Wednesday, May 14, 2025

Tulisan bantahan Syaikh Utsman Bakhasy (Hizbut Tahrir) atas tulisan tanggapan pengasuh situs “Al Islam Sual wa Jawab” (islamqa.info), yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid (Ulama Salafi)

 Tulisan bantahan Syaikh Utsman Bakhasy (Hizbut Tahrir) atas tulisan tanggapan pengasuh situs “Al Islam Sual wa Jawab” (islamqa.info), yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid (Ulama Salafi)

--------------


*Pemberontakan Muhammad bin Abdul Wahab dan Keluarga Saud Terhadap Negara Khilafah Utsmani*


Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dengan sebenar-benarnya pujian atas kebaikan dan berkah-Nya, yang tak terhingga jumlahnya, memenuhi langit dan bumi, serta semua yang ada. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasul yang diutus dengan membawa rahmat untuk seluruh alam, yaitu Muhammad bin Abdillah, keluarganya, para sahabatnya, serta siapa saja yang senantiasa setia dan mengikutinya denga cara yang baik hingga hari kiamat. Waba’du.


Dalam situs “Al Islam Sual wa Jawab” (islamqa.info), yang diasuh oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid terdapat sebuah pertanyaan: “Apakah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab memberontak terhadap Khilafah Utsmaniyah, dan menjadi penyebab kejatuhannya?”


Beberapa orang memfitnah Muhammad ibn Abdul Wahab—semoga Allah merahmatinya. Mereka menuduhnya telah memerangi Khilafah Islam Utsmaniyah, serta memerangi Khalifah kaum Muslim. Oleh karena itu, ia menjadi musuh kaum Muslim. Dan perdebatan mereka seputar masalah ini. Apakah hal itu benar? Bagaimana mungkin tokoh (Islam) memerangi seorang amir (pemimpin) kaum Muslim, padahal ia seorang Khalifah yang mendirikan shalat, membayar zakat, dan sebagainya? Mereka juga mengatakan bahwa ia berkonspirasi dengan tentara Inggris untuk melawan kaum Muslim. Tolong beri saya jawaban yang rinci tentang masalah bersejarah ini, dan jelaskan kepada saya kebenarannya, hingga tampak siapa yang benar?


Kami akan memaparkan jawabab paragraf demi paragraf, kemudian kami akan mengulasnya dan mengomentarinya dengan ilmu yang Allah karuniakan kepada kami, dengan tetap memohon kepada Allah SWT agar kebenaran mengalir di lisan kami, serta memperlihatkan kepada kami bahwa yang benar itu benar, dan memberi kami kekuatan untuk mengikutinya; juga memperlihatkan kepada kami bahwa yang batil itu batil, dan memberi kami kekuatan untuk meninggalkannya. Allâhumma Amîn.


Paragraf Pertama Dari Jawaban Situs Islam Sual wa Jawab:

Syaikh Abdul Aziz Abdul Latif mengatakan: “Beberapa musuh dakwah Salafi mengklaim bahwa Syaikh al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab telah memberontak terhadap Negara Khilafah Utsmaniyah. Sehingga dengan itu ia telah memisahkan diri dari jamaah, dan mematahkan tongkat (ikatan untuk) mendengar dan taat.” (Da’âwal Munâwi’în li Da’wah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, hlm. 233).


Dia mengatakan Abdul Qadim Zallum mengklaim bahwa munculnya dakwah Wahabi telah menjadi penyebab jatuhnya negara Khilafah. Zallum berkata: “Wahabi telah menemukan sebuah entitas di dalam negara Islam yang dipimpin oleh Muhammad bin Saud, dan kemudian putranya Abdul Aziz. Lalu Inggris membantunya dengan senjata dan uang. Sehingga mereka bangkit atas dorongan madzhab untuk menguasai negeri-negeri Islam yang berada di bawah kekuasaan Khilafah, yakni mereka mengangkat pedang (senjata) melawan Khalifah, dan memerangi tentara Islam, yaitu tentara Amirul Mukminin, dengan provokasi (hasutan) dari Inggris dan bantuannya.” (Kaifa Hudimat al-Khilâfah, hlm. 10).

Sebelum kami menjawab syubhat (ketidakjelasan) tentang pemberontakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab terhadap negara Khilafah, adalah tepat untuk mengingat apa yang telah menjadi keyakinan asy-Syaikh al-Imam tentang wajibnya mendengar dan taan kepada para pemimpin kaum Muslim, baik mereka adil atau zalim, selama mereka tidak memerintahkan bermaksiat pada Allah, karena ketaatan itu hanya untuk perkara yang makruf (baik) saja.

Asy-Syaikh al-Imam dalam suratnya kepada warga al-Qashim berkata: “Saya berpendapat wajibnya mendengar dan taan kepada para pemimpin kaum Muslim, baik mereka adil atau zalim, selama mereka tidak memerintahkan bermaksiat pada Allah. Sehingga siapa saja memimpin Khilafah, sementara masyarakat mendukung dan meridhainya, bahkan sekalipun ia menguasai masyarakat dengan pedangnya hingga ia menjadi Khalifah, maka menaatinya wajib, dan haram memberontaknya.” (Majmû’ah Muallafât asy-Syaikh, 5/11).

Dia juga mengatakan: Kaidah Dasar Ketiga: “Kesempurnaan berkelompok (bermasyarakat) adalah mendengar dan taat kepada siapa saja yang memimpin kami, sekalipun ia seorang budak Habasyi.” (Majmû’ah Muallafât asy-Syaikh, 1/394), melalui (Da’âwal Munâwi’în, hlm. 233-234).


*** *** ***


Kami akan membahas isu-isu berikut seperti yang terdapat dalam fatwa dengan sebuah analisis, yaitu:

Pertama: Wajibanya mendengar dan taat kepada Khalifah.

Kedua: Haramnya memberontak terhadap Khalifah, dan analisis pendapat asy-Syaikh ketika Khalifah melakukan kemaksiatan berdasarkan nash hadis bahwa tidak boleh memberontak kecuali (Khalifah) melakukan perkara yang jelas-jelas kufur.

Ketiga: Tidak adanya dalam fatwa itu pembahasan tentang masalah wajibnya kesatuan negara Islam, dan haramnya membaiat imam (Khalifah) lain dalam waktu yang sama.

Paragraph ini berisi pendapat tentang wajibnya mendengar dan taat kepada pemimpin kaum Muslim, baik mereka yang adil maupun yang zalim, selama mereka tidak memerintahkan pada kemaksiatan. Tidak diragukan lagi bahwa paragraf ini argumen yang justru menjatuhkan Syaikh Ibnu Abdul Wahab, bukan argument yang menguatkannya. Sungguh, ia telah memfatwakan bahwa haram memberontak terhadap Khalifah, sementara ia sendiri melakukan pemberontakan itu terhadapnya. Dan akan saya jelaskan tentang pemberontakan yang ia lakukan hingga Homs dan Aleppo, serta pemberontakannya terhadap Khalifah di Irak, Kuwait dan lainnya, di antara wilayah-wilayah yang secara langsung tunduk pada Khalifah melalui para walinya, sebab para Amirul Mukimin mengangkat para wali untuk setiap wilayah. Dan hal lain yang kami baca dari sela-sela fatwa yang secara khusus berbicara tentang tidak adanya ketaatan ketika diperintah melakukan kemaksiatan, serta ketidakrinciannya terkait haramnya memberontak ketika diperintah melakukan kemaksiatan, kecuali Khalifah melakukan kekufuran yang jelas-jelas kufur.


Perkara yang mewajibkan memberontak terhadap Khalifah bukan sekedar perintah bermaksiat, karena apabila diperintah bermaksiat, maka tidak wajib menaatinya. Rasulullah Saw bersabda:


لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan pada makluk dalam bemaksiat kepada al-Khaliq (Allah).”


Hadis ini disahihkan oleh al-Albanni. Namun tetap saja haram memberontak terhadap Khalifah, kecuali ia terang-terangan melakukan kekufuran yang nyata, yang dapat dibuktikan di hadapan Allah kelak.


Muslim meriwayatkan dari Auf bin Malik:


خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian mencintainya, dan mereka mencintai kalian; mereka mendoakan kalian, dan kalian mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian membencinya, dan mereka membenci kalian; kalian melaknat mereka, dan mereka melaknat kalian.” Dikatakan: “Wahai Rasulullah mengapa tidak kami perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin sesuatu yang tidak kalian benci, maka bencilah pada perbuatannya saja, dan jangan kalian melepaskan tangan dari ketaatan.”


Secara gamblang hadis di atas mengabarkan tentang adanya para pemimpin yang baik dan yang buruk, serta jelas menunjukkan haramnya memerangi mereka dengan pedang selama mereka masih menegakkan agama. Sebab menegakkan shalat itu merupakan kiasan (metafora) tentang menegakkan agama, dan memerintah berdasarkan agama.


Bukhari meriwayatkan dari Junadah bin Abi Umayyah yang berkata: “Kami menjenguk Ubadah bin Shamit yang sedang sakit. Kami berkata—semoga Allah senantiasa memberi kebaikan kepadamu—sampaikan pada kami hadis yang dengannya Allah memberi manfaat padamu, yang telah kamu dengar dari Nabi Saw. Ia berkata:


دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi Saw memanggil kami, lalu kami membaiatnya. Beliau bersabda terkait apa yang beliau ambil dari kami, yaitu agar kami berbaiat untuk mendengar dan taat, baik ketika kami senang dan benci, ketika kami dalam kesulitan dan lapang, serta tidak mementingkan diri kami, juga kami tidak akan merebut urusan (kekuasaan) dari yang berhak—Beliau menambahkan dengan sabdanya—kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata, dimana terkait kekufuran itu kalian punya bukti dari Allah (dalil yang qath’iy).”


Penting dikatakan bahwa fatwa di atas tidak bisa mengabaikan masalah lain yang keterkaitannya sangat penting, yaitu wajibnya kesatuan kaum Muslim di bawah satu orang Khalifah, dan haramnya di tengah-tengah umat ada dua orang Khalifah, serta masalah wajibnya kaum Muslim dan institusinya bergabung di bawah institusi negara Islam, tidak boleh (haram) memberontak terhadapnya, serta haram setiap pemimpin suku mendirikan negara yang memisahkan diri dari negara Islam dan memeranginya.


Ada pendapat Syaikh, khususnya tentang kewajiban taat dan mendengarkan kepada siapa saja yang masyarakat mendukung dan meridhainya, bahkan sekalipun ia menguasai masyarakat dengan pedangnya hingga ia menjadi Khalifah. Pertanyaan terkait perkataan “menguasai masyarakat dengan pedang dan masyarakat meridhainya”, seolah-olah ini merupakan syarat wajibnya taat dan haramnya memberontak terhadap Khalifah. Padahal ini bukan syarat akad Khilafah, serta tidak ada dalam hadis-hadis Nabi al-Mustafa Saw. bahwa hubungan penguasa dan rakyat bukan hubungan “menguasai dengan pedang dan mendominasinya” hingga mereka tunduk kepadanya, melainkan melalui baiat yaitu akad saling ridha antara umat dan penguasa, yang dilandasi keridhaan dan kebebasan memilih.


Terdapat perkataan Umar bin Khattab ra, seperti yang terdapat dalam ath-Thabaqât al-Kubra Ibnu Sa’ad. Abdullah bin Umar berkata, lalu mereka bermusyawarah. Utsman memanggil aku sekali atau dua kali untuk melibatkan aku dalam urusan pemerintahan. Aku berkata kepadanya hendaklah kalian berpikir, apakah kalian akan mengangkat pemimpin sementara Amirul Mukminin masih hidup, maka demi Allah hal itu benar-benar membangunkan Umar dari tempat tidurnya. Umar berkata, jangan kalian tergesa-gesa, jika sebuah insiden menimpa saya, maka hendaklah Shuhaib memimpin shalat kalian selama tiga hari, kemudian mereka bersepakat atas urusan kalian, sebab “Barangsiapa yang memimpin kalian tanpa musyawarah kaum Muslim, maka penggallah lehernya.”


Dalam ath-Thabaqât al-Kubra Ibnu Sa’ad bahwa Umair bin Sa’ad ra. diangkat oleh Umar bin Khattab sebagai wali di Homs. Umair berkata: “Ketahuilah bahwa Islam itu laksana dinding yang kokoh dan pintu yang kuat. Dinding Islam adalah keadilan, sementara pintunya adalah kebenaran. Islam akan senantiasa kokoh selama kekuasaan masih kuat. Dan kuatnya kekuasaan bukan membunuh dengan pedang, dan bukan pula memukul dengan cambuk, melainkan mengadili dengan kebenaran, dan mengambil dengan adil.”


Adapun khusus tentang wajibnya kesatuan kaum Muslim di bawah satu orang Khalifah. Muslim meriwayatkan dalam Kitab al-Imârah, juga Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad, lafad matan hadis ini menurut Muslim. Dari Abdur Rahman bin Abdi Rabbi al-Ka’bah, yang mengatakan: Saya masuk masjid, tiba-tiba Abdullah bin Amr bin al-Ash duduk di bawah Ka’bah. Sementara orang-orang berkumpul di sekitarnya. Lalu, saya mendatanginya dan duduk bersama mereka. Abdullah bin Amr bin al-Ash nerkata: Kami bersama Rasulullah Saw dalam sebuah perjalanan … hingga Nabi Saw bersabda:


مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَليَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ

“Siapa saja yang ingin selamat dari neraka dan masuk surga, maka temuilah kematiannya, sedang ia beriman kepada Allah dan hari Akhir, karena itu hendaklah ia datang pada manusia, dimana ia ingin menemui kematiannya. Dan barangsia yang berbaiat pada seorang Imam, lalu ia memberikan uluran tangannya dan buah hatinya, maka taatilah ia selagi mampu. Jika ada orang lain yang merebutnya, maka penggallah leher orang itu.”


Muslim meriwayatkan dari Arfajah yang berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:


مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

“Siapa saja yang datang kepada kalian, sementara semua urusan kalian ada di tangan satu orang (Khalifah). Dan ia datang untuk memecah tongkat kalian, serta mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”


Muslim meriwayatkan dalam Kitab al-Imârah meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:


إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا

“Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”


Seruan (khithâb) di sini adalah untuk semua kaum Muslim, bahwa tidak boleh ada pada mereka dua orang Khalifah. Hadis ini adalah nash (dalil) haramnya ada banyak Khalifah, dan wajibnya hanya ada seorang Khalifah bagi seluruh kaum Muslim.


Dan realitas orang yang merebut kepemimpinan Khalifah pada suatu wilayah di bumi ini, maka ia menyatakan bahwa dirinya tidak tunduk pada kekuasaan Khalifah, dan ia mendirikan pemerintahan di wilayah tersebut. Bahkan realitasnya ia mengangkat dirinya sebagai imam bagi kaum Muslim, dan itu adalah realitas Khalifah, sekalipun ia tidak menyebut dirinya Khalifah. Pengangkatan para amil dan wali untuk suatu wilayah adalah tugas Khalifah dan tanggung jawabnya, yang asy-Syâri’ bebankan kepadanya. Rasulullah Saw telah mengangkat para wali dan amil. Dan itulah yang juga dilakukan oleh para Khulafa’ ar-Rasyidin al-Mahdiyyin sesudah Rasulullah. Sehingga tidak sah (haram) suatu kabilah memberontak terhadap negara Islam, dan mengangkat dirinya sebagai walinya. Kemudian ia merebut kekuasaan Khalifah. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa ia merupakan aktivitas orang yang melihat dirinya sebagai Khalifah kaum Muslim.


Lihatlah untuk memperkuat hal ini apa yang terdapat dalam dokumen Arab Saudi:


Hubungan Negara Saudi dengan Syam:


Sumber-sumber Najd mengatakan bahwa Imam Abdul Aziz bin Muhammad memerintahkan beberapa pasukannya, pada tahun 1208 H/1793 M, untuk pergi ke Dumatul Jandal, di pinggiran Syam, dan memerangi warganya. Hal itu didasarkan informasi bahwa pasukan wali Utsmani ada di Syam. Pada tahun 1212 H/1797 M, Hujailan bin Hamad, pemimpin al-Qashim memimpin tentara rakyat al-Qashim, kemudian menyerang Bawadi asy-Syararat, sehingga banyak tokoh-tokohnya yang terbunuh, serta merampas harta dan barang-barang dalam jumlah besar.


Serangan tersebut untuk memperkuat penyebaran prinsip-prinsip dakwah reformasi di wilayah itu, dan mengambil zakat dari penduduknya. Bahkan serangan itu sampai di Bawadi asy-Syam, pada tahun 1218 M. Dari semua itu dipahami bahwa penduduk Bawadi asy-Syam telah menjadikan loyalitas politik dan agamanya pada Dir’iyah (wilayah kerajaan Arab Saudi), tidak lagi pada wali Syam.


Sampai di sini kutipan dari Mausû’ah Muqâtil min ash-Shahra’.


Seperti yang Anda lihat, bahwa zakat yang seharusnya diberikan pada wali Syam yang mewakili Khalifah, kemudian diambil untuk Dir’iyah. Apakah tindakan ini bukan tindakan orang yang menempatkan dirinya sebagai Khalifah bagi kaum Muslim? Dengan dalil ini jelas bahwa mereka merampas dari Khalifah aktivitas dan tanggung jawabnya, merampas wilayah darinya, dan kemudian menundukkannya untuk kekuasaan mereka, tidak lagi pada kekuasaan Khalifah?


Dari Arfajah dari Nabi Saw bersabda:


إِنَّهُ سَتَكُونُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الأُمَّةِ وَهْىَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ

“Sungguh akan ada banyak fitnah dan bid’ah. Sehingga siapasaja yang ingin memecah-belah urusan umat ini, sedang umat ini sedang bersatu, maka penggallah dia dengan pedang, siapapun dia.” (HR. Muslim).


Imam Nawawi mengatakan dalam Syarah Shahih Muslim: “Jika seorang Khalifah dibaiat sesudah ada Khalifah, maka baiat Khalifah yang pertama yang sah, dan wajib memenuhi baiat yang pertama. Sementara baiat yang kedua batal, sehingga haram memenuhinya, serta haram ia menuntutnya, sama saja apakah mereka yang melakukan baiat kedua tahu dengan adanya baiat yang bertama atau tidak, sama saja apakah itu terjadi di dua negeri atau satu negeri, atau salah satunya berada di negeri imam yang terpisah, dan yang satunya di negeri lainnya. Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh ada akad baiat untuk dua orang Khalifah di waktu yang bersamaan, baik negara Islam luas atau tidak.”

Renungkan perkataan Imam Nawawi: “sama saja apakah itu terjadi di dua negeri atau satu negeri”, artinya sekalipun kita menerima sebagai hal yang kontroversi, seperti kita menemukan di saat itu wilayah yang tidak tunduk secara langsung terhadap negara Khilafah, maka membaiat Khalifah di wilayah itu adalah haram. Dan renungkan juga bahwa “ulama telah bersepakat dalam hal ini”, namun demikian ada orang yang berusaha membuat pembenaran untuk pemberontakan kelompok Wahabi terhadap Khilafah.

Adapun secara khusus terkait wajibnya kaum Muslim tergabung di bawah perintah Amirul Mukminin, maka Imam Muslim meriwayatkan dalam Kitâb al-Jihâd was Siyar, juga Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi, sedang lafad matan menurut Imam Muslim: Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya yang berkata, apabila Rasulullah Saw mengangkat seorang amir militer atau pasukan khusus (sariyah), maka beliau berwasiat kepada pemimpinnya secara khusus agar bertakwa kepada Allah, dan berbuat baik kepada kaum Muslim yang bersamanya. Kemudian beliau bersabda: “Berperanglah atas nama Allah, di jalan Allah; perangilan orang yang kafir pada Allah; berperanglah kalian, jangan berlebih-lebihan, jangan berkhianat, jangan melampiaskan dendam, dan jangan membunuh anak-anak. Apabila kamu bertemu dengan musuhmu di antara kaum Musyrikin, maka serulah mereka pada tiga hal. Lalu yang manapun dari ketiga hal itu yang mereka penuhi, maka terima dan hentikan peperangan darinya. Kemudian serulah mereka pada Islam, jika mereka memenuhi seruanmu, maka terima dan hentikan peperangan darinya. Lalu, serulah mereka untuk berpindah dari negara (dâr) mereka ke negara (dâr) kaum Muhajirin, dan sampaikan pada mereka, jika mereka melakukan itu, maka mereka memiliki hak seperti hak kaum Muhajirin, dan mereka memiliki kewajiban seperti kewajiban kaum Muhajirin. Apabila mereka menolak untuk berpindah darinya, maka sampaikan pada mereka bahwa status mereka seperti kaum Muslim yang memilih tetap berasa di padang sahara, dimana atas mereka berlaku hukum Allah yang berlaku atas kaum Mukmin, mereka tidak berhak mendapatkan ghanimah dan fai’ sedikitpun kecuali mereka ikut berjihad bersama barisan kaum Muslim, jika mereka menolak, maka mintalah jizyah dari mereka, jika mereka memenuhinya, maka terimalah dan hentikan peperangan dengan mereka, jika mereka masih juga menolak, maka mintalah tolong pada Allah, dan perangi mereka. Apabila kamu mengepung warga Hishn, lalu kamu ingin membuat janji Allah dan nabi-Nya untuk mereka, maka kamu jangan membuat janji Allah dan nabi-Nya untuk mereka, namun buatlah untuk mereka janji kamu dan janji sahabatmu. Sebab jika kamu membatalkan janji kamu dan janji sahabatmu, maka itu lebih ringan daripada kamu membatalkan janji Allah dan nabi-Nya. Dan jika kamu ingin membuat persetujuan hukum Allah atas mereka, maka kamu jangan membuat persetujuan hukum Allah atas mereka, namun buatlah persetujuan berdasarkan hukum (ijtihad)mu, karena kamu tidak tahu apakah kamu benar pada hukum Allah dalam perkara mereka atau tidak.”


Sementara dalam riwayat Abu Dawud dan Ahmad: “Kemudian serulah mereka untuk berpindah dari negara (dâr) mereka ke negara (dâr) kaum Muhajirin, dan sampaikan pada mereka, jika mereka melakukan itu, maka mereka memiliki hak seperti hak kaum Muhajirin, dan mereka memiliki kewajiban seperti kewajiban kaum Muhajirin. Apabila mereka menolak untuk berpindah dan memilih tetap di negara (dâr) mereka, maka sampaikan pada mereka bahwa status mereka seperti kaum Muslim yang memilih tetap berada di padang sahara.”

Mengingat Rasulullah Saw memerintahkan agar memerangi setiap negeri yang tidak tunduk pada kekuasaan kaum Muslim, dan sungguh-sungguh dalam memerangi mereka, sama saja apakah penduduknya Muslim atau non-Muslim. Dalilnya adalah larangan Rasulullah dari memerangi warganya jika warganya adalah Muslim. Imam Bukhari meriwayatkan dalam Kitâb al-Adzân: Dari Humaid dari Anas bin Malik bahwa “Nabi Saw jika memimpin kami memerangi suatu kaum, maka beliau tidak memerangi hingga masuk waktu shubuh, dan beliau memperhatikan, jika beliau mendengar adzan, maka beliau tidak memeranginya, sebaliknya jika beliau tidak mendengar adzan, maka beliau memeranginya.”

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad al-Makiyyin: Dari seseorang dari Muzainah yang bernama Ibnu Isham. Ia adalah sahabat Nabi saw. Ia berkata: “Apabila Saw mengirim pasukan khusus (sariyah), beliau bersabda jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan, maka janganlah kalian membunuh siapa pun.”

Adzan dan masjid termasuk di antara simbol-simbol Islam. Sehingga semua ini menunjukkan bahwa keberadaan negeri yang warganya kaum Muslim tidak mencegah untuk menyerangnya dan memeranginya dengan sunguh-sungguh. Ini artinya bahwa negeri itu dianggap sebagai negara (dâr) yang dalam situasi perang, sehingga diperangi seperti negara (dâr) manapun yang dalam situasi perang, sampai tunduk pada kekuasaan Islam, dan dalam keamanan kaum Muslim, serta bergabung ke dalam tubuh negara Islam.

Jadi, kesimpulannya bahwa masalah ini bukan sekedar masalah pemberontakan Muhammad bin Abdul Wahab terhadap negara, tetapi ia juga tidak mendorong untuk bergabung ke dalam tubuh negara Islam, bahkan ia merebut kekuasaan Khalifah di bumi Allah yang seharusnya tunduk pada kekuasaan satu orang Khalifah saja, serta terus berusaha melakukan disintegrasi terhadap persatuan dan kesatuan wilayah kaum Muslim dengan mengangkat pemimpin lain, yaitu Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud, dan kemudian putranya Saud, serta tidak tunduk pada kekuasaan Khalifah. Ia merebut kekuasaan Khalifah di sebuah wilayah di dunia Islam, bahkan ia terus memberontak terhadap Khalifah hingga mencapai Homs dan Aleppo. Ia tidak puas hanya dengan membaiat pemimpin lain yang menguasai sebuah wilayah dari wilayah-wilayah dunia Islam, bahkan ia melakukan lebih dari itu, yaitu memberontak terhadap Khaliaf di dalam rumahnya. Dan hal itu akan kami jelaskan setelah ini, insya Allah.

Selanjutnya, bahwa posisinya menurut syara’ di hadapan negara Utsmani adalah posisi wilayah yang tidak tunduk pada kekuasaan Khalifah, sehingga menurut syara’ pula menjadi hak negara Utsmani untuk memeranginya dan menundukkannya pada kekuasaannya, berdasarkan hadis Sulaiman bin Buraidah ra, seperti tersebut di atas. Jika Abdul Azin dan setelah itu putranya Saud tidak tunduk terhadap Khalifah, bahkan keduanya terus merebut kekuasaan Khalifah di sebagian wilayah negara kaum Muslim, maka perbuatannya masuk dalam cakupan hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan Muslim dalam Kitab al-Imârah dari Arfajah yang berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:


مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

“Siapa saja yang datang kepada kalian, sementara semua urusan kalian ada di tangan satu orang (Khalifah). Dan ia datang untuk memecah tongkat kalian, serta mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”


Dan juga sabda Rasulullah Saw.:


إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

“Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”


Abu Bakar ash-Shiddiq ra berkata sebagaimana yang tercantum dalam Sunan Baihaqi: “Tidak halal (haram) kaum Muslim memiliki dua orang pemimpin, sebab bagaimanapun baiknya keduanya, maka urusan dan keputusan mereka akan berbeda, jamaahnya akan cerai-berai, dan diantara mereka akan saling berebut, sehingga dalam kondisi seperti itu sunnah akan ditinggalkan, dan bid’ah akan bermunculan, serta akan terjadi fitnah yang lebih besar, akhirnya tidak seorang pun yang bisa memperbaikinya.”


Hal ini harus selalu diingat bahwa nash-nash haramnya akad Khilafah untuk dua orang adalah bersifat mutlak, meliputi semua keadaan, sama saja apakah wilayah-wilayah dunia Islam saling berjauhan, sehingga sulit akses kekuasaan pada yang satu dan yang lain. Nash-nash yang mutlak itu menunjukkan pada hukum haram, dan larangan menepati baiat yang kedua, dan memerintahkan untuk membuhnya siapapun dia!


Paragraf Kedua dari Jawaban Situs Islam Sual wa Jawab:


Syaikh Abdul Aziz Abdul Latif berkata: Setelah laporan singkat ini, yang telah menunjukkan posisi Syaikh terkait wajibnya mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum Muslim, yang baik dan yang buruk, selama mereka tidak memerintah bermaksiat pada Allah. Kami tunjukkan masalah yang jawabannya penting terkait syubhat (ketidakjelasan) tersebut, melalui sebuah pertanyaan penting yaitu: “Apakah ‘Najed’ wilayah dan tempat berdirinya dakwah ini ada di bawah kendali negara Khilafah Utsmani?”

Dr Shaleh al-Abud menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan: “Secara umum ‘Najed’ tidak pernah berada di bawah pengaruh negara Utsmani, sekalipun kekuasaannya terbentang luas, para wali negara Utsmani tidak datang ke sana, dan tidak ditemukan adanya perlindungan Turki di rumah-rumah Najed saat sebelum munculnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah. Sehingga semua ini menunjukkan fakta sejarah stabilitas pembagian administrasi negara Utsmani, diantarnya melalui disertasi tentang Turki berjudul: “Qawanin Alu Utsman Mudhamin Daftar ad-Diwan”, artinya “Undang-Undang Kelurga Utsman Yang Tersimpan Dalam Arsip Kantor”, yang ditulis oleh Yamin Ali Effendi, ia adalah sekretaris untuk arsip Khaqani, tahun 1018 Hijriah, bertepatan dengan tahun 1609 Masehi. Melalui disertasi ini jelas bahwa sejak abad sebelas Hijriyah, negara keluarga Utsman terbagi menjadi 32 provinsi, di antaranya 14 provinsi Arab, dan negeri Najed tidak termasuk dari 14 provinsi itu, kecuali al-Ihsa’, jika kita menganggapnya bagian dari Najed.” (Aqidah asy-Syaikh Muhammd bin Abdul Wahab wa Atsaruha fi al-Alam al-Islami, 1/27, tidak dipublikasikan).


Dr Abdullah Utsaimin mengatakan: “Apapun alasannya ‘Najed’ tidak pernah berada di bawah pengaruh langsung Utsmaniyin sebelum lahirnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Juga tidak pernah ada pengaruh kuat yang memaksa kehadirannya pada jalannya peristiwa dalam bentuk apapun. Sehingga tidak ada pengaruh Bani Jabr atau Bani Khalid di beberapa aspeknya, serta tidak ada pengarus al-Asyraf dalam beberapa aspeknya yang lain sebagai jenis stabilitas politik terbaru. Sedangkan perang di antara negeri-negeri Najed masih berlangsung, dan konflik antara suku-suku yang berbeda berlangsung tajam diwarnai kekerasan.” (Muhammad bin Abdul Wahab Hayatuhu wa Fiqruhu, hlm. 11, melalui Da’awa al-Munawi’in, hlm. 234-235).


Sebagai pelengkap bahasan ini, kami kemukakan jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz atas kontradiksi ini. Bin Baz berkata: “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tidak memberontak terhadap negara Khilafah Utsmani, sejauh apa yang saya ketahui dan saya yakini. Di Najed tidak ada kepemimpinan dan imarah bagi orang Turki, namun Najed adalah kepemimpinan kecil, dan desa-desa yang terebar. Setiap kota atau desa—sekalipun kecil—memiliki pemimpin yang independen. Itulah kepemimpinan yang diantara mereka terjadi pertumpahan dan peperangan, serta perselisihan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tidak memberontak terhadap negara Khilafah, namun ia melawan kondisi yang rusak di negerinya, kemudian ia berjihad dengan sebenar-benarnya jihad, ia sabar dan tekun hingga cahaya dakwahnya ini menyebar ke negeri-negeri lain.” (Nadwah Musajjalah ala al-Asyrithah, rekaman seminar”, melalui Da’awa al-Munawi’in, hlm. 237).


Dr Ajil an-Nasymi berkata: “….. Negara Khilafah berdiam diri saja, tidak menawarkan inisiatif sebagai reaksi kemarahan atau pertentangan apapun bentuknya. Padahal ada empat sulthan keluarga Utsman yang memimpin selama dalam kehidupan Syaikh.” (Majallah al-mujtama’, edisi 510).


*** *** ***


Terkait jawabab pada paragraf kedua ini, kami mengomentarinya sebagai berikut:


Sekali lagi, kami dapati bahwa jawabannya mengabaikan dalil-dalil syara’ yang seharusnya dipahami oleh seorang mujtahid dan ulama, khususnya realitas perbuatan sehubungan dengan negara Khilafah Islam. Juga kami dapati jawabannya benar-benar mengabaikan pemberontakan kelompok Wahabi bersama keluarga Saud terhadap Khalifah di dalam rumahnya, hingga serangan mereka mencapai Homs, seperti yang akan dijelaskan setelah ini, Insya Allah.


Ketika suku-suku Arab memberontak terhada negara Khilafah pada awal pemerintahan Khalifah Rasyidin pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Mereka tidak tunduk pada pemerintahannya, dan menolak untuk membayar zakat, padahal kapasitasnya sebagai Khalifah Rasulullah Saw, maka Abu Bakar memerangi mereka, dan mengirim tentara pada mereka hingga mereka tunduk pada kekuasaannya. Sehingga tidak seorang pun dari mereka yang mengakui (membela) pemberontakannya terhadap kekuasaan negara Islam, dan membentuk negara dalam negara!


Apakah kami katakan bahwa mereka yang menjawab masalah ini, yang diwakili oleh Dr Shaleh al-Abud, Syaikh Utsaimin dan lain-lainnya, mengatakan bahwa “hukum syara’ bagi orang yang keberadaan dirinya jauh dari pembagian administrasi negara Islam adalah memerdekakan dirinya dan mendirikan kekuasaan lain, serta membenarkan dirinya untuk memperluas kekuasaan ini dengan memasuki wilayah-wilayah yang tunduk pada negara Khilafah seperti Syam, Irak, Makkah, Madinah dan lainnya untuk dijadikan wilayah kekuasaannya, lalu ia mendirikan negara tanpa negara? Tidakkah semua ini dinamakan merebut kekuasaan dari mereka yang berhak?


Kemudian dimunculkan polemik bahwa Najed tidak mendapatkan sejumlah perlindungan negara Khilafah. Apakah ketundukan pada kekuasaan Khalifah hanya diketahui dengan adanya sejumlah perlindungan, atau adanya pengaruh yang memaksakan pengendalian berbagai kejadian besar dan kecil. Sebab ketika itu negara Islam sedang mengalami kelemahan. Sedang kelemahan bukan pembenaran syar’iy untuk melakukan pemberontakan. Akan tetapi, kewajiban yang benar dalam kondisi seperti itu adalah berusaha memperkuat pilar-pilar negara, dan mendidik masyarakat di daerah-daerah dan desa-desa terpencil akan wajibnya tunduk pada negara yang ada. Jika tidak, apakah kita membenarkan Khawarij Shufariyah, misalnya, yang memberontak terhadap negara Khilafah Umayyah di Maroko karena lemahnya komunikasi suku-suku di sana dengan Syam, dan apakah kita membenarkan memberontaknya setiap negeri kecil, yang kemudian mendirikan pemerintahan independen, sehingga mengakibatkan umat Islam tercerai-berai dan tidak lagi memiliki kekuatan?


Juga bukan hal yang begitu penting bahwa kekuasaan Khalifah dan pengawasannya meliputi daerah-daerah terpencil secara langsung untuk membenarkan bahwa daerah itu ada di bawah kekuasaan Khalifah, namun hal itu cukup dengan adanya komunikasi kekuasaan meski melalui jalan yang tidak langsung, seperti melalui para wali dan amir yang mereka itu diangangkat oleh Khalifah untuk memimpin daerah-daerah itu, serta memberi mereka hak untuk mengatur pengelolaan semua urusan di daerah mereka, sesuai dengan sistem yang dijalankan negara. Umar bin Khattab ra menolak permintaan para wali dan amir untuk mengembalikan padanya setiap persoalan besar dan kecil. Umar mengatakan pada mereka bahwa orang yang ada di lapangan (asy-syâhid) melihat apa yang tidak dilihatnya oleh orang yang tidak berada di lapangan (al-ghâib).


Faktanya, bahwa kekuasaan negara meliputi setiap daerah di sekitar Najed, namun tidak secara langsung sampai ke suku-suku di daerah-daerah terpencil. Kekuasaan itu telah sampai ke daerah-daerah perkotaan yang dekat dengannya. Sehingga hukum asalnya bahwa warga di desa-desa terpencil itu wajib merujuk pada amir terdekat yang ditugasi oleh Khalifah untuk mengurusi urusan mereka, terkait perkara-perkara yang mereka diberi kewenangan untuk mengurusinya, artinya mereka wajib bergabung dengan negara (dâr) muhajirin, sebagaimana perintahah Nabi Saw dalam hadis dari Sulaiman bin Buraidah yang disebutkan di atas.


Namun keyataannya bahwa keluarga Saud dan kelompok Wahabi di belakangnya telah memberontak juga di daerah-daerah yang sangat dekat dan tunduk kepada negara Khilafah. Berikut rincian terkait hal itu, seperti yang terdapat dalam kitab Kaifa Hudimat al-Kilafah, karya al-Allamah asy-Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullâh rahmatan wâsiatan: “Kelompok Wahabi benar-benar telah menemukan sebuah entitas dalam negara Islam yang dipimpin oleh Muhammad bin Saud, kemudian putranya Abdul Aziz. Lalu Inggris membantu mereka dengan senjata dan uang. Selanjutnya mereka bangkit atas dasar madzhab untuk menguasai negeri-negeri yang tunduk pada kekuasaan Khilafah, artinya mereka mengangkat senjata melawan Khalifah, dan mereka memerangi tentara Islam, tentara Amirul Mukminin atas provokasi dari Inggris dan bantuannya terhadap mereka. Semua itu dilakukan demi merebut sebuah negeri dari Khalifah dan kemudian menerapkan madzhabnya, serta menghapus madzhab-madzhab Islam yang lain di luar madzhabnya dengan cara kekerasan. Mereka menyerang Kuwait pada 1788, dan mendudukinya, kemudian mereka terus bergerak ke utara sampai mereka mengepun Baghdad. Mereka ingin menguasai Karbala, serta makam Hussein ra untuk dihancurkannya dan melarang orang mengunjunginya. Pada bulan April, tahun 1803, mereka melancarkan serangan terhadap Makkah dan mendudukinya. Sementara pada musim semi, tahun 1804, Madinah jatuh di tangan mereka. Lalu, mereka merobohkan kubah besar yang menaungi makam Rasulullah, dan menyita semua barang berharga. Setelah mereka sukses menguasai seluruh Hijaz, mereka bergerak menuju Syam, dan mendekati Homs. Pada tahun 1810 mereka menyerang Damaskus dan juga menyerang Najaf. Damaskus pun membela dirinya dengan pertahanan yang kuat. Namun, kelompok Wahabi, bersamaan dengan mengepung Damaskus, mereka bergerak ke arah utara, dan meluaskan kekuasaannya di sebagian besar wilayah Suriah, hingga Aleppo.”


Apakah Damaskus, Baghdad, Aleppo, dan daerah-daerah ainnya tidak dikatakan daerah yang tunduk pada kekuasaan negara Khilafah, dan apakah tindakan seperti itu tidak disebut memberontak terhadap negara khilafah, merobohkannya, merusak pilar-pilarnya, dan menghancurkan bangunannya?


Pertanyaan yang muncul sekarang adalah apa hukum syara’ terhadap orang yang melakukan kejahatan seperti ini?


Rasulullah Saw bersabda sebgaimana yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya di Kitab al-Imârah dari Arfajah yang berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:


مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

“Siapa saja yang datang kepada kalian, sementara semua urusan kalian ada di tangan satu orang (Khalifah). Dan ia datang untuk memecah tongkat kalian, serta mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”


Sehingga tidak ada berkah Allah terhadap upaya dan aktivitas yang dilakukan untuk memecah tongkat (kekuasaan) kaum Muslim, mencerai-beraikan jamaahnya, dan mencabut tangannya dari taat pada Khalifahnya yang dibaiat untuk didengar dan ditaatinya.


Jadi, mengambarkan persoalan kelompok Wahabi dan para Saudis bahwa mereka mendirikan negara yang sama sekali tidak ada konflik dengan Khilafah, dan bahwa mereka mendirikannya di wilayah yang sama sekali tidak tunduk pada negara Khilafah, adalah bentuk pendistorsian kebenaran dan pemutar balikan fakta, serta menutup mata dari sejumlah serangan militer yang telah mereka lakukan untuk memecah negara khilafah, memotong uratnya dan mencerai-beraikan jamaah kaum Muslim.


Paragraf Ketiga dari Jawaban Situs Islam Sual wa Jawab:


Jika hal di atas mencerminkan persepsi asy-Syaikh terhadap negara Khilafah, lalu bagaimana citra dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan negara Khilafah?


Dr Nasymi menjawab pertanyaan ini: “Citra gerakan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan negara Khilafah adalah citra yang sangat terdistorsi dan kacau, sehingga negara Khilafah tidak memperlihatkan kecuali sikap anti-gerakan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, baik melalui laporan yang dikirim oleh para walinya di Hijaz, Baghdad atau lainnya …, atau memalui beberapa individu yang tiba ke kota Konstantinopel dengan membawa berita.” (Majallah al-mujtama’, edisi 504, melalui melalui Da’awa al-Munawi’in, hlm. 238 – 239).


*** *** ***


Ini juga merupakan bentuk pendistorsian fakta. Apakah negara Khilafah sebodoh itu hingga tidak mengetahui serangan yang telah sampai ke Baghdad, Damaskus dan Aleppo, sehingga negara Khilafah harus menunggu laporan dari para musafir yang mendistorsi fakta?


Paragraph Keempat dan Terakhir dari Jawaban Situs Islam Sual wa Jawab:


Adapun klaim “Zallum” bahwa dakwah asy-Syaikh salah satu penyebab runtuhnya Khilafah, dan bahwasannya Inggris membantu gerakan Wahabi meruntuhkannya. Maka dalam hal ini, Mahmud Mahdi mengatakan: Orang Istanbul menjawab klaim kontroversi ini. Seharusnya penulis ini mendukung pendapatnya dengan dalil dan bukti. Dahulu kala seorang penyair pernah berkata: “Jika klaim tanpa didukung dengan dalil, maka itu menjadi bukti kebodohannya”.


Padahal sejarah membuktikan bahwa orang-orang Inggris justru sangat menentang dakwah ini sejak berdirinya karena takut akan kebangkitan dunia Islam. (asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Mir’ah asy-Syarq wa al-Gharb, hlm. 240).


Ia mengatakan: Sungguh aneh dan ironis bahwa al-Ustadz ini menuduh gerakan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul wahab sebagai salah satu sebab runtuhnya Khilafah Utsmani, padahal semua tahu bahwa gerakan ini berdiri sekitar tahun 1811 M, sedang Khilafah runtuh sekitar tahun 1922 M. (asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Mir’ah asy-Syarq wa al-Gharb, hlm. 64).


Dan bukti yang menunjukkan Inggris menentang gerakan Wahabi, bahwa mereka mengirim Kapten Forster Sadler untuk mengucapkan selamat pada Ibrahim Pasha atas keberhasilan melawan gerakan Wahabi—selama perang Ibrahim Pasha di Dar’iyyah—dan hal ini juga memperkuat kecenderungan untuk bekerja sama dengan gerakan Inggris guna mengurangi apa yang mereka sebut pembajakan Wahabisme di Teluk Arab.


Bahkan, misi ini jelas menyatakan keinginan untuk membuat kesepakatan antara pemerintah Inggris dan Ibrahim Pasha dengan tujuan menghancurkan gerakan Wahabi sepenuhnya.


Syaikh Muhammad bin Mandzuz an-Nu’mani mengatakan: “Inggris telah memanfaatkan situasi yang berlawanan di India terkait Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sehingga mereka menuduh orang-orang yang menentang dan melawan mereka, yang mereka anggap sebagai ancaman bagi institusinya, dengan tuduhan Wahabisme dan didakwa Wahabi. Bahkan Inggris juga menyebut para ulama Deoband—di India—dengan sebutan Wahabi karena mereka secara terbuka menentang Inggris, dan mempersempit geraknya.” (Di’âyât Muktsifah Dhiddu asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, hlm. 105 – 106)


Dari kutipan beragam tersebut terbongkar kepalsuan dan kecacatan syubhat (ketidakjelasan) selama ini berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang jelas melalui sejumlah risalah asy-Syaikh dan al-Imam, serta karya-karya tulisnya. Juga terbongkar kepalsuan syubhat (ketidakjelasan) berdasarkan fakta-fakta sejarah yang ditulis oleh mereka yang jujur dan adil.” (Da’awa al-Munawi’in, hlm. 239 – 240).


Akhirnya kami menasihati semua orang yang selama ini mulutnya lancang terhadap asy-Syaikh untuk segera menghentikannya, dan bertakwa kepada Allah dalam semua urusannya, semoga Allah menerima taubatnya dan menunjukkannya ke jalan yang lurus.


*** *** ***


Al-Imam al-Allamah asy-Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullâh rahmatan wâsiatan mengatakan dalam kitabnya yang tiada duanya Kaifa Hudimat al-Kilafah: “Semua tahu bahwa kampanye Wahhabi adalah pekerjaan Inggris, karena keluarga Saud adalah antek Inggris. Mereka telah memanfaatkan madzhab Wahabi—yaitu sebuah madzhab Islam, dan pendirinya adalah al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab di antara seorang mujtahid—dimana mereka memanfaatkan madzhab ini dalam aktivitas politik untuk memukul negara Islam, dan membenturkannya dengan madzhab-madzhab lain, agar menimbulkan perang madzhab dalam negara Utsmani, tanpa disadari oleh para pengikut madzhab ini. Akan tetapi hal itu disadari oleh pangeran Saud, dan para Saudisme. Karena hubungan itu bukan antara Inggris dan pemilik madzhab, Muhammad bin Abdul Wahab, namun antara Inggris dan Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud, kemudian antara Inggris dan putranya Saud.


Dia mengatakan: Abdul Aziz, pada tahun 1788 mempersiapkan serangan militer besar-besaran, kemudian menyerang Kuwait, menaklukannya dan menguasainya. Sementara Inggris berusaha untuk mengambil Kuwait dari negara Utsmani, namun Inggris tidak mampu melakukannya. Mengingat negara-negara lain, seperti Jerman, Rusia dan Prancis menentangnya, sementara negara Khilafah melawannya. Sehingga memisahkan Kuwait dari negara Utsmani, lalu maju ke utara untuk melindunginya, guna menarik perhatian negara-negara besar seperti Rusia, Jerman dan Prancis, serta untuk menarik perhatian negara Utsmani.


Sementara ketundukan dan loyalitas keluarga Saud pada Inggris sudah dikenal oleh negara Khilafah dan negara-negara lain, seperti Jerman, Prancis dan Rusia, serta semua tahu bahwa mereka dikendalikan oleh Inggris. Sementara Inggris sendiri tidak menyembunyikan keberpihakannya pada para Saudisme secara internasional, termasuk banyak senjata dan peralatan yang telah sampai pada mereka melalui India, serta uang yang dibutuhkannya untuk perang dan mobilisasi tentara, maka semua itu adalah senjata dan uang dari Inggris. Oleh karena itu, negara-negara Eropa, terutama Prancis menentang kampanye gerakan Wahabi, dan ini dilakukan karena Prancis menganggapnya sebagai kampanye Inggris.


Negara Khilafah telah berusaha untuk memukul gerakan Wahabi, namun tidak mampu menghentikannya. Para walinya di Madinah, Baghdad dan Damaskus sudah tidak berdaya untuk melawannya. Kemudian negara Khilafah meminta walinya di Mesir, Muhammad Ali untuk menyingkirkan tentara mereka. Dalam hal ini, negara Khilafah terlambat, sebab ia telah menjadi antek Prancis. Karena Prancis yang membantunya dalam melakukan kudeta di Mesir dan berhasil merebut kekuasaan. Lalu, memaksa Khilafah untuk mengakuinya. Berdasarkan persetujuan Prancis dan provokasinya, ia memenuhi perintah Sultan pada tahun 1811. Ia pun mengirim putranya, Tusun untuk memerangi mereka. Sehingga terjadi banyak pertempuran antara mereka dan tentara Mesir. Pada tahun 1812, tentara Mesir bisa menaklukkan Madinah. Kemudian pada Agustus 1816, ia mengirim putranya Ibrahim dari Kairo, sehingga gerakan Wahabi benar-benar hancur, sehingga mereka mundur ke ibukota mereka Dir’iyah, dan mereka berlingdung di dalamnya. Ibrahim mengepung mereka pada bulan April, tahu 1818, sepanjang musim panas. Pada tanggal 9 September 1818, gerakan Wahabi menyerah. Tentara Ibrahim benar-benar telah meratakan Dir’iyah dengan tanah. Sehingga dikatakan: “Tentara Ibrahim telah membajaknya dengan bajak sehingga tidak menyisakan apapun”. Dengan demikian, berakhirlah semua upaya Inggris.


Terdapat dalam Mausû’ah Muqâtil min ash-Shahra’: “Hubungan Negara Saudi dengan Syam”.


Sumber-sumber Najd mengatakan bahwa Imam Abdul Aziz bin Muhammad memerintahkan beberapa pasukannya, pada tahun 1208 H/1793 M, untuk pergi ke Dumatul Jandal, di pinggiran Syam, dan memerangi warganya. Hal itu didasarkan informasi bahwa pasukan wali Utsmani ada di Syam. Pada tahun 1212 H/1797 M, Hujailan bin Hamad, pemimpin al-Qashim memimpin tentara rakyat al-Qashim, kemudian menyerang Bawadi asy-Syararat, sehingga banyak tokoh-tokohnya yang terbunuh, serta merampas harta dan barang-barang dalam jumlah besar.


Serangan tersebut untuk memperkuat penyebaran prinsip-prinsip dakwah reformasi di wilayah itu, dan mengambil zakat dari penduduknya. Bahkan serangan itu sampai di Bawadi asy-Syam, pada tahun 1218 M. Dari semua itu dipahami bahwa penduduk Bawadi asy-Syam telah menjadikan loyalitas politik dan agamanya pada Dir’iyah (wilayah kerajaan Arab Saudi), tidak lagi pada wali Syam.


Ketika pengaruh Saudisme telah meliputi negeri Hijaz, maka mereka berada dalam posisi, yang membuatnya berani berhadapan langsung dengan kekuasaan Utsmani. Dan tantangan pertama negara Saudi adalah kepada wali Syam, pada tahun 1.221 H/1.806 M, ketika Imam Saud bin Abdul Aziz melarang Amir al-Haj al-Syami, Abdullah Pasha al-Adhm masuk ke al-Haramain (Makkah dan Madinah) untuk berhaji, karena ia datang membawa gendang dan seruling. Sehingga hampir terjadi bentrokan antara tentara Saudi dan tentara Abdullah Pasha al-Adhm, yang tidak dalam posisi militer (siap perang), yang memungkinkannya untuk bertemu dengan para Saudisme. Akibatnya, Sultan Salim III, memecat Abdullah Pasha al-Adhm, dari jabatannya karena ia tidak berbuat banyak untuk menghadapi pasukan Saudi, dan malah ia pulang kembali tidak berhaji, atas perintah Imam Saud bin Abdul Aziz. Dan menggantinya dengan Yusuf Pasha King. Sultan mengeluarkan perintah tegas kepada Yusuf Pasha King, tentang keharusan memerangi para Saudisme. Namun ia tidak melakukan tindakan positif apapun, justru ia sibuk mengumpulkan uang untuk dirinya sendiri, dan mengulur-ulur misi negara. Dan untuk merespon perintah Sultan, ia cukup dengan mengirimkan rencana perang, yang dianggapnya mampu mewujudkan keinginan Sultan. Yusuf King telah mengusulkan untuk berbagi dua wilayah dengannya, yaitu Mesir dan Baghdad, dalam penyusunan serangan, untuk melakukan misi yang dipercayakan kepadanya.

Sementara itu, Imam Saud bin Abdul Aziz melakukan serangan militer terhadap Syam. Dan ia berhasil mencapai di balik gunung Hermon (jabal al-syaikh). Selanjutnya pasukan Saudi bergerak di dataran Hauran, lalu menyerang benteng al-Mazirib dan Basra.

Imam Saud bin Abdul Aziz mengirim surat pada wali Syam, dan meminta penduduknya untuk menaatinya, serta memeluk prinsip-prinsip dakwah Salafi (lihat: Lampiran contoh-contoh surat Imam Saud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud, dan balasannya). Ia menarik pasukannya dari Syam dengan membahwa banyak harta rampasan perang. Akibatnya, Sultan Mahmud II mengeluarkan perintah pemecatan Yusuf Pasha King, karena ketidakmampuan. Dan diangkatlah Sulaiman Pasha sebagai wali di Syam. Ia diminta untuk menghubungi wali Mesir, Muhammad Ali Pasha, guna mengkoordinasikan upayanya melawan Dir’iyah.


Namun, Sulaiman Pasha dan Muhammad Ali Pasha, tidak menemukan kata sepakat. Jadi, negara masih melihat wali Mesir untuk mewujudkan tujuannya.”


Pertanyaan yang ingin kita sampaikan kepada mereka yang menjawab di situs ini: “Dari mana beberapa suku padang Shara memperoleh uang dan peralatan yang membuatnya mampu dengan serangannya mencapai wilayah-wilayah terpencil dan jauh dari kedudukannya di Najed, menggantikan posisi negara-negara besar yang sedang berkonflik di atasnya, serta menentang para wali negara Utsmani hingga memaksanya untuk meminta bantuan wali Mesir guna menghadapi pasukan bersenjata mereka. Kemudian wali Mesir menyerang mereka dan menghilangkan sumber kerusakan yang terus berusaha untuk memecah tongkat ketaatan dan jamaah kaum Muslim, serta mencerai-beraikan persatuan mereka. Padahal ketika itu, minyak bumi belum ditemukan untuk mendanai berbagai serangan. Juga industri pedang dan baju besi tidak ada di pasar Najed, untuk mempersenjatai tentara agar mampu melancarkan berbagai serangan yang kuat di timur, barat, utara dan selatan! Sungguh tidak diragukan lagi bahwa ia tidak lain adalah tangan-tangan (antek) Inggris!


Amin ar-Raihani dalam kitabya Mulûk al-Arab, hlm. 56, menulis tentang Abdul Aziz Al Saud yang mengatakan: “Orang-orang berpikir bahwa kami menerima sejumlah besar uang dari Inggris. Padahal yang benar, bahwa Inggris tidak membayar kami kecuali sedikit guna mewujudkan sejumlah perbuatan yang kami lakukan untuk kepentingan mereka selama dan setelah perang. Antara kami dan mereka ada perjanjian yang akan kami jaga sekalipun hal itu akan membahayakan diri kami dan kepentingan kami. Inggris berutang pada kami, dan kami tidak meminta selain apa yang menjadi hak bapak dan kakek kami. Agar hal itu diketahui oleh sahabat kami, Inggris.” Sejumlah pemberian itu diakui oleh Pangeran Talal bin Abdul Aziz, dalam sebuah wawancara dengannya di Aljazeera, dalam program “Syâhid ala al-Ashr”.


*Utsman Bakhasy*

Direktur Pusat Media Informasi

Hiz*ut T*hr*r*

Sunday, February 23, 2025

kita berjuang berdasar kapasitas kita masing masing ?

 _Berikut tulisan ust Dwi Condro ketika mengcounter pendapat salah seorang teman yang mengatakan :_


_*kita berjuang berdasar kapasitas kita masing2, jadi silahkan bila ada yang berjuang untuk tegaknya khilafah, dan ada yang berjuang untuk kebaikan yang lain, yang penting fastabiqul khoirot....*_


🔸🔸🔸🔸🔸🔸🔸🔸🔹🔹

Berikut jawbannya 


📌Dalam beramal seharusnya tidak hanya sekedar mendasarkan pada kapasitas kita. 


📌Namun, berdasarkan taklif yang dibebankan Allah kepada kita, yaitu berdasarkan hukum syari’at yang lima:

1⃣ wajib,

2⃣ sunnah, 

3⃣ mubah 

4⃣ makruh 

5⃣ haram. 


📌Dan, untuk mengamalkannya-pun harus mengikuti aulawiyatnya, 


yaitu: 


✅wajib harus didahulukan daripada sunnah;


✅ sunnah didahulukan daripada mubah dan seterusnya.


📌Oleh karenanya, yang harus kita fikirkan adalah bagaimana agar segala kewajiban itu dapat kita amalkan terlebih dahulu.


📌 Sebab, jika ada kewajiban yang masih kita tinggalkan, maka kita akan berdosa dan bisa terancam masuk neraka.


📌Masalahnya, kewajiban itu ada dua, yaitu:


🅰fardhu ‘ain dan 


🅱fardhu kifayah. 


Insya Allah, untuk fardhu ‘ain, kita sudah mampu mengamalkannya. Contohnya, 

📜

perintah Allah dalam QS. 2:183:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ ﴿١٨٣﴾

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa...”.


Namun, bagaimana dengan firman Allah dalam QS. 2: 178:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ﴿١٧٨﴾

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh,...”.


Itu adalah fardhu kifayah yang taklifnya adalah untuk seluruh orang-orang beriman.


✅ Artinya, setiap ada kasus pembunuhan yang tidak dihukum dengan hukum Islam, seluruh orang-orang yang mengaku beriman akan mendapatkan dosa.


📌Yang menjadi masalah, fardhu kifayah itu banyak sekali jumlahnya, masih terbengkalai, tidak diamalkan, karena negara tidak mau menerapkan hukum syari’at.


📌 Setiap hari ada kasus pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, masih banyak yang meninggalkan sholat, puasa, zakat, tidak menutup aurat, dalam berekonomi mayoritas masih bertransaksi dengan bunga/riba, dsb. 


❓Nah, bagaimana fardhu-fardhu kifayah itu dapat digugurkan? Jawabnya hanya satu: jika sudah diamalkan oleh negara. Bagaimana jika negara tidak mau mengamalkan? 


Maka, seluruh rakyatnya akan berdosa, yaitu dosa kifayah.


❓ Pertanyaannya: Mungkinkah kita bisa langsung masuk surga, jika kita masih banyak bergelimpangan dengan dosa-dosa kifayah?


📌Disinilah kita sangat membutuhkan amal yang bisa menggugurkan dosa-dosa kifayah tersebut. Di titik inilah biasanya akan banyak muncul ikhtilaf diantara kita, sehingga masing-masing sudah merasa ikut terlibat dalam perjuangan penegakan Islam.


📌 Terlebih lagi, biasanya kita cenderung enggan untuk berdiskusi dalam masalah ini, dan cenderung sudah cukup hanya dengan saling menghormati, fastabiqul khairat... 


📌ini jelas sikap yang kurang tepat. Justru di titik inilah kita seharusnya sangat serius dalam berdiskusi dan beradu hujjah. Mengapa?


Contoh sederhana: 


jika ada tetangga kita yang meninggal dunia, kemudian jenazahnya kita terlantarkan, tidak ada yang memandikan, mengafani, 

menyolati dan menguburkan.

 Siapa yang berdosa?


 Tentu kaum muslimin akan berdosa. 


Apakah dosa ini bisa dihapuskan dengan memperbanyak amal yang lain, misalnya: banyak berdzikir, beristighfar, bershodaqoh, banyak megajarkan qur’an, mengajak yasinan dsb. 

❓Apakah semua amal itu bisa menggugurkan fardhu kifayah tersebut?


❓ Sementara jenazah itu masih terlantar di sekeliling kita?


Jawabnya: tentu saja tidak bisa. 


❓Sampai kapan?


 📌Sampai jenazah itu dikuburkan dengan sempurna.


 Selama jenazah itu diterlantarkan, jika kita masih beramal dengan amalan yang tidak berhubungan langsung dengan kewajiban tersebut (walaupun amalan itu ada pahalanya), kita akan tetap akan mendapatkan dosa.


 ❓Dosa apa? 


Dosa kifayah.

Pertanyaannya: 


apa amalan yang bisa menggugurkan fardhu kifayah tersebut?


 Jawabnya sangat mudah: 


amalan yang langsung tekait dengan kewajibannya, yaitu mengurus jenazah tersebut. Bagaimana jika kita tidak bisa mengurus jenazah itu sendirian? 


Jawabnya: Kita wajib mengajak/menyeru kepada kaum muslimin agar terlibat langsung untuk mengurus jenazah tersebut. Bukan mengajak beramal yang lain, yaitu: mengajak baca qur’an, wiridan, yasinan, tahlilan dsb, sementara jenazahnya justru tetap diterlantarkan.


Kesimpulannya: 

Jika kewajibannya adalah mengurus jenazah, maka seruannya adalah mengajak untuk mengurus jenazah.


 Maka, jika kewajibannya adalah penerapan hukum syari’ah oleh penguasa, maka seruannya adalah menyeru kepada penguasa agar mau menerapkan syari’ah. Mudah bukan?


Masalah berikutnya: apakah kita bisa menyeru penguasa, jika kita hanya sendirian?


 📌Disinilah kita memerlukan sebuah jamaah, agar seruan kita didengar penguasa. Maka, bergabung dengan jamaah yang amalnya adalah menyeru penguasa agar menerapkan syari’ah dengan institusi khilafah, hukumnya menjadi wajib, sesuai kaidah syara’:


مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلّاَ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Suatu kewajiban yang tidak dapat terlaksana secara sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu manjadi wajib hukumnya”. 

Masalah selanjutnya: Bagaimana jika penguasanya tetap tidak mau menerapkan syari’ah, padahal sudah kita seru/dakwahi terus menerus?


📌 Disinilah kita bisa bersandar kepada dalil “keterpaksaan”, sbb:

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ) سنن ابن ماجه(

“Sesungguhnya Allah telah mengabaikan (mengampuni dosa) atas ummatku dari kesalahan (ketidaksengajaan), lupa dan keterpaksaan atas mereka” (HR. Ibn Hibban dan Ibn Majah).


📌Jika kita sudah berusaha sungguh-sungguh untuk mendakwahi penguasa, namun penguasa tetap enggan menerapkan syari’ah, semoga Allah berkenan mengampuni/menggugurkan dosa-dosa kifayah kita, karena keterpaksaan atas diri kita.


🔸🔸🔸🔸🔹🔹🔸🔸


Copas

Semoga bermanfaat

 


👍 Jadikan Sisa Hidup Untuk memperjuangkan syariat Islam


Tetap semangat😊

Sunday, February 9, 2025

Ilustrasi riba

 Bismillah


 Buat yang masih bingung membedakan antara hutang piutang (qardh) & kerjasama (mudhorobah;musyarokah), silahkan disimak ilustrasi berikut:


💦💦💦💦💦💦💦💦


👳🏽 Gimana kabarnya mbak?

🙎🏻 Sehat dek, alhamdulillah.


👳🏽 Ini saya selain silaturahmi juga ada perlu mbak.

🙎🏻 Apa apa dek...apa yang bisa tak bantu.


👳🏽 Anu..kalau ada uang 20juta saya mau pinjam.

🙎🏻 Dua puluh juta? Banyak sekali. Untuk apa dek?


👳🏽Tambahan modal mbak. Dapat order agak besar, modal saya masih kurang. Bisa bantu mbak?

🙎🏻 Mmm..mau dikembalikan kapan ya?


👳🏽 InsyaAllah dua bulan lagi saya kembalikan.

🙎🏻 Gitu ya. Ini mbak ada sih 20juta. Rencana untuk beli sesuatu. Tapi kalau dua bulan sudah kembali ya gak apa-apa, pakai dulu aja.


👳🏽 Wah, terimakasih mbak.

🙎🏻 Ini nanti mbak dapat bagian dek?


👳🏽 Bagian apa ya mbak?

🙎🏻 Ya kan uangnya untuk usaha, jadi kan ada untungnya tuh. Naa..kalau mbak enggak kasih

pinjem kan ya gak bisa jalan usahamu itu, iya kan?

*tersenyum penuh arti*


👳🏽 Oh, bisa-bisa. Boleh saja kalau mbak pengennya begitu. Nanti saya kasih bagi hasil mbak.

🙎🏻Besarannya bisa kita bicarakan.

Lha, gitu kan enak. Kamu terbantu, mbak juga dapat manfaat.


👳🏽 Tapi akadnya ganti ya mbak. Bukan hutang piutang melainkan kerjasama.

🙎🏻 Iyaa..gak masalah. Sama aja lah itu. Cuman beda istilah doang.


👳🏽Bukan cuma istilah mbak, tapi pelaksanaannya juga beda.

🙎🏻Maksudnya??


👳🏽Jadi gini mbak: kalau akadnya hutang, maka jika usaha saya lancar atau tidak lancar ya saya

tetap wajib mengembalikan uang 20juta itu. Tapi jika akadnya kerjasama, maka kalau usaha

saya lancar, mbak akan dapat bagian laba. Namun sebaliknya, jika usaha tidak lancar atau

merugi maka mbak juga turut menanggung resiko. Bisa berupa kerugian materi→uangnya

tidak bisa saya kembalikan, atau rugi waktu→ kembali tapi lama.


🙎🏻Waduh, kalau gitu ya mending uangnya saya deposito kan tho dek: gak ada resiko apa2, uang

utuh, dapat bunga pula.


👳🏽Itulah riba mbak. Salah satu ciri2nya tidak ada resiko dan PASTI untung.


🙎🏻Tapi kalau uangku dipinjam si A untuk usaha ya biasanya aku dapet bagi hasil kok dek. 2% tiap

bulan. Jadi kalau dia pinjam 10juta selama dua bulan, maka dua bulan kemudian uangku

kembali 10juta+400ribu.


👳🏽Itu juga riba mbak. Persentase bagi hasil ngitungnya dari laba, bukan berdasar modal yang disertakan.Kalau berdasar modal kan mbak gak tau apakah dia beneran untung atau tidak.


Dan disini selaku investor berarti mbak tidak menanggung resiko apapun donk. Mau dia untung atau rugi mbak tetep dapet 2%. Lalu apa bedanya sama deposito?


🙎🏻Dia ikhlas lho dek, mbak gak matok harus sekian persen gitu kok.


👳🏽Meski ikhlas atau saling ridho kalau tidak sesuai syariat ya dosa mbak.


🙎🏻Waduh...syariat kok ribet bener ya.


👳🏽Ya karena kita sudah terlanjur terbiasa dengan yang keliru mbak. Memang butuh perjuangan untuk mengikuti aturan yang benar. Banyak kalau tidak berkah bikin penyakit lho mbak.hehe.


🙎🏻Hmmm...ya sudah, ini 20juta nya hutang aja. Mbak gak siap dengan resiko kerjasama. Nanti dikembalikan dalam dua bulan yaa.


👳🏽Iya mbak. Terimakasih banyak mbak. Meski tidak mendapat hasil berupa materi tapi insyaAllah

mbak tetap ada hasil berupa pahala.

Amiiin..


▶▶▶▶▶▶


Kl cuma bicara anti riba.... burung beopun juga bisa.


Kl cuma diskusi masalh ekonomi umat... ngbrol sama balita yg baru belajar bicara jauh lebih menarik.


Ayuuu hidupkan ekonomi mikro.. berikan pancingan bukan ikan.


investasi dunia akhirat


Notes : perhatikan dlm bisnis akad kerjasama kah?? Atau akad peminjaman uang.. ini 2 hukum islam yg berbeda dn efeknya pun di dunia dan akhirat juga berbeda.


“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)


Sebenarnya apa sih tujuan islam melarang riba? Seharusnya khan asal saling sepakat, saling rela, tidak kena dosa?


Hukum islam itu dibuat untuk mengatur agar manusia mendapatkan kemaslahatan sebesar-besarnya tanpa manusia merugikan siapapun sekecil-kecilnya. 


Mari kita bahas contoh LABA dan RIBA agar anda mudah untuk memahami dengan bahasa yang umum:


1. Saya membeli sebuah sepeda motor Rp. 10 Juta dan saya hendak menjual dengan mengambil untung dengan bunga 1% perbulan untuk jangka waktu pembayaran 1 tahun.

Transaksi seperti ini tergolong transaksi RIBAWI.


2. Saya membeli sepeda motor Rp. 10 juta, dan saya hendak menjual secara kredit selama setahun dengan harga Rp. 11.200.000,-. Transaksi ini termasuk transaksi SYARIAH.


Apa bedanya? Khan kalau dihitung2 ketemunya sama Untungnya Rp. 1.200.000?


📝


Mari kita bahas kenapa transaksi pertama riba dan transaksi kedua syar'i.


*TRANSAKSI PERTAMA RIBA,* karena:


1. Tidak ada kepastian harga, karena menggunakan sistem bunga. Misal dalam contoh diatas, bunga 1% perbulan. Jadi ketika dicicilnya disiplin memang ketemunya untungnya adalah Rp. 1.200.000,-. Tapi coba kalau ternyata terjadi keterlambatan pembayaran, misal ternyata anda baru bisa melunasi setelah 15 bulan, maka anda terkena bunganya menjadi 15% alias labanya bertambah menjadi Rp. 1.500.000,-. 


Jadi semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang, semakin besar yang harus kita bayarkan. 


Bahkan tidak jarang berbagai lembaga leasing ada yang menambahi embel2 DENDA dan BIAYA ADMINISTRASI, maka semakin riba yang kita bayarkan. Belum lagi ada juga yang menerapkan bunga yang tidak terbayar terakumulasi dan bunga ini akhirnya juga berbunga lagi.


2. Sistem riba seperti diatas jelas2 sistem yang menjamin penjual pasti untung dengan merugikan hak dari si pembeli. Padahal namanya bisnis, harus siap untung dan siap rugi.


*TRANSAKSI KEDUA SYARIAH,* karena:


1. Sudah terjadi akad yang jelas, harga yang jelas dan pasti. Misal pada contoh sudah disepakati harga Rp. 11.200.000,- untuk diangsur selama 12 bulan. 


2. Misal ternyata si pembeli baru mampu melunasi utangnya pada bulan ke-15, maka harga yang dibayarkan juga masih tetap Rp. 11.200.000,- tidak boleh ditambah. Apalagi diistilahkan biaya administrasi dan denda, ini menjadi tidak diperbolehkan. 


Kalau begitu, si penjual jadi rugi waktu dong? Iya, bisnis itu memang harus siap untung siap rugi. Tidak boleh kita pasti untung dan orang lain yang merasakan kerugian. 


Nah, ternyata sistem islam itu untuk melindungi semuanya, harus sama hak dan kewajiban antara si pembeli dan si penjual. Sama-sama bisa untung, sama-sama bisa rugi. Jadi kedudukan mereka setara. Bayangkan dengan sistem ribawi, kita sebagai pembeli ada pada posisi yang sangat lemah. 


Nah, sudah lebih paham hikmahnya Alloh melarang RIBA?


Kalau menurut anda informasi ini akan bermanfaat untuk anda dan orang lain, silakan share status ini, untuk menebar kebaikan. 


Semoga bermanfaat

Aamiin

Friday, December 6, 2024

LEMAHKAH HADITS-HADITS TENTANG PANJI RASULULLAH. SAW

 LEMAHKAH HADITS-HADITS TENTANG PANJI RASULULLAH. SAW?...


Oleh:KH.Hafidz Abdurrahman


Soal: Benarkah hadis-hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ itu lemah? Benarkah hadis-hadis tentang keduanya merupakan rekaan Hizbut Tahrir? Mohon penjelasan!


Jawab:


Jika ada yang menuduh bahwa hadis-hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ itu lemah, apalagi kemudian menuduh bahwa itu merupakan rekaan Hizbut Tahrir, maka tuduhan itu jelas bukan dari orang yang mengerti hadis; jika tidak boleh disebut bodoh tentang ilmu hadis. Mengapa?


Pertama: Karena terdapat banyak hadis sahih, atau minimal hasan, yang menyebutkan bahwa Rayah (Panji) Rasul itu berwarna hitam dan Liwa’ (Bendera)-nya berwarna putih. Contohnya hadis berikut:


عَنْ ابنِ عَبَّاسِ قَالَ كاَنَتْ رَايَةَ رَسُوْلُ اللَّهِ صل الله عليه وسلم سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ


Ibn ‘Abbas berkata, “Rayah Rasulullah saw. itu berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih.” (HR at-Tirmidizi).


Dalam hadis lain dinyatakan:


عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ


Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. telah memasuki Kota Makkah, sedangkan Liwa’ [bendera]-nya berwarna putih (HR an-Nasa’i).


Hadis di atas, selain diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, at-Thabarani, Ibnu Abi Syibah dan Abu Ya’la. Hadis-hadis ini statusnya sahih. Dengan jelas, dinyatakan bahwa warna Ar-Rayah adalah hitam dan Al-Liwa’ adalah putih. At-Tirmidzi memberikan catatan untuk hadis yang dia riwayatkan, “Ini adalah hadis hasan gharîb dari arah ini, dari hadis Ibn ‘Abbas.”


Hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak kitab hadis. Semuanya berujung pada jalur sahabat Jabir dan Ibnu ‘Abbas ra.


Karena itu mengatakan bahwa panji dan bendera Rasulullah saw. yang dikampanyekan oleh HTI adalah rekaan semata justru merupakan tuduhan bodoh. Bisa karena bodoh tentang hadis-hadis tersebut atau bodoh tentang ilmu hadis. Jika orang tersebut paham hadis dan ilmu hadis, maka tuduhan seperti itu justru menunjukkan pengingkaran orang itu terhadap hadis-hadis tersebut, atau tuduhan palsu kepada Rasulullah saw. Ini tentu lebih parah lagi.


Para ulama pun sudah membahas hal ini ketika menjelaskan hadis-hadis di atas dalam kitab syarah dan takhrij-nya. Sebut saja, seperti ‘Ala’uddin al-Hindi dalam Kanz al-‘Ummâl, al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id, Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, al-Abadi dalam Tuhfah al-Ahwadzi, dan lain-lain.


Selain itu banyak hadis sahih lain yang berbicara terkait dengan Ar-Rayah dan Ar-Liwa, antara lain:


قَالَ النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَ خَيْبَرَ (لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَة غَدًا  رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ)


Nabi saw. berdabda saat Perang Khaibar, “Sungguh besok aku akan memberikan Rayah [panji] ini kepada seorang kesatria yang melalui kedua tangannya, akan diberi kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, juga dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).


Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hiban, al-Baihaqi, Abu Dawud Thayalisi, Abu Ya’la, an-Nasa’i, at-Thabarani, dan lain-lain.


Kedua: Memang ada beberapa hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ dengan status hadis yang dipersoalkan oleh para ulama, seperti hadis dari Harits bin Hassan al-Bakri yang berkata, “Kami telah tiba di Madinah. Ketika itu Rasulullah saw. sedang berada di atas mimbar, sementara Bilal berdiri di depan bbeliau bersandar pada pedang di depan beliau. Si sana ternyata ada beberapa Rayah [panji] yang berwarna hitam. Aku bertanya, ‘Ini panji-panji apa?’ Mereka menjawab, ‘Panji ‘Amru bin al-‘Ash. Dia baru tiba dari peperangan.’” (HR Ahmad).


Mengomentari hadis ini, Syaikh Syu’aib al-Arnauth memberikan catatan, “Isnad-nya lemah, karena ‘Ashim bin Abi Nujud tidak pernah bertemu dengan Harits bin Hassan.”


Demikian juga dengan hadis dari Ibn ‘Abbas yang berkata, “Rayah [panji] Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih. Di atasnya tertulis Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh.”


Di sana ada rawi bernama Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj bin Risydin bin Sa’ad bin Muflih bin Hilal. Dialah yang disebut sebagai tertuduh melakukan pemalsuan.


Ketiga: Terkait hadis-hadis yang di dalamnya ada lafal berikut:


مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ


“Di atasnya tertulis Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh.”


Apakah semuanya berstatus lemah? Nanti dulu. Jika hanya satu hadis dan satu jalur seperti itu kemudian divonis lemah, maka vonis seperti hanya lahir dari orang yang bodoh tentang hadis, atau ilmu hadits. Pasalnya, hadis-hadis seperti ini banyak, tidak hanya satu. Jika ada satu yang lemah, tidak serta-merta semuanya. Ini karena dalam ilmu hadis dikenal syawâhid, yang bisa menguatkan status hadis lain.


Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahani dalam kitab Akhlâq an-Nabi saw. dari Ibnu ‘Abbas statusnya jelas sahih. Adapun jalur lain dari Abu Hurairah memang lemah karena ada rawi bernama Muhammad bin Abi Humaid yang dinyatakan munkar oleh al-Bukhari, dinyatakan tidak tsiqah oleh an-Nasa’i, dan tidak ditulis hadisnya oleh  Ibnu Ma’in. Namun, hadis dari jalur Ibnu ‘Abbas, semua rawinya dapat diterima.


Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’îf karena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady). Namun, Ibnu Hibban menempatkannya dalam kitabnya, Ats-Tsiqqât; Abu Hatim mengatakan Shadûq; Abu Bakar al-Bazzar mengatakan Masyhur “Laysa bihi Ba’sa”. Karena itu, status Tafarrud-nya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadaratkan hadis karena keadaannya tsiqah atau shadâq (lihat: Muqaddimah Ibn Shalah).


Demikian juga ikhtilâth antara nama Hayyan bin Ubaidillah dan Haban bin Yassar  sudah dijelaskan oleh para ulama, seperti dalam Târîkh al-Kabîr, Tahdzîb al-Kamal, Al-Kâmil fî adz-Dhu’afâ’, Mîzan al-I’tidâl, dan lain-lain. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilâth Hayyan bin Ubaidillah bisa dijelaskan dalam tulisan khusus. Jadi, kesimpulannya, hadis dari Abu Syaikh dari jalur Ibnu Abbas jelas selamat.


Apalagi kalimat Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâhmerupakan ‘alamah (identitas) utama dalam Islam. Kalimat tersebut merupakan kalimat tauhid, yang dinyatakan dalam kesaksian seseorang ketika menjadi Muslim, dan dinyatakan setiap kali shalat.


Jadi, jika ada yang mengatakan, “Secara umum hadis-hadis yang menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidak berkualitas sahih” adalah tuduhan orang yang tidak paham hadis; tidak paham ilmu hadits. Kalaupun paham keduanya, tuduhan itu justru menunjukkan pengingkarannya terhadap hadis, bahkan tuduhan bohong kepada Nabi saw.


Keempat: Soal warna, hadis-hadis sahih menyebutkan bahwa warna Ar-Rayah adalah hitam dan Al-Liwa’ adalah putih sudah jelas. Adapun hadis-hadis yang menyebutkan warna lain seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’îf, dan penggunaannya bersifat temporer, tidak terus-menerus.


Hadis riwayat Imam Abu Dawud, yang juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Adi, menyebutkan bahwa rayah Nabi adalah kuning. Menurut penulis kitab Al-Badr al-Munîr, isnad-nya majhûl [tidak jelas].


Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan Abu Nu’aim al-Ashbahani. Hadis ini lemah karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Saad yang dinyatakan tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut adz-Dzahabi.


Demikian juga hadits dalam riwayat ath-Thabarani menyebutkan bahwa warna Rayah Nabi saw. adalah merah. Hadis ini pun lemah karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu Hajar.


Terakhir, hadis riwayat Ibnu Hibban, Ahmad dan Abu Ya’la yang juga menyebutkan Ar-Rayah berwarna merah dan statusnya sahih, kejadiannya bersifat temporer, dan itu pada awal-awal urusan ini ketika pada masa Jahiliah, juga awalnya menggunakan Ar-Rayah warna hitam.


Poin-poin di atas semuanya terkait dengan hadis dan ilmu hadis. Selain itu, menentukan status bendera tersebut ada atau tidak, wajib atau tidak, ini merupakan masalah yang terkait dengan disiplin ilmu lain, yaitu Ushul Fiqih.


Keenam: Dalam kajian Ushul Fiqih, dikenal adanya qarînah, antara lain, bisa disebut qarînah mudâwamah[indikasi penggunaan atau dilakukan terus-menerus]. Sebagai contoh, tartib [urut-urutan] dalam rukun wudhu, shalat, haji dan umrah, misalnya, oleh mazhab Syafii dimasukkan sebagai perkara yang wajib, dan tidak boleh ditinggalkan. Pertanyaannya, dari mana Imam Syafii menetapkan semuanya itu sebagai rukun yang wajib dikerjakan? Jawabannya: dari qarînah mudâwamah. Pasalnya, Nabi saw. tidak pernah berwudhu, shalat, haji dan umrah, kecuali dengan urut-urutan seperti itu. Hal itu dilakukan terus-menerus, tidak pernah diselisihi. Alhasil, tindakan Nabi saw. yang terus-menerus dan tidak pernah menyelisihi itu sudah cukup menjadi qarînah, bahwa status perkara ini wajib.


Jika logika yang sama digunakan dalam kasus Ar-Rayah dan Al-Liwa’ tersebut, maka penggunaan Nabi saw. atas keduanya secara terus-menerus menunjukkan bahwa hukum menggunakan keduanya juga wajib. Kesimpulan ini ditarik dengan menggunakan logika dan kaidah Ushul Fiqih Imam Syafii. Jadi, aneh, kalau ada yang mengklaim sebagai pengikut mazhab Syafii, tetapi menolak hukum Ar-Rayah dan Al-Liwa’ ini.


WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Thursday, November 28, 2024

KHILAFAH WARISAN RASULULLAH

 *KHILAFAH WARISAN RASULULLAH*


_Jawaban cerdas ustadz Irfan Abu Naveed atas Argumen Prematur bin Keliru Makmun Rasyid._

Itu asumsi prematur, sama prematurnya dengan kegagalan anak muda ini dalam memahami maqalah ulama soal definisi Khilafah.


Qultu :

Orang yang selama ini membanggakan hermeneutika kok mendadak menjadi penganut tekstualis fatalistis ya ?

Yuk ngaji : Kalau paham bahasa Arab, seharusnya mudah memahami alur sederhana ini :

Nabi ﷺ memang tidak menyebut negara yang pertama di bangun, al-Daulah al-Islamiyyah al-Ula sebagai KHILAFAH, kenapa ?


Karena lafal Khilafah secara bahasa bermakna PENGGANTI, dari kata khalafa, bisa dirujuk dalam kamus arabiyyah, sebagaimana ia pun disifati oleh al-Qadhi al-Mawardi al-Syafi'i sebagai pengganti kenabian dalam mengatur urusan umat :

الْإِمَامَةُ: مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

"Al-Imâmah : pembahasan terkait khilâfat al-nubuwwah (pengganti kenabian) dalam memelihara urusan Din ini dan mengatur urusan dunia (dengannya)."


Kata kuncinya adalah PENGGANTI KENABIAN, lah, kalau posisi negara tersebut adalah negara pertama, logika sederhananya begini, terus negara tersebut menggantikan yang mana ? 


Pada saat yang sama, kalau kajiannya lebih mendalam, tidak prematur dan sepotong-sepotong, niscaya sampai pada hadits-hadits ini :

Dari Abu Hurairah r.a., Nabi Muhammad ﷺ bersabda :

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»

“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada Nabi setelah-Ku dan akan ada para Khalîfah yang banyak.” 

(HR. Al-Bukhari dan Muslim. Lafal al-Bukhârî)


Logika bahasa : 

Khulafa' adalah jamak dari Khalifah, para Khalifah dalam hadits ini adalah pengganti kenabian dari sisi apa ?, pengganti Nabi ﷺ sebagai Nabi atau pengganti Nabi ﷺ sebagai pemimpin politik umat ? 


Jelas terjawab dalam kalimat "لَا نَبِيَّ بَعْدِي", artinya pengganti Nabi ﷺ sebagai pemimpin umat.

Memimpin umat itu tentu membutuhkan sistem kepemimpinan, kalau setingkat RT namanya sistem ke-RT-an, kalau setingkat negara namanya SISTEM PEMERINTAHAN, betul tidak ? 


Mudah dipahami bukan ?


Nah, Sistem Pemerintahan warisan Nabi ﷺ ini dinamakan KHILAFAH, siapa yang bilang begitu? Bukan saya, melainkan Nabi ﷺ dalam haditsnya yang mulia :

«ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»

“Kemudian akan tegak Khilafah di atas manhaj kenabian.” 

(HR. Ahmad, Al-Bazzar)


Kalimat Khilafatan 'ala Minhaj al-Nubuwwah itu artinya apa ? 

Apakah Demokrasi manhaj warisan Montesque ? 

Kejauhan, jelas manhaj yang berdiri tegak di atas manhaj Nabi ﷺ dalam mengelola pemerintahan yang mengatur urusan umat. 

Nah, kalimat "'ala minhaj al-nubuwwah" dalam hadits di atas itu merupakan syibh al-jumlah yang jelasnya menjadi sifat dari Khilafah, apa dalilnya ? 


Kaidah bahasa Arab : "الجمل بعد النكرات صفات". 

Kata siapa ? 

Siapa yang menyifati ? 

Ya jelas Rasulullah ﷺ, kalau Khilafah artinya "pengganti kenabian dalam urusan pemerintahan, pengaturan umat", sedangkan "manhaj al-nubuwwah" artinya manhaj Rasulullah ﷺ, artinya ada dong yang namanya Khilafah warisan Rasulullah ﷺ ? 


Sistem pemerintahan warisan Rasulullah ﷺ ?

Masih kurang ?

Dari Safinah r.a. ia berkata : 

Rasulullah ﷺ bersabda :

«خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُونَ سَنَةً»

“Khilafah Nubuwwah itu tiga puluh tahun.” 

(HR. Abu Dawud, Al-Thabarani) 


Terus kalau ada yang bilang hadits-hadits di atas cuma hadits-hadits khabar, bagaimana ?

Qultu : Itu potret orang yang ngaji balaghah dan ushul-nya sepotong-sepotong, khabar di atas jelas mengandung pujian (madh) pada kedudukan Khilafah dalam Islam, makanya dibedakan dengan istilah mulkan dan digambarkan dalam hadits 'ala minhaj al-nubuwwah dengan penyifatan al-nubuwwah dan dalam hadits "Khilafat al-nubuwwah" lafal Khilafah bahkan diatutkan secara tegas (bi al-idhafah) pada lafal al-nubuwwah. 


Makanya heran saja kalau masih ada oknum yang mencitra burukkan Khilafah sedemikian rupa, padahal Nabi ﷺ menempatkan istilah Khilafah pada tempat yang mulia, apa tak takut azab neraka ?

Khilafah nubuwwah era pertama itu era Khilafah nya siapa ? 


Era Khilafah nya al-Khulafa' al-Rasyidun yang empat, baca kitab para ulama dan perhatikan perintah (amr) dari Al-’Irbadh bin Sariyah r.a ia berkata : 

Rasulullah ﷺ bersabda :

«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»

“Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah al-rasyidin al-mahdiyyin (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian (hal tersebut) dengan geraham yang kuat.” 

(HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)


Kata siapa hadits di atas hadits perintah ? 

Yuk ngaji : lafal 'alaykum itu dalam bahasa Arab (ilmu sharf) termasuk ism fi'l al-amr, artinya kata benda yang berkonotasi kata kerja perintah, nah, dalam ilmu ushul fiqh, jelas termasuk shiyagh al-amr, yang mengandung tuntutan (thalab), thalab dari siapa ? 


Baginda Rasulullah ﷺ, artinya jelas ya, ADA KHILAFAH WARISAN RASULULLAH ﷺ.

Friday, November 22, 2024

HARAM MEMALAK RAKYAT DENGAN ANEKA PAJAK

 *HARAM MEMALAK RAKYAT DENGAN ANEKA PAJAK*


Buletin Kaffah Edisi 370 (20 Jumada al-Ula 1446 H/22 November 2024 M)


Keputusan Pemerintah untuk tetap memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai Januari 2025 terus menuai kritik. Dalam kondisi ekonomi yang masih berat, kebijakan ini dinilai sebagai beban tambahan bagi masyarakat. Pasalnya, sejak pandemi COVID-19 hingga saat ini, perlambatan ekonomi global telah menyebabkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Di Indonesia, menurut laporan Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang Januari-Agustus 2024 saja terdapat 46.240 pekerja di-PHK (Satudata.kemnaker.go.id, 20/9/2024). 


Selain itu telah terjadi penurunan daya beli masyarakat, apalagi dalam beberapa bulan terakhir ini (Tempo.co, 17/10/2024). 


*Zalim!*


Dalam sistem Kapitalisme pajak digunakan untuk menutupi defisit anggaran akibat sistem ekonomi berbasis utang. Akibatnya, rakyat terus dipalak melalui berbagai pungutan/pajak, termasuk PPN yang bersifat regresif, yakni membebani semua kalangan, termasuk golongan berpenghasilan rendah. Hal ini pun dilakukan secara terus-menerus.


Tentu kebijakan pajak ini, apalagi di tengah kesulitan rakyat, sangatlah zalim. Kezaliman, khususnya terkait harta, apalagi yang dilakukan oleh penguasa terhadap ratusan juta rakyatnya, jelas haram. Allah SWT berfirman:


وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ


Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil (TQS al-Baqarah [2]: 188).


Imam Ibnu Katsir rahimahulLâh menjelaskan bahwa ayat ini melarang segala bentuk kezaliman dan perampasan hak milik (harta), apalagi yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/521).


Rasulullah saw. juga telah bersabda:


مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ


Tidaklah seorang hamba yang telah Allah beri amanah untuk mengurus urusan rakyatnya, lalu dia mati dalam keadaan memperdaya rakyatnya, kecuali dia tidak akan mencium bau surga (HR al-Bukhari dan Muslim).


Rasulullah saw. pun bersabda:


لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ


Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai) (HR Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim).


Selain itu, dalam ajaran Islam, penguasa adalah pelayan/pengurus rakyat. Pengurus rakyat tentu tidak pantas memalak rakyatnya dengan aneka pajak. Rasulullah saw. bersabda:


الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ


Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).


*Membangun Negara Tanpa Pajak*


Solusi untuk mengatasi kezaliman pajak adalah kembali pada syariah Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islam) yang menerapkan syariah Islam secara kâffah, perekonomian negara pun diatur dengan hukum-hukum Islam, termasuk dalam pengelolaan APBN, baik terkait pemasukan maupun pengeluarannya.


Menurut Syaikh Abdul Zallum (2003), terkait pemasukan dalam APBN Khilafah Islam, ada 12 kategori. Di antaranya pemasukan dari: harta rampasan perang (anfâl, ghanîmah, fai dan khumûs); pungutan dari tanah kharaj; pungutan dari non-Muslim (jizyah); harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri ('usyr); harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; zakat; dst (Syaikh Abdul Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 30).


Dari penjelasan di atas, salah satu sumber terbesar dalam APBN Khilafah Islam adalah harta milik umum (milkiyyah ‘âmah). Terkait harta milik umum ini Rasulullah saw. bersabda:


النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: الْمَاءِ، وَالْكَلَأِ، وَالنَّارِ


Manusia berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api (energi) (HR Abu Dawud).


Dalam hadis lainnya, sebagaimana penuturan Abyadh bin Hammal ra., disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah menarik (mengambil) kembali tambang garam yang semula sempat beliau berikan kepada Abyadh ra. Tindakan beliau ini dilakukan setelah beliau diberi tahu oleh para Sahabat tentang betapa melimpahnya tambang garam tersebut (menyerupai "al-mâ‘u al-‘iddu" [air yang terus mengalir tanpa henti]) (HR Ibnu Majah). 


Dari kedua hadis ini para ulama menyimpulkan bahwa semua sumber daya alam, di antaranya tambang, yang depositnya melimpah, adalah milik umum. Harta milik umum ini wajib dikelola oleh Negara. Semua hasilnya lalu diberikan kepada seluruh rakyat, langsung ataupun tidak langsung. Harta milik umum ini haram diserahkan kepada individu/swasta apalagi dikuasai oleh pihak asing sebagaimana yang terjadi selama ini (Lihat: Syaikh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 48-66). 


Dalam konteks Indonesia, harta milik umum dapat memberikan penerimaan besar jika Negara bisa meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut secara optimal. Sebagai contoh, minyak mentah dapat meningkat nilainya hingga lebih dari 10-25 kali lipat jika diolah menjadi produk-produk industri petrokimia, seperti polyethylene yang menjadi bahan baku kemasan, botol, pipa dan kabel. Bijih nikel (0,9-1,8%) seharga USD 30,5 per ton, jika diolah menjadi High-Purity Nickel (99,9) seharga USD 24,293, dapat meningkatkan nilainya menjadi 796 kali lipat (Shanghai Metal Market. https://price.metal.com/Nickel. 16 Juli 2023).


Menurut Ekonom Muslim, Muhammad Ishak (2024), potensi pendapatan Negara dari kekayaan sumber daya alam negeri ini adalah sebagai berikut:


Pertama: Minyak Mentah. Dengan produksi 223,5 juta barel, harga rata-rata USD 97 perbarel, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 183 triliun.


Kedua: Gas Alam. Dengan produksi 2,5 miliar MMBTU, harga rata-rata USD 6,4 per MMBTU, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 136 triliun.


Ketiga: Batubara. Dengan produksi 687 juta ton, harga rata-rata 345 per ton, dan nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 57,4% maka laba yang diperoleh sebesar Rp 2.002 triliun.

 

Keempat: Emas. Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD 63,5 juta per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 29 triliun.


Kelima: Tembaga. Dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD 8.822 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 159 triliun.


Keenam: Nikel. Dengan produksi bijih nikel yang setara dengan 1,8 juta ton nikel, harga rata-rata USD 2.583 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 26,6%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 189 triliun.


Ketujuh: Hutan. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup (2022), luas hutan di Indonesia mencapai 120,26 juta hektar. Menurut perhitungan Prof. Dr. Ing. Amhar (2010), dengan asumsi luas hutan 100 juta hektar dan untuk menjaga kelestariannya dengan siklus 20 tahun, maka hanya 5% dari tanaman yang dipanen setiap tahunnya. Jika dalam 1 hektar hutan, setidaknya terdapat 400 pohon, artinya hanya 20 pohon per hektar yang ditebang setiap tahunnya. Jika nilai pasar kayu dari pohon berusia 20 tahun adalah Rp 2 juta dan keuntungan bersihnya Rp 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan tersebut adalah 100 juta hektar x 20 pohon perhektar x Rp 1 juta perpohon = Rp 2.000 Triliun. Namun, dengan mempertimbangkan deforestasi dan illegal logging, ia memperkirakan bahwa Rp 1.000 triliun dapat diperoleh setiap tahunnya (Lihat: www.fahmiamhar.com/2010/04/mencoba-meramu-apbn-syariah.html).


Kedelapan: Kelautan. Dengan luas wilayah Indonesia yang 75% merupakan laut, potensi ekonomi berbasis sektor kelautan (blue economy) sangat besar. Beberapa sumber pendapatan kelautan dan perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti perikanan tangkap, budidaya, pengolahan hasil perikanan, bioteknologi kelautan, serta industri dan jasa maritim. Potensi pendapatan juga diperoleh dari energi dan mineral, pariwisata bahari, transportasi laut, dan coastal forestry. Kepala Bappenas memperkirakan nilai tambah ekonomi berbasis perairan atau ekonomi biru akan mencapai US$ 30 triliun pada 2030. Menurut perhitungan Dahuri (2018) sumber-sumber tersebut dapat menghasilkan pendapatan pertahun sebesar USD 1,33 triliun pertahun. Nilai itu setara dengan Rp 20.795 triliun dengan kurs 15.600/USD. Jika 10% dari potensi itu dapat dikelola oleh perusahaan Negara maka potensi penerimaannya mencapai Rp 2.079 triliun. Jika diasumsikan harga pokok produksi mencapai 50%, maka laba dari sektor kelautan yang masuk ke APBN mencapai sekitar Rp. 1.040 triliun. 


Berdasarkan perhitungan atas beberapa sumber penerimaan APBN di atas, maka potensi pendapatan dari delapan harta milik umum saja (batubara, minyak mentah, gas, emas, tembaga, nikel, hutan dan laut) dapat diperoleh laba sebesar Rp 5.510 triliun (melebihi kebutuhan APBN yang hanya sekitar Rp 3.000 triliun. Padahal masih ada 12 sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar. Dengan itu tentu Negara tak perlu memungut pajak dari rakyat ataupun berutang ke luar negeri. Syaratnya satu: semua itu harus dikelola berdasarkan ketentuan syariah Islam (Lihat: Muis, Al-Waie, Edisi Maret 2024).


*Khatimah*


Alhasil, umat dan bangsa ini harus benar-benar kembali pada syariah Islam dalam semua aspek kehidupan. Termasuk dalam mengelola perekonomian, di antaranya dalam pengelolaan APBN-nya. Selain karena kewajiban dari Allah SWT dan Rasul-Nya, menegakkan sistem Islam bukanlah utopia. Sejarah mencatat bagaimana Khilafah Islam selama lebih dari 13 abad berhasil menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya tanpa memalak mereka dengan aneka pajak yang menyengsarakan. 


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


Hikmah:


Rasulullah saw. bersabda:


أَلاَّ، مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَدًا، أَوِ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ، فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Siapa saja yang menzalimi seseorang yang terikat perjanjian (mu’âhad), atau mengurangi haknya, atau membebani dia di luar kemampuannya, atau mengambil sesuatu dari dirinya tanpa kerelaannya, maka aku akan menjadi lawannya pada Hari Kiamat. (HR Abu Dawud dan an-Nasa'i). []

Monday, November 18, 2024

MENDISKUSIKAN SISTEM EKONOMI ISLAM

 *MENDISKUSIKAN SISTEM EKONOMI ISLAM*


Menurut al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, ekonomi secara istilah adalah:


تدبير شؤون المال، إمّا بتكثيره وتأمينِ إيجاده، ويبحث فيه علم الاقتصاد، وإمّا بكيفية توزيعه، ويبحث فيه النظام الاقتصادي


Kegiatan mengatur urusan harta kekayaan, baik yang menyangkut kegiatan memperbanyak jumlah kekayaan serta menjamin pengadaannya, yang biasanya dibahas dalam ilmu ekonomi; maupun berhubungan dengan mekanisme pendistribusian harta kekayaan, yang biasanya dibahas dalam sistem ekonomi. 


Dari definisi ini nampak jelas perbedaan antara ilmu ekonomi dan sistem ekonomi, meski dua-duanya membahas topik yang serupa, yakni tentang ekonomi. Ilmu ekonomi adalah ilmu yang membicarakan produksi dan peningkatan kualitas produksi, atau penciptaan sarana produksi dan peningkatan kualitasnya, yang artinya ilmu ekonomi bersifat universal, sebagaimana sains dan teknologi, tidak terpengaruh pandangan hidup tertentu.


Sedangkan, sistem ekonomi adalah pandangan, hukum atau paradigma yang membahas seputar distribusi kekayaan, pemilikan, serta bagaimana pengelolaannya; artinya sistem ekonomi bersifat spesifik, sebagai mana sebuah tsaqafah, dia tidak bebas nilai, karena terpengaruh akidah atau pandangan hidup tertentu. 


Konsekuensinya, ilmu ekonomi bisa diambil oleh kaum muslim atau diserahkan kepada inovasi manusia, sedangkan untuk sistem ekonomi, kaum muslim hanya boleh menggunakan sistem ekonomi Islam, yang dibanguan berdasarkan akidah Islam. Adapun sistem ekonomi yang lain, misal: Kapitalisme dan Sosialisme, tidak bisa diambil dan diamalkan karena bertentangan dengan akidah Islam secara fundamental.


*Akidah Islam Landasan Sistem Ekonomi*


Sistem ekonomi Islam dibangun berdasarkan akidah Islam, seorang muslim meyakini bahwa Allah swt pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan, beserta hubungan semuanya itu dengan kehidupan sekarang maupun dengan kehidupan yang akan datang (akhirat dan hisab). Dengan keyakinannya ini, seorang muslim menyadari dia mesti terikat dengan hukum Allah swt, karena dia memahami segala perbuatannya, termasuk aktivitas dan kebijakannya dalam bidang ekonomi, pasti akan dimintai pertanggung-jawaban oleh Allah swt (lihat: QS. Al-Hijr: 92-93; QS. Yunûs: 61).


Dengan demikian, seorang muslim sebelum melakukan sebuah perbuatan atau tindakan, baik dalam bidang ekonomi maupun yang lainnya, mesti mengetahui terlebih dahulu hukum syara’ terkait perbuatan yang akan dikerjakannya, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram; hukum-hukum tersebut semuanya muncul berdasarkan dalil syariah.


*Masalah Ekonomi Prespektif Islam*


Islam memandang masalah ekonomi yang dihadapi manusia, bersumber dari kesalahan distribusi kekayaan ditengah masyarakat, bukan karena kelangkaan (scarcity) barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas. Sebab, akidah Islam mengajarkan bahwa setiap makhluk di bumi ini rezekinya sudah dijamin Allah swt (artinya): “Tiada satupun hewan melata di muka bumi ini, kecuali rezekinya telah ditetapkan oleh Allah.” (QS. Hûd [11]: 6). Karena itu termasuk penyesatan intelektual, jika berasumsi bahwa masalah ekonomi diakibatkan kelangkaan barang dan jasa. Justru faktanya, barang dan jasa sebenarnya cukup, hanya saja masalahnya ada pada mekanisme pendistribusiannya.


Kita melihat secara empiris, kekayaan terkadang menumpuk pada suatu keluarga, rezim, atau elit kelas tertentu, sedangkan mayoritas rakyat mengalami kekurangan kekayaan, padahal jika harta kekayaan tersebut didistribusikan secara syar’i maka kemiskinan tersebut bisa saja hilang. Allah swt berfirman (artinya): “Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7). Disisi lain, kebutuhan manusia sepanjang zaman tetap sama, yaitu hanya membutuhkan sandang, papan, dan pangan. Yang berbeda sebenarnya hanya pada kualitas sandang, papan, dan pangannya. Bukan pada jumlahnya.


*Asas Sistem Ekonomi Islam*


Sistem Ekonomi Islam dibangun diatas tiga asas penting: (1) Kepemilikan; (2) Pengelolaan kepemilikan; dan (3) Distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia. Dengan ketiga perkara ini, sisten ekonomi Islam menyelesaikan problem ekonomi yang terjadi di dunia.


*Asas Pertama: Kepemilikan*


Kepemilikan harta dalam Islam pada prinsipnya adalah di tangan Allah, artinya Allah adalah pemilik segala sesuatu (QS. An-Nûr [24]: 33). Namun Allah swt telah memberikan kepada manusia hak untuk menguasai, memperbanyak, serta memiliki harta tersebut (QS. Al-Hadîd [57]: 7). Karena itu kepemilikan (al-milkiyyah) adalah izin pembuat Syariat untuk memanfaatkan zat tertentu. Yang dimaksud izin adalah hukum syara’, pembuat syariat adalah Allah swt, sedangkan zat adalah barang yang bisa dimanfaatkan. Perlu dipahami, dalam Islam hukum kepemilikan harta kekayaan tidak dibatasi ukuran kuantitas, tetapi dibatasi tatacara atau mekanisme tertentu. Hal ini sesuai fitrah manusia dan sangat proporsional. Kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga, yakni: (1) kepemilikan individu (private ownership), (2) kepemilikan umum (public property), dan (3) kepemilikan negara (state property).


*Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah)* adalah hukum syariah yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memastikan adanya kesempatan bagi pemiliknya –sesuai hukum tersebut– memanfaatkan sesuatu, serta memperoleh kompensasi darinya. Atau izin pembuat syariat (Allah swt) bagi individu untuk memanfaatkan benda. 


Hak kepemilikan individu merupakan hak syar’i bagi individu. Seorang individu berhak memiliki harta bergerak maupun tidak bergerak, misal: mobil, motor, tanah, dan uang tunai. Hak ini dijaga dan diatur syariah Islam. Perlindungan kepemilikan individu adalah kewajiban negara. Karena itu, hukum syara’ menetapkan adanya sanksi sebagai tindakan preventif bagi siapa saja yang menyalahgunakan hak tersebut.


Harta yang boleh dimiliki oleh individu bukanlah harta milik negara, maupun milik umum, atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Syariat Islam membatasi sebab-sebab kepemilikan harta bagi individu dengan lima sebab, yaitu:


(1) Bekerja, dalam perdagangan, perindustrian, maupun pertanian. Syariah menentukan secara rinci masalah ini dalam beragam kitab fikih muktabar, dalam konteks ini meliputi: a) Menghidupkan tanah mati; b) Menggali kandungan dalam perut bumi ataupun udara, yang kuantitasnya terbatas, misal rikaz; c) Berburu; d) Samsarah (makelar) dan dalalah (pemandu); e) Mudharabah (kerjasama bisnis); f) Musaqat (mengairi pertanian); dan g) Ijarah (kontrak kerja).


(2) Warisan, sebagaimana penjelasan dalam kitab fikih.. 


(3) Kebutuhan akan harta demi menyambung hidup; Misal, terpaksa mencuri saat masa kelaparan atau krisis. Rasul saw bersabda (artinya): “Tidak ada hukum potong tangan (bagi pencuri) pada masa-masa kelaparan. (HR. Al-Khatib al-Baghdadi dari Abu Umamah, Kanzul Ummal, no. 13333).


(4) Pemberian harta negara kepada rakyat (subsidi); Misal: Khalifah Umar ra. pernah memberi  para petani Irak harta dari Baitul Mal, yang bisa membantu mereka menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan hidup mereka, tanpa mesti dikembalikan kepada Negara.


(5) Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta atau tenaga. Misal: a) hadiah, hibah, dan wasiat; b) Ganti rugi kemadharatan yang menimpa seseorang, seperti: Diyat (tebusan/denda) pembunuhan atau luka fisik; c) Mendapat mahar dan harta lainnya dalam akad nikah bagi istri; d) Barang temuan (luqathah); e) Santunan bagi Khalifah dan pejabat pemerintahannya, seperti yang terjadi pada Khalifah Abu Bakar ra. Beliau memperoleh santunan, karena menahan dirinya dari berbisnis ketika beliau diminta fokus pada urusan seluruh kaum muslim, sahabat pun mendiamkan alias menyepakatinya.


*Kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘âmmah)* adalah izin pembuat Syariat (Allah swt) kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan benda atau barang. Berbagai benda yang termasuk kategori kepemilikan umum, adalah benda-benda yang dinyatakan pembuat syariat memang diperuntukan bagi suatu komunitas masyarakat, dan Allah swt melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya seorang saja (privatisasi). Benda-benda tersebut terwujud dalam tiga hal berikut: 


(1) Sesuatu yang termasuk fasilitas umum, ketika tidak tersedia di suatu negeri atau suatu masyarakat, maka bisa menimbulkan kekacauan dan sengketa dalam mencarinya. Seperti: air, padang rumput, dan api. Rasul saw, bersabda (artinya): “Kaum Muslim mempuyai kepentingan bersama dalam tiga perkara, yaitu: Padang, Air dan Api.” (HR. Abu Dawud, no. 3479).


(2) Termasuk kepemilikan umum adalah setiap peralatan yang digunakan untuk mengelola fasilitas umum, misal: alat pengebor air yang dibutuhkan masyarakat umum, serta pipa-pipa yang digunakan untuk mengalirkannya. Demikian juga peralatan yang digunakan sebagai pembangkit listrik yang memanfaatkan air milik umum (PLTA), tiang-tiang, kabel-kabel, dan stasiun distribusinya.


(3) Barang tambang yang depositnya tidak terbatas. Misalnya: tambang emas, perak, minyak bumi, fosfat dan sebagainya. Dalilnya, adalah riwayat Abyadh bin Hamal al-Maziniy, bahwa Abyadh meminta kepada Rasul saw untuk mengelola tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seseorang yang berkata kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasul kemudian berkata (artinya), “Tariklah kembali tambang tersebut darinya.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1301). Rasul bersikap demikian karena sesungguhnya garam adalah barang tambang seperti air mengalir yang tidak terbatas depositnya. Adapun bila sebuah komoditi jumlahnya sedikit dan terbatas maka dapat saja menjadi kepemilikan individu, artinya boleh dimiliki pribadi.


(4) Segala fasilitas yang secara alami tidak bisa dimiliki dan didominasi individu. Seperti: jalan umum, sungai, teluk, laut, danau, mesjid, sekolah negeri, dan lapangan umum, Rasul saw bersabda (artinya): “Tidak ada proteksi (terhadap fasilitas umum) kecuali oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, Ahmad, dan Al-Hakim). Makna hadits ini adalah, tidak ada hak bagi seorangpun untuk memberikan batasan (proteksi) atau pagar (mengkapling) segala sesuatu yang memang diperuntukkan bagi masyarakat umum.


*Kepemilikan Negara (milkiyyah ad-daulah)* adalah setiap harta yang pengelolaannya diwakilkan (diserahkan) kepada Khalifah selaku kepala negara. Atau, seluruh harta kekayaan yang penggunaannya tergantung pada pendapat dan ijtihad Khalifah.


Karena itu, harta milik negara merupakan harta yang tidak termasuk kategori milik umum melainkan milik pribadi, karena sifat harta tersebut yang memang bisa dimiliki secara personal. Namun, harta tersebut terkadang tekait sekali dengan hak atau kebutuhan kaum muslim secara umum. Sehingga pengelolaannya menjadi milik negara, dalam hal ini pengelolaannya berdasarkan pandangan dan ijtihad Kepala Negara. Yang termasuk kepemilikan negara adalah: (1) Ghanimah; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) Harta orang-orang murtad; (5) Harta orang yang tidak memiliki ahli waris; (6) Gedung dan kompleks pejabat negara, yang dibangun oleh Negara; (7) Tanah-tanah yang dimiliki oleh negara; dan (8) Dharibah.


*Asas Kedua: Pengelolaan Kepemilikan*


Pengeloaan kepemilikan adalah cara yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim ketika menggunakan dan memanfaatkan hartanya. Artinya, setelah manusia memiliki harta melalui sebab-sebab kepemilikan yang disebutkan sebelumnya, maka manusia tentu akan mengelola kepemilikan harta yang dia miliki, dalam konteks ini manusia dalam mengelola hartanya mesti tetap sesuai dengan ketentuan syariah, manusia tidak bisa bebas seenaknya dalam mengelola hartanya. Pengelolaan kepemilikan harta dalam sistem ekonomi Islam, dilakukan dengan dua cara: (1) pengembangan kepemilikan (tanmiyyah al-milkiyyah), dan (2) penggunaan harta (infâq al-mâl).


*Pengembangan Kepemilikan*


Pengembangan kepemilikan terkait dengan mekanisme yang digunakan seseorang untuk menghasilkan pertambahan kepemilikan tersebut. Dalam konteks sekarang dikenal dengan pemanfaatan harta untuk keperluan produktif. Disini digunakan istilah pengembangan kepemilikan bukan pengembangan harta, karena pengembangan harta biasanya terkait dengan alat dan teknik produsksi, sedangkan pengembangan kepemilikan terkait dengan mekanisme. Masalah alat dan teknik produksi, Islam menyerahkannya kepada manusia. Dalam konteks ini, terdapat dua kriteria dalam pengembangan kepemilikan: (1) Pengembangan kepemilikan sesuai syariah (mubah); dan (2) Pengembangan kepemilikan yang tidak sesuai syariah (haram).


*Pengembangan Kepemilikan Sesuai Syariah*: (1) Perdagangan tanpa Riba (QS. Al-Baqarah: 275), meliputi: Perdagangan dalam negeri; dan perdagangan luar negeri.


(2) Bidang Industri (manufaktur), diperbolehkan sesuai taqrir atau persetujuan Rasul saw atas aktivitas industri pada masanya: seperti pembuatan cincin Nabi saw (HR. Al-Bukhari, no. 5427; Muslim, no. 3898); pembuatan mimbar (HR. Al-Bukhari, no. 429), dll. Hukum sebuah pabrik industri mengikuti hukum komoditi yang diproduksinya; jika produknya barang haram maka pabriknya ikut mejadi haram; jika produknya halal, maka pabriknya ikut menjadi halal. Hal ini sesuai aplikasi kaidah syara’.


(3) Bidang pertanian: a) Menghidupkan tanah mati, Rasul saw bersabda (artinya): “Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Al-Bukhari, dan Abu Dawud, no. 2671). Ijma’ sahabat menyatakan, siapapun yang menelantarkan tanah selama 3 tahun, maka tanah itu mesti diambil dari pemiliknya, lalu diberikan kepada yang lain. (Riwayat Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj, berdasarkan ucapan Umar bin al-Khattab ra). b) Mengelola pertanian & larangan menyewakan tanah, Rasul saw (artnya): “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya. Apabila dia menelantarkannya, maka hendaknya tanah tersebut diambil darinya.” (HR. Al-Bukhari, no. 2172). Karena itu mubah mengelola sendiri tanahnya, namun menyewakan tanah adalah haram (HR. Muslim, no. 2864; An-Nasai, no. 3802 dll).


(4) Syirkah atau kerjasama bisnis (HR. Al-Bukhari, no. 2317, Abu Dawud, no. 2936) yakni: Suatu akad (transaksi) antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha bersifat finansial dengan tujuan memperoleh keuntungan. 


Ada lima macam syirkah dalam fikih Islam: a) syirkah inân: syirkah antara dua pihak atau lebih, masing-masing memberi kontribusi kerja dan modal. b) syirkah abdân: syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja, tanpa konstribusi modal; c) syirkah mudhârabah: syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja, sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal; d) syirkah wujûh: syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan konstribusi kerja, dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal, atau syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak; dan e) syirkah mufâwadhah: syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah tadi.


*Pengembangan Kepemilikan Tidak Sesuai Syariah*: (1) Pengembangan perseroan model Kapitalisme. Meliputi: (a) Firma; (b) Perseroan Terbatas (PT); (c) Koperasi; (d) Asuransi; dan (e) Bursa Saham. Semua ini diharamkan, sebab faktanya bertentangan dengan ketentuan Syirkah dalam Islam yang telah disebutkan sebelumnya. 


Menurut An-Nizhâm al-Iqtishâdi fi al-Islâm. Perseroan terbatas batil karena: a) Tidak ada dua pihak yang berakad sempurna (ijab qabul), pendiri hanya membuat syarat, lalu pihak yang ingin bergabung menandatangani akte dan mendaftaran dengan membeli saham. Jadi hanya ada qabul saja, tidak ada ijab; b) Tidak ada pengelola riil yang melakukan usaha, yang ada hanya pemodal saja, sedangkan pengelolaan diserahkan pada pihak lain yang tidak terlibat dalam akad (misal: direksi); dan c) Perseroan yang bersifat abadi bertentangan dengan syara’, padahal seharusnya perseroan bisa bubar jika terdapat alasan yang dibenarkan syara.


(2) Riba dalam utang-piutang. Riba ini dikenal dengan istilah riba nasi’ah, yang bermakna: tambahan atau ‘premi’ yang harus diberikan penghutang karena telah diberi waktu untuk membayar hutangnya. Sistem ekonomi Islam mengharamkan terlibat dengan riba tersebut. (QS. Al-Baqarah: 275 & 279; HR. Muslim, no. 2990).


(3) Riba dalam jual beli dan valuta asing (valas). Riba fadhal adalah tambahan atau keuntungan yang diperoleh dari transaksi tukar-menukar/jual-beli barang-barang tertentu. Riba fadhal tidak akan terjadi pada praktik jual beli dan salam (pesanan), kecuali pada enam barang: (a) kurma, (b) qamh, (c) sya’îr, (d) garam, (e) emas, dan (f) perak. Dalam melakukan jual-beli atau salam (pesanan) terhadap keenam jenis barang tersebut, harus dengan ukuran setimbang dan harus kontan, kelebihan yang diambil dari proses transaksi tersebut adalah riba (HR. Muslim, no. 2969). Adapun yang berkaitan dengan mata uang, ialah pada emas dan perak. As-Sunnah mengharamkan riba fadhal yang terjadi pada transaksi mata uang (HR. Al-Bukhari, no. 2031, 2029; Sunan at-Tirmidzi, no. 1162, dll).


(4) Perjudian dengan segala jenisnya. Hal ini diharamkan syariah, misal: kasino-kasino, togel, dll. (QS. Al-Mâidah [5]: 90-91).


(5) Penimbunan: Sebuah cara yang dilakukan penimbun, yakni mengumpulkan barang-barang, lalu menunggu naiknya harga barang tersebut, sehingga ia jual dengan harga tinggi, yang mengakibatkan masyarakat sulit membelinya. Rasul saw bersabda (artinya): “Siapa saja yang melakukan penimbunan, dia telah berbuat salah. (HR. Muslim, no. 3012).


(6) Manipulasi keji dalam harga (al-gabn al-fâhisy). Yakni, membeli dengan harga yang sangat jauh dari harga rata-rata, sementara pihak yang dimanipulasi ini tidak mengetahui harga pasar. (HR. Al-Bukhari, no. 1974).


(7) Penipuan dalam Jual Beli (tadlîs fi al-bai’). Penipuan ini bisa dilakukan oleh penjual maupun pembeli; penipuan pihak penjual adalah apabila penjual menyembunyikan cacat barang dagangannya; penipuan pihak pembeli adalah apabila pembeli memanipulasi alat pembayaran. (HR. Al-Bukhari, no. 2004; Ibnu Majah, no. 2237).


(8) Menyewakan Lahan Pertanian. Rasul saw bersabda (artinya): “Rasul saw melarang menyewakan lahan pertanian.” (HR. Al-Bukhari, no. 2124; Muslim, no. 2882).


(9) Pengembangan Industri dan Bisnis yang haram. Kaidah syara’ menyatakan: “Hukum sebuah pabrik-industri mengikuti hukum produk yang di keluarkannya.” Artinya, jika ada pabrik atau bisnis yang memproduksi miras, daging babi, pelacuran dll. Maka status pabrik-industri atau bisnis tersebut haram hukumnya, karena memproduksi sesuatu yang diharamkan.


(10) Pematokan harga (tas’îr). Pematokan atau pembatasan harga biasanya dilakukan penguasa melalui departemen atau instansi terkait. Dalam praktik, pembatasan harga itu ada dua bentuk: (a) pematokan harga maksimum atau harga tertinggi, yaitu dengan mematok harga tertinggi; penjual tidak boleh menjual dengan harga yang lebih tinggi; (b) pematokan harga minimum atau harga terendah, yaitu dengan mematok harga terendah; pedagang dilarang membeli dengan harga yang lebih rendah. Pematokan harga statusnya haram berdasarkan Sunnah, Anas ra, menuturkan (artinya): Harga meroket pada masa Rasulullah saw. Lalu mereka (para Sahabat) meminta, “Ya Rasulullah, patoklah harga untuk kami.” Beliau saw menjawab, “Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezeki; sementara aku sungguh ingin menjumpai Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntut aku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1235; Ibnu Majah, no. 2191; Ad-Darimi, no. 2600 dan Ahmad, no. 12131).


*Penggunaan Harta*


Dalam Islam pengelolaan yang dilakukan melalui penggunaan atau pengeluaran harta (infâq al-mâl) tanpa kompensasi,