MANHAJ HADITS SYAIKH TAQIYUDDIN AL-NABHANI
Oleh: Yuana Ryan Tresna
Muara dalam ilmu hadits adalah terkait penerimaan dan penolakan sebuah hadits. Saat mengkaji kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, barangkali muncul pertanyaan, bagaimana manhaj syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam ilmu hadits, dan dalam penerimaan dan penolakan hadits? Berikut uraiannya:
Pertama, kaidah dalam menerima dan menolak rawi hadits (kaidah al-jarh wa al-ta’dil) adalah sebagaimana pendapat jumhur para ulama hadits, yakni keberadaannya harus adil dan dhabithh.
يُشترط فيمن يُحتج براويته أن يكون عدلاً ضابطاً لما يرويه. أما العدل فهو المسلم البالغ العاقل الذي سَلِمَ من أسباب الفسق وخوارم المروءة. وأما الضابط فهو المتيقظ غير المغفل، الحافظ لروايته إنْ روى مِن حفظه، الضابط لكتابته إن روى من الكتاب العالم بمعنى ما يرويه وما يحيل المعنى عن المراد، إن روي بالمعنى. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 329)
“Disyaratkan bagi orang yang periwayatannya dijadikan hujjah adalah seorang adil dan dhabithh terhadap apa yang diriwayatkannya. Adil adalah seorang muslim yang baligh, berakal dan selamat dari sebab-sebab kefasikan ataupun celah-celah muru’ah (wibawa). Sedangkan dhabithh adalah orang cerdas dan sigap, tidak pelupa, hafal terhadap periwayatannya (jika dia meriwayatkan dari hafalannya), dan cermat terhadap tulisannya (jika dia meriwayatkan dari kitabnya), mengetahui makna hadits yang diriwayatkannya dan makna yang melenceng dari yang dimaksudkannya kalau ia meriwayatkan dengan makna.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 329)
Kedua, periwayatan firqah-firqah dan madzhab-madzhab Islam termasuk ahli bid’ah diterima dengan syarat. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadits, tidak diterima atau ditolak secara mutlak.
كل مسلم اجتمعت فيه شروط قبول الرواية بأن كان عدلاً ضابطاً، تُقبل روايته بغض النظر عن مذهبه وفرقته، إلا إن كان داعياً لفرقته أو مذهبه، لأن الدعوة للفرقة والمذهب لا تجوز. أمّا إن كان داعياً للإسلام ويشرح الأفكار التي يتبناها بادلتها، فإنه تقبل روايته، لأنه يكون حينئذ داعياً للإسلام وهذا لا يطعن بروايته. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 332)
“Setiap muslim yang terkumpul padanya syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, yaitu (rawi tersebut) adil dan dhabithh, maka periwayatannya diterima tanpa melihat lagi madzhab dan kelompoknya, kecuali jika dia sebagai penyeru bagi kelompoknya atau madzhabnya, karena seruan untuk suatu kelompok atau suatu madzhab, tidak dibolehkan. Namun, jika dia sebagai penyeru untuk Islam, kemudian menjelaskan seluruh pemikiran yang diadopsinya beserta dalil-dalilnya, maka periwayatannya dapat diterima, karena dia adalah penyeru untuk Islam dan periwayatannya tidak dicela.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 332)
Ketiga, definisi hadits shahih dan hasan merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Khusus definisi hadits hasan, beliau menampilkan semua pendapat para ulama yang memang berbeda pendapat dalam mendefinisakan hadits hasan. Menampilkan semuanya tanpa menguatkan salah satunya, padahal definisi-definisi tersebut memiliki titik perbedaan yang cukup signifikan.
الصحيح: هو الحديث الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذاً ولا معللاً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 337(
“Shahih, adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah) dan juga tidak ada ‘illat (cacat).” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 337)
الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء. أي أن لا يكون في إسناده من يُتَّهم بالكذب، ولا يكون حديثاً شاذاً. وهو نوعان:
أحدهما: الحديث الذي لا يخلو رجال إسناده من مستور لم تتحقق أهليته، غير أنه ليس مغفلاً كثير الخطأ، ولا هو متهماً بالكذب. ويكون متن الحديث قد روي مثله من وجه آخر فيخرج بذلك عن كونه شاذاً أو منكراً، ثانيهما: أن يكون راويه من المشهورين بالصدق والأمانة ولم يبلغ درجة رجال الصحيح في الحفظ والإتقان، ولا يُعد ما ينفرد به منكراً، ولا يكون المتن شاذاً ولا معللاً. فالحديث الحسن ما رواه عدل قل ضبطه متصل السند غير معلّل ولا شاذ. والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338)
أحدهما: الحديث الذي لا يخلو رجال إسناده من مستور لم تتحقق أهليته، غير أنه ليس مغفلاً كثير الخطأ، ولا هو متهماً بالكذب. ويكون متن الحديث قد روي مثله من وجه آخر فيخرج بذلك عن كونه شاذاً أو منكراً، ثانيهما: أن يكون راويه من المشهورين بالصدق والأمانة ولم يبلغ درجة رجال الصحيح في الحفظ والإتقان، ولا يُعد ما ينفرد به منكراً، ولا يكون المتن شاذاً ولا معللاً. فالحديث الحسن ما رواه عدل قل ضبطه متصل السند غير معلّل ولا شاذ. والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338)
“Hasan, adalah sesuatu (hadits) yang diketahui tempat periwayatannya dan terkenal para rawinya serta kebanyakan hadits bertumpu kepadanya. Hadits ini diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh kebanyakan fuqaha’. Artinya, dalam isnadnya tidak terdapat orang yang dituduh dusta dan tidak terdapat pula haditsnya yang syadz. Hadits hasan ada dua macam: Pertama, hadits yang tidak lepas rijal al-isnad dari orang yang mastur (majhul hal), yang tidak layak kemampuannya, tidak pelupa, tidak sering salah dan juga tidak dituduh dusta. Selain itu matan haditsnya (yang serupa) telah diriwayatkan melalui jalur lain sehingga dapat mengeluarkannya dari syadz atau munkar; Kedua, rawinya terdiri dari orang-orang yang terkenal, jujur dan amanah, tetapi tidak sampai kepada tingkatan rawi hadits shahih dari segi al-hifzh wa al-itqan (hafalan dan keakuratannya). Hadits yang menyendiri dari kriteria rawi diatas ini tidak dianggap sebagai hadits munkar, dan matannya tidak menjadi syadz dan tidak pula menjadi mu’allal. Hadits hasan diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang dhabithnya, bersambung sanadnya tidak mu’allal dan tidak syadz. Hadits hasan dapat diambil hujjahnya sebagaimana hadits shahih, satu dengan lainnya sama saja.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)
Keempat, definisi hadits dha’if juga merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Hadits dha’if yang parah kelemahannya tidak bisa naik menjadi shahih atau hasan. Adapun yang kelemahannya ringan bisa naik dengan banyaknya jalan periwayatan (sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya).
الضعيف: هو ما لم يجمع فيه صفات الصحيح ولا صفات الحسن. ولا يحتج بالضعيف مطلقاً. ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338)
“Dha’if, sesuatu (hadits) yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan. Hadits dha’if sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Merupakan sebuah kekeliruan anggapan bahwa hadits dha’if apabila datang dari jalur yang bermacam-macam yang sama-sama dha’if maka (hadits dha’if) meningkat derajatnya menjadi derajat hadits hasan atau hadits shahih. Apabila kelemahan hadits disebabkan oleh kefasikan perawinya atau karena tertuduh dusta secra nyata, kemudian datang dari jalur lain berupa hal yang serupa maka justru akan bertambah lemah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)
Kelima, bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai hujjah dan sebaliknya hadits dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Ini adalah kaidah umum para ulama hadits.
أن الحديث الصحيح والحديث الحسن هما اللذان يحتج بهما، والحديث الضعيف لا يُحتج به. والذي يجعل الحديث مقبولاً أو مردوداً هو النظر في السند والراوي والمتن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 339)
“Bahwa hadits shahih dan hadits hasan dapat dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan hadits dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Yang menjadikan suatu hadits bisa diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matannya.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 339)
Keenam, kaidah penetapan shahih atau dha’if suatu hadits merujuk kepada kaidah para ahli hadits mu’tamad yaitu dengan mempertimbangkan banyaknya jalan (jam’u al-thuruq), dan melakukan i’tibar dengan mempertimbangkan mutabi’ dan syawahid yang memungkinkan hadits dha’if (yang tidak parah) naik menjadi hasan li ghairihi. Adapun dalam penerimaan hadits sebagai hujjah, merujuk pada manhaj para fuqaha’.
فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 342)
“Suatu hadits tidak tertolak karena tidak terpenuhinya syarat-syarat hadits shahih, selama sanadnya dan para rawinya serta matannya diterima, yakni ketika haditsnya itu hasan di mana para rawinya lebih rendah sedikit dari para rawi hadits shahih, atau dalam hadits tersebut terdapat mastur atau butruk hafalannya, akan tetapi diperkuat dengan indikasi yang mengutamakan penerimaannya. Seperti halnya diperkuat dengan adanya mutabi’ atau syahid, yaitu dengan adanya seorang rawi yang diduga menyendiri, atau dengan adanya hadits lain. Jadi, tidak sembarangan menolak hadits. Selama bisa diterima sesuai ketentuan-ketentuan sanad, rawi dan matannya. Terlebih lagi jika telah diterima oleh sebagian besar ulama, dan sebagian fuqaha’ pun menggunakannya, maka hadits tersebut telah terpilih dan layak diterima, walaupun tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya termasuk hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 342)
Ketujuh, kaidah dalam menghukumi hadits (al-hukm ‘ala al-hadits) sangat kompleks, tidak hanya karena pertimbangan satu sanad. Lemahnya satu sanad belum tentu hadits tersebut lemah, karena boleh jadi ada sanad lain yang kuat atau menguatkan. Belum lagi dengan meneliti semua sanad yang ada dan membandingkan matan-matannya secara komprehensif. Ini adalah manhajnya para ulama hadits mutaqaddimin dan muta’akhirin.
تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد. ولذلك رد الإسناد لا يقتضي رد الحديث. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 345)
“Kekuatan sanad dianggap sebagai syarat dalam penerimaan hadits. Hanya saja patut diketahui bahwa lemahnya sanad hadits tidak mengharuskan menghukumi hadits tersebut juga lemah. Kadangkala hadits memiliki sanad yang lain, kecuali seorang imam menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur ini. Maka barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits dengan sanad yang lemah lebih baik berhati-hati mengatakan bahwa hadits ini lemah dengan sanad ini. Tidak boleh menghukumi secara mutlak dengan lemahnya matan tanpa batasan. Jadi, penolakan terhadap sanad tidak otomatis menolak hadits.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 345)
Kedelapan, dalil bagi hukum syara’ (bukan perkara aqidah) cukup dengan hadits ahad (yang berfaidah zhanni) dengan syarat keberadaannya maqbul (shahih atau hasan). Ini adalah perkara yang sudah disepakati dan diketahui.
أما الحكم الشرعي فيكفي أن يكون دليله ظنياً. ولذلك فإنه كما يصلح أن يكون الحديث المتواتر دليلاً على الحكم الشرعي كذلك يصلح أن يكون خبر الآحاد دليلاً على الحكم الشرعي. إلا أن خبر الآحاد الذي يصح أن يكون دليلاً على الحكم الشرعي هو الحديث الصحيح والحديث الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346)
“Adapun hukum syara’ dalilnya cukup dengan dalil yang bersifat zhanni. Dengan demikian, hadits mutawatir dapat dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’, begitu juga khabar ahad layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’. Hanya saja khabar ahad yang layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’ adalah hadits shahih dan hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)
Kesembilan, metode penerimaan terhadap suatu hadits adalah cukup bahwa hadits tersebut dinilai maqbul oleh sebagian ulama hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Oleh karena itu, suatu kemestian untuk hati-hati dalam menolak suatu hadits hanya karena ada ulama yang melemahkannya.
وكل من يستدل به لا يعتبر أنه استدل بدليل شرعي. إلا أن اعتبار الحديث صحيحاً أو حسناً إنما هو عند المستدل به إن كانت لديه الأهلية لمعرفة الحديث، وليس عند جميع المحدثين. ذلك أن هناك رواة يُعتبرون ثقة عند بعض المحدثين، ويُعتبرون غير ثقة عند البعض، أو يعتبرون من المجهولين عند بعض المحدثين، ومعروفين عند البعض الآخر. وهناك أحاديث لم تصح من طريق وصحت من طريق أخرى. وهنالك طرق لم تصح عند البعض وصحت عند آخرين. وهناك أحاديث لم تعتبر عند بعض المحدثين وطعنوا بها، واعتبرها محدثون آخرون واحتجوا بها. وهناك أحاديث طعن بها بعض أهل الحديث، وقبلها عامة الفقهاء واحتجوا بها. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346)
“Setiap orang yang menggunakan dalil tersebut tidak dianggap telah mengambil dalil syara’. Hanya saja anggapan suatu hadits sebagai hadits shahih atau hadits hasan ketika ada orang yang berdalil dengan hadits tersebut dan memiliki keahlian untuk mengetahui suatu hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Di sana terdapat para rawi yang dianggap tsiqah oleh sebagian ulama hadits tetapi tidak dianggap tsiqah oleh sebagian yang lain, atau mereka dianggap orang-orang yang majhul oleh sebagian ulama hadits tetapi dianggap orang-orang yang tidak ma’ruf oleh sebagian yang lain. Terdapat juga hadits-hadits yang tidak shahih melewati satu jalur tetapi shahih menurut jalur yang lain. Di sana terdapat jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian akan tetapi shahih menurut sebagian yang lain. Ada pula hadits-hadits yang tidak dijadikan rujukan menurut sebagian ulama hadits dan mereka mencelanya, sedangkan ulama hadits lain menganggapnya (menerimanya) dan bisa digunakan sebagai hujjah. Juga ada hadits-hadits yang sebagian ahli hadits mencelanya tetapi diterima oleh mayoritas para fuqaha’ dan mereka menggunakannya sebagai hujjah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)
Kesepuluh, prinsip kehati-hatian, dimana harus perlahan dalam mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah dalam penolakan hadits.
فيجب التأني والتفكير في الحديث قبل الإقدام على الطعن فيه أو رده. والمتتبع للرواة وللأحاديث يجد الاختلاف في ذلك بين المحدثين كثيراً، والأمثلة على ذلك كثيرة جداً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 347)
“Jadi harus perlahan-lahan dan mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah pada pencelaan atau penolakan. Orang yang mengamati para perawi dan hadits-hadits akan menemukan banyaknya pertentangan dalam masalah ini di kalangan ulama hadits. Contoh mengenai hal ini sangat banyak.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 347)
Kesebelas, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’, maka sah bagi seseorang untuk berdalil dengan suatu hadits selama dianggap maqbul (shahih dan hasan) menurut sebagian ulama hadits.
ويجوز الاستدلال بأي حديث إذا كان معتبراً عند بعض المحدثين وكان مستوفياً شروط الحديث الصحيح أو الحديث الحسن، ويعتبر دليلاً شرعياً على أن الحكم حكم شرعي. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 350)
“Boleh berdalil dengan hadits apapun dibolehkan selama keberadaannya dianggap (diterima) oleh sebagian ulama hadits, mencukupi atau memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, dan hal itu dianggap sebagai dalil syara’, sehingga dengan sendirinya berarti telah berhukum dengan hukum syara’.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 350)
Itulah manhaj syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam ushul hadits dan dalam penerimaan dan penolakan suatu hadits, adalah manhaj pemilik Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.
Kenaikan Derajat Hadits Karena Banyaknya Jalan
Merujuk manhaj yang diterangkan sebelumnya, masih ada yang menyangka kalau syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa naik menjadi hasan lighairihi. Dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337), Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala menerangkan,
ولا يحتج بالضعيف مطلقاً
Karena memang teori dasarnya hadits dha’if itu tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan. Faktanya, dalam pengamalan hadits dha’if, para ulama merinci lagi dan diantara mereka terbagi menjadi 3 pendapat. Teorinya, hadits shahih itu wajib diamalkan. Faktanya, ada hadits shahih yang mukhtalif dengan kategori mansukh dan marjuh yang ghair ma’mul (tidak bisa diamalkan).
Masih dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337) disebutkan,
ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف.
Jadi itu (tidak bisanya hadits dha’if naik menjadi hasan atau shahih) terjadi pada hadits yang kedha’ifannya parah. Ungkapan,
فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً
Memberikan keterangan bahwa kedha’ifan hadits karena fasiknya rawi atau karena rawi tertuduh dusta (muttaham bi al-kadzib) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah hadits munkar dan matruk. Artinya hadits yang dimaksud adalah yang kedha’ifannya sangat berat.
Jumhur ahli hadits sepakat bahwa hadits yang kedha’ifannya parah tidak bisa naik menjadi hasan atau shahih.
Secara praktik, syaikh Taqiyyuddin mengambil beberapa hadits dha’if yang diriwayatkan dengan banyak jalan (sehingga derajatnya naik menjadi hasan). Bahkan hadits yang jumhur ahli hadits menolaknya (hadits ajtahidu ra’yi Mu’adz bin Jabal dan hadits ihtimam bi amri al-muslimin), beliau menerimanya karena diterima oleh para fuqaha’, adanya jalan lain, atau bil makna disebutkan dalam hadits shahih. Lebih menarik lagi, dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi dan al-Nizham al-Ijtima’i, menunjukkan bagaimana manhaj syaikh Taqiyyuddin dalam menerima sebuah hadits dan menjadikannya sebagai hujjah.
Ada beberapa hadits yang kontroversial di kalangan ahli hadits yang beliau terima, karena secara makna shahih, atau ada jalan lain, atau para fuqaha telah menerimanya. Manhaj ini selaras dengan manhajnya Sunan Arba’ah (lihat Syuruth A’imah al-Khamsah wa al-Sittah). Inilah yang dinyatakan dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 337),
الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء
dengan kesimpulan,
والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء.
Karena memang manhaj beliau rahimahullahu ta’ala dalam penerimaan dan penolakan hadits adalah (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm.345),
تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد
Dalam penilaian riwayat tafarrud, syaikh Taqiyyuddin termasuk yang menerima riwayat yang menyendiri asalkan tsiqah, meski yang lain tidak ada yang meriwayatkannya, dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 339) disebutkan,
وليس من الشاذ أن يروي الثقة ما لم يرو غيره. لأن ما رواه الثقة يُقبل ولو لم يروه غيره، ويُحتج به
Terakhir, penjelasan yang lebih terang adalah sebagaimana ungkapan Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani masih di kitab yang sama (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 341), menjelaskan manhaj beliau dalam penerimaan suatu hadits dha’if dengan katsrah al-thuruq,
فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن
Perhatikan ungkapan berikut,
كان يتقوى بمتابع أو شاهد
Adanya syahid dan mutabi’ itu jelas sekali karena banyak jalan (jalur lain). Itu bentuk I’tibar dengan katsrah al-thuruq.
Jadi jelaslah bahwa syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani menerima teori kenaikan derajat hadits dari dha’if menjadi hasan (maqbul) karena banyaknya jalan selama kedha’ifannya tidak parah.[]