Wednesday, July 20, 2022

TAHUKAH ANDA JIKA ANDA SEORANG SEKULER??

 TAHUKAH ANDA JIKA ANDA SEORANG SEKULER??


Oleh : Ustadzah Inayah Faizah


 Sekulerisme merupakan induk dari sistem kapitalisme dan sistem sosialis-komunis. Th 1648 negara2 Kristen Eropa mengadakan Perdamaian Westphalia(Peace of Westphalia) untuk mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan di Jerman. Pada perjanjian ini ditetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan atas konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus&gereja Katolik Roma. sehingga Perjanjian Westphalia dianggap sebagai cikal bakal Sekulerisme. 


 Sekulerisme ini lahir sebagai jalan tengah atau sikap moderat antara dua pemikiran yang kontradiktif yaitu :

1. Pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh rohaniawan gereja di eropa sepanjang Abad Pertengahan( abad V-XV) yaitu pemikiran yg mengharuskan ketundukan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama.

2.Pemikiran sebagian para filsuf&cendekiawan yang mengingkari keberadaan Al-Khaliq.

 

Akibatnya muncullah gerakan2 penentangan terhadap dogma2 gereja yg menjadi pemicu berbagai revolusi tak terkecuali dalam pmbentukan sistem pemerintahan. Pemisahan fungsi Agama dalam seluruh aspek kehidupan (Sekulerisasi)pun terjadi.


Sementara itu di Eropa Timur,Khilafah Ustmani mengalami kemunduran yang sangat cepat. Ditinggalkannya bahasa Arab sebagai Bahasa yg wajib dipelajari,ditutupnya pintu Ijtihad,masuknya paham2/pemikiran2 asing serta berbagai faktor yg menyebabkan kemunduran Islam-pun semakin masiv. Pada Th 1828 di masa Sultan Mahmud II, pemikiran dan sistem sekuler merasuk cepat ke tubuh Khilafah menggantikan pemikiran&sistem Islam.


Sekulerisme melalui jalur Demokrasi masuk lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi,munculnya mentri dalam struktur negara dan disusunnya beberapa undang2 yang diadopsi dari undang2 Barat. Keadaan semakin memburuk karena krisis ekonomi dan kekalahan atas perang Krimea dg Rusia(1856)sehingga negara Kristen Eropa berhasil memaksa Khilafah Ustmaniyah melepaskan diri sebagai Negara Islam sebagai syarat untuk masuk kedalam Keluarga Internasional,akibatnya kontrol terhadap wilayah2nya makin lemah. Hingga hilanglah kekuatan Khilafah Ustmaniyah yg berakhir dg pembubaran kekhilafahan pd tahun 1924.


Diatas hanya sedikit sejarah secara garis besar tentang awal sekulerisme&penyebarannya hingga sampai pd umat muslim. Patutnya kaum muslim sadar bahwa virus sekulerisme ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam.


Pemisahan fungsi agama dalam seluruh aspek kehidupan (baca-sekulerisasi)membuat sebagian besar kaum muslim anti melibatkan agama dalam beberapa urusan umat. Tak hanya dibidang politik yang mereka bilang "jangan bawa2 agama dalam berpolitik",tapi hampir disegala bidang kehidupan. seolah Islam hanyalah agama ruhiyah yang hanya boleh diranah ibadah saja.


Mari kita cek lagi ayat ini :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

[البقرة/208]


“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.” [Al-Baqarah : 208]


Kata kaffah ini berasal dari bahasa Arab,  , yang dalam kamus “al-Munjid” (1986) berarti  (kelompok), atau   (seluruh mereka). Demikian pula dalam A Dictionary of Moderen Written Arabic (1974), kata   diartikan sebagai totality, entirety (keseluruhan, semuanya). Al-Jalalain (1984) menafsirkan kaffah: masuklah ke dalam Islam dengan seluruh keadaan lahir maupun batin. Hal ini juga sejalan dengan tafsiran al-Wajiz (tnp. Th): masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, tidak sebagian-sebagian, dan amalkanlah seluruh hukum-hukumnya, dan tidak bersikap munafik. Al-Maraghi (tnp. Th) menerangkan bahwa ayat itu berarti perintah untuk mengambil Islam secara keseluruhannya, memahami maksud-maksudnya, mengamalkannya, serta menerapkan keseluruhan hukum-hukumnya tanpa terkecuali.


Belum lagi ayat-ayat lain yang mewajibkan kita untuk melakukan setiap amal perbuatan tak boleh terlepas dr hukum-hukum syara'. mulai dari bangun tidur hingga bangun negara, aturan masuk kamar mandi hingga keluar negri-pun ada. Pantaslah jika ada yang mengaku muslim tapi masih menganggap Islam sebagai agama ritual belaka, tak mau menerapkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupannya,bahkan masih mengambil hukum-hukum selain Islam dalam urusan umat, maka akan digolongkan sebagai kaum SEKULER.


Renungkanlah...


وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (50)


“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik [49]. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? [50]”


Tak ada kata terlambat untuk merubah pemikiran, campakkan pemikiran sekuler dan kembali pada pemikiran Islam agar predikat muslim tak hanya sekedar identitas disaat kita wafat saja. wallahu'alam bisshowab..


#UninstallSekulerisme

#InstallIslamKaffah

#khilafahAjaranIslam


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2232422866848395&id=2176570719100277

Sunday, July 17, 2022

CIRI- CIRI ORANG YANG KELIHATAN SHOLEH TAPI PEMIKIRAN MASIH SEKULER

CIRI- CIRI ORANG YANG KELIHATAN SHOLEH TAPI PEMIKIRAN MASIH SEKULER

Oleh : Prof. Dr.Ing. H. Fahmi Amhar 

Orang itu, subhanallah, begitu sholehnya.
Tak pernah ia ketinggalan sholat shubuh di masjidnya. Puasa Dawud juga selalu dikerjakannya. Istri dan putri-putrinya juga memakai jilbab dengan anggunnya. Taddarus Qur'an, ya setiap hari minimal satu juz dibacanya. Menghafal Qur'an bahkan salah satu obsesinya. Dia juga gemar bersedekah ke siapa saja. Atau silaturahmi ke para Ulama dan orang-orang tua.

Shalawat dan dzikir sering menghias bibirnya. Kalau pilih makanan, halal itu nomor satu baginya. Dan pergi umrah menjadi ritual tahunannya. Ya, orang itu begitu sholehnya.

Namun dia menganggap perbankan ribawi tak usah dilarang negara; toh bank syariah sudah dibolehkan, biarlah semuanya saling berlomba. 

Soal HPH, konsensi tambang atau sejenisnya itu bukan urusan ulama; biarlah semua diserahkan kepada para ahlinya.

Ulama juga tidak usah ribut soal hutang luar negeri yang terus berbunga,kalau perlu datangkan pakar dari IMF atau Bank Dunia.

Dia juga menganggap pelacuran di berbagai kota bukan urusannya; toh negara belum mampu memberikan solusi pada para PSK-nya; yang penting dia tidak terlibat, apalagi menikmatinya.

Kalau soal pornografi, ulama silakan menjaga umatnya saja; tidak usah ribut-ribut, apalagi mendemo televisi dan media.

Dia juga menganggap wajar miras ditawarkan di hotel bintang lima; kan ada turis asing atau non muslim yang menikmatinya; yang penting bukan di minimarket di dekat rumahnya.

Dia bahkan menganggap hukuman hudud dan qishash itu tidak perlu ada, karena hukuman yang sekarang ini sudah lebih adil begitu rupa.

Maka ternyata, orang sholeh itu bisa sekuler juga.

Seolah-olah Qur'an yang dia baca, itu hanya untuk individu saja, sama sekali tidak berlaku untuk masyarakat, apalagi negara.

Kita yang selama ini salah duga, seolah-olah, yang sekuler itu pasti fasik lah orangnya. Padahal antara kesalehan individu dan kesalehan sosial, ya inilah bedanya.

Orang sholeh yang sebenarnya tidak pernah membedakan ayat tentang puasa: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al Baqarah: 183),

dengan ayat tentang qishaash atas pembunuhan berencana: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).

Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka siksa yang sangat pedih baginya." (QS. Al Baqarah: 178)

Dia tidak membeda-bedakan ayat, karena semua adalah perintah-Nya. Dan Dia Yang Maha Tinggi lebih tahu tentang segalanya.[]

Sanad ilmu Al allamah Syaikh Taqiyuddin An Nabhani Rahimahullah

 Nih silahkan di simak sanad ilmu Al allamah Syaikh Taqiyuddin An Nabhani Rahimahullah


Ustadz Ahmad bin Mukhtar (anggota grup FTI ini) sedang melakukan penelusuran ke berbagai sumber terkait silsilah guru dan murid, ditemukan ringkasan sanad syaikh Taqiyuddin al-Nabhani sbb:


1. Sanad ilmu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy bersambung ke Imam Ahmad


Syaikh al-Mujaahid Taqiyuddin an-Nabhaniy, dari Syaikh Yusuf bin Isma'il an-Nabhaniy, dari Syaikh Yusuf al-Barqaawiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Hasan asy-Syiththiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Mushthafa bin Sa'id ar-Ruhaybaaniy as-Suyuthiy al-Hanbaliy, dari Syaikh asy-Syihaab Ahmad bin 'Abdullah ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Abu al-Mawaahib Muhammad bin 'Abdul Baqiy ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy dan Syaikh al-'allamah al-Fahhamah 'abdul Qadir bin 'umar at-Taghlubiy ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, [**keduanya**] dari Syaikh 'Abdul Baqiy bin 'Abdul Baqiy ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Mu'ammar 'Abdur Rahman bin Yusuf 'Ali al-Buhuutiy al-Mishriy al-Hanbaliy, dari Syaikh Taqiyuddin bin Ahmad an-Najjaar al-Futuuhiy al-Hanbaliy dari Syaikh Abu al-Qadhiy asy-Syihaab Ahmad bin 'Abdul 'Aziz al-Qaahiriy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Qadhiy asy-Syihab Abu Haamid Ahmad bin Nuur ad-Din al-Hanbaliy dan Syaikh Badr ad-Din Abu al-Ma'aaliy Muhammad an-Naashir al-Mishriy al-Hanbaliy dan asy-Syihab Ahmad al-Jawjariy al-Qahiriy al-Hanbaliy, [**semuanya**] dari Syaikh al-Qadhiy 'Izzuddin abu al-Barkaat Ahmad bin al-Qadhiy Burhan ad-Din al-Kinaaniy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Jamaal 'Abdullaah bin al-Qadhiy 'Ala ad-Din 'Ali al-Kinaaniy al-Hanbaliy, dari 'Ala ad-Din Abu al-Hasan 'Ali ad-Dimasyqiy al-Hanbaliy, dari Syaikh al-Fakhr 'Ali bin Ahmad al-Maqdisiy al-Hanbaliy (dikenal sebagai Ibn al-Bukhaariy), dari Syaikh Abu 'Ali Hanbal bin 'Abdullah ar-Rishaafiy al-Hanbaliy, dari Syaikh Abu al-Qaasim Hubatullaah bin Muhammad al-Hanbaliy, dari Abu 'Ali al-Hasan bin 'Ali at-Tamiimiy al-Baghdaadiy (dikenal sebagai ibn al-Mudzhib al-Wa'izh al-Hanbali) , dari Syaikh Abu Bakr Ahmad bin Ja'far al-Qathii'iy al-Hanbaliy, dari 'Abdullah bin al-Imaam Ahmad bin Hanbal, dari al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibaaniy


2. Sanad ilmu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy bersambung ke Imam at-Tirmidziy


الشيخ تقي الدين النبهاني عن الشيخ يوسف بن اسماعيل عن الشيخ إبراهيم السقا ، عن ثعيلب بن سالم الفشني ، عن الشهاب أحمد بن عبد الفتاح الملوي والشهاب أحمد بن الحسن الجوهري ،كلاهما ( أي الملوي والجوهري ) عن عبد الله بن سالم البصري ، عن الشمس محمّد بن العلاء البابلي ، عن الشيخ سالم بن محمّد السنهوري ، عن النجم محمّد بن أحمد الغيطي ، عن القاضي زكريا بن محمّد الأنصاري ،عن العزّ عبد الرحيم بن محمّد المعروف بابن الفرات الحنفي ، عن أبي حفص عمر ابن الحسن بن مزيد بن أميلة المراغي ، عن الفخر علي بن أحمد بن البخاري الحنبلي ، عن أبي حفص عمر بن محمّد بن طَبَرْزد البغدادي ،أخبرنا أبوالفتح عبد الملك بن عبد الله بن أبي سهل الكَروخي ، عن أبي عامر محمود بن القاسم الأزْدي ، أخبرنا أبو محمّد عبد الجبار بن محمّد بن عبد الله الجرَّاحي المَرْوزِي , أخبرنا أبو العباس محمّد بن أحمد المَحْبُوبي , أخبرنا الامام أبو عيسى محمّد بن عيسى بن سَوْرَة التِرْمِذي


3. Sanad Ilmu Syaikh Taqiyuddin bersambung hingga Imam al-Bukhariy


الشيخ تقي الدين النبهاني عن الشيخ يوسف بن اسماعيل عن الشيخ ابراهيم بن حسن السقا (١٢١٢ - ١٢٩٨) عن الشيخ محمد بن محمد الامير الصغير - محدث (١٢٤٦) عن ابيه محمد الامير الكبير عن الشيخ علي بن محمد العربي السقاط عن الشيخ محمد بن احمد بن عقيلة عن المحدث الكبير الشيخ حسن بن علي العجيمي المكي عن الشيخ عيسى بن محمد الثعلبي عن الشيخ سلطان بن احمد المزاحي عن الشيخ احمد بن خليل السبكي عن الشيخ محمد بن احمد الغيطي عن الشيخ زَكَريَّا بنِ مُحمَّدٍ الأنْصَارِي (926)، عَنْ الحَافظِ أحمَدَ بنِ عَليِّ بنِ حَجَرٍ العَسْقَلانيِّ (852)، وهُو بسَماعِه لجَمِيْعِه عَلى الحَافِظِ أبي إسْحَاقَ إبْرَاهيمَ بنِ أحمَدَ التَّنُوخِي البَعْلي الأصْلِ، ثُمَّ الدِّمِشْقِي (709-800)، بسَماعِه لجَمِيْعِه على الشيخ أبي العَبَّاسِ أحمَدَ بنِ أبي طَالِبِ بنِ نِعْمَةَ بنِ الشِّحْنَةِ الحَجَّارِ (624-730) عن الشيخ السِّرَاجُ أبُو عَبْدِ اللهِ بنُ الحُسَينِ بنِ المُبَارَكِ الزَّبِيْدِيُّ الحَنْبليُّ (546-631) عن الشيخ أبو الوَقْتِ عَبْدُ الأوَّلِ بنُ عِيْسَى بنِ شُعَيْبٍ السِّجْزيُّ (458-553) عن الشيخ أبو الحَسَنِ عَبْدُ الرَّحمنُ بنُ مُحمَّدِ بنِ الم

ُظَفَّرِ بنِ مُعَاذٍ الدَّاوُدِيُّ (374-467) عن الشيخ أبُو مُحمَّدٍ عَبْدُ اللهِ بنُ أحمَدَ بنِ حمُّوْيَه السَّرَخْسِيُّ (293-381) عن الشيخ أبُو عَبْدِ اللهِ مُحمَّدُ بنُ يُوسُفَ بنِ مَطَرِ بنِ صَالِحٍ بنِ بِشْرِ بنِ إبْرَاهِيْم البُخَارِيُّ الفَرَبْرِيُّ (231-320) عن الإمَامُ أبُو عَبْدِ اللهِ مُحمَّدُ بنُ إسْماعِيْلَ بنِ إبْرَاهِيْم بنِ المُغِيرَةِ الجُعْفِيُّ البُخَارِيُّ رَحِمهُ الله


4. Sanad ilmu Syaikh Taqiyuddin yang bersambung hingga Imam asy-Syafi'iy


*تقي الدين النبهاني* عن يوسف بن اسماعيل النبهاني عن *شمس الدين محمد الانبابي الشافعي* عن ابراهيم بن محمد الباجوري عن شيخيه محمد الفضالي والسيد حسن بن درويس القويسني كلاهما عن عبدالله ابن حجازي الشرقاوى عن *محمد بن سالم الحفني* عن ابي حامد محمد بن محمد البديري عن البرهان ابراهيم بن حسن الكورانى عن الصفى احمد بن محمد القشاغي سماعا لبعضه واجازه لسائره عن *الشمس محمد بن احمد الرملي الصغير* اجازه عن *شيخ الاسلام زكرياء بن محمد الانصارى* عن *الحافظ ابن حجر العسقلانى* عن الصلاه محمد بن احمد بن ابى عمرو المقدسي عن مسند الدنيا الفخر ابى الحسن غلى بن احمد بن عبد الواهد السعدي عرف بابن البخاري عن ابي المكارم احمد بن محمد اللبان وابي جعفر محمد ابن احمد بن نصر الصيدلاني كلاهما عن ابي على الحسن بن احمد الحداد عن *الحافظ ابي نعيم احمد بن عبدالله الاسبهاني* عن ابي العباس محمد بن يعقوب الاصم قال اخبرنا ابومحمد الربيع بن سليمان المراري قال اخبرنا به *الامام المجتهد ابو عبدالله محمد bبن ادريس الشافعى المطلبى القرشي*

Thursday, July 14, 2022

HUKUM HUKUM SYIRKAH

 HUKUM HUKUM SYIRKAH


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Pengertian Syirkah


Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku(fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziridalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).


Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).


Hukum Dan Rukun Syirkah


Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi Saw bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:


Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:


Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].


Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:

(1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;

(2)dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);

(3) obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:

(1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;

(2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).

Macam-Macam Syirkah


Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukumsyirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:

(1)syirkah inân;

(2) syirkah abdan;

(3) syirkah mudhârabah;

(4) syirkah wujûh; dan

(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148).

An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân,abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah(Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).


Syirkah Inân


Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.


Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.


Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).


Syirkah ‘Abdan


Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.


Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).


Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).


Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].


Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya dengan taqrîrbeliau (An-Nabhani, 1990: 151).


Syirkah Mudhârabah


Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilahmudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnyaqirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).


Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah.


Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja.


Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).


Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Saw) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.


Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath,Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).


Syirkah Wujûh


Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).


Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).


Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).


Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).


Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).


Syirkah Mufâwadhah


Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).


Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).


Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.


Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujudsyirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûhantara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.


Daftar Pustaka

1. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.

2. Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute.

3. Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.

4. Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.

5. —————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. Darus Salam.

6. Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.

7. Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.

8. Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.

Kisah Shalahuddin Al Ayyubi dan Impiannya Untuk Berhaji

 Kisah Shalahuddin Al Ayyubi dan Impiannya Untuk Berhaji


Shalahuddin, nama itu kita kenang dengan megah dan indah di hati. Sosok pahlawan yang terkenal dengan kalimatnya, "bagaimana bisa aku tersenyum, sementara Al Quds terjajah?"


Namun kali ini ada sebuah kisah tentang beliau yang jarang kita dengar. Kisah tentang azamnya untuk berhaji, yang tertunda sebab beliau tak punya biaya. Begini kisahnya...


Setelah melakukan perjuangan panjang membebaskan setiap jengkal bumi suci Palestina, Shalahuddin memutuskan untuk melakukan perjalanan haji. Ia berniat haji di tahun 588 Hijriah (1192 M), tepat setelah menyepakati gencatan senjata antara beliau dan Raja Richard The Lionheart dari Inggris.


Gencatan senjata itu bernama perjanjian Ramla, dan isinya adalah kesepakatan bahwa Baitul Maqdis tetap berada di tangan Kaum Muslimin tapi umat Kristen diizinkan untuk menziarahinya. Kemudian yang kedua; Tentara salib akan tetap mempertahankan pantai Syiria dari Tyre sampai ke Jaffa.


Perjanjian itu telah disepakati, dan niat Shalahuddin untuk haji pun semakin meninggi. Namun kondisi keuangan pribadinya ternyata tak memungkinkannya untuk berangkat. Para menteri dan orang-orang dekat Shalahuddin memberi tahu bahwa kas pribadi Shalahuddin telah sampai ke status di bawah garis kemiskinan. Kas negara pun sedang menipis, karena banyak sekali yang digunakan untuk berjihad melawan pasukan Salib.


Akhirnya, para penasihat Shalahuddin memberi saran untuk menunda haji tahun depannya lagi. Setidaknya ada 2 pertimbangan mengapa niat haji itu perlu ditunda. Pertama, agar Shalahuddin dan kafilah yang dipimpinnya bisa datang berhaji ke Makkah sekaligus menyantuni para faqir di kota suci. Yang kedua, adalah karena Richard —pemimpin pasukan Salib— dikhawatirkan akan menyerang Baitul Maqdis selagi Shalahuddin berangkat haji.


Akhirnya Shalahuddin menunda niat hajinya meski rindu telah berbuncah ingin bertamu ke Baitullah dan berziarah ke Kota Rasulullah ﷺ. Beliau tetap melakukan tugasnya sebagai kepala negara: melepas jama'ah haji pada bulan Dzulqa'dah 588 Hijriah, dan menyambut mereka lagi setelah pulang haji pada bulan Shafar di tahun yang sama.


Namun titah Allah berkata lain. Allah telah menyiapkan takdir yang berbeda bagi impian Shalahuddin. Di bulan Shafar, setelah menyambut kedatangan jama'ah haji, Shalahuddin jatuh sakit. Di akhir bulan Shafar, Shalahuddin menghembuskan napasnya yang terakhir. Beliau wafat dalam keadaan tak ada uang yang cukup bahkan untuk dibelikan kain kafan. Maka orang-orang saling berinfaq untuk memenuhi kebutuhan jenazahnya.


Bayangkan, kawan. Shalahuddin, nama itu megah dan gagah, dikagumi musuh dan dicintai sahabat. Namun Shalahuddin, raja negeri kaya Mesir dan Syam itu, wafat dalam keadaan telah mendermakan dunianya sepenuhnya di jalan Allah. Impiannya untuk bertamu ke Baitullah, dibalas Allah dengan kesyahidan yang indah untuk langsung menghadap-Nya, berbaris bersama para syuhada dan pejuang kebenaran. Rahimahullah rahmatal abraar.


Gen Saladin | @gen. saladin | t.me/ gensaladin


Sumber : Qanat Harakah At Tarikh, Prof. Dr Ali Muhammad Al Audah Al Ghamidi, Pakar Sejarah Perang Salib


========


حافظوا على الإسلام في حال صحتكم وسلامتكم لتموتوا عليه، …. من عاش على شيء مات عليه، ومن مات على شيء بُعث عليه


Jagalah Islam pada diri kalian sewaktu sehat dan selamat agar kalian mati dalam keadaan berIslam. Siapa yg hidup dengan menjalani suatu keadaan maka demikianlah keadaanya ketika mati. Dan bagimana keadaannya ketika mati demikianlah keadaanya ketika dibangkitkan (Imam Ibnu Katsir rahimahullah) https://t.co/z0R5AZZ8JG

Friday, July 8, 2022

QADHA' DAN QADHAR dalam kitab NIDZOM AL ISLAM

 " QADHA' DAN QADHAR dalam kitab NIDZOM AL ISLAM"

( sedikit pembahasan , bukan untuk memperdebatkan)


Oleh : Asma'


(Sebelum baca siapkan kopinya)


Al-Faqir akan mencoba berbagi ilmu berkenaan Qadha dan Qadar.


Telah kita maklumi bersama bahwa pembahasan Qadha dan Qadar ini memiliki ragam penafsiran. Namun terlepas dari itu semua, penulis akan mencoba berbagi ilmu Qadha dan Qadar yang penulis pahami dari Kitab Nizham Al-Islam karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani.


Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani memisahkan Qadha dan Qadar sebagai dua komponen yang berbeda.


Pertama-tama yang harus dipahami bahwa manusia hidup di dalamnya. Area pertama yakni area yang menguasai manusia , area kedua yakni area yang dikuasai oleh manusia. Bagaimana maksudnya?


Area pertama, area yang menguasai manusia dan manusia tidak memiliki andil sedikitpun. Dalam area ini Syaikh Taqiyuddin membagi menjadi dua bagian berkenaan kejadian-kejadian yang menimpa manusia.


Pertama, kejadian yang ditentukan oleh nizhamul wujud (Sunatullah). Yakni, kejadian yang manusia manusia dipaksa tunduk kepadanya. Manusia harus berjalan sesuai ketentuannya dan manusia tidak bebas memilih. Misalnya, manusia datang dan meninggalkan dunia ini tanpa kemauannya, manusia tidak dapat memilih dalam kondisi apa ia dilahirkan, manusia tidak dapat memilih bagaimana keadaan fisiknya ketika dilahirkan. Itu semua mutlak diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala tanpa ada pengaruh atau hubungan sedikitpun dari hamba-Nya.


Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh nizhamul wujud, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, yang tidak akan mampu dihindari dan tidak terikat dengan nizhamul wujud. Yakni, kejadian atau perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya, yang manusia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak. Misalnya, seseorang yang menembak burung tetapi secara tidak sengaja justru mengenai seseorang hingga mati.


Area kedua, area yang dikuasai oleh manusia. Area ini berada di bawah kekuasaan manusia dan semua perbuatan ataupun kejadian yang muncul berada dalam lingkup pilihannya sendiri. Misalnya, manusia mau memilih pekerjaan halal atau haram, memakan makanan halal atau haram, memilih berlari atau berjalan, dan kejadian semacamnya merupakan area yang dikuasai oleh manusia.


Segala kejadian yang terjadi pada area yang menguasai manusia inilah yang dinamakan qadha (keputusan Allah), sebab Allah-lah yang memutuskannya tanpa andil manusia. Karena itu, seorang hamba tidak dimintai pertanggung jawaban atas kejadian ini, betapapun besar manfaat ataupun kerugiannya, disukai atau dibenci, meski kejadian tersebut mengandung kebaikan ataupun keburukan menurut tafsiran manusia.


Adapun qadar, Syaikh Taqiyuddi An-Nabhani menguraikan bahwa semua perbuatan baik yang berada pada area yang menguasai manusia maupun area yang dikuasai oleh manusia, semuanya terjadi dari benda menimpa benda, baik benda itu berupa unsur alam semesta, manusia, maupun kehidupan. Allah subhanahu Wa Ta'ala telah menciptakan khasiat (sifat dan ciri khas) tertentu pada benda. Misalnya, api diciptakan dengan khasiat membakar, sedangkan kayu terdapat khasiat terbakar, dan seterusnya.


Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menjadikan khasiat-khasiat bersifat baku sesuai dengan nizhamul wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. Apabila suatu waktu khasiat ini melanggar nizhamul wujud, maka itu karna Allah Subahanhu Wa Ta'ala telah menarik khasiatnya. Tetapi hal ini adalah sesuatu yang berada di luar kebiasaan dan hanya terjadi bagi para Nabi yang menjadi mukjizat bagi mereka.


Seperti halnya khasiat yang terdapat pada benda, maka pada diri manusia telah diciptakan pula berbagai gharizah (naluri) serta kebutuhan jasmani. Pada naluri dan kebutuhan jasmani ini juga telah ditetapkan khasiat-khasiat seperti halnya pada benda-benda. Misalnya, gharizah nau' (naluri mempertahankan keturunan) telah diciptakan khasiat dorong seksual. Begitupun dalam kebutuhan jasmani tekah diciptakan khasiat seperti lapar, haus, dan sebagainya. Dalam potensi naluri, terdapat tiga naluri yang melekat pada diri setiap manusia. Yakni, naluri berkasih sayang / menambah keturunan (gharizatun nau'), naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa'), dan naluri mensucikan sesuatu / naluri beragama (gharizatun taddayun).


Khasiat-khasiat ini memiliki qabiliyah (potensi) yang dapat digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah Allah. Bisa juga digunakan untuk berbuat kejahatan bila melanggar perintah dan larangan Allah. Baik itu dilakukan dengan menggunakan khasiat-khasiat yang terdapat pada benda, atau dengan memenuhi dorongan naluri dan kebutuhan jasmaninya.


Perbuatan itu menjadi baik bila sesuai dengan perintah dan larangan-Nya, dan sebaliknya menjadi jahat apabila bertantangan dengan perintah dan larangan-Nya. Misalnya, seseorang menggunakan golok yang tajam untuk menyembelih hewan qurban dengan tata cara sesuai tuntunan rasul, maka dia telah menggunakan khasiat tajamnya golok tersebut sesuai perintah Allah. Berbeda ketika seseorang menggunakan khasiat tajam pada golok untuk melukai orang lain dengan maksud jahat, seperti begal dan sebagainya, maka dia telah menyalah gunakan khasiat tajam pada golok dan melanggar perintah serta larangan Allah.


Ok yuk kita coba menyederhanakan semua pembahasan di atas tadu dengan analogi singkat biar mudah difahami.


Mukidi merupakan seorang anak yang dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki, berkulit sawo matang, lahir di solo. Inilah area yang menguasai manusia yang ditentukan oleh nizhamul wujud. Mukidi tidak dapat memilih lahir dengan jenis kelamin apa, fisik seperti apa, lahir dimana, dan sebagainya.


Mukidi bermain bola, Mukidi menendang bola tersebut ke arah gawang. Namun bola tersebut justru melaju ke arah gerobak pedagang bubur, sehingga kaca gerobak tersebut pecah. Inilah area yang menguasai manusia namun tidak ditentukan oleh nizhamul wujud.


Saat hendak menendang bola, Mukidi memiliki pilihan, apakah mau menendang dengan keras atau pelan, meniatkan memasukan bola ke gawang, atau justru memang berniat dan sengaja menendang bola ke arah gerobak tukang bubur. Inilah area yang dikuasai manusia.


Khasiat bola adalah keras, khasiat tendangan adalah menghantarkan bola ke suatu tempat, khasiat kaca adalah mudah pecah. Inilah yang dinamakan khasiat pada benda.


Setelah bermain bola Mukidi merasa haus, Mukidi memenuhi rasa hausnya tersebut dengan membeli air mineral di warung. Berbeda dengan Opung yang memenuhi rasa hausnya dengan mencuri air mineral di warung yang sama. Inilah yang dimaksud khasiat atau potensi yang terdapat pada manusia. Mukidi memenuhi rasa haus yang merupakan kebutuhan jasmaninya sesuai syariat Allah, sedangkan Opung memenuhi rasa hausnya bertentangan dengan syariat Allah.


Semoga dengan penjabaran ini, kita dapat memahami qadha dan qadar dengan baik dan benar. Sebab pemahaman yang salah akan melahirkan pengamalan yang salah pula. Seperti halnya pemahaman yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia besertanya amal perbuatannya, sehingga menjadi legalitas bagi seseorang untuk melakukan kejahatan. Padahal Allah tidak memaksa seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Mana mungkin Allah mengharamkan pencurian, tapi Allah mentakdirkan seseorang menjadi seorang pencuri.


Wallohu A'lam Bish-shawab!


Jika masih belum faham

MAKANYA YUK NGAJI !


#BelajarIslamKaffah

#IslamSolusinya

Monday, July 4, 2022

Kritik hizbuttahrir terhadap sistem khilafah

 KRITIK HIZBUT TAHRIR TERHADAP SISTEM KHILAFAH 


Kata sebagian orang Hizbut Tahrir nggak adil, sebab kebobrokan demokrasi dibuka lebar-lebar sementara kebobrokan kekhalifahan disembunyikan. Lalu dikatakan standar ganda.


Sekalipun hal ini ditujukan terhadap Hizbut Tahrir, tetapi orang yang ada di luar Hizbut Tahrir pun berhak memberikan komentar. Apalagi orang tersebut dengan hati yang bersih telah mengkaji beberapa buku yang di-halaqah-kan di Hizbut Tahrir.


Siapa pun yang berhati bersih dan memiliki akal yang jernih, maka akan melihat bahwa Hizbut Tahrir telah memberikan kritik terhadap sejarah penerapan syariat Islam pada masa dulu. Dalam banyak buku yang dikeluarkan Hizbut Tahrir, sangat jelas terlihat bahwa Hizbut Tahrir telah mengkritik berbagai macam kesalahan penerapan syariat Islam pada masa dulu.


Dan perlu diketahui, kritik yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir ini bukan hanya kritik atas kesalahan-kesalahan yang selama ini kasat mata di hadapan kebanyakan orang, seperti muktazilah yang menguasai kekhalifahan Abbasiyah selama beberapa waktu, perjalanan sejarah kekhalifahan bani Umayyah yang berdarah-darah, peristiwa Karbala yang menumpahkan darah cucu Rasulullah, kezaliman dan kefasikan Yazid bin Muawiyah (Yazid I), pengangkatan Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah yang menjadi cikal bakal sistem dinasti (wilayatul 'ahdi), dan lain-lain.


Tetapi Hizbut Tahrir juga telah mengkritisi berbagai kesalahan penerapan langkah-langkah yang ditempuh para khalifah itu dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan begitu, Hizbut Tahrir memahami bahwa kesalahan itu agar tidak lagi terulang di masa yang akan datang saat Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah kembali ada.


Di antara kritik Hizbut Tahrir adalah pengangkatan Yazid bin Muawiyah (Yazid I). Hal ini bisa dijumpai dalam buku Nizhamul Hukmi fil Islam karangan amir Hizbut Tahrir kedua, Syaikh Abdul Qadim Zallum. Tentang hal ini bahwa Syaikh Zallum menyebutnya sebagai "bid'ah" dan kemungkaran yang belum pernah dilakukan para sahabat Rasulullah saw. Padahal, sebagaimana dipahami Hizbut Tahrir, kekhilafahan itu adalah hak kaum muslim, bukan hak keluarga khalifah sebelumnya.


Dalam konteks itu juga, Hizbut Tahrir mengkritik Muawiyah yang mengancam kaum muslim, termasuk dua sahabat yang mulia yaitu Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar, dengan uang dan pedang, agar mereka memilih Yazid, anaknya. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, khilafah adalah aqad, antara kaum muslim (atau wakilnya) dan calon khalifah. Lantas, bagaimana bisa ada ancaman di sana? Tentu ini adalah sebuah kesalahan.


Kritik yang lain. Dalam buku Ajhizah Daulah al-khilafah disebutkan pada pembahasan tentang wali, Hizbut Tahrir telah mengkritik pandangan tentang pengangkatan wali dengan kepemimpinan umum, agar melakukan pengangkatan wali dengan kepemimpinan khusus. Ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi kalau-kalau wali dengan kepemimpinan umum itu memiliki ketakwaan yang lemah. Jika lemah, maka kepemimpinan wali tersebut akan berpotensi memisahkan diri dari khalifah dan memunculkan penguasa-penguasa kecil (di daerah) dalam negara khilafah, sebagaimana pernah terjadi pada masa khilafah Abbasiyah. Padahal, kepemimpinan dalam Islam itu bersifat tunggal, dan sistem politik khilafah adalah kesatuan (sentralisasi). Inilah juga yang dulu dijadikan dasar bagi Hizbut Tahrir Indonesia untuk mengkritik kelahirkannya UU Otonomi Daerah di Indonesia, sebab dalam pandangan Hizbut Tahrir (secara teori politik) hal itu bisa memecah kesatuan Indonesia.


Hizbut Tahrir juga mengkritik pandangan yang menginginkan khilafah menjadi negara mazhab. Misalnya khilafah berdiri atas dasar Mazhab Hambali, Mazhab Wahabi, Mazhab Asy'ari, Mazhab Muktazilah, atau Mazhab Syiah, dan sebagainya. Sebab, jika khilafah yang berdiri adalah khilafah mazhabiyah, maka secara politik hal ini akan berpotensi menimbulkan berbagai macam konflik horizontal dan menimbulkan kemadharatan sebagaimana pernah terjadi pada masa khilafah Bani Abbasiyah. Walau secara hukum syara' diperbolehkan sebuah negara khilafah menganut suatu mazhab tertentu, tetapi Hizbut Tahrir mengkritik hal tersebut dan memilih untuk mengadopsi pandangan bahwa negara hendaknya tidak berdiri atas dasar mazhab tertentu.


Kritik lain yang juga dilontarkan terkait syarat baginseorang khalifah, yaitu harus seorang ulama (atau bahkan mujtahid) dan juga harus keturunan Quraisy. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, kedua jenis syarat tersebut bukanlah syarat in'iqad (syarat pengangkatan), melainkan hanyalah syarat afdhaliyah (keutamaan). Sehingga, kalau pun seorang khalifah itu bukan merupakan seorang mujtahid atau dari keturunan Quraisy, hal itu tidaklah mengapa. Sebab, itu hanyalah syarat keutamaan (lebih utama), dan bukan syarat pengangkatan (sah diangkat). Dalil-dalil yang mewajibkan seorang khalifah harus Quraisy dinyatakan oleh Hizbut Tahrir 'hanyalah' dalil yang bersifat ikhbar (berita), dan bukan berbentuk thalab (tuntutan). Pembahasan tentang hal ini, bisa dirujuk di dalam buku-buku yang ditulis oleh para ulama Hizbut Tahrir semisal an-Nizham al-Hukm fil Islam, atau Ajhizatu Daulah al-Khilafah, atau buku-buku yang lain.


Dalam kritik yang terakhir tersebut, memang Hizbut Tahrir agak bertentangan dengan banyak ulama yang mengharuskan khalifah adalah keturunan Quraisy. Hanya saja, berdasarkan hasil penggalian hukumnya, Hizbut Tahrir meyakini bahwa syarat tersebut adalah syarat keutamaan. Sehingga pendapat ini tetap dipegang oleh Hizbut Tahrir sekalipun bertentangan dengan pendapat banyak ulama. Dan Hizbut Tahrir tidak sendiri dalam hal ini. Syaikh Dr. Muhammad Yusuf Musa dari kalangan ulama kontemporer pun menyatakan hal yang sama. Dalam buku al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami (terjemahannya Pengantar Studi Fikih Islam) beliau mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa ketika orang-orang Quraisy sudah mulai melemah kecakapannya dalam kepemimpinan, sudah mulai bercerai berai (saling bertikai) dan terbuai dengan dunia, maka syarat ini sudah tidak lagi relevan. Juga karena Asy-Syari' (Allah swt) tidak mengkhususkan hukum pada suatu generasi tertentu. Ketika mengutip ini, Dr. Muhammad Yusuf Musa pun menyetujuinya.


Ini adalah sekian dari berbagai kritik Hizbut Tahrir terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam sistem Khilafah pada masa dulu. Hanya orang-orang yang berhati bersih lah yang akan mampu mencerna itu semua. Namun bagi orang yang di dalam hatinya bersembunyi rasa dengki, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun selain rasa dengki yang terus tumbuh. Para pendengki itu mengkaji sejarah khilafah, bukan untuk diambil pelajaran darinya. Melainkan untuk dijelek-jelekkan, karena hanya membongkar keburukannya. Jika ini dilakukan oleh orang kafir yang memusuhi Islam, barangkali kita bisa memakluminya. Tapi mungkinkah orang Islam melakukan hal semacam itu? Naudzubillahi min dzalik.


Wallahu a'lam.


Ust Agus Trisa

-----------

Friday, June 24, 2022

KHILAFAH DAN PEMIKIRAN KETATANEGARAAN WARISAN RASULULLAH

 KHILAFAH DAN PEMIKIRAN KETATANEGARAAN WARISAN RASULULLAH


Oleh: Ust Yuana Ryan Tresna, M.Ag

(Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah)


Khalifah dan Khilafah


Sistem pemerintahan warisan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khilafah. Nabi bersabda,


 أُوصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak Habsyi, karena sesungguhnya siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak.  Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid‘ah adalah kesesatan. (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah).


Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini berturut-turut dari Walid bin Muslim, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma‘dan, dari Abdurrahman bin Amr as-Sulami dan Hujr bin Hujr. Keduanya berkata: Kami pernah mendatangi al-‘Irbadhi bin Sariyah. Lalu al-‘Irbadhi berkata, "Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat subuh. Beliau kemudian menghadap kepada kami dan menasihati kami dengan satu nasihat mendalam yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, 'Wahai Rasulullah, ini seakan merupakan nasihat perpisahan. Lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?' Beliau bersabda, “Aku mewasiatkan kepada kalian...”


Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalur yang lain, Ibn Majah, Imam al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Hibban dalam Shahih Ibn Hibban, al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain dan ia berkomentar, "Hadits ini sahih, dan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Baihaqi al-Kubra.


Maknanya, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, "Aku mewasiatkan kepada kalian, hendaklah selalu bertakwa kepada Allah.” Ini menunjukkan wajibnya takwa secara mutlak, dalam hal apa saja, dimana saja dan kapan saja.


Kemudian Beliau bersabda, "Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnah (jalan/jejak langkah)-ku dan sunnah (jalan/jejak langkah) Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham.” Sunnah dalam hadits ini menggunakan makna bahasanya, yaitu thariqah (jalan/jejak langkah). Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kita untuk mengambil dan berpegang teguh dengan jejak langkah Beliau dan Khulafa’ur Rasyidin. Perintah ini mencakup masalah sistem kepemimpinan, karena konteks pembicaraan hadits ini adalah masalah kepemimpinan. Artinya,  hadits ini merupakan perintah agar kita mengikuti corak dan sistem kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yaitu sistem Khilafah. Beliau sangat menekankan perintah ini dengan melukiskan (dengan bahasa kiasan) agar kita menggigitnya dengan gigi geraham.


Para ulama juga telah mengulas masalah ini secara global. Istilah khilafah, diungkapkan pula oleh para ulama dengan istilah imamah, yakni al-imamah al-’uzhma, keduanya bentuk sinonim (mutaradif) karena esensinya sama, yakni topik kepemimpinan dalam Islam.


Imam al-Mawardi al-Syafi’i mengatakan,


الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به


Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta pengaturan urusan dunia.[1]


Imam al-Haramain al-Juwaini al-Syafi’i menyebutkan,


الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا


Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.[2]


Imam al-Ramli al-Syafi’i juga mengatakan,


الخليفة هو الإمام الأعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا


 Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.[3]


Adapun Imam al-Nawawi al-Syafi’i berpendapat,


الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يُقيم الدين وينصُر السنة وينتصف للمظلومين ويَستوفي الحقوق ويضَعها مواضعَها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …


…Pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan mengenai metode (jalan untuk mewujudkannya). Adalah suatu keharusan bagi umat adanya seorang imam yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang didzalimi, menunaikan hak, dan menempatkan hak pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurusi urusan imamah itu adalah fardhu kifayah.[4]


Adapun Imam Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i –begitu pula para ulama lainnya- pun mengumpamakan din dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar[5], lalu Al-Ghazali menegaskan,


الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع


Al-dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.[6]


Konsep al-Dar


Bahasan tersebut di atas terkait dengan kewajiban mengangkat seorang Khalifah dan adanya sistem Khilafah. Adapun terkait dengan konsep negara yang memiliki wilayah yang di atasnya diterapkan hukum Islam dan kontradiksinya dengan wilayah yang tidak menerapkan Islam, para ulama membahas dalam bahasan al-Dar.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah, di mana di dalamnya dituturkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


أُدْعُهُمْ  إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَـابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مــا لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَـا عَلَى الْمُهَـاجِريْنَ


"... Serulah mereka kepada Islam, maka apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (Darul Kufur) ke Darul Muhajirin (Darul  Islam   yang berpusat di Madinah); dan beritahukanlah kepada mereka bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum muhajirin.”


Istilah Dar al-Islam dan Dar al-Kufr telah dituturkan di dalam Sunnah dan Atsar para shahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,


"Semua hal yang ada di dalam Dar al-Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam Dar al-Syirk telah dihalalkan".[7] 


Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Dar al-Islam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Dar al-Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar'i. Sedangkan penduduk Dar al-Kufr, maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar'i yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan darahnya[8].


Di dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwasannya ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hirah. Di dalam surat itu tertulis, "….Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah); yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dahulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Maal kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Dar al-Hijrah dan Dar al-Islam.  Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Dar al-Hijrah, maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka.."[9]


Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan, bahwa frase Dar al-Islam, adalah istilah syar'i yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Dar al-Islam dan Dar al-Kufr.


Para fuqaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka.   Dengan penjelasan para fuqaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam. 


Al-Kasa’i di dalam kitab Bada’i' al-Shana’i', mengatakan,


"Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha kami, bahwa Dar Kufr (negeri kufur)  bisa berubah menjadi Dar al-Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana.  Mereka berbeda pendapat mengenai Dar al-Islam; kapan ia bisa berubah menjadi Dar al-Kufr?  Abu Hanifah berpendapat; Dar al-Islam tidak akan berubah menjadi Dar al-Kufr kecuali jika telah memenuhi tiga syarat. Pertama, telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufr di dalamnya. Kedua, meminta perlindungan kepada Dar al-Kufr.  Ketiga, kaum Muslim dan dzimmi tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanan yang mereka dapat pertama kali, yakni, jaminan keamanan dari kaum Muslim". Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, "Dar al-Islam berubah menjadi Dar al-Kufr jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur.”[10]


Di dalam Hasyiyah Ibnu 'Abidin atas kitab Al-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, disebutkan, "Dar al-Islam tidak akan berubah menjadi Dar al-Harb….(karena) misalnya, orang Kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan kepada mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut tidak menjadikan Dar Islam berubah menjadi Dar al-Harb jika telah memenuhi tiga syarat.  Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat; cukup dengan satu syarat saja; yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.."[11]


Dengan demikian Dar al-Islam adalah negara yang menerapkan hukum Islam, dan keamanan negara tersebut di bawah jaminan kaum Muslim. Dar al-Kufr adalah negara yang menerapkan syari’at kufur, dan keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim.


Al-Dar dan Tatanegara Modern


Konsep Dar al-Islam tersebut sulit dibayangkan jika bukan dalam bentuk negara sebagaimana dimaksud dalam konsep tatanegara modern. Hal itu terutama ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Hukum-hukum tersebut antara lain adalah:


• Penetapan status kewarganegaraan. Seseorang diketahui bahwa ia seorang kafir dzimmi, kafir mu’ahid, kafir musta’min, atau kafir harbi, jika  ada batas wilayah negara yang jelas.


• Hukum jihad fi sabilillah. 

Adanya negara dan batas negara yang jelas juga berhubungan erat dengan hukum jihad di jalan Allah sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anfal Ayat 39.


• Hukum perjanjian antar negara. 

Al-Quran telah menyitir dan menjelaskan secara rinci hukum-hukum perjanjian antara Dar al-Islam dengan Dar al-Kufr (lihat QS. At-taubah: 4)


• Hukum bersiaga di perbatasan negara. Kemestian adanya negara dan batas teritorial yang jelas dan tegas, juga ditunjukkan dengan kewajiban untuk bersiap siaga di perbatasan negara. (Lihat QS. Ali Imran: 200)


• Hukum hijrah. 

Imam Ahmad dan al-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah bersabda, “Hijrah itu tidak ada putus-putusnya selama musuh itu masih diperangi.” 


Imam Bukhari meriwayatkan hadits, bahwa ‘Aisyah pernah ditanya tentang hijrah, beliau menjawab, “Hari ini tidak hijrah lagi, yang ada adalah seorang mukmin yang membawa lari agamanya kepada Allah dan Rasul, karena khawatir kena fitnah.” Hijrah adalah berpindah dari wilayah Dar Kufr, menuju wilayah Dar al-Islam.


Kesimpulan


Mengatakan bahwa Khilafah adalah ajaran Islam namun bukan sebuah sistem tatanegara, adalah kesalahan yang amat fatal. Khilafah adalah ajaran Islam yang bermakna sebuah sistem pemerintahan dalam Islam dan meniscayakan sebagai konsep tatanegara sebagaimana yang dipahami dewasa ini. Hal itu didukung fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Wallahu a'lam.


Bandung, 9 Rabi'ul Awwal 1441 H


*) Disadur dari kata pengantar (sambutan) penulis pada Buku "Fiqih Khilafah dalam Madzhab Syafi'i"


===

[1] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5

[2] Al-Haramain, Ghiyats al-Umam fil Tiyatsi al-Zhulam, hlm.15

[3] Al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i, Juz 7, hlm. 289

[4] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz III, hlm. 433.

[5] Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 128.

[6] Ibid. Penuturan senada diutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi, Imam al-Qal’i al-Syafi’i, Imam Ibn al-Azraq al-Gharnathi, dan lainnya.

[7] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 60.

[8] Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital, juz 1, hlm. 661

[9] Abu Yusuf, al-Kharaj, hlm. 155-156.

[10] Al-Kasa’i, Bada’i' al-Shana’i', juz 7, hlm. 130.

[11] Hasyiyyah Ibnu 'Abidin, juz 3, hlm. 390


------------

Thursday, June 23, 2022

Hidup Indah dalam Naungan Khilafah

 Hidup Indah dalam Naungan Khilafah

____________________________________  


Hampir seratus tahun setelah penghapusannya, nyaris tiada lagi di dunia saat ini yang pernah melihat realitas Negara Khilafah.  Banyak orang yang bicara tentang Khilafah. Mirip orang-orang buta meraba gajah yang belum dikenal seutuhnya.  Yang meraba kakinya mengira gajah itu mirip pohon.  Yang meraba perutnya mengira gajah itu mirip dinding.  Yang meraba ekornya mengira gajah itu mirip cambuk.  Demikianlah seterusnya.


Pertama: Ada yang mengira Khilafah sekadar mekanisme pergantian kekuasaan (suksesi).  Karena Nabi saw. tak memberikan petunjuk bagaimana memilih penggantinya, maka tak ada prosedur baku suksesi ini. Berarti caranya terserah kita. Mau monarki boleh. Mau demokrasi tak masalah. Semuanya islami.  Ini diyakini oleh KH Ma’ruf Amin dan Prof. Mahfud MD.


Kedua: Ada yang menganggap Khilafah itu hanya ada di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja), karena tak diakui kalangan Syiah.  Karena Aswaja itu yang beraqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah, maka mereka yang tak jelas berakidah Asy’ariyah atau Maturidiyah, bila bicara Khilafah, tak perlu digubris.  Ini sepertinya keyakinan Buya Yahya.


Ketiga: Ada yang berpegang pada dalil bahwa Khalifah itu hak Quraisy.  Jadi Turki saja tidak sah. Apalagi kita. Jadi tidak usah dibahas. Itu bukan urusan kita.  Ini antara lain sikap Prof. Azyumardi Azra.


Keempat: Sikap di atas dipersempit lagi dengan dalil lain bahwa Khilafah itu cuma 30 tahun. Setelahnya adalah kerajaan.  Jadi menurut mereka, tak ada jejak khilafah di Nusantara, karena dari Umayah, Abbasiyah hingga Utsmaniyah itu bukan Khilafah.  Ini antara lain sikap Prof. KH Said Agil Siradj, meski bertentangan dengan kata pengantar beliau pada Ensiklopedi Tematik Islam karya Dr. Syafi’i Antonio tahun 2012.


Kelima: Sejumlah ahli hukum tata negara seperti Prof. Jimly Asshidiqie menyebut Khilafah adalah theokratik. Theokratik adalah semua sistem pemerintahan yang didasari agama.  Menurut dia, sistem theokratik tak lagi dapat mengikuti modernitas. Makin ditinggalkan. Jadi bicara khilafah itu setback ke masa lalu.


Keenam: Khilafah adalah negara non nation-state dengan pemerintahan non demokratik.  Karena itu sistem ini jelas anti Pancasila, karena bertentangan dengan asas negara bangsa (diklaim ada di sila-3) dan asas demokrasi (diklaim ada di sila-4).  Ini antara lain pendapat Wiranto sewaktu menjadi Menkopolhukam. Karena itu ormas yang mempropagandakan Khilafah layak dibubarkan.


Ketujuh: Khilafah adalah sistem pemerintahan yang mewujudkan maqashid syari’ah.  Ini antara lain pendapat Prof. Ahmad Zahro dari UIN Sunan Ampel.  Namun menurut dia, NKRI sudah mewujudkan seluruh maqashid syari’ah itu. Jadi hakikatnya NKRI sudah Khilafah.


Kedelapan: Khilafah itu adalah negeri yang berdiri berdasarkan tauhid.  Jadi yang penting kuatkan tauhid dulu, bersihkan dari bid’ah-bid’ah. Insya Allah Khilafah akan tegak dengan sendirinya. Jadi tidak usah bicara Khilafah dulu.  Ini sikap sebagian kalangan salafi.


Kesembilan: Khilafah itu janji Allah. Pasti akan tegak kembali.  Tetapi janji itu ya tidak harus tergesa-gesa. Dulu bisyarah Nabi saw. bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan juga realisasinya baru 830 tahun kemudian. Jadi tak usah ngotot harus sekarang. Tergesa-gesa itu tidak baik.  Ini antara lain pendapat KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha).


Kesepuluh: Khilafah itu kemanusiaan, karena Allah ciptakan Adam sebagai Khalifatul fil Ardh (QS 2:30), pemimpin kemanusiaan.  Jadi jangan memusuhi Khilafah, karena itu misi penciptaan manusia di bumi.  Ini pendapat Emha Ainun Najib (Cak Nun).


Kesebelas: Khilafah itu negara besar ideologis multinasional.  Jadi bila sekarang ada ‘Kekhilafahan’ Amerika atau ‘Kekhilafahan’ Eropa, mengapa tak boleh memperjuangkan Kekhilafahan Islam?  Ini pendapat Prof. Daniel M Rasyid, cendekiawan Muslim yang juga guru besar ITS Surabaya.


Aneka persepsi ini sering menyebabkan diskusi tidak “nyambung”. Berlanjut ke debat kusir. Bahkan ke intimidasi dan persekusi.


Dalam tulisan ini, penulis ingin menggunakan deskripsi berikut ini:


 


Khilafah adalah sistem penerapan seluruh syariah Islam yang terkait dengan publik yang fardhu kifayah, yang hanya berjalan efektif dengan kehadiran negara. Khilafah sekaligus metode mempersatukan umat Islam sedunia dan menyebarkan rahmat ke seluruh alam. Di dalamnya ada berbagai sistem seperti sistem ekonomi, pendidikan, pergaulan, hubungan internasional, dll. Jadi tak cuma sistem pemerintahan, apalagi cuma suksesi. Kekuasaan dalam Khilafah ada pada umat. Keamanan negara di tangan kaum Muslim. Khalifahlah yang bertanggung jawab memilih dan menerapkan salah satu pendapat fikih Islam yang paling kokoh dalil syar’i maupun manat al-hukmi-nya. Semua ditujukan untuk kebaikan seluruh alam. Tak hanya bangsa tertentu, golongan tertentu, bahkan tak hanya untuk manusia.


 


“Epistemologi Turats”


Kita wajib berpikiran terbuka. Tidak terjebak pada “epistemologi peraba gajah”.  Kita tak boleh berhenti pada gambaran Khilafah seperti dalam sejarah bani Umayah hingga Utsmaniyah, yang mungkin saja bias pemuja atau pencela.  Kita wajib merujuk pada warisan Nabi saw. dan salafus shalih yang ada dalam kitab-kitab turats. Menemukan konsep yang komprehensif dan memproyeksikan di kehidupan modern.  Inilah “epistemologi turats”.  Dengan metode ini kita akan menyimpulkan bahwa hanya Khilafahlah negara yang ideal.


Pertama: Khilafah adalah satu-satunya negara saat seluruh syariah Islam diterapkan secara kaffah. Umat beragama lain pasti dilindungi.  Islam pasti diterapkan karena ini menyatu dalam definisi.  Khilafah adalah negara yang menerapkan syariah Islam. Kekuasaannya di tangan kaum Muslim.  Begitu Islam disingkirkan, atau kedaulatannya tergadai kepada asing, maka otomatis negara itu tak lagi disebut Khilafah.  Ketika suatu hukum Islam yang qath’i dihapus, Khalifah juga kehilangan legitimasinya dan wajib dipecat.


Dalam Khilafah umat beragama lain (ahlul dzimmah) pasti dilindungi. Ini adalah perintah syariah. Namun demikian, kewajiban negara menjaga agama (Hifzh ad-Din). Termasuk menjaga agama adalah:  memfasilitasi dakwah; memfasilitasi dan memberi kesempatan shalat fardhu bagi setiap Muslim di manapun; memfasilitasi shaum Ramadhan; menarik dan mendistribusikan zakat; memfasilitasi haji dan umrah; mencegah munculnya kasta rahbaniyah (kerahiban Islam); memperlakukan sesuai syariah orang-orang murtad, yaitu dengan menyadarkannya, dan bila perlu hingga menghukumnya mati.  Dengan cara ini tak ada lagi yang berani menista agama, atau mengolok-olok Nabi saw., dengan alasan apapun.


Kedua: Menjaga harta (Hifzh al-Mal) kaum Muslim. Ini berarti ekonomi yang diberlakukan juga hanya ekonomi syariah. Bukan lagi “dual sistem”, yakni ekonomi syariah dan konvensional (kapitalis atau sosialis) bersama-sama.


Ekonomi syariah berlaku tak hanya dalam perbankan, pegadaian dan asuransi; tetapi seluruh aktivitas ekonomi.  Dari pengelolaan sumberdaya alam (air, tanah, udara, energi, mineral, hutan, laut); pengumpulan modal (pembentukan perusahaan, perbankan, investasi, pasar modal); ketenagakerjaan, sistem perdagangan domestik dan internasional, hingga moneter (sistem & alat pembayaran) dan fiskal (sistem penganggaran & perpajakan).


Yang ingin diciptakan adalah ekonomi real yang terdistribusi adil, mengayomi orang-orang majinal, serta sejahtera berkelanjutan.  Urusan pangan, sandang dan papan yang minimal dan layak dijamin oleh Negara.  Negara bekerja keras agar setiap lelaki akil balig yang sanggup bekerja, juga sehat, terdidik dan merasa aman. Dengan itu mereka bisa mencari nafkah dan mencukupi keluarganya.  Baru bila mereka tak mampu, Negara hadir, langsung maupun tidak.


Infrastruktur produksi dan distribusi ekonomi adalah kewajiban Negara.  Mekanisme non ekonomi seperti nafkah, zakat, infak dan wakaf juga digiatkan dan didukung negara melalui infrastruktur adminsitrasinya. Negara memiliki informasi akurat tentang siapa dan di mana bertanggung jawab atas siapa saja; atau siapa dalam tanggungan siapa.


Bila ada suami meninggalkan istrinya begitu saja, atau ayah menyia-nyiakan anaknya, Negara pasti menemukannya dan memaksa memenuhi tanggung-jawabnya. Ini jejaring keluarga yang dioptimalkan Negara.  Baru bila ada yang memang sebatang kara, atau seluruh kerabatnya miskin juga, maka Negara membantu langsung.  Negara juga membantu ketika ada orang yang kesulitan mengembalikan barang temuannya, menagih piutangnya, atau melaksanakan wasiat maupun hak warisnya.


Harta juga dilindungi dari seluruh distorsi, baik distorsi yang bisa dikehendaki seperti riba dan judi, maupun yang umumnya tidak dikehendaki seperti korupsi, pencurian dan perampokan.  Negara menerapkan pembuktian terbalik atas penyelenggara Negara yang kekayaannya di luar kewajaran.  Namun, hukuman yang keras pada pelaku kriminal ini adalah langkah terakhir dari syariah untuk melindungi harta.


Ketiga: Pergaulan sosial yang diberlakukan tidak hanya sebatas asesori dengan busana syar’i.  Menjaga nasab (Hifzh an-Nasab) secara terhormat adalah kewajiban syariah yang juga dibebankan pada Negara.  Bahkan Negara dengan informasi kependudukan yang dimiliki, dapat menjembatani rakyatnya yang ingin menikah, dan membantunya hingga memiliki keluarga yang utuh dan menghasilkan generasi yang shalih.  Negara bahkan memfasilitasi perempuan yang ingin fokus pengasuhan anak (hadhanah), menyiapkan tempat khusus menyusui, atau memberikan tunjangan pengasuhan.


Media massa didorong mempromosikan keluarga yang sakinah, hidup bertetangga dan keluarga besar yang saling silaturahmi. Bukan mengekspos perselingkuhan, skandal-skandal artis atau kekerasan di rumah tangga.  Negara menjaga kehormatan (Hifzh al-Iffah) setiap warga, Muslim maupun ahludz-dzimmah.


Negara mempromosikan sikap menahan diri meski benar, sikap menutupi aib pribadi setiap warga, sikap sabar pada cobaan, sikap tawadhu’ meski berprestasi, hingga sikap kesatria atas kesalahan.  Negara juga memfasilitasi konsultasi warga yang menghadapi masalah.


Negara memberikan sanksi kepada orang yang mengolok-olok; bahkan mengancam hukuman berat kepada para pelaku perzinaan, penuduh perzinaan yang tak sanggup membawa 4 saksi, perkosaan, LGBT, bahkan pembuat dan penyebar pornografi dan pornoaksi.


Keempat: Dalam administrasi pemerintahan, diberlakukan sistem yang mudah, murah dan cepat.  Pelayanan terhadap rakyat bersifat pro-aktif. Tidak hanya menunggu keluhan atau laporan.  Kontrol umat atas para penguasa didorong, dengan semangat yang sama seperti para Sahabat mengawasi Khulafaur Rasyidin.


Khilafah adalah negara dengan kedaulatan hukum ada pada Asy-Syari’ (Allah SWT), kekuasaan eksekutif ada pada umat melalui penguasa pilihannya, dan aktivitas koreksi atas eksekutif adalah jihad terbaik.  Ini aktivitas menjaga negara (Hifzh ad-Dawlah).


Negara bisa menerapkan cara-cara modern dalam menjaring tokoh-tokoh yang mewakili umat dalam Majelis Umat, bahkan menggunakan teknologi tercanggih yang praktis dalam Pemilu calon khalifah.  Yang jelas seluruh calon khalifah wajib memenuhi syarat-syarat in’iqad, yaitu: Muslim, laki-laki, aqil (tidak gila), balig (dewasa), adil (tidak fasiq), merdeka (bukan budak/boneka) dan mampu (memiliki kompetensi minimum dan bersedia).


Negara menjaga kesatuan negeri Islam dengan memperlakukan semuanya dengan baik. Tidak rasis atau elitis.  Negara mempromosikan dan memfasilitasi musyawarah, memfasilitasi munculnya partai-partai politik berasas Islam, dan memfasilitasi ijtihad baik dalam hukum maupun teknologi untuk memberikan solusi aneka persoalan baru.


Negara menerapkan politik dakwah terhadap negara kafir, baik dengan hardpower maupun softpower.  Untuk itu Negara mengembangkan industri pendukung jihad, membantu berhijrah kaum tertindas di negeri lain, hingga berjihad untuk membebaskan negeri-negeri yang terjajah.


Kelima: Dalam hukum & peradilan.  Tak ada yang lebih diharapkan dalam sebuah negara kecuali kepastian hukum yang adil.  Dalam demokrasi, parlemen atau legislatif dapat mengubah UU apapun, bahkan UUD sesuai hawa nafsu mereka.  Namun dalam Islam, hal-hal qath’i yang tertanam dalam al-Quran dan hadis mutawwatir tak bisa diubah siapapun.  Perubahan hanya dimungkinkan pada penafsiran yang berbeda pada hal-hal yang zhann, atau ijtihad pada berbagai persoalan baru.  Adapun seperti hak-hak minoritas (ahludz-dzimmah) itu tidak bisa dibatalkan hingga Hari Kiamat.


Dengan hukum yang baik, negara akan menjaga akal sehat (Hifzh al-‘Aql).  Ketika seluruh rakyat terdidik, baik dalam syakhsiyah Islam maupun sains dan teknologi, maka tugas negara menegakkan hukum jauh lebih mudah.  Saat iklim rasional berkembang di masyarakat, negara meninggalkan segala yang tidak memiliki dalil atau dasar ilmiah, suara ulama dan ilmuwan didengar, maka angka kepatuhan hukum akan meningkat.


Segala hal yang bertentangan dengan akal sehat seperti khamr, narkoba, pornografi dan perdukunan diberantas sampai ke akar-akarnya.


Keenam: Dalam aspek keamanan, diberlakukan perlindungan yang menyeluruh, baik di dalam maupun di luar negeri, atas setiap warga negara dan seluruh Muslim.  Setiap warga negara Khilafah yang dalam perjalanan di dalam maupun di luar negeri tidak perlu memikirkan asuransi.  Negara yang menjaminnya. Demikian pula warga asing yang dibolehkan berkunjung ke negeri Khilafah.  Bahkan perlindungan ini juga dinikmati oleh Muslim warga negara asing, sebagaimana dulu terjadi pada masa Abassiyah.  Kalau mereka dilecehkan, apalagi disakiti, bala tentara Khilafah siap datang menyelamatkannya.


Khilafah juga mengantisipasi terhadap segala bencana yang mungkin terjadi di seluruh wilayahnya. Negara proaktif mengecek bangunan-bangunan publik agar tahan gempa, bebas banjir, aman dari kebakaran, dan juga potensi bencana lainnya.  Bahkan bencana iklim global yang nyaris luput dari perhatian, yang berakibat punahnya flora dan fauna, juga diperhatikan.  Rakyat juga terus dibimbing untuk selalu peduli dan tanggap bencana.


Menjaga kehidupan (Hifzh an-Nafs) itu kewajiban negara.  Dengan sistem ekonomi, negara menjamin setiap penduduk bebas dari kelaparan.  Dengan sistem kesehatan negara melindungi rakyat dari ancaman penyakit.  Dengan Qadhi Hisbah juga mengawasi agar pangan yang beredar hanya yang halal dan thayyib.


Bahkan anak yatim, kaum lansia, penyandang diffabilitas, serta dhuafa dan fakir-miskin semua dipastikan kehidupan dan keamanannya agar tidak terlantar atau dieksploitasi para penjahat, termasuk mafia organ tubuh.


Di dalam negeri negara juga menjaga keamanan (Hifzh al-Amn) dengan mendamaikan perselisihan/konflik horizontal, memfasilitasi persaksian yang benar saat dibutuhkan, tetap berlaku adil sekalipun terhadap orang-orang yang dibenci, menyediakan peradilan yang fair, menghukum pengacau/teroris, hingga mengatasi pemberontakan (bughat) dengan cara-cara persuasif.


Seperti inilah gambaran Khilafah yang dicita-citakan.


WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Prof. Dr. Fahmi Amhar]

Wednesday, June 22, 2022

Anak muda islam

 PANTAS MEREKA TAKUT


Ustadz.Budi Ashari


Anak-anak muda yang membahayakan. Para teroris hadir. Sel-sel baru bermunculan. Pengajian-pengajian sumbernya. Masjid pusatnya. Terutama masjid sekolah-sekolah dan kampus. Kumpulan mereka perlu diwaspadai dan diawasi.


Lihatlah pola yang menggiring secara bertahap tapi pasti.Hasilnya sangat terlihat. Para orangtua banyak yang khawatir begitu melihat anaknya berubah menjadi baik. Seorang ibu ketakutan saat melihat anaknya liburan dari pesantrennya, karena melihat pakaian putrinya itu sangat rapi menutup aurat sesuai syariat Islam. “Apa anak saya sudah kerasukan pemikiran radikal?”


Efek buruk dan jahat ini merasuki otak dan hati para orangtua tanpa disadari. Dan anehnya, para orangtua lebih nyaman melihat anaknya bergaul tanpa batas. Itulah yang dianggap wajar. Mereka senang melihat anaknya menghabiskan waktu untuk melamun, karena dianggapnya sedang puber. Aneh...


Dan akhirnya para orangtua tanpa disadari memberi ‘wejangan’, “Hati-hati kalau ngaji di masjid.” Anak-anak muda yang rumit memilah jenis pengajian, akhirnya memutuskan untuk duduk-duduk di kafe, nongkrong di jalanan, bahkan tempat-tempat dosa. Dan mereka pun jauh dari masjid.


Luar biasa bukan...rencana jahat menjauhkan generasi muda dari masjid. Karena mereka sadar, tapi kita tidak sadar. Mereka tahu, tapi kita tidak tahu. Mereka membaca sejarahnya, kita tidak. Bahwa kebangkitan Islam itu berawal dari kebangkitan anak-anak mudanya.


Dengarkan penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya saat menjelaskan tentang kata: Fityah (pemuda), dalam Surat Al Kahfi,


“...Untuk itulah kebanyakan yang menyambut (seruan) Allah dan Rasul Nya shallallahu alaihi wasallam adalah pemuda. Adapun orang-orang tua dari Quraisy, kebanyakan mereka tetap bertahan dalam agama mereka dan tidak masuk Islam kecuali sedikit saja.”


Untuk lebih menjelaskan kalimat tersebut, mari kita baca tulisan DR. Mahmud Muhammad ‘Imaroh, Dosen Universitas Al Azhar Mesir. Beliau menuliskan data usia mereka yang masuk Islam di masa dakwah rahasia Nabi (sepanjang 3 tahun), dalam buku beliau Khawatir wa taammulat fis sirotin nabawiyyah, h. 125-129. Beliau mengambilnya dari dari Majalah Al Wa’yu Al Islamy, Edisi 77. Perlu diingat di awal, jika ada perbedaan tentang usia dalam buku-buku siroh adalah merupakan hal yang wajar. Di sini dinukilkan apa adanya dari buku tersebut:


1. Ali bin Abi Thalib 8 tahun

2. Zubair bin Awwam 8 tahun

3. Thalhah bin Ubaidillah 12 tahun

4. Arqam bin Abil Arqam 12 tahun

5. Abdullah bin Mas’ud Menjelang 15 tahun

6. Said bin Zaid Belum 20 tahun

7. Saad bin Abi Waqqash 17 tahun

8. Mas’ud bin Rabi’ah 17 tahun

9. Ja’far bin Abi Thalib 18 tahun

10. Shuhaib Ar Rumi belum 20 tahun

11. Zaid binHaritsah menjelang 20 tahun

12. Utsman bin Affan sekitar 20 tahun

13. Thulaib bin Umair sekitar 20 tahun

14. Khabbab bin Art sekitar 20 tahun

15. Amir bin Fuhairoh 23 tahun

16. Mush’ab bin Umair 24 tahun

17. Miqdad bin Aswad 24 tahun

18. Abdullah bin Jahsy 25 tahun

19. Umar bin Khattab 26 tahun

20. Abu Ubaidah bin Jarrah 27 tahun

21. Utbah bin Ghazwan 27 tahun

22. Abu Hudzaifah bin Utbah sekitar 30 tahun

23. Bilal bin Rabah sekitar 30 tahun

24. Khalid bin Said sekitar 30 tahun

25. Amr bin Said sekitar 30 tahun

26. Ayyasy bin Abi Rabi’ah sekitar 30 tahun

27. Amir bin Rabi’ah sekitar 30 tahun

28. Nu’aim bin Abdillah sekitar 30 tahun

29. Utsman bin Madz’un sekitar 30 tahun

30. Abdullah bin Madz’un 17 tahun

31. Qudama bin Madz’un 19 tahun

32. Saib bin Madz’un sekitar 10 tahun

33. Abu Salamah bin Abdul Asad sekitar 30 tahun

34. Abdurahman bin Auf sekitar 30 tahun

35. Ammar bin Yasir antara 30-40 tahun

36. Abu Bakar 37 tahun

37. Hamzah bin Abdul Muthalib 42 tahun

38. Ubaidah bin Harits 50 tahun

39. Amir bin Abi Waqqash masuk Islam setelah urutan orang ke-10

40. As Sail bin Utsman syahid di perang Yamamah (11 H) umurnya masih 30 tahun


Dan ini kalimat DR. Mahmud Muhammad ‘Imaroh,


Walau Quraisy terus menerus melakukan teror dan intimidasi terhadap orang-orang lemah..tetapi anak-anak muda itu justru mengumumkan keislaman mereka, dengan konsekuensi yang sedang menanti mereka berupa kesulitan hidup...dan terkadang harus mati!


Deretan angka-angka di atas menunjukkan kebenaran kalimat Ibnu Katsir bahwa kebesaran Islam ini lebih banyak ditopang oleh anak-anak muda.


Sebenarnya, skenario menjauhkan cara pandang yang benar terhadap generasi muda bukan hanya dilakukan sekarang dengan pola seperti ini. Berbagai cara dan pola telah lama mereka laksanakan.Mereka menyusupkan dengan perlahan tapi pasti berbagai teori racun. Targetnya jelas: menjauhkan anak-anak muda dari kebaikan mereka dan masjid mereka.


Seperti berbagai penelitian yang menyampaikan bahwa remaja adalah usia kerusakan, kegundahan, keguncangan, krisis, kenakalan. Pelajaran ini benar-benar tertanam pada orangtua. Sehingga, lagi-lagi mereka meyakini bahwa remaja harus melalui semua masalah itu. Jika ada anaknya yang baik-baik saja dan tidak melalui kekacauan itu, orangtua akan berkata, “Apa anak saya tidak normal ya?”


Lihatlah sebuah skenario besar dalam rentang puluhan bahkan ratusan tahun. Dan mereka berhasil meracuni pemikiran para pendidik dan orangtua muslim.

Padahal pemuda begitu positif dalam bahasa ayat, hadits dan ulama. Sehingga perlu sebuah upaya besar untuk membalik cara pandang tersebut sekaligus memberi obat dari masalah yang dihadapi oleh para pemuda kita. (nantikan modul dan pelatihannya dari parentingnabawiyah)


Pemuda adalah kekuatan, inspirasi, kreatifitas, ledakan ruhiyah, ketegaran, kesegaran, enerjik, karya besar dan penopang peradaban Islam.