Saturday, July 20, 2019

BANGSA INI BUTUH SOLUSI

Oleh: Arief B. Iskandar

Banyak kalangan selama ini telah salah memahami HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dengan gagasan syariah dan Khilafahnya. Dengan kedua gagasan itu, HTI dianggap sebagai ancaman bagi Pancasila dan NKRI.
Lebih dari itu, Khilafah dianggap bukan kewajiban syariah dan hanya merupakan romantisme sejarah para pengusungnya. Khilafah syarat dengan konflik. Khilafah didasarkan pada konsep kedaulatan Tuhan yang sering mengalami reduksi serta rentan dan rawan terhadap pembajakan demi nafsu kekuasaan. Gagasan Khilafah hanya bentuk kegagapan menghadapi modernitas. Khilafah utopis dll.

Itulah di antara kekeliruan yang bisa baca dalam banyak pernyataan dan tulisan kalangan liberal selama ini.

Namun demikian, tulisan ini tidak ingin meng-counter apa yang sering dilontarkan oleh kalangan liberal, yang sering ditujukan terutama pada HT(I). Sebab, HT(I) sendiri, baik di media massa maupun dalam forum-forum diskusi, seminar dll telah banyak menjelaskan gagasan dan dalil-dalil seputar kewajiban menegakkan syariah dan Khilafah, termasuk menjawab apa yang sering dipertanyakan kaum liberal.

Di sini Penulis hanya ingin memaparkan kembali persoalan yang lebih krusial dan urgen untuk dijawab oleh semua pihak--termasuk ole kalangan liberal yang selama ini rajin 'menentang gagasan syariah dan Khilafah yang diusung HTI--daripada sekadar wacana Khilafah yang cenderung banyak direduksi dan disalahpami.

Persoalan yang dimaksud adalah: jika bukan syariah dan Khilafah, apa solusi yang bisa ditawarkan untuk menyelesaikan krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini?
Mengapa ini yang dipertanyakan? Sebab, itulah di antara yang mendasari HT(I) mengusung gagasan syariah dan Khilafah, yakni ingin mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini. Dengan kata lain, bagi HT(I), syariah dan Khilafah adalah solusi fundamental bagi bangsa ini bahkan dunia jika ingin keluar dari krisis multidimensi, yang terbukti sampai hari ini gagal diatasi.

Sayangnya, motif baik ini tidak pernah dibaca oleh mereka yang menolak syariah dan Khilafah yang diusung HTI. Padahal HTI sendiri sesungguhnya telah lama mengkaji secara mendalam akar persoalan yang menimpa bangsa ini sekaligus merumuskan berbagai konsep sebagai solusinya, yang bisa diuji kesahihan dan kekuatan argumentasinya. Gagasan-gagasan yang ditawarkan HTI untuk mengatasi krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini bisa dibaca secara jelas dan gamblang dalam media resmi HTI seperti: Website www.hizbut-tahr
ir.or.id , Jurnal al-Waie, Buletin al-Islam, berbagai booklet yang diterbitkan secara berkala maupun buku-buku resmi yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir.

Jika banyak kalangan, termasuk kalangan liberal, mempertanyakan komitmen HTI terhadap NKRI, misalnya, sejak sebelum Timtim lepas, HTI justru telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun!
Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar NKRI jangan berada di bawah ketiak pihak asing.

HTI pun secara konsisten terus memperingatkan Pemerintah tentang kemungkinan disintegrasi di wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya.

Wajar jika seorang pejabat militer pernah berujar bahwa ternyata HTI lebih nasionalis daripada organisasi dan partai-partai nasionalis. Sebab, bagi HTI, keutuhan wilayah NKRI itu final, dalam arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun! Lagipula disintegrasi NKRI berarti akan semakin menyuburkan perpecahan umat. Bagi HTI, ini jelas kontraproduktif dengan gagasan Khilafah yang justru ingin mewujudkan persatuan umat yang memang dikehendaki syariah (QS Ali Imran [3]: 103).

Dalam konteks ekonomi, HTI pun telah sejak lama memperin
gatkan bahaya Kapitalisme global. Jauh sebelum krisis ekonomi menimpa bangsa ini sekitar tahun 1998, HTI telah memperingatkan Pemerintah terhadap bahaya utang luar negeri melalui lembaga IMF. Sebab, bagi HTI, utang luar negeri berbasis bunga (riba), di samping haram dalam pandangan syariah, (QS al-Baqarah [2]: 275), juga merupakan alat penjajahan baru untuk mengeksploitasi negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.
HTI pun telah lama memperingatkan Pemerintah untuk: tidak 'menjual murah' BUMN-BUMN atas nama privatisasi yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak; mencabut HPH dari sejumlah pengusaha yang juga terbukti merugikan kepentingan publik, di samping mengakibatkan penggundulan hutan yang luar biasa; tidak memperpanjang kontrak dengan PT Freeport yang telah lama menguras sumberdaya alam secara luar biasa di bumi Papua; menyerahkan begitu saja pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile; dll.
Bagi HTI, kebijakan-kebijakan Pemerintah yang terkait dengan sumberdaya alam milik publik ini bertentangan syariah Islam, karena Nabi saw. pernah bersabda:

"Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, hutan dan energi." (HR Ibn Majah dan an-Nasa'i).
Sesuai dengan sabda Nabi saw. ini, Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) memandang, bahwa seluruh sumberdaya alam yang menguasai hajat publik harus dikelola negara yang seluruh hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 213).
Selain itu, jika Pemerintah, termasuk kalangan liberal, konsisten dengan demokrasi dan nasionalisme, apakah kebijakan-kebijakan yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak dan cenderung menghamba pada kepentingan pihak asing (Kapitalisme global) di atas bersifat demokratis dan sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme? Demokrasi macam apa yang justru bertentangan dengan kemaslahatan publik? Nasionalisme macam apa pula yang menggadaikan kepentingan nasional kepada pihak asing? Mengapa kalangan liberal sendiri tidak pernah menyoal masalah ini; sesuatu yang justru menjadi concern HTI meski tidak mengatasnamakan demokrasi dan nasionalisme?

Jika kita mau jujur, justru demokrasilah, juga nasionalisme, yang lebih rentan dan rawan direduksi sekaligus 'dibajak' untuk sesuatu yang jauh lebih hina: menghamba pada kepentingan para kapitalis dan pihak asing!
Itulah mengapa selama ini HTI konsisten dengan perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah. Alasan syari-nya adalah karena tidak ada satu pun hukum/sistem yang lebih baik mengatur kehidupan manusia kecuali hanya hukum/sistem syariah (QS an-Maidah [5]: 50) yang diterapkan oleh Khilafah.

Adapun alasan rasionalnya adalah karena negeri ini, bahkan dunia ini, sedang menuju kebangkrutan bahkan kehancuran akibat kerakusan ideologi Kapitalisme global. Para ekonom Barat sendiri—yang jujur—telah banyak mengulas kebobrokan Kapitalisme global ini.

Pertanyaannya: akankah kita tetap betah hidup di tengah-tengah arus besar Kapitalisme global yang terbukti telah banyak menyengsarakan umat manusia, termasuk bangsa ini? Ataukah kita berusaha melepaskan diri dari jeratannya lalu mencari ideologi penyelamat sekaligus penebar rahmat, yakni ideologi Islam (QS al-Anbiya' [21]: 107)? Itulah yang seharusnya dijawab oleh semua pihak, termasuk oleh kalangan liberal; kecuali jika mereka memang kepanjangan tangan dari Kapitalisme global! []

"SEJARAH GELAP PARA PAUS"

BAHAYA KERUSAKAN TOKOH DAN INSTITUSI AGAMA! (BELAJAR DARI SEJARAH KEJAHATAN PARA PAUS)
Hari Selasa (19/3/2019), saya mengisi pengajian dhuhur di Masjid Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tema umum tentang peradaban Islam.
Saya menekankan pentingnya 'trust' bagi tegaknya satu masyarakat atau peradaban. Trust akan hancur jika nilai2 kebaikan rusak.
Dalam hal ini ulama, tokoh agama, atau ilmuwan adalah yang paling bertanggung jawab dalam menjaga nilai2 kebaikan tersebut. Karena itu kasus Jual beli jabatan di satu insitusi keagamaan adalah masalah yang sangat serius.
Eropa berubah menjadi sekuler liberal, dan kapok dengan agama, setelah pemuka2 agama dan juga institusi keagamaan kehilangan legitimasi moralnya. Sebab mereka korup dan bejat akhlaknya.
Berikut ini telaah ringkas buku "Sejarah Gelap Para Paus" terbitan Kompas Gramedia. Semoga menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.
*******************************************
"SEJARAH GELAP PARA PAUS"

.
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur ATTAQWA COLLEGE, DEPOK)

“Sejarah Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”. Itulah judul sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Kelompok Kompas-Gramedia (KKG). Edisi bahasa Inggris buku ini ditulis oleh Brenda Ralph Lewis dengan judul Dark History of the Popes – Vice Murder and Corruption in the Vatican.
“Benediktus IX, salah satu paus abad ke-11 yang paling hebat berskandal, yang dideskripsikan sebagai seorang yang keji, curang, buruk dan digambarkan sebagai ‘iblis dari neraka yang menyamar sebagai pendeta’. (hal.9)

Itulah sebagian gambaran tentang kejahatan Paus Benediktus IX dalam buku ini. Riwayat hidup dan kisah kejahatan Paus ini digambarkan cukup terperinci. Benediktus IX lahir sekitar tahun 1012. Dua orang pamannya juga sudah menjadi Paus, yaitu Paus Benediktus VIII dan Paus Yohanes XIX. Ayahnya, Alberic III, yang bergelar Count Tusculum, memiliki pengaruh kuat dan mampu mengamankan singgasana Santo Petrus bagi Benediktus, meskipun saat itu usianya masih sekitar 20 tahunan.
Paus muda ini digambarkan sebagai seorang yang banyak melakukan perzinahan busuk dan pembunuhan-pembunuhan. Penggantinya, Paus Viktor III, menuntutnya dengan tuduhan melakukan ‘pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan-tindakan lain yang sangat keji’. Kehidupan Benediktus, lanjut Viktor, ‘Begitu keji, curang dan buruk, sehingga memikirkannya saja saya gemetar.” Benediktus juga dituduh melakukan tindak homoseksual dan bestialitas.

Kejahatan Paus Benediktus IX memang sangat luar biasa. Bukan hanya soal kejahatan seksual, tetapi ia juga menjual tahta kepausannya dengan harga 680 kg emas kepada bapak baptisnya, John Gratian. Gara-gara itu, disebutkan, ia telah menguras kekayaan Vatikan.

Paus lain yang dicatat kejahatannya dalam buku ini adalah Paus Sergius III. Diduga, Paus Sergius telah memerintahkan pembunuhan terhadap Paus Leo V dan juga antipaus Kristofer yang dicekik dalam penjara tahun 904. Dengan cara itu, ia dapat menduduki tahta suci Vatikan. Tiga tahun kemudian, ia mendapatkan seorang pacar bernama Marozia yang baru berusia 15 tahun.

Sergius III sendiri lebih tua 30 tahun dibanding Marozia. Sergius dan Marozia kemudian memiliki anak yang kelak menjadi Paus Yohanes XI, sehingga Sergius merupakan satu-satunya Paus yang tercatat memiliki anak yang juga menjadi Paus.
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi kepausan dari tahun 886-950 Masehi:

“Mereka berburu dengan menunggang kuda yang berhiaskan emas, mengadakan pesta-pesta dengan berdansa bersama para gadis ketika perburuan usai dan beristirahat dengan para pelacur (mereka) di atas ranjang-ranjang berselubung kain sutera dan sulaman-sulaman emas di atasnya. Semua uskup Roma telah menikah dan istri-istri mereka membuat pakaian-pakaian sutera dari jubah-jubah suci.”

Banyak penulis sudah mengungkap sisi gelap kehidupan kepausan. Salah satunya Peter de Rosa, penulis buku Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy. Buku ini juga mengungkapkan bagaimana sisi-sisi gelap kehidupan dan kebijakan tahta Vatikan yang pernah melakukan berbagai tindakan kekejaman, terutama saat menerapkan Pengadilan Gereja (Inquisisi). Kekejaman Inquisisi sudah sangat masyhur dalam sejarah Eropa. Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menyebutkan, bahwa Inquisisi adalah salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat (one of the most evil of all Christian institutions). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).

Inquisisi diterapkan terhadap berbagai golongan masyarakat yang dipandang membahayakan kepercayaan dan kekuasaan Gereja. Buku Brenda Ralph Lewis mengungkapkan dengan cukup terperinci bagaimana Gereja menindas ilmuwan seperti Galileo Galilei dan kawan-kawan yang mengajarkan teori heliosentris. Galileo (lahir 1564 M) melanjutkan teori yang dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia, Nikolaus Copernicus. Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.

Tahun 1616, buku De Revolutionibus dimasukkan ke dalam daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris secara resmi dilarang Gereja. Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai mati, karena mengajarkan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Lokasi pembakaran Bruno di Campo de Fiori, Roma, saat ini didirikan patung dirinya.
Melihat situasi seperti itu, Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap diam.

Pada 22 Juni 1633, setelah beberapa kali dihadirkan pada sidang Inquisisi, Galileo diputus bersalah. Pihak Inquisisi menyatakan bahwa Galileo bersalah atas tindak kejahatan yang sangat mengerikan. Galileo pun terpaksa mengaku, bahwa dia telah bersalah. Bukunya, Dialogo, telah dilarang dan tetap berada dalam indeks Buku-Buku Terlarang sampai hampei 200 tahun. Galileo sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal dunia. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan membenarkan Galileo.

Kisah-kisah kehidupan gelap para Paus serta berbagai kebijakannya yang sangat keliru banyak terungkap dalam lembaran-lembaran sejarah Eropa. Peter de Rosa, misalnya, menceritakan, saat pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid.

Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya gila.

Pasukan Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut.

Kejahatan penguasa-penguasa agama ini akhirnya berdampak pada munculnya gerakan liberalisasi dan sekularisasi di Eropa. Masyarakat menolak campur tangan agama (Tuhan) dalam kehidupan mereka.
Sebagian lagi bahkan menganggap agama sebagai candu, yang harus dibuang, karena selama ini agama digunakan alat penindas rakyat. Penguasa agama dan politik bersekutu menindas rakyat, sementara mereka hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Salah satu contoh adalah Revolusi Perancis (1789), yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”.

Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.
Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu, ialah: “Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a woman if you are in front of her, a mule if you are behind it and a priest whether you are in front or behind).” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975).

Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.

Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan.

Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan.

Kaum Muslim, perlu mengambil hikmah dari kasus kejahatan para pemimpin Gereja ini. Ketika para tokoh agama tidak mampu menyelaraskan antara ucapan dan perilakunya, maka masyarakat akan semakin tidak percaya, bahkan bias “alergi” dengan agama. Jika orang-orang yang sudah terlanjur diberi gelar — atau memberi gelar untuk dirinya sendiri – sebagai “ULAMA”, tidak dapat mempertanggungjawabkan amal perbuatannya, maka bukan tidak mungkin, umat akan hilang kepercayaannya kepada para ulama. Mereka akan semakin jauh dari ulama dan lebih memuja selebriti – baik selebriti seni maupun politik.

Kasus yang menimpa sejumlah tokoh agama Katolik itu dapat juga menimpa agama mana saja. Jika tokoh-tokoh partai politik Islam tidak dapat memegang amanah — sibuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya, tak henti-hentinya mempertontonkan konflik dan pertikaian — maka bukan tidak mungkin, umat akan lari dari mereka dan partai mereka.
Jika para pimpinan pesantren tidak dapat memegang amanah, para ulama sibuk mengejar keuntungan duniawi, dan sebagainya, maka umat juga akan lari dari mereka. Jika orang-orang yang dianggap mengerti agama tidak mampu menjadi teladan bagi masyarakat, tentu saja sulit dibayangkan masyarakat umum akan sudi mengikuti mereka.

Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua kisah ini, untuk kebaikan umat Islam di masa yang akan datang.*/Depok, 20 Maret 2011
copas Dr. Adian Husaini

JANGAN TAKUT MENDAKWAHKAN KHILAFAH,

JANGAN TAKUT MENDAKWAHKAN KHILAFAH, DIJAMIN OLEH HUKUM & KONSTITUSI.

Oleh, *Chandra Purna Irawan,SH.,MH* _*(Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI & Sekertaris Jenderal LBH PELITA UMAT)*_

"Wiranto menegaskan anggota HTI tidak boleh menyebarkan paham khilafah atau ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Wiranto menegaskan larangan ini juga berlaku bagi ormas lainnya."

Sumber: http://detik.id/Vn0MRP

Menanggapi hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

Pertama, bahwa ajaran Islam Khilafah tidak pernah dinyatakan sebagai paham terlarang baik dalam surat keputusan tata usaha negara, putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan atau produk hukum lainnya sebagaimana paham komunisme, marxisme/leninisme dan atheisme, yang merupakan ajaran PKI melalui TAP MPRS NO. XXV/1966. Artinya, sebagai ajaran Islam Khilafah tetap sah dan legal untuk didakwahkan ditengah-tengah umat. Mendakwahkan ajaran Islam Khilafah termasuk menjalankan ibadah berdasarkan keyakinan agama Islam, dimana hal ini dijamin konstitusi.

Kedua, bahwa mengutip pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa kegiatan yang dihentikan oleh SK Menteri dan Putusan Pengadilan TUN adalah kegiatan HTI sebagai lembaga (kegiatan Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia), bukan penghentian kegiatan dakwah individu anggota dan/atau pengurus HTI. (Senin, 4/6/2018: http://detik.id/67AYOw).

Ketiga, bahwa Islam adalah agama yang diakui dan konstitusi memberikan jaminan untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya berdasarkan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu siapapun yang menyudutkan ajaran Islam, termasuk Khilafah maka menurut saya dapat dikategorikan tindak pidana penistaan agama.

Keempat, bahwa khilafah itu ajaran Islam dan milik umat Islam, bukan ajaran individu dan/atau ormas tertentu. Karenanya umat Islam wajib membela ajaran agamanya apabila dikriminalisasi.

Kelima, bahwa saya menyeru kepada segenap umat Islam tidak perlu takut untuk terus mendakwahkan ajaran Islam termasuk syariah dan khilafah.

Wallahualambishawab

IG/Telegram @chandrapurnairawan

WIRANTO TIDAK PAHAM SUBSTANSI PUTUSAN PTUN DAN MEMPOLITISASI HUKUM UNTUK TUJUAN POLITIK ?*

*WIRANTO TIDAK PAHAM SUBSTANSI PUTUSAN PTUN DAN MEMPOLITISASI HUKUM UNTUK TUJUAN POLITIK ?*


Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT



_"Jadi harap maklum bahwa jangan sampai ada pengertian organisasinya dilarang tetapi individualnya masih menyebarkan paham-paham khilafah dan anti-Pancasila. Nggak bisa. Karena tidak hanya HTI. Organisasi lainnya, ormas lainnya, pun, kalau menyebarkan ajaran anti-Pancasila dan anti-NKRI, juga ada undang-undang yang akan memasukkan dia di ranah hukum. Saya kira itu semua paham. Jadi itu supaya jelas,"_

*[Wiranto, 19/7]*


Kembali, menkopolhukam Wiranto mengeluarkan statement yang _Abuse of Law_. Pernyataan yang secara substansi justru melampaui hukum, yang publik dapat memahami pernyataan dimaksud lebih kental nuansa politiknya ketimbang muatan hukum.

Statement ini, melengkapi statement Wiranto sebelumnya yang tak paham hukum, yang berulangkali membuat framing bahwa bendera bertuliskan Lafadz :

لا إله إلا الله محمد رسول الله

Sebagai bendera Ormas Islam HTI.

Padahal, bendera bertuliskan Lafadz Tauhid dengan kain dasar putih dan hitam itu adalah bendera al Liwa dan Ar  Roya, atau lebih dikenal umum sebagai Bendera Tauhid. Karenanya, ketika Menkopolhukam memaksakan terma 'bendera ormas' terhadap bendera tauhid, berusaha memberi pembenaran terhadap Banser yang membakar bendera Tauhid di Garut dengan dalih bendera HTI, umat Islam membela bendera tauhid dengan melakukan aksi unjuk rasa damai didepan kantor Kemenkopolhukam.

Tak hanya di Kemenkopolhukam, umat kembali meneguhkan pembelaan pada bendera tauhid dalam aksi Reuni 212 jilid II, dengan membawa jutaan bendera tauhid. Fakta ini, seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Wiranto untuk tak asal dalam mengeluarkan statement.

Nyatanya, tidak demikian. Pada Jumat (19/7), Wiranto kembali membuat pernyataan yang melampaui hukum, pernyataan yang mengkonfirmasi ketidakpahaman atas subtansi hukum yang seharusnya dijunjung tinggi. Wiranto, mengeluarkan 3 (tiga) pernyataan yang tak berdasar :

*Pertama,* Wiranto kembali mengulang-ulang ujaran bahwa HTI adalah ormas Terlarang.

*Kedua,* Wiranto memframing ajaran Islam khilafah sebagai ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.

*Ketiga,* Wiranto tak hanya melarang HTI mendakwahkan khilafah, tetapi juga melarang ormas atau individu lainnya untuk tidak mengajarkan ajaran Islam khilafah, yang merupakan sistem pemerintahan Islam yang Agung.


*Berdalih Perppu dan Putusan PTUN Jakarta*


Dalam statementnya, implisit Wiranto merujuk putusan Pengadilan PTUN Jakarta yang menolak Gugatan Sengketa TUN yang diajukan oleh ormas Islam HTI. Narasi ormas Terlarang dan khilafah ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, selalu diulang-ulang berdalih telah ada putusan hukum PTUN Jakarta, yang saat ini putusannya telah final seiring dengan keluarnya putusan kasasi dari MA.

Mengenai hal ini, perlu penulis tegaskan ulang beberapa poin jawaban atas berbagai tudingan Wiranto terhadap HTI dan khilafah.

*Pertama,* dalam putusan MA yang menolak kasasi HTI hanya menguatkan putusan tingkat banding dan tingkat pertama di PTUN Jakarta. Padahal, amar putusan pada putusan PTUN Jakarta, hanya menolak gugatan HTI.

Artinya, putusan PTUN Jakarta, PTTUN DKI JAKARTA dan putusan kasasi MA hanya mengesahkan dan menguatkan terbitnya KTUN Objek Sengketa berupa Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Status Badan Hukum HTI tetap berlaku.

Dalam Diktum putusan KTUN Objek Sengketa hanya memuat tentang pencabutan status BHP HTI yang pernah dikeluarkan oleh kemenkumham pada tahun 2014. Tidak ada satupun Diktum KTUN objek sengketa, yang menyebut HTI sebagai ormas terlarang, apalagi memutus amar khilafah dinyatakan sebagai ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

*Kedua,* dalam aturan norma pasal yang diadopsi melalui Perppu No. 2 tahun 2017 yang kemudian dikukuhkan dengan UU No. 16 tahun 2017 tentang pengesahan Perppu No. No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan UU No. 17 tahun 2013 tentang ormas menjadi undang undang, tidak terdapat satupun pasal yang secara tegas menyatakan khilafah adalah paham atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Perppu ormas hanya memperluas tafsiran 'paham lain' dalam penjelasan, yang memuat penjelasan paham lain itu adalah sosialisme, marxisme, atheisme dan leninisme atau paham yang bertujuan ingin mengganti Pancasila dan UUD 1945.

*Ketiga,* putusan PTUN Jakarta itu mengadili beshicking yang sifatnya kongkrit, individual dan final. Keputusan ini, hanya mengikat bagi pihak yang dituju keputusan.

Karenanya, Wiranto terlalu berhalusinasi jika melarang ormas Islam lainnya untuk mendakwahkan ajaran Islam khilafah, berdalih telah ada putusan hukum. Putusan PTUN Jakarta yang dikuatkan oleh MA hanya berisi penolakan gugatan HTI dan hanya mengikat bagi HTI.

Alhasil, keputusan hanya menguatkan status pencabutan BHP HTI ini hanya berlaku bagi HTI. Putusan PTUN bersifat individual, karena hanya memuat kewajiban dan keterikatan bagi individu atau institusi tertentu yang diterapkan beshicking.

Jadi, narasi melarang ormas-ormas Islam untuk mengajarkan ajaran Islam khilafah berdalih telah ada putusan yang bersifat final adalah salah, keliru dan tidak sesuai dengan fakta dan hakekat putusan tata usaha negara. Selain itu, PTUN adalah pengadilan administrasi, bukan pengadilan pidana. Adalah keliru besar jika substansi khilafah dikriminalisasi hanya berdalih telah ada putusan PTUN yang bersifat inkrah van gevisjde.

Karena itu, penulis lebih melihat substansi statement Wiranto lebih kental nuansa politik, yang bertujuan ingin menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam khilafah. Dengan narasi itu, umat ingin dijauhkan bahkan ditakut-takuti dengan ajaran agamanya.

Lebih jauh, statement politik ini juga bertujuan untuk mengintimidasi, menteror dan mengalienasi aktivis dan para pengemban dakwah dari umat. Padahal, saat ini umat ini butuh bimbingan dan arahan sesuai petunjuk syariat Islam, agar tidak salah dalam memahami realitas politik yang terjadi di negeri ini.


*Umat Akan Tetap Cinta Ajaran Islam Khilafah*

Upaya politik Wiranto yang ingin menjauhkan umat dari ajaran Islam khilafah sudah pasti akan sia-sia. Sebab, khilafah adalah ajaran Nabi, bukan ajaran individu atau ormas tertentu.

Memaksa umat menjauhi khilafah dan memaksakan narasi khilafah sebagai paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, hanya akan menuai kegagalan, sebagaimana kegagalan Wiranto memaksa nalar publik untuk menstigmasasi bendera tauhid sebagai bendera ormas. Khilafah telah ada jauh sebelum bangsa ini didirikan, para ulama mu'tabar telah banyak membahas khilafah dalam kitab-kitab yang mereka keluarkan.

Semakin besar upaya rezim menjauhkan umat dari khilafah, akan semakin lantang umat berdiri dan membela khilafah. Tindakan politisasi hukum untuk menjauhkan umat dari khilafah, justru akan menambah rasa cinta umat pada khilafah dan menimbulkan semangat berkorban untuk mendakwahkannya.

Rasanya, Wiranto diusia yang udzur seyogyanya banyak istighfar dan mengubah sikap dan penentangannya pada ajaran Islam khilafah. Sebab, siapapun tidak akan sanggup melawan janji Allah SWT tentang akan kembali berdirinya khilafah. Semoga, Wiranto masih diberi umur panjang hingga mampu menyaksikan bagaimana khilafah berdiri kembali dan memakmurkan negeri ini. [].

Tuesday, July 9, 2019

Kezuhudan gubernur itu membuat umar menangis

*Kezuhudan Gubernur Itu Membuat Umar Menangis*

_[Global Muslim]_ Said bin Umar al Jumahi, termasuk seorang pemuda di antara ribuan orang yang pergi ke Tan’im, di luar kota Makkah. Mereka berbondong-bondong ke sana, dikerahkan para pemimpin Quraisy untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati terhadap Khubaib bin Adi, yaitu seorang sahabat Nabi yang mereka hukum tanpa alasan.

Dengan semangat muda yang menyala-nyala, Said maju menerobos orang banyak yang berdesak-desakan. Akhirnya dia sampai ke depan, sejajar dengan tempat duduk orang-orang penting, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayah dan lain-lain.

Kaum kafir Quraisy sengaja mempertontonkan tawanan mereka dibelenggu. Sementara para wanita, anak-anak dan pemuda, menggiring Khubaib ke lapangan maut. Mereka ingin membalas dendam terhadap Nabi Muhammad saw, serta melampiaskan sakit hati atas kekalahan mereka dalam perang Badar.

Ketika tawanan yang mereka giring sampai ke tiang salib yang telah disediakan, Said mendongakkan kepala melihat kepada Khubaib bin Adi. Said mendengar suara Khubaib berkata dengan mantap, ”Jika kalian bolehkan, saya ingin shalat dua rakaat sebelum saya kalian bunuh…”

Kemudian Said melihat Khubaib menghadap ke kiblat (Ka’bah). Dia shalat dua rakaat. Alangkah bagus dan sempurnanya shalatnya itu. Sesudah shalat, Khubaib menghadap kepada para pemimpin Quraisy seraya berkata, ”Demi Allah! Seandainya kalian tidak akan menuduhku melama-lamakan shalat untuk mengulur-ngulur waktu karena takut mati, niscaya saya akan shalat lagi.” Mendengar ucapan Khubaib tersebut, Said melihat para pemimpin Quraisy naik darah, bagaikan hendak mencincang-cincang tubuh Khubaib hidup-hidup.

Kata mereka, ”Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebeskan?”

“Saya tidak ingin bersenang-senang dengan istri dan anak-anak saya, sementara Muhammad tertusuk duri,” jawab Khubaib mantap.

“Bunuh dia! Bunuh dia!” teriak orang banyak. Said melihat Khubaib telah dipakukan ke tiang salib. Dia mengarahkan pandangannya ke langit sambil berdoa,”Ya Allah! Hitunglah jumlah mereka! Hancurkan mereka semua. Jangan disisakan seorang jua pun!”

Tidak lama kemudian Khubaib menghembuskan nafasnya yang terakhir di tiang salib. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka karena tebasan pedang dan tikaman tombak yang tak terbilang jumlahnya.

Kaum Kafir Quraisy kembali ke Makkah biasa-biasa saja. Seolah-olah mereka telah melupakan peristiwa maut yang merenggut jiwa Khubaib dengan sadis. Tetapi Said bin Amir al Jumahi yang baru meningkat remaja tidak dapat melupakan Khubaib walau ‘sedetikpun’. Sehingga dia bermimpi melihat Khubaib menjelma dihadapannya. Dia seakan-akan melihat Khubaib menjelma di hadapannya. Dia seakan-akan melihat Khubaib shalat dua rakaat dengan khusyu’ dan tenang di bawah tiang salib. Seperti terdengar olehnya rintihan suara Khubaib mendoakan kaum kafir Quraisy. Karena itu Said ketakutan kalau-kalau Allah SWT segera mengabulkan doa Khubaib, sehingga petir dan halilintar menyambar kaum Quraisy.

Keberanian dan ketabahan Khubaib menghadapi maut mengajarkan Said beberapa hal yang belum pernah diketahuinya selama ini.

*Pertama*, hidup yang sesungguhnya adalah hidup beraqidah, beriman, kemudian berjuang mempertahankan aqidah itu sampai mati.

*Kedua*, iman yang telah terhunjam di hati seseorang dapat menimbulkan hal-hal yang ajaib dan luar biasa.

*Ketiga*, orang yang paling dicintai Khubaib ialah sahabatnya, yaitu seorang Nabi yang dikukuhkan dari langit.

Sejak itu Allah SWT membukakan hati Said bin Amir untuk menganut agama Islam. Kemudian dia berpidato di hadapan khalayak ramai, menyatakan: ‘alangkah bodohnya orang Quraisy menyembah berhala’. Karena itu dia tidak mau terlibat dalam kebodohan itu. Lalu dibuangnya berhala-berhala yang dipujanya selama ini. Kemudian diumumkannya, mulai saat itu dia masuk Islam.

Tidak lama sesudah itu, Said menyusul kaum Muslimin hijrah ke Madinah. Di sana dia senantiasa mendampingi Nabi saw. Dia ikut berperang bersama beliau, mula-mula dalam peperangan Khaibar. Kemudian dia selalu turut berperang dalam setiap peperangan berikutnya.

Setelah Nabi saw berpulang ke rahmatullah, Said tetap menjadi pembela setia Khalifah Abu Bakar dan Umar. Dia menjadi teladan satu-satunya bagi orang-orang mukmin yang membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia. Dia lebih mengutamakan keridhaan Allah dan pahala daripada-Nya di atas segala keinginan hawa nafsu dan kehendak jasad.

Kedua khalifah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar bin Khattab, mengerti bahwa ucapan-ucapan Said sangat berbobot dan taqwanya sangat tinggi. Karena itu keduanya tidak keberatan mendengar dan melaksanakan nasihat-nasihat Said.

Pada suatu hari di awal pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Said datang kepadanya memberi nasihat. Kata Said,”Ya Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut kepada manusia dalam menjalankan agama Allah! Jangan berkata berbeda dengan perbuatan. Karena sebaik-baik perkataan ialah yang dibuktikan dengan perbuatan. Hai Umar! Tujukanlah seluruh perhatian Anda kepada urusan kaum Muslimin, baik yang jauh maupun yang dekat. Berikan kepada mereka apa yang Anda dan keluarga sukai. Jauhkan dari mereka apa-apa yang Anda dan keluarga tidak sukai. Arahkan semua karunia Allah kepada yang baik. Jangan hiraukan cacian orang-orang yang suka mencaci.”

“Siapakah yang sanggup melaksanakan semua itu, hai Said?” Tanya Khalifah Umar. “Tentu orang seperti Anda! Bukankah Anda telah dipercayai Allah memerintah umat Muhammad ini? Bukankah antara Anda dengan Allah tidak ada lagi suatu penghalang?” jawab Said meyakinkan.

Pada suatu ketika Khalifah Umar memanggil Said untuk diserahi suatu jabatan dalam pemerintahan. “Hai Said! Engkau kami angkat menjadi Gubernur di Himsh!” kata Khalifah Umar.

“Wahai Umar! Saya mohon kepada Allah semoga Anda tidak mendorong saya condong kepada dunia,” kata Said.

“Celaka engkau!” Balas Umar marah. “Engkau pikulkan beban pemerintahan ini di pundakku, tetapi kemudian engkau menghindar dan membiarkanku repot sendiri.”

“Demi Allah! Saya tidak akan membiarkan Anda,” jawab Said.

Kemudian Khalifah Umar melantik Said menjadi gubernur di Himsh. Sesudah pelantikan khalifah Umar bertanya kepada Said, ”Berapa gaji yang Engkau inginkan?”

“Apa yang harus saya perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mukminin?” jawab Said balik bertanya. “Bukankah penghasilan saya dari Baitul Mal sudah cukup?”

Tidak berapa lama setelah Said memerintah di Himsh, sebuah delegasi datang menghadap khalifah Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Himsh yang ditugasi Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.

Dalam pertemuan dengan delegasi tersebut, Khalifah Umar meminta daftar fakir miskin Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi mengajukan daftar yang diminta khalifah. Di dalam daftar tersebut terdapat nama-nama di Fulan, dan nama Said bin Amir al Jumahi.

Ketika Khalifah meneliti daftar tersebut, beliau menemukan nama Said bin Amir al Jumahi. Lalu beliau bertanya, ”Siapa Said bin Amir yang kalian cantumkan ini?”

“Gubernur kami!” jawab mereka. “Betulkah gubernur kalian miskin?” jawab Khalifah heran.

“Sungguh, ya Amirul Mukminin! Demi Allah! Seringkali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak),” jawab mereka meyakinkan.

Mendengar perkataan itu, Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundit-pundi berisi uang seribu dinar.

“Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Said bin Amir, dan uang ini saya kirimkan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah tangganya,” ucap Umar sedih.

Setibanya di Himsh, delegasi itu segera menghadap Gubernur Said, menyampaikan salam dan uang kiriman Khalifah untuk beliau. Setelah Gubernur Said melihat pundi-pundi berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (kita milik Allah dan pasti kembali kepada Allah).

Mendengar ucapannya itu, seolah-olah suatu mara bahaya sedang menimpanya. Karena itu istrinya segera menghampiri seraya bertanya, ”Apa yang terjadi, hai Said? Meninggalkah Amirul Mukminin?”

“Bahkan lebih besar dari itu!” jawab Said sedih. “Apakah tentara kaum Muslimin kalah berperang?” tanya istrinya lagi. “Jauh lebih besar dari itu!” jawab Said tetap sedih. “Apa pulalah gerangan yang lebih dari itu?” tanya istrinya tak sabar. “Dunia telah datang untuk merusak akhiratku. Bencana telah menyusup ke rumah tangga kita,” jawab Said mantap.

“Bebaskan dirimu daripadanya!” kata istri Said memberi semangat, tanpa mengetahui perihal adanya pundi-pundi uang yang dikirimkan Khalifah Umar untuk pribadi suaminya.

“Maukah engkau menolongku berbuat demikian?” Tanya Said.

“Tentu!” jawab istrinya bersemangat. Maka Said mengambil pundi-pundi uang itu, lalu disuruhnya istrinya membagi-bagikan kepada fakir miskin…

_(Sumber:Kepahlawanan Dalam Generasi Sahabat Karangan DR. Abdurrahman Raf'at Basya/Nuim Hidayat)_

https://www.globalmuslim.web.id/2012/02/kezuhudan-gubernur-itu-membuat-umar.html

Menolak syubhat syubhat anti poligami

*MENOLAK SYUBHAT-SYUBHAT ANTI POLIGAMI*

*OLEH : KH. M. SHIDDIQ AL JAWI*

Berikut ini adalah bantahan terhadap beberapa syubhat-syubhat yang pada pokoknya adalah anti poligami.

*Syubhat Pertama : Katanya Poligami Hanya Boleh Dalam Kondisi Darurat*

Ada orang yang menolak poligami dengan ungkapan bahwa poligami adalah "emergency exit door" (pintu keluar darurat).

Ini tidak benar dan tidak sesuai dengan pengertian darurat dalam fiqih dan ushul fiqih.

Darurat menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asybaah wa an-Nazhaa`ir fi al-Furuu’, adalah "sampainya seseorang pada suatu batas (kondisi) yang jika dia tidak mengerjakan yang haram, maka dia akan mati atau hampir mati" (wushuuluhu haddan in lam yatanaawal al-mamnuu’ halaka aw qaaraba).

Ini artinya, seorang laki-laki baru boleh berpoligami kalau sudah payah sekali keadaannya, yakni hampir mati kalau dia tidak berpoligami. Wah, kalau begitu kasihan sekali ya seorang laki-laki yang mau poligami. Ini tentu cukup menggelikan dan tidak benar.

Pendapat yang membolehkan poligami dalam kondisi darurat berarti menganggap poligami itu hukum asalnya haram (seperti daging babi), dan baru dibolehkan (sebagai hukum rukhshah) jika tak ada jalan keluar selain poligami.

Padahal yang benar adalah sebaliknya, yakni hukum asal poligami itu adalah mubah (boleh), bukan haram.

Jadi mengatakan poligami baru dibolehkan jika ada kondisi adalah batil. Yang benar, poligami itu boleh tanpa ada syarat terjadinya kondisi darurat lebih dulu. Inilah yang benar.

*Syubhat Kedua : Katanya Nabi SAW Melarang Ali bin Abi Thalib RA Poligami*

Ada orang yang mengharamkan poligami dengan alasan Rasulullah SAW telah melarang Ali bin Abi Thalib RA berpoligami.

Dalam satu riwayat, suatu saat Ali bin Abi Thalib RA yang sudah beristerikan Fatimah meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikah lagi dengan putri Abu Jahal. Maka Rasulullah SAW bersabda : "Tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib rela untuk menceraikan putriku dan menikahi putrinya Abu Jahal. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku, menyenangkan aku apa yang menyenangkannya, menyakitiku apa yang menyakitinya."

Jika dilihat sampai disini, seolah-olah Rasulullah SAW mengharamkan poligami. Kaum liberal yang curang biasanya hanya menyampaikan hadits di atas tanpa melihat hadits yang sama dari jalur periwayatan yang lain.

Padahal dalam jalur riwayat lain ada pernyataan Nabi SAW yang justru sangat penting kaitannya dengan status hukum poligami. Yaitu pernyataan yang menjelaskan alasan Nabi SAW menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA.

Sabda lalu Rasulullah SAW tersebut adalah : "Sungguh aku tidaklah mengharamkan sesuatu yang halal, dan tidak pula menghalalkan sesuatu yang haram. Akan tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah dalam suatu tempat selama-lamanya." (HR Bukhari)

Sabda Rasul SAW yang terakhir ini dengan jelas menunjukkan bahwa poligami itu adalah halal, bukan haram.

Jadi larangan Rasul SAW kepada Ali bin Thalib yang ingin memadu Fatimah dengan putri Abu Jahal bukanlah karena Rasulullah SAW mengharamkan poligami, melainkan karena lalu Rasulullah SAW tidak senang Ali bin Abi Thalib mengumpulkan putri Rasulullah SAW dengan putri musuh Allah di bawah lindungan seorang lelaki.

Ini dapat dipahami dari kalimat selanjutnya yaitu "Akan tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam suatu tempat selama-lamanya".

Bahkan Ali bin Abi Thalib sendiri sebenarnya berpoligami, setelah meninggalnya Fathimah. Ibnu Uyainah mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai empat isteri dan 19 budak perempuan, setelah wafatnya Fatimah RA (Imam Suyuthi, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul Muta`ahhil fi al-Khathib wa al-Mutazawwij, [Beirut : Dar Amwaaj, 1989, hal 17]

*Syubhat Ketiga : Katanya Poligami Yang Menimbulkan Bahaya (Dharar) Hukumnya Haram*

Ada orang yang mencoba menolak poligami berdasarkan survei dari data-data empiris yang menjelaskan berbagai bahaya (dharar) dari praktik buruk poligami, misalnya percekcokan atau kecemburuan antar isteri, rawan penyakit seksual, kekerasan dalam rumah tangga, nafkah terabaikan, nafkah tidak adil, dan sebagainya.

Secara metodologis dalam hukum Islam (ushul fiqih), cara berpikir seperti itu sungguh salah, sebab tindakan itu berarti menjadikan akal sebagai satu-satunya alat untuk mengetahui status hukum syara’.

Padahal akal tidak dapat secara independen memutuskan halal-haramnya sesuatu hanya bertolak dari fakta-fakta empiris semata. Akal tugasnya adalah memahami teks wahyu, bukan untuk menyimpulkan status hukum secara mandiri terlepas dari teks.

Di sinilah tepat sekali Imam Ghazali mengatakan, "Al-Ahkaam as-sam’iyah laa tudraku bi al-‘aql," (Hukum-hukum syar’i tidaklah dapat dijangkau dengan akal semata) (Imam Ghazali, Al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushuul, Juz I hal. 127).

Jadi, menolak poligami dengan alasan adanya praktik buruk poligami jelas tidak bisa diterima.  Jika dengan alasan tersebut poligami dilarang, lalu bagaimana dengan yang monogami? Bukankah praktik buruk monogami juga ada? Apakah lalu monogami juga mau dilarang? Tidak, bukan?

*Syubhat Keempat : Katanya Poligami Haram Berdasarkan Kaidah Fiqih Dar’ul Mafaasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashaalih*

Ada pula yang menggunakan data-data empiris mengenai praktik buruk poligami tersebut untuk menolak poligami, dengan ditambah argumen berupa kaidah fiqih *dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih* (menolak kerusakan, lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan).

Dengan kata lain, melarang poligami harus didahulukan dibandingkan membolehkan poligami.

Jadi, pendapat itu menyatakan poligami harus dilarang, karena melarang poligami artinya adalah menolak kerusakan, yang harus didahulukan daripada mencari kemaslahatan, yaitu melakukan poligami.

Pendapat itu batil. Sebab pengamalan kaidah fiqih itu dapat dikatakan sebagai ijtihad. Padahal ijtihad tidak berlaku jika ada nash yang qath’i (pasti/tegas) dalam suatu masalah.

Kaidah fikih menyebutkan *laa ijtihaada fii maurid al-nash* (Tidak boleh melakukan ijtihad pada saat ada nash yang qath’i).

Dalam hal ini telah ada nash yang qath’i yaitu QS An Nisaa' : 3 yang membolehkan poligami. Jika ada nash yang qath’i, tidak boleh lagi berijtihad pada nash yang qath’i itu, apalagi sampai hasil ijtihadnya membatalkan hukum bolehnya poligami dalam nash qath'i itu.

Tindakan yang benar seharusnya bukan melarang poligami, melainkan meluruskan penyimpangan dalam berpoligami, atau menghilangkan bahaya yang muncul dalam berpoligami.

Kaidah fiqih menyebutkan *adh-dharaar yuzaalu syar’an* (Segala bahaya wajib secara syar’i untuk dihilangkan).

Jadi, kalau dalam berpoligami seorang suami berbuat zalim, misalnya berlaku tidak adil dalam nafkah, atau suka memukul isteri, maka yang dilakukan bukan membubarkan poligami, melainkan mengadukan masalah tersebut kepada hakim (peradilan Islam).

Hakim dapat memberikan sanksi syar’i (ta’zir) kepada suami dan mewajibkan suami agar memenuhi hak-hak nafkah isteri. Atau agar suami tidak lagi memukul isteri.

Jadi ibaratnya, kalau mobil kita rusak, misalnya AC rusak atau ban bocor, solusinya bukanlah membuang mobil itu. Tapi bawalah mobil itu ke bengkel dan perbaikilah AC-nya atau bannya saja. Inilah yang haq.

*Syubhat Kelima : Katanya Poligami Haram Karena Suami Mustahil Berlaku Adil*

Ada yang mengatakan poligami dilarang karena suami mustahil berlaku adil kepada istri-istrinya, dengan dalil firman Allah SWT :

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian." ( QS An Nisaa' : 129).

Padahal yang dimaksud bahwa suami mustahil berlaku adil di antara istri pada ayat di atas, adalah adil dalam hal rasa cinta (al mahabbah) dan nafsu syahwat, sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas RA. Keadilan seperti itu memang mustahil, karena berada di luar kuasa manusia.

Keadilan dalam ayat itu berbeda dengan keadilan yang diwajibkan suami bagi istri-istrinyadalam poligami (QS An Nisaa' : 3), yaitu keadilan yang berada dalam kuasa manusia, yaitu adil dalam hal nafkah (sandang, pangan, papan) dan mabiit (giliran bermalam) di antara istri- istri.

Jadi, adalah tidak benar menolak poligami dengan alasan suami mustahil berlaku adil berdasarkan QS An Nisaa' : 129. Penolakan ini dasarnya adalah penafsiran yang keliru terhadap makna adil dalam QS An Nisaa' : 129 tersebut.

Keadilan yang mustahil dalam QS An Nisaa' : 129 itu maksudnya adalah keadilan di luar kuasa manusia. Sedang keadilan yang diwajibkan dalam poligami dalam QS An Nisaa' : 3 adalah keadilan yang masih berada dalam kuasa manusia.

Wallahu a'lam.

Jakarta, 7 Juli 2019
M. Shiddiq Al Jawi

Friday, July 5, 2019

4 Dalil hukum, HTI bukan ormas terlarang


4 Dalil Hukum, HTI Bukan Ormas Terlarang

Oleh, Chandra Purna Irawan, SH., MH.
(Ketua BHP KSHUMI dan Sekjend LBH Pelita Umat)

Berkembang opini, ada yang menyatakan bahwa HTI sebagai ormas telarang. Menanggapi hal tersebut, saya akan menyampaikan pendapat hukum sebagai berikut :

1. Bahwa SK KEMENKUMHAM yang dikeluarkan adalah memutuskan, menetapkan Mencabut Keputusan Menteri Hukum Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tanggal 02 Juli trahun 2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia. Intinya ba

2. Bahwa Putusan PTUN Jakarta hanya menguatkan status pencabutan BHP HTI, tidak ada amar putusan PTUN Jakarta yang menyatakan membubarkan HTI atau menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang, termasuk tidak ada amar putusan yang menetapkan ajaran Islam yaitu Khilafah sebagai ajaran atau paham yang dilarang.
3. Bahwa berbeda kasus Partai Komunis Indonesia (PKI), melalui TAP MPRS NO. XXV/1966, didalamnya tegas menyebutkan tiga hal. Pertama, pernyataan pembubaran PKI. Kedua, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang. Ketiga, pernyataan pelarangan paham atau ideologi yang diemban PKI yakni marxisme/leninisme, atheisme, komunisme.

4. Bahwa HTI tidak pernah melakukan kudeta dan pemberontakan. HTI murni berdakwah dengan pendekatan pemikiran, tanpa kekerasan dan tanpa fisik. Dakwah yang dilakukan oleh HTI adalah mendakwahkan ajaran Islam, sebagai bentuk ibadah yang telah dilindungi oleh peraturan Perundang-undangan.

Wallahualambishawab