BANGSA INI BUTUH SOLUSI
Oleh: Arief B. Iskandar
Banyak kalangan selama ini telah salah memahami HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dengan gagasan syariah dan Khilafahnya. Dengan kedua gagasan itu, HTI dianggap sebagai ancaman bagi Pancasila dan NKRI.
Lebih dari itu, Khilafah dianggap bukan kewajiban syariah dan hanya merupakan romantisme sejarah para pengusungnya. Khilafah syarat dengan konflik. Khilafah didasarkan pada konsep kedaulatan Tuhan yang sering mengalami reduksi serta rentan dan rawan terhadap pembajakan demi nafsu kekuasaan. Gagasan Khilafah hanya bentuk kegagapan menghadapi modernitas. Khilafah utopis dll.
Itulah di antara kekeliruan yang bisa baca dalam banyak pernyataan dan tulisan kalangan liberal selama ini.
Namun demikian, tulisan ini tidak ingin meng-counter apa yang sering dilontarkan oleh kalangan liberal, yang sering ditujukan terutama pada HT(I). Sebab, HT(I) sendiri, baik di media massa maupun dalam forum-forum diskusi, seminar dll telah banyak menjelaskan gagasan dan dalil-dalil seputar kewajiban menegakkan syariah dan Khilafah, termasuk menjawab apa yang sering dipertanyakan kaum liberal.
Di sini Penulis hanya ingin memaparkan kembali persoalan yang lebih krusial dan urgen untuk dijawab oleh semua pihak--termasuk ole kalangan liberal yang selama ini rajin 'menentang gagasan syariah dan Khilafah yang diusung HTI--daripada sekadar wacana Khilafah yang cenderung banyak direduksi dan disalahpami.
Persoalan yang dimaksud adalah: jika bukan syariah dan Khilafah, apa solusi yang bisa ditawarkan untuk menyelesaikan krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini?
Mengapa ini yang dipertanyakan? Sebab, itulah di antara yang mendasari HT(I) mengusung gagasan syariah dan Khilafah, yakni ingin mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini. Dengan kata lain, bagi HT(I), syariah dan Khilafah adalah solusi fundamental bagi bangsa ini bahkan dunia jika ingin keluar dari krisis multidimensi, yang terbukti sampai hari ini gagal diatasi.
Sayangnya, motif baik ini tidak pernah dibaca oleh mereka yang menolak syariah dan Khilafah yang diusung HTI. Padahal HTI sendiri sesungguhnya telah lama mengkaji secara mendalam akar persoalan yang menimpa bangsa ini sekaligus merumuskan berbagai konsep sebagai solusinya, yang bisa diuji kesahihan dan kekuatan argumentasinya. Gagasan-gagasan yang ditawarkan HTI untuk mengatasi krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini bisa dibaca secara jelas dan gamblang dalam media resmi HTI seperti: Website www.hizbut-tahr
ir.or.id , Jurnal al-Waie, Buletin al-Islam, berbagai booklet yang diterbitkan secara berkala maupun buku-buku resmi yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir.
Jika banyak kalangan, termasuk kalangan liberal, mempertanyakan komitmen HTI terhadap NKRI, misalnya, sejak sebelum Timtim lepas, HTI justru telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun!
Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar NKRI jangan berada di bawah ketiak pihak asing.
HTI pun secara konsisten terus memperingatkan Pemerintah tentang kemungkinan disintegrasi di wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya.
Wajar jika seorang pejabat militer pernah berujar bahwa ternyata HTI lebih nasionalis daripada organisasi dan partai-partai nasionalis. Sebab, bagi HTI, keutuhan wilayah NKRI itu final, dalam arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun! Lagipula disintegrasi NKRI berarti akan semakin menyuburkan perpecahan umat. Bagi HTI, ini jelas kontraproduktif dengan gagasan Khilafah yang justru ingin mewujudkan persatuan umat yang memang dikehendaki syariah (QS Ali Imran [3]: 103).
Dalam konteks ekonomi, HTI pun telah sejak lama memperin
gatkan bahaya Kapitalisme global. Jauh sebelum krisis ekonomi menimpa bangsa ini sekitar tahun 1998, HTI telah memperingatkan Pemerintah terhadap bahaya utang luar negeri melalui lembaga IMF. Sebab, bagi HTI, utang luar negeri berbasis bunga (riba), di samping haram dalam pandangan syariah, (QS al-Baqarah [2]: 275), juga merupakan alat penjajahan baru untuk mengeksploitasi negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.
HTI pun telah lama memperingatkan Pemerintah untuk: tidak 'menjual murah' BUMN-BUMN atas nama privatisasi yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak; mencabut HPH dari sejumlah pengusaha yang juga terbukti merugikan kepentingan publik, di samping mengakibatkan penggundulan hutan yang luar biasa; tidak memperpanjang kontrak dengan PT Freeport yang telah lama menguras sumberdaya alam secara luar biasa di bumi Papua; menyerahkan begitu saja pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile; dll.
Bagi HTI, kebijakan-kebijakan Pemerintah yang terkait dengan sumberdaya alam milik publik ini bertentangan syariah Islam, karena Nabi saw. pernah bersabda:
"Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, hutan dan energi." (HR Ibn Majah dan an-Nasa'i).
Sesuai dengan sabda Nabi saw. ini, Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) memandang, bahwa seluruh sumberdaya alam yang menguasai hajat publik harus dikelola negara yang seluruh hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 213).
Selain itu, jika Pemerintah, termasuk kalangan liberal, konsisten dengan demokrasi dan nasionalisme, apakah kebijakan-kebijakan yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak dan cenderung menghamba pada kepentingan pihak asing (Kapitalisme global) di atas bersifat demokratis dan sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme? Demokrasi macam apa yang justru bertentangan dengan kemaslahatan publik? Nasionalisme macam apa pula yang menggadaikan kepentingan nasional kepada pihak asing? Mengapa kalangan liberal sendiri tidak pernah menyoal masalah ini; sesuatu yang justru menjadi concern HTI meski tidak mengatasnamakan demokrasi dan nasionalisme?
Jika kita mau jujur, justru demokrasilah, juga nasionalisme, yang lebih rentan dan rawan direduksi sekaligus 'dibajak' untuk sesuatu yang jauh lebih hina: menghamba pada kepentingan para kapitalis dan pihak asing!
Itulah mengapa selama ini HTI konsisten dengan perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah. Alasan syari-nya adalah karena tidak ada satu pun hukum/sistem yang lebih baik mengatur kehidupan manusia kecuali hanya hukum/sistem syariah (QS an-Maidah [5]: 50) yang diterapkan oleh Khilafah.
Adapun alasan rasionalnya adalah karena negeri ini, bahkan dunia ini, sedang menuju kebangkrutan bahkan kehancuran akibat kerakusan ideologi Kapitalisme global. Para ekonom Barat sendiri—yang jujur—telah banyak mengulas kebobrokan Kapitalisme global ini.
Oleh: Arief B. Iskandar
Banyak kalangan selama ini telah salah memahami HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dengan gagasan syariah dan Khilafahnya. Dengan kedua gagasan itu, HTI dianggap sebagai ancaman bagi Pancasila dan NKRI.
Lebih dari itu, Khilafah dianggap bukan kewajiban syariah dan hanya merupakan romantisme sejarah para pengusungnya. Khilafah syarat dengan konflik. Khilafah didasarkan pada konsep kedaulatan Tuhan yang sering mengalami reduksi serta rentan dan rawan terhadap pembajakan demi nafsu kekuasaan. Gagasan Khilafah hanya bentuk kegagapan menghadapi modernitas. Khilafah utopis dll.
Itulah di antara kekeliruan yang bisa baca dalam banyak pernyataan dan tulisan kalangan liberal selama ini.
Namun demikian, tulisan ini tidak ingin meng-counter apa yang sering dilontarkan oleh kalangan liberal, yang sering ditujukan terutama pada HT(I). Sebab, HT(I) sendiri, baik di media massa maupun dalam forum-forum diskusi, seminar dll telah banyak menjelaskan gagasan dan dalil-dalil seputar kewajiban menegakkan syariah dan Khilafah, termasuk menjawab apa yang sering dipertanyakan kaum liberal.
Di sini Penulis hanya ingin memaparkan kembali persoalan yang lebih krusial dan urgen untuk dijawab oleh semua pihak--termasuk ole kalangan liberal yang selama ini rajin 'menentang gagasan syariah dan Khilafah yang diusung HTI--daripada sekadar wacana Khilafah yang cenderung banyak direduksi dan disalahpami.
Persoalan yang dimaksud adalah: jika bukan syariah dan Khilafah, apa solusi yang bisa ditawarkan untuk menyelesaikan krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini?
Mengapa ini yang dipertanyakan? Sebab, itulah di antara yang mendasari HT(I) mengusung gagasan syariah dan Khilafah, yakni ingin mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini. Dengan kata lain, bagi HT(I), syariah dan Khilafah adalah solusi fundamental bagi bangsa ini bahkan dunia jika ingin keluar dari krisis multidimensi, yang terbukti sampai hari ini gagal diatasi.
Sayangnya, motif baik ini tidak pernah dibaca oleh mereka yang menolak syariah dan Khilafah yang diusung HTI. Padahal HTI sendiri sesungguhnya telah lama mengkaji secara mendalam akar persoalan yang menimpa bangsa ini sekaligus merumuskan berbagai konsep sebagai solusinya, yang bisa diuji kesahihan dan kekuatan argumentasinya. Gagasan-gagasan yang ditawarkan HTI untuk mengatasi krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini bisa dibaca secara jelas dan gamblang dalam media resmi HTI seperti: Website www.hizbut-tahr
ir.or.id , Jurnal al-Waie, Buletin al-Islam, berbagai booklet yang diterbitkan secara berkala maupun buku-buku resmi yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir.
Jika banyak kalangan, termasuk kalangan liberal, mempertanyakan komitmen HTI terhadap NKRI, misalnya, sejak sebelum Timtim lepas, HTI justru telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun!
Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar NKRI jangan berada di bawah ketiak pihak asing.
HTI pun secara konsisten terus memperingatkan Pemerintah tentang kemungkinan disintegrasi di wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya.
Wajar jika seorang pejabat militer pernah berujar bahwa ternyata HTI lebih nasionalis daripada organisasi dan partai-partai nasionalis. Sebab, bagi HTI, keutuhan wilayah NKRI itu final, dalam arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun! Lagipula disintegrasi NKRI berarti akan semakin menyuburkan perpecahan umat. Bagi HTI, ini jelas kontraproduktif dengan gagasan Khilafah yang justru ingin mewujudkan persatuan umat yang memang dikehendaki syariah (QS Ali Imran [3]: 103).
Dalam konteks ekonomi, HTI pun telah sejak lama memperin
gatkan bahaya Kapitalisme global. Jauh sebelum krisis ekonomi menimpa bangsa ini sekitar tahun 1998, HTI telah memperingatkan Pemerintah terhadap bahaya utang luar negeri melalui lembaga IMF. Sebab, bagi HTI, utang luar negeri berbasis bunga (riba), di samping haram dalam pandangan syariah, (QS al-Baqarah [2]: 275), juga merupakan alat penjajahan baru untuk mengeksploitasi negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.
HTI pun telah lama memperingatkan Pemerintah untuk: tidak 'menjual murah' BUMN-BUMN atas nama privatisasi yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak; mencabut HPH dari sejumlah pengusaha yang juga terbukti merugikan kepentingan publik, di samping mengakibatkan penggundulan hutan yang luar biasa; tidak memperpanjang kontrak dengan PT Freeport yang telah lama menguras sumberdaya alam secara luar biasa di bumi Papua; menyerahkan begitu saja pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile; dll.
Bagi HTI, kebijakan-kebijakan Pemerintah yang terkait dengan sumberdaya alam milik publik ini bertentangan syariah Islam, karena Nabi saw. pernah bersabda:
"Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, hutan dan energi." (HR Ibn Majah dan an-Nasa'i).
Sesuai dengan sabda Nabi saw. ini, Pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) memandang, bahwa seluruh sumberdaya alam yang menguasai hajat publik harus dikelola negara yang seluruh hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 213).
Selain itu, jika Pemerintah, termasuk kalangan liberal, konsisten dengan demokrasi dan nasionalisme, apakah kebijakan-kebijakan yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak dan cenderung menghamba pada kepentingan pihak asing (Kapitalisme global) di atas bersifat demokratis dan sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme? Demokrasi macam apa yang justru bertentangan dengan kemaslahatan publik? Nasionalisme macam apa pula yang menggadaikan kepentingan nasional kepada pihak asing? Mengapa kalangan liberal sendiri tidak pernah menyoal masalah ini; sesuatu yang justru menjadi concern HTI meski tidak mengatasnamakan demokrasi dan nasionalisme?
Jika kita mau jujur, justru demokrasilah, juga nasionalisme, yang lebih rentan dan rawan direduksi sekaligus 'dibajak' untuk sesuatu yang jauh lebih hina: menghamba pada kepentingan para kapitalis dan pihak asing!
Itulah mengapa selama ini HTI konsisten dengan perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah. Alasan syari-nya adalah karena tidak ada satu pun hukum/sistem yang lebih baik mengatur kehidupan manusia kecuali hanya hukum/sistem syariah (QS an-Maidah [5]: 50) yang diterapkan oleh Khilafah.
Adapun alasan rasionalnya adalah karena negeri ini, bahkan dunia ini, sedang menuju kebangkrutan bahkan kehancuran akibat kerakusan ideologi Kapitalisme global. Para ekonom Barat sendiri—yang jujur—telah banyak mengulas kebobrokan Kapitalisme global ini.
Pertanyaannya: akankah kita tetap betah hidup di tengah-tengah arus besar Kapitalisme global yang terbukti telah banyak menyengsarakan umat manusia, termasuk bangsa ini? Ataukah kita berusaha melepaskan diri dari jeratannya lalu mencari ideologi penyelamat sekaligus penebar rahmat, yakni ideologi Islam (QS al-Anbiya' [21]: 107)? Itulah yang seharusnya dijawab oleh semua pihak, termasuk oleh kalangan liberal; kecuali jika mereka memang kepanjangan tangan dari Kapitalisme global! []