Sunday, June 16, 2024

PUASA ARAFAH DISYARIATKAN TAHUN KE-2 HIJRIYAH PADAHAL WUKUF DI ARAFAH DISYARIATKAN BARU TAHUN KE-10 SAAT HAJI WADA’, JADI PUASA ARAFAT TIDAK TERKAIT DENGAN AKTIVITAS WUKUF DI ARAFAH, BENARKAH?

 *PUASA ARAFAH DISYARIATKAN TAHUN KE-2 HIJRIYAH PADAHAL WUKUF DI ARAFAH DISYARIATKAN BARU TAHUN KE-10 SAAT HAJI WADA’, JADI PUASA ARAFAT TIDAK TERKAIT DENGAN AKTIVITAS WUKUF DI ARAFAH, BENARKAH?*


*Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi*


https://romliabulwafa.blogspot.com/2024/06/puasa-arafah-disyariatkan-tahun-ke-2.html?m=1


*Tanya :*

Ustadz, ada yang mengatakan bahwa puasa Arafah itu tidak terkait wukufnya jamaah haji di Arafah. Jadi definisi puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, baik bertepatan atau tidak bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah. Alasannya, puasa Arafah disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah sedangkan wukuf di Arafah baru disyariatkan tahun ke-9 hijriyah saat Nabi SAW melaksanakan haji wada’. Bagaimana Ustadz, mohon penjelasannya? (Abdurrahman, Yogyakarta).


Ustadz, ada yang bilang bahwa Nabi SAW disebut melakukan puasa Arafah tanpa ada yang wukuf sehingga menjadi dalil puasa Arafah tidak terikat aktivitas (yaitu wukuf) dan tempat (yaitu Padang Arafah). Apakah itu bisa jadi dalil, Ustadz? Afwan Ustadz, saya 'curious' dengan argumentasi yang dibangun oleh sebagian pihak ini karena mungkin saya perlu juga insights dari Ustadz Shiddiq terkait dalil-dalil yang dipakai dalam tulisan mereka. (Ahmad Hanafi Rais, Yogyakarta).


*Jawab :*

Memang ada ulama yang berpendapat demikian, dan ada dalilnya dari hadits Nabi SAW bahwa beliau telah berpuasa Arafah sejak tahun ke-2 Hijriyah, padahal saat itu wukuf di Padang Arafah belum disyariatkan, karena Wukuf di Arafah baru disyariatkan dan dilaksanakan oleh Nabi SAW pada tahun ke-10 Hijriyah saat Nabi SAW melakukan haji Wada’. Dalilnya antara lain adalah hadits berikut ini :


عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْن »(85) أخرجه أبو داود في «سننه»، كتاب الصوم، باب في صوم العشر (2/815)، رقم (2437)، وصححه الألباني، انظر: «صحيح أبي داود» (7/196)، رقم (2106).


Dari Hunaidah bin Khalid RA, dari isterinya, dari sebagian isteri-isteri Nabi SAW, dia berkata, "Rasulullah SAW (terbiasa) melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan puasa tiga hari pada tiap bulan dan hari Senin dan hari Kamis setiap awal bulan." (HR. Abu Dawud, dalam _Sunan Abū Dāwud,_ Bab Al-Shaum, Juz II, hlm. 815, nomor hadits 2437. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani, dalam _Shahīh Abū Dāwud,_ (7/196), nomor 2106).


Hadits ini dipahami dengan _wajhul istidlāl_ (cara penarikan kesimpulan hukum dari dalilnya) sebagai berikut : 


وَجْهَ الِاسْتِدْلالِ : أَنَّ زَوْجَ النَّبيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ ذَكَرُتْ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ كَانَ يَصومُ تِسْعَ ذِي الحِجَّةِ ، وَهَذَا بِلَا رَيْبٍ كَانَ قَبْلَ حَجَّةِ الوَدَاعِ ، وَلَفْظَ « كَانَ » يَدُلُّ عَلَى الِاسْتِمْرارِ ، وَلَمْ يَبْلُغْنَا عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَحَرَّى وَقْفَةَ النّاسِ بِعَرَفَةَ. (أبو محمد أحمد بن محمد بن خليل، النور الساطع من أفق الطوالع في تحديد يوم عرفة إذا اختلفت المطالع، ص 9)


“*Wajhul Istidlāl* : isteri-isteri Nabi SAW menyebutkan bahwa beliau telah terbiasa berpuasa pada tanggal kesembilan hijriyah pada bulan Dzulhijjah, dan tak ada keraguan lagi ini puasanya Nabi SAW ini terjadi sebelum Haji Wada’ (ketika wukuf baru disyariatkan), dan lafazh (كَانَ) (kāna) menunjukkan terus berlangsungnya puasa yang telah dilakukan Nabi SAW (sebelum haji Wada’), dan tidak sampai kepada kita berita dari Nabi SAW bahwa beliau memantau lebih dulu terjadinya wukuf yang dilakukan oleh jamaah haji di Arafah.” (Lihat : Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm. 9). 

(Lihat https://ketabpedia.com/تحميل/النور-الساطع-من-أفق-الطوالع-في-تحديد-ي-3/)


Dari dalil semacam inilah, sebagian ulama kemudian menyimpulkan definisi puasa hari Arafah yang tidak dikaitkan dengan terjadinya wukuf di Arafah. Hari Arafah akhirnya didefinisikan sebagai berikut :


يَوْمُ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمَ التاَّسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ سَواَءٌ واَفَقَ هَذَا الْيَوْمُ وَقْفَةَ الْحاَجِّ بِعَرَفَةَ أَمْ لَمْ يَواَفِقْهُ، وَأَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ


“Hari Arafah adalah hari (tanggal) ke-9 bulan Dzulhijjah, baik hari itu bertepatan maupun tidak bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah, dan bahwa setiap-tiap negeri mempunyai rukyatnya masing-masing.” (‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari, _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ hlm. 6). (lihat : https://almoslim.net/node/281621).


Namun pendapat ini bagi kami kurang tepat _(ghayru sadīd),_ dengan 2 (dua) argumentasi sebagai berikut :


*Pertama*, memang benar, puasa Arafah yang dilakukan Nabi SAW sejak tahun ke-2 H hingga sebelum Haji Wada’ tahun ke-10 H, tidak dikaitkan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah. Tetapi fakta ini tidak dapat dijadikan dalil, karena proses _tasyrī’_ (pembentukan hukumnya) untuk hukum puasa ‘Arafah ini memang belum selesai (final). Proses pembentukan hukum puasa ‘Arafah baru selesai (final) saat Nabi SAW dan para shahabat Nabi SAW berwukuf di Arafah saat Haji Wada’ tahun ke-10 H. 


Pada saat itulah, terjadi kaitan atau hubungan _(al-irtibāth)_ antara puasa hari Arafah dengan aktivitas wukuf di Arafah, yang sebelumnya tidak ada. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai hadits, pada saat wukuf di Arafah yang dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-10 H itu, di antara para shahabat Nabi SAW terjadi perdebatan apakah Nabi SAW berpuasa hari Arafah saat berwukuf di Arafah itu ataukah beliau berbuka (tidak berpuasa). Melihat perdebatan itu, lalu Ummu Al-Fadhl (ibunda Ibnu ‘Abbas RA) mengirimkan satu wadah berisi air susu kepada Nabi SAW melalui Ibnu ‘Abbas RA. Nabi SAW yang saat itu sedang duduk di atas unta, kemudian meminum air susu itu. Ini dimaksudkan sebagai petunjuk kepada umum bahwa mereka yang sedang menjalankan ibadah haji di Arafah, tidak disunnahkan berpuasa Arafah. (HR Al-Bukhari, no. 1661; Muslim, no.1123).


Dengan demikian, pada saat Haji Wada’ tahun ke-10 H itulah terbentuk ikatan antara puasa hari Arafah dengan wukuf di Padang Arafah, yang sebelumnya ikatan itu tidak ada. Maka dari itu, dan sejak saat itu, puasa Arafah tidak dapat lagi didefinisikan hanya berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah, namun haruslah didefinisikan berpuasa pada tanggal ke-9 Dzulhijjah, yang harinya bertepatan dengan hari wukufnya jamaah haji di Padang Arafah.


Jadi kita tidak dapat lagi memutar sejarah ke belakang _(setback)_ dengan berhujjah bahwa Nabi SAW sejak tahun ke-2 H telah berpuasa Arafah tanpa ada wukuf di Arafah. Ini memang benar, tapi tidak dapat dijadikan hujjah (dalil), karena tahapan sejarah pensyariatan _(tārikh tasyrī’)_ untuk puasa hari Arafah belum selesai. Pada saat Haji Wada’ di tahun ke-10 H itulah, baru selesai dan final tahapan sejarah pensyariatan _(tārikh tasyrī’)_ untuk puasa Arafah, yang akhirnya mengkaitkan puasa Arafah tidak hanya dengan aspek waktu (tanggal 9 Dzulhijjah) namun juga dikaitkan dengan aktivitas, yaitu wukufnya jamaah haji di Arafah, yang sebelumnya puasa hari Arafah dilaksanakan tanpa dikaitkan dengan wukuf di Arafah.     


Analoginya kurang lebih sama dengan tahapan-tahapan pensyariatan hukum untuk khamr dan riba, yang awalnya tidak diharamkan, tapi pada akhirnya, kedua hal itu diharamkan secara bertahap _(gradual/tadarruj)._ Menurut Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya _At-Tibyān fi ‘Ulūmil Qur`ān,_ pengharaman khamr terjadi dalam 4 (empat) tahapan sebagai berikut; 

(1). Tahap kesatu, awalnya khamar dibolehkan, sesuai QS An-Nahl : 67; 

(2). Tahap kedua, turun ayat berisi perintah menjauhkan diri dari khamr karena mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya, sesuai QS Al-Baqarah : 219; 

(3) Tahap ketiga, turun ayat yang melarang khamr pada satu waktu (pada waktu sholat), namun masih dibolehkan pada waktu lainnya (di luar sholat), sesuai QS An-Nisā` : 43; 

(4) tahap keempat, tahap final, yaitu khamr diharamkan secara total, sesuai QS Al-Maidah : 90-91. (Muhammad ‘Ali Ash-Shābūnī, _At-Tibyān fī ‘Ulūmil Qur`ān,_ hlm. 23-25).


Berdasarkan empat tahapan itu, tentu yang berlaku untuk umat Islam sekarang hingga Hari Kiamat nanti, adalah hukum yang terakhir yang sudah final untuk khamr, yaitu hukum haram, berdasarkan QS Al-Mai`dah : 90-91. Kita tidak boleh lagi minum khamr dengan cara _setback_ atau mundur ke belakang dan berhujjah dengan ayat-ayat yang belum mengharamkan khamr secara tegas. 


Maka demikian pula, kita tidak dapat lagi memutar sejarah ke belakang _(setback)_ dengan berpuasa Arafah tanpa dikaitkan dengan wukuf di Arafah, dengan dalih bahwa Nabi SAW sejak tahun ke-2 H telah berpuasa Arafah sementara wukuf di Arafah belum disyariatkan. Yang berlaku bagi umat Islam hingga Hari Kiamat tentunya adalah hukum terakhir, yaitu sejak peristiwa Haji Wada’ tahun ke-10 H, yang mengkaitkan hari Arafah dengan wukuf di Arafah. Jadi, definisi syar'i yang lebih shahih untuk "Hari Arafah" _(yauma 'Arafah)_ adalah :


يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اْليَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الْحَجِيْجُ بِعَرَفَةَ


“Hari ‘Arafah adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah.” _(yauma ‘arafah huwa al-yaumu alladzī yaqifu fīhi al hajīj bi-'arafah)._


Definisi inilah yang dianggap kuat _(rājih)_ oleh _Al-Lajnah Ad-Dāimah Lil Buhūts Al-'Ilmiyyah wal Iftā`_ (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul ‘Azīz bin Bāz. Definisi ini juga yang dipilih oleh _Lajnah Al-Iftā Al-Mashriyyah_ (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Husamuddin 'Ifanah, guru besar fiqih dari Al-Quds, Yerussalem, Syeikh Abdurrahman As-Sahim, dan lain-lain. (Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm. 3).


*Kedua,* pendapat bahwa puasa Arafah itu yang penting patokan tanggalnya, yakni tanggal 9 Dzulhijjah, baik berbarengan dengan wukuf maupun tidak, telah mengabaikan (untuk tidak mengatakan melawan) nash-nash hadits Nabi SAW yang justru mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukufnya jamaah haji di Arafah. Di antaranya adalah sabda Rasulullah ﷺ : 


وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ


"Dan Arafah adalah hari kalian berarafah (berwukuf di Arafah).” (HR. Al-Baihaqi, _Sunan Al-Baihaqi,_ Juz V, hlm.176). 


Yang dimaksud dengan kalimat (يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) dalam hadits tersebut adalah :


أَيْ : يَوْمَ تَقِفُوْنَ بِعَرَفَةَ


“Maksudnya : hari yang kalian berwukuf di Arafah.” (Abu Muhammad Ahmad bin Muhammad bin Khalil, _Al-Nūr Al-Sāthi’ min Ufuq Al-Thawāli’ fī Tahdīd Yaum ‘Arafah Idzā (i)khtalafat Al-Mathāli’,_ hlm.18).


Dalam kitab _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ Syekh ‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari menafsirkan kalimat (يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ) dalam hadits tersebut dengan makna yang sama, ketika beliau berkata :


أَنَّ الْمُراَدَ بِيَوْمِ عَرَفَةَ هُوَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يَقِفُ فِيْهِ الناَّسُ بِعَرَفَةَ


“Bahwa yang dimaksud dengan hari Arafah, adalah hari yang orang-orang melakukan wukuf pada hari itu di Arafah.” (‘Abdur Rafi’i bin Mahmud Al-‘Umari, _Bulūgh Al-Bughyah fī Tahdīd Yaum ‘Arafah ‘Inda (I)khtilāf Al-Ru`yah,_ hlm. 8).


Berdasarkan seluruh uraian di atas, tidak dapat diterima _(ghayr musallam)_ pendapat bahwa puasa Arafah itu adalah puasa yang dilakukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah, baik bersamaan dengan hari wukufnya jamaah haji di Arafah, ataukah tidak, karena pendapat ini : 

(1) didasarkan pada fakta sejarah pembentukan hukum puasa Arafah yang belum final, yang memang tidak mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukuf di Arafah, sejak tahun ke-2 H ketika awal disyariatkannya puasa Arafah. Padahal akhirnya, sejak peristiwa Haji Wada’ tahun ke-10 H, puasa Arafah telah dikaitkan dengan aktivitas wukuf di Arafah.

(2) didasarkan pada pengabaian nash-nash hadits Nabi SAW yang justru mengkaitkan puasa Arafah dengan aktivitas wukufnya jamaah haji di Arafah.   

_Wallāhu a’lam._


*Yogyakarta, Jumat 8 Dzulhijjah 1445 (14 Juni 2024)*


*Muhammad Shiddiq Al-Jawi*


#Khilafah akan menyatukan kaum muslimin sedunia karena #KhilafahAjaranIslam

Tuesday, June 11, 2024

TASAWUF, ISTIQAMAH DAN KETENANGAN

 •TASAWUF, ISTIQAMAH DAN KETENANGAN 


KH. HAFIDZ ABDURRAHMAN MA.

.

Tasawuf itu ilmu tentang raqaiq (kelembutan hati). Hati lembut, ketika kita selalu menyadari hubungan kita dengan Allah. Dalam bahasa al-'Allamah al-Qadhi Syaikh  Taqiyuddin an-Nabhani, disebut "Idrak Sillah Billah"

.

Kesadaran hubungan kita dengan Allah itu disebut "Ruh". Sedangkan kesadaran, bahwa semua alam, manusia dan kehidupan itu makhluk Allah, adalah "Nahiyah Ruhiyah". Karena itu, dalam pandangan Islam, tak ada satu pun di dunia ini yang terpisah dengan Allah. Baik benda maupun perbuatan. 

.

Karena itu, falsafah Islam, sekaligus puncak Tasawuf Islam, itu adalah menyatukan materi (perbuatan dan benda) dengan Ruh (Allah dan titah-Nya), yang disebut Syaikh Taqi dengan "Mazju al-Madah bi ar-Ruh"

.

Imam al-Ghazali menyebut ada dua rukun Tasawuf, "Istiqamah", yaitu kemampuan kita mengorbankan kemauan hawa nafsu untuk diri kita. Sehingga bisa istiqamah dalam ketaatan. Kedua, "Sukun" (ketenangan), tidak terpengaruh dengan makhluk, tidak juga menganggu makhluk lain

.

Itulah rukun Tasawuf, kata Imam al-Ghazali, dalam nasihatnya kepada muridnya, dalam kitab "Ayyuha al-Walad"

.

Istiqamah lebih baik dari seribu karamah. Karena karomah lahir dari istiqamah. Istiqamah hanya bisa diraih dengan mengorbankan hawa nafsu semata untuk mengikuti maunya Allah. Dari istiqamah lahir ketenangan, fokus pada tujuan dan target, tidak lagi menoleh ke kanan-kiri. Tidak terpengaruh dengan apapun dan siapapun

.

Semoga kita semua diistiqamahkan oleh Allah dalam ketaatan. Hati, lisan dan pikiran kita dijadikan "sukun" dan fokus pada apa yang ada di sisi Allah, bukan dunia yang fana.


#JanganLelahBerdakwah #LiterasiPengembanDakwah

Thursday, June 6, 2024

Qawl Jadid Hizbut Tahrir

 Qawl Jadid Hizbut Tahrir


Soal:


Dalam Soal-Jawab yang telah dipublikasikan sebelumnya, telah dinyatakan kebolehan saudara ipar tinggal serumah dengan berpakaian mihnah, sementara dalam Kitab An-Nizham al-Ijtima’i yang terbaru tidak dibolehkan. Mana pendapat yang lebih rajih (kuat)?


Jawab:


Setelah kita membandingkan penjelasan dalam Soal-Jawab sebelumnya dengan penjelasan yang dituangkan dalam Kitab An-Nihzam al-Ijtima’i yang terbaru, edisi Muktamadah, memang ada perbedaan. Namun, perlu dicatat, keduanya sama-sama merupakan hukum syariah karena sama-sama merupakan hasil ijtihad mujtahid. Keduanya juga sama-sama merupakan pandangan Hizb pada zamannya.


Hanya saja, pendapat yang pertama merupakan qawl qadim (pendapat lama), yang diadopsi pada zaman kepemimpinan amir Hizbut Tahrir yang pertama, yaitu Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M). Ini bisa dibuktikan pada tanggal dan tahun pengeluaran Nasyrah tersebut. Masing-masing adalah Nasyrah Soal-Jawab tanggal 30/5/1967 M, Nasyrah Soal-Jawab tanggal 14/9/1968 M, Nasyrah Soal-Jawab tanggal  19/11/1968,  Nasyrah Soal-Jawab tanggal 11/5/1970 M, dan Nasyrah Soal-Jawab tanggal 8 Sya’ban 1388 H. Pendapat (qawl qadim) ini tidak lagi diadopsi oleh Hizb pada zaman kepemimpinan amir sekarang, yaitu Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rusytah, sebagaimana yang tertuang dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i, edisi Muktamadah.


Ini bukan hal baru dalam khazanah fikih sebagaimana kita kenal pada era keemasan fikih Islam. Sebut saja, Khalifah ‘Umar bin al-Khatthab (w. 23 H) dan Imam as-Syafii (w. 205 H) juga mempunyai dua qawl (pendapat), yaitu qawl qadim dan qawl jadid. Dua-duanya merupakan hukum syariah. Bahkan ketika orang yang telah diputuskan oleh Khalifah ‘Umar dengan hukum yang berbeda menuntut dianulir keputusannya, dengan tegas beliau menolak, seraya berkata: “Keputusan itu sudah sesuai dengan apa yang telah kami putuskan sebelumnya dan keputusan ini pun berdasarkan apa yang telah aku putuskan.” 1 


Adapun pendapat Hizb sekarang (qawl jadid), sebagaimana yang dituangkan dalam An-Nizham al-Ijtima’i, edisi Muktamadah, adalah sebagai berikut:


Mengenai masalah pertama, yaitu adanya beberapa saudara dan kerabat yang tinggal serumah antara satu dengan yang lain, kemudian masing-masing wanitanya tampak kepada kaum prianya dengan pakaian kerja sehingga tampak rambut, leher, lengan dan pundaknya serta bagian lain yang biasa ditampakkan oleh pakaian kerja. Aurat itu kemudian dilihat oleh saudara laki-laki suaminya, atau kerabatnya yang notabene bukan mahram-nya; sebagaimana aurat itu juga dilihat oleh saudara laki-laki, ayah dan mahram wanita itu yang lainnya. Adapun saudara laki-laki suaminya adalah orang asing (bukan mahram) bagi dia, sebagaimana laki-laki asing lainnya. Begitu juga, kerabat satu dengan yang lain kadang saling mengunjungi, semisal anak-anak paman dari ayah (‘am), anak-anak paman dari ibu (khal), dan sebagainya, yang notabene merupakan dzawi al-arham (kerabat yang mempunyai hubungan darah)2 yang bukan mahram, atau bukan dzawi al-arham (kerabat yang tidak mempunyai hubungan darah secara langsung). Mereka mengucapkan salam (tanda minta izin) kepada para wanita (di rumah), lalu duduk bersama mereka, sementara wanita-wanita itu mengenakan pakaian kerja. Tampak dari wanita-wanita itu lebih dari sekadar wajah dan kedua telapak tangannya, seperti rambut, leher, lengan, pundak dan lainnya. Mereka diperlakukan layaknya mahram.


Masalah ini telah menggejala dan telah menjadi bencana bagi kaum Muslim, terutama di kota-kota. Banyak yang mengira semuanya itu mubah. Padahal sejatinya yang mubah adalah memandangnya, dan yang memandang itu adalah para mahram dan orang-orang yang mengikutinya, yang notabene tidak mempunyai hasrat kepada wanita (at-tabi’in ghayra uli al-irbah). Terhadap selain mereka, para wanita itu tetap haram untuk menampakkan selain wajah dan kedua telapak tangannya.


Penjelasan detailnya tentang itu adalah, bahwa Allah SWT jelas telah mengharamkan kaum wanita secara mutlak dipandang atau dinikmati. Lalu, keharaman menikmati itu dikecualikan dari para suami. Kemudian keharaman memandang dikecualikan dari orang-orang, termasuk mereka adalah paman-paman dari ayah (a’mam) dan ibu (akhwal). Obyek kaum perempuan yang diharamkan bagi kaum pria pun dikecualikan, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Karena itu, menikmati atau memandang dengan syahwat secara mutlak hukumnya haram, kecuali bagi suami; dan memandang wajah dan kedua telapak tangan dengan pandangan biasa (tanpa disertai syahwat) secara mutlak hukumnya mubah. Adapun memandang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan, secara mutlak hukumnya haram, kecuali bagi para mahram yang telah disebutkan oleh Allah, dan orang yang statusnya sama dengan mereka.


Sebelumnya telah dijelaskan hukum syariah tentang kehidupan umum, sebagaimana yang dinyatakan dalam beberapa teks. Adapun dalam kehidupan khusus, Allah telah membolehkan kaum perempuan untuk menampakkan lebih dari wajah dan kedua telapak tangannya, sebagaimana yang lazim ditampakkan saat bekerja. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat Subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian (luar) kalian, di tengah hari dan sesudah shalat Isya (TQS an-Nur [24]: 58).


Allah SWT memerintahkan anak-anak yang belum balig dan budak untuk tidak memasuki rumah wanita tersebut dalam tiga (waktu) tadi. Kemudian Allah membolehkan mereka untuk memasukinya, selain dalam ketiga waktu ini. Sebabnya, Allah melanjutkannya dengan firman-Nya (yang artinya): Itulah tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian, tidak pula atas mereka, selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kalian, sebagian kalian ada keperluan kepada sebagian yang lain (TQS an-Nur [24]: 58).


Ini tegas menyatakan, bahwa selain dalam ketiga keadaan (waktu aurat) ini, anak-anak dan budak perempuan tersebut boleh memasuki rumah perempuan ini tanpa izin, yaitu ketika perempuan tersebut berpakaian kerja. Dari sini bisa dipahami, bahwa perempuan tersebut boleh tinggal di dalam rumahnya dengan pakaian kerja, dan dalam pakaian kerja tersebut dia boleh menampakkan (apa yang lazim dia tampakkan) kepada anak-anak dan budaknya. Karena itu, tidak diragukan, bahwa perempuan tersebut boleh tinggal di dalam rumahnya dengan pakaian kerja. Dia secara mutlak tidak berdosa. Dalam kondisi seperti itu, dia boleh dipandang (aurat yang lazim ditampakkan pakaian kerjanya) oleh anak-anak dan budaknya, dan dalam hal ini tidak ada masalah. Dia tidak harus menutupi auratnya dari mereka. Mereka juga tidak membutuhkan izin memasuki rumahnya. Sebabnya, ayat tersebut menyatakan, kebolehan anak-anak dan budaknya masuk tanpa izin, kecuali dalam tiga waktu aurat di atas.


Tidak boleh dikatakan, bahwa pembantu yang notabene orang merdeka bisa dianalogikan kepada budak, dengan ‘illat (alasan) bahwa mereka sama-sama “thawwafun” (mengitari kehidupan perempuan tersebut). Jelas tidak boleh dikatakan demikian, karena ‘illat ini merupakan ‘illat qashirah (terbatas), dengan bukti, bahwa anak-anak tadi setelah balig diwajibkan izin, padahal mereka “thawwafun”.


Adapun di luar mereka yang dikecualikan dalam ayat tersebut, yaitu selain anak-anak dan budak perempuan tersebut, maka Allah SWT telah menjelaskan hukum mereka dalam kehidupan khusus. Ketika meminta mereka untuk minta izin (saat memasuki rumahnya). Allah SWT berfirman (yang artinya): Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian hingga kalian meminta izin (dari penghuninya) dan mengucapkan salam kepada penghuninya (TQS an-Nur [24]: ).


Allah meminta kaum Muslim meminta izin (saat memasuki rumah) dan menyebutnya denga menggunakan kata “isti’nas” ketika ingin memasuki rumah orang lain. “Mafhum”-nya, jika dia hendak memasuki rumahnya sendiri, maka tidak perlu meminta izin. Sebab turunnya ayat ini adalah, ada seorang wanita Anshar, berkata, “Ya Rasulullah, ketika aku di rumahku dalam satu keadaan yang aku tidak ingin dilihat oleh siapapun, baik ayah maupun anakku, tiba-tiba ayahku masuk ke rumahku. Selalu saja, laki-laki dari keluargaku masuk ke rumahku, dan saya dalam keadaan seperti itu. Lalu, apa yang harus saya lakukan?” Lalu turunlah ayat “isti’dzan” ini.


Jika sebab turunnya ayat tersebut dikaitkan dengan “manthuq” (makna tersurat) dan “mafhum” (makna tersirat) ayat tersebut, maka tampak bahwa masalah dalam kehidupan khusus itu bukanlah masalah menutup aurat atau tidak, tetapi masalah penampilan dengan pakaian kerja, yang biasa dilakukan wanita. Dalam kondisi seperti ini, yaitu kondisi berpakaian kerja, Allah tidak memerintahkan wanita untuk tidak bekerja (dengan pakaian kerja), tetapi Allah memerintahkan kaum pria meminta izin, agar para wanita itu bisa menutup bagian yang lain, selain wajah dan kedua telapak tangannya, terhadap bukan mahramnya, karena perintah meminta izin itu bisa berkonotasi perintah untuk menutup aurat, dengan dalil sebab turunnya ayat ini. Jika seseorang memasuki rumah wanita tersebut, maka dia harus meminta izin, baik mahram atau bukan. Jadi, perintah meminta izin mempunyai konotasi agar wanita tersebut menutup auratnya kepada pria yang bukan mahram-nya. 


Mengenai pria memandang wanita dalam kondisi seperti ini merupakan masalah lain, yang terkait dengan hukum memandang, baik dalam kehidupan khusus maupun yang lain. Allah SWT telah mengharamkan pria yang bukan mahram untuk memandang selain wajah dan kedua telapak tangan, dan membolehkannya bagi mahram. Allah pun memerintahkannya untuk menundukkan pandangan terhadap bagian tubuh wanita itu, selain wajah dan telapak tangan. Allah juga mentoleransi pandangan mata yang tidak terbelalak (disertai syahwat). Tentang keharaman memandang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan sudah jelas. Begitu juga kewajiban menundukkan pandangan lebih dari itu juga sudah jelas dalam firman Allah SWT (yang artinya): Katakanlah kepada orang-orang Mukmin laki-laki agar mereka menundukkan pandangan mereka (TQS an-Nur [24]: 30).


Yang dimaksud di sini adalah menundukkan pandangan terhadap selain wajah dan kedua telapak tangan, dengan dalil, memandang keduanya dibolehkan. Dalam hadis al-Bukhari Said bin Abi al-Hasan berkata kepada al-Hasan, bahwa kaum perempuan non-Arab biasa menampakkan dada dan kepala mereka, maka berkata al-Hasan, “Palingkan pandanganmu.” Dalam hadis larangan duduk di jalan, Nabi saw. bersabda, “Tundukkan pandangan.” (HR Muttafaq ‘alaih). Artinya, para wanita itu kadang membuka bagian yang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan, maka kalian wajib menundukkan pandangan, bukan tidak boleh memandang. Jadi, ketika Allah mengharamkan memandang, sebenarnya hanya mengharam-kan memandang lebih dari wajah dan telapak tangan; lebih spesifik, pandangan yang disengaja (syahwat). Mengenai pandangan yang tidak disengaja, maka hukumnya tidak haram. Allah juga tidak memerintahkan agar meninggalkannya, tetapi hanya memerintah-kan menundukkan pandangan. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hendaknya mereka menundukkan pandangan (TQS  an-Nur [24]: 30).


Lafal “Min” berkonotasi “tab’idh” (sebagian), maksudnya, “Hendaknya mereka menundukkan sebagian dari pandangan mereka, atau sebagian penglihatan mereka.” “Mafhum”-nya, pandangan yang ditundukkan boleh, yaitu pandangan yang wajar, dan tidak disengaja (disertai syahwat).


Inilah qawl jadid (pendapat baru) Hizb sebagaimana yang diadopsi dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i.3 [KH. Hafidz Abdurrahman]


Catatan kaki


Lihat: al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum dan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. VI, 1422 H/20o2 M, hlm. 191.

Ibn Qudamah menjelaskan dzawi al-arham, yaitu kerabat yang tidak mempunyai bagian waris (fara’idh) maupun sisa (ashabah). Mereka berjumlah 11 orang, yaitu: (1) anak laki-laki anak perempuan/cucu laki-laki dari anak perempuan (walad al-banat); (2) keponakan laki-laki dari saudara perempuan (walad al-akhawat); (3) keponakan perempuan dari saudara laki-laki (banat al-ikhwah); (4) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seibu (walad al-ikhwah min al-umm); (5) bibi dari semua arah (‘ammat); (6) saudara laki-laki ayah seibu (‘am min al-umm); (7) paman dari ibu (akhwal); (8) bibi dari ibu (khalat); (9) anak-anak  perempuan paman dari ayah (banat al-a’mam); (10) kakek/bapaknya ibu (jadd abu al-umm); (11) semua nenek yang menurunkan satu ayah dari dua ibu (jaddah adlat bi abin bain ummain), atau menurunkan satu ayah ke atas. Mereka semuanya, dan keturunan mereka, disebut dzawi al-arham. Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, IX/82.

Lihat, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. IV, 1424 H/2003 M, hlm. 47-50.

Sunday, June 2, 2024

MENEPIS FITNAH TERHADAP HIZBUT TAHRIR DI MAJALAH TAUIYAH SIDOGIRI

 MENEPIS FITNAH TERHADAP HIZBUT TAHRIR DI MAJALAH TAUIYAH SIDOGIRI


Majalah Tau’iyah yang diterbitkan An-Najah Center Sidogiri edisi Sya’ban 1441 H telah memuat tulisan berjudul “Hizbut Tahrir: Perbedaannya dengan Kita” yang ditulis oleh Achmad Arief. Penulis terlihat begitu tendensius meski berusaha tampil ilmiah dengan kutipan-kutipan referensi. Kenapa? Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, penulis terlihat tidak memahami pendapat Hizbut Tahrir yang sedang dibantahnya; ke-Dua, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan ke-Tiga, menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersbut.


Penulis menyebutkan beberapa permasalahan yang diklaim sebagai “pendapat menyimpang pendiri Hizbut Tahrir” lalu kemudian dibantahnya sendiri. Berikut beserta tanggapannya.


Permasalahan Pertama: Qada’-Qadar dari Filsafat Yunani


Menurut penulis, Hizbut Tahrir menganggap teori qadha’ dan qadar Ahlussunnah wal Jamaah mengadopsi dari para filsuf Yunani. “Semua persoalan ilmu kalam diadopsi dari para filsuf Yunani, termasuk masalah qadha’ dan qadar.” (Lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa konsep qadha qadarnya Ahlussunnah itu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan filsuf yunani. Sambil menyebutkan referensi Mukhtasharul I’tiqad lil Baihaqi, hlm 231.


Tanggapan: Maksud Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani tidak demikian. Beliau mengatakan di kitab tersebut tidak seperti yang diketengahkan terjemahannya oleh penulis itu.


فَإننا لا نكاد نجد مسألة من مسائل علم الكلام إلا كانت ناشئة عن مسألة سبق للفلاسفة اليونان أن بحثوها


“Sungguh kita nyaris tidak menemukan satupun di antara permasalahan ilmu kalam melainkan itu muncul dari permasalahan yang sudah pernah dibahas oleh kaum filsuf Yunani.” (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/66)


Maksudnya disitu adalah terkait pengambilan tema atau topiknya. Bukan mengadopsi pendapat filsuf tanpa merujuk kepada Al-Quran dan Hadits seperti yang disangkakan.


Terbukti di halaman-halaman berikutnya beliau menjelaskan bahwa kelompok Ahlussunnah berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan oleh kaum Jabariyah untuk menetapkan perbuatan manusia itu ciptaan dan atas kehendak Allah, dan berdalil dengan ayat-ayat tertentu untuk teori kasab di antaranya Al-Baqarah 286 (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/73). Sampai sini tampak jelas klaim penulis adalah tidak benar.


Permasalahan ke-Dua: Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan


Menurut penulis, Hizbut Tahrir meyakini semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia. Tidak ada campur tangan Allah dan ketetapan Allah tidak ada kaitan dengannya. (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Lalu klaim itu dibantahnya sendiri dengan mangatakan bahwa semua perbuatan manusia pada hakikatnya adalah ciptaan Allah dan terjadi sesuai dengan keputusan-Nya (tanpa menafikan ikhtiyar manusia). Sambil menyebutkan referensi Al-I’tiqad ‘ala Madzhabis Salaf Ahlissunnah wal Jama’ah, hlm 53-54.


Tanggapan: Tuduhan tersebut tidak sebagaimana adanya. Sebab, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani membagi perbuatan manusia itu menjadi dua: 1) perbuatan yang berada di bawah kendali manusia dan 2) perbuatan yang berada di luar kendali manusia. Jadi tidak “semua perbuatan murni dari ikhtiar manusia” sebagaimana klaim penulis.


Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani juga memiliki pemaknaan khusus untuk Istilah qadha’ dan istilah qadar dalam konteks sebagai sebutan yang berdampingan (al-qadha’ wal qadar) dengan masing-masing memiliki makna khusus yang berbeda. Bahwa qadha itu perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia, dan qadar itu adalah khashiyatul asya` (lihat Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah 1/94). Sehingga perkataan bahwa perbuatan ikhtiyari manusia itu tidak termasuk qadha’ di situ maksudnya adalah makna khususnya ini, yaitu tidak termasuk perbuatan yang terjadi di luar kendali manusia. Bukan bermaksud makna qadha’ secara mutlak sebagai ketetapan Allah atas segala sesuatu seperti yang dipersepsikan penulis.


Tampak di sini penulis gagal memahami konsep qadha’ dan qadar yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir, sehingga salah dalam tuduhannya. Apalagi dengan narasi jahat mengopinikan Hizbut Tahrir menganut “Manusia Lebih Berkuasa daripada Tuhan”.


Permasalahan ke-Tiga: Para Nabi Tidak Maksum


Penulis menyebutkan bahwa menurut Hizbut Tahrir para nabi tidak maksum sebelum diangkat menjadi nabi. “Para nabi dan rasul itu maksum setelah menjadi nabi dan rasul. Sedangkan sebelum menjadi nabi dan rasul mereka tidak maksum.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 1/136). Lalu pendapat itu dibantahnya dengan mengutip pendapat salah satu ulama Ahlussunnah, Imam Muhammad bin Ahmad Ad-Dusuki dalam Hasyiyahnya atas kitab Ummul Barahin.


Tanggapan: Padahal masalah tersebut termasuk perkara khilafiyah bahkan di kalangan ulama Ahlussunnah sendiri. Pendapat yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir itu merupakan pendapat salah satu imam besar Ahlussunnah, yaitu Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, dan pendapat tersebut disahihkan oleh Al-Imam Saifuddin Al-Amidi rahimahumallah.


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَدْ ذَهَبَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ وَأَكْثَرُ أَصْحَابِنَا وَكَثِيرٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِمُ الْمَعْصِيَةُ كَبِيرَةً كَانَتْ أَوْ صَغِيرَةً ، بَلْ وَلَا يَمْتَنِعُ عَقْلًا إِرْسَالُ مَنْ أَسْلَمَ وَآمَنَ بَعْدَ كُفْرِهِ …. وَالْحَقُّ مَا ذَكَرَهُ الْقَاضِي.


“Adapun sebelum kenabian, maka al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani, mayoritas sahabat kami (ulama Ahlussunnah), dan banyak dari kalangan muktazilah berpendapat bahwasannya tidak tertutup kemungkinan bagi mereka melakukan kemaksiatan, baik dosa besar maupun kecil. Bahkan secara logika tidak tertutup kemungkinan akan diutusnya orang yang berislam dan beriman sebelum tadinya tidak. … dan pendapat yang benar adalah apa yang diutarakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani.” (Lihat: Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. 1/169-170)


Bahkan itu merupakan pendapat mayoritas Ahlussunnah, menurut keterangan Al-Imam Ibnu Hajib dan dibenarkan pula oleh Al-Imam Az-Zarkasyi:


أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، فَقَالَ الْمَازِرِيُّ : لَا تُشْتَرَطُ الْعِصْمَةُ ، وَلَكِنْ لَمْ يَرِدْ فِي السَّمْعِ وُقُوعُهَا . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ : الصَّوَابُ عِصْمَتُهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ مِنْ الْجَهْلِ بِاَللَّهِ وَصِفَاتِهِ ، وَالتَّشْكِيكِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ ، وَقَدْ تَعَاضَدَتْ الْأَخْبَارُ عَنْ الْأَنْبِيَاءِ بِتَبْرِئَتِهِمْ عَنْ هَذِهِ النَّقِيصَةِ مُنْذُ وُلِدُوا ، وَنَشْأَتِهِمْ عَلَى التَّوْحِيدِ وَالْإِيمَانِ . وَنَقَلَ ابْنُ الْحَاجِبِ عَنْ الْأَكْثَرِينَ عَدَمَ امْتِنَاعِهَا عَقْلًا ، وَأَنَّ الرَّوَافِضَ ذَهَبُوا إلَى امْتِنَاعِهَا ، وَنَقَلَهُ غَيْرُهُ عَنْ الْمُعْتَزِلَةِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُوجِبُ هَضْمَهُ وَاحْتِقَارَهُ ، وَهُوَ خِلَافُ الْحِكْمَةِ ، وَالْأَصَحُّ قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ، وَمِنْهُمْ الْقَاضِي .


“Adapun sebelum kenabian, al-Imam al-Maziri berkata: tidak disyaratkan adanya kemaksuman, akan tetapi tidak ada dalam dalil sam’i informasi akan terjadinya hal tersebut. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: yang benar adalah adanya kemaksuman mereka sebelum masa kenabian dari hal ketidak-tahuan akan Allah beserta sifat-sifat-Nya, dan keragu-raguan terkait hal itu. Banyak hadits yang saling menguatkan tentang bahwa mereka terbebas dari sifat kurang ini sejak dilahirkan, dan mereka tumbuh dalam ketauhidan dan keimanan. Sementara Ibnu Hajib meriwayatkan pendapat dari mayoritas ulama bahwa menurut akal hal itu tidak mustahil. Dan bahwasannya kalangan Rafidhah berpendapat akan tertutupnya kemungkinan tersebut, dan yang lain meriwayatkan pendapat ini dari Muktazilah; karena hal itu akan menghancurkan dan menghinakan dirinya. Dan itu bertentangan dengan tujuan diutusnya mereka. Dan yang paling benar (al-ashahh) adalah pendapat mayoritas ulama, yang di antaranya adalah al-Qadhi (Abu Bakar al-Baqillani).” (Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh. vol 6 hlm 13)


Juga menurut keterangan Al-‘Arif biLLah Asy-Syaikh Yusuf bin Isma’il An-Nabhani, yang tidak lain adalah kakek dari pendiri Hizbut Tahrir sendiri:


وَلَا يَخْفَى أَنَّ عِصْمَةَ النَّبِيِّيْنَ غَيْرُ مُتَّفَقٍ عَلَيْهَا عِنْدَ جَمِيْعِ الْفِرَقِ الْإِسْلَامِيَّةِ … وَإِنْ كَانَ الْمُحَقِّقُوْنَ مِنْ أَئِمَّةِ الْعُلَمَاءِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالشِّيْعَةِ أَيْضًا مُتَّفِقِيْنَ عَلَى عِصْمَتِهِمْ مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوْبِ الْكَبَائِرِ وَالصَّغَائِرِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَبَعْدَهَا ، وَأَوَّلُوْا جَمِيْعَ مَا وَرَدَ فِي حَقِّهِمْ مِنْ ذَلِكَ . نَعَمْ مَذْهَبُ جُمْهُوْرِ أَهْلِ السُّنَّةِ عَدَمُ عِصْمَتِهِمْ مِنَ الذُّنُوْبِ قَبْلَ النُّبُوَّةِ ، وَيَحْمِلُوْنَ مُعْظَمَ مَا وَرَدَ مِنْ ذَلِكَ فِي حَقِّهِمْ عَلَى وُقُوْعِهِ مِنْهُمْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ .


“Bukan hal yang rahasia bahwa perihal kemaksuman para nabi tidak disepakati oleh seluruh kelompok-kelompok Islam. … Meski para muhaqqiq dari kalangan ulama Ahlussunnah dan juga Syi’ah bersepakat akan kemaksuman mereka dari segala dosa, besar maupun kecil, sebelum dan sesudah kenabian. Dan mereka menakwil semua dalil berkenaan dengan mereka (para nabi) itu (yang secara zhahir melakukan kesalahan). Memang benar, mayoritas Ahlussunnah berpendapat mereka tidak maksum dari dosa sebelum kenabian, dan mereka memahami kebanyakan dalil yang berkenaan dengan hal tersebut bahwa itu mereka lakukan sebelum kenabian.” (al-Asâlîb al-Badî’ah fî Fadhl al-Shahâbah wa Iqnâ’ al-Syî’ah. hlm 177)


Jika menurut penulis bahwa pendapat “anbiya tidak maksum sebelum masa kenabian mereka” itu keliru, apakah berarti penulis menganggap mayoritas ulama Ahlussunnah yang berpendapat demikian itu sesat atau menyimpang sebagaimana pelabelannya terhadap Hizbut Tahrir? 


Permasalahan ke-Empat: Khilafah Harga Mati


Penulis menganggap Hizbut Tahrir ekstrem dalam menyikapi khilafah, sampai-sampai menganggap semua orang muslim dosa besar karena tidak menegakkan khilafah. “Berpangku tangan dari menegakkan khilafah termasuk dosa besar dan menghentikan eksistensi Islam dalam ranah kehidupan. Semua orang muslim dosa besar karenanya.” (Lihat: Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah 2/19). Lalu klaim itu dibantahnya dengan mengutip perkataan Imamul Haramain Al-Juwaini bahwa hukum mengangkat pemimpin itu wajib bila mampu (Ghiyatsul Umam fi Iltiyatsizh Zhulam hlm 55), dan mengutip perkataan Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang diterjemahkan “Kajian tentang khilafah tidak begitu penting, sebab persoalan ini adalah persoalan fikih (ranah ijtihad) bukan persoalan yang secara tegas disampaikan oleh al-Qur`an dan Hadits. Selain itu kajian khilafah juga mengakibatkan fanatisme kepemimpinan yang jelas berdampak buruk dan lebih selamat tidak mengkajinya.” (Lihat: al-Iqtishad fil I’tiqad, hlm 200).


Tanggapan: Singkatnya ada dua perkara yang perlu diluruskan: 1) bentuk wajibnya khilafah dan dengan apa kewajiban tersebut menjadi gugur; 2) besarnya kewajiban khilafah dan gagal paham atas perkataan Al-Imam Al-Ghazali.


Pertama; bentuk wajibnya khilafah adalah bersifat kifa`ie (fardhu kifayah), sehingga tidak gugur kewajiban tersebut dari pundak setiap muslim sebelum tercapai kifayah (batas kuantitas serta kualitas) orang-orang yang mengusahakannya sampai benar-benar terwujud. Adapun ungkapan Imamul Haramain Al-Juwaini sama sekali tidak menafikan hal itu, karena dikatakan tidak mampu itu jika sudah ada usaha maksimal namun belum juga terlaksana. Tidak tiba-tiba tanpa ada usaha serius dan maksimal mengklaim tidak mampu. Juga ketidak-mampuan umat mewujudkannya di suatu masa tidak menjadikan umat di masa-masa berikutnya menjadi tidak wajib mengusahakan.


Ke-dua; Penulis serampangan dalam mengutip perkataan Al-Imam Al-Ghazali untuk menjustifikasi tidak pentingnya khilafah. Padahal maksud beliau dengan ungkapan imamah bukan termasuk al-muhimmat adalah bahwa imamah bukan termasuk perkara pokok akidah yang menentukan sah-tidaknya keislaman. Ini sebagaimana beliau nyatakan sendiri di bagian sebelumnya di kitab tersebut:


ﻷﻥ اﻟﻤﻌﺘﻘﺪاﺕ اﻟﻤﺨﺘﺼﺮﺓ ﺣﻘﻬﺎ ﺃﻥ ﻻ ﺗﺸﺘﻤﻞ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻬﻢ اﻟﺬﻱ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻨﻪ ﻓﻲ ﺻﺤﺔ اﻻﻋﺘﻘﺎﺩ


“Sebab akidah yang ringkas itu seharusnya hanya berisikan perkara pokok (al-muhimm) yang harus ada demi keabsahan akidah saja.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 376)


Lebih spesifik lagi beliau menyebut ilmu rasional (‘aqli), terminologi (lafzhi), dan juga fiqih (fiqhi) dengan mengatakan tidak muhimm:


وكل ذلك ليس بمهم


“Semua itu tidak ‘muhimm’.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 377)


Maksud beliau bukan menganggap ilmu fiqh –termasuk di dalamnya khilafah– itu tidak penting, melainkan bahwa ilmu fiqih bukan termasuk bahasan pokok akidah. Lebih daripada itu, jika penulis mau jujur al-Imam al-Ghazali sendiri menyatakan dalam kitab tersebut bahwa kewajiban imamah itu termasuk perkara syari’at yang bersifat mendesak/urgen (min dharûriyyâtisy-syar’i).


فكان وجوب نصب الإمام من ضروريات الشرع الذي لا سبيل إلى تركه.


“… maka wajibnya mengangkat seorang khalifah itu adalah termasuk perkara syariat yang sangat penting/mendesak (dharûriyyât asy syar’), yang tidak ada celah untuk boleh ditinggalkan.” (Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm 395)


Jadi bagaimana bisa beliau dipahami menganggap perkara khilafah tidak penting sedangkan di waktu yang sama mengatakan bahwa dia tergolong perkara syariat yang sangat penting/mendesak yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan.


Adapun terkait ungkapan beliau bahwa pembahasannya menyebabkan fanatisme dan lebih baik tidak dibahas adalah masih dalam konteks akidah ini. Yaitu lebih baik tidak membahasnya dalam konteks akidah karena yang seharusnya khilaf di dalamnya sebatas khilâf fiqhî, karena dibahas dalam konteks akidah, akan menjadi dianggap sebagai khilâf ‘aqâ`idî yang memicu fanatisme.


Adapun meninggalkan kewajiban khilafah dapat mengakibatkan dosa besar, hal itu bisa dipahami dari banyaknya kewajiban terbengkalai tanpa adanya khilafah apabila semuanya diakumulasikan. Jika satu saja mayat muslim tidak dimakamkan secara syar'ie dapat mengakibatkan dosa karena hukumnya fardhu kifayah, maka bagaimana dengan banyak mayat jika tidak dimakamkan secara syar'ie. Demikian pula lah saat satu saja pencuri yang terbukti dan mencapai nishab bila tidak dihukum secara syar'ie dengan dijatuhi hadd potong tangan, maka bagaimana dengan banyaknya pencuri yang tidak dihukum secara syar'ie? Belum jumlah kasus hudud dan jinayat lainnya, semisal perzinahan, liwath, peminum khamr, riddah, pembunuhan, dsb. Sedangkan hukuman tersebut hanya bisa terlaksana dengan sempurna dalam sistem khilafah. Anggaplah tidak menerapkan per kasusnya adalah dosa kecil, tapi bagaimana jika jumlahnya banyak, ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu?


ﻭاﻟﺼﻐﻴﺮﺓ ﺇﺫا ﺃﻛﺜﺮﺕ ﺻﺎﺭﺕ ﻛﺒﻴﺮﺓ


"Sedangkan dosa kecil itu bila berjumlah banyak maka akan menjadi dosa besar." (Syarh Shahîh Muslim, vol 2 hlm 67)


Besarnya dosa mengabaikan pendirian khilafah juga disebutkan dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhajî alâ Madzhab Al-Imâm Asy-Syâfi'î.


تنصيب الإمام بهذا الشكل الذي رأيت، ولتحقيق المهام التي تحدثنا عنها واجب متعلق بأعناق المسلمين حيثما كانوا، فإن لم ينهضوا به تحقيقاً لأمر الله عز وجل باؤوا جميعاً بإثم كبير، إذ هو ـ بالإضافة إلي الضرورات الدينية والاجتماعية والسياسية المختلفة ـ شعيرة كبري من شعائر الإسلام التي يجب أن تكون بارزة حية في بلاد المسلمين.


"Mengangkat seorang khalifah dalam bentuk yang telah anda lihat (di atas), demi merealisasikan kepentingan yang telah kami ulas (sebelumnya), adalah wajib dan mengikat setiap muslim di manapun mereka berada. Jika mereka tidak bangkit mewujudkannya demi melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla niscaya mereka semua akan terkena dosa besar. Karena khilafah itu –disamping terkait berbagai kepentingan mendesak agama, permasalahan sosial dan politik– juga merupakan syi’ar terbesar Islam di antara syi’ar-syi’ar lainnya yang wajib tampak dan hidup di negeri kaum muslimin."

Al-Fiqh Al-Manhajî alâ Madzhab Al-Imâm Asy-Syâfi'î, vol 8 hlm 277-278.


Nah, berdasarkan uraian di atas terbukti sudah kesalahan tuduhan tersebut, yang tidak lain disebabkan karena tidak memahami pendapat Hizbut Tahrir yang sedang dibantahnya, kurang menguasai perbedaan pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sehingga pendapat Hizbut Tahrir yang tidak lain merupakan pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah sendiri dianggapnya sesat; dan menyajikan perkataan ulama dengan terjemahan dan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud ulama tersbut. Sehingga jadilah tulisan yang provokatif mendeskriditkan Hizbut Tahrir agar dianggap bukan Ahlussunnah wal Jama’ah dan dijauhi masyarakat. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kelompok menjadikanmu tidak berlaku adil. Berlaku adillah itu lebih mendekati takwa. [Azizi Fathoni K.]


÷÷÷÷÷

https://mediaumat.news/menepis-fitnah-terhadap-hizbut-tahrir-di-majalah-tauiyah-sidogiri/amp/


https://tsaqofah.id/menepis-fitnah-terhadap-hizbut-tahrir-di-majalah-tauiyah-sidogiri/


https://news.visimuslim.org/2021/04/menepis-fitnah-terhadap-hizbut-tahrir.html?m=1


CHANNEL TELEGRAM: 

https://t.me/tsaqofah_id


TSAQOFAH.ID

Pusat Kajian Tsaqafah dan Turats Islam


Follow, like, comment, and share:

https://yubi.id/tsaqofahid


===

Saturday, June 1, 2024

Pancasila ?

 Sebagian orang menganggap bahwa Pancasila adalah hasil kesepakatan dari para pendiri bangsa, termasuk dalam hal ini adalah para ulama. Sehingga Pancasila seolah menjadi patung yang dikeramatkan, tidak boleh ada yang mengkritik dan menentang. Padahal, seandainya kita mau jujur saja dengan sejarah, niscaya kita akan menemukan fakta bahwa sebenarnya Pancasila bukanlah hasil kesepakatan bersama.


Mari kita cerna sejarah!


Jika kita mau jujur, sesungguhnya konsep Pancasila bukanlah hasil kesepakatan para pendiri bangsa, melainkan hasil paksaan Soekarno dan Hatta. Para ulama di Tim Sembilan dipaksa untuk menerimanya. Padahal mereka hanya menghendaki syariat Islam sebagaimana yang tertuang di dalam Piagam Jakarta.


Andai memang benar para ulama sepakat dengan Pancasila, niscaya mereka tidak akan bersusah payah memperjuangkan Piagam Jakarta di parlemen negara. Tetapi faktanya mereka tetap memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta, meskipun Pancasila sudah ditetapkan pihak istana. Bahkan ada pula yang kemudian berjuang di luar konstitusi negara, dengan membentuk Negara Islam Indonesia (NII)


Nahdlatul Ulama sendiri baru menerima Pancasila pada tahun 1983, ketika Gus Dur menjadi pimpinannya. Berarti puluhan tahun ke belakang sebelum itu NU masih anti Pancasila. Mereka masih menghendaki Piagam Jakarta. Ini pula yang pernah disampaikan Gus Sholah pada tahun 2013 di pesantrennya.


Maka buka mata, buka telinga!


Stop mempolitisasi Pancasila untuk menolak syariah dan khilāfah. Apalagi para pendiri bangsa sendiri pun belum pernah menyatakan kata sepakat atas keabsahannya.


Apabila dikatakan bahwa Pancasila sesuai dengan ajaran Islam, maka jangan halang-halangi mereka yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Jika masih saja tetap menghalangi dengan mengatasnamakan Pancasila, maka wajar saja apabila kalangan agamis di Tim Sembilan dahulu ternyata begitu semangat untuk menggantikannya


mustanir.net/pancasila


#GarudaPancasila #Pancasila #HariPancasila #HariLahirPancasila #HariKelahiranPancasila #KelahiranPancasila #SejarahPancasila #SejarahIslam #PolitikIslam #SyariatIslam #SyariahIslam #IndonesiaBersyariah #IndonesiaMilikAllah #IndonesiaBertauhid #SekularismeMerusakTauhid #NKRI