia Islam: dunia Barat) adalah 10:1. Problema besar dunia, di dua abad belakangan ini, bukan kebrutalan Islam, tapi kebrutalan beberapa negara-negara Barat.

2. Mempromosikan Anti-Terorisme, Melahirkan Terorisme

Terorisme jelas tidak dibenarkan. Menilik secara objektiv, terorisme justru lahir dari politik anti-terorisme Barat yang keliru.

“Seorang pemuda muslim,” tulis Todenhöfer, “yang secara rutin memantau berita di televisi, hari demi hari, tahun demi tahun, akan situasi di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina dan di tempat lain, di mana perempuan, anak-anak dan penduduk sipil, dihabisi oleh Barat dengan brutal, justru diprovokasi untuk menjadi seorang teroris.”

Beruntung saja, sebagian besar pemuda islam tidak terpancing. Mereka memilih jalan yang berbeda. Di Tunisia, Mesir, Libya, Marokko, dan negara-negara muslim lainnya, mereka menjawab ketidak-adilan yang menimpa mereka melalui jalan demokrasi dan teriakan kebebasan, bukan teror dan kekerasan.

3. Terorisme: Fenomena Dunia, Bukan Fenomena Islam

Pemeo favorit di setiap diskursi bertemakan terorisme: “Tidak setiap muslim teroris, tapi seluruh teroris adalah muslim.” Selain jauh dari benar, dengan data dan fakta, propaganda ini mudah dipatahkan.

Data resmi Badan Kepolisian Eropa, Europol, menyebutkan: Dari 249 aksi teror di tahun 2010, hanya tiga yang pelakunya berlatar belakang Islam. Bukan 200, bukan 100 – tapi tiga! Data di tahun-tahun sebelumnya, juga tidak kalah mengejutkan: Dari 294 aksi terror di tahun 2009, hanya satu yang berlatar belakang Islam. Hanya satu dari 515 aksi teror di tahun 2008. Hanya empat dari 583 di tahun 2007.

4. Hukum Internasional untuk Semua

Di hadapan hukum internasional, dunia Barat selalu mentematisir, dan merekam dengan baik, 3500 korban terorisme yang jatuh atas nama “teror-Islam“ semenjak pertengahan 1990-an (termasuk korban WTC, pada 11/9). Tapi mengapa ratusan-ribu warga sipil yang terbunuh dalam intervensi di Irak tidak pernah ditematisir.?

Lebih jauh, Todenhöfer bertanya kritis: “mengapa elite Barat, tidak pernah sekalipun menimbang; membawa George W. Bush dan Tony Blair ke hadapan mahkamah internasional, atas serangan sepihaknya ke Irak.? Apakah hukum internasional hanya berlaku untuk orang-orang non-Barat.?“.

Perang, bukan jawaban untuk aksi-aksi terorisme. Perang, hanya manis untuk mereka yang tidak mengenalnya. Teroris yang membunuh orang-orang tidak berdosa, bukanlah pejuang kebebasan, bukan pahlawan, bukan pula syuhada. Mereka mengkhianati agama mereka. Mereka adalah pembunuh.

5. Muslim, Toleransi dan “Perang Suci“

Bukan Muslim, yang atas nama kolonialisasi membunuh 50 juta nyawa di seantero Afrika dan Asia. Bukan Muslim, yang atas nama perang dunia pertama dan kedua menghabiskan 70 juta nyawa. Bukan pula Muslim, yang menggencarkan genosida terhadap 6 juta orang-orang Yahudi.

Islam tidak mengenal kata suci dalam kaitannya dengan perang. Jihad bermakna sungguh-sungguh di jalan Tuhan. Tidak ada satu tempat pun di Qur'an yang memaknakan jihad dengan perang suci. Karena perang tidak pernah suci, dan kesucian hanya ada di jalan perdamaian.

6. Kontekstual Qur'an dan Islam-Teroris

Permasalahan besar dalam perdebatan Qur'an di dunia Barat, adalah setiap orang bernafsu membicarakannya, sangat-sangat sedikit yang pernah membacanya.

Sebagian besar mereka tidak lagi rasional dan ilmiah. Hanya mengutip beberapa tekstual yang mengesankan islam pro “perang” tanpa pernah mau tahu konteksnya. Padahal pesan-pesan Qur'an yang dikesankan seperti itu, spesifik diterima Muhammad, dalam konteks perlawanan antara penduduk Mekkah dan Madinah, waktu itu.

Seperti Musa dan Isa, Muhammad tidak dilahirkan pada situasi dunia yang sedang vakum, apalagi damai. Mereka hadir pada saat moralitas dunia bobrok, penuh perang, perjuangan dan perlawanan. Adalah sangat lumrah beberapa tekstual yang terkesan pro “perang” itu bisa ditemukan di Qur'an, semudah bisa ditemukan di kitab Perjanjian Lama dan kitab Perjanjian Baru.

Secara semantis, diksi “islam-teroris”, “kristen-teroris” atau “yahudi-teroris” adalah sebuah penyesatan bahasa. Terorisme, menurut Todenhöfer, berdiri di atas instrumen setan, tidak boleh dikaitkan dengan kesucian Tuhan dan keagamaan. Memang benar, di dalam Islam, Kristen, atau Yahudi ada ideologi teror – tapi bukan ajaran agamanya. Ideologi ini tidak mengantarkan mereka ke surga, tapi ke neraka.

7. Fakta atau Fake.?

Kalimat andalan kritikus anti-Islam di barat: “siapa yang menginginkan panggilan azan terdengar di kota-kota kami, harus membiarkan juga lonceng gereja berbunyi di kota-kota mereka!” Padahal nyatanya: Di Teheran, semisal, berdiri banyak gereja. Loncengnya berbunyi tidak jarang, dan tidak pelan. Lebih jauh, anak-anak kristen memiliki pelajaran agamanya sendiri (sesuatu yang luxus untuk anak-anak muslim di Barat).

Barat mengidentifikasi jilbab sebagai simbol pengekangan dan ketertindasan. Dari survey resmi, wanita-wanita pemakai jilbab, yang begitu dipedulikan barat itu, justru berkata bukan (atas kesadaran pribadi). Sinisme jilbab, sebagian besar justru datang dari mereka yang tidak berjilbab dan anti-jilbab. Memaksa seseorang berjilbab, jelas menyalahi hak asasi. Tidak jauh berbeda, dari prosesi pemaksaan untuk melepasnya.

Barat menuduh perempuan-perempuan islam tidak berpendidikan. Fakta dari dunia islam menjawab lain. Secara statistis, perempuan di negara-negara mayoritas islam, justru lebih berpendidikan dibanding Barat: 30% Profesor di Mesir perempuan, padahal di Jerman jumlahnya hanya sekitar 20%. Lebih dari 60% mahasiswa di Iran adalah perempuan. Di Uni Emirat Arab, sudah semenjak tahun 2007, mahasiswa perempuan menginjak angka yang sulit dipercaya: 77%.

8. Seorang Muslim = Seorang Yahudi = Seorang Kristen

Tidak ada seorang bayipun terlahir sebagai seorang teroris. Barat harus memperlakukan seorang Muslim, persis seperti seperti mereka memperlakukan seorang Kristen atau Yahudi.

Tidak jarang kita dengar politikus dan aktivis Barat, demonstratif, mengumbar kalimat penuh kebencian terhadap Islam. Frank Graham, penasehat George W. Bush, menyebut Islam sebagai “agama iblis dan sihir”. Politikus kanan Belanda, Geert Wilders, menyebut Islam sebagai “agama fasis”. Thilo Sarrazin, politikus Jerman memberikan thesis: “secara genetis, anak-anak dari keluarga Islam, dilahirkan di bawah tingkat kecerdasan rata-rata.”

Bayangkan sejenak, jika Frank Graham, Greet Wilders, dan Thilo Sarrazin mengganti objek tesis-nya bukan kepada “Islam”, tetapi menjadi “Yahudi” atau “Kristen”. Tidakkah ucapan seperti itu akan menjadi badai kemarahan yang dahsyat.? Mengapa Barat boleh mengatakan hal-hal penuh fasistik dan rassist terhadap Islam, yang justru di kalangan orang-orang Kristen dan Yahudi sesuatu yang tabu.? Barat harus mengakhiri demonisasi Islam dan Muslim.

9. Muslim Melawan Teror

Di tesis kesembilan, Todenhöfer mengajak umat Islam, melalui sebuah reformasi sosial, menjejak Nabi Muhammad yang berjuang untuk sebuah Islam yang beradab dan toleran. Untuk tatanan ekonomi dan politik yang dinamis, bukan statis – sambil mempertahankan identitas keagamaannya. Untuk persamaan yang penuh, pria dan wanita. Untuk kebebasan beragama yang nyata.

Tidak seperti politikus umumnya, Muhammad, bukan seorang reaksioner. Dia adalah seorang revolusioner, berani berpikir dan berani mematahkan belenggu tradisi. Islam di masa Muhammad bukanlah agama stagnan, apalagi regresif, tetapi pembaruan dan perubahan. Muhammad berjuang untuk perubahan sosial, ia pahlawan orang miskin dan orang lemah. Dia mengangkat hak-hak kaum perempuan, yang di periode sebelumnya nyaris tidak ada.

Muhammad bukan seorang fanatik atau seorang ekstrimis. Dia hanya ingin membawa orang-orang Arab, yang kala itu terjebak pada belenggu politeistik, untuk kembali ke sumber aslinya yang murni, agama Ibrahim, persis seperti yang disuarakan Musa dan Isa.

Terorisme, yang berada di sekelumit dunia Islam pada hari ini adalah distorsi ajaran Muhammad. Ini adalah kejahatan melawan Islam. Dunia Islam tidak boleh membiarkan citra baik Islam, yang dibangun Muhammad 14 abad yang lalu, dihancurkan seketika oleh ideologi kriminal ini. Dunia Islam perlu memerangi ideologi terorisme ini, persis seperti Muhammad memerangi berhala-berhala dari periode pra-Islam.

10. Politik Bukan Perang

Kalimat bijak pernah mengajarkan: “Ketika kamu tidak bisa menaklukkan musuhmu, peluk dia.!”

Masalah kompleks di Timur tengah, hanya bisa diselesaikan dengan jalur politik, bukan dengan perang. Barat harus membuka pintu diskusi yang lebih lebar untuk dunia Islam. Barat harus membuka ruang bilateral dan unilateral lebih besar untuk negara-negara Arab. Kesatuan dan stabilitas yang perah terjadi di Uni Eropa, nyatanya, tidak berdiri di atas invansi senjata, tapi di atas politik diplomatisasi yang penuh visi.

Sebuah visi akan sebuah dunia, yang setiap negara di dalamnya dihargai. Sebuah penghargaan yang tanpa diskriminasi. Politik anti-diskriminasi yang dibangun di atas keadilan dan kebebasan, bukan perang, apalagi penindasan. [mc]

*Penulis: Yudi Nurul Ihsan, Mahasiswa Indonesia S3 di Jerman.
Setiap muslim berkewajiban membela Islam dan muslimin dng seluruh kemampuannya.

Saturday, October 12, 2019

Komentar Syaikh M. Mutawalli Asy-Sya'rawi Kepada Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin An-nabhani RahimahulLah :

Komentar Syaikh M. Mutawalli Asy-Sya'rawi Kepada Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin An-nabhani RahimahulLah :

"Sebagaimana dikutip oleh salah seorang anggota Hizbut Tahrir Sudan, dalam tayangan Youtube yang diupload oleh Mazin Abdul Adhim, Syaikh Asy-Sya'rawi memberikan komentar yang positif tentang Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Cuplikannya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai berikut: When he was asked, ”What do you know about Taqiyuddin An Nabhani?” “He said, ”He was a Sahabi who was delayed to an era that was not his.” “He had long silences, and if he spoke, his words were pearls.” “His proofs were powerful, he was convincing and was firm in the opinions he believed in”. ”This sheikh, Taqiyuddin An Nabhani, while we reviewed our studies in Al Azhar, he would be reading news about the Muslims and their affairs.” “So he had those characteristics” (Ketika beliau ditanya, “Apa yang Anda ketahui tentang Taqiyuddin An Nabhani?” Beliau menjawab, ”Dia adalah sahabat [Nabi saw.] yang tertunda ke masa yang bukan miliknya. Beliau banyak diam dan jika bicara, kata-katanya adalah mutiara. Hujjahnya kuat, meyakinkan dan tegas pada pendapat yang beliau yakini. Syaikh ini, Taqiyuddin an-Nabhani, sementara kami persiapan ujian pelajaran di Al Azhar, ia akan membaca berita tentang kaum Muslim dan urusan mereka. Itulah karakteristik dia).”

Dalam kitab Ahbabullah (Para Kekasih Allah), seorang aktivis senior Hizbut Tahrir, Muhammad Hatim Mishbah Nashiruddin, menulis memoar dakwahnya sebagai berikut: Saya menyebutkan di awal tulisan “Seorang laki-laki Alma’iy Mujaddid Abad Kedua puluh”. Terhadap kata “Alma’iy” ini ada kisah terkenal yang diketahui oleh sahabat Syaikh Taqiyuddin saat belajar di Al-Azhar yang sezaman pada saat itu, di antaranya Syaikh Mutawali asy-Sya’rawi. Syaikh asy-Sya'rawi berkata: "Sungguh, Syaikh Taqiyuddin mengumpulkan kertas dari berbagai surat kabar dan menyimpannya. Beliau memperhatikan apa yang tertulis di dalamnya mengenai masalah politik. Ajaib, sungguh kedudukan dia paling utama di antara kami." (Kata al-alma’iy,
setelah merujuk kembali ke Kamus Al Muhith [III/82] al alma’a – al alma’iy – al yalma’iy = adz-dzakiy al-mutawaqqid =orang yang cerdas dan bersinar... yakni seorang pemikir cerdas dan berpikir cepat. Terletak di dinding Al-Azhar asy-Syarif lembaran yang tertulis, “Seorang yang cerdas dan bersinar sejak tiga ratus tahun adalah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani”. Namun, tulisan tersebut dihilangkan sama sekali oleh penguasa Mesir saat itu, Gamal Abdul Nasser, setelah
Syaikh Taqi mendirikan Hizbut Tahrir).

#Biografi Syaikh M. Mutawalli Asy-Sya'rawi

Muslimedianews ~ Beliau dikenal dengan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan al-Quran dan memfokuskannya atas titik-titik keimanan dalam menafsirkannya. Hal itulah yang menjadikannya dekat di hati manusia, terkhusus metodenya sangat sesuai bagi seluruh kalangan dan kebudayaan sehingga beliau dianggap memiliki kepribadian Muslim yang lebih mencintai dan menghormati Mesir dan dunia Arab. Oleh karena itu beliau diberi gelar Imam ad-Du’at (Pemimpin Para Da’i).

Daftar Isi:
1. Kelahiran Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
2. Pengembaraan Mencari Ilmu Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
3. Kepribadian Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
4. Keluarga Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
5. Karya-karya Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
6. Kewafatan Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
7. Kalam Mutiara Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

1. Kelahiran Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Asy-Syaikh al-Imam Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi lahir pada 16 April 1911 M di Desa Daqadus, Distrik Mith Ghamr, Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir. Di usia yang masih dini, 11 tahun, ia sudah hafal al-Quran.

Sejak kecil selalu dipanggil oleh kedua orangtuanya dengan panggilan “Syaikh al-Amin” (yang amanah). Tidak ada keterangan tentang hal ini, namun boleh jadi karena kecerdasan dan kepolosannya kepada orangtuanya.

2. Pengembaraan Mencari Ilmu Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Syaikh asy-Sya’rawi semasa kecilnya belajar di Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar, Zaqaziq. Kecerdasannya telah tampak semenjak kecil dalam menghafal syair dan peribahasa Arab. Beliau berhasil meraih ijazah Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar pada tahun 1923. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah di tempat yang sama hingga bertambahlah minatnya dalam syair dan sastra.

Ia mendapatkan tempat khusus di antara rekan-rekannya, hingga terpilih sebagai ketua persatuan mahasiswa dan menjadi ketua perkumpulan sastrawan di Zaqaziq. Diantara rekan-rekan beliau adalah:
1. Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khafaji (Penyair Thahir Abu Fasya)
2. Prof. Khalid Muhammad Khalid
3. Dr. Ahmad Haikal
4. Dr. Hassan Gad.

Mereka semua adalah guru sekaligus rekan sesama kaum muda yang gandrung dengan sastra Arab. Mereka memperlihatkan kepadanya apa yang mereka tulis. Hal itulah yang menjadi titik perubahan kehidupan Syaikh asy-Sya’rawi.

Ketika orangtuanya ingin mendaftarkan dirinya ke al-Azhar, Kairo, ia ingin tinggal dengan saudara-saudaranya di Zaqaziq demi untuk menekuni dunia tani, sebagaimana keluarga besarnya yang hidup sebagai petani desa. Namun mereka tetap mendesak beliau untuk ke Kairo agar dapat mengeruk ilmu sebanyak-banyaknya dan mengamalkannya sekembalinya ke kampung halaman. Akhirnya tak ada hal yang patut dilakukannya kecuali patuh kepada orangtua dan mewujudkan keinginan mereka. Maka ia pun akhirnya terdaftar di Fakultas Bahasa Arab tahun 1937 M.

Syaikh asy-Sya’rawi tamat dari al-Azhar tahun 1940 M dengan gelar S1. Lalu beliau mendapat izin mengajar pada tahun 1943 M setelah menyelesaikan pendidikan Master of Art. Ia ditugasi mengajar di Thanta, Zaqaziq, dan selanjutnya di Iskandaria.

Setelah masa pengalaman yang panjang di negerinya, Syaikh asy-Sya’râwi pindah ke Arab Saudi pada tahun 1950 M, untuk menjadi dosen syari’ah di Universitas Ummu al-Qurra. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke kampung halamannya.

Di Kairo, ia diangkat sebagai direktur di kantor Syaikh al-Azhar Syaikh Husain Ma’mun, kemudian menjadi duta al-Azhar di Aljazair dan menetap selama tujuh tahun di sana. Setelah itu ia kembali lagi ke Kairo, ditugasi sebagai kepala Departemen Agama Provinsi Gharbiyah dan utusan khusus al-Azhar untuk mengajar di Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi.

Pada bulan November 1976 M, Perdana Menteri Mesir, Mamduh Salim, memilihnya untuk memimpin Departemen Urusan Wakaf dan Urusan al-Azhar. Perannya bagi al-Azhar dan pemerintahan Mesir sungguh luar biasa. Ia seorang ahli agama yang juga sangat handal dalam tata administrasi pemerintahan.

Sekalipun menduduki kedudukan elite dan termasyhur, sikap wara’ dan tawadhunya tidak luntur. Ia juga seorang yang amat pemurah dan menafkahkan gaji yang diperolehnya bagi para pelajar, mahasiswa, hafidz al-Quran dan orang-orang miskin. Bahkan, royalti atas karya-karyanya banyak digunakannya untuk kegiatan-kegiatan sosial seperti membangun sekolah, masjid, memberikan santunan dan sebagainya.

Selain berpengetahuan luas, asy-Sya’rawi juga amat menguasai bahasa dialektika. Kedua kemampuan ini menjadikannya ulama dan muballigh yang handal.

3. Kepribadian Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Syaikh Asy-Sya’râwi juga amat cinta kepada keturunan Rasulullah Saw. Ia sering berkunjung ke kawasan al-Husain (sebuah wilayah yang banyak didiami dzurriyyah Rasul), rutin berziarah ke makam Sayyidah Nafisah, dan menghadiri majelis Maulid di halaman Masjid al-Husain.

Suatu ketika, dalam sebuah diskusi keagamaan, ia pernah ditanya: “Bagaimana pendapat Tuan tentang ziarah ahlul bait dan para wali yang merupakan kebiasaan orang-orang Mesir khususnya orang-orang dari dusun yang bertabarruk kepada mereka?”

Seraya meletakkan tangannya di dada seolah-olah berbicara tentang dirinya, ia menjawab: “Kami besar sebagai orang dusun. Selama hidup, kami tinggal di lingkungan ahlul bait dan para wali. Orangtua-orangtua kami, datuk-datuk kami, ibu-ibu kami dan saudara-saudara kami semuanya tinggal di serambi para wali. Kami tidak melihat kebaikan kecuali dari mereka. Kami tidak mengetahui ilmu kecuali di tempat-tempat mereka. Kami juga tidak mengenal keberkahan kecuali dengan mencintai mereka.

Kami mencintai mereka karena mereka berhubungan dengan Allah. Kebaikan datang kepada kami dari orang-orang yang sangat kami yakini bahwa mereka berhubungan dengan Allah. Mereka tidak dikenal kecuali oleh orang-orang yang jiwanya menerima manhaj (syari’at) Allah.

Bagaimana mungkin mereka membolehkan berziarah ke kuburan orang-orang Muslim awam tetapi mengharamkan menziarahi mereka yang dikenal sebagai orang shalih! Ziarah kubur itu diperintahkan. Jika hal itu telah dilakukan untuk orang-orang Muslim awam, apakah orang-orang yang telah dikenal atau orang yang baik dikecualikan dari hal itu, lalu diharamkan menziarahi kuburnya karena ia orang baik? Pendapat ini sungguh tidak masuk akal! Anggap sajalah itu seperti kubur-kubur yang lain dan berdzikirlah kepada Allah di tempatnya.

Kita tidak menentang ziarah. Yang kita tentang adalah hal-hal yang tidak benar yang terjadi di dalamnya. Orang-orang yang meminta sesuatu dari mereka dapat kita katakan berbuat syirik. Tetapi jika ia meminta kepada Allah di makam-makam mereka, apa yang harus dilarang?

Demi Allah, seandainya dalam berziarah itu tidak ada hal lain yang didapatkan selain sekadar pertemuan dengan orang-orang yang tunduk di hadapan Allah, itu sudah cukup bagi saya. Seandainya tidak ada yang saya dapatkan di sana selain bertemu orang-orang yang menggunakan dirinya kembali kepada Allah, itu sudah cukup. Saya akan pergi untuk bertemu orang-orang yang meninggalkan dunia dan makan sekali saja dalam sehari.

Orang-orang yang menziarahi Imam Husain, Sayyidah Nafisah, Sayyid Ahmad al-Badawi atau Syaikh Ibrahim ad-Dasuqi, akan malu melakukan maksiat setelah itu. Mungkin juga perasaan malu itu akan terus menyertainya sepanjang hayatnya.”

Setiap hari Jum’at selama 20 tahun di Masjid Arba’in di kampung kelahirannya dan beberapa masjid di Kairo, ia mengisi sebuah majelis bertajuk “Khawathir Sya’rawi”. Ia berceramah dan mengisi pengajian tafsir al-Quran. Kemampuan orasinya mampu memikat pendengarnya yang terdiri dari kalangan masyarakat biasa. Sungguh pun begitu, para pendengar dari kumpulan kaum intelektual sekuler, seperti Syaikh al-Qimani, senantiasa memperhatikan ceramahnya.

Selepas meninggalkan jabatannya dalam kementerian, ia berkhidmat sebagai ulama al-Azhar. Namun dalam penampilan berpakaian, ia enggan memakai pakaian resmi para ulama al-Azhar dan hanya memakai kopiah dan jubahnya.

4. Keluarga Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Setelah menikah, Syaikh asy-Sya’rawi dikaruniai tiga orang putra dan dua orang putri: Sami, Abdul Rahim, Ahmad, Fathimah dan Shalihah. Baginya, faktor utama keberhasilan pernikahannya adalah ikhtiar dan kerelaan antara suami dan istri.

Mengenai pendidikan anaknya, ia berkata: “Yang terpenting dalam mendidik anak adalah suri teladan. Seandainya didapatkan suri teladan yang baik, seorang anak akan menjadikannya sebagai contoh. Maka seorang anak harus dicermati dengan baik, dan di sana terdapat perbedaan antara mengajari anak dan mendidiknya.

Seorang anak, jika tidak bergerak kemampuannya dan bersiap untuk menerima dan menampung sesuatu di sekitarnya, artinya, apabila tidak siap telinganya untuk mendengar, kedua matanya untuk melihat, hidungnya untuk mencium, dan ujung-ujung jarinya untuk menyentuh, kita wajib menjaga seluruh kemampuannya dengan tingkah laku kita yang mendidik bersamanya dan di depannya. Oleh karena itu, kita harus menjaga telinganya dari setiap perkataan yang jelek, dan menjaga matanya dari setiap pemandangan yang merusak.

Kita harus mendidik anak-anak kita dengan pendidikan Islami. Apabila anak melihat kita dan kita mengerjakan yang demikian itu, dia akan mengikutinya, juga yang lainnya. Tapi jika anak itu tidak mengambil pelajaran dalam hal ini, tindakan lebih penting daripada omongan belaka.”

5. Karya-karya Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi adalah salah satu ulama terkemuka masa kini. Ia memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan mudah dan sederhana dalam karya-karyanya. Karya-karyanya begitu familiar di tengah-tengah masyarakat muslim, baik karya asli maupun terjemahan.

Ia juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia dalam bidang dakwah Islam. Lisannya yang fasih dan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan al-Quran mudah dicerna oleh berbagai lapisan masyarakat Muslim, baik di Mesir, tempat kelahirannya, maupun di berbagai penjuru dunia, sehingga ia diberi gelar Imam ad-Du’at (Imam para Da’i) oleh rekan sejawat sesama ulama di Mesir.

Sebagai seorang ulama yang juga cendekiawan, ia tak hanya fokus dengan dakwah billisan. Ketertarikannya dalam dunia tulis-menulis turut memasyhurkan namanya sebagai ulama penulis handal dan produktif. Beliau juga dijuluki “Mujaddid Abad 20” oleh sebagaian pecinta beliau. Di tengah-tengah kesibukannya dalam aktivitas kepemerintahan dan akademi, Syaikh asy-Sya’rawi masih sempat menelurkan banyak karya diantaranya:

1. Al-Isra’ wa al-Mi’raj (Peristiwa Isra dan Mi’raj).
2. Asrar Bismillahirrahmanirrahim (Rahasia di balik kalimat Bismillahirrahmanirrahim).
3. Al-Islam wa al-Fikr al-Mu’ashir (Islam dan Pemikiran Modern).
4. Al-Islam wa al-Mar’ah: ‘Aqidah wa Manhaj ( Islam dan Perempuan, Akidah dan Metode).
5. Asy-Syura wa at-Tasyri’ fi al-Islam (Musyawarah dan Pensyariatan dalam Islam).
6. Ash-Shalah wa Arkan al-Islam (Shalat dan Rukun-rukun Islam).
7. Ath-Thariq ila Allah (Jalan Menuju Allah).
8. Al-Fatawa (Fatwa-fatwa).
9. Labbayk Allahumma Labbayka (Ya Allah Kami Memenuhi PanggilanMu).
10. Mi-ah Su-al wa Jawab fi al-Fiqh al-Islam (100 Soal Jawab Fiqih Islam).
11. Al-Mar’ah Kama Aradaha Allah (Perempuan Sebagaimana yang Diinginkan Allah).
12. Mu’jizah al-Qur’an Min Faydhi al-Qur’an (Kemukjizatan Al-Quran Diantara Limpahan Hikmah Al-Quran).
13. Nadzarat al-Qur’an (Pandangan-pandangan Al-Quran).
14. ‘Ala Ma-idah al-Fikr al-Islamiy (Di Atas Hidangan Pemikiran Islam).
15. Al-Qadha wa al-Qadar (Qadha dan Qadar).
16. Hadza Huwa al-Islam (Inilah Islam).
17. Al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (Pilihan dari Tafsir Al-Quran Al-Karim).
18. Al-Hayah wa al-Maut (Hidup dan Mati).
19. At-Taubah (Taubat).
20. Adz-Dzalim wa adz-Dzalimun (Dzalim dan Orang-orang yang Dzalim).
21. Sirah an-Nabawiyyah (Sejarah Kenabian).

Karya-karya beliau dapat dipahami sebagai wujud perpaduan keindahan dan penguasaan sastrawi, fiqh, aqidah, tafsir, hingga permasalahan kontemporer kehidupan Muslimin. Para ulama Mesir mengakui kepiawaiannya di bidang tafsir dan fiqh perbandingan madzhab. Ia juga amat menguasai bahasa dialektika, sehingga Syaikh Ahmad Bahjat dan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan Syaikh asy-Sya’rawi sebagai seorang ahli tafsir kontemporer yang dapat menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan uslub (metode) yang mudah dipahami orang umum. Bahasanya lugas dan mudah, tapi mendalam.

Al-Qaradhawi, muridnya saat belajar di al-Azhar Thantha, memuji gurunya ini sebagai tokoh yang rendah hati dan luas pemikirannya dalam berbeda pendapat. Sementara Syaikh Umar Hasyim, salah satu petinggi al-Azhar, menganggapnya sebagai tokoh yang pantas disebut sebagai salah seorang mujaddid (pembaharu) abad ke-20.

6. Kewafatan Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Tiga bulan sebelum wafatnya, saat peresmian sebuah masjid di kampungnya, ia berkata: “Semua harta adalah milik Allah Ta’ala, dan setiap apa yang telah diberikan oleh Allah kepadaku akan aku nafkahkan pada jalan Allah. Sesungguhnya aku tidak memiliki apa-apa. Harta dan diriku hanya untuk Allah. Seandainya setiap orang merasa bertanggung jawab pada kampung dan bandar tempat kelahirannya, niscaya tempat itu lebih indah daripada bandar-bandar besar di seluruh dunia. Aku ingin tanah tempat kelahiranku ini yang menimbun jasadku nanti.”

Kerajaan Saudi pernah menawarkan kepadanya tanah pekuburan di Baqi’. Tawaran itu adalah tawaran terhormat bagi seorang ulama Mesir yang banyak jasanya bagi studi Islam di Arab Saudi, yang Wahabi-sentris. Namun, kecintaannya kepada kampung halamannya, Mesir, diungkapkannya: “Tanah kelahiranku lebih layak menerima jasadku hingga ia dapat memelukku ketika aku mati sebagaimana aku memeluknya dan memeliharanya ketika hayatku.”

Pada pagi Rabu 17 Juni 1998 M/22 Shafar 1419 H, Syaikh asy-Sya’rawi kembali ke haribaan Ilahi, dalam usia 87 tahun. Saat pemakamannya, ratusan ribu orang memadati kuburnya di Kampung Daqadus, sebagai penghormatan terakhir bagi ‘allamah besar ini.

7. Kalam Mutiara Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Diantara kalam mutiara nasehat beliau yang berbentuk syair adalah:

(من أقوال الشيخ محمد متولي الشعراوي)

إن كنت لا تعرف عنوان رزقك# فإن رزقك يعرف عنوانك.

“Jika kamu tidak tahu alamat tempat rizqimu, maka ketahuilah rizqimu tahu alamat tempatmu.”

إذا أهمّك أمر غيرك فاعلم بأنّك ذوطبعٍ أصيل # وإذا رأيت في غيرك جمالاً فاعلم بأنّ داخلك جميل

“Jika engkau mementingkan urusan orang lain, ketahuilah bahwa kamu punya karakter yang baik. Jika engkau melihat orang lain baik, maka ketahuilah bahwa batinmu juga baik.”

من ابتغى صديقا بلا عيب عاش وحيدا # من ابتغى زوجةً بلا نقص عاش أعزبا

“Siapa yang ingin mencari teman yang sempurna (tanpa aib), maka hidupnya akan sendirian (karena tiada teman yang sempurna). Siapa yang ingin mencari istri yang sempurna (tanpa kekurangan), maka hidupnya akan jomblo (karena tiada istri yang tanpa kekurangan).”

من ابتغى حبيبا بدون مشاكل عاش باحثا # من ابتغى قريباً كاملاً عاش ناقصا

“Siapa yang ingin mencari kekasih tanpa rintangan, maka hidupnya akan dilewati dengan mencari saja (tak akan pernah ketemu). Siapa yang ingin mencari kerabat yang sempurna, ia akan hidup dalam kekurangan.”

إذا أخذ الله منك مالم تتوقع ضياعه # فسوف يعطيك مالم تتوقع تملكه.

“Jika Allah mengambil sesuatu darimu yang tak kau sangka, maka kelak Allah akan memberimu sesuatu yang tak kau sangka kau miliki.”

Wallahu al-Musta’an A’lam. Lahu al-Fatihah…
Referensi:
• Al-Imam Muhammad Mutawallî asy-Sya'râwî: Musyâhadat an-Nuskhat Kamilatan.
• Al-Imam asy-Sya’rawi wa Haqa-iq al-Islam karya Ma’mun Gharib, 1987.
• Al-Muntadayâtu al-Islâmiyyat fî Rihâbi al-Islâmi.
• An-Nur al-Abhar fi Thabaqat Syuyukh al-Jami' al-Azhar karya Muhyiddin at-Tu’mi, 1992.
• Asy-Syaikh asy-Sya’rawi min al-Qaryah ila al-‘Alamiyyah karya Muhammad Mahgub Hassan, 1990.
• Asy-Syaikh al-Imam Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi fi al-Hukm wa as-Siyasah karya Abu al-Hassan Abd al-Raziq, 1990.
• Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Hayati min Daqadus ila al-Wizara karya Muhammad Safwat al-Amin, 1992.
• Muntadayâtu Syabâbi Mishra.
• Muntadâ Qashash al-Anbiyâ’ wa al-Mursalîn.

Sumber: Sya’roni As-Samfuriy