Friday, August 12, 2011

NU: Perlawanan Terhadap Penjajah, Perjuangan Syariah dan Khilafah

NU: Perlawanan Terhadap Penjajah, Perjuangan Syariah dan Khilafah



[Nahdlatul Oelama dulu, melawan penjajah dan ambil bagian dalam perjuangan syariah dan khilafah ]
Syabab.Com - Ada dua hal yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah NU perlawanan terhadap penjajahan, perjuangan syariah dan khilafah. Nahdlatoel Oelama lahir pada 31 Januari 1926 M./16 Rajab 1344 H. di Surabaya yang dipimpin oleh Rais Akbar Choedratoes Sjech KH. Hasjim Asj’ari. Nama Nahdlatoel Oelama merupakan kelanjutan dari nama gerakan dan nama sekolah yang pernah didirikan Nahdlatoel Wathan pada 1335 H./1916 M. di Surabaya.


Kehadiran Nahdlatoel Oelama pada periode Kebangkitan Kesadaran Nasional Indonesia mempunyai kesamaan dengan organisasi Islam yang sezaman. NU berjuang ingin menegakkan kembali kedaulatan umat Islam sebagai mayoritas. NU ingin pula menegakkan syari’ah Islam. Kebangkitan Nahdlatoel Oelama merupakan jawaban terhadap Politik Kristenisasi penjajah pemerintah kolonial Belanda yang berusaha menegakkan Hukum Barat.




Tantangan imperialis Barat, dengan Politik Kristenisasi dan upaya memberlakukan Hukum Barat, menjadikan seluruh organisasi Islam, Sjarikat Dagang Islam, Sjarikat Islam, Persjarikatan Moehammadijah, Persjarikatan Oelama, Persatoean Oemat Islam, Matla’oel Anwar, Persatoean Islam, Nahdlatoel Oelama, Perti, Al-Waslijah, serta Djamiat Choir dan Al-Irsjad, berjuang menuntut Indonesia Merdeka dan menegakkan Syariah Islam. (Ahmad Mansur Suryanegara, 2009. Api Sejarah)




Perjuangan NU juga tidak bisa dilepaskan dari cita-cita besar menjadikan Islam sebagai agama negara, menjadi dasar negara, menuju sebuah negara Islam. KH Wahid Hasyim memang memanfaatkan rancangan Pembukaan yang diusulkan tersebut sebagai suatu titik tolak untuk pengaturan lebih lanjut menuju suatu negara Islam. “Kalau presiden adalah seorang Muslim, maka peraturan- peraturan akan mempunyai ciri Islam dan hal itu akan besar pengaruhnya. Tentang Islam sebagai agama negara, hal ini akan penting artinya bagai pertahanan negara. Umumnya, pertahanan yang didasarkan kepada keyakinan agama akan sangat kuat, karena menurut ajaran Islam orang hanya boleh mengorbankan jiwanya untuk ideologi agama.”, tegas KH. A. Wahid Hasyim, salah seorang tokoh NU terkemuka (BJ. Boland, “Pergumulan Islam di Indonesia” (1985)




Dalam peran internasionalnya NU juga tidak bisa dipisahkan dari perjuangan penegakan Khilafah yang menjadi agenda penting umat Islam saat itu. Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah(salah satu pendiri NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo

Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi .




Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa’ud], penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan . Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama. (Bandera Islam, 16 Oktober 1924 ; Noer, Deliar (3 Maret 1973). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES) [salman.iskandar/mu/syabab.com]



Baca juga:

* HTI dan Kyai Muda NU di Kajen Pati Diskusi Tentang Khilafah
* Adakah Inhiraf Manhaji Pada Fikrah Nahdliyyah?

Dalam kediktatoran tak da kebebasan politik, dalam demokrasi tak ada kebebasan ekonomi.

Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi -
Dalam kediktatoran tak da kebebasan politik, dalam demokrasi tak ada kebebasan
ekonomi.

DEFINISI KEDIKTATORAN

Dalam kediktatoran tidak ada kebebasan politik.

Perbedaan pendapat dihukum dengan pemberangusan masyarakat - dikurung, disiksa,
dipenjara bahkan dihukum mati.

Ada kebebasan ekonomi dasar karena negara adalah penguasa tunggal atas kekayaan.

DEFINISI DEMOKRASI

Dalam demokrasi tidak ada kebebasan ekonomi. Anda adalah seorang warga negara
dalam satu set negara demokratis yang seragam. Menjadi warga negara berarti Anda
adalah seorang debitur (penghutang). Anda bertanggung jawab terhadap utang
nasional, jadi anak asal Mauritania yang lahir di padang pasir saat memasuki
fase kehidupannya langsung menanggung pembagian dari utang nasional, hingga
lahir ke dunia dengan berhutang sejumlah ribuan euro yang tak terbayarkan. Anda
bebas untuk mengubah perwakilan politik Anda, tetapi, tidak berdaya kecuali
mewajibkan pajak Negara atas Anda, dia tidak berdaya. Dia harus mencegah Anda
dari bangkit - Anda diperbolehkan protes tapi tidak dengan kekerasan - maka Anda
harus dibungkam. Itu adalah status quo. Ketika bank gagal, kehilangan jutaan,
Anda harus membantu mereka keluar dari krisis. Dalam melakukan ini Anda, rakyat,
dianggap, (berkat demokrasi) pasif dan patuh.

DEFINISI BANKIR

Para bankir, yang disebut oleh Proudhon (Pent. Pierre-Joseph Proudhon, politisi
dan ekonom asal Prancis 1809-1865) sebagai sebuah Sekte, adalah persaudaraan
mistis atheis. Mereka mengoperasikan sistem riba pinjaman dengan bunga, tidak
menggunakan komoditi yang substantif, yaitu kekayaan riil, tetapi dengan uang
kertas, sebuah 'kuitansi' terhadap suatu kekayaan riil. Kekuasaan mereka tumbuh,
dan berkembang sejak Revolusi Perancis dan "pemandulan" monarki Inggris pada
saat itu oleh para bankir menyingkirkan bangsawan yang sah dan menggantinya
dengan bangsawan Jerman yang patuh.

Perang Dunia II dan sesudahnya, datang dengan transformasi komputer berbasis
informasi global, melmbawa lompatan evolusi penting dalam perilaku dan
kekuasaan. Sistem keuangan yang berlaku meninggalkan mata uang (dokumen kertas
janji pembayaran hutang) dan hanya berfungsi dalam sejumlah 'mata uang' dan
transfer dari titik global A ke titik global B. Bahkan tidak lagi berupa jumlah
numerik , melainkan hanya impuls elektronik yang berkedip antara dua komputer.
Dengan kata lain, para bankir memerintah dengan menggunakan sihir. Mereka
menguasai politikus - yang akhirnya menyadari bahwa terpilihnya mereka bukan
disebabkan oleh rakyat pemilih tetapi karena publikasi di media (yang dimiliki
oleh para bankir) dan keikutsertaan mereka dalam program fidusia mereka.

Saat ini para bankir telah menemukan bahwa politikus lebih mudah diperbudak dari
yang mereka bayangkan sebelumnya. Terkuak, saat politisi mengungkapkan kepatuhan
mereka dengan menyelamatkan (sistem bail out) runtuhnya sistem keuangan yang
dialami para bankir. Sekarang, kata mereka, lihatlah kekacauan ini. Kita harus
menyelamatkan pasar ini. Padahal yang benar adalah Anda, para politikus,
berhutang kepada kita sejumlah besar dalam bentuk hutang nasional. Saatnya untuk
membayar. Ubah istilah itu - defisit ? jumlah yang terutang itu - yang jelas
kini Anda harus membayarnya.

Dalam satu langkah para bankir (sebuah sistem tapi dijalankan oleh semacam
kependetaan sistemik) membawa kepada langkah besar mendekati akhir dari logika
dan kalkulasi agama mereka - satu bank, tidak ada mata uang, dan semua umat
manusia sebagai debitur.

Langkah untuk mengumpulkan deficit, mengikuti krisis keuangan para bankir '-
lebih dari dua puluh triliun dolar - orang dibuat terlalu trauma - sekarang
mereka harus, harus membayar tagihan hutang mereka.

Tidak ada seorang pun di suatu negara yang bertanya - kemana uang itu pergi?
Apakah menghilang begitu saja? Apakah itu berarti memang tidak pernah ada sejak
awalnya?

Apa yang disebut 'krisis defisit' terus semakin merendahkan dan memperbudak
rakyat.

Mitos 'pemulihan kriris' hadir sebelum pemotongan hampir menyeluruh pelayanan
sosial yang menjadi fondasi masyarakat sipil. Untuk memberikan para bangkir
vitalitas baru, mereka membutuhkan nasabah baru. Mereka membutuhkan beberapa
juta klien baru untuk memungkinkan mereka bergerak terus mendominasi dunia dan
untuk menjaga elit mereka, terus makin kaya dan dihargai. Misalnya pada saat
krisis defisit Inggris, Barclays Bank memberikan bonus kepada bos mereka sebesar
? 9.000.000, menyusul protes publik, bos (dengan nama abadi Bapak Diamond!)
dengan rendah hati mengatakan bahwa mengingat masalah yang sedang dialami orang
lain, maka ia hanya akan mengambil enam juta saja!

Ya Walad!

Dan ini, adalah di mana Anda hadir. Para bankir bertanya: "Sekarang bagaimana
kita bisa mendapatkan puluhan juta nasabah bank baru? Baru, muda, menginginkan
'demokrasi', yaitu debtorship tanpa diktator, dan dengannya kita dapat mengimpor
obat, rock and roll, kebebasan seksual dan bahkan fashion. Tentu saja ? di
sepanjang pesisir Laut Tengah, di sana hiduplah kaum pengangguran, tertindas dan
terbebas dari ajaran Islam, yang mungkin akan mengungkap sifat jahat rencana
fidusiari kami!"

Anak-anak muda, Anda menginginkan demokrasi ? TEKAN TOMBOL ENTER.

Diterjemahkan dari :
http://www.shaykhabdalqadir.com/content/articles/Art113_16032011.html

Negara Islam: Fakta Normatif Dan Empiris

Negara Islam: Fakta Normatif Dan Empiris


Oleh: Hafidz Abdurrahman


Ada sebagian intelektual yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah tidak pernah mewajibkan untuk mendirikan Negara Islam. Bahkan, ada yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah juga tidak pernah menyebut Negara Islam.


Pernyataan seperti ini bisa terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, karena merasa tertuduh, terutama ketika Negara Islam telah menjadi monster yang menakutkan, sehingga takut. . Kedua, karena tidak tahu atau tidak menemukan, bahwa Negara Islam tersebut memang ada di dalam Alquran dan Sunnah.


Tentu, baik karena kemungkinan yang pertama maupun kedua, sama-sama tidak mewakili Islam. Bahkan, pandangan yang muncul dari keduanya sama-sama tidak mempunyai nilai apapun dalam ajaran Islam. Apalagi, masalah negara ini merupakan masalah ma’lum[un] min ad-din bi ad-dharurah (perkara agama yang sudah diyakini/diketahui kepentingannya). Karena itu, adanya negara ini hukumnya wajib. Kewajibannya pun telah disepakati oleh para ulama, baik Ahlussunnah, Syi’ah, Khawarij maupun Muktazilah (Lihat, al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilafi al-Mushallin, Juz II/149).


Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin menyatakan, bahwa mendirikan imamah hukumnya Fardhu Kifayah. Jika hanya ada satu orang (yang layak), maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang mengajukannya, maka imamah itu wajib diusahakan (Lihat, an-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin, Juz VIII/369). Imamah yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi di sini tak lain adalah Khilafah, atau Negara Islam.


Karena itu, tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa Nabi Muhammad, selain sebagai Nabi dan Rasul, baginda SAW adalah kepala negara. Ini dibuktikan dengan firman Allah SWT yang menitahkan, bahwa tugas Nabi dan Rasul hanya tabligh (menyampaikan risalah): “Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Q.s. an-Nur [24]: 54)


Tetapi, faktanya banyak nash Alquran memeritahkan kepada Baginda SAW untuk memotong tangan pencuri (QS al-Maidah [05]: 38), mencambuk pezina (QS an-Nur [24]: 3), memerintah berdasarkan hukum Allah (QS al-Maidah [05]: 49), memerangi kaum Kafir (QS at-Taubah [09]: 36), menumpas perusuh (QS al-Maidah [05]: 33). Sedangkan tugas-tugas di atas adalah tugas yang lazimnya dijalankan oleh kepala negara.


Dari dua kategori nash di atas, yaitu nash yang menyatakan Nabi Muhammad SAW sebagaimana Nabi dan Rasul yang lain hanya diberi tugas untuk tabligh, tetapi nash-nash lain memerintahkan Nabi Muhammad untuk melakukan tugas-tugas negara, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa Nabi Muhammad bukan hanya Nabi dan Rasul, tetapi juga kepala negara. Ini berbeda dengan Nabi Musa, Isa, Ibrahim, Nuh -‘alaihim as-salam, yang hanya diberi tugas untuk tabligh. Ini kemudian dipertegas oleh Nabi sendiri: “Dahulu Bani Israil diurus oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi telah wafat, maka digantikan oleh Nabi yang lain. Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada para khalifah. Jumlah mereka pun banyak.” (HR Bukhari)
Sabda Nabi yang menyatakan, Wa innahu la nabiyya ba’di, wa sayakunu khulafa’ fa yaktsurun (Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada para khalifah. Jumlah mereka pun banyak) membuktikan, bahwa posisi Baginda SAW sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir tidak tergantikan. Tetapi, posisi Baginda yang lain, yaitu kepala negara yang bisa digantikan. Dan pengganti Baginda SAW adalah Khalifah, yang memerintah secara berkesinambungan, sehingga jumlahnya banyak.


Semuanya ini membuktikan, bahwa ajaran tentang negara jelas dinyatakan dalam nash, khususnya Sunnah, dengan istilah Khilafah (HR Ahmad dari Nu’man bin Basyir), dan pemangkunya disebut Khalifah (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah adalah istilah syariah, yang digunakan oleh nash syariah, sebagaimana Shalat, Zakat, Jihad dan Haji, untuk menyebut negara dengan konteks dan konotasi yang khas. Konteks dan konotasi Khilafah itu tak lain adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia yang dibangun berdasarkan akidah Islam, untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Negara kesatuan, bukan federasi maupun persemakmuran; bukan monarki, baik absolut maupun parlementer; bukan pula republik, baik presidensiil maupun parlementer; bukan pula demokrasi, teokrasi, autokrasi maupun diktator. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.
Tentang penggunaan istilah Negara Islam (ad-Daulah al-Islamiyyah), memang tidak pernah digunakan oleh Alquran dan Sunnah. Karena istilah Daulah adalah istilah baru, yang diambil dari khazanah di luar Islam. Awalnya istilah ini digunakan oleh para filosof Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles. Sementara umat Islam baru berinteraksi dengan filsafat Yunani, ketika mereka menaklukkan Mesir dan Syam pada zaman Umar bin al-Khatthab. Namun, istilah Daulah saat itu juga belum digunakan. Baru setelah buku-buku filsafat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada zaman Khilafah Abbasiyah, mulailah istilah tersebut dikenal oleh kaum Muslim. Kata Daulah digunakan untuk menerjemahkan kata State, yang digunakan oleh Plato maupun Aristoteles dalam buku mereka.
Namun, karena istilah Daulah ini bisa misunderstanding, maka para ulama kaum Muslim ketika menggunakannya untuk menyebut Khilafah, mereka pun menggunakan kata Daulah dengan tambahan sifat Islamiyyah di belakangnya, sehingga mulailah kata ad-Daulah al-Islamiyyah digunakan untuk menyebut Khilafah. Ini bisa dilacak pada tulisan Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H), dalam kitabnya, al-Imamah wa as-Siyasah, yang ditulis pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Boleh dikatakan, Ibn Qutaibahlah ulama yang pertama kali menggunakan istilah tersebut sebagai padanan dari istilah Khilafah.
Setelah itu, diikuti oleh Yaqut al-Hamawi (w. 626 H) dalam Mu’jam al-Buldan, Ibn Taimiyyah (w. 726 H) dalam Majmu’ al-Fatawa, Ibn Katsir (w. 774 H) dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, dan Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam Muqaddimah dan Tarikh Ibn Khaldun. Inilah fakta normatif eksistensi Negara Islam atau Khilafah dalam khazanah klasik. Selain fakta normatif, juga ada fakta empiris yang telah membuktikan eksistensinya, baik dalam bentuk perundang-undangan yang pernah diterapkan pada zamannya, maupun peninggalan fisik yang hingga kini masih berdiri kokoh di negeri-negeri kaum Muslim.


Maka, sangat memalukan jika ada intelektual atau ulama yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah tidak pernah mengajarkan tentang Negara Islam. Pernyataan yang sebenarnya tidak akan mengurangi sedikit pun kelengkapan dan keagungan ajaran Islam. Sebaliknya, justru meruntuhkan kredibilitas mereka sebagai intelektual atau ulama. Wajar, jika karena alasan yang sama, Hai’ah Kibar Ulama’ al-Azhar di masa lalu telah mencabut seluruh gelar dan ijazah yang telah diberikan kepada Ali bin Abd ar-Raziq. Wallahu a’lam.

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/05/25/negara-islam-fakta-normatif-dan-empiris/

Bubarkan KPK atau Bubarkan Demokrasi?

Bubarkan KPK atau Bubarkan Demokrasi?

Diambil dari buletin Al islam

[Al islam 568] Sepekan terakhir ini jagad politik di negeri ini kembali heboh. Sebagai buntut dari pengakuan Nazaruddin yang menuding salah seorang pimpinan KPK tersangkut suap/korupsi, Ketua DPR dari Partai Demokrat Marzuki Alie melontarkan pernyataan panas: Bubarkan saja KPK! Pasalnya, menurut dia, selama ini KPK diharapkan memberikan hasil yang signifikan dalam memimpin upaya pemberantasan korupsi di tingkat legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, sampai saat ini KPK dinilai tidak bisa memenuhi harapan tersebut. “KPK adalah lembaga ad hoc. Kalau lembaga ad hoc ini sudah tidak dipercaya, apa gunanya kami dirikan lembaga ini? Nyatanya, tidak membawa perubahan juga, jadi lebih banyak manuver politik daripada memberantas korupsi,” kata Marzuki Alie di Gedung DPR, Jakarta (Kompas.com, 29/7/2011).

Pro-kontra atas pernyataan Marzuki Alie pun bermunculan. Sebagian menilai wajar, bahkan mendukung. Sebagian lagi geram dan mengecam. Yang mendukung antara lain Ketua Umum sekaligus pendiri Partai Demokrat, Subur Budhisantoso. “Saya setuju KPK dibubarkan kalau memang orang-orangnya semuanya tidak bebas dari masalah,” kata Subur di Jakarta, Sabtu (lihat, Detiknews.com, 30/7/2011).

Adapun yang mengecam antara lain mantan Wapres Jusuf Kalla (JK). “Kalau berpikir Marzuki Alie seperti itu, maka DPR harus dibubarkan karena banyak anggota DPR yang salah juga,” ujar JK di sela-sela diskusi di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat (Okezone.com, 30/7/2011). Sementara itu, pengacara senior Adnan Buyung Nasution berkomentar, “Kalau dia mau bubarkan KPK, bubarkan saja Partai Demokrat (PD), bubarkan DPR!” kata Adnan di Museum Nasional (Republika.co.id, 30/7/2011).
Indonesia Terkorup
Di negeri ini, korupsi dalam berbagai bentuknya merajalela di semua lini. Hampir tidak ada satu pun institusi negara yang tidak tercemar korupsi. Kenyataannya, pusaran badai korupsi memang terjadi di berbagai lembaga di negeri ini, bahkan sejak negeri ini baru lahir. Salah satunya adalah kasus korupsi PN Triangle Corporation yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 6 miliar pada 1960. Kapten Iskandar, yang pernah menjabat sebagai Manager PN Triangle Coporation, didakwa menyalahgunakan kedudukan dan jabatan serta melakukan pelanggaran terhadap perintah Penguasa Perang Daerah Djawa Barat. Kapten Iskandar dituntut hukuman mati dalam sidang pengadilan Tentara Daerah Militer VI Siliwangi. Ia menjual kopra dan minyak kelapa dengan harga di atas harga yang telah ditetapkan serta menggelapkan tekstil dan benang tenun (Kompas, 25/9/1965).
Itu hanya sekelumit kasus yang terjadi pada masa Orde Lama. Pada masa Orde Baru, korupsi melibatkan banyak keluarga dan kroni Presiden Soeharto saat itu. Adapun pada masa Orde Reformasi, korupsi malah makin merata. Dalam catatan Litbang Kompas, selama tahun 2005 hingga 2009 saja, terjadi kasus korupsi besar di 21 lembaga, mulai dari lembaga negara-seperti penegak hukum, BUMN, departemen, birokrasi, pemerintah daerah, partai politik-hingga para anggota parlemen. Wajar jika Indonesia pernah dijuluki sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Menurut catatan Transparency International Indonesia, indeks korupsi di Indonesia tidak menurun, masih bertahan di angka 2,8. Posisi itu sama dengan periode sebelumnya. Indonesia berada di peringkat 110 dari 178 negara yang disurvey terhadap indeks persepsi korupsi (Antaranews, 26/10/2010).

Sulit Diberantas

Korupsi memang dipercaya telah ada sejak negara ini merdeka. Upaya untuk memberantas korupsi pun telah dilakukan dalam masa pemerintahan lima presiden. Berbagai langkah antikorupsi telah dilakukan, mulai dari membuat undang-undang hingga membentuk badan khusus yang bertugas menangani korupsi. Selain KPK sebenarnya ada badan independen lain yang memainkan dan berpotensi memainkan berbagai peran penting dalam pemberantasan korupsi, yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Indonesia (PPATK) serta Komisi Yudisial (KY). Dari semua badan yang pernah dibentuk itu, kewenangan yang dimiliki KPK menjadikan KPK sebagai tulang punggung pemberantasan korupsi. Namun ternyata, KPK pun tak bisa diharapkan sehingga terlontar ide Marzuki Alie agar lembaga ini dibubarkan saja.

Demokrasi: Akar Masalah Korupsi

Selama ini ada anggapan bahwa demokrasi adalah sistem politik dan pemerintahan terbaik. Anggapan ini ternyata bohong besar. Di Tanah Air, merebaknya demokrasi justru menyuburkan praktik korupsi. Korupsi di alam demokrasi ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah, parlemen/wakil rakyat dan swasta. DPR dan DPRD yang dianggap perwujudan demokrasi malah merupakan sarang koruptor.

Jual-beli aneka RUU, utak-atik anggaran, pemekaran wilayah, pemilihan kepala daerah, proyek pembangunan, pemilihan pejabat, dsb ditengarai menjadi lahan basah korupsi para anggota dewan. Bahkan para anggota dewan pun ditengarai sering berperan sebagai “calo” atau dikepung oleh para “calo”. Percaloan di DPR diakui Ketua Komisi I DPR-RI, Mahfudz Siddiq. Ia mengungkapkan, para calo di parlemen sering berkeliaran pada lahan basah DPR, seperti calo jual-beli pasal dalam pembahasan RUU yang menyangkut kepentingan dan kewenangan terkait resources­ (sumberdaya). RUU itu dibandrol harganya bukan lagi pasal-perpasal, tetapi bahkan ayat-perayat. Arena permainan uang juga terjadi dalam kegiatan fit and prosper test. Kasus fit and proper test berpeluang menjadi gratifikasi jabatan yang memiliki nilai tinggi. “Lahan basah yang juga biasa dimanfaatkan yakni saat pembahasan anggaran untuk proyek kementerian maupun pemerintah daerah,” ujarnya (Rri.co.id, 22/5).

Dengan semua fakta di atas, wajarlah jika berdasarkan hasil survei Kemitraan, lembaga legislatif DPR/DPRD menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup disusul lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survei tersebut menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, yudikatif 70% dan eksekutif 32% (Mediaindonesia, 21/4).

Korupsi juga makin marak di daerah justru saat negeri ini dinilai makin demokratis. Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan pada Januari lalu ada 155 kepada daerah yang menjadi tersangka korupsi. “Tiap minggu ada tersangka baru. Dari 155 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, 17 orang di antaranya adalah gubernur,” ungkap Gamawan (Vivanews.com, 17/1/2011). Sedang menurut data KPK, hingga Maret 2011, sudah 175 kepala daerah-terdiri dari 17 gubernur serta 158 bupati dan wali kota-yang menjalani pemeriksaan di lembaga antikorupsi ini. Sebagian di antaranya sudah diproses penegak hukum bahkan sudah mendekam di penjara sebagai koruptor.

Mengapa korupsi menggila di dalam sistem demokrasi? Sebab, selain untuk memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik, termasuk berkompetisi di ajang Pemilu dan Pilkada. Pasalnya, proses politik demokrasi, khususnya proses Pemilu dan Pilkada, memang membutuhkan dana besar. Untuk maju menjadi caleg dibutuhkan puluhan, ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, “Minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari (Kompas.com, 5/7/2010).

Karena gaji dan tunjangan yang “tak seberapa”, maka saat mereka terpilih menjadi penguasa atau wakil rakyat, tidak ada cara lain yang paling cepat untuk mengembalikan biaya politik dalam proses Pemilu tersebut, kecuali dengan korupsi. Inilah lingkaran setan korupsi dalam sistem demokrasi.

Keterkaitan erat demokrasi dengan korupsi ternyata bukan hanya terjadi di Tanah Air. Ledakan korupsi juga terjadi di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap telah matang dalam berdemokrasi justru menjadi biang perilaku bejat ini. Para pengusaha dan penguasa saling bekerjasama dalam proses Pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan Pemilu. Jeffrey D. Sachs, Guru Besar Ekonomi dan Direktur Earth Institute pada Columbia University sekaligus Penasihat Khusus Sekjen PBB mengenai Millennium Development Goals, mengatakan negara-negara kaya adalah pusat perusahaan-perusahaan global yang banyak melakukan pelanggaran paling besar (Korantempo, 23/5).

Di Indonesia, praktik penyuapan dan korupsi juga melibatkan perusahaan asing. Gary Johnson, Kepala Unit Penangan Korupsi FBI, menyatakan bahwa ada kasus-kasus yang melibatkan perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia dan itu berada di bawah FCPA (Foreign Corrupt Practices Act) atau di bawah UU antikorupsi (Detiknews.com, 11/5).
Dari paparan di atas, jelas sudah, sistem demokrasilah akar masalah munculnya banyak kasus korupsi.

Bubarkan Demokrasi?

Jelas, saling tuding di antara elit politik di atas menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakpercayaan terhadap banyak lembaga negara. Jelas pula, bahwa selama ini sistem demokrasi melahirkan para pemimpin korup. Karena itu, bukan KPK yang layak dibubarkan, tetapi justru sistem politik dan pemerintahan demokrasi itu sendiri. Sebagai gantinya adalah sistem politik dan pemerintahan Islam. Itulah sistem Khilafah yang menerapkan syariah Islam. Itulah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Syariah dan Khilafah itulah sistem terbaik. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50). []

Komentar al-Islam

Pemerintah menganggap wajar inflasi yang terjadi sepanjang Juli sebesar sebesar 0,6 persen meski itu lebih tinggi dari Juni yang mencapai 0,55 persen. Mentan Suswono mengatakan, inflasi memang selalu naik mengikuti harga-harga pangan menjelang Ramadhan. “Ini sudah tradisi” katanya (Republika, 2/8)
1. Ini pertanda buruk sebab masalah yang bisa memberatkan beban rakyat sudah dianggap wajar dan biasa. Inilah bentuk kemalasan mengurusi urusan rakyat dan sikap mental dari pemerintahan hasil proses demokratis.
2. Dalam Islam, pemerintah adalah ra’in yang memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang hal itu di akhirat. Konsekuensinya, sekecil apapun masalah yang bisa merugikan rakyat harus diperhatikan dan diselesaikan.
3. Saatnya terapkan sistem Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah, niscaya segala urusan rakyat terpelihara.

Kenapa Kita Membutuhkan Khilafah ?

Kenapa Kita Membutuhkan Khilafah ?


Adanya seruan segelintir pihak yang meminta agar pemerintah membubarkan ormas Islam yang menyerukan Khilafah tentu patut kita pertanyakan. Mengingat kewajiban penegakan Khilafah adalah kewajiban syar’i yang memiliki dalil-dalil yang jelas berdasarkan Al Qur’an , As Sunnah , dan Ijma’ Shahabah.Tidaklah mengherankan kalau para imam madzhab dan para ulama bersepakat tentang kewajiban.

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat, maupun ulama, mengenai wajibnya mengangkat khalifah, kecuali al-‘Asham. Senada dengan itu, Imam an Nawawi dalam kitabnya Syarah Shohih Muslim menulis bahwa umat dan ulama telah bersepakat tentang kewajiban ini.

Keberadaan Khilafah mutlak diperlukan berkaitan dengan tiga perkara penting dalam Islam. Pertama , kewajiban penegakan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) yang merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim. Mustahil hal tersebut terwujud tanpa adanya Khilafah. Sebab , hanya sistem Khilafahlah yang memiliki pilar yang jelas yaitu kedaulatan di tangan hukum syara’. Sementara sistem yang lain seperti demokrasi, kerajaan, atau teokrasi menyerahkan kedaulatan sumber hukum kepada manusia.

Kedua, Khilafah adalah dibutuhkan oleh umat untuk persatuan umat Islam. Kewajiban persatuan umat Islam adalah perkara mutlak (qot’i) yang diperintahkan hukum syara’. Persatuan umat tidak bisa dilepaskan dari kesatuan kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia. Dan hal ini akan terwujud kalau ditengah-tengah umat Islam ada satu Kholifah untuk seluruh dunia Islam.
Tentang wajibnya satu pemimpin bagi umat Islam seluruh dunia ini, ditegaskan oleh Rosulullah SAW dalam hadistnya tentang kewajiban membai’at seorang Kholifah dan memerintahkan untuk membunuh siapapun yang mengklaim sebagai kholifah yang kedua , setelah kholifah yang pertama ada. Rosulullah SAW bersabda : Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.(HR Muslim). Berdasarkan hal ini Imam an-Nawawi berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan baiat kepada dua orang khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun tidak.”

Sementara itu sistem nation state (negara bangsa) dan kerajaan yang diadopsi oleh umat Islam sekarang nyata-nyata telah memecahbelah umat Islam dan menghalangi kepemimpinan tunggal di tubuh umat Islam.
Perkara ketiga, Khilafah dibutuhkan oleh umat untuk mengurus dan melindungi umat Islam. Sebab fungsi Imam yang menjadi kepala negara (kholifah) yang utama dalam Islam adalah ar ro’in (pengurus) dan al junnah (pelindung) umat .


Berdasarkan hal ini adalah kewajiban negara untuk menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat (sandang, pangan, dan papan). Termasuk menjamin pendidikan dan kesehatan gratis bagi seluruh rakyatnya. Untuk itu Kholifah akan mengelola dengan baik pemilikan umum (milkiyah ‘amah) seperti tambang emas, minyak, batu bara, yang jumlahnya melimpah untuk kepentingan rakyat.


Sementara dalam sistem demokrasi, pemimpin bukan lagi menjadi pengurus masyarakat, tapi pemalak rakyat untuk kepentingan pemilik modal. Politik demokrasi menjadi mesin uang untuk mengembalikan modal politik yang mahal atau memberikan jalan kolusi bagi kroni-kroni elit politik untuk memperkaya diri mereka sendiri dengan cara korupsi dan kolusi .


Tidak adanya Khilafah telah membuat umat Islam tidak ada yang melindungi. Selain tanah dan kekayaan mereka dirampok, jutaan umat Islam dibunuh oleh para penjajah. Nyawa umat Islam demikian murah tanpa ada yang melindungi. Padahal Rosulullah SAW dengan tegas mengatakan bahwa bagi Allah hancurnya bumi beserta isinya, lebih ringan dibanding dengan terbunuhnya nyawa seorang muslim tanpa alasan yang hak.

Terbukti sudah keberadaan penguasa muslim sekarang tidak bisa melindungi umatnya. Bahkan mereka pembunuh rakyatnya sendiri. Mereka memberikan jalan kepada negara-negara imperialis untuk membunuh rakyatnya sendiri atas nama perang melawan terorisme.
Lantas, dimana letak bahayanya Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam yang bersumber dari Allah SWT , Khilafah yang akan mempersatukan umat, Khilafah yang akan mengurus dan melindungi umat ?


Memang kembalinya Khilafah sangat berbahaya bagi negara-negara penjajah sebab akan menghentikan penjajahan mereka di dunia Islam. Khilafah juga berbahaya bagi penguasa-penguasa negeri Islam yang menjadi boneka Barat yang menumpahkan darah umat Islam dan memberikan jalan merampok negeri Islam. Sebab Khilafah akan menumbangkan pemimpin-pemimpin pengkhianat seperti ini.


Walhasil siapapun mempropagandakan bahaya khilafah atau menghalang-halangi tegaknya Khilafah, sadar atau tidak, langsung atau tidak , telah menjadi corong para penjajah. Mereka sesungguhnya bukan berpihak pada umat Islam dan Islam ! Na’udzubillahi min dzalik (Farid Wadjdi)

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/08/02/kenapa-kita-membutuhkan-khilafah/

Internasionalisasi Masalah Papua

Internasionalisasi Masalah Papua




Dua peristiwa yang terpisah telah memanaskan suasana di Papua. Peristiwa pertama adalah terjadinya bentrokan berdarah di kabupaten Puncak yang dipicu oleh masalah dalam proses Pilkada. Bentrokan itu menewaskan hampir 20 orang. Peristiwa kedua adalah serangan yang diduga dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Penyerangan pertama terjadi di wilayah Pinai. Sebanyak 16 orang yang diduga OPM melarang pembangunan tower televisi Papua dilanjutkan. Tak ada korban dalam baku tembak antara polisi dengan mereka. Penyerangan kedua terjadi di wilayah Nafri (1/8). Awalnya mereka menebang pohon. Ketika satu mobil angkutan berhenti, mereka lalu menyerang dengan senjata tajam dan senjata api. Akibatnya, empat orang tewas, tiga luka berat dan dua luka ringan. Tak jauh dari lokasi itu, ditemukan bendera bintang kejora.
Peristiwa kedua ini diduga ada kaitan dengan penyelenggaraan sebuah seminar di London yang dilakukan oleh ILWP (International Lawyer for West Papua) yang menyerukan kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia. Peristiwa penyerangan itu diduga sebagai dukungan terhadap seminar yang diselenggarakan oleh ILWP itu. Ditengarai targetnya adalah untuk mengangkat masalah kemerdekaan Papua pada tingkat internasional.
Sementara itu pada 1 Agustus di beberapa kota di Papua seperti di Jayapura, Nabire, Timika dan Manokwari terjadi demontrasi mendukung kemerdekaan Papua yang konon diikuti oleh ribuan orang dari berbagai kota itu. Komite Nasional untuk Papua Barat (KNPB) yang mengkoordinasikan demonstrasi itu menyatakan dengan jelas bahwa demonstrasi itu dimaksudkan sebagai dukungan terhadap konferensi yang dilakukan di London oleh ILWP.


Konferensi itu sendiri diselenggarakan di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford. Tema yang diusung adalah tentang kemerdekaan Papua : “West Papua ? The Road to Freedom”. Diantara pembicaranya adalah John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku “Autonomy of Betrayal”, Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery dan Anggota Ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan Frances Raday. Sementara dari Provinsi Papua telah diundang untuk berbicara melalui video-link di konferensi tersebut yaitu Dr. Benny Giay dan Pendeta Sofyan Yoman.


Jika diklaim bahwa konferensi itu dilakukan untuk mencari formula penyelesaian masalah Papua, itu adalah kebohongan. Sebab yang diundang hanya pembicara yang pro kemerdekaan. Sementara tokoh yang berbeda pendapat seperti Franz Albert Joku dan Nick Messet di Papua yang jelas-jelas mempunyai perhatian yang besar terhadap kedamaian dan kesejahteraan masyarakat di Papua dan lainnya malahan tidak diberi kesempatan untuk bicara. Maka konferensi tiu lebih merupakan propaganda kemerdekaan dan sebagai upaya untuk menginternasionalisasi masalah Papua.
Internasionalisasi Masalah Papua
Internasionalisasi masalah Papua bukan terjadi kali ini saja. Konferensi oleh ILWP itu diadakan seiap tahun. Tahun lalu juga diadakan di Inggris. Upaya internasionalisasi itu telah berlangsung lama. Misalnya pada 25 Oktober 2000, Direktur Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua, John Rumbiak menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Greg Sword, anggota parlemen tingkat negara bagian Melbourne dari Partai Buruh, yang intinya mereka mendukung setiap gerakan separatis Papua. Sejak tahun 2000, Bob Brown dari partai Hijau dan senator aktif memotori terbentuknya Parliamentary Group on West Papua. Pada 2003, Bob mengkampanyekan masuknya beberapa submisi kepada parlemen Australia dengan mengangkat pelurusan sejarah Irian Jaya dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Jaya.
Ada juga Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau terlibat memperjuangkan suaka politik bagi 42 warga Papua. Bahkan, pada 2 April 2006 Nettle mendapatkan penghargaan “Mahkota Papua” dari kelompok pro-separatis di Sydney. Selain itu ada juga, Senator Andrew Barlet dari Partai Demokrat Australia, ia mendukung kampanye penentuan nasib (self determination) bagi rakyat Irian Jaya. Barlet juga pernah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB untuk meninjau kembali keabsahan Pepera 1969.


Parliamentary Group on West Papua yang dimotori oleh Bob Brown juga didukung oleh organisasi internasional seperti Asia Pacific Human Rights Network (APHRN), West Papua Action Australia (WPA-A), Action in Solidarity With East Timor (ASIET), Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), East Timor Action Network (ETAN) dan The Centre for People and Conflict Studies The Unversity of Sydney. Lembaga yang terakhir itu memiliki proyek yang disebut West Papua Project (WPP) dan dipimpin oleh Prof Stuart Rees, seorang peneliti dan penulis tentang Indonesia. Prof Denis Leith juga turut memberikan dukungan terhadap pro kemerdekaan Papua dengan cara membantu penggalangan dana bagi WPP.
Upaya itu secara lebih masif pernah terjadi pada tahun 2006. Pada tahun 2005, anggota Kongres AS pernah mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat (Papua) pada Indonesia. Padahal, sejarah mencatat bahwa pendukung utama penyatuan tersebut adalah Amerika sendiri. Persoalan Indonesia dipandang sebagai persoalan AS.
Pada tanggal 16 Maret 2006 terjadi kerusuhan Abepura di ddepan kampus Universitas Cendrawasih. Kerusuhan itu menwaskan empat orang arapat (tiga dari Brimob dan satu dari TNI AU). Terkait dengan kerusuhan itu, Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Syamsir Siregar (22/3/2006), mensinyalir ada upaya LSM yang didanai asing hingga terjadi kerusuhan di Abepura. Wakil dari LSM saat bicara bersama seorang anggota Komisi I DPR-RI dalam dialog di salah satu stasiun TV nasional (22/3/2006) tidak secara tegas menolak hal itu. Bila peristiwa tersebut diangkat sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), maka internasionalisasi Papua makin menguat.


Pasca kerusuhan Abepura itu, sebanyak 43 orang pergi ke Australia mencari suaka. Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau lalu memperjuangkan pemberian visa kepada mereka. Akhirnya pemerintah Australia pun memberikan visa sementara bagi pencari suaka kepada 42 aktivis propelepasan Papua itu. Menteri Imigrasi Australia kala itu (23/3/2006) Amanda Vanston mengatakan, “Ini didasarkan pada bukti yang disampaikan oleh individu sendiri serta laporan dari pihak ketiga.” Siapa yang dimaksud pihak ketiga, tidak dijelaskannya. Namun, umumnya pihak ketiga itu adalah NGO atau LSM yang didanai asing. Pemberian suaka ini merupakan hal penting, sebab terkait dengan upaya pelepasan Papua melalui proses internasionalisasi.


Dalam konvensi internasional, suaka diberikan bila di negeri asal peminta suaka terjadi ancaman, penindasan, intimidasi, dan ketidakamanan. Dan, ketika suaka diberikan, berarti pihak internasional ‘berhak’ untuk mencampuri dalam negeri Indonesia. Terkait kasus Papua, lagi-lagi, Australia berupaya untuk menginternasionalisasi Papua. Maknanya, apalagi kalau bukan bagian dari upaya untuk melepaskannya dari Indonesia.
Upaya internsionalisasi masalah Papua itu mungkin terinspirasi oleh proses internasionalisasi masalah Timtim. Begitu begitu terjadi kerusuhan setelah jajak pendapat di Timtim yang penuh dengan kecurangan, 200 warga Negara Timtim dibawa ke Australia. Oleh anggota konggres dan LSM Australia untuk mereka dijadikan sebagai alasan untuk membawa masalah Timtim ke Komisi HAM Internasional. Lalu hal itu dijadikan alat untuk memastikan lepasnya Timtim. Karena dengan alasan terjadinya pelanggaran HAM maka keberadaan UNAMET oleh banyak pihak dinilai sebagai operator yang sebenarnya dari lepasnya Timtim akan terjamin dengan mandat dari PBB. Dan dengan itu maka lepasnya Timtim menjadi negara merdeka dapat dipastikan.


Adapun internasionalisasi masalah Papua pada dasarnya memiliki substansi yang sama dengan proses yang terjadi di Timtim. Intinya adalah untuk mendorong PBB atau dunia internasional untuk meninjau kembali bergabungnya Papua dengan Indonesia. Maka untuk itu sebagai bagian tak terpisahkan Pepera harus dianggap tidak sah. Karena itulah bisa dipahami adanya propaganda yang menyatakan Pepera 1969 sebagai sesuatu yang tidak sah. Jika hal itu diterima oleh PBB dan dunia internasional, maka konsekuensinya adalah rakyat Ppaua harus diberikan hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan itu artinya harus dilaksanakan referendum. Itulah yang sesungguhnya menjadi tujuan akhir dari upaya internasionalisasi masalah Papua. Dan ujung-ujungnya adalah supaya Papua lepas dari wilayah Indonesia.


Terkait Keberadaan Freeport


Konflik yang terjadi di Papua mulai terjadi seiring dengan keberadaan PT Freeport Indonesia (PTFI). Konflik-konflik yang terjadi (selain yang terjadi karena konflik Pilkada seperti pada kasus terakhir di Puncak Jaya) dapat diurai secara sosial politik kaitannya dengan kehadiran PT FI.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kontrak Karya atau Contract of Work Area yang ditangani pemerintah Orba yang serbakorup telah mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Sejak awal kehadiran PT FI di Mimika (Kontrak Karya I, 7 April 1967) telah memicu konflik-konflik baru, utamanya dengan masyarakat adat setempat (Suku Amungme dan Komoro).


Perlakuan yang tidak akomodatif dari pemerintah dan PT FI terhadap tuntutan masyarakat setempat mengakibatkan protes-protes yang terus-menerus baik dilakukan secara terbuka maupun secara laten. Oleh karena itu, manifestasi atau perwujudan konflik melalui protes-protes dan demonstrasi, seakan mengatakan kepada publik bahwa pertentangan pemerintah dan PT FI dengan masyarakat adat Papua ini adalah perseteruan yang “abadi”. Indikasi ini diperkuat dengan adanya dominasi kekuasaan atas hak-hak sipil maupun adat masyarakat setempat. Konflik ini merupakan fenomena gunung es (iceberg phenomenon) karena apa yang terlihat dan teramati publik hanyalah konflik-konflik di permukaan, sementara hakikat konflik (laten) yang lebih besar nyaris tidak mudah dideteksi.


Lokasi pertambangan PT FI berupa gunung biji tembaga (Ertsberg), pertama kali ditemukan oleh seorang ahli geologi kebangsaan Belanda, Jean Jacqnes Dory pada 1936. Kemudian ekspedisi Forbes Wilson tahun 1960 menemukan kembali Ertsberg. PT FI pertama kali melakukan penambangan pada bulan Desember 1967 pasca ditandatangani Kontrak Karya I (KK I). Ekspor pertama konsentrat tembaga dimulainya pada Desember 1972 dan beberapa bulan kemudian tepatnya Maret 1973 projek pertambangan dan Kota Tembagapura ini diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Freeport beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU 11/1967 mengenai PMA. Berdasarkan KK ini, Freeport memperoleh konsesi penambangan di wilayah seluas 24,700 acres (atau seluas +/- 1,000 hektar. 1 Acres = 0.4047 Ha). Masa berlaku KK pertama ini adalah 30 tahun.
Setelah sekian lama dilakukan ekplorasi (dan juga eksploitasi tentunya), kandungan tembaga semakin berkurang dan pada 1986 ditemukan sumber penambangan baru di puncak gunung rumput (Grasberg) yang kandungannya jauh lebih besar lagi. Kandungan bahan tambang emas terbesar di dunia ini, diketahui sekitar 2,16 s.d. 2,5 miliar ton dan kandungan tembaga sebesar 22 juta ton lebih. Diperkirakan dalam sehari diproduksi 185.000 s.d. 200.000 ton biji emas/tembaga.


PT FI berhasrat lagi untuk memperpanjang KK I dan dibuatlah KK II pada Desember 1991. KK I dengan jangka 30 tahun semestinya berakhir pada tahun 1997 (KK I dibuat tahun 1967), KK II memberikan hak kepada PT FI selama 30 tahun dengan kemungkinkan perpanjangan selama 2 X 10 tahun. Ini berarti KK II ini akan berakhir pada tahun 2021 dan jika diperpanjang maka akan berakhir 2041. Jadi setelah 35 tahun lagi tepatnya 2041, barulah PT FI kembali menjadi “milik” NKRI.



Berdasarkan kontrak karya ini, luas penambangan Freeport bertambah (disebut Blok B) seluas 6,5 juta acres (atau seluas 2,6 juta ha). Dari Blok B ini yang sudah di lakukan kegiatan eksplorasi seluas 500 ribu acres (atau sekitar 203 ribu ha).


Lalu siapa yang menikmati hasil dari PT FI selama ini? Karakteristik Kontrak Karya (KK), di dalamnya seluruh urusan manajemen dan operasional diserahkan kepada penambang. Negara tidak memiliki kontrol sama sekali atas kegiatan operasional perusahaan. Negara hanya memperoleh royalty yang besarnya ditentukan dalam KK tersebut.


Untuk tembaga, royalty sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% dari harga jual (jika harga US$ 1.1/pound). Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1% dari harga jual.


Selain royalty yang besarnya sudah diatur dalam KK, Freeport memberikan royalty tambahan (mulai 1998) yang besarnya sama dengan royalty yang diatur dalam KK (untuk tembaga) dan dua kali untuk emas dan perak. Royalti tersebut diberikan untuk sebagai upaya dukungan bagi pemerintah dan masyarakat local. Royalti tambahan ini diberikan apabila kapasitas milling beroperasi diatas 200.000 metric ton/hari. Pada tahun 2009, kapasitas mill mencapai 235 ribu metric ton/hari. Menurut laporan penjualan Freeport McMoran tahun 2009, total penjualan Freeport untuk tembaga yang berasal dari Indonesia adalah sebesar 1,4 miliar pound atau sekitar 0,636 miliar kg, emas sebesar 2,5 juta ounces atau sekitar 71 ribu kg (1 kg = 35,2 ounces) dan molibdenum sebesar 2,5 juta pounds atau sekitar 1,14 juta kg (1 kg = 2,2 pound).


Lalu seberapa besar yang didapat oleh negara dari tembaga, emas dan mineral tambang lainnya yang ditambang oleh Freeport? Mungkin dengan kapasitas produksi yang sedemikian besar dengan produk bernilai tinggi, orang berpikir bahwa uang yang masuk ke kas negara juga sangat besar. Namun nyatanya berdasarkan laporan keuangan Freport McMoran 2009, total royalty (royalty KK dan additional royalty) sebesar US$ 147 juta (2009), US$ 113 juta (2008) dan US$ 133 juta (2007). Sementara dalam press releasenya, PTFI melaporkan bahwa pada tahun 2010 (sampai dengan Juni), PTFI telah membayarkan royalty sebesar US$ 105 juta. Total kontribusi mereka ke pemerintah Indonesia selama 2010 sebesar US$ 899 juta atau Rp. 8,091 triliun (kurs 1 US$ = Rp 9000) terdiri dari Pajak (Pajak penghasilan badan, pajak karyawan, pajak daerah dan pajak lainnya), Penghasilan, Deviden bagian pemerintah serta royalty. Dari jumah itu berdasarkan LKPP 2009, PTFI penyumbang deviden ke pemerintah Indonesia sebesar Rp. 2 triliun. Semua jumlah itu bisa dinilai sebagia jumlah yang sangat kecil.



Lalu siapa yang mendapat keuntungan lebih besar dari semua itu? Tentu saja yang mendapat “kue raksasa” ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pengeleolaan pertambangan ini. Menurut kantor berita Reuters (”PR”, 18/3 2006) dinyatakan bahwa empat Big Boss PT FI paling tidak menerima Rp 126,3 miliar/bulan. Misalnya Chairman of the Board, James R Moffet menerima sekira Rp 87,5 miliar lebih perbulan dan President Director PT FI, Andrianto Machribie menerima Rp. 15,1 miliar per bulan.


Sementara PTFI sendiri mendapat sepuluh kali lipat dari jumlah bagian deviden yang diterima pemerintah RI. Jika sebagai pemegang saham 9,36% saja pemerintah mendapatkan deviden Rp 2 Triliun, maka Freeport McMoran sebagai induk dari PTFI (pemegang 90,64% saham PTFI) akan mendapat deviden +/- Rp 20 Triliun di tahun 2009.
Lalu apa yang diperoleh masyarakat Papua? Keberadaan PTFI ternyata tidak membawa berkah bagi masyarakat Papua, sebaliknya banyak mendatangkan petaka. Sejak awal keberadaan PTFI, penguasaan tanah adat oleh masyarakat Papua terancam. KK I Freeport, memberikan konsesi yang terletak di atas tanah adat. Dalam satu klausul KK nya, Freeport diperkenankan untuk memindahkan penduduk yang berada dalam area KK nya. Itu artinya, Freeport dibenarkan untuk menguasai tanah adat dan memindahkan penduduk yang ada di area yang dikuasainya. Padahal ketentuan itu bertentangan dengan UU No 5/1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Dalam UU tersebut, Negara mengakui hak adat. Namun nyatanya ketentuan KK itu lah yang dilaksanakan.



Masalah berikutnya dalah masalah lingkungan. Diataranya, “tanah adat 7 suku, diantaranya amungme, diambil dan dihancurkan pada saat awal beroperasi PTFI. Limbah tailing PT FI telah menimbun sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20 - 40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur. Saat periode banjir datang, kawasan-kawasan suburpun tercemar Perubahan arah sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa. Para ibu tak lagi bisa mencari siput di sekitar sungai yang merupakan sumber protein bagi keluarga. Gangguan kesehatan juga terjadi akibat masuknya orang luar ke Papua. Timika, kota tambang PT FI , adalah kota dengan penderita HIV AIDS tertinggi di Indonesia” (www.jatam.org).
Masalah lain adalah masalah HAM. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah kerja Freeport yang ditengarai dilakukan untuk menjamin keberlangsungan operasional perusahaan.
Sejak Juli 1996 memang ada dana 1% dari laba kotor perusahaan untuk masyarakat Timika. Layaknya dana “bancakan”, dana 1 % bagi pihak masyarakat adat menjadi sumber konflik internal diantara mereka. Dana tersebut disinyalir sebagai media peredam seteleh adanya kerusuhan Maret 1996.



Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa) awalnya menolak menerima dana tersebut. Masyarakat adat Amungme menolak semua bentuk perwakilan yang mengatasnamakan masyarakat setempat selain Lemasa. Sementara masyarakat adat lain (Komoro dll) merasa berhak juga atas dana tersebut. Terjadilah konflik-konflik internal sebagai babak baru persoalan PT FI yang berkepanjangan. Walaupun kemudian dibentuk 7 yayasan yang mengelola dana tersebut dengan melibatkan berbagai unsur pimpinan adat setempat melalui SK Gubernur Irja, konflik-konflik diantara mereka tetap saja terjadi. Intinya adalah ketidakpuasan, ketidakadilan, dan pengelolaan yang tidak profesional.
Namun sesungguhnya konflik-konflik sekitar PT FI telah dimulai sejak perusahaan itu berdiri. Pada saat persiapan awal projek PT FI sekira 1960-1973 telah terjadi konflik dengan masyarakat adat setempat berkaitan dengan pengakuan identitas dan pandangan hidup yang berhubungan dengan alam dan konsep tentang Hai (konsepsi nenek moyang mereka di alam “atas”). Di samping itu konflik pertama terjadi manakala tim ekspedisi Forbes Wilson tahun 1960 meminta bantuan kepada masyarakat sekitar untuk membawa barang-barang keperluan rombongan, tetapi pada akhirnya tidak dibayar.


Kekecewaan dan merasa ditipu merupakan awal dari konflik ini. Konflik berikutnya yang dikenal dengan konflik January Agreement yang dibuat tahun 1974. Isinya menyangkut kesepakatan antara PTFI dengan masyarakat suku Amungme dalam kaitan pematokan lahan penambangan dan batas tanah milik PT FI dengan masyarakat adat setempat. Namun pada kenyataannya, diduga PT FI telah mengambil tanah adat jauh di luar batas yang telah disepakati. Masyarakat adat semakin tergerser dan menjadi kaum pinggiran (pheripheral saja). Konflik-konflik berkaitan dengan January Agreement terus saja berlanjut sampai pembentukan Lemasa tahun 1992.
Konflik lainnya dipicu oleh kerusakan lingkungan yang semakin parah. Lemasa yang dikomandoi oleh Tom Beanal kemudian mengadakan musyawarah adat Lemasa (7-13 Desember 1998) yang menghasilkan 4 resolusi yang berisi tentang resolusi SDA, HAM, gugatan terhadap PTFI dan meminta dialog nasional. Lemasa memang diyakini telah berubah dari gerakan sosial menjadi gerakan politik.


Tahun 2003 terjadi kerusuhan di Timika, penyebab awal kerusuhan tersebut, bermula dari adanya peresmian Provinsi baru. Kemudian kematian orang AS di Timika juga memperpanjang daftar masalah PT FI ini.



Aroma Pertarungan Internasional


Tak bisa dipungkiri bahwa selama ini Amerikalah yang menangguk keuntungan terbesar dari eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di Papua, kalau tidak boleh dikatakan satu-satunya. Dan diyakini kekayaan yang masih tersimpan di balik bumi Papua jauh lebih besar lagi. Tentu saja semua itu akan membuat negara dan para kepitalis di luar Amerika meneteskan air liur dan iri untuk bisa ikut menikmatinya. Dari apa yang terjadi di seluruh dunia, dimana terdapat kekayaan alam yang besar maka disitu dipastikan terjadi pertarungan internasional untuk memperebutkan kekayaan itu. Karena itu dalam masalah Papua pasti juga terjadi pertarungan kekuatan internasional. Aromanya pun memang bisa dicium dengan kuat.



Jika dilihat pada tingkat internasional, selama ini AS menggunakan kasus Papua sebagai alat penekan. Misalnya, AS menggunakan kasus pelanggaran HAM diantaranya yang terjadi di Papua untuk sebagai alasan menjatuhkan embargo terhadap TNI. Padahal selama ini sudah menjadi rahasia umum jika keberadaan TNI termasuk Polri ditengarai banyak demi kepentingan PT FI yang nota bene mengalirkan kekayaan bumi Papua ke AS. Begitu pula saat anggota Kongres AS yaitu Donald M. Payne (asal Newark, New Jersey) dan Eni FH Faleomafaega (Samoa Amerika) yang membuat surat kepada Menteri Luar Negeri AS dan Sekjen PBB tahun 2005, mempersoalkan legalitas proses bergabungnya Papua ke dalam NKRI melalui PAPERA pada 14 Juli-2 Agustus 1969, saat itu sedang terjadi negosiasi tentang pengelolaan Blok Cepu yang akhirnya PSC (Production Sharing Contract)-nya didapat oleh Exxon Mobile tahun 2006 tepatnya setelah kunjungan Menlu AS kala itu Condoleeza Rice pada 14-15 Maret 2006. Entah ada hubungannya atau tidak, yang jelas setelah kontrak PSC blok Cepu yang memiliki cadangan minyak lebih dari 2 miliar barel diperoleh Exxon Mobile, pihak-pihak di AS pun tidak lagi getol menyuarakan kasus Papua.



Adapun negara yang secara terbuka mendukung propaganda kemerdekaan Papua sebenarnya tidak banyak. Hanya beberapa negara kecil di Pasifik. Tercatat hanya negara Solomon, Nauru dan Vanuatu tiga negara kecil di Pasifik yang terang-terangan mendukung kemerdekaan Papua. Bahkan berbagai gerakan separatis OPM, secara legal telah membuka perwakilan di Vanuatu, memanfaatkan gerakan melanesian brotherhood.
Di sisi lain Australia memiliki sikap terbuka yang berubah-ubah mengikuti partai yang berkuasa. Dukungan dari pihak-pihak di Australia diberikan oleh beberapa senator, akademisi dan beberapa orang dari kalangan media. Dukungan pemerintah Australia terlihat menguat ketika Partai hijau berkuasa. Namun secara terus menerus Australia menjadi salah satu basis propaganda pro kemerdekaan Papua. Peran Australia ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Inggris mengingat secara tradisional para politisi dan kebijakan Australia banyak dipengaruh oleh Inggris.



Diluar semua itu, Inggris sebenarnya tidak bisa dikatakan terlepas dari pertarungan dalam kasus Papua. Memang sikap Inggris yang formal mengakui kedaulatan dan keutuhan NKRI termasuk di dalamnya Papua adalah bagian integral dari NKRI. Namun sudah menjadi semacam rahasia umum bahwa meski sikap formalnya demikian, negara-negara barat juga kerap menjalankan aktifitas rahasia melalui dinas intelijennya. Dalam kasus mencuatnya video penyiksaan di Papua pada tahun lalu, misalnya, kampanye Free West Papua yang merilis video penyiksaan TNI terhadap anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), ternyata mendapat dukungan dari politisi Inggris terutama yang ada di Parlemen. Badan Intelijen Inggris, Secret Intelligence Service (SIS) atau M16, diduga berada di balik sikap dukungan parlemen Inggris terhadap kemerdekaan Papua itu. Kemampuan M16 sudah teruji sejak Perang Dunia I dan II. Bahkan M16 terlibat dalam sejumlah kudeta penggulingan kekuasaan di berbagai negara.



Begitu pula dukungan Inggris itu tampak dari “ditampungnya” tokoh kemerdekaan Papua, Benny Wenda. Benny Wenda yang tinggal di Inggris, mendirikan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) pada Oktober 2008. Ia mendapat dukungan dari sejumlah politisi, terutama yang berada di Inggris. Dia pula yang terlibat aktif atau sebagai penggerak International Lawyer for West Papua (ILWP) yang pada 2 Agustus lalu menyelenggarakan konferensi propaganda kemerdekaan Papua, bertempat di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford dengan mengusung tema tentang kemerdekaan Papua : “West Papua ? The Road to Freedom”. Bahkan pada tahun lalu konferensi serupa diselenggarakan disalah satu ruang gedung Parlemen Inggris. Adanya dukungan dari anggota Parlemen Inggris dan “fasilitas” yang diberikan kapada aktifis kemerdekaan Papua itu menunjukkan bahwa Inggris memberikan dukungan terhadap propaganda kemerdekaan Papua. Tentu saja motiv di balik itu dengan mudah bisa diterka, yaitu agar nantinya Inggris bisa turut mencicipi kekayaan Papua yang melimpah. Di sisi lain, pada saat seperti sekarang, ternyata pihak di AS tidak ada yang menyuarakan hal yang sama.



Semua itu menunjukkan bahwa di dalam masalah Papua itu juga dimasuki oleh pertarungan internasional. Apapun perubaha besar yang terjadi di Papua, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari pertarungan internasional itu. Dalam hal ini tentu AS tidak akan mau kehilangan segala keuntungan yang telah didapatkannya selama ini. Disisi lain Inggris dan Australia terus berusaha untuk bisa turut menanamkan pengaruh di sana dan menikmati keuntungan termasuk kekayaan alam bumi Papua yang melimpah.
Akar Masalah Papua dan Penyelesaiannya Secara Total
Dari paparan di atas terlihat bahwa konflik di Papua terjadi karena kebijakan ala ideologi kapitalisme yang menyerahkan kekayaan alam kepada swasta asing yang dalam hal ini Freeport. Begitu Freeport ada di bumi Papua, maka sejak saat itu pula terjadi konflik yang terus menerus.



Sebab lain yang juga berperan besar memunculkan tuntutan rakyat Papua atas menentukan nasib mereka sendiri adalah terjadinya kezaliman dan ketidakadilan terhadap mereka. Begitu pula tidak adanya pendistribusian kekayaan alam yang ada di wilayah mereka untuk membangun dan memajukan Papua dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua. Asumsinya adalah bahwa semua itu terjadi karena yang memerintah dan mengelola semua itu bukan orang asli Papua. Jika Papua diperintah dan kekayaannya diatur oleh orang Papua sendiri, atau jika mereka bisa menentukan kebijakan pengelolaan wilayah mereka sendiri, maka dianggap semua itu akan berubah total, kemajuan akan bisa diujudkan di Papua dan taraf hidup masyarakatnya pasti meningkat.
Masalah pengelolaan kekayaan alam dan pendistribusian kekayaan yang tidak merata dan tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat di wilayah tempat kekayaan alam itu berada sebenarnya bukan khas masalah Papua. Masalah itu juga dialami oleh semua wilayah negeri ini, bahkan yang di pulau Jawa sekalipun. Daerah Cepu, Cikotok, Indramayu dan lainnya yang disitu minyaknya disedot dan atau emasnya dikeruk, masyarakatnya juga tidak bisa menikmati hasil dari kekayaan alam di wilayah mereka itu. Banyak masyarakat di daerah itu yang masih didera kemiskinan dan keterbelakangan. Sebabnya tidak lain karena kebijakan pengelolaan perekonomian ala kapitalis yang menyerahkan kekayaan alam itu kepada swasta dan terutama asing. Sehingga pihak swasta asing itulah yang paling menikmati hasil dari kekayaan yang merupakan milik rakyat negeri ini secara keseluruhan itu.


Maka selama pengelolaan kekayaan alam masih menggunakan model ekonomi kapitalisme maka keadaan ketidakadilan ekonomi semacam itu akan terus terjadi. Kekayaan negeri tatap tidak akan terdistribusi secara merata. Kesenjangan akan tetap menganga. Karena itu kemerdekaan bukanlah solusi untuk menghilangkan ketidakadilan ekonomi itu. Malah kemerdekaan bisa menjadi pintu yang lebih lebar bagi penetrasi lebih dalam bagi pengelolaan ekonomi menurut model kapitalisme. Apalagi jika kemerdekaan itu atas belas kasihan (bantuan) asing, dalam hal ini misalnya Inggris atau eropa pada umumnya dan Australia. Dengan mereka keberadaan AS dengan perusahaan multinasionalnya tidak serta merta bisa diakhiri, sebaliknya dengan merdeka justru membuka ruang bagi masuknya kepentingan Inggris (Eropa) dan Australia. Itu artinya dengan merdeka, justru Papua justru makin menjadi jarahan pihak asing. Dan hampir dapat dipastikan bahwa model pengelolaan ekonominya juga akan tetap model kapitalisme dan karenanya penjarahan kekayaan bumi Papua nantinya justru akan makin merajalela.
Begitu pula berbagai kekerasan atau kejahatan lingkungan, tidak akan serta merta bisa dihilangkan dengan memerdekakan diri. Sebab semua itu terjadi seiring dengan keberadaan PTFI. Padahal dengan merdeka keberadaan Freeport tidak dengan sendirinya hilang. Justru dengan merdeka akan terbuka peluang bagi Freeport untuk memperpanjang eksistensinya di bumi Papua dengan jalan melakukan negosiasi dengan pemerintah baru dan memberikan keuntungan yang diminta terutama kepada pribadi-pribadi pejabatnya. Bahkan dengan memsiahkan diri justru terbuka peluang bagi masuknya pihak asing seperti Freeport lebih banyak lagi.


Hanya Islam Solusi Total Masalah Papua


Masalah Papua seperti halnya masalah daerah-daerah lainnya bahkan masalah seluruh negeri kaum muslim, tidak pernah bisa dituntaskan dibawah sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Masalah itu hanya akan bisa dituntaskan dengan penerapan syariah Islam secara total.


Dalam hal pengelolaan ekonomi dan kekayaan, Islam menetapkan bahwa kekayaan alam yang berlimpah depositnya seperti tambang tembaga dan emas di Papua yang saat ini dikuasai Freeport, ditetapkan sebagai hak milik umum seluruh rakyat tanpa kecuali. Kekayaan itu tidak boleh dikuasakan atau diberikan kepada swasta apalagi swasta asing. Kekayaan itu harus dikelola oleh negara mewakili rakyat dan hasilnya keseluruhannya dikembalikan kepada rakyat, diantaranya dalam bentuk berbagai pelayanan kepada rakyat. Maka dalam pandangan sistem Islam ketika diterapkan, kekayaam alam seperti yang dikelola oleh Freeport dan lainnya itu akan dikembalikan menjadi kekayaan hak milik umum. Negara haus mengelolanya dengan pengelolaan demi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bukan para pejabat dan kroninya, pengelolaan yang berkelanjutan tanpa menimbulkan kerusakan dalam berbagai bentuknya.


Kemudian hasil dari pengelolaan berbagai kekayaan alam itu ditambah dair sumber-sumber pemasukan lainnya akan dihimpun di kas negara dan didistribusikan untuk membiayai kepentingan pembangunan dan pelayanan kepada rakyat. Dalam hal pendistribusian itu, yang dijadikan patokan adalah bahwa setiap daerah akan diberi dana sesuai kebutuhannya tanpa memandang berapa besar pemasukan yang berasal dari daerah itu. Dalam hal menetapkan besaran kebutuhan itu, maka yang menjadi patokan adalah kebutuhan riil mulai dari yang pokok lalu ke yang pelengkap dan seterusnya. Dalam hal itu juga akan diperhatikan masalah pemerataan dan kemajuan semua daerah. Sebab Islam mewajibkan negara untuk menjaga keseimbangan perekonomian agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya atau di kalangan tertentu atau di daerah tertentu saja.


Dalam hal perlakuan kepada rakyat, maka Islam mewajibkan berlaku adil kepada seluruh rakyat bahkan kepada semua manusia. Dalam Sistem Islam tidak boleh ada deskriminasi atas dasar suku, etnis, bangsa, ras, warna kulit, agama, kelompok dan sebagainya dalam hal pemberian pelayanan dan apa yang menjadi hak-hak rakyat. Islam pun mengharamkan cara pandang, tolok ukur dan kriteria atas dasar suku bangsa, etnis, ras, warna kulit dan cara pandang serta tolok ukur sektarian lainnya. Islam menilai semua itu sebagai keharaman dan hal yang menjijikkan. Bahkan dalam Islam, siapa saja yang menyeru, membela atau berperang dan mati demi ashabiyah (sektarianisme) maka dia tidak termasuk umat Muhammad dan neraka menjadi tempat yang lebih layak untuknya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mengikis deskriminasi di masyarakat dan mewujudkan keharmonisan di tengah masyarakat.


Sementara itu dalam hal kerusakan lainnya, Islam menetapkan bahwa penguasa adalah ra’in (pemelihara) urusan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat atas sejauh mana terpeliharanya urusan-urusan dan kepentingan-kepentingan rakyat. Maka konsekuensinya adalah segala hal apalagi kebijakan yang berpotensi merugikan kepentingan rakyat maka harus di selesaikan dan dihilangkan. Itu artinya segala kebijakan dan praktek yang berpotensi menimbulkan kerusakan baik lingkungan, sosial, kesehatan, dan sebagainya harus dihentikan dan dihilangkan. Apalagi Islam dengan tegas mengharamkan segala bentuk kerusakan dan pembuat kerusakan di muka bumi atau mufsidun diancam dengan siksa neraka.


Untuk menjamin agar sistem Islam itu berjalan secara konsekuen dan konsisten maka Islam membuka ruang selebar-lebarnya bagi masyarakat secara individual ataupun kelompok untuk mengoreksi dan menyampaikan kritik kepada penguasa. Bahkan Islam menetapkan koreksi dan kritik kepada penguasa itu sebagai kewajiban. Kemudian jika penguasa dan aparat negara melakukan kezaliman atas rakyat baik individu maupun kelompok apalagi komunitas, maka rakyat secara individual ataupun kelompok diberi ruang yang luas untuk mengadukan dan memperkarakan kezaliman itu kepada Mahkamah Mazhalim agar kezaliman itu segera dihilangkan. Bandingkan dengan sistem kapitalisme demokrasi bahkan yang dipraktekkan di negara kampiun demokrasi sekalipun, adalah langka rakyat apalagi secara individual bisa memperkarakan dan menuntut penguasa apalagi kepala negara ke muka pengadilan. Apalagi di dalam sistem kapitalisme demokrasi yang dipraktekkan di seluruh dunia saat ini, rasanya tidak ada badan semacam Mahkamah Mazhalim seperti yang ada di dalam Sistem Islam yang terus ada untuk menghilangkan segala bentuk kezaliman negara dan penguasa atas rakyat. Yang ada di dalam sistem kapitalisme demokrasi adalah para pejabat dan penguasa menjadi kelas yang nyaris tak bisa disentuh oleh hukum.


Jadi menyelesaikan masalah Papua dan daerah-daerah lain, adalah dengan menghilangkan kezaliman dan ketidakadilan yang terjadi; mengelola kekayaan negeri demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; mendistribusikan kekayaan itu secara merata dan berkeadilan; memberikan keadilan kepada semua tanpa deskriminasi atas dasar suku, etnis, warna kulit, ras, agama, kelompok dan cara pandang dan kriteria sektarian lainnya. Juga dengan mewujudkan pemerintah yang bisa menjalankan semua itu, pemerintah yang betul-betul berperan sebagai ra’in pengatur dan pemelihara segala urusan dan kemaslahatan rakyat. Dan tunuk itu masyarakat harus memiliki peluang dan diberi ruang untuk mengoreksi penguasa jika terjadi kebengkokan sehngga bisa dijamin pelaksanaannya secara konsekuen dan konsisten. Semua itu hanya bisa diujudkan melalui penerapan Sistem Islam secara total dalam bingkai institusi kekuasaan yang islami yaitu al-Khilafah Rasyidah. [LS-HTI]

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/08/05/internasionalisasi-masalah-papua/

Kutukan Rakyat Irak, Afghanistan, dan Palestina Terhadap Amerika

Kutukan Rakyat Irak, Afghanistan, dan Palestina Terhadap Amerika

Masyarakat dunia tak berharap banyak terhadap hasil kesepakatan antara Gedung Putih dan Partai Republik tentang kenaikan pagu utang.

Tercapainya persetujuan Kongres Amerika atas kenaikan pagu utang itu, justru disambut dengan pesimisme yang mendalam, dan dibuktikan dengan ambruknya bursa saham di seluruh dunia. Tak ada yang menyambut positip.

Bursa saham di Asia dan zona Eropa, semuanya rontok. Ini situasi ekonomi dan keuangan terburuk sejak resesi tahun 2008 lalu.

Hanya tinggal menunggu waktu, dan hitungan jari, Amerika Serikat menjadi negara yang patut "dikasihani". Paul Krugman, mengatakan di Wall Streets, "Hanya tinggal menunggu waktu, Amerika Serikat menjadi bangkrut, dan berubah menjadi Republik Banana", yang tidak ada artinya apa-apa lagi. Pengaruh Amerika Serikat sebagai kekuatan "Adi daya", hanya menjadi kenangan sejarah masa lalu.

Bagaimana nasib negara Amerika Serikat, kalau sudah tidak ada lagi negara yang mempercayai dan mau memberikan utang? Utang Amerika Serikat sekarang mencapai $ 14,3 triliun dollar, yang setara dengan 100 persen PDB nya. Amerika Serikat hanya bisa hidup dengan utang. Dengan keputusan Kongres, utang Amerika Serikat akan dinaikkan dengan tambahan $ 2,4 triliun, dan mencapai $ 16,7 triliun dollar. Limitasi utang yang masih dapat di tolerir hanya 60 persen dari total PDBnya.

Amerika Serikat memiliki masalah fundamental ekonomi yang sudah sangat akut. Terbebani utang, mengalami defisit anggaran, defisit perdagangan luar negeri, dan ini berlangsung sejak zamannya Presiden George Walker Bush.

Amerika Serikat dibawah Presiden Bill Clinton, mengalami kemakmuran, dan tidak terlibat perang dibanyak negara. Pajak korporasi dinaikkan. Sehingga, anggaran (APBN) mengalami surplus. Berlipat. Karena itu, pengaruh politik Amerika, waktu zamannya Bill Clinton, sangat kuat, meskipun tidak banyak menggunakan kekuatan militernya. Anggaran pertahanan relative tidak terlalu besar. Karena, Bill Clinton yang memimpin Gedung Putih, tidak banyak melakukan petualangan militer di luar negeri.

Di zaman Presiden George Walker Bush, kebijakannya mengalami perubahan drastis. Orang-orang kaya dan korporasi dibebaskan pajak. George Bush yang berasal dari Partai Republik menganut paham teori Adam Smith murni. Negara tidak berhak melakukan campur tangan terhadap pasar. Pilar utama teori Adam Smith adalah "Laisez-faire". Semuanya diserahkan kepada pasar. Orang-orang kaya dan korporasi tidak lagi mereka dibebani wajib pajak, karena mereka sudah memberikan pekerjaan kepada banyak orang. Maka, di zaman Bush, orang kaya di Amerika Serikat naik mencapai 19 persen.

Sementara di zaman Bush pengeluaran anggaran negara terlalu boros dan terus menggelembung. Semua defisit itu, ditutup dengan utang. Maka, akhir era pemerintah Bush, Amerikan Serikat menimbun utang, yang jumlahnya mencapai $ 14,3 triliun.

Sekarang, ekonomi Amerika Serikat terus melambat, dan pertumbuhannya tidak mencapai 2 persen, bahkan minus. Ini semuanya yang mengakibatkan pesimisme secara global. Negara dan perorangan yang selama ini percaya dan merasa aman, ketika mereka menyimpan dananya dan memberikan utang kepada Amerika Serikat, sekarang mulai skeptis.

Bagaimana kalau nanti S & P menurunkan peringkat Amerika Serikat dari negara yang dianggap "liquid", kemudian menjadi negara gagal "default"? Peringkatnya dari AAA+, kemudian menjadi minus?

Selebihnya, di masa George Bush yang berhasil menduduki Gedung Putih, selama dua periode itu, lebih banyak menghabiskan anggarannya hanya untuk memerangi orang-orang Islam di Irak, Afghanistan, Palestina dan negara-negara lainnya, yang dianggap menjadi ancaman bagi Amerika Serikat.

Perang global melawan terorisme, dan sejumlah kebijakan lainnya, yang dilakukan oleh Presiden George Bush, sejak peristiwa WTC pada 11 September 2001, menguras anggaran yang tidak kecil. Bertriliun-triliun dollar.

Berapa triliun dollar yang harus dikeluarkan Gedung Putih, hanya untuk meluluh- lantakkan Bagdad, Kabul, dan Tepi Barat serta Gaza? Jutaan orang Islam tewas, hanya karena sangkaan yang salah, dan tidak memiliki bukti yang valid. Semuanya hanya didasari sikap "phobia" yang sangat dalam terhadap Islam.

Amerika Serikat secara permanen dibebani oleh Israel, yang harus mengeluarkan anggaran besar bagi Israel. Amerika Serikat bukan hanya menjamin keamanan Israel, tetapi negara yang akan menjadi "Republik Banana" itu, harus menjaga eksistensi Israel sepanjang zaman dengan dana, yang tidak masuk akal.

Kesombongan Amerika Serikat sebagai negara "Adi daya", di masa depan hanya menjadi ilusi, dan tidak lagi sebuah fakta dan kenyataan. Ke depan kita akan melihat proses kebangkrutan Amerika Serikat secara dramatis.

Tentu, kehancuran ekonomi Amerika Serikat ini, juga berpengaruh terhadap negara-negara yang menjadi sekutunya. Rezim yang menjadi sekutu-sekutu Amerika Serikat akan berguguran, mirip seperti nilai harga saham yang berguguran di pasar bursa saham. Wallahu'alam.

http://www.eramuslim.com/editorial/kutukan-rakyat-irak-afghanistan-dan-palestina-terhadap-amerika.htm