Friday, July 5, 2019

Bau busuk tulisan Nadir Hosen

Bau Busuk Tulisan Nadir Hosen 😷
By : Poetra Sambu

Khilafah yg diajarkan dan didakwahkan oleh Hizbut Tahrir, dan mendapat banyak tekanan dan halangan, adalah Khilafah 'ala Minhaj an-Nubuwwah. Artinya, semua perkaranya dikembalikan kepada manhaj/thariqah Nabi saw.

Yg didakwahkan oleh Hizbut Tahrir bukan Khilafah Umayyah, Abbassiyah, atau Utsmaniyyah.

Tidak dipungkiri bahwa tiga Kekhilafahan tersebut mengalami banyak penyimpangan di berbagai hal. Namun, wajib diingat, sejauh penyimpangan yg ada, tidak pernah terjadi -jika ada hanya tuduhan orientalis belaka -pada ranah menerapkan hukum selain hukum Islam dan tidak pernah menghalalkan yg haram atau mengharamkan yg halal. Tidak pernah terjadi seperti apa yg terjadi pada sistem Sekular, di mana zina merupakan hak individu, dan termasuk homoseksual, lesbi, dan yg semisal (LGBT).

Perlu ditegaskan bahwa penyimpangan perliku seorang Khalifah bukanlah penyimpangan sistem Islam (Khilafah Islamiyah). Karena Khalifah bukan Khilafah. Sebagaimana penyimpangan perilaku seorang Muslim, bukanlah penyimpangan Islam; karena Muslim bukan Islam.

Namun, seringkali di sinilah masyarakat terkadang terkecoh; tersesatkan atau aengaja disesatkan. Keburukan yg terjadi di tengah-tengah kaum Muslim dijadikan bukti atas kebatilan Islam. Ini Jelas salah. Karena Islam tidak pernah membenarkan keburukan-keburukan tersebut; sebaliknya Islam justru sangat mengecamnya.

Di sebalik logika rusak inilah sebagian orang menyerang sistem pemerintahan warisan Rasulullah saw., Khilafah Islamiyah.

Oleh karena itu, dapat dicium bau busuk dari tulisan Nadir Hosen yg mengeksploitasi sejarah Khilafah Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah yg amat panjang, dengan cara mencari-cari keburukan para Khalifahnya dan peristiwa-peristiwa buruk yg terjadi di masyarakat selama kurun waktu yg amat panjang.

Seperti saya tegaskan di atas bahwa Khalifah bukanlah Khilafah dan kaum Muslim yg hidup dalam naungan Khilafah bukanlah Islam itu sendiri, maka kita pun tidak menafikan telah terjadinya apa yg ditulis dalam kitab-kitab Tarikh Khulafa' (Sejarah para Khafah).

Yang kita persoalkan adalah dua hal. Pertama tidak adanya kajian yg adil dan informasi pembanding yg berimbang.Yg ada justru freming. Kedua, agenda busuk di dalamnya, kalimatu haqqin urida biha al-bathil, kata-kata benar yg dijadikan senjata untuk mengangkat kebatilan! Dua hal ini yg kita lawan.

Pertama, sebagai contoh kita angkat kasus Walid bin Yazid bin Abdil Malik yg dituduh Nadir Hosen sebagai gay!
Benarkah?

Memang beberapa data menyebut bahwa Walid ini suka minum khamer, termasuk penyuka sesama jenis, homosek. Namun, data-data tersebut dibantah oleh sebagian ahli sejarah. Di sini, artinya belum ada kepastian. Dan jika belum pasti, maka dalam periwayatan pun harus dg cara yg menggambarkan bahwa perkaranya belum jelas. Tuduhan liwath (homoseks) tanpa bukti adalah tuduhan yg serius. Karenanya para ulama pun dalam menulis catatan buruk ini menggunakan gaya bahasa yg menunjukkan bahwa begitulah catatan sejarahnya; benar salahnya perlu dikaji ulang, dan bukan model fremingnya Nadir Hosen.

Dalam kaitannya kasus Walid bin Yazid bin Abdul Malik, Imam Ibnu Katsir memujinya sebagai berikut:
(ثم ان الوليد بن يزيد سار في الناس سيرة حسنة بادئ الرأي واخرج من بيت المال الطيب والتحف لعيالات المسلمين وزاد في أعطيات الناس ولا سيما اهل الشام والوفود وكان كريما ممدوحا شاعرا مجيدا لا يسأل عن شيء فيقول لا)

Meski demikian Walid bin Yazid berakhir tragis, pasca digulingkan oleh massa yg dipimpin oleh sepupunya sendiri, Yazid bin Walid bin Abdul Malik dan sepupu-sepupunya yg lain; Hisyam, Sulaiman, dan al-Hajjaj.

Mereka sukses menggulingkan Walid bin Yazid dg mengangkat beberapa isu, diantaranya homoseks dan minum khamer di atas Ka'bah saat memimpin haji pada tahun 119 H.

Artinya, di sini ada intrik antara anak-anak keluarga Bani Umayyah sendiri. Ada persaingan antar mereka.

Dengan mengkaji teks-teks sejarah, nampak bahwa ada pengglembungan isu; ada pihak-pihak yg membesar-besarkan. Tentu dorongan utamanya adalah kedengkian. Seperti isu-isu dan tuduhan palsu terhadap HTI selama ini oleh ormas tertentu. Apa motifnya kalau bukan dengki?

Sejarawana lainnya adalah Imam Ibn al-Atsir. Dia mengatakan bahwa Walid bin Yazid sangat menjaga kesucian diri, menjaga muruah, melarang masyarakat dari nyanyian. Lebih jauh beliau mengatakan:
 (وقد نزه قوم الوليد مما قيل فيه وانكروه ونفوه عنه، وقالوا : انه قيل عنه وليس بصحيح) .
"Sebagian ahli sejarah telah membersihkan nama baik Walid dari tuduhan-tuhan yg ada. Mereka mengingkari dan menafikan tuduhan-tuduhan tersebut. Mereka mengatakan: Tuduhan-tuduhan itu tidak benar!".

Data yg dikemukakan oleh At-Thabari berikut menguatkan kesimpulan Ibn al-Atsir di atas:
  (فدنا الوليد من الباب فقال اما فيكم رجل شريف له حسب وحياء اكلمه، فقال له يزيد بن عنبسة السكسكي، كلمني قال له : من أنت ؟ قال : انا يزيد بن عنبسة، قال : يااخي السكاسك، الم ازد في اعطياتكم ؟ الم ارفع المؤن عنكم ؟ الم اعط فقرائكم ؟ الم اخدم زمانكم ؟ فقال :انا ما ننقم عليك في انفسنا، ولكن ننقم عليك في انتهاك ما حرم الله وشرب الخمر ونكاح امهات أولاد ابيك واستخفافك بامر الله، قال : حسبك يا أخا السكاسك فلعمري لقد اكثرت واغرقت وان فيما احل لي لسعة عما ذكرت ورجع الي الوراء واخذ مصحفا وقال يوم كيوم عثمان، ونشر المصحف يقرأ، ثم قتلوه، وكان آخر كلامه قبل أن يقتل، أما والله لئن قتلت لا يرتق فتقكم ولا يلم شعثكم ولا تجتمع كلمتكم) .
Data-data di atas menggambarkan bahwa tuduhan yg ada adalah palsu. Minimal masih kontroversi.

Pertanyannya, mengapa seorang profesor doktor tidak mau menggali info lebih jauh?
Mengapa tidak menganalisa secara kontekstual, seperti yg dia dengungkan selama ini?!! Bukankah nampak sekali ada intrik politik dari sepupu-sepupu Walid bin Yazid?!!
Mengapa lebih memilih freming?

Jawabannya jelas, inilah poin kedua dari inti tulisan ini: Ada agenda busuk di sebaliknya. Jadi Yang diserang sebenarnya bukan Walid, atau Khalifah yg lain, tetapi yg diserang adalah Khilafah! Yg diserang bukan Khilafah Umayyah, Abbasiyah, atau Utsmaniyyah, tetapi Khilafah Rasyidah yg pertama dan juga Khilafah Rasyidah yg kedua yg akan datang!!

Sebagai catatan tambahan. Agar pembaca tidak salah faham sehingga mengira saya membela Khilafah Bani Umayyah secara membabi buta:
1. Bahwa yg diinginkan oleh Hizbit Tahrir adalah Khilafah 'ala Minhaj an-Nubuwwah.
2. Bahwa Khilafah Bani Umayyah adalah Khilafah yg telah mengalami penyimpangan.
3. Keburukan-keburukan para Khalifah sebagiannya adalah fakta, dan sebagiannya adalah tuduhan.
4. Yang menyebarkan hoax (tuduhan-tuduhan palsu) pada masa Bani Umayyah, selain anggota keluarga yg sedang bersaing, adalah musuh-musuh Bani.Umayyah, termasuk gerakan Bani Abbas dan kaum Syi'ah.
5. Adapun di masa Abbasiyah, yg menyebarkan berita hoax adalah dari kalangan Mu'tazilah ketika tersingkirkan dari kekuasaan sejak lengsernya Qadhi Ahmad bin Abi Duad al-Mu'tazili (seperti disebut-sebut oleh Dr. Isham Syabaro dalam bukunya Qadhi Qudhat fi al-Islam).

====

Kesimpulan

1. Eksploitasi terhadap kebrukan-keburukan 3 era Khilafah (Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah) oleh pihak-pihak tertenu tidak dimaksudkan untuk sekedar menjelaskan fakta sejarah, atau menyerang para khalifah, namun lebih kepada agenda busuk: Menyerang Khilafah sebagai sistem pemerintahan dalam Islam. Oleh sebab itu, mereka tidak pernah membahas dalil-dalil wajibnya Khilafah dan hal-hal terkakait, serta prestasi-prestasinya, tetapi mereka lebih suka mengerubuti borok-borok yang bernanah dari borok-borok masalalu Umat Islam!! Hanya lalat yg suka hinggap dan mengerubuti borok! Bahkan borok yg sudah mulai mengeringpun lalat suka mengorek-ngoreknya lagi agar kembali leluar nanahnya! Sungguh lalat memang menjijikan.

2. Jika pun andai benar bahwa Khalifah A atau B berbuat homosksual, bukan berarti hukum dan pemikiran yg ada di era Khilafah adalah bolehnya homoseksual!! Sebaliknya, seperti data di atas, dan diainggung oleh as-Suyuthi, bahwa hukum dan pemikiran yg ada adalah haramnya homoseksual! Karenanya masyarakat beramai-ramai menurunkan Walid bin Yazid -dg asumsi benarnya tuduhan tersebut. Ini sangat berbeda dg sistem Sekular, yg memang secara tabiat dan faktanya memberikan kebebasan pada para pelaku homoseksual dan memberikan jaminan kebebasan secara hukum!!!

Wallah a'lam.

11/06/2019


MEMAHAMI NASH AL-QUR’AN MENGENAI KHILAFAH (TANGGAPAN TERHADAP NADIRSYAH HOSEN DAN YANG SEMISALNYA)

Oleh: Ahmad Abdurrahman al-Khaddami

Mukaddimah

Seiring meningkatnya penerimaan Umat Islam terhadap pemikiran Khilafah sebagai Sistem Pemerintahan Islam, masih ditemukan adanya penolakan atau setidaknya “keraguan” mengenai ada atau tidaknya nash (teks) yang jelas dan valid, bukan berupa opini atau tafsiran yang subjektif. Khilafah sebagai “sistem baku” sebuah pemerintahan dianggap tidak memiliki sandaran argumentatif dalam al-Quran al-Karim sebagai sumber asli (orisinal). Jika memang Khilafah sebagai Sistem Pemerintahan Islam merupakan pemikiran Islam “murni” bukan opini madzhab dan jama’ah tertentu, semestinya disebutkan secara jelas dalam al-Quran al-Karim sebagaimana shalat dan shaum; meskipun secara mujmal (global).

Nadirsyah Hosen telah membuat catatan dengan judul “Tidak Ada Istilah Khilafah dalam al-Quran” yang dimuat dalam situs NU Online (https://www.nu.or.id/post/read/104263/tidak-ada-istilah-khilafah-dalam-al-quran). Catatan serupa diajukan oleh Ahmad Sarwat dengan judul “Khilafah dalam Al-Qur’an” dalam akun facebooknya (https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2663942086956430&id=100000219936471).

Pemikiran tersebut perlu mendapat tanggapan. Pemikiran tersebut setidaknya dapat ditinjau dengan beberapa teori pemikiran Islam yang mu’tabar, yakni (1) Hadits sebagai penjelas (al-Bayan) bagi al-Quran, (2) Pemaknaan al-Quran berdasarkan Mafhum Nash, dan (3) Pengalihan makna suatu lafazh dalam al-Quran dari makna lughawi menjadi makna syar’i. Apakah penolakan atau “keraguan” tersebut dapat dibenarkan berdasarkan ketiga teori tadi ataukah tidak? Apakah terdapat teori lain yang menjadi sandaran pemikiran tersebut, yang dianggap mu’tabar dan mu’tamad, atau setidaknya termasuk mukhtalaf fihi? Ataukah sekedar sikap yang dipengaruhi Hadharah Asing semisal Liberalisme dan Pragmatisme?

A. Hadits sebagai Penjelas al-Quran

Hadits secara istilahi didefinisikan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir/diamnya beliau. Secara umum, keterkaitan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan berbagai pemikiran Islam, tercermin dalam 2 (dua) fungsi dan peranan, yaitu: pertama, menjelaskan makna-makna al-Quran yang merupakan hujjah bagi ar-Risalah; dan kedua, menetapkan suatu pemikiran yang tidak disebutkan al-Quran. Maksud menjelaskan makna-makna al-Quran adalah menerangkan ayat yang maknanya perlu dijelaskan secara terperinci (tafshîl al–mujmal), menghususkan ayat yang maknanya umum (takshîshal-‘âm), membatasi ayat yang maknanya bersifat mutlak (taqyîd al-mutlaq), dan menetapkan pemikiran-pemikiran cabang yang asalnya ada dalam al-Quran (ilhâq al-furû’ bi al-ashl).

Dengan demikian, berhujjah dengan Hadits pada asalnya merupakan bagian dari berhujjah dengan al-Quran. Mengingkari kehujjahan Hadits berarti mengingkari bagian dari ayat al-Quran. Diantara ayat al-Quran yang menjelaskan hal tersebut semisal:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

“Dan Kami menurunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Quran) supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka”. (Q.S. an-Nahl : 44)

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah maka ikuti saya niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni  dosa-dosa kalian”. (Q.S. Ali Imran : 31)

Sebagian pihak “membela diri” bahwa yang diragukan ialah berbagai periwayatan Ahad yang zhanni (spekulatif), bukan menolak kehujjahan Hadits secara mutlak. Pada prinsipnya, ungkapan tersebut merupakan bentuk lain dari Inkar Sunnah, dikarenakan pada umumnya apa yang disebut sebagai Hadits merupakan periwayatan Ahad. Dapat dikatakan bahwa Hadits yang diriwayatkan secara mutawatir sangatlah sedikit, apalagi yang berupa rincian pemikiran maupun hukum. Tidak ada kalangan fuqaha manapun yang secara sengaja mengabaikan hadits. Sehingga, jika suatu hadits tidak diamalkan sebuah madzhab, bisa jadi hadits tersebut dianggap mardud, mansukh, atau marjuh, sesuai metodologi ushuliyyah yang dipilihnya. Dimungkinkan pula, hadits tersebut merupakan hadits yang di dalamnya terdapat ikhtilaf, baik dalam aspek sanad, rawi, maupun matannya, serta bisa jadi hadits tersebut belum diketahui oleh pihak yang tidak mengamalkannya.

Secara keseluruhan madzhab-madzhab Islam bersepakat dalam mengamalkan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, hanya saja dalam penerimaan sebuah periwayatan yang tidak termasuk mutawatir, maka dalam perkara ini sempat terjadi perselisihan, dikarenakan pengaruh situasi politik dan persaingan antar madzhab. Sebagai contoh, Khawarij menolak periwayatan yang berasal dari pendukung Ali radhiyallâhu ‘anhu dan Muawiyyah radhiyallâhu ‘anhu, sebagaimana Syiah membatasi diri dengan apa yang diklaim sebagai periwayatan Ahli Bait saja. Selain faktor-faktor tersebut, kehati-hatian dalam penerimaan hadits juga dipengaruhi oleh lingkungan pemikiran yang dihadapi para ulama, saat mereka mendapatkan periwayatan. Sebagai contoh, para ulama di Irak dikenal cukup ketat dalam menerima sebuah periwayatan, dikarenakan lrak merupakan tempat yang di dalamnya banyak beredar hadits-hadits palsu. Tentu hal tersebut, berbeda dengan para ulama di Hijaz yang merupakan tempat asal bagi risalah Islam, terutama Madinah sebagai tempat tinggalnya Rasulullah Saw. dan para sahabat senior. Bahkan dari kalangan Muktazilah yang dikenal dengan pemikiran ra’yu-nya tetap berhujjah dengan Hadits Ahad dalam masalah hukum sebagaimana dilakukan oleh Imam al-Qadhi Abdul Jabbar asy-Syafi’i dan Imam az-Zamakhsyari al-Hanafi.

Adapun diantara hadits yang secara sharih menjelaskan Khilafah dan Khalifah sebagai bagian dari konsepsi pemerintahan Islam ialah sebagai berikut:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

“Dahulu Bani Israil diurus para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para Khalifah yang banyak. Tepatilah baiat yang pertama, dan hanya itu. Dan penuhilah hak mereka karena Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka”.

Hadits ini diriwayatkan para Imam: Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan Ibn Majah dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dan shahih kualitasnya, muttafaq ‘alaih, sanadnya marfu’ muttashil, serta para rawinya merupakan rijâl-nya kitab ash-Shahîh.

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

“Akan berlangsung masa kenabian di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki, lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung masa khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kekuasaan yang zhalim selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung pemerintahan yang diktator selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian akan muncul kembali khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian.”

Hadits ini diriwayatkan para Imam: Ahmad, ath-Thayalisi, dan al-Bazzar dalam al-Musnad-nya masing-masing dari Sayyidina Hudzaifah ibn al-Yaman radhiyallâhu ‘anhu hadits ini dinilai shahih oleh Imam Zainuddin al-‘Iraqi, guru dari Imam al-Haitsami dan Syaikh al-Islam Imam Ibn Hajar dan diterima oleh Imam al-Baihaqi.

Demikian pula berbagai hadits lain yang menyebutkan Khalifah, Imam, ataupun Bai’ah. Syaikh al-Musnid al-Qadhi Yusuf ibn Isma’il an-Nabhani menjelaskan dalam karyanya, al-Ahâdîts al-Arba’în fî Wujûb Thâ’ah Amîr al-Mu`minîn, sebagai berikut:

والْإِمَامُ في جميع الاحاديث الخليفة … والبيعة معاهدة الامام على السمع والطاعة

“Imam dalam semua hadits-hadits adalah Khalifah … Bai’ah ialah perjanjian (dengan) Imam untuk mendengar dan taat”.

Hadits-hadits tersebut ditempatkan oleh para Imam: al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah pada Kitab al-Ahkam, Imam Muslim dan Imam Abu Daud pada Kitab al-Imarah, serta Imam an-Nasa`i pada Kitab al-Bai’ah.

Adapun mengenai kesatuan pemerintahan yakani kewajiban untuk mengangkat Khalifah yang satu (tunggal), maka para ahli fiqih telah bersepakat tentangnya, dikarenakan hadits-hadits mengenai hal tersebut telah jelas, diantaranya:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخِر مِنْهُمَا

“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah oleh kalian yang terakhir (dibaiat) diantara keduanya.”

Hadits ini diriwayatkan Muslim dan Abu ‘Awanah dari Sayyidina Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu ‘anhu. Statusnya shahih, sanadnya marfu’ muttashil, serta para rawinya di ketiga tingkatannya merupakan rijâl-nya kitab ash-ShahÎh, diterima an-Nawawi dan Ibn Hajar al-Asqalani, meskipun dilemahkan oleh al-Uqaili dan adz-Dzahabi; terdapat syawahid dengan berbagai jalur, yakni Ibn ‘Asakir dalam Târîkh ad-Dimasyq dari Sayyidina Ibn Abbas dan Amirul Mu’minin Sayyidina Ali radhiyallâhu ‘anhum dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Târîkh Baghdâd dari Sayyidina Anas radhiyallâhu ‘anhu, dengan lafad yang sama, serta ath-Thabarani dalam al-Ausath dari Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dengan lafad yang semakna; semua sanadnya dianggap bermasalah, kecuali sanadnya ath-Thabrani yang para perawinya dinilai tsiqah oleh Imam al-Haitsami. Selain itu, terdapat Hadits yang diriwayatkan para Imam: Ahmad, Muslim, Abu Daud, an-Nasa`i, dan Ibn Hibban serta al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân, al-Hakim, ath-Thayalisi, Abu ‘Awanah, dan ath-Thabrani, dengan lafad yang semisal dari Sayyidina ‘Arfajah radhiyallâhu ‘anhu dengan lafad:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ

“Barangsiapa yang hendak memecah belah urusan umat ini sedangkan mereka bersatu maka bunuhlah dengan pedang siapapun dia”.

Para ulama yang menegaskan kewajiban mengenai kesatuan pemerintahan, diantaranya semisal para imam: al-Mawardi, Abu Ya’la, Ibn Abdil Barr, Ibn Hazm, al-Haramain, al-Bazdawi, an-Nawawi, al-Qurthubi, dan Ibn Katsir. (Al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, h. 29; Abu Ya’la, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, h. 25; Ibn Hazm, al-Muhlâ, IX/360; Ibn Abdil Barr, al-Istidzkâr, III/190; al-Haramain, Ghiyâts al-Umam, h. 172; al-Bazdawi, Ushûl ad-Dîn, h. 195; an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/232; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, I/273; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, I/222).

Dengan demikian, penolakan atau “keraguan” terhadap Khalifah dan Khilafah sebagai konsepsi pemerintahan Islam meniscayakan penolakan terhadap Hadits Ahad sebagai hujjah dalam hukum. Hal tersebut dikarenakan hadits-hadits mengenai Khalifah, Imam, dan Bai’ah merupakan hadits Shahih yang diterima kalangan muhadditisn maupun fuqaha.

Sedangkan penolakan Hadits Ahad secara mutlak pada prinsipnya merupakan bentuk lain dari Inkar Sunnah, sehingga meniscayakan adanya pengingkaran ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tahkim dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikarenakan Hadits merupkan penjelas bagi al-Quran.
Sebagian pihak menolak atau “meragukan” hadits-hadits tentang siyasah/politik berdalih dengan teori tarjih berdasarkan “kritik matan”. Namun, yang perlu diwaspadai ialah tarjih suatu matan karena dipengaruhi pemikiran dan hukum selain Islam. Terkadang seorang peneliti mengalami bias pemahaman, sekalipun kajian dan penelitiannya dilandasi keikhlasan. Terutama jika dikaitkan dengan “tafsir kontekstual” terhadap suatu nash, baik al-Quran maupun al-Hadits. Selanjutnya, makna-makna yang disimpulkan dari metodologi rusak tersebut dianggap sebagai sebab yang dapat menguatkan salah satu hadits. Tanpa disadari, pendapat yang lahir dari tarjih tersebut merupakan pendapat yang tidak syar’i, hukum yang dihasilkannya bukan hukum Islam, karena tidak berlandaskan pada wahyu, namun lahir dari hawa nafsu. Pemikiran yang “menjauhkan” politik dan pemerintahan dari pemikiran Islam jelas dipengaruhi oleh Sekularisme yang meniscayakan “pemisahan ad-Din dari negara”.

Tentu termasuk gharib dan syadz, apabila ada sebagian pihak yang mempertahankan bentuk pemerintahan selain Khilafah (misal: Republik, Kerajaan) dan membangun ikatan bagi masyarakatnya dengan selain Islam (misal: Nasionalisme, Patriotisme, Kemadzhaban). Padahal, sistem Khilafah dengan ikatan Islam-nya merupakan pemikiran yang diitinbath dari nash-nash syar’i, sedangkan konsepsi selainnya, tidaklah sedikitpun berasal dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahkan bertentangan dengannya, sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh dari Sayyidatina Ummahatul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka dia tertolak.” Wallâhu A’lâm.

B. Mafhum an-Nash dalam  Pemaknaan al-Quran

Diantara ayat al-Quran yang secara sharih menyebutkan lafazh  Khalifah ialah surat Q.S. al-Baqarah ayat 30:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).

Imam Ibn Jarir ath-Thabari menukil berbagai riwayat penafsiran dari Ibn Ishaq, Rabi’ ibn Anas, Ibn Zaid, Ibn Sabith, Hasan al-Bashri, Ibn Abbas, dan Ibn Mas’ud, lalu menyimpulkan sebagai berikut:
.

فكان تأويل الآية على هذه الرواية التي ذكرناها عن ابن مسعود وابن عباس: إني جاعل في الأرض خليفةً منّي يخلفني في الحكم بين خلقي. وذلك الخليفة هو آدمُ ومن قام مقامه في طاعة الله والحكم بالعدل بين خلقه.

“Maka ta`wil ayat berdasarkan riwayat yang kami sebutkan dari Ibn Mas’ud dan dan Ibn Abbas   إني جاعل في الأرض خليفةً, dari-Ku dia menggantikan ‘mewakili’ dalam menetapkan hukum ‘keputusan’ diantara ciptaan-Ku. Oleh karena itu, Khalifah ialah Adam dan orang yang menempati kedudukannya dalam ketaatan pada Allah dan menetapkan hukum dengan adil diantara ciptaan-Nya”. (Ibn Jarir, Jâmi’ al-Bayân, I/449-452).

Adapun Imam al-Qurthubi menjelaskan sebagai berikut:

هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة.ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم حيث كان عن الشريعة أصم، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه

“Ayat ini merupakan asal/pokok dalam pengangkatan Imam dan Khalifah yang didengar dan ditaati untuk menyatukan kalimah dan menerapkan hukum-hukum Khalifah. Tiada ada perbedaan mengenai kewajiban tersebut diantara umat, tidak pula di kalangan para Imam kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Assham yang dia tuli dari Syariah, demikian pula setiap orang yang berpendapat dengan qaulnya dan mengikuti pendapat dan madzhabnya”. (al-Qurthubi, al-Jâmi li Ahkâm al-Qur`ân, I/263).

Sedangkan Imam Ibn Katsir menjelaskan sebagai berikut:

وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

“al-Qurthubi dan yang lainnya telah ber-istidlal dengan ayat ini mengenai kewajiban pengangkatan Khalifah untuk memutuskan perselisihan diantara masyarakat, menghilangkan persengketaan, menolang yang terzalimi dari yang menzalimi, menegakkan hudud, memberikan sanksi bagi pelaku kekejian, dan yang lainnya dari berbagai urusan penting yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya Imam, Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itupun menjadi wajib.(Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, I/221)”.

Sebagaimana kajian fiqih, terdapat 2 (dua) pendekatan dalam menafsirkan al-Quran, yakni tafsir yang bersandar pada atsar, dikenal dengan tafsîr bi al-ma`tsûr, dan tafsir yang bersandar pada ra’yu, dikenal dengan tafsîr bi ar-ra’yi. Perbedaan pendekatan tersebut mirip dengan perbedaan diantara ahli hadits dan ahli ra’yu di kalangan fuqaha. Kedua pendekatan tersebut tidak saling bertentangan, namun saling melengkapi.

Yang perlu dipahami dari  perbedaan kedua pendekatan tersebut ialah mengenai penggunaan periwayatan mauquf dan maqthu’, terutama yang di dalamnya tidak secara jelas terdapat kondisi-kondisi yang dapat dikategorikan sebagai marfû’ hukman. Selain itu, perbedaan keduanya didominasi dalam pemaknaan aspek mafhûm dan ma’qûl suatu nash. Sebagian ulama, sekalipun bersikap leluasa dalam kajian fiqih, namun mereka sangat berhati-hati dalam kajian tafsir, sedangkan ulama yang lain mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memahami tafsir suatu ayat.

Sebagai sebuah perbandingan kedua pendekatan tersebut dalam penggunaan hadits atau periwayatan, dalam penafsiran surat al-Fatihah ayat ke-7, para Imam: Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim, dan Ibn Katsir menafsirkan maghdhûbi ‘alaihim, dengan Yahudi dan adh-dhâllîn, dengan Nasrani, bersandar pada periwayatan marfu’ dan mauquf; sedangkan para Imam: al-Fakhr ar-Razi, al-Baidhawi, dan an-Nasafi lebih memperluasnya dengan pendalaman pemaknaan lafad al-Ghadhab (dimurkai) dan adh-Dhalâl (sesat), sekalipun menyebutkan penafsiran yang pertama. (Ibn Jarir, Jâmi’ al-Bayân, I/195; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, I/143; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, I/210; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, I/31; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, I/32).

Dengan demikian, penafsiran Imam al-Qurthubi tidak “bertentangan” dengan penukilan Imam Ibn Jarir, bahkan sesuai dengan pendapat Imam Ibn Jarir, bahkan disetujui oleh Imam Ibn Katsir. Hal tersebut dikarenakan penukilan Imam Ibn Jarir berkaitan dengan manthuq nash sedangkan penafsiran Imam al-Qurthubi menggunakan mafhum nash. Fungsi Khalîfah fil Ardhi untuk mengurus dan memakmurkan bumi akan meninscayakan keruasakan dan pertumpahahn darah jika tidak dipandu oleh wahyu Allah ‘azza wa jalla berupa hukum-hukum syariah, sedangkan penerapan hukum-hukum syariah membutuhakan keberadaan seorang Khalifah dengan sistemnya, yakni Khilafah. Dengan kata lain, ayat tersebut dimaknai berdasarakan Dalâlah Isyârah, yang dikuatkan dengan kaidah syar’i :

ما لا يتم الواجب إلاّ به فهو واجب

“Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itupun menjadi wajib”. Wallahu A’lam.

C.  Lafazh Manqul dalam al-Quran

Dari aspek peristilahan (ishtilâhiyyah), terdapat teori lafazh manqul, yakni kata yang mengalami perubahan makna dari makna asalnya, baik dikarenakan nash syar’i (syar’iyyah), ataupun kesepakatan ahli (‘urfiyyah); baik yang berkaitan dengan makna sebenarnya (haqîqah) ataupun makna yang dialihkan (majâz). Yang dimaksud lafazh manqul yang syar’i ialah lafazh yang berubah maknanya sesuai penunjukkan dalil yang dikehendaki nash syar’i, bukan disesuaikan dengan peristilahan para ulama yang membahasnya, semisal kata khalîfah, khilâfah, bai’ah, islâm, îmân, dan ihsân. Sedangkan yang dimaksud lafazh manqul yang ‘urfi ialah lafazh yang berubah maknanya sesuai kesepakatan para ahli, baik yang bersifat umum, maupun bersifat khusus, semisal shahîh, hasan, dha’îf, mursal, mauqûf, musnad, munkar, matrûk, jihâlah, mastûr, tsiqah, shâlih, dan sebagainya.

Lafazh-lafazh tersebut berbeda maknanya dengan makna awalnya secara bahasa. Sebagai contoh ialah lafad khalîfah dan khilâfah. Secara bahasa berasal dari lafad khalafa, bermakna menggantikan, maka khalîfah diartikan dengan “yang menggantikan” dan khilâfah diartikan sebagai “pergantian”, yakni mashdarnya. (Imam Ibn Manzhur, Lisân al-Arab, IX/82). Berdasarkan istinbath terhadap nash – nash syar’i, para ulama mengalihkannya menjadi lafazh-lafazh yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Diantaranya semisal pendefinisian berikut:

Syaikh al-Azhar  Syaikh Ibrahim ibn Muhammad al-Bajuri

(الخلافة) النيابة عن النبي صلى الله عليه وسلم في عموم مصالح المسلمين

“(Khilafah) Pengganti dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam keumuman berbagai kemashlahatan kaum muslimin”. (Ibrahim al-Bajuri, Tuhfah al-Murîd Syarh Jauhar at-Tauhîd, hlm. 85)

Sayyid ‘Ulama al-Hijaz Syaikh Nawawi Muhammad ibn Umar al-Jawi

(الخلافة) النيابة عن النبي صلى الله عليه وسلم في عموم مصالح المؤمنين

“(Khilafah) Pengganti dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam keumuman berbagai kemashlahatan kaum mu’minin”. (Nawawi al-Jawi, Tîjân ad-Durârî Syarh ‘ala Risâlah al-Bâjûrî, hlm. 15)

Dalam kedua definisi tersebut jelas bersandarkan pada hadits Sayyidina Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dan Sayyidina Hudzaifah ibn al-Yaman radhiyallâhu ‘anhu yang disebutkan sebelumnya mengenai peranan para Khalifah setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berkaitan dengan Khalifah dan Khilafah sebagai konsespsi pemerintahan Islam, sebagian ulama membahasnya pada kajian akidah, semisal para Imam: al-Asy’ari, al-Baqillani, al-Bazdawi, an-Nasafi, al-Baidhawi, at-Taftazani, al-Ijji, dan Ibn al-Humam, serta Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Sayyid Husain Afandi, dan Syaikh Nawawi al-Jawî; sebagian ulama membahasnya pada kajian fiqih secara umum, semisal para Imam: Ibn Hazm, Zakariya al-Anshari, Syamsuddin ar-Ramli, al-Khathib asy-Syarbini, Ibn Najim, dan al-Bahuti, serta Syaikh Ibn Abidin, Syaikh Muhammad al-Muthi’i, dan Syaikh Wahbah az-Zuhaili; sebagian ulama membahasnya pada kajian fiqih secara khusus (fiqih siyasah), semisal para Imam: al-Mawardi, al-Haramain, Abu Ya’la, Ibn Taimiyyah, dan al-Qalqasyandi, serta Sayyid al-Kattani, Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Abdullah ad-Dumaiji, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dan Syaikh Abdul Qadim Zallum; sebagian ulama membahasnya saat men-syarah hadits, semisal para Imam: Ibn Abdil Barr, an-Nawawi, Zainuddin al-Iraqi, dan Ibn Hajar al-Asqalani, serta Syaikh Yusuf an-Nabhani; sebagian ulama membahasnya saat menafsirkan al-Quran, semisal para Imam: al-Fakhr ar-Razi, al-Qurthubi dan Ibn Katsir; sebagian yang lain membahasnya dengan uslub yang dipilihnya, semisal para Imam: asy-Syafi’i, Ibn Khaldun, dan as-Suyuthi, serta Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Waliyullah ad-Dahlawi, Syaikh Muhammad al-Khidhir, Syaikh Mushthafa Shabari, Syaikh al-Maududi, Syaikh Hasan al-Banna, dan Syaikh Ali Bailhaj; yang dalam pembahasannya terkadang lafad khalîfah digantikan lafad imâm dan lafad khilâfah digantikan lafad imâmah, dikarenakan lafad-lafad tersebut sinonim.

Dengan demikian, pendapat yang mewajibkan ketaatan terhadap penguasa negeri Islam saat ini atau yang melarang pilihan masyarakat yang tidak ikut serta dalam pemilihan mereka, dengan menggunakan hadits-hadits kepemimpinan bukanlah pendapat yang syar’i. Selain landasannya yang dipengaruhi oleh Sekularisme, Liberalisme, dan Pragmatisme, penggunaan lafazh khalîfah yang ditujukan terhadap raja atau presiden dengan anggapan lafad tersebut dimaknai sebagai “pemimpin secara umum”, jelas merupakan kesalahan yang berat. Sebagaimana pembahasan sebelumnya secara bahasa makna khalîfah bukanlah “yang memimpin”, tapi “yang menggantikan”. Berarti argumentasi pendapat tersebut merupakan pendalilan yang memaksakan diri. Apabila lafazh khalîfah dimaknai dengan “yang memimpin”, mestilah ditujukan terhadap pemimpin yang hanya menerapkan aturan dan perundang-undangan Islam.

Jadi, pada asalnya sebagaimana shalat dan shaum, lafazh Khalifah dan Khilafah jika tidak tidak ada qarinah yang mengembalikannya kepada makna bahasa dimaknai sebagai konsepsi pemerintahan Islam, semisal Q.S. an-Nur  ayat 55:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan memberikan Istikhlaf kepada mereka di bumi, sebagaimana Dia telah memberikan Istikhlaf kepada orang-orang yang sebelum mereka”. (Q.S. an-Nur:55).

Para Imam mufassirin menjadikan ayat ini sebagai dalil pembahasan Khilafah sebagai sebuah pemerintahan Islam yang menguasa Arab dan ‘Ajam, sebagaimana disebutkan para Imam: Ibn Jarir, Ibn katsir, al-Qurthubi, ar-Razi, al-Baidhawi, dan an-Nasafi. Wallahu A’lam.

Khatimah

Berdasarkan tinjauan ketiga teori sebelumnya dapat ditetapkan bahwa penolakan atau “keraguan” terhadap Khalifah dan Khilafah sebagai konsepsi pemerintahan Islam tidak ditemukan adanya kesesuaian dengan manhaj mu’tabar dan mu’tamad di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan cenderung mengakibatkan adanya penolakan terhadap nash al-Quran, setidaknya yang berkaitan dengan dalil tahkim dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang jelas, dalam alur kajian tafsir al-Quran yang mu’tabar dan mu’tamad, menjadikan Khalifah dan Khilafah sebagai konsepsi pemerintahan Islam bukanlah hal yang gharib maupun syadz. Justru, diperlukan adanya hujjah yang kokoh bagi sebagian pihak yang “menerima” konsepsi pemerintahan yang tidak diistinbath dari al-Quran dan Hadits, maupun Ijma’ dan Qiyas. Apalagi jika bersandar pada teori “kekosongan hukum” dan tafsir kontekstual, dikarenakan pengabaian suatu hukum bermuara pada “tuduhan” bahwa adanya kekurangan dalam Hukum Syariah atau hukum yang lain lebih baik dari Hukum Syariah. Wallahu A’lam.

Jawa Barat, 1 April 2019

(Penulis adalah Kontributor di Raudhah Tsaqafiyyah, Pusat Kajian Pemikiran Islam dan Turats)

Janji kekhilafahan atas muslimin

JANJI KEKHILAFAHAN ATAS KAUM MUSLIM

Oleh: Ust. Syamsuddin Ramadhan

Janji Istikhlaf di Dalam Al-Quran

Allah swt telah menjanjikan kekuasaan atas seluruh muka bumi kepada kaum Mukmin (istikhlaf). Janji agung ini terdapat di dalam surat An Nuur (24) ayat ke 55.  Allah swt berfirman;

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahkuKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku; dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik".[TQS An Nuur (24):55]

Di dalam kitab Manaahil al-'Irfaan, juz 2/271, Imam al-Zarqaaniy menjelaskan ayat di atas dengan menyitir sebuah riwayat dari Imam al-Hakim dari Ubay bin Ka’ab ra, bahwasanya ia berkata:

لما قدم رسول الله وأصحابه المدينة وآوتهم الأنصار رمتهم العرب عن قوس واحدة وكانوا لا يبيتون إلا بالسلاح ولا يصبحون إلا فيه فقالوا أترون أنا نعيش حتى نبيت آمنين مطمئنين لا نخاف إلا الله فنزلت الآية وكذلك روى ابن أبي حاتم عن البراء قال نزلت هذه الآية ونحن في خوف شديد أي قوله تعالى وعد الله الذين آمنوا وعملوا الصالحات الخ هكذا كان حال الصحابة أيام أن وعدهم الله ما وعد وما أعجل تحقق هذا الوعد الإلهي رغم هذه الحال المنافية في العادة لما وعد فدالت الدولة لهم واستخلفهم في أقطار الأرض وأورثهم ملك كسرى وقيصر ومكن لهم دينهم الذي ارتضى لهم وأبدلهم من بعد خوفهم أمنا
" Ketika Rasulullah saw dan para shahabatnya sampai di Madinah dan orang-orang Anshor memberikan perlindungan kepada mereka, maka orang-orang Arab bersatu padu memerangi mereka.  Sehingga para shahabat dan Nabi saw tidak pernah melewati malamnya kecuali dengan perang, dan mereka senantiasa bangun di waktu pagi dalam keadaan perang.  Para shahabat pun berkata, "Tahukah kalian, kapan kita bisa melewati malam-malam kita dengan aman dan tentram, dan kita tidak pernah lagi takut, kecuali hanya takut kepada Allah swt? Lalu, turunlah firman Allah swt surat An Nuur (24):55.  Imam Ibnu Abi Hatim juga menuturkan dari al-Bara', bahwasanya ia berkata, "Ayat ini turun di saat kami berada dalam ketakutan yang luar biasa.  Demikianlah keadaan para shahabat pada saat itu, walaupun  Allah swt telah berjanji kepada mereka, namun Dia tidak menyegerakan terwujudnya janji Ilahiy itu, meskipun keadaan (ketakutan) mereka benar-benar telah diluar keadaan yang normal.  Hingga akhirnya, Daulah Islamiyyah di Madinah berhasil menunjukki mereka, dan Allah mengangkat mereka sebagai Khalifah yang menguasai seluruh penjuru dunia,; dan Allah mewariskan kepada mereka negeri kerajaan Kisra, Romawiy.  Tidak hanya itu saja, Allah menguatkan agama yang telah diridloiNya untuk mereka, dan mengubah ketakutan mereka menjadi rasa aman". [Imam al-Zarqaaniy, Manaahil al-'Irfaan, juz 12, hal. 271]

Imam AL-Baidlawiy di dalam Tafsir al-Baidlawiy menyatakan:

{وَعَدَ الله الذين ءامَنُواْ مِنْكُمْ وَعَمِلُواْ الصالحات } خطاب للرسول صلى الله عليه وسلم وللأمة أوله ولمن معه ومن للبيان { لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرض } ليجعلنهم خلفاء متصرفين في الأرض تصرف الملوك في مماليكهم ، وهو جواب قسم مضمر تقديره وعدهم الله وأقسم ليستخلفنهم ، أو الوعد في تحققه منزل منزلة القسم . { كَمَا استخلف الذين مِن قَبْلِهِمْ } يعني بني إسرائيل استخلفهم في مصر والشام بعد الجبابرة
"[Wa’ada al-Allah alladziina aamanuu minkum wa ’amilu al-shaalihaat/sesungguhnya Allah swt telah berjanji kepada orang-orang beriman diantara kamu, dan orang-orang yang beramal sholeh]", adalah seruan (perintah/khithab) bagi Rasulullah saw dan umatnya, baik generasi awal maupun umat yang senantiasa bersama beliau saw.  Huruf min di sini berfungsi untuk menjelaskan (lil bayaan). "[Layastakhlifannahum]" artinya adalah, "menjadikan mereka para khalifah pengatur bumi yang akan mengatur semua kekuasaan di dalam kekuasaan mereka.  Frase ini adalah jawab qasam (jawaban atas sumpah) yang didlamirkan; sedangkan perkiraan maknanya adalah: Allah swt berjanji kepada mereka dan Allah swt bersumpah akan mengangkat mereka sebagai penguasa. Atau janji tersebut dalam pewujudannya menggantikan kedudukan qasam"[Kamaa istikhlafa al-ladziina min qablihim/Seperti halnya Allah telah menjadi orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa]; yakni Bani Israil yang berkuasa atas Mesir dan Syam setelah runtuhnya kekuasaan al-Jabaabirah".

Imam Qurthubiy menyatakan

واللام في {لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ} جواب قسم مضمر ؛ لأن الوعد قول ، مجازها : قال الله للذين آمنوا وعملوا الصالحات والله ليستخلفنهم في الأرض فيجعلهم ملوكها وسكانها. {كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ} يعني بني إسرائيل ، أهلك الجبابرة بمصر والشام وأورثهم أرضهم وديارهم.
”Huruf lam pada frase [layastakhlifannahum] adalah jawab qasam mudlmar (jawab sumpah yang didlamirkan.  Sebab, al-wa’du (janji) adalah qaul (ketetapan atau perkataan), majaznya, ”Allah swt berfirman kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh;  dan sungguh Allah akan mengangkat mereka sebagai penguasa di muka bumi, dan menjadikan mereka penguasanya dan penduduknya”. [Kamastakhlafa alladziina min qablihim], yakni (seperti) Bani Israil, yang berhasil mengalahkan kekuasaan Jababirah di Mesir dan Syam, dan mewariskan bumi dan negeri mereka kepada Bani Israil”[Imam Qurthubiy, al-Jaami’ li Ahkaam al-Quran, Juz 12, hal. 300]

Di dalam Tafsir Qurthubiy juga disebutkan, bahwasanya Ibnu 'Athiyah menyatakan:

واختار هذا القول ابن عطية في تفسيره حيث قال : والصحيح في الآية أنها في استخلاف الجمهور ، واستخلافهم هو أن يملكهم البلاد ويجعلهم أهلها ؛ كالذي جرى في الشام والعراق وخراسان والمغرب. قال ابن العربي : قلنا لهم هذا وعد عام في النبوة والخلافة وإقامة الدعوة وعموم الشريعة
”Pendapat ini dipilih oleh Ibnu ’Athiyah tatkala menafsirkan ayat tersebut, di mana ia berkata, ”Yang benar, ayat ini merupakan janji kekuasaan atas seluruh kaum Muslim.  Yang dimaksud dengan "istikhlaafuhum" adalah menjadikan mereka menguasai bumi dan menjadi penguasanya; seperti yang terjadi di Syam, Iraq, Khurasan, dan Maghrib".  Ibnu 'Arabiy berkata, "Ayat ini merupakan janji umum dalam masalah nubuwwah, khilafah, tegaknya dakwah, dan berlakunya syariah secara umum."
Imam Thabariy di dalam tafsirnya menyatakan; makna frase "layastakhlifannahum fi al-ardl":

ليورثنهم الله أرض المشركين من العرب والعجم، فيجعلهم ملوكها وساستها( كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ) يقول: كما فعل منْ قبلهم ذلك ببني إسرائيل، إذ أهلك الجبابرة بالشأم، وجعلهم ملوكها وسكانها
”Sesungguhnya Allah akan mewariskan bumi kaum Musyrik, baik dari kalangan Arab dan non Arab kepada mereka (umat Islam), dan menjadikan mereka sebagai penguasanya dan mengatur urusan mereka; sebagaimana Allah telah mengangkat sebagai penguasa orang-orang sebelum mereka;  seperti yang dilakukan oleh Allah pada Bani Israil.  Sebab, mereka (Bani Israil) berhasil mengalahkan rejim Jababirah di Syam dan menjadikan mereka sebagai penguasa daerah itu, sekaligus sebagai penduduknya."

Asy Syaikh Ali al-Shabuniy di dalam Shafwat al-Tafaasiir, menafsirkan frase "layastakhlifannahum fi al-ardl kamastakhlafa al-ladziina min qablihim" atas sebagai berikut:

أي وعد الله المؤمنين المخلصين الذين جمعوا بين الايمان و العمل الصالح {لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ } اي وعدهم  بميراث الارض وأن يجعلهم فيها خلفاء متصرفين فيها تصرف الملوك في ممالكهم, كما استخلف المؤمنين قبلهم فملكهم ديار الكفار..."
"Maksudnya, Allah swt telah berjanji kepada kaum Mukmin yang mukhlish yang terkumpul di dalam dirinya iman dan amal sholeh; [Layastakhlifannahum fi al-ardl kamaa istikhlafa alladzinna min qablihim], yakni Allah swt berjanji akan mewariskan bumi ini kepada mereka (umat Islam), dan menjadikan mereka sebagai khalifah yang akan mengatur muka bumi ini dalam kekuasaan mereka; sebagaimana Allah swt telah mengangkat kaum Mukmin sebelumnya sebagai penguasa, dan menguasai negeri-negeri kaum kafir..."

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan:

كان النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه بمكة (3) نحوا من عشر سنين، يدعون إلى الله وحده، وعبادته وحده لا شريك له سرًا وهم خائفون، لا يؤمرون بالقتال، حتى أمروا بعدُ بالهجرة إلى المدينة، فقدموا المدينة، فأمرهم الله بالقتال، فكانوا بها خائفين يُمْسُون في السلاح ويصبحون في السلاح، فَغَيَّرُوا (4) بذلك ما شاء الله. ثم إن رجلا من أصحابه (5) قال: يا رسول الله، أبدَ الدهر نحن خائفون هكذا؟ أما يأتي علينا يوم نأمن فيه ونضع عنا [فيه] (6) السلاح؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " لن تَغْبروا إلا يسيرا حتى يجلس الرجل منكم في الملأ العظيم مُحْتَبِيًا ليست فيهم حديدة". وأنزل الله هذه الآية، فأظهر الله نبيه على جزيرة العرب، فأمنوا ووضعوا السلاح. ثم إن الله، عز وجل، قبض نبيه صلى الله عليه وسلم فكانوا كذلك آمنين في إمارة أبي بكر وعمر وعثمان.
"Tatkala masih berada di Mekah, hampir 10 tahun lamanya, Nabi saw dan para shahabatnya menyembah dan beribadah kepada Allah swt secara sembunyi-sembunyi.  Mereka dalam keadaan penuh ketakutan, namun belum diperintahkan berperang.  Hingga akhirnya, Allah memerintahkan mereka berperang setelah mereka berhijrah ke Madinah, dan tiba di sana. Sejak saat itu, mereka hidup dalam ketakutan.  Mereka berjalan dan bangun tidur dengan menyandang senjata; dan siapa berperang dengan senjata-senjata mereka jika Allah swt telah berkehendak.  Dalam keadaan seperti itu, ada seorang shahabat bertanya kepada Nabi saw, "Ya Rasulullah, sepanjang waktu kami terus berada dalam ketakutan; lantas, kapan kami bisa merasakan keamanan, dan bisa meletakkan senjata kami?  Rasulullah saw menjawab, "Sesungguhnya, tidak akan pernah kalian bersabar, kecuali kalian akan mendapatkan kemudahan; hingga seorang laki-laki diantara kalian di kepung oleh pasukan yang besar dalam keadaan kaki terikat, dan tidak ada satupun pelindung".  Lalu, turunlah ayat ini.  Tak lama kemudian, Allah swt memenangkan Nabinya atas seluruh jazirah Arab, sehingga para shahabat hidup aman, dan bisa meletakkan senjata mereka.  Setelah itu, Allah swt mewafatkan Nabinya, dan mereka tetap berada dalam keadaan aman sentausa di bawah kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan 'Utsman...."
Imam Syaukaniy, di dalam Fath al-Qadiir menyatakan bahwa janji kekhilafahan berlaku umum untuk seluruh umat Nabi Mohammad saw; dan tidak berlaku khusus bagi kurun tertentu atau orang-orang tertentu.  Beliau juga berpendapat bahwa kekuasaan yang dijanjikan Allah swt tidak hanya di kota Mekah semata, namun di seluruh muka bumi.   Beliau menyatakan:

ليجعلنهم فيها خلفاء يتصرفون فيها تصرف الملوك في مملوكاتهم ، وقد أبعد من قال : إنها مختصة بالخلفاء الأربعة ، أو بالمهاجرين ، أو بأن المراد بالأرض أرض مكة ، وقد عرفت أن الاعتبار بعموم اللفظ لا بخصوص السبب ، وظاهر قوله : { كَمَا استخلف الذين مِن قَبْلِهِمْ } كل من استخلفه الله في أرضه ، فلا يخصّ ذلك ببني إسرائيل ولا أمة من الأمم دون غيره
"Allah swt akan menjadikan mereka sebagai khalifah atas muka bumi, yang akan mengatur semua kekuasaan di bawah kekuasaan mereka". Amatlah jauh (keliru) orang yang berpendapat bahwa janji ini hanya khusus bagi empat khalifah, atau khusus bagi kaum Muhajirin; atau yang dimaksud dengan bumi adalah bumi Mekah. Sungguh sudah diketahui bahwa i’tibar itu berdasarkan keumuman lafadz bukan kekhususan sebab.  Dhahir dari firmanNya [kamaa istakhlafa alladziina min qablihim] adalah setiap orang yang diangkat Allah swt sebagai penguasa di muka bumi; dan tidak hanya khusus pada Bani Israel atau umat tertentu selain Bani Israel.

Di dalam Kitab Zaad al-Masiir dinyatakan:

ليورثنَّهم أرض الكفار من العرب والعجم ، فيجعلهم ملوكها وساستها وسكَّانها
"Frase "layastakhlifannahum fi al-ardl", maknanya adalah Allah mewariskan bumi Arab maupun non Arab untuk mereka, sekaligus menjadikan mereka sebagai penguasa, pengatur, sekaligus sebagai penduduknya".

Janji Istikhlaf di Dalam Sunnah

Di dalam sunnah, banyak dituturkan riwayat-riwayat yang berisi bisyarah (kabar gembira) tegaknya kekhilafahan Islam yang kekuasaannya meliputi timur dan barat bumi.   Di antara hadits-hadits yang berbicara tentang bisyarah Rasulullah saw adalah sebagai berikut:

Imam Ahmad menuturkan sebuah riwayat bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ (رَوَاهُ اَحْمَدُ)
"Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya.  Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan 'ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang.  Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya.  Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang.  Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya.  Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya.  Kemudian, datanglah masa Khilafah 'ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian).  Setelah itu, beliau diam".[HR. Imam Ahmad]

Di dalam hadits-hadits shahih, Nabi Mohammad saw telah mengabarkan kabar gembira (bisyarah) kepada kaum Muslim tentang kekuasaan umat Islam yang mencakup seluruh muka bumi.   Riwayat-riwayat yang menuturkan kekuasaan kaum Muslim mulai dari timur dan barat, menunjukkan bahwasanya kekhilafahan Islam akan ditegakkan kembali di muka bumi.  Pasalnya, perluasan kekuasaan kaum Muslim hanya akan terjadi jika di sana ada penaklukkan-penaklukkan.  Penaklukkan-penaklukkan hanya terjadi jika di sana ada pasukan perang yang dilengkapi oleh piranti perang yang kuat dan canggih. Semua itu tidak akan terwujud kecuali ada negara super power yang tegak di atas ’aqidah dan syariat Islam.  Negara itu tidak lain tidak bukan adalah Khilafah Islamiyyah.

Di antara riwayat-riwayat yang berbicara tentang kekuasaan kaum Muslim yang mencakup timur dan barat adalah sebagai berikut.  Imam Muslim menuturkan sebuah hadits dari Tsauban, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

ِإنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا...“ (أخرجه الامام مسلم, صحيح مسلم 4:2215 , الترمذي, سنن الترمذي 4:472 ,ابو داود,سنن ابو داود,4:97)
”Sesungguhnya Allah swt telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku, sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya.  Sesungguhnya umatku, kekuasaannya akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku”.[HR. Imam Muslim, Tirmidziy, dan Abu Dawud]

Al-Imam Al-Hafidz al-Khaathabiy berkata:

”.. وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْأَرْضَ زُوِيَتْ لِي جُمْلَتُهَا مَرَّةً وَاحِدَةً فَرَأَيْت مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا , ثم هي تفتح لأمتي جزأ فجزأ حتى يصل ملك أمتي إلى كل أجزائها... (العلامة الشيخ محمد عبد الرحمن المباركفوري, تحفة الاحوذي بشرح سنن الترمذي,4:468)
”..Maknanya adalah, sesungguhnya bumi telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku seluruhnya secara serentak, sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya.  Kemudian, bumi akan ditaklukkan untuk ummatku bagian demi bagian, hingga kekuasaan umatku meliputi seluruh bagian muka bumi”..[Imam al-Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy bi Syarh Sunan al-Tirmidziy, juz 4/468]

Imam An Nawawiy Asy Syafi’iy ra, menyatakan:

..فيه إشارة إلى أن ملك هذه الأمة يكون معظم امتداده في جهتي المشرق والمغرب وهكذا وقع وأما في جهتي الجنوب والشمال فقليل بالنسبة إلى المشرق والمغرب انتهى (العلامة الشيخ محمد شمس الحق العظيم, عون المعبود بشرح سنن ابو داود, 9:292)
”Di dalam hadits ini ada isyarat bahwasanya kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) pada arah timur dan barat, dan inilah yang telah terjadi.  Adapun pada arah selatan dan utara, maka itu lebih kecil jika dinisbahkan kepada timur dan barat. Selesai.”[Imam Syams al-Haqq al-’Adziim, ’Aun al-Ma’buud bi Syarh Sunan Abu Dawud, juz 9/292]

Imam Ahmad menuturkan sebuah riwayat dari Tamin Ad Daariy ra, bahwasanya Nabi saw bersabda:

لَيَبْلُغَنَّ هَذَا الْأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ, وَلَا يَتْرُكُ الله بَيْتَ مَدَرٍ وَلَا وَبَرٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ الله هَذَا الدِّينَ بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ, عِزًّا يُعِزُّ الله بِهِ الْإِسْلَامَ وَذُلًّا يُذِلُّ الله بِهِ الْكُفْر َوَكَانَ تَمِيمٌ الدَّارِيُّ ، يَقُولُ : قَدْ عَرَفْتُ ذَلِكَ فِي أَهْلِ بَيْتِي ، لَقَدْ أَصَابَ مَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمُ الْخَيْرُ وَالشَّرَفُ وَالْعِزُّ ، وَلَقَدْ أَصَابَ مَنْ كَانَ مِنْهُمْ كَافِرًا الذُّلُّ وَالصَّغَارُ وَالْجِزْيَةُ
“Urusan ini akan mencapai apa yang malam dan siang mencapainya.  Allah swt tidak membiarkan bait madar dan wabar, kecuali Allah memasukkannya ke dalam agama ini dengan kemulyaan atau dengan kehinaan.  Kemulyaan yang dengannya Allah swt akan memulyakan Islam; tau kehinaan, yang dengann+ya Allah swt akan menghinakan kekufuran.  Tamim ad Daariy ra berkata, “Sungguh aku melihat hal itu di keluargaku. Sungguh, kebaikan dan kemulyaan menimpa siapa saja di antara mereka yang masuk ke dalam agama Islam.  Dan kehinaan, kekerdilan, dan jizyah menimpa siapa saja di antara mereka yang kafir”. [HR. Imam Ahmad dari Tamim ad Daariy ra]

Hadits ini mengisyaratkan bahwasanya Islam akan tersebar di seluruh penjuru dunia.   “Tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia” mengisyaratkan bahwasanya Islam akan menguasai seluruh dunia, sehingga penyebaran Islam ke seluruh dunia berlangsung dengan mudah.  Imam Ath Thahawiy berkata:

أنه قد يحتمل أن يكون المراد في حديث تميم عموم الأرض كلها ، حتى لا يبقى بيت إلا دخله ، إما بالعز الذي ذكره ، أو بالذل الذي ذكره في هذا الحديث... ((مشكل الاثر, 13:389
“Sesungguhnya hadits Tamim al-Daariy ini harus dibawa ke arah makna “umumnya muka bumi keseluruhannya, hingga tidak ada suatu negeri kecuali masuk dalam kekuasaan Islam, baik dengan kemulyaan sebagaimana yang beliau ceritakan, atau dengan kehinaan sebagaimana yang beliau tuturkan dalam hadits ini”.[Musykil al-Atsar, juz 13/389]

Hadits ini didukung sekitar delapan hadits lain, dengan makna yang sama. Seperti masuknya Islam ke setiap rumah, al-waraq al-mu’allaq, turunnya Khilafah di al-Quds, dan lain sebagainya.

Adapun makna hadits kembalinya Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah ini diriwayatkan oleh 25 sahabat, yang kemudian diriwayatkan oleh 39 tabiin, kemudian diriwayatkan oleh 62 tabiit tabiin.

Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari ‘Amru bin ‘Ash ra, bahwasanya Abu Qabil ra berkata:

كُنَّا عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِي وَسُئِلَ أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلًا الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ أَوْ رُومِيَّةُ فَدَعَا عَبْدُ اللَّهِ بِصُنْدُوقٍ لَهُ حَلَقٌ قَالَ فَأَخْرَجَ مِنْهُ كِتَابًا قَالَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بَيْنَمَا نَحْنُ حَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَكْتُبُ إِذْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلًا قُسْطَنْطِينِيَّةُ أَوْ رُومِيَّةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلًا يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ
”Kami sedang bersama ’Abdullah bin ’Amru bin al-’Ash, dan ia ditanya mana kota yang ditaklukkan pertama kali; Kostantinopel atau Romawi?  ’Abdullah saw pun mengambil sebuah kotak antik.  Abu Qabil berkata,”’Abdullah mengeluarkan secarik tulisan dari kotak itu.  Abu Qabil berkata, ”Lalu ’Abdullah bin ’Amru bin al-’Ash berkata, ”Ketika kami berada di sekeliling Rasulullah saw, kami menulis, ketika Rasulullah saw ditanya kota mana yang ditaklukkan pertama kali, Kostantinopel atau Romawi; maka Rasulullah saw menjawab, ”Kota Heraklius akan ditaklukkan pertama kali.  Maksudnya adalah kota Kostantinnopel”. [HR. Imam Ahmad]

Di dalam hadits ini, Nabi saw memberikan kabar gembira kepada kaum Muslim dengan ditaklukkannya Konstantinnopel dan Romawi.  Di dalam sejarah dituturkan bahwasanya kota Konstantinnopel berhasil ditaklukkan pasukan Islam yang dipimpin Sultan Mohammad Al Fatih.  Penaklukkan kota Konstantinnopel juga disebutkan dalam sebuah hadits yang dituturkan oleh Imam Ahmad. Rasulullah saw bersabda:

لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ
”Sungguh, akan ditaklukkan Konstantinopel.  Sebaik-baik amir adalah amirnya ( amir yang menaklukkan Konstantinopel) dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya (pasukan yang menaklukkan kota itu)”. [HR. Imam Ahmad]

Ada satu kota yang belum ditaklukkan oleh kaum Muslim, yakni kota Romawi.  Penaklukkan kota Romawi --akan terlaksana dengan ijin Allah swt--, mengisyaratkan tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah yang akan melaksanakan bisyarah Nabi saw tersebut.

Imam Ibnu ’Asakir di dalam Kitab Tarikhnya menuturkan sebuah riwayat sebagai berikut:

قرأت بخط أبي الحسين محمد بن عبد الله الرازي ، أنا أبو الحسن أحمد بن عمير بن حوصا ، نا أبو عامر موسى بن عامر ، نا الوليد بن مسلم ، نا مروان بن جناح ، عن يونس بن ميسرة بن حلبس قال : قال رسول الله ( " هذا الأمر ( يعني الخلافة ) كائن بعدي بالمدينة ثم بالشام ثم بالجزيرة ثم بالعراق ثم بالمدينة ثم ببيت المقدس فإذا كان ببيت المقدس أتم عقر دارها ولن يخرجها قوم فتعود إليهم أبدا "(352) . وهذا حديث مرسل رجاله ثقات
”Saya membaca tulisan Abu al-Husain Mohammad bin ’Abdullah al-Raziy, ”Telah mengabarkan kepada kami, Abu al-Hasan Ahmad bin ’Umair bin Husha; telah mengabarkan kepada kami Abu ’Amir Musa bin ’Amir; telah mengabarkan kepada kami al-Walid bin Muslim; telah mengabarkan kepada kami Marwan bin Junah, dari Yunus bin Maisarah bin Halbas, bahwasanya ia berkata, ”Rasulullah saw bersabda, ”Urusan ini (Khilafah) akan tegak setelahku di Madinah, kemudian di Syam, kemudian di Jazirah, kemudian di ’Iraq, kemudian di Madinah, kemudian di Baitul Maqdis.  Jika sudah berada di Baitul Maqdis, maka sempurnalah perputarannya, dan tak akan pernah ada satupun kaum pun yang bisa mengeluarkannya, sehingga kembali kepada mereka selama-lamanya”. [HR Imam Ibnu ’Asakir]

Imam Abu Dawud menuturkan sebuah hadits dari ’Abdullah bin Hawalah al-Azdiy bahwasanya beliau berkata:

بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَغْنَمَ عَلَى أَقْدَامِنَا فَرَجَعْنَا فَلَمْ نَغْنَمْ شَيْئًا وَعَرَفَ الْجَهْدَ فِي وُجُوهِنَا فَقَامَ فِينَا فَقَالَ اللَّهُمَّ لَا تَكِلْهُمْ إِلَيَّ فَأَضْعُفَ عَنْهُمْ وَلَا تَكِلْهُمْ إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَيَعْجِزُوا عَنْهَا وَلَا تَكِلْهُمْ إِلَى النَّاسِ فَيَسْتَأْثِرُوا عَلَيْهِمْ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي أَوْ قَالَ عَلَى هَامَتِي ثُمَّ قَالَ يَا ابْنَ حَوَالَةَ إِذَا رَأَيْتَ الْخِلَافَةَ قَدْ نَزَلَتْ أَرْضَ الْمُقَدَّسَةِ فَقَدْ دَنَتْ الزَّلَازِلُ وَالْبَلَابِلُ وَالْأُمُورُ الْعِظَامُ وَالسَّاعَةُ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنْ النَّاسِ مِنْ يَدِي هَذِهِ مِنْ رَأْسِكَ قَالَ أَبُو دَاوُد عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حَوَالَةَ حِمْصِيٌّ
”Rasulullah saw telah mengutus kami berperang agar kami mendapatkan ghanimah di bawah kaki-kaki kami.  Kami pun berangkat, namun kami tidak mendapatkan harta ghanimah sedikitpun.  Rasulullah saw melihat kesungguhan di wajah kami, lalu beliau berdiri di tengah-tengah kami dan berdoa, ”Ya Allah janganlah Engkau menyerahkan urusan mereka kepadaku, sehingga aku memberatkan beban mereka, dan janganlah Engkau menyerahkan urusan mereka kepada diri mereka sendiri, sehingga mereka tidak mampu menanggung beban mereka sendiri (dikarenakan syahwat dan keburukan mereka yang banyak), dan janganlah Engkau menyerahkan urusan mereka kepada manusia, hingga mereka berniat untuk manusia (lalu mereka menelantarkannya). Lalu, beliau meletakkan tangannya di atas kepalaku (ra’siy) (atau ia berkata: lalu Rasulullah saw meletakkan tangannya di atas kepalaku (haamatiy), seraya bersabda, ”Wahai Ibnu Hawalah, jika engkau menyaksikan Khilafah akan turun di bumi muqaddasah (Baitul Maqdis), maka akan muncul kegoncangan-kegoncangan, kekacauan-kekacauan, dan urusan-urusan yang sangat besar.  Hari itu akan terjadi lebih dekat daripada jarak tanganku ini dengan kepalamu.” Abu Dawud menyatakan bahwa Abu Hawalah adalah orang Himsha [HR. Imam Abu Dawud]

Hadits-hadits di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwasanya Khilafah akan ditegakkan di Baitul Maqdis.

Riwayat lain menyebutkan kemunculan seorang Khalifah yang membagi-bagikan harta yang melimpah ruah.  Imam Muslim dan Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari Abu Nadlrah dari Jabir ra bahwasanya Abu Nadlrah berkata:

كُنَّا عِنْدَ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: يُوشِكُ أَهْلُ الْعِرَاقِ أَنْ لَا يُجْبَى إِلَيْهِمْ قَفِيزٌ ، وَلَا دِرْهَمٌ، قُلْنَا: مِنْ أَيْنَ ذَاكَ ؟ قَالَ: مِنْ قِبَلِ الْعَجْمِ، يُمْنَعُونَ ذَلِكَ، ثُمَّ قَالَ: يُوشِكُ أَهْلُ الشَّامِ أَنْ لَا يُجْبَى إِلَيْهِمْ دِينَارٌ، وَلَا مُدِّيٌّ، قُلْنَا: مِنْ أَيْنَ ذَاكَ ؟ مِنْ قِبَلِ الرُّومِ يُمْنَعُونَ ذَاكَ، قَالَ: ثُمَّ سَكَتَ (1) هُنَيْهَةً ، ثُمَّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي خَلِيفَةٌ، يَحْثُو الْمَالَ (2) حَثْوًا، (3) لَا يَعُدُّهُ عَدًّا "، قَالَ الْجُرَيْرِيُ: فَقُلْتُ لِأَبِي نَضْرَةَ: وَأَبِي الْعَلَاءِ: " أَتَرَيَانِهِ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ ؟ " فَقَالَا: " لَا " (4)
“Kami sedang berada di sisi Jabir bin ‘Abdullah ra.  Beliau berkata, “Begitu cepatnya penduduk Irak dihalangi untuk mendapatkan qafiz dan dirham”.  Kami bertanya, “Siapa yang melakukan itu?’. Jabir ra menjawab, “Orang ‘Ajam, yang mereka menghalangi hal itu”.  Kemudian Jabir ra berkata kembali, “Begitu cepatnya penduduk Syam dihalangi untuk mendapatkan dinar dan muddiy”.  Kami bertanya, “Siapa yang melakukan hal itu?”. Orang Romawi yang menghalangi hal itu”. Abu Nadlarah berkata, “Lalu beliau diam tidak berkata apapun”. Lalu, Jabir ra berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Akan muncul di akhir umatku, seorang Khalifah yang memberikan harta sangat banyak, yang ia tidak pernah menghitung jumlahnya”. Al-Jurairiy berkata, “Saya bertanya kepada Abu Nadlrah dan Abu al-‘Ala`, “Apakah kalian berpendapat bahwa khalifah itu adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz?  Keduanya menjawab, “Tidak”.[HR. Imam Ahmad dan Muslim]

Bisyarah tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah juga ditunjukkan oleh riwayat-riwayat yang menceritakan tentang datangnya Imam Mahdiy.  Hadits-hadits yang bertutur tentang Imam Mahdiy jumlahnya sangat banyak, sehingga mencapai derajat mutawatir.  Imam Al-Hafidz As Suyuthi di dalam Kitab Al-Hawiy menyebutkan lebih dari 30 orang shahabat yang menuturkan riwayat-riwayat tentang Imam Mahdiy dengan jalur periwayatan yang banyak dan berbeda-beda.

Adapun yang dimaksud Imam Mahdiy di sini, tentu saja berbeda dengan Imam Mahdiy yang dimaksud oleh sekte Syi’ah.  Yang dimaksud Imam Mahdiy di sini seorang khalifah yang ada di akhir zaman yang memerintah dengan penuh keadilan, bukan Imam Mahdiy sebagaimana pemahaman sekte Syi’ah. Di antara hadits yang bertutur tentang Imam Mahdiy adalah sebagai berikut:

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدَّهْرِ إِلاَّ يَوْمٌ لَبَعَثَ اللَّهُ رَجُلاً مِنْ أَهْلِ بَيْتِى يَمْلأُهَا عَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا
“Seandainya masih tersisa waktu, walaupun hanya sehari saja, niscaya Allah akan mengutus seorang laki-laki dari keluargaku yang memenuhi waktu dengan keadilan sebagaimana, sebagaimana sebelumnya waktu dipenuhi oleh kelaliman”. [HR. Imam Abu Dawud dari ‘Ali ra]

Imam Tirmidziy menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

 لاَ تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ العَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي. وَفِي البَابِ عَنْ عَلِيٍّ ، وَأَبِي سَعِيدٍ ، وَأُمِّ سَلَمَةَ ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ. وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
“Dunia tidak akan lenyap hingga seorang laki-laki dari keluargaku berkuasa di Arab, yang namanya seperti namaku”.  Isi hadits ini juga diriwayatkan dari ‘Ali ra, Abi Sa’id, Ummu Salamah, dan Abu Hurairah ran.  Hadits ini hasan shahih]

Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Abdullah dari Nabi saw, bahwasanya beliau saw bersabda:

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ ». قَالَ زَائِدَةُ فِى حَدِيثِهِ « لَطَوَّلَ اللَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ ». ثُمَّ اتَّفَقُوا « حَتَّى يَبْعَثَ فِيهِ رَجُلاً مِنِّى ». أَوْ « مِنْ أَهْلِ بَيْتِى يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِى وَاسْمُ أَبِيهِ اسْمَ أَبِى ». زَادَ فِى حَدِيثِ فِطْرٍ « يَمْلأُ الأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَجَوْرًا ». وَقَالَ فِى حَدِيثِ سُفْيَانَ « لاَ تَذْهَبُ أَوْ لاَ تَنْقَضِى الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ الْعَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِى ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ لَفْظُ عُمَرَ وَأَبِى بَكْرٍ بِمَعْنَى سُفْيَانَ.
“Seandainya di dunia ini tidak ada waktu tersisa kecuali hanya sehari saja”, Zaidah berkata di dalam haditsnya, “Niscaya Allah akan memanjangkan hari itu”, lalu mereka bersepakat, “Hingga Allah mengutus di hari itu seorang laki-laki dariku”, atau “seorang laki-laki dari keluargaku (ahlul bait), yang namanya seperti namaku dan bapaknya seperti bapakku”.  Ada tambahan di dalam haditsnya Fithr, “Yang memenuhi dunia dengan keadilan dan kesetaraan, sebagaimana sebelumnya dunia dipenuji oleh kedzaliman dan kelaliman”.  Nabi saw bersabda, dalam haditsnya Sufyan, “Dunia tidak akan lenyap atau binasa, hingga seorang laki-laki dari keluargaku berkuasa di Arab, yang namanya seperti namaku”. Imam Abu Dawud berkata, “Lafadz dari ‘Umar dan Abu Bakar semakna dengan hadits yang lafadznya dari Sufyan]

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Sa’id al-Khudriy bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw bersabda:

أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ يُبْعَثُ فِي أُمَّتِي عَلَى اخْتِلَافٍ مِنَ النَّاسِ وَزَلَازِلَ، فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلًا، كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا، يَرْضَى عَنْهُ سَاكِنُ السَّمَاءِ وَسَاكِنُ الْأَرْضِ، يَقْسِمُ الْمَالَ صِحَاحًا " فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: مَا صِحَاحًا ؟ قَالَ: " بِالسَّوِيَّةِ بَيْنَ النَّاسِ " قَالَ: " وَيَمْلَأُ اللهُ قُلُوبَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غِنًى، وَيَسَعُهُمْ عَدْلُهُ، حَتَّى يَأْمُرَ مُنَادِيًا فَيُنَادِي فَيَقُولُ: مَنْ لَهُ فِي مَالٍ حَاجَةٌ ؟ فَمَا يَقُومُ مِنَ النَّاسِ إِلَّا رَجُلٌ (1) فَيَقُولُ (2) أنا، فيقول: ائْتِ السَّدَّانَ - يَعْنِي الْخَازِنَ - فَقُلْ لَهُ: إِنَّ الْمَهْدِيَّ يَأْمُرُكَ أَنْ تُعْطِيَنِي مَالًا، فَيَقُولُ لَهُ: احْثِ حَتَّى إِذَا جَعَلَهُ فِي حِجْرِهِ وَأَبْرَزَهُ نَدِمَ، فَيَقُولُ: كُنْتُ أَجْشَعَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ نَفْسًا، أَوَعَجَزَ عَنِّي مَا وَسِعَهُمْ ؟ قَالَ: فَيَرُدُّهُ فَلَا يَقْبَلُ مِنْهُ، فَيُقَالُ لَهُ: إِنَّا لَا نَأْخُذُ شَيْئًا أَعْطَيْنَاهُ، فَيَكُونُ كَذَلِكَ سَبْعَ سِنِينَ - أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ، أَوْ تِسْعَ سِنِينَ - ثُمَّ لَا خَيْرَ فِي الْعَيْشِ بَعْدَهُ - أَوْ قَالَ: ثُمَّ لَا خَيْرَ فِي الْحَيَاةِ بَعْدَهُ
“Aku akan mengabarkan kepada kalian tentang Al-Mahdiy. Ia diutus kepada umatku ketika manusia berselisih dan mengalami kekacauan. Lalu, ia memenuhi bumi dengan kesetaraan dan keadilan, sebagaimana sebelumnya bumi dipenuhi kelaliman dan kedzaliman.  Seluruh penduduk langit dan bumi ridlo kepadanya.  Dan ia membagi-bagi harta dengan shihahan”.  Seorang laki-laki bertanya, “Apa yang dimaksud dengan shihahan? Beliau menjawab, “Dengan kadar yang sama di antara manusia”. Beliau bersabda, “Allah memenuhi hati umat Mohammad saw dengan kekayaan dan membahagiakan mereka dengan keadilannya.  Hingga seorang penyeru berseru, “Siapa yang masih membutuhkan harta? Tak seorang pun dari manusia yang berdiri, kecuali hanya satu orang laki-laki, seraya berkata, “Saya”. Penyeru itu berkata, “Panggilah bendahara, dan katakanlah kepadanya, “Sesungguhnya Mahdiy memerintahkanmu agar kamu memberiku harta”.  Maka laki-laki itu berkata kepada bendahara, “Berikanlah”, hingga ketika ia meletakkan harta itu di kamarnya dan melihatnya, maka ia menyesal”.  Laki-laki itu pun berkata, “Aku ini adalah umat Nabi Mohammad saw yang paling tamak.  Atau, apakah yang diberikan kepada mereka sedikit dibandingkan yang diberikan kepadaku? Beliau bersabda,”Lalu, laki-laki itu mengembalikan harta itu, namun bendahara itu menolaknya.  Dikatakan kepada laki-laki itu,”Kami tidak akan menarik sesuatu yang sudah kami berikan”.  Hal itu berlangsung selama 7 tahun (atau 8 atau 9 tahun). Lalu, setelah itu tidak ada lagi penghasilan yang baik.  Kemudian, tidak ada lagi kebaikan di dalam kehidupan”.[HR. Imam Ahmad.  Menurut Imam Al-Haitsamiy, perawinya banyak yang tsiqah]

Imam Thabaraniy menuturkan sebuah riwayat dalam Kitab al-Kabir dari Qais bin Jabir dari bapaknya, dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَيَكُونُ مِنْ بَعْدِي خُلَفَاءُ، وَمِنْ بَعْدِ الْخُلَفَاءِ أُمَرَاءُ، وَمِنْ بَعْدِ الأُمَرَاءِ مُلُوكٌ، وَمِنْ بَعْدِ الْمُلُوكِ جَبَابِرَةٌ، ثُمَّ يَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يَمْلأُ الأَرْضَ عَدْلا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا، ثُمَّ يُؤَمَّرُ الْقَحْطَانِيُّ، فَوَالَّذِي بَعَثَنِي بِالْحَقِّ مَا هُوَ دُونَهُ
“Setelahku akan ada para khalifah.  Setelah para khalifah, muncullah umara’, dan setelah ‘umara’ muncullah para raja, dan setelah para raja, muncullah jabaabirah (dictator).  Lalu, muncullah seorang laki-laki dari keluarga yang memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dunia dipenuhi kelaliman.  Setelah masanya berakhir, al-Qahthaniy akan memerintah.  Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, ia sama dengan dirinya”.[HR. Imam Thabaraniy]

Imam Thabaraniy menuturkan di dalam Al-Ausath sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda:

يَكُونُ فِي أُمَّتِي الْمَهْدِيُّ، إِنْ قُصِرَ فَسَبْعٌ وَإِلا فَثَمَانٍ، وَإِلا فَتِسْعٌ، تَنْعَمُ أُمَّتِي فِيهِ نِعْمَةً لَمْ يَنْعَمُوا مِثَلَهَا، يُرْسِلُ اللَّهُ السَّمَاءَ عَلَيْهِمْ مِدْرَارًا، وَلا تَدَّخِرُ الأَرْضُ بِشَيْءٍ مِنَ النَّبَاتِ وَالْمَالُ كُدُوسٌ يَقُومُ الرَّجُلُ، فَيَقُولُ: يَا مَهْدِيُّ، أَعْطِنِي فَيَقُولُ: خُذْهُ"
“Akan muncul di tengah-tengah umatku, Al Mahdiy, walaupun masanya pendek, yakni tujuh, atau delapan, atau sembilan tahun, namun umatku mendapatkan kenikmatan pada dirinya dengan kenikmatan yang tiada taranya. Allah swt menurunkan air hujan dari langit untuk mereka, dan bumi tidak menyimpan apapun dari tetumbuhan.  Harta melimpah ruah hingga tertimbun.  Ada seorang laki-laki berkata, “Wahai Mahdiy, berilah aku”.  Maka Mahdiy menjawab, “Ambilkan untuknya”. [HR. Imam Ath Thabaraniy.  Imam al-Haitsamiy menyatakan, “Imam Thabaraniy meriwayatkannya di dalam Kitab al-Ausath, dan rijalnya tsiqqah]

Dari jalur Imam Ad Daruquthniy di Kitab Al-Afrad, dan Imam Thabaraniy di dalam Kitab al-Ausath (Majmuu’ al-Ausath) dari Abu Hurairah ra; dan juga yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain dari Ummu Salamah ra, dari Nabi saw, bahwasanya beliau bersabda:

يَكُونُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ هَارِبًا إِلَى مَكَّةَ فَيَأْتِيهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَيُخْرِجُونَهُ وَهُوَ كَارِهٌ فَيُبَايِعُونَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ وَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ مِنَ الشَّامِ فَيُخْسَفُ بِهِمْ بِالْبَيْدَاءِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَإِذَا رَأَى النَّاسُ ذَلِكَ أَتَاهُ أَبْدَالُ الشَّامِ وَعَصَائِبُ أَهْلِ الْعِرَاقِ فَيُبَايِعُونَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ ثُمَّ يَنْشَأُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ أَخْوَالُهُ كَلْبٌ فَيَبْعَثُ إِلَيْهِمْ بَعْثًا فَيَظْهَرُونَ عَلَيْهِمْ وَذَلِكَ بَعْثُ كَلْبٍ وَالْخَيْبَةُ لِمَنْ لَمْ يَشْهَدْ غَنِيمَةَ كَلْبٍ فَيَقْسِمُ الْمَالَ وَيَعْمَلُ فِى النَّاسِ بِسُنَّةِ نَبِيِّهِمْ -صلى الله عليه وسلم- وَيُلْقِى الإِسْلاَمُ بِجِرَانِهِ إِلَى الأَرْضِ فَيَلْبَثُ سَبْعَ سِنِينَ ثُمَّ يُتَوَفَّى وَيُصَلِّى عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ قَالَ بَعْضُهُمْ عَنْ هِشَامٍ « تِسْعَ سِنِينَ ». وَقَالَ بَعْضُهُمْ « سَبْعَ سِنِينَ ». قال الهيثمي : رواه الطبراني في الأوسط ورجاله رجال الصحيح
“Akan ada perselisihan menjelang kematian seorang Khalifah.  Lalu, keluarlah seorang laki-laki penduduk Madinah dengan cepat menuju Mekah.  Penduduk kota Mekah mendatangi laki-laki itu, dan mereka mengeluarkan laki-laki itu dari rumahnya, walaupun laki-laki itu menolak.  Kemudian, mereka membai’at laki-laki itu di antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim. Lalu dikirimlah kepadanya pasukan perang dari Syams, namun pasukan itu ditenggelamkan (terkubur) di Bida’ antara Mekah dan Madinah.  Ketika manusia melihat itu, maka datanglah Abdaal Al-Syams [(30 atau 40 orang sholeh yang hatinya seperti Nabi Ibrahim as, di mana jika seorang di antara mereka meninggal, maka Allah swt akan mengganti posisinya dengan orang lain)]  dan sekelompok orang terpilih dari Iraq mendatanginya, lalu membai’atnya (Mahdiy)  di antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim.  Lalu, muncullah seorang laki-laki dari Quraisy  (bapaknya orang Quraisy dan ibunya berasal dari suku Kalab).  Ia mengirim pasukan kepada mereka (orang-orang yang membai’at Imam Al Mahdiy), namun pasukannya berhasil dikalahkan oleh orang-orang yang membai’at Imam Mahdiy. Pasukan itu adalah pasukan yang dikirim laki-laki Quraisy keturunan Kalab. Penyesalan bagi siapa saja yang tidak menyaksikan ghanimahnya Kalab.  Selanjutnya, laki-laki itu (Imam Mahdiy) membagi-bagi harta dan memperlakukan manusia dengan sunnah Nabi mereka saw.  Islam pun tegak di seluruh muka bumi.  Laki-laki itu (Imam Mahdiy) memerintah selama tujuh tahun, lalu wafat, dan kaum Muslim menyolatkannya”.  Abu Dawud berkata, “Sebagian ahli hadits menyatakan dari Hisyam (ia memerintah selama 9  tahun), sedangkan yang lain menyatakan, “Tujuh tahun”.  Al-Hafidz al-Haitsamiy berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabaraniy dal;am al-Ausath dan rijal-rijalnya shahih]

Al Kattaniy di dalam Kitab Nudhum al-Mutanaatsir min al-Hadits al-Mutawatir, menyatakan:

وقد نقل غير واحد عن الحافظ السخاوي أنها متواترة والسخاوي ذكر ذلك في فتح المغيث ونقله عن أبي الحسين الإبري وقد تقدم نصه أول هذه الرسالة وفي تأليف لأبي العلاء إدريس بن محمد بن إدريس الحسين العراقي في المهدي هذا أن أحاديثه متواترة أو كادت
“Dinukilkan tidak hanya satu jalur, dari al-Hafidz al-Sakhawiy bahwasanya hadits-hadits yang bertutur tentang Al-Mahdiy adalah mutawatir.  Keterangan ini disebutkan di dalam Kitab Fath al-Mughits.  Dinukilkan dari Abu al-Husain al-Ibriy, yang sudah disebutkan redaksinya di awal risalah ini, dan di dalam Ta’lif karya Abu al-‘Ilaa’ Idris bin Mohammad bin Idris al-Husain al-‘Iraqiy tentang (kedatangan) Al-Mahdiy, bahwasa hadits-hadits tentang Al Mahdiy adalah mutawatir atau hampir-hampir mutawatir.”.[Al-Kattaniy, Nudhum al-Mutanaatsir min al-Hadits al-Mutawatir, Juz 1, hal.226]

Masih menurut Al-Kattaniy:

وفي شرح الرسالة للشيخ جسوس ما نصه ورد خبر المهدي في أحاديث ذكر السخاوي أنها وصلت إلى حد التواتر, وفي شرح المواهب نقلا عن أبي الحسين الإبري في مناقب الشافعي قال تواترت الأخبار أن المهدي من هذه الأمة وأن عيسى يصلي حلفه ذكر ذلك ردا لحديث ابن ماجة عن أنس ولا مهدي إلا عيسى
“Di dalam Syarah al-Risalah, karta Syaikh Jasus, disebutkan bahwasanya berita tentang Al Mahdiy terdapat di dalam hadits-hadits yang dinyatakan oleh Al Hafidz al-Sakhawiy telah mencapai derajat mutawatir. Di dalam Syarah al-Mawahib, dinukilkan dari al-Husain al-Ibriy di dalam Kitab Manaqib al-Syafi’iy, bahwasanya ia berkata, “Informasi-informasi yang menyatakan bahwa Al Mahdiy adalah bagian dari umat ini, dan ‘Isa as akan sholat dibelakangnya adalah mutawatir.  Ini dituturkan sebagai bantahan atas haditsnya Ibnu Majah dari Anas bin Malik ra yang menyatakan ” tidak ada Al-Mahdiy kecuali Nabi Isa as”. [Al-Kattaniy, Nudhum al-Mutanaatsir min al-Hadits al-Mutawatir, Juz 1, hal.226]

Masih di dalam Kitab Nudhum al-Mutanaatsir disebutkan:

وفي مغاني الوفا بمعاني الإكتفا قال الشيخ أبو الحسين الإبري قد تواترت الأخبار واستفاضت بكثرة رواتها عن المصطفى صلى الله عليه وسلم بمجيء المهدي وأنه سيملك سبع سنين وأنه يملأ الأرض عدلا
“Di dalam Kitab Maghaniy al-Wafaa’ bi Ma’aani al-Iktifaa’, Syaikh Abu al-Husain al-Ibriy menyatakan, “Berita-berita tersebut telah mutawatir dan mustafadl disebabkan jumlah perawi yang sangat banyak dari Nabi Mohammad saw tentang kedatangan Al Mahdiy.  Sesungguhnya Mahdiy akan berkuasa selama tujuh tahun dan akan memenuhi bumi dengan keadilan”. [Al-Kattaniy, Nudhum al-Mutanaatsir min al-Hadits al-Mutawatir, Juz 1, hal.226]

Datangnya Imam Mahdiy dan Nabi Isa as di akhir zaman, merupakan dalil sharih akan tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah.  Wajib diketahui bahwasanya Imam Mahdiy yang dimaksud di dalam hadits-hadits di atas bukanlah Imam Mahdiy seperti yang diyakini sekte Syi’ah, akan tetapi ia adalah seorang laki-laki dari kalangan umat Islam yang memerintah manusia dengan penuh keadilan.   Imam Ibnu Katsir di dalam Kitab Bidayah wa al-Nihayah menyatakan:

فَقَالَ: " فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ، وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ; فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ ". تَفَرَّدَ بِهِ ابْنُ مَاجَهْ، وَإِسْنَادُهُ قَوِيٌّ صَحِيحٌ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُرَادَ بِهَذَا الْكَنْزِ الْمَذْكُورِ كَنْزُ الْكَعْبَةِ، يَقْتَتِلُونَ عِنْدَهُ; لِيَأْخُذَهُ ثَلَاثَةٌ مِنْ أَوْلَادِ الْخُلَفَاءِ، حَتَّى إِذَا كَانَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ خَرَجَ الْمَهْدِيُّ مِنْ بِلَادِ الْمَشْرِقِ، وَقِيلَ: مِنْ مَكَّةَ. لَا مِنْ سِرْدَابِ سَامَرَّا، كَمَا تَزْعُمُهُ الرَّافِضَةُ مِنْ أَنَّهُ مَحْبُوسٌ فِيهِ الْآنَ، وَهُمْ يَنْتَظِرُونَ خُرُوجَهُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ، وَهَذَا مِنَ الْهَذَيَانِ، وَقِسْطٌ كَبِيرٌ مِنَ الْخِذْلَانِ، وَهَوَسٌ شَدِيدٌ مِنَ الشَّيْطَانِ; إِذْ - لَا دَلِيلَ عَلَى ذَلِكَ وَلَا بُرْهَانَ، مِنْ كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ وَلَا مَعْقُولٍ صَحِيحٍ وَلَا بَيَانٍ.
“Lalu, Nabi saw bersabda, “Jika kalian melihatnya, maka bai’atlah dirinya, walaupun harus merangkak di atas salju. Sesungguhnya ia adalah Khalifatullah al-Mahdiy”. Hanya Imam Ibnu Majah yang meriwayatkan hadits ini.  Isnad-isnadnya qawwiyun shahiihun (kuat shahih).  Dhahirnya, yang dimaksud dengan al-kanz  (harta simpanan) yang disebut dalam riwayat itu adalah kanzu al-Ka’bah (harta simpanan di Ka’bah), di mana mereka saling berperang di sisinya.  Tiga orang dari anak-anak para khalifah berperang untuk mendapatkannya. Hingga ketika menjelang akhir zaman, keluarlah Al Mahdiy dari negeri Timur; ada pula yang menyatakan dari Mekah.  Mahdiy tidak keluar dari terowongan waktu, seperti keyakinan kaum Rafidlah, di mana, sekarang ini, Mahdiy tertahan di dalamnya.  Mereka (sekte Syi’ah) menunggu keluarnya Mahdiy di akhir zaman.  Keyakinan seperti ini adalah igauan, kebohongan besar, dan kegilaan dari setan.  Sebab, tidak ada dalil maupun bukti yang menunjukkan keyakinan itu, baik dari Al-Quran, Sunnah, akal sehat, maupun pembuktian”. [Imam Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 19, hal. 60]

Kesimpulan
(1) Allah telah menjanjikan kekuasaan atas muka bumi (menjadi khalifah) kepada kaum Mukmin.
(2) Sistem kenegaraan yang dijanjikan oleh Allah, dan telah dipraktekkan oleh para shahabat ra adalah system Khilafah Islaamiyyah, bukan negara demokrasi, ataupun negara bangsa.
(3) Di dalam ayat itu, secara simultan Allah swt telah menjanjikan kepada kaum Muslim; kekuasaan atas muka bumi (kekhilafahan); peneguhan dan penegakkan agama Islam secara sempurna; pengubahan kondisi kaum Muslim dari keadaan takut menjadi aman sentausa; hingga mereka bisa menyembah semata-mata kepada Allah, dan menjauhi sejauh-jauhnya setiap bentuk kesyirikan.   Pada dasarnya, janji-janji tersebut saling terkait dan memiliki hubungan yang simultan.  Artinya, ketika kaum Muslim telah menjadi penguasa atas muka bumi (janji pertama), maka terwujudlah janji Allah yang kedua, yakni tegaknya agama Allah secara sempurna.   Sebab, Islam hanya bisa diwujudkan dan direalisasikan secara sempurna melalui pemerintahan dan kekuasaan.  Setelah agama Allah tegak di muka bumi, maka ‘aqidah Islam menjadi pilar negara dan masyarakat, serta syariat Islam dijadikan sebagai aturan yang mengatur seluruh interaksi yang ada di tengah-tengah masyarakat.   Ketika kondisi ini tercapai, maka kemakmuran, keamanan, dan kesejahteraan akan bisa diwujudkan secara nyata di tengah-tengah manusia (janji ketiga); menggantikan ketidaksejahteraan dan ketidakamanan.   Dalam kondisi semacam ini, maka kaum Muslim bisa mengaktualisasikan peribadahannya secara sempurna kepada Allah swt; alias mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.
(4) Menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah, dan menjadikan sistem Khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan bagi kaum Muslim merupakan kewajiban syariat yang mengharuskan adanya partisipasi dan andil kaum Muslim.  Di samping itu, seorang Mukmin wajib menyakini bahwa tegaknya Khilafah Islamiyyah merupakan janji Allah swt atas orang-orang yang beriman dan beramal sholeh. Untuk itu, kaum Muslim wajib berjuang dan berusaha untuk menegakkannya di tengah-tengah umat manusia, sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah swt, sekaligus keimanannya untuk menyongsong terlaksananya janji Allah swt.

Khilafah ajaran islam

KHILAFAH AJARAN ISLAM

Definisi Khilafah

Khilafah berasal dari “khalafa”, yang bermakna menggantikan yang lain.   Adapun menurut istilah para ulama, Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh umat dalam mengatur urusan agama dan urusan dunia.    Meskipun dengan redaksi yang berbeda-beda, ulama aswaja  sepakat  bahwa Khilafah adalah system pemerintahan yang tegak di atas ‘aqidah Islamiyyah, yang menempatkan seorang Khalifah sebagai pemimpin agung seluruh umat Islam, menerapkan Islam secara menyeluruh, dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.  Mereka juga sepakat bahwa al-Khilafah dan al-Imamah memiliki pengertian sama (sinonim).

Di dalam Kitab Ma`aatsir al-Inaafah fiy Ma’aalim al-Khilaafah, Imam Qalqasyandiy menyatakan:

اما الخلافة فهي في الاصل مصدر خلف....ثم أطلقت فى العرف العام على الزعامة العظمى, وهي الولاية العامة على كافة الامة, والقيام بأمورها و النهوض بأعبائها.
“Adapun “al-khilafah”, asalnya dari mashdar “khalafa” (mengganti)….. Lalu, kata khilafah ini disebut dalam konteks ‘urf umum dengan makna “kepemimpinan agung; yakni, kekuasaan umum atas seluruh umat, dan menegakkan urusannya dan melaksanakan tugas-tugasnya. [Imam al-Qalqasyandiy, Ma`aatsir al-Inaafah fi Ma’aalim al-Khilaafah, juz 1/9]

Imam Nawawiy, di dalam Kitab al-Majmuu’ menyatakan:

ومن ثم يأتي خطأ بعض المتكلمين في قولهم لو تكاف الناس عن الظلم لم يجب نصب الامام لان الصحابة رضى الله عنهم اجتمعوا على نصب الامام، والمراد بالامام الرئيس الا على للدولة، والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا. ويرى ابن حزم أن الامام إذا أطلق انصرف إلى الخليفة، أما إذا قيد انصرف إلى ما قيد به من إمام الصلاة وإمام الحديث وإمام القوم.
“Lalu, ada kesalahan yang menimpa sebagian ahli kalam dalam perkataan mereka, seandainya manusia mampu terhindar dari kedzaliman, maka mereka tidak wajib mengangkat seorang Imam.  Pendapat ini salah, karena para shahabat ra telah bersepakat atas wajibnya mengangkat seorang Imam.  Yang dimaksud dengan al-Imam adalah pemimpin tertinggi bagi negara.  Al-Imamah, al-Khilafah, Imaarat al-Mukminiin adalah mutaraadif (sinonim).  Sedangkan yang dimaksud dengan al-Imamah adalah kepemimpinan umum (al-riyaasah al-‘aamah) dalam mengatur urusan agama dan dunia. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kata “al-Imam”, jika disebut secara mutlak, maka pengertiannya adalah al-khalifah. Adapun jika disebut dengan taqyid (pembatasan) maka maknanya adalah sesuai dengan batasan tersebut, misalnya, imam sholat, imam al-hadits, dan imam suatu kaum”. [Imam An Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 19/191]

Ulama aswaja hanya berbeda pendapat dalam menentukan munasib (kedudukan) Khilafah; apakah khilafah itu wakil Allah, wakil Rasulullah saw, ataukah wakil umat Islam untuk menerapkan Islam dan mengatur urusan manusia.[Lihat Imam Qalqasyandiy, Ma`aatsir al-Inaafah fi Ma’aalim al-Khilaafah, juz 1/14-17]

Sedangkan dalam konteks Khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menjadikan Khalifah sebagai Imamul A’dham yang menerapkan Islam secara kaaffah, dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia, maka tidak ada ikhtilaf di dalamnya.   Kesimpulan semacam ini bisa disarikan dari definisi Khilafah yang dijelaskan ulama aswaja berikut ini:

Di dalam Kitab al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan:

وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإماما .فأما تسميته إماماً فتشبيهاً بإمام الصلاة في اتباعه والاقتداء به، ولهذا يقال: الإمامة الكبرى. وأما تسميته خليفة فلكونه يخلف النبي في أمته، فيقال: خليفة بإطلاق، وخليفة رسول الله.
“Wakil Pemilik Syariah dalam menjaga agama serta mengatur urusan dunia disebut dengan Khilafah dan Imamah. Sedangkan yang menempati kedudukan itu adalah Khalifah atau Imam”.  Adapun penamaannya dengan Imam diserupakan dengan dengan imam sholat dalam hal wajibnya untuk diikuti dan dipanuti.  Oleh karena itu dinyatakan: al-Imamah al-Kubra (Kepemimpinan Agung).  Adapun penyebutannya dengan Khalifah, disebabkan karena ia menggantikan Nabi saw dalam (mengatur) urusan umatnya.  Dinyatakan: “Khaliifah secara mutlak dan Khalifah Rasulullah saw.”  [ Imam Ibn Khaldun, Al Muqaddimah, hal 190]

Imam Al Ramli menyatakan:

الخليفة هو الامام الاعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah itu adalah Imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[Imam Al Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah,  Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, juz 7/289]

Syeikh Musthafa Shabari, Syeikhul Islam Khilafah Ustmaniyyah, menyatakan:

الخلافة عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم فى تنفيذ ما أتى به من شريعة الاسلام
“Khilafah itu adalah penganti Rasulullah SAW dalam melaksanakan syariat Islam yang datang kepada beliau saw”.

Di dalam Kitab al-Ahkaam al-Sulthaniyyah, Imam Al Mawardi Asy-Syafi’i menyatakan:

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به
“Imamah itu diposisikan untuk Khilafah Nubuwwah dalam menjaga agama dan pengaturan urusan dunia.” [Imam Al Mawardi,  Al-Ahkaam Al Sulthaniyyah, hal 5]

Pengarang Kitab Ma’atsiril Inafah fii Ma’alimil Khilafah menyatakan:

وهي الولاية العامة على كافة الامة, والقيام بأمورها و النهوض بأعبائها.
“Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk seluruh umat, dan menegakkan urusan-urusannya dan melaksanakan tugas-tugasnya”.[Imam al-Qalqasyandiy, Ma`aatsir al-Inaafah fi Ma’aalim al-Khilaafah, juz 1/9; lihat juga Asy Syeikh Musthafa Shabari, Mauqif al-‘Aql wa al-‘Ilmi wa al-‘Alam, juz 4/262]

Setelah menelaah dalil-dalil syariat, fakta Daulah Islamiyyah yang didirikan Rasulullah saw, praktek kenegaraan Nabi saw dan para shahabat, serta penjelasan ulama-ulama mu’tabar, ‘Allamah al-Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani rahimahullah, di dalam Kitab al-Khilafah, menyimpulkan:

الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم، وهي عينها الإمامة، فالإمامة والخلافة بمعنى واحد.
 “Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islamiyyah ke seluruh penjuru alam.  Al-Khilafah substansinya sama dengan al-Imamah.  Imamah dan Khilafah memiliki makna yang sama”. [Imam Taqiyyuddin An Nabhaniy, Al-Khilafah,  hal. 1]

Substansi Ajaran Khilafah Islamiyyah

Khalifah, sebagai Imam al-A’dham, memimpin dan menyatukan seluruh kaum Muslim dari timur hingga barat.   Imam An Nawawiy di dalam Kitab Syarah Shahih Muslim, menyatakan:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَةٍ بَعْد خَلِيفَة فَبَيْعَة الْأَوَّل صَحِيحَة يَجِب الْوَفَاء بِهَا ، وَبَيْعَة الثَّانِي بَاطِلَة يَحْرُم الْوَفَاء بِهَا ، وَيَحْرُم عَلَيْهِ طَلَبهَا ، وَسَوَاء عَقَدُوا لِلثَّانِي عَالِمِينَ بِعَقْدِ الْأَوَّل أَوْ جَاهِلِينَ ، وَسَوَاء كَانَا فِي بَلَدَيْنِ أَوْ بَلَد ، أَوْ أَحَدهمَا فِي بَلَد الْإِمَام الْمُنْفَصِل وَالْآخَر فِي غَيْره ، هَذَا هُوَ الصَّوَاب الَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابنَا وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء،.. وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز أَنْ يُعْقَد لِخَلِيفَتَيْنِ فِي عَصْر وَاحِد سَوَاء اِتَّسَعَتْ دَار الْإِسْلَام أَمْ لَا
“Jika seorang Khalifah dibai’at setelah dibai’atnya seorang Khalifah, maka bai’at pertama sah dan wajib dipenuhi.  Sedangkan bai’at kedua bathil, haram dipenuhi, dan haram bagi khalifah kedua menuntutnya;  dan sama saja apakah mereka mengangkat orang yang kedua itu dalam keadaan mengetahui pengangkatan orang yang pertama, maupun mereka tidak tahu.  Dan sama saja, apakah kedua Khalifah itu berada di dua negeri yang berbeda, atau satu negeri yang sama, atau salah satu dari keduanya berada di negeri yang sama tetapi terpisah dari Imam (orang yang pertama dibai’at), sedangkan yang lain berada di negeri lain.  Inilah pendapat benar yang dipegang teguh oleh ulama-ulama kami, dan mayoritas para ulama…..Para ulama sepakat bahwa tidak boleh menyerahkan aqad kekhilafahan kepada dua orang Khalifah pada masa yang bersamaan, sama saja, apakah Daar al-Islam luas maupun tidak.” [Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, Juz 6, hal. 316] Penjelasan senada disampaikan pula Imam Badruddin al-‘Ainiy al-Hanafiy di dalam Kitab ‘Umdat al-Qaariy Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 23, hal. 454.

Tunggalnya kepemimpinan akan mencegah terjadinya dualisme kepemimpinan yang acapkali menjadi sebab terjadinya perpecahan dan peperangan.

Di samping itu, Khilafah Islamiyyah adalah institusi politik yang berkewajiban menerapkan Islam secara menyeluruh di dalam Daulah Islamiyyah dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.  Imam Ibnu ‘Abidin, di dalam Kitab Radd al-Muhtaar, juz 4/205, menyatakan:

( قَوْلُهُ وَنَصْبُهُ ) أَيْ الْإِمَامِ الْمَفْهُومِ مِنْ الْمَقَامِ ( قَوْلُهُ أَهَمُّ الْوَاجِبَاتِ ) أَيْ مِنْ أَهَمِّهَا لِتَوَقُّفِ كَثِيرٍ مِنْ الْوَاجِبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَيْهِ ، وَلِذَا قَالَ فِي الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ : وَالْمُسْلِمُونَ لَا بُدَّ لَهُمْ مِنْ إمَامٍ ، يَقُومُ بِتَنْفِيذِ أَحْكَامِهِمْ ؛ وَإِقَامَةِ حُدُودِهِمْ ، وَسَدِّ ثُغُورِهِمْ ، وَتَجْهِيزِ جُيُوشِهِمْ ؛ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ ، وَقَهْرِ الْمُتَغَلِّبَةِ وَالْمُتَلَصِّصَةِ وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ ، وَإِقَامَةِ الْجُمَعِ وَالْأَعْيَادِ ، وَقَبُولِ الشَّهَادَاتِ الْقَائِمَةِ عَلَى الْحُقُوقِ ؛ وَتَزْوِيجِ الصِّغَارِ وَالصَّغَائِرِ الَّذِينَ لَا أَوْلِيَاءَ لَهُمْ ، وَقِسْمَةِ الْغَنَائِمِ ا هـ ( قَوْلُهُ فَلِذَا قَدَّمُوهُ إلَخْ ) فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَدُفِنَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ أَوْ لَيْلَةَ الْأَرْبِعَاءِ أَوْ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ ح عَنْ الْمَوَاهِبِ ، وَهَذِهِ السُّنَّةُ بَاقِيَةٌ إلَى الْآنَ لَمْ يُدْفَنْ خَلِيفَةٌ حَتَّى يُوَلَّى غَيْرُهُ
“(Perkataannya: wa nashbuhu (mengangkatnya), maksudnya, (mengangkat) Imam Al-A’dzam (dan perkataannya: ahamm al-waajibaat (kewajiban yang paling penting)), yakni; mengangkat seorang Imam itu termasuk kewajiban yang paling penting, dikarenakan bergantungnya banyak kewajiban syariat kepadanya.  Oleh karena itu, Imam An Nasaafiy dalam al-‘Aqaaid al-Nasafiyyah berkata, “Kaum Muslim, sudah menjadi keharusan bagi mereka adanya seorang Imam yang tegak untuk melaksanakan hukum-hukum syariat, menegakkan hudud, memperkuat benteng-benteng, membentuk pasukan, mengambil zakat, mengalahkan para pemberontak dan mata-mata musuh, dan para pembegal, menegakkan sholat Jum’at dan Hari Raya, menerima kesaksian-kesaksian yang membuktikan atas hak-hak, menikahkan orang-orang lemah dan kecil yang tidak memiliki wali, dan membagikan ghanimah untuk mereka. (Perkataannya: Oleh karena itu para shahabat mendahulukannya (pengangkatan imamah)..dan seterusnya): sesungguhnya, Nabi saw wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, atau malam Rabu atau hari Rabu dari al-Mawaahib. Sunnah ini tetap berlangsung hingga sekarang, yaitu, seorang Khalifah tidak akan dimakamkan sebelum diangkat Khalifah yang lain”.[Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 4/205]

Walhasil, substansi Khilafah ada tiga, yakni; (1) menerapkan Islam secara kaaffah, (2) menyatukan kaum Muslim seluruh dunia di bawah satu kendali kepemimpinan dan  mengikat mereka dalam persaudaraan sejati yang didasarkan pada ‘aqidah Islamiyyah, serta (3) menyebarkan dakwah Islamiyyah ke seluruh penjuru alam.

Jika ini substansinya, mengapa dakwah Khilafah dianggap sebagai sesuatu yang harus ditolak.  Bukankah seharusnya didukung, karena ia adalah ajaran Islam?

Dasar Kewajiban Menegakkan Khilafah

Dalil kewajiban menegakkan Khilafah adalah al-Quran, sunnah, ijma’ shahabat, dan qiyas.

Adapun al-Quran, ulama aswaja dari empat madzhab menyatakan bahwasanya surat Al-Baqarah (2) ayat 30 adalah dalil asal mengangkat seorang Khalifah.  Imam Qurthubiy menyatakan:

 ”... هَذِهِ اْلآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ. وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلاُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ اْلاَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلاَصَمِ..“
"..Ayat ini (surat Al-Baqarah :30) adalah dalil asal wajibnya mengangkat seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengannya kalimat (persatuan umat) disatukan, dan dengannya dilaksanakan hukum-hukum khalifah.  Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham…".[Imam Qurthubiy al-Malikiy, Al Jaami’ li Ahkaam al-Quran, juz 1/264-265]

Di samping itu, masih banyak ayat lain yang dalalat al-iltizam-nya menunjukkan kewajiban menegakkan Khilafah; seperti ayat-ayat yang mewajibkan kaum Muslim taat kepada ulil amriy, berhukum hanya kepada syariat Islam, jihad, ayat-ayat yang berbicara tentang hukum hudud, jinayat, serta hukum-hukum lain yang pelaksanaannya dikaitkan dengan Khalifah.

Al-Quran juga menjelaskan janji istikhlaf (janji kekuasaan seluruh dunia bagi kaum Muslim).   Allah swt berfirman:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.. "[TQS An Nuur (24):55]

Di dalam Tafsir Qurthubiy disebutkan, bahwasanya Ibnu 'Athiyah menyatakan:

واختار هذا القول ابن عطية في تفسيره حيث قال : والصحيح في الآية أنها في استخلاف الجمهور ، واستخلافهم هو أن يملكهم البلاد ويجعلهم أهلها ؛ كالذي جرى في الشام والعراق وخراسان والمغرب. قال ابن العربي : قلنا لهم هذا وعد عام في النبوة والخلافة وإقامة الدعوة وعموم الشريعة
”Pendapat ini dipilih oleh Ibnu ’Athiyah tatkala menafsirkan ayat tersebut, di mana ia berkata, ”Yang benar, di dalam ayat ini terdapat janji istikhlaf atas seluruh kaum Muslim.  Yang dimaksud dengan "istikhlaafuhum" adalah menjadikan mereka menguasai bumi dan menjadi penguasanya; seperti yang terjadi di Syam, Iraq, Khurasan, dan Maghrib".  Ibnu al-'Arabiy berkata, "Ayat ini merupakan janji umum dalam masalah nubuwwah, Khilafah, tegaknya dakwah, dan berlakunya syariah secara umum."[ Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 12, hal. 299-202]

Adapun sunnah, banyak riwayat menjelaskan kewajiban mengangkat seorang Khalifah. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
"Siapa saja yang telah membai'at seorang imam (khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia menta'atinya jika ia mampu.  Apabila ada orang lain hendak merebutnya maka penggallah leher itu".[HR. Imam Muslim]

Kewajiban bai’at menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah.  Sebab, bai’at tidak mungkin ada di pundak kaum Muslim, tanpa keberadaan seorang Khalifah.

Selain itu, di dalam sunnah juga diriwayatkan praktek-praktek kenegaraan Rasulullah saw, dan Khulafaur Rasyidiin; dan juga bisyarah (kabar gembira) berdirinya Khilafah Islamiyyah.  Semua menunjukkan bahwa Khilafah adalah ajaran Islam yang wajib ditegakkan kaum Muslim.

Adapun ijma’ shahabat, para shahabat sepakat atas kewajiban mengangkat seorang Khalifah setelah berakhirnya jaman kenabian.   Mereka menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban yang paling penting. Allamah Ibnu Hajar al-Haitamiy Asy Syafi’iy, di dalam kitab Ash Shawaa'iqu al Muhriqah menyatakan:

اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ
"Ketahuilah juga; sesungguhnya para shahabat ra seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib; bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut (mengangkat seorang imam/khalifah) sebagai kewajiban yang paling penting.  Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menyelenggarakan jenazah Rasulullah saw.  Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai ta'yiin (siapa yang paling layak menjabat khalifah) tidak merusak ijma' yang telah disebut.." [‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitamiy Asy Syafi’iy, Ash Shawaa'iqul Muhriqah, juz 1/25]

Pandangan Ulama Terhadap Kewajiban Menegakkan Khilafah

Ulama aswaja tidak pernah berselisih pendapat atas wajibnya menegakkan Khilafah Islamiyyah.  Imam Alauddin al-Kasaaniy, seorang ulama madzhab Hanafiy menyatakan:

وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ - ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، ...
"Sebab, mengangkat seorang Imamul A'dzam (imam agung) adalah fardlu, tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq.  Tidak bernilai sama sekali –penyelisihan sebagian kelompok Qadariyyah--, dikarenakan adanya ijma' shahabat ra atas kewajiban itu. Dan juga dikarenakan adanya kebutuhan terhadap khalifah; agar bisa terikat dengan hukum-hukum (syariat); membela orang yang didzalimi dari orang yang dzalim; memutus perselisihan yang menjadi sebab kerusakan, dan kemashlahatan-kemashlahatan lain yang tidak mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang imam…"[Imam al-Kasaaniy, Badaai` al-Shanaai` fiy Tartib al-Syaraai’, juz 14/406]

Fardlu, menurut istilah madzhab Hanafiy adalah sebutan untuk “kadar ketetapan” yang secara syar’iy ditetapkan berdasarkan dalil qath’iy.  Mengingkari fardlu, murtad dari agama Islam.  Imam Sarakhsiy dalam Kitab Ushul al-Sarakhsiy menyatakan:

فالفرض اسم لمقدر شرعا لا يحتمل الزيادة والنقصان وهو مقطوع به لكونه ثابتا بدليل موجب للعلم قطعا من الكتاب أو السنة المتواترة أو الإجماع…..وحكم هذا القسم شرعا أنه موجب للعلم اعتقادا باعتبار أنه ثابت بدليل مقطوع به ولهذا يكفر جاحده وموجب للعمل بالبدن للزوم الأداء بدليله فيكون المؤدي مطيعا لربه والتارك للأداء عاصيا
“Fardlu adalah sebutan untuk suatu kadar yang secara syar’iy tidak memungkinkan adanya penambahan dan pengurangan.  Fardlu adalah kadar (ketetapan) yang dipastikan, karena keberadaannya ditetapkan oleh dalil yang mewajibkan ilmu (keyakinan) secara qath’iy dari al-Quran, Sunnah Mutawatir, dan Ijma’….Hukum untuk jenis ini (fardlu); menurut sya’iy wajib diyakini secara keyakinan (i’tiqaad) dengan anggapan bahwa perkara fardlu ditetapkan berdasarkan dalil yang dipastikan kebenarannya (qath’iy).  Oleh karena itu, kafirlah orang yang mengingkari fardlu; dan fardlu mewajibkan untuk diamalkan dengan anggota badan, karena di dalam dalilnya ada kewajiban untuk melaksanakannya.  Maka, orang yang menunaikan adalah orang yang taat kepada Tuhannya, sedangkan orang yang meninggalkan adalah maksiyat”. [Imam Sarakhsiy, Ushul al-Sarakhsiy, Juz 1/110. Maktabah Syamilah]

Khilafah Ajaran Islam

Dari sisi hukum, menegakkan Khilafah Islamiyyah adalah wajib.  Adapun dari sisi ‘aqidah, Khilafah termasuk janji Allah swt kepada kaum Mukmin. Bahkan, hadits-hadits yang bertutur tentang kembalinya Kekhilafahan Islam mencapai derajat mutawatir bil makna, semacam hadits-hadits yang bertutur tentang Imam Mahdiy sebagai Khalifah di akhir jaman.  

Imam Al-Kattaniy menyatakan:

وفي شرح الرسالة للشيخ جسوس ما نصه ورد خبر المهدي في أحاديث ذكر السخاوي أنها وصلت إلى حد التواتر, وفي شرح المواهب نقلا عن أبي الحسين الإبري في مناقب الشافعي قال تواترت الأخبار أن المهدي من هذه الأمة وأن عيسى يصلي حلفه ذكر ذلك ردا لحديث ابن ماجة عن أنس ولا مهدي إلا عيسى
“Di dalam Syarah al-Risalah, karta Syaikh Jasus, disebutkan bahwasanya berita tentang Al Mahdiy terdapat di dalam hadits-hadits yang dinyatakan oleh Al Hafidz al-Sakhawiy telah mencapai derajat mutawatir.  Di dalam Syarah al-Mawahib, dinukilkan dari al-Husain al-Ibriy di dalam Kitab Manaqib al-Syafi’iy, bahwasanya ia berkata, “Informasi-informasi yang menyatakan bahwa Al Mahdiy adalah bagian dari umat ini, dan ‘Isa as akan sholat dibelakangnya adalah mutawatir.  Ini dituturkan sebagai bantahan atas haditsnya Ibnu Majah dari Anas bin Malik ra yang menyatakan ” tidak ada Al-Mahdiy kecuali Nabi Isa as”. [Imam Al-Kattaniy, Nudhum al-Mutanaatsir min al-Hadits al-Mutawatir, Juz 1, hal.226]

Khilafah Ancaman Bagi Siapa?

Jika Khilafah ajaran Islam,  bagaimana bisa dinyatakan Khilafah merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim?   Jika Khilafah merupakan kewajiban dan janji Allah swt, bagaimana bisa dinyatakan dakwah Khilafah harus ditolak dan dihadang?  Bukankah justru harus didukung dengan penuh keimanan dan ketaatan?

Lalu, siapakah pihak yang sejatinya terancam dengan dakwah Khilafah?  Jawabnya; pertama, negara kafir imperialis dan kroni-kroninya yang berusaha mati-matian mempertahankan system demokrasi-sekuler dan penjajahan atas negeri-negeri kaum Muslim.  Sebab, mereka memahami bahwa Khilafah akan mengakhiri system demokrasi-sekuler dan penjajahan atas dunia Islam.  Khilafah juga akan mengembalikan hak-hak dan asset-asset milik rakyat yang saat ini dikuasai korporasi asing.  Kedua, pihak yang tidak menginginkan Muslim seluruh dunia bersatu. Mereka adalah orang kafir dan munafik yang menginginkan perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim. Ketiga, pihak yang mendapatkan manfaat dari system demokrasi-sekuler, dan tidak rela kemashlahatan itu lenyap ketika Khilafah berdiri.

Dakwah syariah dan Khilafah tentu saja bukanlah ancaman bagi kaum Mukmin.  Sebab, keduanya adalah ajaran Islam.  Dakwah syariah dan Khilafah juga bukan ancaman bagi non Muslim.  Sebab, Khilafah melindungi hak-hak mereka, memperlakukan mereka secara adil, dan menebarkan rahmat bagi seluruh penjuru alam.

Setelah penjelasan ini, masihkah ada pihak yang menolak dan menghadang dakwah syariah dan Khilafah? (Gus Syams).

Kebenaran tazkiyah syaikh Mutawalli. .

*KEBENARAN TAZKIYAH SYAIKH MUTAWALLI ASY SYA'RAWI ATAS SYAIKH TAQIYUDDIN AN NABHANI*
رحمهما الله تعالى

صحابي أخر لغير زمانه ...
_"Bagaikan seorang sahabat Nabi yang dimunculkan belakangan."_

Asy Syaikh Muhammad an-Nadiy, mengkonfirmasi sebagaimana berikut.

أما العبارة التي قالها الشيخ محمد متولي الشعراوي بحق الشيخ تقي الدين النبهاني من أنه "صحابي أخر لغير زمانه ..."

فهي عبارة صحيحة نقلها عنه الدكتور عبد الحليم الرمحي الذي كان يدرس مع كل من الشيخين: الشيخ تقي الدين النهاني والشيخ محمد متولى الشعراوي في جامعة الأزهر الشريف في مصر.

والدكتور عبد الحليم الرمحي لا زال حيا يرزق قد قارب التسعين عاما وكان أستاذ الشريعة في الجامعة الأردنية.

لعل إجابتي واضحة ومفهومة.

_"Adapun kalimat yang diucapkan oleh Syaikh Muhammad Mutawalli asy Sya'rawi berkenaan dengan pribadi Syaikh Taqiyuddin an Nabhani, bahwa beliau "bagaikan seorang sahabat Nabi yang dimunculkan belakangan... dst."_

_Maka itu ungkapan benar (valid) yang dinukil langsung dari Beliau oleh Dr. Abdul Halim al Rumhi yang dulunya memamg pernah belajar bersama kedua Syaikh tersebut: yaitu Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dan Syaikh Muhammad Mutawalli asy Sya'rawi di Universitas al-Azhar asy-Syarif Mesir._

_Dr. Abdul Halim ar-Rumhi sendiri beliau masih hidup hingga sekarang, dengan dikaruniai usia hampir mencapai 90 tahun. Beliau adalah seorang guru besar di bidang syariat Universitas Yordan._

_Semoga jawabanku ini jelas dan mudah dimengerti."_

Sumber: Ust Ahmad Mukhtar Batam.
Terjemahan: Azizi Fathoni

________________

Redaksi lengkap tazkiyah tersebut berbunyi:

الشيخ تقي الدين النبهاني
صحابي أُخر لغير زمانه، كان يديم السكوت، واذا تكلم حديثه لؤلؤ، قوي الحجة مقنعا متصلبا للراي الذي آمن به

_"Asy Syaikh Taqiyuddin an Nabhani itu bagaikan seorang sahabat Nabi yang dimunculkan belakangan. Lebih sering diam. Tapi jika beliau angkat bicara perkataannya bagaikan mutiara. Argumentasinya kuat memuaskan serta memegang teguh pendapat yang diyakininya."_

http://www.youtube.com/watch?v=Pfuql90gpoM