Saturday, August 13, 2011

Lagi, Khilafah Eksis Hanya 30 Tahun?

Lagi, Khilafah Eksis Hanya 30 Tahun?



HTI-Press. Kebutuhan akan tegaknya kembali Negara Khilafah semakin terasa, dan kini banyak umat Islam yang menyerukan hal tersebut. Namun beberapa kalangan menyatakan bahwa Negara Khilafah hanya sempat bertahan selama 30 tahun, dan kemudian lembaga setelahnya tidak pantas disebut Khilafah. Apakah pandangan ini memiliki landasan dalam pandangan Islam? Dan adakah justifikasi yang valid untuk tidak menegakkan Negara Khilafah di masa sekarang ini hanya karena adanya anggapan bahwa Khilafah hanya berlangsung selama 30 tahun?



Tidak diragukan lagi bahwa Negara Islam yang didirikan oleh Rasulullah Muhammad al-Mustafa saw di Madinah terus hidup hingga kehancurannya di tangan Mustafa Kamal Ataturk pada 3 Maret 1924. Kelangsungan sistem pemerintahan Islam, yakni sistem Khilafah, sejak masa Khulafaur Rasyidin dibuktikan oleh kenyataan dan naskah-naskah sejarah. Dalam konteks sejarah, kita harus mengingat struktur dalam sistem pemerintahan agar kita dapat mengkaji dengan baik apakah negara itu memang ada atau tidak. Struktur tersebut didasarkan kepada beberapa pilar, yakni Khalifah –sebagai kepala negara, Para Pembantu Khalifah (Mu’awin Tafwidl), Para Pelaksana Tugas dari Khalifah (Mu’awin Tanfidz), Amir Jihad, Para Gubernur (Wulat), Para Hakim (Qadhi), Departemen-departemen Negara, dan Majelis Negara (Majelis al-Ummah). Bila kita melakukan kajian sejarah, maka dapat kita lihat bahwa seluruh lembaga, kecuali Syura, tetap ada selama berabad-abad hingga kehancurannya di tahun 1924. Ketiadaan atau ketidakberdayaan lembaga Syura pasca masa Khulafaur Rasyidin tidak berarti bahwa sistem pemerintahan berubah, karena pemerintahan tetap dapat terlaksana tanpa adanya lembaga Syura, walau mendirikan lembaga tersebut merupakan hak setiap Muslim. Selama beberapa periode dalam sejarah, dimana tidak ada Khalifah karena terjadinya perang saudara atau pendudukan oleh tentara asing, Negara Khilafah tetap ada, karena struktur lainnya tetap ada.



Mengenai pandangan bahwa telah berlangsung sistem monarki (karajaan), memang benar bahwa bai’at –sebagai proses dalam pengangkatan Khalifah- telah disalahgunakan, namun hal tersebut tidak pernah mempengaruhi kelangsungan Negara Khilafah. Hal ini karena sekalipun seorang Khalifah meminta rakyat untuk membai’at puteranya sebelum ia mangkat, proses bai’at itu sendiri tetap ada dan berlangsung. Bai’at ini biasanya diberikan oleh kalangan berpengaruh atau perwakilan rakyat (Ahlul Halli wal ‘Aqdi), atau sebagaimana kita saksikan pada masa selanjutnya, dilakukan oleh Syaikhul Islam.



Jumhur ulama sepakat bahwa Khilafah tetap berdiri setelah berlalunya era Khulafaur Rasyidin, walau beberapa kalangan dari golongan Salafi tidak mengakui diberikannya gelar Khalifah kepada para penguasa berikutnya, karena hadits berikut yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi yang menerima dari Safinah, bahwa Rasulullah aaw bersabda:



“Khilafah di tengah kaumku setelah aku akan berlangsung selama 30 tahun. Kemudian akan ada Mulkan Aduudan (Penguasa Monarki) setelahnya”.

[Narasi yang sama dapat ditemukan dalam Sunan Abu Dawud (2/264) dan Musnad Ahmad (1/169)]

Menurut tafsiran jumhur ulama, hadits ini tidak berarti bahwa Negara Khilafah langsung lenyap setelah tiga puluh tahun, karena hal itu berarti bertentangan dengan nash lainnya.



Jabir bin Samurah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Islam akan tetap ada hingga Hari Akhir terjadi, atau saat kalian telah diperintah oleh dua belas Khalifah, mereka semua dari golongan Quraisy”. [Shahih Muslim].



Hadits ini mengindikasikan bahwa umat tidak akan hanya memiliki empat atau lima Khalifah, ini berarti Khilafah tidak hanya akan berlangsung selama tiga puluh tahun. Sehubungan dengan hadits ini, Qadhi Iyad berkata:



‘…Dijelaskan dalam hadits lainnya, ‘Khilafah setelahku akan berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian akan ada penguasa monarki’ Hadits ini tentu bertentangan dengan hadits yang menyebut ada dua belas Khalifah, karena dalam masa tiga puluh tahun hanya ada Khulafaur Rasyidin dan beberapa bulan saat bai’at diberikan kepada Hasan bin Ali. Jawabannya ialah: Apa yang dimaksud dengan ‘Khilafah akan berlangsung selama tigapuluh tahun’ adalah Khilafah Nubuwwah (Khilafah yang berlandaskan kenabian…)’ [Sebagaimana dikutip oleh an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, 1821]



Sementara dalam hal rujukan pada dua belas Khalifah yang dimaksud, tidak berarti bahwa Khalifah hanya terbatas pada dua belas orang, sebagaimana dijelaskan oleh Qadhi ‘Iyad:



‘Mungkin apa yang dimaksud dengan dua belas Khalifah dalam hadits ini dan hadits lain yang sejenis ialah bahwa mereka adalah para Khalifah pada masa terkuat Khilafah, Kekuasaan Islam, saat segala urusan dijalankan dengan benar dan rakyat bersatu di bawah mereka yang menduduki jabatan Khalifah.’ [Tarikh al-Khulafa, karya Imam as-Suyuthi, p.14].

Ibnu Hajar dalam syarah al-Bukhari berkata:



‘Apa yang dikatakan oleh Qadhi Iyad merupakan pendapat terbaik diantara pendapat lain yang mengomentari hadits yang sama. Saya kira inilah pendapat terkuat karena didukung oleh sabda Nabi saw melalui sanad yang jelas: ‘Dan umat akan bersatu di bawah mereka…’ (Fathul Baari).

Kemudian Ibnu Hajar memberikan sebuah perhitungan historis tentang bagaimana umat berkumpul dan bersatu di bawah para Khalifah setelah berlalunya era Khulafaur Rasyidin. Ia mengemukakan bagaimana kecintaan umat terhadap Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan ia bahkan mengatakan, ‘Khulafa Bani Abbas’, yakni maksudnya para Khalifah dari golongan Abbasiyah.



Saifuddin al-Amidi, salah seorang ulama Syafi’i terkemuka dan pakar ilmu ushul, menuliskan dalam kitab al-Imamah min Abkar al-Afkar fi Ushuluddin (hal.306):



‘Dan beliau saw mengatakan: “Khilafah di tengah kaumku setelah aku akan berlangsung selama 30 tahun. Kemudian akan ada Mulkan Aduudan (Penguasa Monarki) setelahnya.” Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Khilafah hanya terbatas pada Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, ra.) saja karena Khilafah hanya berlangsung tiga puluh tahun seperti dikatakan Nabi saw. Tidak ada pula hadits yang mengatakan bahwa tidak akan ada Khalifah setelah era Khulafaur Rasyidin. Apa yang dimaksud: ‘Khilafah setelahku’ bermakna tanggung jawab Imamah dengan mengikuti Sunnahku, tidak kurang atau lebih, ‘akan berlangsung selama tigapuluh tahun’, bertentangan dengan masa setelah itu, saat pemerintahan umumnya dipegang para raja.



Terlepas dari hal tersebut, kontinuitas Khilafah diindikasikan oleh dua hal berikut ini:



Pertama: Ijma di kalangan umat pada setiap zaman, yang mengakui kewajiban untuk mengikuti seorang Imam pada zamannya, dan bahwa Imam serta Khalifah wajib dipatuhi.



Kedua: Beliau saw bersabda: ‘Kemudian akan ada (tasiru) kerajaan (mulkan)’. Pronomina persona (dlamir) dalam frasa ‘tasiru mulkan’ merujuk pada Khilafah. Ini karena apa yang disebutkan (verba) tidak dapat dirujukkan kepada hal lainnya selain Khilafah, seperti dalam kalimat ‘kemudian Khilafah berubah menjadi kerajaan (Mulk)’. Kalimat ini menunjukkan bahwa Khilafah akan menjadi kerajaan. Hal yang menjadi rujukan dalam kalimat perlu disebut langsung di dalam kalimatnya. Pada poin pertama, Imam Amidi menjelaskan bahwa umat menyepakati, dan ini tentu berdasarkan pada nash, bahwa Imam pada setiap zaman harus ditaati dan karena itu, seseorang tidak dapat begitu saja berpendapat bahwa hadits tersebut hanya terbatas pada Khilafah setelahnya. Dan argumen kedua berlandaskan pada ilmu linguistik, hadits tersebut menyatakan suatu perubahan aspek Khilafah, bukan Khilafah itu sendiri. Bunyinya sama seperti kalimat ‘dan kemudian Tariq menjadi marah’, perubahan sifat Tariq pada keadaan marah tidak lantas mengubah nama Tariq menjadi Ali atau Umar. Tariq tetaplah Tariq, namun sifatnya saat itu berubah menjadi sedang marah.


Hal yang sama dapat dilihat pada kalimat hadits: ‘tsumma tasiiru mulkan’ (dan kemudian itu menjadi kerajaan) tidak berarti bahwa hal itu bermakna Khilafah lenyap. Bahkan dalam salah satu narasi, hadits tersebut berbunyi: ‘Khilafah berdasarkan kenabian akan berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian itu menjadi kerajaan.’ Dengan kata lain, apa yang lenyap ialah Khilafah yang berdasarkan kenabian, yakni Khilafah yang sempurna, bukan Khilafah itu sendiri!



Mengomentari pendapat bahwa para penguasa setelah Ali ra adalah para raja, Imam at-Tafthazani berkata, ‘Ini masalah yang pelik, karena dewan perwakilan umat (Ahlul Halli wal ‘Aqdi) yang mewakili umat Islam tetap ada di zaman Khilafah Abbasiyah dan pada masa beberapa Khalifah Bani Marwan, semacam Umar bin Abdul Aziz misalnya. Mungkin maknanya di sini (merujuk pada hadits bahwa Khilafah hanya berlangsung 30 tahun) ialah selain dari Khilafah yang sempurna, dimana tidak ada perbedaan (pendapat) atau penentangan tentangnya (Khalifah yang benar) akan berlangsung selama tiga puluh tahun, dan mungkin setelahnya akan ada atau akan tidak ada Khilafah…Bila perbedaan terjadi setelah masa Khilafah tiga puluh tahun, maka setelah masa urutan dari Khulafaur Rasyidin, umat Islam tidak akan memilih pemimpin dan tidak akan patuh hingga mereka wafat tanpa berbai’at, maka kami kira telah dikemukakan bahwa apa yang dimaksudkannya ialah Khilafah yang sempurna.’


Seperti kita ketahui, seseorang yang mati tanpa berbai’at pada Khalifah maka matinya sama dengan mati jahiliyah, jadi bagaimana nasib umat setelah 30 tahun berlalu? At-Tafthazani menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa umat pada masa itu tidak berdosa, karena hadits hanya merujuk pada Khilafah yang sempurna.



Imam Jalaluddin as-Suyuti (911 H) dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa (Sejarah Para Khalifah) menuliskan sejarah para Khalifah hingga wafatnya Khalifah Mutawakkil Abul ‘Izz pada 903 H dan pengangkatan puteranya, al-Mustamsik Billah. Ia menuliskan dalam pengantar kitab tersebut: ‘Inilah sejarah singkat yang berisi biografi para Khalifah, para Amirul Mukminin, yang menjadi pelayan umat sejak masa Abu Bakar as-Siddiq ra hingga saat ini’. Dan saat itu adalah 900 tahun setelah Hijrah!



Para ulama terkemuka sepanjang zaman memiliki hubungan baik dengan para Khalifah, seperti Abu Hanifah dan al-Mansur, atau ada pula yang bekerja untuk para Khalifah, seperti Qadhi Abu Yusuf yang menjadi Qadhi Qudhat (Kepala Hakim) di bawah kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid, atau mereka ikut berpartisipasi dalam pembai’atan Khalifah, seperti Imam Izz bin Abdussalam, yang memberikan bai’at kepada Mustansir Billah setelah kekalahan pasukar Tatar.



Saat menjelang akhir Khilafah Utsmaniyah, dimana kekuatan-kekuatan kafir besar berkonspirasi melawannya, Syaikhul Hindi, Maulana Mahmud Hasan (yang kemudian menjabat sebagai Kepala Darul ‘Ulum Deoband serta merupakan murid langsung dari Maulana Qasim Nanautavi, pendiri Darul ‘Ulum) pada tahun 1920, mengeluarkan fatwa tentang wajibnya menyelamatkan Khilafah Utsmaniyah dari serangan musuh-musuh Islam.

Sang Maulana yang terhormat berkata: ‘Musuh-musuh Islam tidak meninggalkan secuil batu pun untuk digunakan menyerang kehormatan dan kejayaan Islam. Irak, Palestina, dan Suriah yang dibebaskan dengan susah payah oleh para sahabat Nabi dan pengikutnya dengan pengorbanan yang begitu besar, telah menjadi target rebutan para musuh Islam. Kehormatan Khilafah sedang terancam. Khalifatul Muslimin, yang biasanya menyatukan seluruh umat di planet ini, yang merupakan wakil Allah di bumi ini; menerapkan hukum-hukum Islam, melindungi hak dan kepentingan umat Islam, menyebarkan dan menjaga kesucian firman Allah di seisi semesta, telah dikepung dan dilemahkan oleh para musuh.’ [dari Fatwa Syaikhul Hindi Maulana Mahmud Hasan, 16 Safar 1339 H, 29 Oktober 1920 M, halaman 78 dalam terjemahan bahasa Inggris 'The Prisoners of Malta' karya Maulana Syed Muhammad Mian, diterbitkan oleh Jamiat Ulama-I-Hind]



Selain itu, Maulana Muhammad Ali Jauhar, pendiri Jami’atul Khilafah berkata tentang Khilafah: ‘Sultan Turki adalah Khalifah pengganti Nabi serta Amirul Mukminin, pemimpin orang-orang beriman, dan Khilafah sendiri merupakan wujud keberagamaan kita sebagaimana digariskan oleh Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.’ [Jauhar, Muhammad Ali, My Life a Fragment, hal.41].



Maulana Abul Kalam Azad pun menulis buku pada tahun 1920 yang berjudul ‘The Issue of Khilafat’. Dalam buku itu ia mengatakan: ‘Eksistensi Islam tidak akan berlangsung tanpa adanya Khilafah. Umat Islam India dengan segala upaya dan kekuatan yang dimilikinya harus berjuang demi tegaknya Khilafah.’ Dalam buku tersebut, beliau menuliskan daftar para Khalifah Islam sejak zaman Abu Bakar ra hingga saat ia menuliskan buku tersebut.

Jadi, kita bisa melihat bahwa para ulama sangat memiliki kepedulian pada upaya menjaga kontinuitas Khilafah hingga akhir zaman.



Berlangsungnya kewajiban menjaga Negara Khilafah setelah masa Khulafaur Rasyidin merupakan pilar ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, dan karenanya at-Tafthazani (yang kebetulan adalah ulama Syafi’i) dalam Syarah Aqidah karya Imam an-Nasafi (seorang ulama Hanafi) berkata: ‘Hal yang dapat disepakati adalah kewajiban untuk mengangkat seorang Imam. Perbedaan opini adalah pada masalah apakah pengangkatan harus dilakukan oleh Allah atau makhluk-Nya, dan apakah landasan ini [untuk pengangkatan] berdasarkan nash atau akal. Pendapat yang benar adalah makhluk harus mengangkat seorang Khalifah, karena sabda Nabi saw, ‘Siapapun yang mati tanpa berbai’at pada Khalifah maka matinya sama dengan mati jahiliyah.’

At-Tafthazani juga berkata: ‘Umat Islam harus memiliki seorang Imam, yang akan mengurusi segala urusan mereka, memelihara mereka dari apa yang diharamkan, memimpin mereka dalam peperangan, mempersenjatai mereka, menerima pengaduan mereka, menghukum mereka yang berlaku tidak adil, mencuri, dan merugikan orang lain, memimpin shalat Jum’at dan hari raya, menyelesaikan sengketa di antara makhluk, menerima bukti-bukti berdasarkan hukum, menikahkan para pemuda dan perempuan yang tidak memiliki wali, membagi harta, dan hal-hal lain semacam ini yang tidak dapat diselesaikan oleh orang-orang yang telah dipercaya menyelesaikannya.’ [Syarah ‘Aqidah an-Nasafiyyah, hal.147]

Apa yang dikatakan Imam at-Tafthazani digolongkan sebagai apa yang disepakati golongan Ahlussunnah wal Jamaah, dan nukilan kewajiban mengangkat Khalifah di atas cukup jelas, terlepas dari interpretasi sejarah manapun yang diyakini.

Dalil yang Tegas Tentang Kewajiban Khilafah

Dalil yang Tegas Tentang Kewajiban Khilafah

Kewajiban Khilafah adalah perkara yang jelas dalilnya berdasarkan Al Qur’an , as Sunnah, dan ijmak Sahabat. Meskipun demikian masih ada yang menyatakan bahwa Khilafah tidak memiliki pijakan nash. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang diambil dari kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah ). Kitab ini dikeluarkan dan diadopsi oleh Hizb at-Tahrir. (redaksi)




Pertama, bahwa sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan semesta alam adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem khilafah ini, Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan kitabullah dan sunah rasul-Nya untuk memerintah (memutuskan perkara) sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Dalil-dalilnya banyak, diambil dari al-kitab, as-sunah dan ijmak sahabat :

Dalil dari al-kitab, bahwa Allah Swt telah berfirman menyeru Rasul saw :



فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)



وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).




Seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau saw. Mafhumnya adalah hendaknya umat Beliau mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas. Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas). Hakim yang memutuskan perkara diantara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Sistem pemerintahan menurut sisi ini adalah sistem Khilafah. Terlebih lagi bahwa penegakan hudud dan seluruh ketentuan hukum syara adalah sesuatu yang wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. Dan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Yakni bahwa mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat hukumnya adalah wajib. Penguasa menurut sisi ini adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.



Adapun dalil dari as-Sunah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku : “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda :



مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti kematian jahiliyah (HR. Muslim)



Nabi saw telah mewajibkan kepada setiap muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga mensifati orang yang mati sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat bahwa ia mati seperti kematian jahiliyah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Imam muslim meriwayatkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :



إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ

Seorang imam tidak lain laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung (HR. Muslim)

Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abi Hazim, ia berkata : ” aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :



كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)



Di dalam hadits-hadits ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah yakni perisai. Sifat yang diberikan Rasul saw bahwa imam adalah perisai merupakan ikhbar (pemberitahuan) yang di dalamnya terdapat pujian atas eksistensi seorang imam. Ini merupakan tuntutan. Karena pemberitahuan dari Allah dan Rasul saw, jika mengandung celaan merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan. Dan jika mengandung pujian maka merupakan tuntutan untuk melakukan. Dan jika aktivitas yang dituntut pelaksanaannya memiliki konsekuensi tegaknya hukum syara’, atau pengabaiannya memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan itu bersifat tegas. Dalam hadits ini juga terdapat pemberitahuan bahwa orang yang mengurus kaum muslim adalah para Khalifah. Maka hadits ini merupakan tuntutan mengangkat Khalifah. Terlebih lagi, Rasul saw memerintahkan untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya dalam jabatan khilafahnya. Ini artinya perintah untuk mengangkat Khalifah dan menjaga keberlangsungan khilafahnya dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebutnya. Imam Muslim telah meriwayatkan bahwa Rasul saw pernah bersabda :



وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ

Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)



Perintah mentaati imam merupakan perintah untuk mengangkatnya. Dan perintah memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya merupakan qarinah (indikasi) yang tegas atas wajibnya kelangsungan eksistensi Khalifah yang satu.



Sedangkan dalil berupa ijma’ sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah bersepakat atas keharusan pengangkatan Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal Umar, Utsman bin Affan. Telah nampak jelas penegasan ijmak sahabat terhadap wajibnya pengangkatan Khalifah dari penundaan pengebumian jenazah Rasulullah saw, lalu mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau. Sementara mengebumikan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para sahabat adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya, sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah, sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu mengebumikan jenazah Rasul saw. Rasul saw wafat pada waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan selama malam Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul saw. Maka realita tersebut merupakan ijmak sahabat untuk lebih menyibukkkan diri mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah. Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang kehidupan mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai Khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas wajibnya mengangkat Khalifah baik ketika Rasul saw wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka ijmak sahabat itu merupakan dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat Khalifah.

Penguasa Terlaknat

Penguasa Terlaknat


Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Auf bin Malik, bahwa Rasulullah
saw. pernah bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang
kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian dan
kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka
yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknat mereka
dan mereka pun melaknat kalian.” (HR Muslim).


Bagaimana dengan pemimpin umat Islam sekarang? Tanpa ragu kita mengatakan
hampir sebagian besar pemimpin negeri Islam sekarang ini masuk dalam
kategori seburuk-buruk pemimpin. Sebagian besar pemimpin negeri Islam
justru membenci dan melaknat rakyatnya sendiri. Sebaliknya, rakyatnya pun
demikian. Mengapa rakyat membenci dan melaknat pemimpin mereka sendiri?


Pertama: sebagian besar pemimpin negeri Islam telah melalaikan hak-hak
utama rakyat yang menjadi tanggung jawab pemimpin. Lihatlah, sebagian
besar negeri Islam, meskipun kaya-raya, rakyatnya miskin. Mereka tidak
mendapat makanan, pakaian dan tempat tinggal yang layak. Padahal semua itu
merupakakan kebutuhan pokok manusia. Pendidikan pun sebagian besar mahal
dan tidak berkualitas. Di sisi lain tidak sedikit rakyat yang terlantar
menahan sakit keras hingga ajal menjemput karena biaya kesehatan yang
mahal.


Alih-alih memperhatikan rakyat, para penguasa itu beserta keluarga dan
kroni-kroni pendukung kekuasaannya justru memperkaya diri. Mereka tanpa
malu, di depan rakyat yang menderita, mempertontonkan kekayaaan hasil
kejahatan mereka; merampas kekayaan alam negara dan merampas hak rakyat
dengan cara korupsi, manipulasi dan kolusi.


Kedua: para penguasa zalim di negeri Islam telah menjadi penguasa pemalak
rakyat (jibayah) dan perampok kekayaan negara. Mereka membuat kebijakan
kapitalistik yang memperberat beban rakyat yang sudah berat. Mereka
megutip berbagai pajak dari rakyat. Mereka mengurangi dan mencabut apa
yang mereka klaim sebagai subsidi terhadap rakyat (meskipun hal itu
sebenarnya merupakan hak rakyat). Mereka melepaskan diri dari tanggung
jawab untuk mengurus rakyat, membiarkan rakyat mengurus diri mereka
sendiri. Ironisnya, semua ini mereka lakukan dengan cara menipu.


Di Indonesia hal yang nyata tampak dari UU UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Kebijakan yang memalak rakyat atas
nama jaminan sosial. Hizbut Tahrir Indonesia dalam pernyataan persnya
dengan tegas mengkritik UU yang menipu rakyat ini. Hizbut Tahrir Indonesia
menilai, UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam
memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat serta mengubah jaminan
sosial menjadi asuransi sosial.


UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat menjadi komoditas bisnis.
Bahkan dengan sengaja UU ini akan menciptakan eksploitasi atas rakyat
sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Ini tentu sangat berbahaya
karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada
kuasa pasar yang rakus.


Ketiga: para pemimpin diktator ini telah memberikan jalan yang
seluas-luasnya bagi asing untuk merampok kekayaan alam negeri Islam.
Penguasa lalim itu lebih memilih tunduk pada kebijakan ekonomi dan politik
negara imperialis lewat organ-organ penjajahan mereka seperti IMF dan Bank
Dunia. Kekayaan alam negeri Islam dirampok atas nama pasar bebas,
kebebasan berinvestasi, privatisasi, hutang luar negeri untuk membangun
dan istilah-istilah muluk lainnya.


Ironisnya, semua itu dilegalkan oleh undang-undang negara. Padahal
kekayaan alam negeri Islam, kalaulah digunakan untuk kepentingan rakyat,
tentu lebih dari cukup. Namun, semua itu memang tidak akan pernah cukup
bagi bagi negara-negara rakus yang didukung oleh pemimpin negeri Islam
yang serakah.


Keempat: Sebagian besar pemimpin negeri-negeri Islam adalah diktator yang
represif. Kekuasaan mereka, mereka gunakan secara keji dan brutal untuk
menindas rakyat, membungkam aspirasi rakyat. Penguasa ini menangkap,
menyiksa, membunuh, mengadili secara lalim siapapun dari rakyatnya yang
dianggap mengancam dan berlawanan dengan kepentingan politiknya.


Para pemimpin diktator dan refresif ini bersikap keji, karena mereka telah
menjadi kaki tangan dan boneka negara-negara imperialis. Tuan-tuan mereka
ini telah memberikan tugas khusus kepada mereka: membungkam aspirasi
rakyat dan perjuangan rakyat untuk menegakkan syariah Islam dan Khilafah.
Sebab, penegakan syariah Islam mengancam kepentingan penjajahan Barat di
negeri negeri Islam.


Para penguasa lalim ini pun memberikan label jahat kepada rakyatnya
sendiri. Tujuannya, apalagi kalau bukan membenarkan pembunuhan terhadap
rakyatnya. Umat Islam yang memperjuangkan syariah Islam dan Khilafah
dituduh radikal, teroris, garis keras, ekstremis, militan mengancam negara
dan lain-lain. Kaum Muslim Palestina, Afganistan, Pakistan dan Irak, yang
berjuang membebaskan negeri Islam dari penjajah kafir Amerika dan
sekutunya dicap teroris.


Pemerintah boneka Pakistan dan Afganistan, atas nama perang melawan
militan dan teroris, membiarkan pesawat-pesawat tempur Amerika dan
sekutunya untuk membombardir rakyatnya sendiri.
Di Irak, penguasa boneka, untuk membela kepentingan Amerika, atas nama
membangun negara demokrasi, memberikan jalan kepada tentara-tentara asing
untuk dengan seenaknya membunuh hampir satu juta rakyat Irak. Tanah kaum
Muslim juga diberikan oleh penguasa boneka Saudi dan Turki untuk menjadi
pangkalan militer negara-negara imperialis. Dari sana pesawat Amerika dan
tentara-tentaranya membunuh umat Islam.


Menghadapi para penguasa lalim ini tentu umat Islam tidak boleh diam.
Penguasa lalim ini harus diberikan pilihan jelas: menerapkan syariah Islam
sehingga mereka dicintai dan didoakan oleh rakyat atau pilihan diturunkan.
Namun, perubahan yang harus dilakukan umat Islam tidak boleh berhenti
sekadar mengganti rezim (penguasa) yang lalim ini. Perubahan sekaligus
harus menyentuh sistem yang lalim yang memberikan legitimasi kepada
mereka. Caranya adalah dengan mengganti sistem Kapitalisme jahiliah dengan
sistem Islam di bawah naungan Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. []
Tweet

sumber : dari mbah google

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/08/04/penguasa-terlaknat/

Kisah Seorang Pelacur Muslimah dan Bid’ah

Kisah Seorang Pelacur Muslimah dan Bid’ah



Kisah ini terjadi pada kisaran tahun 1980an. Singkatnya, ada seseorang yang bekerja di sebuah instansi yang bergerak di bidang pembinaan terhadap wanita-wanita tuna susila di negeri ini. Suatu hari, seperti biasanya dia bertugas mengunjungi tempat-tempat lokalisasi / prostitusi di sebuah kota di Jawa Timur. Namun kunjungan kali ini sangat berbeda dari biasanya. Di tengah-tengah kunjungannya itu, dia mendengar ada bacaan surat Al Ikhlas dibacakan pelan tapi masih terdengar dari balik sebuah kamar.



Mendengar bacaan itu, dia merasa penasaran untuk mencari sumber bacaan itu. Dia datangi kamar penghuni lokalisasi itu untuk melihat siapa yang membaca bacaan surat Al Ikhlas berulang-ulang dengan sangat fasih itu. Setelah mengetuk pintu, ia pun dipersilakan masuk oleh penghuni kamar.



Betapa kagetnya si pegawai itu melihat orang di dalam kamar lokalisasi itu adalah seorang wanita muda yang terbalut dengan jilbab kerudung. Singkatnya, terjawablah sudah pertanyaan si pegawai siapa gerangan yang membaca surat Al Ikhlas berulang-ulang. Si wanita pelacur 'muslimah' berjilbab itulah yang membacanya.



Dengan penuh keheran-heranan dan tandatanya besar, si pegawai pun memberanikan diri untuk bertanya kepada si pelacur muslimah, “Mbak, kenapa mbak melacur?” tanya si pegawai.

Mendengar pertanyaan dari si pegawai, si pelacur 'muslimah' tidak marah. Bahkan ia justru tersenyum tertawa.



Melihat si pelacur justru tertawa, si pegawai bertanya kembali, “Kamu tidak merasa bersalah dengan perbuatanmu ini?” tanya si pegawai, lagi.



“Tidak,” jawab si wanita pelacur itu mantap.



Mendengar jawaban mantap yang keluar dari lisan si wanita pelacur, maka si pegawai pun semakin penasaran untuk menelisik lebih jauh tentang latar belakang si wanita muda pelacur itu.



Singkatnya, tersingkaplah sejarah masa lalu si perempuan itu. Diketahuilah, sejak kecil si wanita itu sudah belajar nmengaji (membaca Al Quran) sejak dini di kampungnya. Dia belajar mengaji di bawah didikan kyai di kampungnya. Setelah lancar dan pintar mengaji, ketika umur 12 tahun, pak kyai di kampungnya itu pun memberikannya ijazah kelulusan karena berhasil mengkhatamkan Al Quran.

Di dalam ijazah itu, juga ada sebuah pesan, “Barangsiapa membaca Al Ikhlas 1000 kali setiap hari akan masuk surgatanpa hisab.”



Pesan itu juga dipesankan secara khusus oleh pak kyai yang memberinya ijazah khatam al Quran.

Selanjutnya sejak saat itu sampai hari itu, ia terus menerus rajin membaca surat al ikhlas setiap malam sebanyak 1000 kali tak pernah putus. Demikian akunya.



“Bagaimana saya harus merasa bersalah? Bahkan, sudah selayaknya saya justru merasa bersyukur kepada Allah karena diberikan pekerjaan yang ringan dan dengan penghasilanya pun lumayan,” jawabnya penuh kemantapan tanpa penuh keraguan.



“Dan saya jelas “min ahlil jannah” (penghuni surga_pen) karena sejak menerima ijazah itu saya tidak pernah tidak membaca qul huwallahu ahad (maksudnya: surat Al Ikhlas_pen) setiap harinya,” pungkasnya.



Terungkaplah ternyata alasannya kenapa ia sama sekali tidak merasa bersalah menjadi seorang pelacur bahkan justru bersyukur karena dimudahkan dalam mencari rejeki adalah karena ia MEYAKINI bahwa dia akan menjadi “ahli jannah” berbekal amalan bacaan surat Al Ikhlas 1000 kali setiap hari. Na'udzubillahi min dzalik.



Hikmah dan ibroh (pelajaran) dari kisah ini adalah bahwa ternyata pengaruh bahaya bid'ah bisa sangat menyesatkan dan mengerikan. Keyakinan si pelacur itu akan kepastiannya masuk surga atas amalan yang tidak berdasar itulah yang justru menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan. Na'udzubillahi min dzalik.



*Kisah ini adalah kisah nyata yang terjadi di Indonesia yang diperoleh dari ceramah ustadz Abdullah Sungkar dengan sedikit mengubah alur cerita namun tanpa mengurangi esensi ceritanya.



Ahmed Fikreatif (Blogger/Narablog)



http://www.muslimdaily.net/artikel/islami/7428/kisah-seorang-pelacur-muslimah-dan-bid%E2%80%99ah

Buka Puasa di Forum Kristen, Musdah Mulia Minta Depag Tak Tangani Pendidikan

NB:
Semoga Allah SWT menyegerakan azab-Nya kepada orang-orang munafik

Buka Puasa di Forum Kristen, Musdah Mulia Minta Depag Tak Tangani Pendidikan

JAKARTA (voa-islam.com) – Campur tangan Kementerian Agama dalam dunia pendidikan dituding sebagai biang diskriminasi agama yang menimbulkan kebencian. Karenanya, minta Departemen Agama diminta tak menangani pendidikan di Indonesia, agar pendidikan menjadi satu atap di Departemen Pendidikan.

Hal itu diungkapkan Musdah Mulia dalam Seminar bertema “Tuhan Tolong Pulihkan Bangsa Kami” yang diadakan Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) bekerjasama dengan Perhimpunan Pelayan Penjara PGI.

Menurut tokoh pluralis dan direktur eksekutif Indonesian Conference on Religion and Pease (ICRP) ini, diskriminasi agama merupakan dampak dari pendidikan yang diatur oleh dua departemen, yakni Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Kementerian Agama (Kemenag). Padahal, sebenarnya pendidikan di Indonesia cukup satu atap, yakni ditangani oleh Kemendiknas, bukan kementerian agama.

“Diskriminasi agama terjadi karena problem dalam pendidikan kita di bawah dua atap, agama dan negara sehingga pendidikan kita terbelah. Dengan sistem yang terbelah ini membuat anak-anak juga terbelah,” kata Musdah dalam seminar yang diadakan di Jakarta, Jum’at (5/8/2011) yang dihadiri sekitar 200 orang.

Musdah menambahkan, berdasarkan penelitian ICRP, akibat dari pendidikan dua atap menimbulkan kebencian. Ironisnya, hal ini dibiarkan berlangsung oleh pemerintah.

“Kita jangan mengharapkan dunia pendidikan kita untuk membangun toleransi. Kita harus mulai dari keluarga kita untuk membangun toleran,” ujar dosen dan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) itu.

...Kita hanya memperlakukan Tuhan sebagai mesin cuci... mengaku sebagai orang beragama tapi pelakunya lebih dahsyat dari setan...

Musdah juga mengajak semua untuk jangan diam tapi harus berani berteriak jika negara melakukan diskriminasi.

“Kita hanya memperlakukan Tuhan sebagai mesin cuci. Setiap hari Jumat dan hari Minggu orang padati gereja dan masjid, tapi tak sesuai dengan imannya. Bahkan mengaku sebagai orang beragama tapi pelakunya lebih dahsyat dari setan. Semakin kita beragama semakin tidak manusiawi,” tegas profesor wanita yang kerap dijuluki ‘Ratu Sepilis’ itu.

Acara yang dihadiri oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) dan Theophilus Bela (ketua FKKJ itu ditutup dengan buka puasa bersama. [taz/perisai]


http://www.voa-islam.com/news/south-east-asia/2011/08/11/15759/buka-puasa-di-forum-kristen-musdah-mulia-minta-depag-tak-tangani-pendidikan/

Kaum Sekularis di Bulan Ramadhan

Kaum Sekularis di Bulan Ramadhan



Islam datang untuk mengeluarkan manusia dari sempitnya dunia menuju lapangnya dunia dan akhirat.
Artinya, seorang muslim yang benar imannya tidak pernah beranggapan apalagi berkeyakinan bahwa dunia merupakan segala-galanya apalagi final.

Sedangkan seorang yang berfaham sekular adalah seorang hamba dunia. Ia sangat berkeyakinan bahwa dunia merupakan tempat final untuk mencapai puncak kesuksesan. Bila ia gagal dalam hidupnya di dunia berarti ia telah gagal total, seolah dirinya telah terjerembab ke dalam jurang neraka dengan penderitaan sejatinya. Sebaliknya, bila ia mencapai keberhasilan di dunia ia menyangka dirinya telah mencapai surga yang kebahagiaannya bersifat hakiki. Ini semua lantaran ia sangka bahwa sesudah dunia tidak ada apa-apa lagi. ”It’s now or never, ” begitulah prinsip hidupnya.

æóÞóÇáõæÇ ãóÇ åöíó ÅöáøóÇ ÍóíóÇÊõäóÇ ÇáÏøõäúíóÇ äóãõæÊõ æóäóÍúíóÇ æóãóÇ íõåúáößõäóÇ ÅöáøóÇ ÇáÏøóåúÑõ æóãóÇ áóåõãú ÈöÐóáößó ãöäú Úöáúãò Åöäú åõãú ÅöáøóÇ íóÙõäøõæäó

“Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”.(QS Al-Jatsiyah ayat 24)

Seorang yang berlogika seperti di atas mustahil bisa mendapatkan segenap kebaikan dan hikmah Ramadhan. Mengapa? Sebab bulan agung dan berkah ini hanya diperuntukkan bagi orang yang beriman. Sedangkan mereka yang tidak beriman sulit untuk merasakan keistimewaannya. Coba lihat bagaimana Nabi menjelaskan dan menggambarkan keagungan bulan Ramadhan dalam berbagai pesan beliau.

ÞóÇáó ÑóÓõæáõ Çááøóåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÅöÐóÇ ßóÇäó Ãóæøóáõ áóíúáóÉò ãöäú ÔóåúÑö ÑóãóÖóÇäó ÕõÝøöÏóÊú ÇáÔøóíóÇØöíäõ æóãóÑóÏóÉõ ÇáúÌöäøö æóÛõáøöÞóÊú ÃóÈúæóÇÈõ ÇáäøóÇÑö Ýóáóãú íõÝúÊóÍú ãöäúåóÇ ÈóÇÈñ æóÝõÊøöÍóÊú ÃóÈúæóÇÈõ ÇáúÌóäøóÉö Ýóáóãú íõÛúáóÞú ãöäúåóÇ ÈóÇÈñ æóíõäóÇÏöí ãõäóÇÏò íóÇ ÈóÇÛöíó ÇáúÎóíúÑö ÃóÞúÈöáú æóíóÇ ÈóÇÛöíó ÇáÔøóÑøö ÃóÞúÕöÑú æóáöáøóåö ÚõÊóÞóÇÁõ ãöäú ÇáäøóÇÑö æóÐóáßó ßõáøõ áóíúáóÉò

Bersabda Rasulullah saw: “Bila tiba malam pertama bulan Ramadhan para syaithan dibelenggu, maksudnya jin. Dan pintu-2 Neraka ditutup dan tak satupun yang dibuka dan pintu-2 surga dibuka dan tak satupun yang ditutup dan ada penyeru yang menyerukan: ”Wahai para pencari kebaikan, sambutlah (songsonglah) dan wahai para pencari kejahatan, tolaklah (hindarilah).” Dan Allah memiliki perisai dari api neraka. Dan yang demikian terjadi setiap malam.” (HR Tirmidzi)


Coba perhatikan hadits di atas. Ia sarat dengan ungkapan mengenai perkara akhirat dan alam ghaib. Bagaimana mungkin seorang sekularis akan bisa menerima isi hadits di atas? Hanya seorang yang memang benar-benar beriman akan adanya akhirat dan alam ghaib-lah yang bisa menerima dan akhirnya meyakini kandungan hadits di atas. Namun seorang sekularis pastilah akan mentertawakan dan mengingkari kandungan hadits tersebut. Atau paling jauh ia akan memaksakan penafsiran simbolis dan liberal atas kandungannya.

Itulah sebabnya kita masih sering mendengar pendapat yang seolah melecehkan kegagalan ummat Islam untuk bisa berproduktivitas di bulan Ramadhan setara dengan produktivitasnya di bulan-bulan lainnya. Inilah pendapat seorang sekularis. Mereka masih saja memaksakan cara pandang dunia terhadap sebuah momen yang tolok ukur kemuliaannya tidak bisa ditakar dengan cara demikian.

Oleh karenanya Allah ta’aala sebutkan apa sesungguhnya target keberhasilan orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan.

íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇú ßõÊöÈó Úóáóíúßõãõ ÇáÕøöíóÇãõ ßóãóÇ ßõÊöÈó Úóáóì ÇáøóÐöíäó ãöä ÞóÈúáößõãú áóÚóáøóßõãú ÊóÊøóÞõæäó

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, ” (QS Al-Baqarah ayat 183)

Allah ta’aala inginkan kita mencapai ketaqwaan di bulan Ramadhan. Allah ta’aala tidak menuntut kita agar terpengaruh dengan dunia ini dan terus berlomba meraih kesuksesan dunia di saat pintu-pintu surga sedang dibuka lebar-lebar dan pintu-pintu neraka ditutup rapat-rapat. Alangkah sayangnya, bilamana pada momen begitu besar peluang meraih keberhasilan ukhrowi kemudian manusia masih saja tenggelam dalam perlombaan merebut dunia...!


æóÇÈúÊóÛö ÝöíãóÇ ÂóÊóÇßó Çááøóåõ ÇáÏøóÇÑó ÇáúÂóÎöÑóÉó æóáóÇ ÊóäúÓó äóÕöíÈóßó ãöäó ÇáÏøõäúíóÇ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi.” (QS Al-Qoshosh ayat 77)

Semoga Allah ta’aala jauhkan kita dari masuk ke dalam golongan sekularis. Golongan yang bahkan ketika bulan penuh berkah dan rahmat Allah ta’aala datang mereka masih saja tertipu dan terlena dengan dunia. Sehingga mereka tidak berusaha memanfaatkan peluang emas hujan rahmat Allah ta’aala berupa bulan Ramadhan ini untuk menjadikan hidupnya lebih bermakna dan terarah.

Bagi kalangan sekularis bulan Ramadhan pada akhirnya sama saja dengan bulan-bulan lainnya. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah ta’aala di bulan yang agung ini. Wa na’udzubillahi min dzalika.

Penyusun : Ustadz Ikhsan Tanjung

Capres Diributkan, Rakyat Diabaikan

Capres Diributkan, Rakyat Diabaikan


[Al islam 569] Pemilihan Presiden berikutnya masih 3 tahun lagi, tapi sejumlah
parpol sudah bersiap-siap mencari capres yang akan dijagokan. Partai Golkar
sudah bersiap-siap mencalonkan ketua umumnya, Aburizal Bakrie, sebagai capres
yang akan diusung (detiknews.com,5/8).


Sementara itu PKS melalui politisinya Zulkieflimansyah berancang-ancang
menduetkan Menko Polhukam Joko Suyanto dan pengusaha Trans Corp Chairul Tandjung
sebagai pasangan capres-cawapres (detik.com,5/8). Namun wasekjen DPP PKS Mahfudz
Shiddiq membantah kabar tersebut (pedomannews.com,5/8)


Pendatang baru, partai SRI (Serikat Rakyat Independen) dengan tegas menyatakan
akan mengusung mantan menkeu Sri Mulyani sebagai capres. Bahkan seperti dikutip
detiknews.com (5/8), Arbi Sanit yang juga pendiri partai SRI serius menyatakan
bahwa keputusan itu adalah harga mati. Partainya akan bubar jika Sri Mulyani
menolak menjadi capres.
Sementara itu di kubu PDIP meski menolak untuk menyebutkan kandidat capres di
pemilu 2014, akan tetapi mereka tidak menolak seandainya Megawati Soekarnoputri
dicalonkan kembali sebagai capres.


Adapun Partai Demokrat yang kini berkuasa belum membahas kandidat capres mereka.
Presiden SBY selaku pembina Partai Demokrat, menyatakan tidak akan mencalonkan
anak dan istrinya sebagai capres. Sebaliknya, menurut Sekretaris Dewan
Kehormatan Partai Demokrat, Amir Syamsuddin istri Presiden SBY, Ani Yudhoyono,
qualified sebagai capres dan dukungan internal partai terhadapnya cukup kuat
(detiknews.com, 5/8).


Tidak Pantas


Ramainya pembicaraan kandidat capres-cawapres memang mengherankan. Pemilu
pilpres masih tiga tahun lagi. Banyak kalangan menilai hal ini jauh dari
kepantasan. Pasalnya wacana itu bergulir saat masyarakat sedang fokus pada
penyelewengan kekuasaan, korupsi dan politik uang di berbagai parpol.


Aneh memang, di tengah bertumpuknya masalah bangsa, terutama persoalan korupsi
di berbagai instansi pemerintah termasuk DPR pusat dan Daerah, juga
penyelewengan kekuasaan, dan kasus skandal suap oleh mantan bendahara Partai
Demokrat Nazaruddin yang diduga kuat melibatkan banyak kalangan termasuk ke
dalam tubuh KPK, para politisi dan parpol justru memperlihatkan tabiat haus
kekuasaan mereka.


Padahal berbagai masalah bangsa ini juga banyak ditimbulkan oleh perilaku kotor
dan ambisius kekuasaan mereka. Korupsi oleh anggota DPR dari pusat hingga
daerah, praktek politik uang di pilkada, jual beli kursi DPR, korupsi oleh
kepala daerah adalah bukti bahwa parpol menjadi tempat pembenihan penyelewengan
kekuasaan. Karena para pelaku korupsi itu adalah anggota parpol dan atau
didukung oleh parpol saat pemilu dan pilkada.


Maraknya pembicaraan kandidat capres juga menunjukkan parpol dan para politisi
itu tidak punya perasaan dan tak peduli dengan persoalan rakyat. Di tengah
penderitaan yang membelit rakyat banyak, konsentrasi parpol malah (lagi-lagi)
hanya pada kursi kekuasaan. Padahal kemiskinan dan keterbelakangan negeri ini
kian memprihatinkan. Sebagai catatan, saat ini, utang Indonesia sudah mencapai
Rp 1.900 Triliun. Pemerintah pun didesak agar tidak lagi mengandalkan dana dari
utang luar negeri sebagai salah satu sumber untuk membiayai pembangunan di dalam
negeri. Semakin besar negeri ini mengandalkan utang, makin besar pula
kemungkinan bahaya yang bisa menghancurkan perekonomian negeri ini. Persoalan
utang itu seharusnya lebih pas menjadi "debat panas" para politisi dan parpol,
di DPR dan pemerintah, bukan soal kandidat capres.


Melihat ambruknya perekonomian Amerika Serikat dan Inggris akibat utang,
seharusnya pemerintah, parpol dan DPR serius menanggapi hal ini. Jumlah utang
luar negeri Indonesia sampai kwartal I 2011 mencapai 214,5 miliar dolar AS,
meningkat 10 miliar dolar AS dibanding posisi akhir 2010 (republika.co.id,
5/8/2011).


Sementara itu, negeri ini terus menerus menjadi importir sembako. Untuk beras,
setiap tahun Indonesia mengimpornya dari Thailand dan Vietnam. Jumlahnya terus
meningkat setiap tahun hingga mencapai 282,92% selama Januari hingga Juni 2011
dibandingkan periode yang sama tahun lalu.


Indonesia juga mengimpor daging ayam dari Malaysia. Pada semester I tahun 2011
ini, jumlahnya mencapai 9 ton dengan nilai US$ 29,24 ribu. Indonesia juga
mengimpor teh sebanyak 6,54 ribu ton dengan nilai US$ 11 juta selama 6 bulan
pada tahun ini.


Meski memiliki pantai sangat panjang mencapai jutaan kilometer, ironisnya negeri
ini justru mengimpor garam. Garam diimpor negeri ini terbesar dari Australia,
selain dari India, Singapura, Selandia Baru dan Jerman. Total impor garam sampai
Juni 2011 mencapai 1,8 juta ton dengan nilai US$ 95,42 juta (detikfinance.com,
7/8).


Yang memalukan, bangsa ini juga mengimpor singkong. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik, Indonesia mengimpor ubi kayu dengan total 4,73 ton dengan nilai US$
21,9 ribu dari Januari hingga Juni 2011. Negara Italia merupakan negara dengan
nilai terbesar yaitu US$ 20,64 ribu dengan berat 1,78 ton. Sedangkan Cina
merupakan negara penyuplai ubi kayu impor terbesar yaitu 2,96 ton dengan nilai
US$ 1.273.
Rakyat juga bertubi-tubi dihantam dengan melejitnya harga barang kebutuhan hidup
sebelum ataupun selama bulan Ramadhan. Mendekati lebaran, biasanya harga barang
akan kembali meroket. Belum lagi setiap menjelang lebaran rakyat juga terus
kesulitan mendapatkan transportasi yang terjangkau dan layak. Setiap tahun kita
akan disuguhi dan dipaksa membeli tiket dengan harga selangit akibat tuslah,
padahal kualitas pelayanannya tidak pernah membaik. Apalagi untuk penumpang
kelas ekonomi mereka diperlakukan nyaris bukan seperti manusia.


Ini adalah gambaran betapa bangsa ini terus terpuruk, tidak mandiri dan
mengandalkan bangsa lain. Ironinya, para penguasa, parpol dan politisi seperti
tak peduli dengan kondisi ini. Para penguasa dan parpol biasanya baru mendekati
rakyat menjelang pemilu dan pilkada. Dengan bujuk rayu, janji-janji manis dan
sedikit uang, sembako dan kaos mereka membujuk rakyat untuk memilih mereka atau
wakil-wakil mereka. Inilah siklus lima tahunan yang tidak akan pernah berubah di
alam demokrasi di negeri ini.


Perubahan Total


Walau berulangkali dibuat kecele dengan hasil pemilu — baik pemilu legislatif
maupun presiden –, juga dalam pilkada, rakyat masih tetap percaya bahwa
pergantian kepemimpinan adalah solusi bagi masalah bangsa. Mereka masih termakan
pola lama; bila pemimpinnya baik maka nasib rakyatnya akan baik, bila
pemimpinnya buruk maka nasib rakyatnya akan buruk.


Padahal jika direnungkan, meski sudah berulangkali berganti kepemimpinan, sejak
masa orde lama hingga orde reformasi, kondisi negeri ini justru kian memburuk.
Inilah bukti persoalan bangsa ini bukan hanya pada suksesi kepemimpinan.
Siapapun yang akan menjabat tampuk kekuasaan akan tetap menjalankan pola
pemerintahan yang sama; demokrasi di atas landasan sekulerisme. Hasilnya? Tetap
sengsara.
Meski di orde reformasi kehadiran parpol Islam dan sejumlah kecil syariat Islam
dilaksanakan, tapi tak sebanding dengan kemunkaran yang terjadi. Perzinahan kian
merebak, kejahatan meningkat dan penyelewengan kekuasaan serta korupsi menggila.
Rakyat cukup dipuaskan dengan amalan zikir dan shalawat berjamaah, tarawih
bersama pejabat, dsb. Sementara semangat untuk melaksanakan syariat Islam tetap
dikerdilkan bahkan mengalami stigmatisasi. Dicap radikal bahkan dituduh menjadi
inspirasi gerakan terorisme.


Tidak usah heran pula bila melihat rakyat dan pejabat negeri ini bisa bermuka
dua. Di satu kesempatan hadir di majlis taklim bersama alim ulama dan habaib,
tapi di saat lain hadir di panggung hiburan bersama biduanita yang sensual, atau
terlibat suap menyuap. Bahkan mereka juga ikut-ikutan membebek agenda Barat
untuk memerangi perjuangan penerapan syariat Islam. Al-Quran menggambarkan sifat
dan sikap seperti itu sebagai milik orang-orang munafik yang diancam ditempatkan
di keraknya neraka.


Allah SWT. juga telah mengingatkan kita agar tidak mengangkat orang-orang yang
lebih condong pada kekufuran dan kezaliman sebagai pemimpin, karena mereka hanya
akan mengantarkan umat ini pada kesengsaraan yang lebih dalam lagi.

يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ
ءَامَنُوا
لَا
تَتَّخِذُوا
ءَابَاءَكُم\
618;
وَإِخْوَانَ\
603;ُمْ
أَوْلِيَاءَ
إِنِ
اسْتَحَبُّو\
575; الْكُفْرَ
عَلَى
الْإِيمَانِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan
saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan (QS. at-Taubah [9]: 23).
Para pemimpin seperti itu hanya akan memikirkan kepentingan diri mereka sendiri.
Bagaimana mereka bisa peduli pada rakyat, kalau Allah SWT. yang telah
menciptakan dan memberikan rizki pada mereka saja sudah diabaikan?


Wahai kaum muslimin


Persoalan sesungguhnya umat hari ini adalah tidak diterapkannya hukum Allah.
Bukankah Allah telah menurunkan al-Quran yang menjelaskan jawaban atas segala
persoalan umat manusia? Bukankah ayat-ayat al-Quran itu yang banyak dibaca di
bulan nan agung ini? Lalu kenapa hukum-hukum yang al-Quran yakni hukum-hukum
Allah terus saja diabaikan? Maka saatnya kita sudahi semua itu dengan segera
berjuang penuh kesungguhan untuk menerapkan Syariah Islam dalam bingkai
al-Khilafah `ala minhaj an-nubuwwah. Jika tidak bagaimana nanti kita menjawab
pertanyaan Allah berikut ini?


أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِي\
617;َةِ
يَبْغُونَ
وَمَنْ
أَحْسَنُ
مِنَ اللَّهِ
حُكْمًا
لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50)
WalLâh a'am bi ash-shawâb.[]


Komentar al-Islam


Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional soal kepercayaan
masyarakat yang menurun terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini
tidak dilihat oleh DPR sebagai alasan pembubaran KPK. (Republika, 9/8)


1. Wajar KPK sulit memberantas korupsi. Selama masih menggunakan sistem politik
demokrasi, korupsi akan terus terjadi. Sebab akar masalahnya adalah sistem
politik demokrasi itu sendiri.
2. Terapkan sistem Islam niscaya korupsi akan terbasmi.