Friday, July 5, 2019

Janji kekhilafahan atas muslimin

JANJI KEKHILAFAHAN ATAS KAUM MUSLIM

Oleh: Ust. Syamsuddin Ramadhan

Janji Istikhlaf di Dalam Al-Quran

Allah swt telah menjanjikan kekuasaan atas seluruh muka bumi kepada kaum Mukmin (istikhlaf). Janji agung ini terdapat di dalam surat An Nuur (24) ayat ke 55.  Allah swt berfirman;

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahkuKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku; dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik".[TQS An Nuur (24):55]

Di dalam kitab Manaahil al-'Irfaan, juz 2/271, Imam al-Zarqaaniy menjelaskan ayat di atas dengan menyitir sebuah riwayat dari Imam al-Hakim dari Ubay bin Ka’ab ra, bahwasanya ia berkata:

لما قدم رسول الله وأصحابه المدينة وآوتهم الأنصار رمتهم العرب عن قوس واحدة وكانوا لا يبيتون إلا بالسلاح ولا يصبحون إلا فيه فقالوا أترون أنا نعيش حتى نبيت آمنين مطمئنين لا نخاف إلا الله فنزلت الآية وكذلك روى ابن أبي حاتم عن البراء قال نزلت هذه الآية ونحن في خوف شديد أي قوله تعالى وعد الله الذين آمنوا وعملوا الصالحات الخ هكذا كان حال الصحابة أيام أن وعدهم الله ما وعد وما أعجل تحقق هذا الوعد الإلهي رغم هذه الحال المنافية في العادة لما وعد فدالت الدولة لهم واستخلفهم في أقطار الأرض وأورثهم ملك كسرى وقيصر ومكن لهم دينهم الذي ارتضى لهم وأبدلهم من بعد خوفهم أمنا
" Ketika Rasulullah saw dan para shahabatnya sampai di Madinah dan orang-orang Anshor memberikan perlindungan kepada mereka, maka orang-orang Arab bersatu padu memerangi mereka.  Sehingga para shahabat dan Nabi saw tidak pernah melewati malamnya kecuali dengan perang, dan mereka senantiasa bangun di waktu pagi dalam keadaan perang.  Para shahabat pun berkata, "Tahukah kalian, kapan kita bisa melewati malam-malam kita dengan aman dan tentram, dan kita tidak pernah lagi takut, kecuali hanya takut kepada Allah swt? Lalu, turunlah firman Allah swt surat An Nuur (24):55.  Imam Ibnu Abi Hatim juga menuturkan dari al-Bara', bahwasanya ia berkata, "Ayat ini turun di saat kami berada dalam ketakutan yang luar biasa.  Demikianlah keadaan para shahabat pada saat itu, walaupun  Allah swt telah berjanji kepada mereka, namun Dia tidak menyegerakan terwujudnya janji Ilahiy itu, meskipun keadaan (ketakutan) mereka benar-benar telah diluar keadaan yang normal.  Hingga akhirnya, Daulah Islamiyyah di Madinah berhasil menunjukki mereka, dan Allah mengangkat mereka sebagai Khalifah yang menguasai seluruh penjuru dunia,; dan Allah mewariskan kepada mereka negeri kerajaan Kisra, Romawiy.  Tidak hanya itu saja, Allah menguatkan agama yang telah diridloiNya untuk mereka, dan mengubah ketakutan mereka menjadi rasa aman". [Imam al-Zarqaaniy, Manaahil al-'Irfaan, juz 12, hal. 271]

Imam AL-Baidlawiy di dalam Tafsir al-Baidlawiy menyatakan:

{وَعَدَ الله الذين ءامَنُواْ مِنْكُمْ وَعَمِلُواْ الصالحات } خطاب للرسول صلى الله عليه وسلم وللأمة أوله ولمن معه ومن للبيان { لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرض } ليجعلنهم خلفاء متصرفين في الأرض تصرف الملوك في مماليكهم ، وهو جواب قسم مضمر تقديره وعدهم الله وأقسم ليستخلفنهم ، أو الوعد في تحققه منزل منزلة القسم . { كَمَا استخلف الذين مِن قَبْلِهِمْ } يعني بني إسرائيل استخلفهم في مصر والشام بعد الجبابرة
"[Wa’ada al-Allah alladziina aamanuu minkum wa ’amilu al-shaalihaat/sesungguhnya Allah swt telah berjanji kepada orang-orang beriman diantara kamu, dan orang-orang yang beramal sholeh]", adalah seruan (perintah/khithab) bagi Rasulullah saw dan umatnya, baik generasi awal maupun umat yang senantiasa bersama beliau saw.  Huruf min di sini berfungsi untuk menjelaskan (lil bayaan). "[Layastakhlifannahum]" artinya adalah, "menjadikan mereka para khalifah pengatur bumi yang akan mengatur semua kekuasaan di dalam kekuasaan mereka.  Frase ini adalah jawab qasam (jawaban atas sumpah) yang didlamirkan; sedangkan perkiraan maknanya adalah: Allah swt berjanji kepada mereka dan Allah swt bersumpah akan mengangkat mereka sebagai penguasa. Atau janji tersebut dalam pewujudannya menggantikan kedudukan qasam"[Kamaa istikhlafa al-ladziina min qablihim/Seperti halnya Allah telah menjadi orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa]; yakni Bani Israil yang berkuasa atas Mesir dan Syam setelah runtuhnya kekuasaan al-Jabaabirah".

Imam Qurthubiy menyatakan

واللام في {لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ} جواب قسم مضمر ؛ لأن الوعد قول ، مجازها : قال الله للذين آمنوا وعملوا الصالحات والله ليستخلفنهم في الأرض فيجعلهم ملوكها وسكانها. {كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ} يعني بني إسرائيل ، أهلك الجبابرة بمصر والشام وأورثهم أرضهم وديارهم.
”Huruf lam pada frase [layastakhlifannahum] adalah jawab qasam mudlmar (jawab sumpah yang didlamirkan.  Sebab, al-wa’du (janji) adalah qaul (ketetapan atau perkataan), majaznya, ”Allah swt berfirman kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh;  dan sungguh Allah akan mengangkat mereka sebagai penguasa di muka bumi, dan menjadikan mereka penguasanya dan penduduknya”. [Kamastakhlafa alladziina min qablihim], yakni (seperti) Bani Israil, yang berhasil mengalahkan kekuasaan Jababirah di Mesir dan Syam, dan mewariskan bumi dan negeri mereka kepada Bani Israil”[Imam Qurthubiy, al-Jaami’ li Ahkaam al-Quran, Juz 12, hal. 300]

Di dalam Tafsir Qurthubiy juga disebutkan, bahwasanya Ibnu 'Athiyah menyatakan:

واختار هذا القول ابن عطية في تفسيره حيث قال : والصحيح في الآية أنها في استخلاف الجمهور ، واستخلافهم هو أن يملكهم البلاد ويجعلهم أهلها ؛ كالذي جرى في الشام والعراق وخراسان والمغرب. قال ابن العربي : قلنا لهم هذا وعد عام في النبوة والخلافة وإقامة الدعوة وعموم الشريعة
”Pendapat ini dipilih oleh Ibnu ’Athiyah tatkala menafsirkan ayat tersebut, di mana ia berkata, ”Yang benar, ayat ini merupakan janji kekuasaan atas seluruh kaum Muslim.  Yang dimaksud dengan "istikhlaafuhum" adalah menjadikan mereka menguasai bumi dan menjadi penguasanya; seperti yang terjadi di Syam, Iraq, Khurasan, dan Maghrib".  Ibnu 'Arabiy berkata, "Ayat ini merupakan janji umum dalam masalah nubuwwah, khilafah, tegaknya dakwah, dan berlakunya syariah secara umum."
Imam Thabariy di dalam tafsirnya menyatakan; makna frase "layastakhlifannahum fi al-ardl":

ليورثنهم الله أرض المشركين من العرب والعجم، فيجعلهم ملوكها وساستها( كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ) يقول: كما فعل منْ قبلهم ذلك ببني إسرائيل، إذ أهلك الجبابرة بالشأم، وجعلهم ملوكها وسكانها
”Sesungguhnya Allah akan mewariskan bumi kaum Musyrik, baik dari kalangan Arab dan non Arab kepada mereka (umat Islam), dan menjadikan mereka sebagai penguasanya dan mengatur urusan mereka; sebagaimana Allah telah mengangkat sebagai penguasa orang-orang sebelum mereka;  seperti yang dilakukan oleh Allah pada Bani Israil.  Sebab, mereka (Bani Israil) berhasil mengalahkan rejim Jababirah di Syam dan menjadikan mereka sebagai penguasa daerah itu, sekaligus sebagai penduduknya."

Asy Syaikh Ali al-Shabuniy di dalam Shafwat al-Tafaasiir, menafsirkan frase "layastakhlifannahum fi al-ardl kamastakhlafa al-ladziina min qablihim" atas sebagai berikut:

أي وعد الله المؤمنين المخلصين الذين جمعوا بين الايمان و العمل الصالح {لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ } اي وعدهم  بميراث الارض وأن يجعلهم فيها خلفاء متصرفين فيها تصرف الملوك في ممالكهم, كما استخلف المؤمنين قبلهم فملكهم ديار الكفار..."
"Maksudnya, Allah swt telah berjanji kepada kaum Mukmin yang mukhlish yang terkumpul di dalam dirinya iman dan amal sholeh; [Layastakhlifannahum fi al-ardl kamaa istikhlafa alladzinna min qablihim], yakni Allah swt berjanji akan mewariskan bumi ini kepada mereka (umat Islam), dan menjadikan mereka sebagai khalifah yang akan mengatur muka bumi ini dalam kekuasaan mereka; sebagaimana Allah swt telah mengangkat kaum Mukmin sebelumnya sebagai penguasa, dan menguasai negeri-negeri kaum kafir..."

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan:

كان النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه بمكة (3) نحوا من عشر سنين، يدعون إلى الله وحده، وعبادته وحده لا شريك له سرًا وهم خائفون، لا يؤمرون بالقتال، حتى أمروا بعدُ بالهجرة إلى المدينة، فقدموا المدينة، فأمرهم الله بالقتال، فكانوا بها خائفين يُمْسُون في السلاح ويصبحون في السلاح، فَغَيَّرُوا (4) بذلك ما شاء الله. ثم إن رجلا من أصحابه (5) قال: يا رسول الله، أبدَ الدهر نحن خائفون هكذا؟ أما يأتي علينا يوم نأمن فيه ونضع عنا [فيه] (6) السلاح؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " لن تَغْبروا إلا يسيرا حتى يجلس الرجل منكم في الملأ العظيم مُحْتَبِيًا ليست فيهم حديدة". وأنزل الله هذه الآية، فأظهر الله نبيه على جزيرة العرب، فأمنوا ووضعوا السلاح. ثم إن الله، عز وجل، قبض نبيه صلى الله عليه وسلم فكانوا كذلك آمنين في إمارة أبي بكر وعمر وعثمان.
"Tatkala masih berada di Mekah, hampir 10 tahun lamanya, Nabi saw dan para shahabatnya menyembah dan beribadah kepada Allah swt secara sembunyi-sembunyi.  Mereka dalam keadaan penuh ketakutan, namun belum diperintahkan berperang.  Hingga akhirnya, Allah memerintahkan mereka berperang setelah mereka berhijrah ke Madinah, dan tiba di sana. Sejak saat itu, mereka hidup dalam ketakutan.  Mereka berjalan dan bangun tidur dengan menyandang senjata; dan siapa berperang dengan senjata-senjata mereka jika Allah swt telah berkehendak.  Dalam keadaan seperti itu, ada seorang shahabat bertanya kepada Nabi saw, "Ya Rasulullah, sepanjang waktu kami terus berada dalam ketakutan; lantas, kapan kami bisa merasakan keamanan, dan bisa meletakkan senjata kami?  Rasulullah saw menjawab, "Sesungguhnya, tidak akan pernah kalian bersabar, kecuali kalian akan mendapatkan kemudahan; hingga seorang laki-laki diantara kalian di kepung oleh pasukan yang besar dalam keadaan kaki terikat, dan tidak ada satupun pelindung".  Lalu, turunlah ayat ini.  Tak lama kemudian, Allah swt memenangkan Nabinya atas seluruh jazirah Arab, sehingga para shahabat hidup aman, dan bisa meletakkan senjata mereka.  Setelah itu, Allah swt mewafatkan Nabinya, dan mereka tetap berada dalam keadaan aman sentausa di bawah kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan 'Utsman...."
Imam Syaukaniy, di dalam Fath al-Qadiir menyatakan bahwa janji kekhilafahan berlaku umum untuk seluruh umat Nabi Mohammad saw; dan tidak berlaku khusus bagi kurun tertentu atau orang-orang tertentu.  Beliau juga berpendapat bahwa kekuasaan yang dijanjikan Allah swt tidak hanya di kota Mekah semata, namun di seluruh muka bumi.   Beliau menyatakan:

ليجعلنهم فيها خلفاء يتصرفون فيها تصرف الملوك في مملوكاتهم ، وقد أبعد من قال : إنها مختصة بالخلفاء الأربعة ، أو بالمهاجرين ، أو بأن المراد بالأرض أرض مكة ، وقد عرفت أن الاعتبار بعموم اللفظ لا بخصوص السبب ، وظاهر قوله : { كَمَا استخلف الذين مِن قَبْلِهِمْ } كل من استخلفه الله في أرضه ، فلا يخصّ ذلك ببني إسرائيل ولا أمة من الأمم دون غيره
"Allah swt akan menjadikan mereka sebagai khalifah atas muka bumi, yang akan mengatur semua kekuasaan di bawah kekuasaan mereka". Amatlah jauh (keliru) orang yang berpendapat bahwa janji ini hanya khusus bagi empat khalifah, atau khusus bagi kaum Muhajirin; atau yang dimaksud dengan bumi adalah bumi Mekah. Sungguh sudah diketahui bahwa i’tibar itu berdasarkan keumuman lafadz bukan kekhususan sebab.  Dhahir dari firmanNya [kamaa istakhlafa alladziina min qablihim] adalah setiap orang yang diangkat Allah swt sebagai penguasa di muka bumi; dan tidak hanya khusus pada Bani Israel atau umat tertentu selain Bani Israel.

Di dalam Kitab Zaad al-Masiir dinyatakan:

ليورثنَّهم أرض الكفار من العرب والعجم ، فيجعلهم ملوكها وساستها وسكَّانها
"Frase "layastakhlifannahum fi al-ardl", maknanya adalah Allah mewariskan bumi Arab maupun non Arab untuk mereka, sekaligus menjadikan mereka sebagai penguasa, pengatur, sekaligus sebagai penduduknya".

Janji Istikhlaf di Dalam Sunnah

Di dalam sunnah, banyak dituturkan riwayat-riwayat yang berisi bisyarah (kabar gembira) tegaknya kekhilafahan Islam yang kekuasaannya meliputi timur dan barat bumi.   Di antara hadits-hadits yang berbicara tentang bisyarah Rasulullah saw adalah sebagai berikut:

Imam Ahmad menuturkan sebuah riwayat bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ (رَوَاهُ اَحْمَدُ)
"Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya.  Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan 'ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang.  Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya.  Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang.  Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya.  Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya.  Kemudian, datanglah masa Khilafah 'ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian).  Setelah itu, beliau diam".[HR. Imam Ahmad]

Di dalam hadits-hadits shahih, Nabi Mohammad saw telah mengabarkan kabar gembira (bisyarah) kepada kaum Muslim tentang kekuasaan umat Islam yang mencakup seluruh muka bumi.   Riwayat-riwayat yang menuturkan kekuasaan kaum Muslim mulai dari timur dan barat, menunjukkan bahwasanya kekhilafahan Islam akan ditegakkan kembali di muka bumi.  Pasalnya, perluasan kekuasaan kaum Muslim hanya akan terjadi jika di sana ada penaklukkan-penaklukkan.  Penaklukkan-penaklukkan hanya terjadi jika di sana ada pasukan perang yang dilengkapi oleh piranti perang yang kuat dan canggih. Semua itu tidak akan terwujud kecuali ada negara super power yang tegak di atas ’aqidah dan syariat Islam.  Negara itu tidak lain tidak bukan adalah Khilafah Islamiyyah.

Di antara riwayat-riwayat yang berbicara tentang kekuasaan kaum Muslim yang mencakup timur dan barat adalah sebagai berikut.  Imam Muslim menuturkan sebuah hadits dari Tsauban, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

ِإنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا...“ (أخرجه الامام مسلم, صحيح مسلم 4:2215 , الترمذي, سنن الترمذي 4:472 ,ابو داود,سنن ابو داود,4:97)
”Sesungguhnya Allah swt telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku, sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya.  Sesungguhnya umatku, kekuasaannya akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku”.[HR. Imam Muslim, Tirmidziy, dan Abu Dawud]

Al-Imam Al-Hafidz al-Khaathabiy berkata:

”.. وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْأَرْضَ زُوِيَتْ لِي جُمْلَتُهَا مَرَّةً وَاحِدَةً فَرَأَيْت مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا , ثم هي تفتح لأمتي جزأ فجزأ حتى يصل ملك أمتي إلى كل أجزائها... (العلامة الشيخ محمد عبد الرحمن المباركفوري, تحفة الاحوذي بشرح سنن الترمذي,4:468)
”..Maknanya adalah, sesungguhnya bumi telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku seluruhnya secara serentak, sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya.  Kemudian, bumi akan ditaklukkan untuk ummatku bagian demi bagian, hingga kekuasaan umatku meliputi seluruh bagian muka bumi”..[Imam al-Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy bi Syarh Sunan al-Tirmidziy, juz 4/468]

Imam An Nawawiy Asy Syafi’iy ra, menyatakan:

..فيه إشارة إلى أن ملك هذه الأمة يكون معظم امتداده في جهتي المشرق والمغرب وهكذا وقع وأما في جهتي الجنوب والشمال فقليل بالنسبة إلى المشرق والمغرب انتهى (العلامة الشيخ محمد شمس الحق العظيم, عون المعبود بشرح سنن ابو داود, 9:292)
”Di dalam hadits ini ada isyarat bahwasanya kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) pada arah timur dan barat, dan inilah yang telah terjadi.  Adapun pada arah selatan dan utara, maka itu lebih kecil jika dinisbahkan kepada timur dan barat. Selesai.”[Imam Syams al-Haqq al-’Adziim, ’Aun al-Ma’buud bi Syarh Sunan Abu Dawud, juz 9/292]

Imam Ahmad menuturkan sebuah riwayat dari Tamin Ad Daariy ra, bahwasanya Nabi saw bersabda:

لَيَبْلُغَنَّ هَذَا الْأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ, وَلَا يَتْرُكُ الله بَيْتَ مَدَرٍ وَلَا وَبَرٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ الله هَذَا الدِّينَ بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ, عِزًّا يُعِزُّ الله بِهِ الْإِسْلَامَ وَذُلًّا يُذِلُّ الله بِهِ الْكُفْر َوَكَانَ تَمِيمٌ الدَّارِيُّ ، يَقُولُ : قَدْ عَرَفْتُ ذَلِكَ فِي أَهْلِ بَيْتِي ، لَقَدْ أَصَابَ مَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمُ الْخَيْرُ وَالشَّرَفُ وَالْعِزُّ ، وَلَقَدْ أَصَابَ مَنْ كَانَ مِنْهُمْ كَافِرًا الذُّلُّ وَالصَّغَارُ وَالْجِزْيَةُ
“Urusan ini akan mencapai apa yang malam dan siang mencapainya.  Allah swt tidak membiarkan bait madar dan wabar, kecuali Allah memasukkannya ke dalam agama ini dengan kemulyaan atau dengan kehinaan.  Kemulyaan yang dengannya Allah swt akan memulyakan Islam; tau kehinaan, yang dengann+ya Allah swt akan menghinakan kekufuran.  Tamim ad Daariy ra berkata, “Sungguh aku melihat hal itu di keluargaku. Sungguh, kebaikan dan kemulyaan menimpa siapa saja di antara mereka yang masuk ke dalam agama Islam.  Dan kehinaan, kekerdilan, dan jizyah menimpa siapa saja di antara mereka yang kafir”. [HR. Imam Ahmad dari Tamim ad Daariy ra]

Hadits ini mengisyaratkan bahwasanya Islam akan tersebar di seluruh penjuru dunia.   “Tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia” mengisyaratkan bahwasanya Islam akan menguasai seluruh dunia, sehingga penyebaran Islam ke seluruh dunia berlangsung dengan mudah.  Imam Ath Thahawiy berkata:

أنه قد يحتمل أن يكون المراد في حديث تميم عموم الأرض كلها ، حتى لا يبقى بيت إلا دخله ، إما بالعز الذي ذكره ، أو بالذل الذي ذكره في هذا الحديث... ((مشكل الاثر, 13:389
“Sesungguhnya hadits Tamim al-Daariy ini harus dibawa ke arah makna “umumnya muka bumi keseluruhannya, hingga tidak ada suatu negeri kecuali masuk dalam kekuasaan Islam, baik dengan kemulyaan sebagaimana yang beliau ceritakan, atau dengan kehinaan sebagaimana yang beliau tuturkan dalam hadits ini”.[Musykil al-Atsar, juz 13/389]

Hadits ini didukung sekitar delapan hadits lain, dengan makna yang sama. Seperti masuknya Islam ke setiap rumah, al-waraq al-mu’allaq, turunnya Khilafah di al-Quds, dan lain sebagainya.

Adapun makna hadits kembalinya Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah ini diriwayatkan oleh 25 sahabat, yang kemudian diriwayatkan oleh 39 tabiin, kemudian diriwayatkan oleh 62 tabiit tabiin.

Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari ‘Amru bin ‘Ash ra, bahwasanya Abu Qabil ra berkata:

كُنَّا عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِي وَسُئِلَ أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلًا الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ أَوْ رُومِيَّةُ فَدَعَا عَبْدُ اللَّهِ بِصُنْدُوقٍ لَهُ حَلَقٌ قَالَ فَأَخْرَجَ مِنْهُ كِتَابًا قَالَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بَيْنَمَا نَحْنُ حَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَكْتُبُ إِذْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلًا قُسْطَنْطِينِيَّةُ أَوْ رُومِيَّةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلًا يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ
”Kami sedang bersama ’Abdullah bin ’Amru bin al-’Ash, dan ia ditanya mana kota yang ditaklukkan pertama kali; Kostantinopel atau Romawi?  ’Abdullah saw pun mengambil sebuah kotak antik.  Abu Qabil berkata,”’Abdullah mengeluarkan secarik tulisan dari kotak itu.  Abu Qabil berkata, ”Lalu ’Abdullah bin ’Amru bin al-’Ash berkata, ”Ketika kami berada di sekeliling Rasulullah saw, kami menulis, ketika Rasulullah saw ditanya kota mana yang ditaklukkan pertama kali, Kostantinopel atau Romawi; maka Rasulullah saw menjawab, ”Kota Heraklius akan ditaklukkan pertama kali.  Maksudnya adalah kota Kostantinnopel”. [HR. Imam Ahmad]

Di dalam hadits ini, Nabi saw memberikan kabar gembira kepada kaum Muslim dengan ditaklukkannya Konstantinnopel dan Romawi.  Di dalam sejarah dituturkan bahwasanya kota Konstantinnopel berhasil ditaklukkan pasukan Islam yang dipimpin Sultan Mohammad Al Fatih.  Penaklukkan kota Konstantinnopel juga disebutkan dalam sebuah hadits yang dituturkan oleh Imam Ahmad. Rasulullah saw bersabda:

لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ
”Sungguh, akan ditaklukkan Konstantinopel.  Sebaik-baik amir adalah amirnya ( amir yang menaklukkan Konstantinopel) dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya (pasukan yang menaklukkan kota itu)”. [HR. Imam Ahmad]

Ada satu kota yang belum ditaklukkan oleh kaum Muslim, yakni kota Romawi.  Penaklukkan kota Romawi --akan terlaksana dengan ijin Allah swt--, mengisyaratkan tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah yang akan melaksanakan bisyarah Nabi saw tersebut.

Imam Ibnu ’Asakir di dalam Kitab Tarikhnya menuturkan sebuah riwayat sebagai berikut:

قرأت بخط أبي الحسين محمد بن عبد الله الرازي ، أنا أبو الحسن أحمد بن عمير بن حوصا ، نا أبو عامر موسى بن عامر ، نا الوليد بن مسلم ، نا مروان بن جناح ، عن يونس بن ميسرة بن حلبس قال : قال رسول الله ( " هذا الأمر ( يعني الخلافة ) كائن بعدي بالمدينة ثم بالشام ثم بالجزيرة ثم بالعراق ثم بالمدينة ثم ببيت المقدس فإذا كان ببيت المقدس أتم عقر دارها ولن يخرجها قوم فتعود إليهم أبدا "(352) . وهذا حديث مرسل رجاله ثقات
”Saya membaca tulisan Abu al-Husain Mohammad bin ’Abdullah al-Raziy, ”Telah mengabarkan kepada kami, Abu al-Hasan Ahmad bin ’Umair bin Husha; telah mengabarkan kepada kami Abu ’Amir Musa bin ’Amir; telah mengabarkan kepada kami al-Walid bin Muslim; telah mengabarkan kepada kami Marwan bin Junah, dari Yunus bin Maisarah bin Halbas, bahwasanya ia berkata, ”Rasulullah saw bersabda, ”Urusan ini (Khilafah) akan tegak setelahku di Madinah, kemudian di Syam, kemudian di Jazirah, kemudian di ’Iraq, kemudian di Madinah, kemudian di Baitul Maqdis.  Jika sudah berada di Baitul Maqdis, maka sempurnalah perputarannya, dan tak akan pernah ada satupun kaum pun yang bisa mengeluarkannya, sehingga kembali kepada mereka selama-lamanya”. [HR Imam Ibnu ’Asakir]

Imam Abu Dawud menuturkan sebuah hadits dari ’Abdullah bin Hawalah al-Azdiy bahwasanya beliau berkata:

بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَغْنَمَ عَلَى أَقْدَامِنَا فَرَجَعْنَا فَلَمْ نَغْنَمْ شَيْئًا وَعَرَفَ الْجَهْدَ فِي وُجُوهِنَا فَقَامَ فِينَا فَقَالَ اللَّهُمَّ لَا تَكِلْهُمْ إِلَيَّ فَأَضْعُفَ عَنْهُمْ وَلَا تَكِلْهُمْ إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَيَعْجِزُوا عَنْهَا وَلَا تَكِلْهُمْ إِلَى النَّاسِ فَيَسْتَأْثِرُوا عَلَيْهِمْ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي أَوْ قَالَ عَلَى هَامَتِي ثُمَّ قَالَ يَا ابْنَ حَوَالَةَ إِذَا رَأَيْتَ الْخِلَافَةَ قَدْ نَزَلَتْ أَرْضَ الْمُقَدَّسَةِ فَقَدْ دَنَتْ الزَّلَازِلُ وَالْبَلَابِلُ وَالْأُمُورُ الْعِظَامُ وَالسَّاعَةُ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنْ النَّاسِ مِنْ يَدِي هَذِهِ مِنْ رَأْسِكَ قَالَ أَبُو دَاوُد عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حَوَالَةَ حِمْصِيٌّ
”Rasulullah saw telah mengutus kami berperang agar kami mendapatkan ghanimah di bawah kaki-kaki kami.  Kami pun berangkat, namun kami tidak mendapatkan harta ghanimah sedikitpun.  Rasulullah saw melihat kesungguhan di wajah kami, lalu beliau berdiri di tengah-tengah kami dan berdoa, ”Ya Allah janganlah Engkau menyerahkan urusan mereka kepadaku, sehingga aku memberatkan beban mereka, dan janganlah Engkau menyerahkan urusan mereka kepada diri mereka sendiri, sehingga mereka tidak mampu menanggung beban mereka sendiri (dikarenakan syahwat dan keburukan mereka yang banyak), dan janganlah Engkau menyerahkan urusan mereka kepada manusia, hingga mereka berniat untuk manusia (lalu mereka menelantarkannya). Lalu, beliau meletakkan tangannya di atas kepalaku (ra’siy) (atau ia berkata: lalu Rasulullah saw meletakkan tangannya di atas kepalaku (haamatiy), seraya bersabda, ”Wahai Ibnu Hawalah, jika engkau menyaksikan Khilafah akan turun di bumi muqaddasah (Baitul Maqdis), maka akan muncul kegoncangan-kegoncangan, kekacauan-kekacauan, dan urusan-urusan yang sangat besar.  Hari itu akan terjadi lebih dekat daripada jarak tanganku ini dengan kepalamu.” Abu Dawud menyatakan bahwa Abu Hawalah adalah orang Himsha [HR. Imam Abu Dawud]

Hadits-hadits di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwasanya Khilafah akan ditegakkan di Baitul Maqdis.

Riwayat lain menyebutkan kemunculan seorang Khalifah yang membagi-bagikan harta yang melimpah ruah.  Imam Muslim dan Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari Abu Nadlrah dari Jabir ra bahwasanya Abu Nadlrah berkata:

كُنَّا عِنْدَ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: يُوشِكُ أَهْلُ الْعِرَاقِ أَنْ لَا يُجْبَى إِلَيْهِمْ قَفِيزٌ ، وَلَا دِرْهَمٌ، قُلْنَا: مِنْ أَيْنَ ذَاكَ ؟ قَالَ: مِنْ قِبَلِ الْعَجْمِ، يُمْنَعُونَ ذَلِكَ، ثُمَّ قَالَ: يُوشِكُ أَهْلُ الشَّامِ أَنْ لَا يُجْبَى إِلَيْهِمْ دِينَارٌ، وَلَا مُدِّيٌّ، قُلْنَا: مِنْ أَيْنَ ذَاكَ ؟ مِنْ قِبَلِ الرُّومِ يُمْنَعُونَ ذَاكَ، قَالَ: ثُمَّ سَكَتَ (1) هُنَيْهَةً ، ثُمَّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي خَلِيفَةٌ، يَحْثُو الْمَالَ (2) حَثْوًا، (3) لَا يَعُدُّهُ عَدًّا "، قَالَ الْجُرَيْرِيُ: فَقُلْتُ لِأَبِي نَضْرَةَ: وَأَبِي الْعَلَاءِ: " أَتَرَيَانِهِ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ ؟ " فَقَالَا: " لَا " (4)
“Kami sedang berada di sisi Jabir bin ‘Abdullah ra.  Beliau berkata, “Begitu cepatnya penduduk Irak dihalangi untuk mendapatkan qafiz dan dirham”.  Kami bertanya, “Siapa yang melakukan itu?’. Jabir ra menjawab, “Orang ‘Ajam, yang mereka menghalangi hal itu”.  Kemudian Jabir ra berkata kembali, “Begitu cepatnya penduduk Syam dihalangi untuk mendapatkan dinar dan muddiy”.  Kami bertanya, “Siapa yang melakukan hal itu?”. Orang Romawi yang menghalangi hal itu”. Abu Nadlarah berkata, “Lalu beliau diam tidak berkata apapun”. Lalu, Jabir ra berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Akan muncul di akhir umatku, seorang Khalifah yang memberikan harta sangat banyak, yang ia tidak pernah menghitung jumlahnya”. Al-Jurairiy berkata, “Saya bertanya kepada Abu Nadlrah dan Abu al-‘Ala`, “Apakah kalian berpendapat bahwa khalifah itu adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz?  Keduanya menjawab, “Tidak”.[HR. Imam Ahmad dan Muslim]

Bisyarah tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah juga ditunjukkan oleh riwayat-riwayat yang menceritakan tentang datangnya Imam Mahdiy.  Hadits-hadits yang bertutur tentang Imam Mahdiy jumlahnya sangat banyak, sehingga mencapai derajat mutawatir.  Imam Al-Hafidz As Suyuthi di dalam Kitab Al-Hawiy menyebutkan lebih dari 30 orang shahabat yang menuturkan riwayat-riwayat tentang Imam Mahdiy dengan jalur periwayatan yang banyak dan berbeda-beda.

Adapun yang dimaksud Imam Mahdiy di sini, tentu saja berbeda dengan Imam Mahdiy yang dimaksud oleh sekte Syi’ah.  Yang dimaksud Imam Mahdiy di sini seorang khalifah yang ada di akhir zaman yang memerintah dengan penuh keadilan, bukan Imam Mahdiy sebagaimana pemahaman sekte Syi’ah. Di antara hadits yang bertutur tentang Imam Mahdiy adalah sebagai berikut:

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدَّهْرِ إِلاَّ يَوْمٌ لَبَعَثَ اللَّهُ رَجُلاً مِنْ أَهْلِ بَيْتِى يَمْلأُهَا عَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا
“Seandainya masih tersisa waktu, walaupun hanya sehari saja, niscaya Allah akan mengutus seorang laki-laki dari keluargaku yang memenuhi waktu dengan keadilan sebagaimana, sebagaimana sebelumnya waktu dipenuhi oleh kelaliman”. [HR. Imam Abu Dawud dari ‘Ali ra]

Imam Tirmidziy menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

 لاَ تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ العَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي. وَفِي البَابِ عَنْ عَلِيٍّ ، وَأَبِي سَعِيدٍ ، وَأُمِّ سَلَمَةَ ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ. وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
“Dunia tidak akan lenyap hingga seorang laki-laki dari keluargaku berkuasa di Arab, yang namanya seperti namaku”.  Isi hadits ini juga diriwayatkan dari ‘Ali ra, Abi Sa’id, Ummu Salamah, dan Abu Hurairah ran.  Hadits ini hasan shahih]

Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Abdullah dari Nabi saw, bahwasanya beliau saw bersabda:

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ ». قَالَ زَائِدَةُ فِى حَدِيثِهِ « لَطَوَّلَ اللَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ ». ثُمَّ اتَّفَقُوا « حَتَّى يَبْعَثَ فِيهِ رَجُلاً مِنِّى ». أَوْ « مِنْ أَهْلِ بَيْتِى يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِى وَاسْمُ أَبِيهِ اسْمَ أَبِى ». زَادَ فِى حَدِيثِ فِطْرٍ « يَمْلأُ الأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَجَوْرًا ». وَقَالَ فِى حَدِيثِ سُفْيَانَ « لاَ تَذْهَبُ أَوْ لاَ تَنْقَضِى الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ الْعَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِى ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ لَفْظُ عُمَرَ وَأَبِى بَكْرٍ بِمَعْنَى سُفْيَانَ.
“Seandainya di dunia ini tidak ada waktu tersisa kecuali hanya sehari saja”, Zaidah berkata di dalam haditsnya, “Niscaya Allah akan memanjangkan hari itu”, lalu mereka bersepakat, “Hingga Allah mengutus di hari itu seorang laki-laki dariku”, atau “seorang laki-laki dari keluargaku (ahlul bait), yang namanya seperti namaku dan bapaknya seperti bapakku”.  Ada tambahan di dalam haditsnya Fithr, “Yang memenuhi dunia dengan keadilan dan kesetaraan, sebagaimana sebelumnya dunia dipenuji oleh kedzaliman dan kelaliman”.  Nabi saw bersabda, dalam haditsnya Sufyan, “Dunia tidak akan lenyap atau binasa, hingga seorang laki-laki dari keluargaku berkuasa di Arab, yang namanya seperti namaku”. Imam Abu Dawud berkata, “Lafadz dari ‘Umar dan Abu Bakar semakna dengan hadits yang lafadznya dari Sufyan]

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Sa’id al-Khudriy bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw bersabda:

أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ يُبْعَثُ فِي أُمَّتِي عَلَى اخْتِلَافٍ مِنَ النَّاسِ وَزَلَازِلَ، فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلًا، كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا، يَرْضَى عَنْهُ سَاكِنُ السَّمَاءِ وَسَاكِنُ الْأَرْضِ، يَقْسِمُ الْمَالَ صِحَاحًا " فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: مَا صِحَاحًا ؟ قَالَ: " بِالسَّوِيَّةِ بَيْنَ النَّاسِ " قَالَ: " وَيَمْلَأُ اللهُ قُلُوبَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غِنًى، وَيَسَعُهُمْ عَدْلُهُ، حَتَّى يَأْمُرَ مُنَادِيًا فَيُنَادِي فَيَقُولُ: مَنْ لَهُ فِي مَالٍ حَاجَةٌ ؟ فَمَا يَقُومُ مِنَ النَّاسِ إِلَّا رَجُلٌ (1) فَيَقُولُ (2) أنا، فيقول: ائْتِ السَّدَّانَ - يَعْنِي الْخَازِنَ - فَقُلْ لَهُ: إِنَّ الْمَهْدِيَّ يَأْمُرُكَ أَنْ تُعْطِيَنِي مَالًا، فَيَقُولُ لَهُ: احْثِ حَتَّى إِذَا جَعَلَهُ فِي حِجْرِهِ وَأَبْرَزَهُ نَدِمَ، فَيَقُولُ: كُنْتُ أَجْشَعَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ نَفْسًا، أَوَعَجَزَ عَنِّي مَا وَسِعَهُمْ ؟ قَالَ: فَيَرُدُّهُ فَلَا يَقْبَلُ مِنْهُ، فَيُقَالُ لَهُ: إِنَّا لَا نَأْخُذُ شَيْئًا أَعْطَيْنَاهُ، فَيَكُونُ كَذَلِكَ سَبْعَ سِنِينَ - أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ، أَوْ تِسْعَ سِنِينَ - ثُمَّ لَا خَيْرَ فِي الْعَيْشِ بَعْدَهُ - أَوْ قَالَ: ثُمَّ لَا خَيْرَ فِي الْحَيَاةِ بَعْدَهُ
“Aku akan mengabarkan kepada kalian tentang Al-Mahdiy. Ia diutus kepada umatku ketika manusia berselisih dan mengalami kekacauan. Lalu, ia memenuhi bumi dengan kesetaraan dan keadilan, sebagaimana sebelumnya bumi dipenuhi kelaliman dan kedzaliman.  Seluruh penduduk langit dan bumi ridlo kepadanya.  Dan ia membagi-bagi harta dengan shihahan”.  Seorang laki-laki bertanya, “Apa yang dimaksud dengan shihahan? Beliau menjawab, “Dengan kadar yang sama di antara manusia”. Beliau bersabda, “Allah memenuhi hati umat Mohammad saw dengan kekayaan dan membahagiakan mereka dengan keadilannya.  Hingga seorang penyeru berseru, “Siapa yang masih membutuhkan harta? Tak seorang pun dari manusia yang berdiri, kecuali hanya satu orang laki-laki, seraya berkata, “Saya”. Penyeru itu berkata, “Panggilah bendahara, dan katakanlah kepadanya, “Sesungguhnya Mahdiy memerintahkanmu agar kamu memberiku harta”.  Maka laki-laki itu berkata kepada bendahara, “Berikanlah”, hingga ketika ia meletakkan harta itu di kamarnya dan melihatnya, maka ia menyesal”.  Laki-laki itu pun berkata, “Aku ini adalah umat Nabi Mohammad saw yang paling tamak.  Atau, apakah yang diberikan kepada mereka sedikit dibandingkan yang diberikan kepadaku? Beliau bersabda,”Lalu, laki-laki itu mengembalikan harta itu, namun bendahara itu menolaknya.  Dikatakan kepada laki-laki itu,”Kami tidak akan menarik sesuatu yang sudah kami berikan”.  Hal itu berlangsung selama 7 tahun (atau 8 atau 9 tahun). Lalu, setelah itu tidak ada lagi penghasilan yang baik.  Kemudian, tidak ada lagi kebaikan di dalam kehidupan”.[HR. Imam Ahmad.  Menurut Imam Al-Haitsamiy, perawinya banyak yang tsiqah]

Imam Thabaraniy menuturkan sebuah riwayat dalam Kitab al-Kabir dari Qais bin Jabir dari bapaknya, dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَيَكُونُ مِنْ بَعْدِي خُلَفَاءُ، وَمِنْ بَعْدِ الْخُلَفَاءِ أُمَرَاءُ، وَمِنْ بَعْدِ الأُمَرَاءِ مُلُوكٌ، وَمِنْ بَعْدِ الْمُلُوكِ جَبَابِرَةٌ، ثُمَّ يَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يَمْلأُ الأَرْضَ عَدْلا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، ثُمَّ يُؤَمَّرُ الْقَحْطَانِيُّ، فَوَالَّذِي بَعَثَنِي بِالْحَقِّ مَا هُوَ دُونَهُ
“Setelahku akan ada para khalifah.  Setelah para khalifah, muncullah umara’, dan setelah ‘umara’ muncullah para raja, dan setelah para raja, muncullah jabaabirah (dictator).  Lalu, muncullah seorang laki-laki dari keluarga yang memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dunia dipenuhi kelaliman.  Setelah masanya berakhir, al-Qahthaniy akan memerintah.  Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, ia sama dengan dirinya”.[HR. Imam Thabaraniy]

Imam Thabaraniy menuturkan di dalam Al-Ausath sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda:

يَكُونُ فِي أُمَّتِي الْمَهْدِيُّ، إِنْ قُصِرَ فَسَبْعٌ وَإِلا فَثَمَانٍ، وَإِلا فَتِسْعٌ، تَنْعَمُ أُمَّتِي فِيهِ نِعْمَةً لَمْ يَنْعَمُوا مِثَلَهَا، يُرْسِلُ اللَّهُ السَّمَاءَ عَلَيْهِمْ مِدْرَارًا، وَلا تَدَّخِرُ الأَرْضُ بِشَيْءٍ مِنَ النَّبَاتِ وَالْمَالُ كُدُوسٌ يَقُومُ الرَّجُلُ، فَيَقُولُ: يَا مَهْدِيُّ، أَعْطِنِي فَيَقُولُ: خُذْهُ"
“Akan muncul di tengah-tengah umatku, Al Mahdiy, walaupun masanya pendek, yakni tujuh, atau delapan, atau sembilan tahun, namun umatku mendapatkan kenikmatan pada dirinya dengan kenikmatan yang tiada taranya. Allah swt menurunkan air hujan dari langit untuk mereka, dan bumi tidak menyimpan apapun dari tetumbuhan.  Harta melimpah ruah hingga tertimbun.  Ada seorang laki-laki berkata, “Wahai Mahdiy, berilah aku”.  Maka Mahdiy menjawab, “Ambilkan untuknya”. [HR. Imam Ath Thabaraniy.  Imam al-Haitsamiy menyatakan, “Imam Thabaraniy meriwayatkannya di dalam Kitab al-Ausath, dan rijalnya tsiqqah]

Dari jalur Imam Ad Daruquthniy di Kitab Al-Afrad, dan Imam Thabaraniy di dalam Kitab al-Ausath (Majmuu’ al-Ausath) dari Abu Hurairah ra; dan juga yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain dari Ummu Salamah ra, dari Nabi saw, bahwasanya beliau bersabda:

يَكُونُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ هَارِبًا إِلَى مَكَّةَ فَيَأْتِيهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَيُخْرِجُونَهُ وَهُوَ كَارِهٌ فَيُبَايِعُونَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ وَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ مِنَ الشَّامِ فَيُخْسَفُ بِهِمْ بِالْبَيْدَاءِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَإِذَا رَأَى النَّاسُ ذَلِكَ أَتَاهُ أَبْدَالُ الشَّامِ وَعَصَائِبُ أَهْلِ الْعِرَاقِ فَيُبَايِعُونَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ ثُمَّ يَنْشَأُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ أَخْوَالُهُ كَلْبٌ فَيَبْعَثُ إِلَيْهِمْ بَعْثًا فَيَظْهَرُونَ عَلَيْهِمْ وَذَلِكَ بَعْثُ كَلْبٍ وَالْخَيْبَةُ لِمَنْ لَمْ يَشْهَدْ غَنِيمَةَ كَلْبٍ فَيَقْسِمُ الْمَالَ وَيَعْمَلُ فِى النَّاسِ بِسُنَّةِ نَبِيِّهِمْ -صلى الله عليه وسلم- وَيُلْقِى الإِسْلاَمُ بِجِرَانِهِ إِلَى الأَرْضِ فَيَلْبَثُ سَبْعَ سِنِينَ ثُمَّ يُتَوَفَّى وَيُصَلِّى عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ قَالَ بَعْضُهُمْ عَنْ هِشَامٍ « تِسْعَ سِنِينَ ». وَقَالَ بَعْضُهُمْ « سَبْعَ سِنِينَ ». قال الهيثمي : رواه الطبراني في الأوسط ورجاله رجال الصحيح
“Akan ada perselisihan menjelang kematian seorang Khalifah.  Lalu, keluarlah seorang laki-laki penduduk Madinah dengan cepat menuju Mekah.  Penduduk kota Mekah mendatangi laki-laki itu, dan mereka mengeluarkan laki-laki itu dari rumahnya, walaupun laki-laki itu menolak.  Kemudian, mereka membai’at laki-laki itu di antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim. Lalu dikirimlah kepadanya pasukan perang dari Syams, namun pasukan itu ditenggelamkan (terkubur) di Bida’ antara Mekah dan Madinah.  Ketika manusia melihat itu, maka datanglah Abdaal Al-Syams [(30 atau 40 orang sholeh yang hatinya seperti Nabi Ibrahim as, di mana jika seorang di antara mereka meninggal, maka Allah swt akan mengganti posisinya dengan orang lain)]  dan sekelompok orang terpilih dari Iraq mendatanginya, lalu membai’atnya (Mahdiy)  di antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim.  Lalu, muncullah seorang laki-laki dari Quraisy  (bapaknya orang Quraisy dan ibunya berasal dari suku Kalab).  Ia mengirim pasukan kepada mereka (orang-orang yang membai’at Imam Al Mahdiy), namun pasukannya berhasil dikalahkan oleh orang-orang yang membai’at Imam Mahdiy. Pasukan itu adalah pasukan yang dikirim laki-laki Quraisy keturunan Kalab. Penyesalan bagi siapa saja yang tidak menyaksikan ghanimahnya Kalab.  Selanjutnya, laki-laki itu (Imam Mahdiy) membagi-bagi harta dan memperlakukan manusia dengan sunnah Nabi mereka saw.  Islam pun tegak di seluruh muka bumi.  Laki-laki itu (Imam Mahdiy) memerintah selama tujuh tahun, lalu wafat, dan kaum Muslim menyolatkannya”.  Abu Dawud berkata, “Sebagian ahli hadits menyatakan dari Hisyam (ia memerintah selama 9  tahun), sedangkan yang lain menyatakan, “Tujuh tahun”.  Al-Hafidz al-Haitsamiy berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabaraniy dal;am al-Ausath dan rijal-rijalnya shahih]

Al Kattaniy di dalam Kitab Nudhum al-Mutanaatsir min al-Hadits al-Mutawatir, menyatakan:

وقد نقل غير واحد عن الحافظ السخاوي أنها متواترة والسخاوي ذكر ذلك في فتح المغيث ونقله عن أبي الحسين الإبري وقد تقدم نصه أول هذه الرسالة وفي تأليف لأبي العلاء إدريس بن محمد بن إدريس الحسين العراقي في المهدي هذا أن أحاديثه متواترة أو كادت
“Dinukilkan tidak hanya satu jalur, dari al-Hafidz al-Sakhawiy bahwasanya hadits-hadits yang bertutur tentang Al-Mahdiy adalah mutawatir.  Keterangan ini disebutkan di dalam Kitab Fath al-Mughits.  Dinukilkan dari Abu al-Husain al-Ibriy, yang sudah disebutkan redaksinya di awal risalah ini, dan di dalam Ta’lif karya Abu al-‘Ilaa’ Idris bin Mohammad bin Idris al-Husain al-‘Iraqiy tentang (kedatangan) Al-Mahdiy, bahwasa hadits-hadits tentang Al Mahdiy adalah mutawatir atau hampir-hampir mutawatir.”.[Al-Kattaniy, Nudhum al-Mutanaatsir min al-Hadits al-Mutawatir, Juz 1, hal.226]

Masih menurut Al-Kattaniy:

وفي شرح الرسالة للشيخ جسوس ما نصه ورد خبر المهدي في أحاديث ذكر السخاوي أنها وصلت إلى حد التواتر, وفي شرح المواهب نقلا عن أبي الحسين الإبري في مناقب الشافعي قال تواترت الأخبار أن المهدي من هذه الأمة وأن عيسى يصلي حلفه ذكر ذلك ردا لحديث ابن ماجة عن أنس ولا مهدي إلا عيسى
“Di dalam Syarah al-Risalah, karta Syaikh Jasus, disebutkan bahwasanya berita tentang Al Mahdiy terdapat di dalam hadits-hadits yang dinyatakan oleh Al Hafidz al-Sakhawiy telah mencapai derajat mutawatir. Di dalam Syarah al-Mawahib, dinukilkan dari al-Husain al-Ibriy di dalam Kitab Manaqib al-Syafi’iy, bahwasanya ia berkata, “Informasi-informasi yang menyatakan bahwa Al Mahdiy adalah bagian dari umat ini, dan ‘Isa as akan sholat dibelakangnya adalah mutawatir.  Ini dituturkan sebagai bantahan atas haditsnya Ibnu Majah dari Anas bin Malik ra yang menyatakan ” tidak ada Al-Mahdiy kecuali Nabi Isa as”. [Al-Kattaniy, Nudhum al-Mutanaatsir min al-Hadits al-Mutawatir, Juz 1, hal.226]

Masih di dalam Kitab Nudhum al-Mutanaatsir disebutkan:

وفي مغاني الوفا بمعاني الإكتفا قال الشيخ أبو الحسين الإبري قد تواترت الأخبار واستفاضت بكثرة رواتها عن المصطفى صلى الله عليه وسلم بمجيء المهدي وأنه سيملك سبع سنين وأنه يملأ الأرض عدلا
“Di dalam Kitab Maghaniy al-Wafaa’ bi Ma’aani al-Iktifaa’, Syaikh Abu al-Husain al-Ibriy menyatakan, “Berita-berita tersebut telah mutawatir dan mustafadl disebabkan jumlah perawi yang sangat banyak dari Nabi Mohammad saw tentang kedatangan Al Mahdiy.  Sesungguhnya Mahdiy akan berkuasa selama tujuh tahun dan akan memenuhi bumi dengan keadilan”. [Al-Kattaniy, Nudhum al-Mutanaatsir min al-Hadits al-Mutawatir, Juz 1, hal.226]

Datangnya Imam Mahdiy dan Nabi Isa as di akhir zaman, merupakan dalil sharih akan tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah.  Wajib diketahui bahwasanya Imam Mahdiy yang dimaksud di dalam hadits-hadits di atas bukanlah Imam Mahdiy seperti yang diyakini sekte Syi’ah, akan tetapi ia adalah seorang laki-laki dari kalangan umat Islam yang memerintah manusia dengan penuh keadilan.   Imam Ibnu Katsir di dalam Kitab Bidayah wa al-Nihayah menyatakan:

فَقَالَ: " فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ، وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ; فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ ". تَفَرَّدَ بِهِ ابْنُ مَاجَهْ، وَإِسْنَادُهُ قَوِيٌّ صَحِيحٌ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُرَادَ بِهَذَا الْكَنْزِ الْمَذْكُورِ كَنْزُ الْكَعْبَةِ، يَقْتَتِلُونَ عِنْدَهُ; لِيَأْخُذَهُ ثَلَاثَةٌ مِنْ أَوْلَادِ الْخُلَفَاءِ، حَتَّى إِذَا كَانَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ خَرَجَ الْمَهْدِيُّ مِنْ بِلَادِ الْمَشْرِقِ، وَقِيلَ: مِنْ مَكَّةَ. لَا مِنْ سِرْدَابِ سَامَرَّا، كَمَا تَزْعُمُهُ الرَّافِضَةُ مِنْ أَنَّهُ مَحْبُوسٌ فِيهِ الْآنَ، وَهُمْ يَنْتَظِرُونَ خُرُوجَهُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ، وَهَذَا مِنَ الْهَذَيَانِ، وَقِسْطٌ كَبِيرٌ مِنَ الْخِذْلَانِ، وَهَوَسٌ شَدِيدٌ مِنَ الشَّيْطَانِ; إِذْ - لَا دَلِيلَ عَلَى ذَلِكَ وَلَا بُرْهَانَ، مِنْ كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ وَلَا مَعْقُولٍ صَحِيحٍ وَلَا بَيَانٍ.
“Lalu, Nabi saw bersabda, “Jika kalian melihatnya, maka bai’atlah dirinya, walaupun harus merangkak di atas salju. Sesungguhnya ia adalah Khalifatullah al-Mahdiy”. Hanya Imam Ibnu Majah yang meriwayatkan hadits ini.  Isnad-isnadnya qawwiyun shahiihun (kuat shahih).  Dhahirnya, yang dimaksud dengan al-kanz  (harta simpanan) yang disebut dalam riwayat itu adalah kanzu al-Ka’bah (harta simpanan di Ka’bah), di mana mereka saling berperang di sisinya.  Tiga orang dari anak-anak para khalifah berperang untuk mendapatkannya. Hingga ketika menjelang akhir zaman, keluarlah Al Mahdiy dari negeri Timur; ada pula yang menyatakan dari Mekah.  Mahdiy tidak keluar dari terowongan waktu, seperti keyakinan kaum Rafidlah, di mana, sekarang ini, Mahdiy tertahan di dalamnya.  Mereka (sekte Syi’ah) menunggu keluarnya Mahdiy di akhir zaman.  Keyakinan seperti ini adalah igauan, kebohongan besar, dan kegilaan dari setan.  Sebab, tidak ada dalil maupun bukti yang menunjukkan keyakinan itu, baik dari Al-Quran, Sunnah, akal sehat, maupun pembuktian”. [Imam Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 19, hal. 60]

Kesimpulan
(1) Allah telah menjanjikan kekuasaan atas muka bumi (menjadi khalifah) kepada kaum Mukmin.
(2) Sistem kenegaraan yang dijanjikan oleh Allah, dan telah dipraktekkan oleh para shahabat ra adalah system Khilafah Islaamiyyah, bukan negara demokrasi, ataupun negara bangsa.
(3) Di dalam ayat itu, secara simultan Allah swt telah menjanjikan kepada kaum Muslim; kekuasaan atas muka bumi (kekhilafahan); peneguhan dan penegakkan agama Islam secara sempurna; pengubahan kondisi kaum Muslim dari keadaan takut menjadi aman sentausa; hingga mereka bisa menyembah semata-mata kepada Allah, dan menjauhi sejauh-jauhnya setiap bentuk kesyirikan.   Pada dasarnya, janji-janji tersebut saling terkait dan memiliki hubungan yang simultan.  Artinya, ketika kaum Muslim telah menjadi penguasa atas muka bumi (janji pertama), maka terwujudlah janji Allah yang kedua, yakni tegaknya agama Allah secara sempurna.   Sebab, Islam hanya bisa diwujudkan dan direalisasikan secara sempurna melalui pemerintahan dan kekuasaan.  Setelah agama Allah tegak di muka bumi, maka ‘aqidah Islam menjadi pilar negara dan masyarakat, serta syariat Islam dijadikan sebagai aturan yang mengatur seluruh interaksi yang ada di tengah-tengah masyarakat.   Ketika kondisi ini tercapai, maka kemakmuran, keamanan, dan kesejahteraan akan bisa diwujudkan secara nyata di tengah-tengah manusia (janji ketiga); menggantikan ketidaksejahteraan dan ketidakamanan.   Dalam kondisi semacam ini, maka kaum Muslim bisa mengaktualisasikan peribadahannya secara sempurna kepada Allah swt; alias mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.
(4) Menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah, dan menjadikan sistem Khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan bagi kaum Muslim merupakan kewajiban syariat yang mengharuskan adanya partisipasi dan andil kaum Muslim.  Di samping itu, seorang Mukmin wajib menyakini bahwa tegaknya Khilafah Islamiyyah merupakan janji Allah swt atas orang-orang yang beriman dan beramal sholeh. Untuk itu, kaum Muslim wajib berjuang dan berusaha untuk menegakkannya di tengah-tengah umat manusia, sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah swt, sekaligus keimanannya untuk menyongsong terlaksananya janji Allah swt.

Khilafah ajaran islam

KHILAFAH AJARAN ISLAM

Definisi Khilafah

Khilafah berasal dari “khalafa”, yang bermakna menggantikan yang lain.   Adapun menurut istilah para ulama, Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh umat dalam mengatur urusan agama dan urusan dunia.    Meskipun dengan redaksi yang berbeda-beda, ulama aswaja  sepakat  bahwa Khilafah adalah system pemerintahan yang tegak di atas ‘aqidah Islamiyyah, yang menempatkan seorang Khalifah sebagai pemimpin agung seluruh umat Islam, menerapkan Islam secara menyeluruh, dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.  Mereka juga sepakat bahwa al-Khilafah dan al-Imamah memiliki pengertian sama (sinonim).

Di dalam Kitab Ma`aatsir al-Inaafah fiy Ma’aalim al-Khilaafah, Imam Qalqasyandiy menyatakan:

اما الخلافة فهي في الاصل مصدر خلف....ثم أطلقت فى العرف العام على الزعامة العظمى, وهي الولاية العامة على كافة الامة, والقيام بأمورها و النهوض بأعبائها.
“Adapun “al-khilafah”, asalnya dari mashdar “khalafa” (mengganti)….. Lalu, kata khilafah ini disebut dalam konteks ‘urf umum dengan makna “kepemimpinan agung; yakni, kekuasaan umum atas seluruh umat, dan menegakkan urusannya dan melaksanakan tugas-tugasnya. [Imam al-Qalqasyandiy, Ma`aatsir al-Inaafah fi Ma’aalim al-Khilaafah, juz 1/9]

Imam Nawawiy, di dalam Kitab al-Majmuu’ menyatakan:

ومن ثم يأتي خطأ بعض المتكلمين في قولهم لو تكاف الناس عن الظلم لم يجب نصب الامام لان الصحابة رضى الله عنهم اجتمعوا على نصب الامام، والمراد بالامام الرئيس الا على للدولة، والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا. ويرى ابن حزم أن الامام إذا أطلق انصرف إلى الخليفة، أما إذا قيد انصرف إلى ما قيد به من إمام الصلاة وإمام الحديث وإمام القوم.
“Lalu, ada kesalahan yang menimpa sebagian ahli kalam dalam perkataan mereka, seandainya manusia mampu terhindar dari kedzaliman, maka mereka tidak wajib mengangkat seorang Imam.  Pendapat ini salah, karena para shahabat ra telah bersepakat atas wajibnya mengangkat seorang Imam.  Yang dimaksud dengan al-Imam adalah pemimpin tertinggi bagi negara.  Al-Imamah, al-Khilafah, Imaarat al-Mukminiin adalah mutaraadif (sinonim).  Sedangkan yang dimaksud dengan al-Imamah adalah kepemimpinan umum (al-riyaasah al-‘aamah) dalam mengatur urusan agama dan dunia. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kata “al-Imam”, jika disebut secara mutlak, maka pengertiannya adalah al-khalifah. Adapun jika disebut dengan taqyid (pembatasan) maka maknanya adalah sesuai dengan batasan tersebut, misalnya, imam sholat, imam al-hadits, dan imam suatu kaum”. [Imam An Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 19/191]

Ulama aswaja hanya berbeda pendapat dalam menentukan munasib (kedudukan) Khilafah; apakah khilafah itu wakil Allah, wakil Rasulullah saw, ataukah wakil umat Islam untuk menerapkan Islam dan mengatur urusan manusia.[Lihat Imam Qalqasyandiy, Ma`aatsir al-Inaafah fi Ma’aalim al-Khilaafah, juz 1/14-17]

Sedangkan dalam konteks Khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menjadikan Khalifah sebagai Imamul A’dham yang menerapkan Islam secara kaaffah, dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia, maka tidak ada ikhtilaf di dalamnya.   Kesimpulan semacam ini bisa disarikan dari definisi Khilafah yang dijelaskan ulama aswaja berikut ini:

Di dalam Kitab al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan:

وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإماما .فأما تسميته إماماً فتشبيهاً بإمام الصلاة في اتباعه والاقتداء به، ولهذا يقال: الإمامة الكبرى. وأما تسميته خليفة فلكونه يخلف النبي في أمته، فيقال: خليفة بإطلاق، وخليفة رسول الله.
“Wakil Pemilik Syariah dalam menjaga agama serta mengatur urusan dunia disebut dengan Khilafah dan Imamah. Sedangkan yang menempati kedudukan itu adalah Khalifah atau Imam”.  Adapun penamaannya dengan Imam diserupakan dengan dengan imam sholat dalam hal wajibnya untuk diikuti dan dipanuti.  Oleh karena itu dinyatakan: al-Imamah al-Kubra (Kepemimpinan Agung).  Adapun penyebutannya dengan Khalifah, disebabkan karena ia menggantikan Nabi saw dalam (mengatur) urusan umatnya.  Dinyatakan: “Khaliifah secara mutlak dan Khalifah Rasulullah saw.”  [ Imam Ibn Khaldun, Al Muqaddimah, hal 190]

Imam Al Ramli menyatakan:

الخليفة هو الامام الاعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah itu adalah Imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[Imam Al Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah,  Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, juz 7/289]

Syeikh Musthafa Shabari, Syeikhul Islam Khilafah Ustmaniyyah, menyatakan:

الخلافة عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم فى تنفيذ ما أتى به من شريعة الاسلام
“Khilafah itu adalah penganti Rasulullah SAW dalam melaksanakan syariat Islam yang datang kepada beliau saw”.

Di dalam Kitab al-Ahkaam al-Sulthaniyyah, Imam Al Mawardi Asy-Syafi’i menyatakan:

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به
“Imamah itu diposisikan untuk Khilafah Nubuwwah dalam menjaga agama dan pengaturan urusan dunia.” [Imam Al Mawardi,  Al-Ahkaam Al Sulthaniyyah, hal 5]

Pengarang Kitab Ma’atsiril Inafah fii Ma’alimil Khilafah menyatakan:

وهي الولاية العامة على كافة الامة, والقيام بأمورها و النهوض بأعبائها.
“Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk seluruh umat, dan menegakkan urusan-urusannya dan melaksanakan tugas-tugasnya”.[Imam al-Qalqasyandiy, Ma`aatsir al-Inaafah fi Ma’aalim al-Khilaafah, juz 1/9; lihat juga Asy Syeikh Musthafa Shabari, Mauqif al-‘Aql wa al-‘Ilmi wa al-‘Alam, juz 4/262]

Setelah menelaah dalil-dalil syariat, fakta Daulah Islamiyyah yang didirikan Rasulullah saw, praktek kenegaraan Nabi saw dan para shahabat, serta penjelasan ulama-ulama mu’tabar, ‘Allamah al-Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani rahimahullah, di dalam Kitab al-Khilafah, menyimpulkan:

الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم، وهي عينها الإمامة، فالإمامة والخلافة بمعنى واحد.
 “Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islamiyyah ke seluruh penjuru alam.  Al-Khilafah substansinya sama dengan al-Imamah.  Imamah dan Khilafah memiliki makna yang sama”. [Imam Taqiyyuddin An Nabhaniy, Al-Khilafah,  hal. 1]

Substansi Ajaran Khilafah Islamiyyah

Khalifah, sebagai Imam al-A’dham, memimpin dan menyatukan seluruh kaum Muslim dari timur hingga barat.   Imam An Nawawiy di dalam Kitab Syarah Shahih Muslim, menyatakan:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَةٍ بَعْد خَلِيفَة فَبَيْعَة الْأَوَّل صَحِيحَة يَجِب الْوَفَاء بِهَا ، وَبَيْعَة الثَّانِي بَاطِلَة يَحْرُم الْوَفَاء بِهَا ، وَيَحْرُم عَلَيْهِ طَلَبهَا ، وَسَوَاء عَقَدُوا لِلثَّانِي عَالِمِينَ بِعَقْدِ الْأَوَّل أَوْ جَاهِلِينَ ، وَسَوَاء كَانَا فِي بَلَدَيْنِ أَوْ بَلَد ، أَوْ أَحَدهمَا فِي بَلَد الْإِمَام الْمُنْفَصِل وَالْآخَر فِي غَيْره ، هَذَا هُوَ الصَّوَاب الَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابنَا وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء،.. وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز أَنْ يُعْقَد لِخَلِيفَتَيْنِ فِي عَصْر وَاحِد سَوَاء اِتَّسَعَتْ دَار الْإِسْلَام أَمْ لَا
“Jika seorang Khalifah dibai’at setelah dibai’atnya seorang Khalifah, maka bai’at pertama sah dan wajib dipenuhi.  Sedangkan bai’at kedua bathil, haram dipenuhi, dan haram bagi khalifah kedua menuntutnya;  dan sama saja apakah mereka mengangkat orang yang kedua itu dalam keadaan mengetahui pengangkatan orang yang pertama, maupun mereka tidak tahu.  Dan sama saja, apakah kedua Khalifah itu berada di dua negeri yang berbeda, atau satu negeri yang sama, atau salah satu dari keduanya berada di negeri yang sama tetapi terpisah dari Imam (orang yang pertama dibai’at), sedangkan yang lain berada di negeri lain.  Inilah pendapat benar yang dipegang teguh oleh ulama-ulama kami, dan mayoritas para ulama…..Para ulama sepakat bahwa tidak boleh menyerahkan aqad kekhilafahan kepada dua orang Khalifah pada masa yang bersamaan, sama saja, apakah Daar al-Islam luas maupun tidak.” [Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, Juz 6, hal. 316] Penjelasan senada disampaikan pula Imam Badruddin al-‘Ainiy al-Hanafiy di dalam Kitab ‘Umdat al-Qaariy Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 23, hal. 454.

Tunggalnya kepemimpinan akan mencegah terjadinya dualisme kepemimpinan yang acapkali menjadi sebab terjadinya perpecahan dan peperangan.

Di samping itu, Khilafah Islamiyyah adalah institusi politik yang berkewajiban menerapkan Islam secara menyeluruh di dalam Daulah Islamiyyah dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.  Imam Ibnu ‘Abidin, di dalam Kitab Radd al-Muhtaar, juz 4/205, menyatakan:

( قَوْلُهُ وَنَصْبُهُ ) أَيْ الْإِمَامِ الْمَفْهُومِ مِنْ الْمَقَامِ ( قَوْلُهُ أَهَمُّ الْوَاجِبَاتِ ) أَيْ مِنْ أَهَمِّهَا لِتَوَقُّفِ كَثِيرٍ مِنْ الْوَاجِبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَيْهِ ، وَلِذَا قَالَ فِي الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ : وَالْمُسْلِمُونَ لَا بُدَّ لَهُمْ مِنْ إمَامٍ ، يَقُومُ بِتَنْفِيذِ أَحْكَامِهِمْ ؛ وَإِقَامَةِ حُدُودِهِمْ ، وَسَدِّ ثُغُورِهِمْ ، وَتَجْهِيزِ جُيُوشِهِمْ ؛ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ ، وَقَهْرِ الْمُتَغَلِّبَةِ وَالْمُتَلَصِّصَةِ وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ ، وَإِقَامَةِ الْجُمَعِ وَالْأَعْيَادِ ، وَقَبُولِ الشَّهَادَاتِ الْقَائِمَةِ عَلَى الْحُقُوقِ ؛ وَتَزْوِيجِ الصِّغَارِ وَالصَّغَائِرِ الَّذِينَ لَا أَوْلِيَاءَ لَهُمْ ، وَقِسْمَةِ الْغَنَائِمِ ا هـ ( قَوْلُهُ فَلِذَا قَدَّمُوهُ إلَخْ ) فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَدُفِنَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ أَوْ لَيْلَةَ الْأَرْبِعَاءِ أَوْ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ ح عَنْ الْمَوَاهِبِ ، وَهَذِهِ السُّنَّةُ بَاقِيَةٌ إلَى الْآنَ لَمْ يُدْفَنْ خَلِيفَةٌ حَتَّى يُوَلَّى غَيْرُهُ
“(Perkataannya: wa nashbuhu (mengangkatnya), maksudnya, (mengangkat) Imam Al-A’dzam (dan perkataannya: ahamm al-waajibaat (kewajiban yang paling penting)), yakni; mengangkat seorang Imam itu termasuk kewajiban yang paling penting, dikarenakan bergantungnya banyak kewajiban syariat kepadanya.  Oleh karena itu, Imam An Nasaafiy dalam al-‘Aqaaid al-Nasafiyyah berkata, “Kaum Muslim, sudah menjadi keharusan bagi mereka adanya seorang Imam yang tegak untuk melaksanakan hukum-hukum syariat, menegakkan hudud, memperkuat benteng-benteng, membentuk pasukan, mengambil zakat, mengalahkan para pemberontak dan mata-mata musuh, dan para pembegal, menegakkan sholat Jum’at dan Hari Raya, menerima kesaksian-kesaksian yang membuktikan atas hak-hak, menikahkan orang-orang lemah dan kecil yang tidak memiliki wali, dan membagikan ghanimah untuk mereka. (Perkataannya: Oleh karena itu para shahabat mendahulukannya (pengangkatan imamah)..dan seterusnya): sesungguhnya, Nabi saw wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, atau malam Rabu atau hari Rabu dari al-Mawaahib. Sunnah ini tetap berlangsung hingga sekarang, yaitu, seorang Khalifah tidak akan dimakamkan sebelum diangkat Khalifah yang lain”.[Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 4/205]

Walhasil, substansi Khilafah ada tiga, yakni; (1) menerapkan Islam secara kaaffah, (2) menyatukan kaum Muslim seluruh dunia di bawah satu kendali kepemimpinan dan  mengikat mereka dalam persaudaraan sejati yang didasarkan pada ‘aqidah Islamiyyah, serta (3) menyebarkan dakwah Islamiyyah ke seluruh penjuru alam.

Jika ini substansinya, mengapa dakwah Khilafah dianggap sebagai sesuatu yang harus ditolak.  Bukankah seharusnya didukung, karena ia adalah ajaran Islam?

Dasar Kewajiban Menegakkan Khilafah

Dalil kewajiban menegakkan Khilafah adalah al-Quran, sunnah, ijma’ shahabat, dan qiyas.

Adapun al-Quran, ulama aswaja dari empat madzhab menyatakan bahwasanya surat Al-Baqarah (2) ayat 30 adalah dalil asal mengangkat seorang Khalifah.  Imam Qurthubiy menyatakan:

 ”... هَذِهِ اْلآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ. وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلاُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ اْلاَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلاَصَمِ..“
"..Ayat ini (surat Al-Baqarah :30) adalah dalil asal wajibnya mengangkat seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengannya kalimat (persatuan umat) disatukan, dan dengannya dilaksanakan hukum-hukum khalifah.  Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham…".[Imam Qurthubiy al-Malikiy, Al Jaami’ li Ahkaam al-Quran, juz 1/264-265]

Di samping itu, masih banyak ayat lain yang dalalat al-iltizam-nya menunjukkan kewajiban menegakkan Khilafah; seperti ayat-ayat yang mewajibkan kaum Muslim taat kepada ulil amriy, berhukum hanya kepada syariat Islam, jihad, ayat-ayat yang berbicara tentang hukum hudud, jinayat, serta hukum-hukum lain yang pelaksanaannya dikaitkan dengan Khalifah.

Al-Quran juga menjelaskan janji istikhlaf (janji kekuasaan seluruh dunia bagi kaum Muslim).   Allah swt berfirman:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.. "[TQS An Nuur (24):55]

Di dalam Tafsir Qurthubiy disebutkan, bahwasanya Ibnu 'Athiyah menyatakan:

واختار هذا القول ابن عطية في تفسيره حيث قال : والصحيح في الآية أنها في استخلاف الجمهور ، واستخلافهم هو أن يملكهم البلاد ويجعلهم أهلها ؛ كالذي جرى في الشام والعراق وخراسان والمغرب. قال ابن العربي : قلنا لهم هذا وعد عام في النبوة والخلافة وإقامة الدعوة وعموم الشريعة
”Pendapat ini dipilih oleh Ibnu ’Athiyah tatkala menafsirkan ayat tersebut, di mana ia berkata, ”Yang benar, di dalam ayat ini terdapat janji istikhlaf atas seluruh kaum Muslim.  Yang dimaksud dengan "istikhlaafuhum" adalah menjadikan mereka menguasai bumi dan menjadi penguasanya; seperti yang terjadi di Syam, Iraq, Khurasan, dan Maghrib".  Ibnu al-'Arabiy berkata, "Ayat ini merupakan janji umum dalam masalah nubuwwah, Khilafah, tegaknya dakwah, dan berlakunya syariah secara umum."[ Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 12, hal. 299-202]

Adapun sunnah, banyak riwayat menjelaskan kewajiban mengangkat seorang Khalifah. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
"Siapa saja yang telah membai'at seorang imam (khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia menta'atinya jika ia mampu.  Apabila ada orang lain hendak merebutnya maka penggallah leher itu".[HR. Imam Muslim]

Kewajiban bai’at menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah.  Sebab, bai’at tidak mungkin ada di pundak kaum Muslim, tanpa keberadaan seorang Khalifah.

Selain itu, di dalam sunnah juga diriwayatkan praktek-praktek kenegaraan Rasulullah saw, dan Khulafaur Rasyidiin; dan juga bisyarah (kabar gembira) berdirinya Khilafah Islamiyyah.  Semua menunjukkan bahwa Khilafah adalah ajaran Islam yang wajib ditegakkan kaum Muslim.

Adapun ijma’ shahabat, para shahabat sepakat atas kewajiban mengangkat seorang Khalifah setelah berakhirnya jaman kenabian.   Mereka menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban yang paling penting. Allamah Ibnu Hajar al-Haitamiy Asy Syafi’iy, di dalam kitab Ash Shawaa'iqu al Muhriqah menyatakan:

اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ
"Ketahuilah juga; sesungguhnya para shahabat ra seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib; bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut (mengangkat seorang imam/khalifah) sebagai kewajiban yang paling penting.  Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menyelenggarakan jenazah Rasulullah saw.  Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai ta'yiin (siapa yang paling layak menjabat khalifah) tidak merusak ijma' yang telah disebut.." [‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitamiy Asy Syafi’iy, Ash Shawaa'iqul Muhriqah, juz 1/25]

Pandangan Ulama Terhadap Kewajiban Menegakkan Khilafah

Ulama aswaja tidak pernah berselisih pendapat atas wajibnya menegakkan Khilafah Islamiyyah.  Imam Alauddin al-Kasaaniy, seorang ulama madzhab Hanafiy menyatakan:

وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ - ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، ...
"Sebab, mengangkat seorang Imamul A'dzam (imam agung) adalah fardlu, tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq.  Tidak bernilai sama sekali –penyelisihan sebagian kelompok Qadariyyah--, dikarenakan adanya ijma' shahabat ra atas kewajiban itu. Dan juga dikarenakan adanya kebutuhan terhadap khalifah; agar bisa terikat dengan hukum-hukum (syariat); membela orang yang didzalimi dari orang yang dzalim; memutus perselisihan yang menjadi sebab kerusakan, dan kemashlahatan-kemashlahatan lain yang tidak mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang imam…"[Imam al-Kasaaniy, Badaai` al-Shanaai` fiy Tartib al-Syaraai’, juz 14/406]

Fardlu, menurut istilah madzhab Hanafiy adalah sebutan untuk “kadar ketetapan” yang secara syar’iy ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy.  Mengingkari fardlu, murtad dari agama Islam.  Imam Sarakhsiy dalam Kitab Ushul al-Sarakhsiy menyatakan:

فالفرض اسم لمقدر شرعا لا يحتمل الزيادة والنقصان وهو مقطوع به لكونه ثابتا بدليل موجب للعلم قطعا من الكتاب أو السنة المتواترة أو الإجماع…..وحكم هذا القسم شرعا أنه موجب للعلم اعتقادا باعتبار أنه ثابت بدليل مقطوع به ولهذا يكفر جاحده وموجب للعمل بالبدن للزوم الأداء بدليله فيكون المؤدي مطيعا لربه والتارك للأداء عاصيا
“Fardlu adalah sebutan untuk suatu kadar yang secara syar’iy tidak memungkinkan adanya penambahan dan pengurangan.  Fardlu adalah kadar (ketetapan) yang dipastikan, karena keberadaannya ditetapkan oleh dalil yang mewajibkan ilmu (keyakinan) secara qath’iy dari al-Quran, Sunnah Mutawatir, dan Ijma’….Hukum untuk jenis ini (fardlu); menurut sya’iy wajib diyakini secara keyakinan (i’tiqaad) dengan anggapan bahwa perkara fardlu ditetapkan berdasarkan dalil yang dipastikan kebenarannya (qath’iy).  Oleh karena itu, kafirlah orang yang mengingkari fardlu; dan fardlu mewajibkan untuk diamalkan dengan anggota badan, karena di dalam dalilnya ada kewajiban untuk melaksanakannya.  Maka, orang yang menunaikan adalah orang yang taat kepada Tuhannya, sedangkan orang yang meninggalkan adalah maksiyat”. [Imam Sarakhsiy, Ushul al-Sarakhsiy, Juz 1/110. Maktabah Syamilah]

Khilafah Ajaran Islam

Dari sisi hukum, menegakkan Khilafah Islamiyyah adalah wajib.  Adapun dari sisi ‘aqidah, Khilafah termasuk janji Allah swt kepada kaum Mukmin. Bahkan, hadits-hadits yang bertutur tentang kembalinya Kekhilafahan Islam mencapai derajat mutawatir bil makna, semacam hadits-hadits yang bertutur tentang Imam Mahdiy sebagai Khalifah di akhir jaman.  

Imam Al-Kattaniy menyatakan:

وفي شرح الرسالة للشيخ جسوس ما نصه ورد خبر المهدي في أحاديث ذكر السخاوي أنها وصلت إلى حد التواتر, وفي شرح المواهب نقلا عن أبي الحسين الإبري في مناقب الشافعي قال تواترت الأخبار أن المهدي من هذه الأمة وأن عيسى يصلي حلفه ذكر ذلك ردا لحديث ابن ماجة عن أنس ولا مهدي إلا عيسى
“Di dalam Syarah al-Risalah, karta Syaikh Jasus, disebutkan bahwasanya berita tentang Al Mahdiy terdapat di dalam hadits-hadits yang dinyatakan oleh Al Hafidz al-Sakhawiy telah mencapai derajat mutawatir.  Di dalam Syarah al-Mawahib, dinukilkan dari al-Husain al-Ibriy di dalam Kitab Manaqib al-Syafi’iy, bahwasanya ia berkata, “Informasi-informasi yang menyatakan bahwa Al Mahdiy adalah bagian dari umat ini, dan ‘Isa as akan sholat dibelakangnya adalah mutawatir.  Ini dituturkan sebagai bantahan atas haditsnya Ibnu Majah dari Anas bin Malik ra yang menyatakan ” tidak ada Al-Mahdiy kecuali Nabi Isa as”. [Imam Al-Kattaniy, Nudhum al-Mutanaatsir min al-Hadits al-Mutawatir, Juz 1, hal.226]

Khilafah Ancaman Bagi Siapa?

Jika Khilafah ajaran Islam,  bagaimana bisa dinyatakan Khilafah merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim?   Jika Khilafah merupakan kewajiban dan janji Allah swt, bagaimana bisa dinyatakan dakwah Khilafah harus ditolak dan dihadang?  Bukankah justru harus didukung dengan penuh keimanan dan ketaatan?

Lalu, siapakah pihak yang sejatinya terancam dengan dakwah Khilafah?  Jawabnya; pertama, negara kafir imperialis dan kroni-kroninya yang berusaha mati-matian mempertahankan system demokrasi-sekuler dan penjajahan atas negeri-negeri kaum Muslim.  Sebab, mereka memahami bahwa Khilafah akan mengakhiri system demokrasi-sekuler dan penjajahan atas dunia Islam.  Khilafah juga akan mengembalikan hak-hak dan asset-asset milik rakyat yang saat ini dikuasai korporasi asing.  Kedua, pihak yang tidak menginginkan Muslim seluruh dunia bersatu. Mereka adalah orang kafir dan munafik yang menginginkan perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim. Ketiga, pihak yang mendapatkan manfaat dari system demokrasi-sekuler, dan tidak rela kemashlahatan itu lenyap ketika Khilafah berdiri.

Dakwah syariah dan Khilafah tentu saja bukanlah ancaman bagi kaum Mukmin.  Sebab, keduanya adalah ajaran Islam.  Dakwah syariah dan Khilafah juga bukan ancaman bagi non Muslim.  Sebab, Khilafah melindungi hak-hak mereka, memperlakukan mereka secara adil, dan menebarkan rahmat bagi seluruh penjuru alam.

Setelah penjelasan ini, masihkah ada pihak yang menolak dan menghadang dakwah syariah dan Khilafah? (Gus Syams).

Kebenaran tazkiyah syaikh Mutawalli. .

*KEBENARAN TAZKIYAH SYAIKH MUTAWALLI ASY SYA'RAWI ATAS SYAIKH TAQIYUDDIN AN NABHANI*
رحمهما الله تعالى

صحابي أخر لغير زمانه ...
_"Bagaikan seorang sahabat Nabi yang dimunculkan belakangan."_

Asy Syaikh Muhammad an-Nadiy, mengkonfirmasi sebagaimana berikut.

أما العبارة التي قالها الشيخ محمد متولي الشعراوي بحق الشيخ تقي الدين النبهاني من أنه "صحابي أخر لغير زمانه ..."

فهي عبارة صحيحة نقلها عنه الدكتور عبد الحليم الرمحي الذي كان يدرس مع كل من الشيخين: الشيخ تقي الدين النهاني والشيخ محمد متولى الشعراوي في جامعة الأزهر الشريف في مصر.

والدكتور عبد الحليم الرمحي لا زال حيا يرزق قد قارب التسعين عاما وكان أستاذ الشريعة في الجامعة الأردنية.

لعل إجابتي واضحة ومفهومة.

_"Adapun kalimat yang diucapkan oleh Syaikh Muhammad Mutawalli asy Sya'rawi berkenaan dengan pribadi Syaikh Taqiyuddin an Nabhani, bahwa beliau "bagaikan seorang sahabat Nabi yang dimunculkan belakangan... dst."_

_Maka itu ungkapan benar (valid) yang dinukil langsung dari Beliau oleh Dr. Abdul Halim al Rumhi yang dulunya memamg pernah belajar bersama kedua Syaikh tersebut: yaitu Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dan Syaikh Muhammad Mutawalli asy Sya'rawi di Universitas al-Azhar asy-Syarif Mesir._

_Dr. Abdul Halim ar-Rumhi sendiri beliau masih hidup hingga sekarang, dengan dikaruniai usia hampir mencapai 90 tahun. Beliau adalah seorang guru besar di bidang syariat Universitas Yordan._

_Semoga jawabanku ini jelas dan mudah dimengerti."_

Sumber: Ust Ahmad Mukhtar Batam.
Terjemahan: Azizi Fathoni

________________

Redaksi lengkap tazkiyah tersebut berbunyi:

الشيخ تقي الدين النبهاني
صحابي أُخر لغير زمانه، كان يديم السكوت، واذا تكلم حديثه لؤلؤ، قوي الحجة مقنعا متصلبا للراي الذي آمن به

_"Asy Syaikh Taqiyuddin an Nabhani itu bagaikan seorang sahabat Nabi yang dimunculkan belakangan. Lebih sering diam. Tapi jika beliau angkat bicara perkataannya bagaikan mutiara. Argumentasinya kuat memuaskan serta memegang teguh pendapat yang diyakininya."_

http://www.youtube.com/watch?v=Pfuql90gpoM

Dalil dan pandangan ulama tentang khilafah

*DALIL DAN PANDANGAN ULAMA TENTANG KHILAFAH*
Dr. H. Muhammad Azwar Kamaruddin, Lc., M.A.*

*Pendahuluan*
Kata Khilafah, merupakan kata yang tak asing bagi kaum muslimin, mulai dari zaman sahabat sampai fakta Khilafah dihilangkan pada tahun 1924, sehingga kaum muslimin generasi selanjutnya, menjadi asing dengan kata tersebut. Bersamaan dengan hilanganya institusi tersebut kaum muslimin kehilangan banyak bagian dalam pembahasan fiqih Islam, ada juga yang kabur, bahkan mengalami distorsi makna, seperti pembahasan tentang nukul dan qasamah dalam peradilan, hisbah, ta`zir, diyat, ghurrah, hukumah dalam sanksi, arsy jinayat sampai jihad kadang-kadang disalah artikan, terutama dalam 1/4 terakhir bagian fiqih tantang Jinayat seakan  hilang dari pembahasan kaum muslimin, hal tersebut hilang bersamaan dengan hilanganya kata Khilafah dari tengah kaum muslimin.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang defenisi, dalil, dan pandangan ulama tentang Khilafah. Adapun pandangan Ulama akan dikategorikan kedalam 9 klasifikasi yaitu: Ulama Lugha, Ulama Kalam, Empat Ulama Mazhab Fiqhi, Ulama Tafsir, Ulama Hadist, Ulama Siyasah Syariyyah, Ulama-ulama Fiqhi secara umum, Ulama dari Universitas Al-Azhar Mesir, dan beberapa Ulama dari kitab-kitab Mu’tabar.

*Pembahasan*
Kata Khilafah yang dulu sangat popular tersebut merupakan hal yang mujma` alaihi (terdapat konsensus ulama di dalamnya) sebagaimana disebutkan dalam kitab "al-mausu`ah al-fiqhiyyah al-kuwaitiyyah" (6/217).
.
Khilafah ini adalah institusi orang yang memimpinnya yaitu Khalifah, Imam dan Amirul Mukminin demikian dikemukakan oleh Imam annawawi dalam kitab raudhatu thalibin wa umdatul muftin dan sebagian ulama mengkiaskannya dengan istilah sultan sebagaimana dikemukakan oleh imam aththhabri, السلطان الأعظم هو الخليفة dan ini sangat dipahami oleh kaum muslimin dengan tidak menggunakan kata lain. Hal ini berdasarkan dari apa yang disepakati oleh para sahabat, ketika menggunakan kata Khalifah untuk untuk Abu Bakar dan Ustman RA., Amirul mukminin untuk Umar RA., dan Imam untuk `Ali Karramallah wajhah, sehingga ketiga kata inilah yang dipakai oleh para pemimpin kaum muslimin setelah masa khulafa` rasyidin yang menunjukkan bahwa kata tersebut memiliki makna tersendiri yang tidak dimiliki oleh kata lain, meskipun sama2 pemimpin seperti emperor, kaisar, Raja dll.
.
Al-Imam dalam pembahasan fiqih ada dua: al-Imam al-Akbar atau Khalifah, adanya kata al-akbar untuk membedakan dengan  Al-Imam al-ashgar atau imam salat 5 waktu, pembahasan keduanya memiliki Korelasi yang kuat karena sama-sama diikuti perintahnya, Cuma Imam salat dalam lingkup yang kecil sedangkan Al-Imam akbar atau Al-Imam al-A`zham dalam lingkup yang lebih luas, yang diikuti perintahnya dalam urusan Agama dan dunia.
Istilah Khalifah dimaksudkan sebagai pengganti kenabian في حراسة الدين وسياسة الدنيا به  sebagaiman yang diungkapkan oleh imam Al-Mawardy dalam kitab ahkam sulthaniyyah, begitupula kebanyak fuqaha madzhab seperti Al-Ramli dalam kitabnya nihayatul muhtaj.
Kata Khilafah menurut bahasa berasal dari mashdar خلف يخلف خلافة  yang maknanya بقى بعده أو يقوم مقامه،  oleh karena itu semua yang mengganti seseorang dinamakan Khalifah, oleh karena itu orang yang menggantikan Rasulullah SAW. Dalam menerapkan hukum-hukum syara dan memimpin kaum muslimin dalam urusan agama dan dunianya adalah Khalifah, dan kedudukannya dinamakan Khilafah dan Imamah, demikian diungkapkan oleh Al-Bushthani dalam bukunya محيط المحيط.
Sedangkan menurut istilah syara: رئاسة عامة في الدين والدنيا, sebagaimana disebutkan oleh Ibn Abidin dalam hasyiahnya, begitu juga diungkapkan oleh Mahmud Alkhalidi dalam bukunya (قواعد نظام الحكم في الإسلام): bahwa Khilafah adalah: رئاسة عامة للمسلمين جميعا في الدنيا لإقامة أحكام الشرعي الإسلامي وحمل الدعوة إلى العالم.
Peristilahan kepemimpinan dalam Islam telah dipahami dengan baik oleh para ulama-ulama terdahulu yang mu'tabar (perkataannya bisa diterima), sehingga dalam buku-buku karangan mereka tak pernah lepas dari hal tersebut ketika membahas mengenai peristilahan-peristilahan di atas, atau membahas tentang hukum-hukumnya atau sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut.
Hukum menegakkannya adalah fardhu kifayah sebagaimana hukum yg diberikan oleh Ulama-ulama mu`tabar dari kaum muslimin.

*Dalil tentang Wajibnya Khilafah*
Adapun dalil tentang wajibnya menegakkan Khilafah masing-masing dari (1) Al-Quran, (2) As-Sunnah, dan (3) Ijma’ Sahabat,  adalah sebagai berikut:
الأدلة على وجوب إقامة الخلافة من الكتاب والسنة والإجماع:
أولا: إجماع الصحابة
أنه تواتر إجماع المسلمين في الصدر الأول من وفاة النبي ﷺ على امتناع خلو الوقت عن إمام، حتى قال أبو بكر رضي الله عنه في خطبته: ألا إن محمدا قد مات، ولا بد لهذا الدين ممن يقوم به، فبادر الكل إلى قبوله، وتركوا له أهم الأشياء، وهو دفن رسول الله ﷺ، ولم يزل الناس على ذلك في كل عصر إلى زماننا هذا من نصب إمام متبع في كل عصر.
- أن في نصب الخليفة دفع ضرر مظنون وأنه واجب إجماعا.
 أنا نعلم علما يقارب الضرورة أن مقصود الشارع فيما شرع من المعاملات والمناكحات والجهاد والحدود والمقاصات وإظهار شعار الشرع في الأعياد والجمعات إنما هو مصالح عائدة إلى الخلق معاشا ومعادا، وذلك لا يتم إلا بإمام من قبل الشارع يرجعون إليه فيما يعن لهم، فإنهم - مع اختلاف الأهواء وتشتت الآراء، وما بينهم من الشحناء - قلما ينقاد بعضهم لبعض فيفضي ذلك إلى التنازع والتواثب، وربما أدى إلى هلاكهم جميعا. (الجرجاني في شرح المواقف في علم الكلام).

ثانيا:القرآن الكريم
قال الله تعالى:﴿فاحكم بينهم بما أنزل الله﴾ وقال: ﴿ فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ﴾ وقال: ﴿واعتصموا بحبل الله جميعاً ولا تفرقوا﴾. فالآية الأولى خطاب للرسول صلى الله عليه وسلم وخطابه خطاب لأمته ما لم يرد دليل التخصيص، والحكم بما أنزل الله لا يكون إلا بحاكم. وكذلك التحكيم في الآية الثانية لا يكون إلا بحاكم وهو الإمام أو السلطان أو الخليفة، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب. وأما الآية الثالثة فإنه سبحانه أمر بالجماعة ونهى عن الفرقة، ولما كانت الجماعة لا تكون إلا على الخليفة كما يفهم من مجموع أحاديث الجماعة، كان نصب الخليفة واجباً بناءً على نفس القاعدة السابقة.
ثالثا: السنة
أخرج مسلم من حديث عبد الله بن عمر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ‹‹من خلع يداً من طاعة الله لقي الله يوم القيامة لا حجة له، ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية›› والواجب في هذا الحديث أن تكون في عنق كل مسلم بيعة لا أن يبايع كل مسلم الخليفة، ووجود الخليفة هو الذي يوجد في عنق كل مسلم بيعة سواء بايع بالفعل أم لا، ولهذا كان الحديث دليلاً على وجوب نصب الخليفة لأن البيعة لا تكون إلا له.
وعند مسلم من حديث أبي هريرة قال قال النبي صلى الله عليه وسلم: ‹‹الإمام جنة يقاتل من ورائه ويتقى به›› وهذا خبر أريد به الطلب.
وأخرج أحمد والترمذي والنسائي والطيالسي من حديث الحارث الأشعري عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ‹‹. . وأنا آمركم بخمس الله أمرني بهن بالجماعة والسمع والطاعة والهجرة والجهاد في سبيل الله، فإنه من خرج من الجماعة قيد شبر فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه إلا أن يرجع. .›› والجماعة لا تكون إلا على رجل واحد هو الإمام كما في حديث حذيفة الذي رواه مسلم وفيه ‹‹. .قال تلزم جماعة المسلميـن وإمامهم. .›› وعند مسلم ‹‹من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد أن يشق عصاكم أو يفرق جماعتكم فاقتلوه›› وحديث فضالة بن عبيد عند أحمد والبيهقي ‹‹ثلاثة لا تسأل عنهم رجل فارق الجماعة وعصى إمامه ومات عاصياً. .››، فهو صلى الله عليه وسلم أمرنا بالجماعة وبين لنا أنها تكون على رجل هو الإمام. وما دامت الجماعة لا تكون إلا على إمام كان نصبه واجباً من باب ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
وروى الإمام أحمد في المسند عن عبد الله بن عمر أن النبي ﷺ قال: «لا يحل لثلاثة يكونون بفلاة من الأرض إلا أمروا عليهم أحدهم» فأوجب ﷺ تأمير الواحد في الاجتماع القليل العارض في السفر تنبيهاً بذلك على سائر أنواع الاجتماع، ولأن الله تعالى أوجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ولا يتم ذلك إلا بقوة وإمارة وكذلك سائر ما أوجبه من الجهاد والعدل وإقامة الحج والجمع والأعياد ونصر المظلوم وإقامة الحدود لا تتم إلا بالقوة والإمارة ولهذا روي: "إن السلطان ظل الله في الأرض" ويقال: "ستون سنة من إمام جائر أصلح من ليلة واحدة بلا سلطان". والتجربة تبين ذلك ولهذا كان السلف - كالفضيل بن عياض وأحمد بن حنبل وغيرهما يقولون "لو كان لنا دعوة مجابة لدعونا بها للسلطان" انتهى.
قال أبو بكر رضي الله عنه في خطبته حين مات رسول الله ﷺ وولي الخلافة من بعده: ألا إن محمدا قد مات، ولا بد لهذا الدين ممن يقوم به.
 وقال الدارمي في سننه: أخبرنا يزيدُ بنُ هارونَ، نا بقيةُ حدّثني صفوانُ بنُ رُسْتُمَ، عَنْ عبدِ الرحمنِ بنِ ميسرَةَ، عن تميمٍ الداريّ،، قالَ: تطاوَلَ الناسُ في البناءِ في زَمَنِ عُمَرَ، فقالَ عُمَرُ: يا مَعْشَرَ العريبِ الأرضَ الأرضَ إنه لا إسْلامَ إلاَّ بِجَمَاعَةٍ، ولا جماعَة إلاَّ بإِمارَة، ولا إِمَارَة إلاَّ بطاعةٍ، فمن سوَّدَهُ قَوْمُهُ على الفِقْهِ كانَ حياةً لَهُ ولَهُمْ، وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ على غيرِ فِقْهٍ كان هلاكاً لَهُ وَلَهُمْ. ورواه ابن عبد البر القرطبي في جامع بيان العلم وفضله.
.

*Pandangan Ulama tentang Khilafah*
Adapun pendapat tentang hukum menegakkan Khilafah adalah fardhu kifayah sebagaimana dijelasakan masing-masing pandangan 9 kategori Ulama yang kami bagi dalam (1) Ulama Lugha, (2) Ulama Kalam, (3) 4 Ulama Mazhab Fiqhi, (4) Ulama Tafsir, (5) Ulama Hadist, (6) Ulama Siyasah Syariyyah, (7) Ulama-ulama Fiqhi secara umum, (8) Ulama dari Universitas Al-Azhar Mesir, dan (9) Ulama dari kitab-kitab Mu’tabar, penjelasannya adalah sebagai berikut:
.
أقوال العلماء على وجوب إقامة الخليفة:
1. علماء اللغة:
- أساس البلاغة للزمشخري، ص122: خلفه: جاء بعده خلافة.
- كتاب العين للخليل بن أحمد الفراهيدي (دار ومكتبة الهلال، (4/ص266): الخَليفةُ بمنزلة مال يذهب فيُخلِفُ الله خَلَفاً أي خليفة فيقوم مقامه.
- معجم مقاييس اللغة لابن فارس (اتحاد الكتاب العربي، 2/170): الخِلافة، وإنَّما سُميِّت خلافةً لأنَّ الثَّاني يَجيءُ بَعد الأوّلِ قائماً مقامَه.
- لسان العرب لابن منظور الأفريقي (دار صادر-بيروت، ج12/ص22): والخليفة: إمام الرعية.
- المحكم والمحيط الأعظم لابن سيدة (دار الكتب العلمية، ج5/ص197): والخليفة : الملك الذي يُستَخلَف ممَّن قَبله.
- المصباح المنير للفيومي (المكتبة العلمية، ج1/ص178): وأما الخَلِيفَةُ بمعنى السلطان الأعظم.
- مختار الصحاح لمحمد بن أبي بكر الرازي (مكتبة لبنان ناشرون، ص196): والخَلِيفَةُ السلطان الأعظم.
- الفروق اللغوية لابي هلال العسكري (مؤسسة النشر الاسلامي التابعة لجماعة المدرسين بقم المقدسة، ص222): الفرق بين الخلافة والإمامة: الخليفة والامام واحد، إلا أن بينهما فرقا، فالخليفة من استخلف في الأمر مكان من كان قبله، فهو مأخوذ من أنه خلف غيره، وقام مقامه. والامام: مأخوذ من التقدم، فهو المتقدم فيما يقتضي وجوب الاقتداء بغيره، وفرض طاعته فيما تقدم فيه.
2. علماء الكلام:
- المواقف لعضد الدين الإيجي (دار الجيل-بيروت، ج3/ص574): الإمامة رياسة عامة في أمور الدين والدنيا، والأولى أن يقال هي خلافة الرسول في إقامة الدين بحيث يجب اتباعه على كافة الأمة.
- شرح المواقف للجرجاني (دار الكتب العلمية، ج8/ص376): الإمامة ليست من أصول الديانات والعقائد، بل هي عندنا من الفروع المتعلق بأفعال المكلفين إذ نصب الإمام عندنا واجب على الأمة سمعا.
- شرح المقاصد في علم الكلام للتفتازاني (دار المعرف النعمانية، ج2/ص272): والإمامة رياسة عامة في أمر الدين والدنيا خلافة عن النبي عليه الصلاة والسلام.
3. الفقهاء من المذاهب الأربعة:
أ‌. مذهب الحنفي
- البحر الرائق شرح كنز الدقائق لزين الدين ابن نجيم الحنفي (دار المعرفة، ج6/ص299):  وَعَرَّفَ الْمُحَقِّقُ الْإِمَامَةَ الْعُظْمَى في الْمُسَايَرَةِ بِأَنَّهَا اسْتِحْقَاقُ تَصَرُّفٍ عَامٍّ في الدِّينِ وَالدُّنْيَا على الْمُسْلِمِينَ وَظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَا بُدَّ في الْإِمَامِ من عُمُومِ وِلَايَتِهِ وَلِذَا قالوا لَا يَجُوزُ اجْتِمَاعُ إمَامَيْنِ في زَمَنٍ وَاحِدٍ.
- الأشباه والنظائر لابن نجيم: يشترط في الإمام أن يكون قرشيا بخلاف القاضي ولا يجوز تعدده في عصر واحد وجاز تعدد القاضي ولو في مصر واحد ولا ينعزل الإمام بالفسق بخلاف القاضي.
- الدر المختار للحصكفي (دار الكتب العلمية: ص75): الإمامة صغرى وكبرى، فالكبرى استحقاق تصرف عام على الأنام، ونصبه أهم الواجبات.
- حاشية ابن عابدين (دار إحياء التراث، (ج1/ص368): وَعَرَّفَ الإمامة الكبرى بِأَنَّهَا رِيَاسَةٌ عَامَّةٌ فِي الدِّينِ وَالدُّنْيَا خِلافَةً عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم.
- بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع للكاساني (دار الكتب العلمية، ج7/ص2): لِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ -؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ - عَلَى ذَلِكَ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ.
ب. مذهب المالكي:
- حاشية الدسوقي على الشرح الكبير لمحمد عرفه الدسوقي (دار الفكر، ج4/ص198): إنَّ الْإِمَامَةَ الْعُظْمَى تَثْبُتُ بِأَحَدِ أُمُورٍ ثَلَاثَةٍ إمَّا بِإِيصَاءِ الْخَلِيفَةِ الْأَوَّلِ لِمُتَأَهِّلٍ لها وَإِمَّا بِالتَّغَلُّبِ على الناس لِأَنَّ من اشْتَدَّتْ وَطْأَتُهُ بِالتَّغَلُّبِ وَجَبَتْ طَاعَتُهُ.
- الخرشي على مختصر خليل (دار الفكر، ج3/ص109): الإمامة العظمى فرض كفاية على من توفرت فيه شروطها مع وجود من يشاركه وإلا تعينت عليه.
- منح الجليل شرح مختصر خليل لمحمد عليش (دار الفكر، ج3/ص193) : إقامة الإمامة العظمى فرض كفاية وشرطه كونه واحدا.
- بداية المجتهد في نهاية المقتصد لابن رشد الحفيد (مصطفى الباب الحلبي، ج2/ص460): فمن رد قضاء المرأة شبهه بقضاء الإمامة الكبرى.
ج. مذهب الشافعي:
- الأم للإمام الشافعي (دار المعرفة، ج4/ص197): وإذا عَقَدَ الْخَلِيفَةُ فَمَاتَ أو عُزِلَ وَاسْتُخْلِفَ غَيْرُهُ فَعَلَيْهِ أَنْ يَفِيَ لهم بِمَا عَقَدَ لهم الْخَلِيفَةُ قَبْلَهُ.
- الشرح الكبير شرح الوجيز للرافعي (دار الكتب العلمية، ج11/ص72): لا بد للأُمَّة من إمام يُحْيِي الدينَ، ويقيم السنة وينصف المظلومين من الظالمين، ويستوفي الحقوقَ، ويَضَعها مواضعها، فلا يصلح الناس فوْضَى.
- روضة الطالبين وعمدة المفتين للنووي، المكتب الإسلامي ،ج10/ص42): الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت: تولي الإمامة فرض كفاية فإن لم يكن من يصلح إلا واحدا تعين عليه ولزمه طلبها إن لم يبتدئوه. وقال أيضا (ج10/ص49): يجوز أن يقال للإمام الخليفة والإمام وأمير المؤمنين.
- منهاج الطالبين للنووي (دار المنهاج ص 500): فصل في شروط الإمام الأعظم وبيان طرق الإمامة.
- وتابعه كل شراح المنهاج. (كنز الراغبين، نهاية المحتاج، تحفة المحتاج، مغني المحتاج، عجالة المحتاج، قوت المحتاج، بداية المحتاج، زاد المحتاج للكوهجي، النجم الوهاج، السراج الوهاج)
ب. مذهب الحنبلي:
- الإقناع في فقه الإمام أحمد بن حنبل للحجاوي (دار المعرفة، ج4/ص292): نصب الإمام الأعظم فرض كفاية ويثبت بإجماع المسلمين عليه.
- الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف على مذهب الإمام أحمد بن حنبل للمرداوي، (دار إحياء التراث العربي، ج10/ص234): نصب الإمام فرض كفاية. قال في الفروع فرض كفاية على الأصح. فمن ثبتت إمامته بإجماع أو بنص أو باجتهاد أو بنص من قبله عليه وبخبر متعين لها حرم قتاله.
- كشاف القناع للبهوتي (دار الفكر، ج6/ص158): نصب الإمام الأعظم  على المسلمين  فرض كفاية  لأن بالناس حاجة إلى ذلك لحماية البيضة والمذب عن الحوزة وإقامة الحدود واستيفاء الحقوق والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.
- شرح منتهى الإرادات للبهوتي، (عالم الكتاب، ج3/ص387): ونصب الإمام فرض كفاية ) لحاجة الناس لذلك لحماية البيضة والذب عن الحوزة وإقامة حدود واستيفاء الحقوق والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.
- مطالب أولى النهى للرحيباني (المكتب الإسلامي (ج6/ص263): ونصب الامام فرض كفاية  لأن بالناس حاجة لذلك لحماية البيضة والذب عن الحوزة وإقامة الحدود وابتغاء الحقوق والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، ويتجه  أنه لا يجوز تعدد الامام.
4. المفسرون:
- مفاتيح الغيب لفخر الدين الرازي (دار الكتب العلمية، ج11/ص181) في تفسير سورة المائدة الآية 38: احتج المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة أن ينصبوا لأنفسهم إماماً معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة الحد على السراق والزناة فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام وما لا يتأتى الواجب إلا به وكان مقدوراً للمكلف فهو واجب فلزم القطع بوجوب نصب الإمام حينئذٍ.
- تفسير النيسابوري لأبي قاسم النيسابوري (ج5/ص465): أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله {فاجلدوا} هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
- الجامع لأحكام القرآن للقرطبي (دار الكتب المصرية، ج1/ص264): تفسير سورة البقرة الآية 30: هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الأصم.
- تفسير ابن كثير (دار طيبة، ج1/ص221): وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
5. المحدثون:
شرح النووي على صحيح مسلم، دار إحياء التراث، ج12/ص231):  باب وجوب الوفاء ببيعة الخليفة الأول فالأول، وقال: أجمعوا على أنه يجب على المسلمين نصب خليفة.
6. علماء السياسة الشرعية:
- غياث الأمم والتياث الظلم لإمام الحرمين الجويني (دار الدعوة، ص15): الإمامة رياسة تامة وزعامة عامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا متضمنها حفظ الحوزة ورعاية الرعية وإقامة الدعوة بالحجة والسيف.
- الأحكام السلطانية للماوردي (دار ابن قتيبة، ص3) :الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا،  وقال أيضا: "وعقدها لمن يقوم بها واجب بالإجماع وإن شذ عنهم الأصم".
- الإمامة العظمى عند أهل السنة والجماعة لعبد الله بن عمر الدميجي، (دار طيبة ص33) وتاريخ المذاهب الإسلامية لأبي زهرة (ج1/ص21): المذاهب السياسية كلها تدور حول الخلافة، وهي الإمامة الكبرى، وسميت خلافة لأن الذي يتولاها ويكون الحاكم الأعظم للمسلمين يخلف النبي صلى الله عليه وسلم في إدارة شؤونهم، وتسمى إمامة؛ لأن الخليفة كان يسمى إماما، ولأن طاعته واجبة.
7. الكتب العامة في الفقه:
- موسوعة الفقهية الكويتية، وزارة ا لأوقاف والشؤون الإسلامية (ج6/ص215)
- لفقه الإسلامي وأدلته لوهبة الزحيلي، دار الفكر-سورية، ج8/ص260)
8. الكتب المقررة في جامعة الأزهر الشريف:
- رياسة الدولة في الفقه الإسلامي للأستاذ الدكتور رأقت عثمان
- نظام الحكم الإسلامي مقارنا بالنظم السياسية ا لمعاصرة للأستاذ الدكتور إبراهيم بدوي
9. من الكتب المتناثرة:
- يقول ابن تيمية في كتاب السياسة الشرعية، ومجموع الفتاوى: يجب أن يعرف أن ولاة أمر الناس من أعظم واجبات الدين بل لا قيام للدين إلا بها؛ فإن بني آدم لا تتم مصلحتهم إلا بالاجتماع لحاجة بعضهم إلى بعض، ولا بد لهم عند الاجتماع من الحاجة إلى رأس حتى قال النبي ﷺ: «لا يحل لثلاثة يكونون بفلاة من الأرض إلا أمروا عليهم أحدهم» رواه أحمد من حديث عبد الله بن عمر.
- وقال الشيخ الطاهر بن عاشور في (أصول النظام الاجتماعي في الإسلام): "فإقامة حكومة عامة وخاصة للمسلمين أصل من أصول التشريع الإسلامي ثبت ذلك بدلائل كثيرة من الكتاب والسنة بلغت مبلغ التواتر المعنوي. مما دعا الصحابة بعد وفاة النبي ﷺ إلى الإسراع بالتجمع والتفاوض لإقامة خلف عن الرسول ﷺ في رعاية الأمة الإسلامية، فأجمع المهاجرون والأنصار يوم السقيفة على إقامة أبي بكر الصديق خليفة عن رسول الله ﷺ للمسلمين. ولم يختلف المسلمون بعد ذلك في وجوب إقامة خليفة إلا شذوذا لا يُعبأ بهم من بعض الخوارج وبعض المعتزلة نقضوا الإجماع فلم تلتفت لهم الأبصار ولم تصغ لهم الأسماع. ولمكانة الخلافة في أصول الشريعة ألحقها علماء أصول الدين بمسائله، فكان من أبوابه الإمامة. قال إمام الحرمين [أبو المعالي الجويني] في الإرشاد: (الكلام في الإمامة ليس من أصول الاعتقاد، والخطر على من يزل فيه يربى على الخطر على من يجهل أصلا من أصول الدين)". انتهى قول ابن عاشور، ومعنى كلام الجويني أن الإمامية إذ جعلوا الإمامة من أصول الاعتقاد فإنها ليست منه، ولكن الخطأ في الزلل فيها يناهز الخطر في الزلل في أصول الدين لأهميتها.
- يقول الهيثمي في الصواعق المحرقة: "اعلم أيضاً أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن الرسول ﷺ."
- وقال أبو بكر الأنصاري في غاية الوصول في شرح لب الأصول: (ويجب على الناس نصب إمام) يقوم بمصالحهم كسدّ الثغور وتجهيز الجيوش وقهر المتغلبة والمتلصصة لإجماع الصحابة بعد وفاة النبي ﷺ على نصبه حتى جعلوه أهم الواجبات، وقدّموه على دفنه ﷺ ولم يزل الناس في كل عصر على ذلك.
- وقال محمد بن أحمد بن محمد بن هاشم المحلي المصري الشافعي جلال الدين المفسر الفقيه المتكلم الأصولي النحوي في كتابه شرح المحلي على جمع الجوامع: ويجبُ على النَّاسِ نَصْبُ إمامٍ يقوم بمصالحهم كسد الثغور وتجهيز الجيوش وقهر المتغلبة والمتلصصة وقطاع الطريق وغير ذلك لإجماع الصحابة بعد وفاة النبي ﷺ على نصبه حتى جعلوه أهم الواجبات وقدموه على دفنه ولم يزل الناس في كل عصر على ذلك.
- جاء في كتاب «غاية البيان شرح زبد ابن رسلان» للفقيه الشافعي شمس الدين محمد بن أحمد الرملي الأنصاري الملقب بالشافعي الصغير (وهو من علماء القرن التاسع الهجري) ما يلي: (يجب على الناس نصب إمام يقوم بمصالحهم، كتنفيذ أحكامهم وإقامة حدودهم وسد ثغورهم وتجهيز جيوشهم وأخذ صدقاتهم إن دفعوها وقهر المتغلبة والمتلصصة وقطاع الطريق وقطع المنازعات الواقعة بين الخصوم وقسمة الغنائم وغير ذلك، لإجماع الصحابة بعد وفاته ﷺ على نصبه حتى جعلوه أهم الواجبات، وقدموه على دفنه ﷺ ولم تزل الناس في كل عصر على ذلك).
- قال د. ضياء الدين الريّس في كتابه: الإسلام والخلافة ص 348: "والإجماع كما قرروه أصل عظيم من أصول الشريعة الإسلامية وأقوى إجماع أو أعلاه مرتبة هو إجماع الصحابة رضي الله عنهم لأنهم هم الصف والرعيل الأول من المسلمين، وهم الذين لازموا الرسول ﷺ واشتركوا معه في جهاده وأعماله وسمعوا أقواله فهم الذين يعرفون أحكام وأسرار الإسلام وكان عددهم محصوراً وإجماعهم مشهوراً وهم قد أجمعوا عقب أن لحق الرسول ﷺ بالرفيق الأعلى على أنه لا بد أن يقوم من يخلفه واجتمعوا ليختاروا خليفته ولم يقل أحد منهم أبداً أنه لا حاجة للمسلمين بإمام أو خليفة فثبت بهذا إجماعهم على وجوب وجود الخلافة وهذا هو أصل الإجماع الذي تستند إليه الخلافة".
- وقال د. ضياء الدين الريس في كتابه الإسلام والخلافة ص99: "فالخلافة أهم منصب ديني وتهم المسلمين جميعاً، وقد نصت الشريعة الإسلامية على أن إقامة الخلافة فرض أساسي من فروض الدين بل هو الفرض الأعظم لأنه يتوقف عليه تنفيذ سائر الفروض"،
- وقال أيضاً في ص 341: "إن علماء الإسلام قد أجمعوا كما عرفنا فيما تقدم - على أن الخلافة أو الإمامة فرض أساسي من فروض الدين بل هو الفرض الأول أو الأهم لأنه يتوقف عليه تنفيذ سائر الفروض وتحقيق المصالح العامة للمسلمين ولذا أسموا هذا المنصب «الإمامة العظمى» في مقابل إمامة الصلاة التي سميت «الإمامة الصغرى» وهذا هو رأي أهل السنة والجماعة وهم الكثرة العظمى للمسلمين وهو إذاً رأي كبار المجتهدين: الأئمة الأربعة والعلماء أمثال الماوردي والجويني والغزالي والرازي والتفتازاني وابن خلدون وغيرهم وهم الأئمة الذين يأخذ المسلمون عنهم الدين وقد عرفنا الأدلة والبراهين التي استدلوا بها على وجوب الخلافة".
- وقال الشيخ علي بلحاج في كراسته "إعادة الخلافة من أعظم واجبات الدين": "الخلافة على منهج النبوة" كيف لا وقد قرر علماء الإسلام وأعلامه أن الخلافة فرض أساسي من فروض هذا الدين العظيم بل هو "الفرض الأكبر" الذي يتوقف عليه تنفيذ سائر الفروض، وإن الزهد في إقامة هذه الفريضة من "كبائر الإثم"، وما الضياع والتيه والخلافات والنزاعات الناشبة بين المسلمين كأفراد وبين الشعوب الإسلامية كدول إلا لتفريط المسلمين في إقامة هذه الفريضة العظيمة،"
-  قال ابن خلدون (في المقدمة): "إن نصب الإمام واجب قد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين؛ لأن أصحاب رسول الله ﷺ عند وفاته بادروا إلى بيعة أبي بكر رضي الله عنه وتسليم النظر إليه في أمورهم، وكذا في كل عصر من بعد ذلك ولم يترك الناس فوضى في عصر من الأعصار، واستقر ذلك إجماعا دالا على وجوب نصب الإمام". أي أن الأمة نقلت هذا الإجماع واستقر لديها كابرا عن كابر، وطبقة عن طبقة، فوجود الإجماع متواتر.
- قال الخطيب البغدادي - رحمه الله - أجمع المهاجرون والأنصار على خلافة أبي بكر قالوا له: يا خليفة رسول الله ولم يسمَّ أحد بعده خليفة، وقيل: إنه قبض النبي ﷺ عن ثلاثين ألف مسلم كُلٌ قال لأبي بكر: يا خليفة رسول الله ورضوا به من بعده رضي الله عنهم. أقول: وليست العبرة ببيعة آحاد المسلمين كلهم له، بل العبرة بإجماعهم على حرمة خلو العصر من إمام، وعلى فرضية خلافة رسول الله ﷺ، فالرسول ﷺ إذ قال: «ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية»، يفهم من هذا أن المطلوب هو وجود خليفة له في الأعناق بيعة لا أن يبايعه كل مسلم، وبالتالي فلو كان عدد المسلمين ملياراً فليس المطلوب أن يبايع المليار، بل أن يكون على المليار خليفة أخذ البيعة بالتراضي من الأمة أو ممن يمثل الأمة!.
- وقال أبو الحسن الأشعري: أثنى الله - عز وجل - على المهاجرين والأنصار والسابقين إلى الإسلام، ونطق القرآن بمدح المهاجرين والأنصار في مواضع كثيرة وأثنى على أهل بيعة الرضوان فقال عز وجل: ﴿لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ﴾، (سورة الفتح، الآية 18). قد أجمع هؤلاء الذين أثنى الله عليهم ومدحهم على إمامة أبي بكر الصديق رضي الله عنه وسمّوه خليفة رسول الله وبايعوه وانقادوا له وأقروا له بالفضل وكان أفضل الجماعة في جميع الخصال التي يستحق بها الإمامة من العلم والزهد وقوة الرأي وسياسة الأمة وغير ذلك.
- وقال أبو بكر الباقلاني في معرض ذكره للإجماع على خلافة الصديق رضي الله عنه: وكان رضي الله عنه مفروض الطاعة لإجماع المسلمين على طاعته وإمامته وانقيادهم له حتى قال أمير المؤمنين علي كرم الله وجهه مجيبا لقوله رضي الله عنه لما قال: أقيلوني فلست بخيركم، فقال: لا نقيلك ولا نستقيلك قدمك رسول الله ﷺ لديننا ألا نرضاك لدنيانا يعني بذلك حين قدمه للإمامة في الصلاة مع حضوره واستنابته في إمارة الحج فأمرك علينا وكان رضي الله عنه أفضل الأمة وأرجحهم إيماناً وأكملهم فهماً وأوفرهم علماً.
- قال الشهرستاني: (واصفا حال الصحابة حين اقتربت وفاة أبي بكر رضي الله، واختياره لعمر رضي الله عنه) "وما دار في قلبه (أي أبي بكر) ولا في قلب أحد أن يجوز خلو الأرض عن إمام، فدل ذلك كله على أن الصحابة، وهم الصدر الأول كانوا على بكرة أبيهم متفقين على أنه لا بد من إمام، فذلك الإجماع على هذا الوجه، دليل قاطع على وجوب الإمامة".
.
*Kesimpulan*
1. KHILAFAH adalah institusi sedangkan orang yang memimpinnya disebut KHALIFAH,
2. Hukum menegakkan Khilafah adalah WAJIB berdasarkan dalil dalam Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’ Sahabat, dan
3. Menegakkan Khilafah merupakan FARDHU KIFAYAH sebagaimana pandangan Ulama-ulama mu`tabar dari kaum muslimin, baik itu dari Ulama Lugha, Ulama Kalam, Ulama Fiqhi, Ulama Tafsir, Ulama Hadist, dan Ulama-Ulama Mutaakhirin.
*(Siswa: I'dadiyah, Madrasah Tsanawiah, dan Madrasah Aliyah DDI Mangkoso Kab. Barru Sulawesi Selatan, Indonesia, Mahasiswa: S1, S2, dan S3 Univeritas Al Azhar, Kairo, Mesir, Dosen: Universitas Muhammadiyah Makassar, Indonesia)

Khilafah dan pemikiran ketatane

*KHILAFAH DAN PEMIKIRAN KETATANEGARAAN MODERN*

Oleh Yuana Ryan Tresna

*Khalifah dan Khilafah*

Sistem pemerintahan warisan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khilafah. Nabi bersabda,

 أُوصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak Habsyi, karena sesungguhnya siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid‘ah adalah kesesatan. (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah).

Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini berturut-turut dari Walid bin Muslim, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma‘dan, dari Abdurrahman bin Amr as-Sulami dan Hujr bin Hujr. Keduanya berkata: Kami pernah mendatangi al-‘Irbadhi bin Sariyah. Lalu al-‘Irbadhi berkata, "Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat subuh. Beliau kemudian menghadap kepada kami dan menasihati kami dengan satu nasihat mendalam yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, 'Wahai Rasulullah, ini seakan merupakan nasihat perpisahan. Lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?' Beliau bersabda, “Aku mewasiatkan kepada kalian...”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalur yang lain, Ibn Majah, Imam al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Hibban dalam Shahîh Ibn Hibbân, al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘alâ Shahihain dan ia berkomentar, "Hadits ini sahih, dan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Baihaqii al-Kubra.

Maknanya, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, "Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah selalu bertakwa kepada Allah.” Ini menunjukkan wajibnya takwa secara mutlak, dalam hal apa saja, dimana saja dan kapan saja.

Kemudian beliau bersabda, "Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnah (jalan/jejak langkah)-ku dan sunnah (jalan/jejak langkah) Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham.” Sunnah dalam hadits ini menggunakan makna bahasanya, yaitu thariqah (jalan/jejak langkah). Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kita untuk mengambil dan berpegang teguh dengan jejak langkah Beliau dan Khulafa' Rasyidin. Perintah ini mencakup masalah sistem kepemimpinan, karena konteks pembicaraan hadits ini adalah masalah kepemimpinan. Artinya,  hadits ini merupakan perintah agar kita mengikuti corak dan sistem kepemimpinan Khulafa' Rasyidin, yaitu sistem Khilafah. Beliau sangat menekankan perintah ini dengan melukiskan (dengan bahasa kiasan) agar kita menggigitnya dengan gigi geraham.

Para ulama juga telah mengulas masalah ini secara global. Istilah khilafah, diungkapkan pula oleh para ulama dengan istilah imamah, yakni al-imâmah al-’uzhma, keduanya bentuk sinonim (mutaradif) karena esensinya sama, yakni topik kepemimpinan dalam Islam.

Imam al-Mawardi al-Syafi’i mengatakan,

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta pengaturan urusan dunia.

Imam al-Haramain al-Juwaini al-Syafi’i menyebutkan,

الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا

Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.

Imam al-Ramli al-Syafi’i juga mengatakan,

الخليفة هو الإمام الأعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا

Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.

Adapun Imam al-Nawawi al-Syafi’i berpendapat,

الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يُقيم الدين وينصُر السنة وينتصف للمظلومين ويَستوفي الحقوق ويضَعها مواضعَها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …

…Pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan mengenai metode (jalan untuk mewujudkannya). Adalah suatu keharusan bagi umat adanya seorang imam yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang didzalimi, menunaikan hak, dan menempatkan hak pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurusi urusan imamah itu adalah fardhu kifayah.

Adapun Imam Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i –begitu pula para ulama lainnya- pun mengumpamakan din dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar, lalu Al-Ghazali menegaskan,

الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع

Al-din itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.

*Konsep al-Dar*

Bahasan tersebut di atas terkait dengan kewajiban mengangkat seorang khalifah dan adanya sistem khilafah. Adapun terkait dengan konsep negara yang memiliki wilayah yang di atasnya diterapkan hukum Islam dan kontradiksinya dengan wilayah yang tidak menerapkan Islam, para ulama membahas dalam bahasan al-Dar.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah, di mana di dalamnya dituturkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُدْعُهُمْ  إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَـابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مــا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَـا عَلَى الْمُهَـاجِريْنَ

"... Serulah mereka kepada Islam, maka apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (Darul Kufur) ke Darul Muhajirin (Darul  Islam yang berpusat di Madinah); dan beritahukanlah kepada mereka bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum muhajirin.”

Istilah Dar al-Islam dan Dar al-Kufr telah dituturkan di dalam Sunnah dan Atsar para shahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,

"Semua hal yang ada di dalam Dar al-Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam Dar al-Syirk telah dihalalkan".

Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Dar al-Islam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Dar al-Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar'i. Sedangkan penduduk Dar al-Kufr, maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar'i yang mewajibkan kaum muslim melindungi harta dan darahnya.

Di dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwasannya ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hiirah. Di dalam surat itu tertulis, "….Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah); yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dahulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Maal kaum muslim, selama mereka masih bermukim di Dar al-Hijrah dan Dar al-Islam. Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Dar al-Hijrah, maka tidak ada kewajiban bagi kaum muslim untuk mencukupi nafkah mereka.."

Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan, bahwa frase Dar al-Islam, adalah istilah syar'i yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Dar al-Islam dan Dar al-Kufr.

Para fuqaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Dengan penjelasan para fuqaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam.

Al-Kasa’i di dalam kitab Bada’i' al-Shana’i', mengatakan,

"Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha kami, bahwa Dar Kufr (negeri kufur) bisa berubah menjadi Dar al-Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana. Mereka berbeda pendapat mengenai Dar al-Islam; kapan ia bisa berubah menjadi Dar al-Kufr?  Abu Hanifah berpendapat; Dar al-Islam tidak akan berubah menjadi Dar al-Kufr kecuali jika telah memenuhi tiga syarat. Pertama, telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufr di dalamnya. Kedua, meminta perlindungan kepada Dar al-Kufr.  Ketiga, kaum muslim dan dzimmi tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanan yang mereka dapat pertama kali, yakni, jaminan keamanan dari kaum muslim". Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, "Dar al-Islam berubah menjadi Dar al-Kufr jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur.”

Di dalam Hasyiyah Ibnu 'Abidin atas kitab Al-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, disebutkan,"Dar al-Islam tidak akan berubah menjadi Dar al-Harb….(karena) misalnya, orang Kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan kepada mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Dar Islam berubah menjadi Dar al-Harb jika telah memenuhi tiga syarat.  Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat; cukup dengan satu syarat saja; yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.."

Dengan demikian Dar al-Islam adalah negara yang menerapkan hukum Islam, dan keamanan negara tersebut di bawah jaminan kaum Muslim. Dar al-Kufr adalah negara yang menerapkan syari’at kufur, dan keamanannya tidak dijamin oleh kaum muslim.

*Al-Dar dan Tatanegara Modern*

Konsep Dar al-Islam tersebut sulit dibayangkan jika bukan dalam bentuk negara sebagaimana dimaksud dalam konsep tatanegara modern. Hal itu terutama ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Hukum-hukum tersebut antara lain adalah:

1. Penetapan status kewarganegaraan. Seseorang diketahui bahwa ia seorang kafir dzimmi, kafir mu’ahid, kafir musta’min, atau kafir harbi,  jika  ada batas wilayah negara yang jelas.
2. Hukum jihad fi sabilillah. Adanya negara dan batas negara yang jelas juga berhubungan erat dengan hukum jihad di jalan Allah sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anfal Ayat 39.
3. Hukum perjanjian antar negara. Al-Quran telah menyitir dan menjelaskan secara rinci hukum-hukum perjanjian antara Dar al-Islam dengan Dar al-Kufr (lihat QS. At-taubah: 4)
4. Hukum bersiaga di perbatasan negara. Kemestian adanya negara dan batas teritorial yang jelas dan tegas, juga ditunjukkan dengan kewajiban untuk bersiap siaga di perbatasan negara. (Lihat QS. Ali Imran: 200)
5. Hukum hijrah. Imam Ahmad dan al-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah bersabda, “Hijrah itu tidak ada putus-putusnya selama musuh itu masih diperangi.” Imam Bukhari meriwayatkan hadits, bahwa ‘Aisyah pernah ditanya tentang hijrah, beliau menjawab, “Hari ini tidak hijrah lagi, yang ada adalah seorang mukmin yang membawa lari agamanya kepada Allah dan Rasul, karena khawatir kena fitnah.”  Hijrah adalah berpindah dari wilayah Dar Kufr, menuju wilayah Dar al-Islam.

*Kesimpulan*

Mengatakan bahwa khilafah adalah ajaran Islam namun bukan sebuah sistem tatanegera, adalah kesalahan yang amat fatal. Khilafah adalah ajaran Islam yang bermakna sebuah sistem pemerintahan dalam Islam dan meniscayakan sebagai konsep tatanegara sebagaimana yang dipahami dewasa ini. Hal itu didukung fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Wallahu a'lam.

Bantul, 19 Jumada al-Tsaniyyah 1440 H

Di garong pemikiran oleh HTI ?

'DIGARONG' PEMIKIRAN OLEH HTI ?

Oleh : Nasrudin Joha

"Kenapa sih HTI tidak boleh diskusi Publik apa takut digarong pemikiran ( Demokrasi sekuler) oleh HTI.  Inilah sesungguh yang sangat berbahaya bagi Bangsa karena melarang diskusi untuk HTI."

[Sujiwo Tejo, ILC TVONE, 02/07/2019]

Bagi pencari kebenaran, proses memferifikasi nilai dan informasi melalui diskusi itu sungguh mengasyikkan. Saat melakukan konfrontasi nilai, dialektika fakta, ferifikasi informasi melalui diskusi, semua dilakukan hanya dalam rangka mencari kebenaran sejati.

Karenanya, tak jarang seorang pemburu kebenaran segera melepaskan pendapatnya manakala menyadari ada pendapat yang lebih sahih atas sejumlah definisi kebenaran yang selama ini diyakini. Adapula, seseorang tetap dalam keyakinan kebenarannya, namun ruang diskusi menjadikannya mendapat cakrawala yang lebih luas tentang terma kebenaran.

Pada kasus HTI, diskursus kebenaran itu tak lepas dari 3 (tiga) pokok bahasan utama :

Pertama, diskursus mengenai fakta, mengenai sejumlah persoalan bangsa, dimana segenap elemen anak bangsa mampu mengindera secara nyata, bagaimana kondisi bangsa saat ini. Jelas, dengan persepektif yang mungkin sedikit berbeda, banyak pihak yang sependapat bahwa negeri ini bermasalah, sebagaimana yang sering disampaikan HTI dalam berbagai forum diskusi, buklet, artikel, buku-buku dan masyiroh (unjuk rasa).

Hanya saja, HTI memiliki perspektif bahwa sebab utama berbagai problema yang mendera bangsa ini muaranya hanya pada satu sebab saja : yakni, tidak taatnya umat ini pada aturan Allah SWT, tidak diterapkannya syariah Islam, sehingga negeri ini dirundung duka dan banyak masalah.

Kedua, karena beda mengindera persoalan maka diskursus pemikiran HTI dengan berbagai pemikiran politik lainnya, adalah perbedaan solusi yang ditawarkan. HTI melihat, problem bangsa ini muaranya adalah maksiat politik, sehingga cara untuk menyelesaikan problem bangsa ini adalah dengan melakukan ketaatan secara total termasuk dalam aspek politik, hingga menerapkan Islam sebagai solusi untuk mengatasi persoalan politik.

Ide syariah dan khilafah, adalah agenda utama yang ditawarkan HTI untuk menyelesaikan sengkarut persoalan bangsa ini. Sementara, elemen anak bangsa lainnya menganggap persoalan ini adalah karena denokrasi yang tak berjalan secara subtantif, demokrasi hanya berjalan secara formal elektoral. Sehinga, sebagian anak bangsa masih menganggap demokrasi sebagai solusi.

Ketiga, tentang pikiran dan amaliyah praktis yang saat ini terindera menjadi ajang objek perdebatan. Semua pihak sepakat, meski dengan sedikit pandangan yang berbeda, negeri ini telah dan sedang menerapkan demokrasi sekuler. Yakni, sebuah pemerintahan dari rakyat yang menegasikan hukum Allah SWT untuk mengelola bangsa dan negara.

Fakta kerusakan ini, jelas berada pada kewenangan dan tanggungjawab rezim demokrasi. Karena itulah, HTI secara tegas menolak sistem politik denokrasi sekuler, karena telah menegasikan kedaulatan syara' (hukum Allah SWT) dan menggantinya dengan kedaulatan rakyat.

Meskipun pada faktanya, kedaulatan rakyat itu hanya jargon politik semata. Pada praktiknya, yang berdaulat adalah kapital, para pemodal, bukan rakyat. Kebijakan negeri ini didesain untuk melayani pemodal dengan berdalih untuk dan atas nama kepentingan rakyat.

Dialektika ini terus alami berinteraksi, hingga para pengusung demokrasi merasa kewalahan bertarung secara ide. Karena itu, pembungkaman HTI dengan cara mencabut BHP nya, adalah dalam konteks itu : yakni, kekalahan secara politik dan intelektual.

Fase selanjutnya, yang terjadi adalah diskusi searah dengan methode tudingan, labelisasi, alienasi, persekusi bahkan hingga kriminalisasi. Diskusi itu bukan sebesar diskusi tapi telah dibungkus melalui kebijakan politik, dimana negara telah disalahgunakan untuk mengkriminalisasi pemikiran.

Rezim karenanya khawatir, legitimasi kekuasaannya 'digarong' oleh pemikiran politik yang diusung HTI. Sementara, umat ini mudah saja untuk memilih kebenaran.

Jika benar demokrasi itu baik, umat ini mengindera seluruh kerusakan ini berada pada kendali rezim demokrasi. Tak bisa menyalahkan Islam dan syariatnya, karena faktanya syariat Islam belum mengatur negeri ini.

Umat juga mengindera, rezim yang mengklaim paling demokrasi ternyata curang, khianat, bahkan yang mengaku aku Pancasila ternyata tukang garong duit rakyat. Semua menjadi pasien KPK.

Pada saat yang sama, umat ini merasakan keberadaan HTI, tentang keikhlasan mereka, tentang ahlak mereka, tentang pemikiran mereka, tentang eksistensi perjuangan mereka, tentang keberadaan mereka yang selalu berada dibarisan umat dalam setiap isu-isu keumatan.

Pada isu penistaan agama misalnya, umat melihat HTI terjun membela umat, sementara rezim justru melindungi penista agama. Kedekatan itu alamiah, karena umat ini jelas hanya akan memberikan legitimasi kepada entitas politik yang melindungi dan mengurusi kepentingan mereka.

Jadi, menurut saya 'tidak ada penggarongan pemikiran' yang ada adalah HTI terus membina dan memahamkan umat. Tentang persoalannya, tentang agamanya, tentang solusi Islam mengenai hal itu, dan konsisten bersama umat untuk memperjuangkannya.

Saya kira, disaat rezim menaruh kawat berduri antara umat dan HTI, membuat jarak dan tembok tinggi dengan berbagai dalih dan tudingan, umat ini wajib berfikir lain. Umat ini, wajib menggali terowongan dan parit-parit, agar dapat bertemu dan bercengkrama dengan HTI. Jangan-jangan solusi HTI itu yang benar ? Bukankah umat ini juga sudah rindu ingin Islam kembali Jaya ? [].