Monday, November 18, 2024

MENDISKUSIKAN SISTEM EKONOMI ISLAM

 *MENDISKUSIKAN SISTEM EKONOMI ISLAM*


Menurut al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, ekonomi secara istilah adalah:


تدبير شؤون المال، إمّا بتكثيره وتأمينِ إيجاده، ويبحث فيه علم الاقتصاد، وإمّا بكيفية توزيعه، ويبحث فيه النظام الاقتصادي


Kegiatan mengatur urusan harta kekayaan, baik yang menyangkut kegiatan memperbanyak jumlah kekayaan serta menjamin pengadaannya, yang biasanya dibahas dalam ilmu ekonomi; maupun berhubungan dengan mekanisme pendistribusian harta kekayaan, yang biasanya dibahas dalam sistem ekonomi. 


Dari definisi ini nampak jelas perbedaan antara ilmu ekonomi dan sistem ekonomi, meski dua-duanya membahas topik yang serupa, yakni tentang ekonomi. Ilmu ekonomi adalah ilmu yang membicarakan produksi dan peningkatan kualitas produksi, atau penciptaan sarana produksi dan peningkatan kualitasnya, yang artinya ilmu ekonomi bersifat universal, sebagaimana sains dan teknologi, tidak terpengaruh pandangan hidup tertentu.


Sedangkan, sistem ekonomi adalah pandangan, hukum atau paradigma yang membahas seputar distribusi kekayaan, pemilikan, serta bagaimana pengelolaannya; artinya sistem ekonomi bersifat spesifik, sebagai mana sebuah tsaqafah, dia tidak bebas nilai, karena terpengaruh akidah atau pandangan hidup tertentu. 


Konsekuensinya, ilmu ekonomi bisa diambil oleh kaum muslim atau diserahkan kepada inovasi manusia, sedangkan untuk sistem ekonomi, kaum muslim hanya boleh menggunakan sistem ekonomi Islam, yang dibanguan berdasarkan akidah Islam. Adapun sistem ekonomi yang lain, misal: Kapitalisme dan Sosialisme, tidak bisa diambil dan diamalkan karena bertentangan dengan akidah Islam secara fundamental.


*Akidah Islam Landasan Sistem Ekonomi*


Sistem ekonomi Islam dibangun berdasarkan akidah Islam, seorang muslim meyakini bahwa Allah swt pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan, beserta hubungan semuanya itu dengan kehidupan sekarang maupun dengan kehidupan yang akan datang (akhirat dan hisab). Dengan keyakinannya ini, seorang muslim menyadari dia mesti terikat dengan hukum Allah swt, karena dia memahami segala perbuatannya, termasuk aktivitas dan kebijakannya dalam bidang ekonomi, pasti akan dimintai pertanggung-jawaban oleh Allah swt (lihat: QS. Al-Hijr: 92-93; QS. Yunûs: 61).


Dengan demikian, seorang muslim sebelum melakukan sebuah perbuatan atau tindakan, baik dalam bidang ekonomi maupun yang lainnya, mesti mengetahui terlebih dahulu hukum syara’ terkait perbuatan yang akan dikerjakannya, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram; hukum-hukum tersebut semuanya muncul berdasarkan dalil syariah.


*Masalah Ekonomi Prespektif Islam*


Islam memandang masalah ekonomi yang dihadapi manusia, bersumber dari kesalahan distribusi kekayaan ditengah masyarakat, bukan karena kelangkaan (scarcity) barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas. Sebab, akidah Islam mengajarkan bahwa setiap makhluk di bumi ini rezekinya sudah dijamin Allah swt (artinya): “Tiada satupun hewan melata di muka bumi ini, kecuali rezekinya telah ditetapkan oleh Allah.” (QS. Hûd [11]: 6). Karena itu termasuk penyesatan intelektual, jika berasumsi bahwa masalah ekonomi diakibatkan kelangkaan barang dan jasa. Justru faktanya, barang dan jasa sebenarnya cukup, hanya saja masalahnya ada pada mekanisme pendistribusiannya.


Kita melihat secara empiris, kekayaan terkadang menumpuk pada suatu keluarga, rezim, atau elit kelas tertentu, sedangkan mayoritas rakyat mengalami kekurangan kekayaan, padahal jika harta kekayaan tersebut didistribusikan secara syar’i maka kemiskinan tersebut bisa saja hilang. Allah swt berfirman (artinya): “Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7). Disisi lain, kebutuhan manusia sepanjang zaman tetap sama, yaitu hanya membutuhkan sandang, papan, dan pangan. Yang berbeda sebenarnya hanya pada kualitas sandang, papan, dan pangannya. Bukan pada jumlahnya.


*Asas Sistem Ekonomi Islam*


Sistem Ekonomi Islam dibangun diatas tiga asas penting: (1) Kepemilikan; (2) Pengelolaan kepemilikan; dan (3) Distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia. Dengan ketiga perkara ini, sisten ekonomi Islam menyelesaikan problem ekonomi yang terjadi di dunia.


*Asas Pertama: Kepemilikan*


Kepemilikan harta dalam Islam pada prinsipnya adalah di tangan Allah, artinya Allah adalah pemilik segala sesuatu (QS. An-Nûr [24]: 33). Namun Allah swt telah memberikan kepada manusia hak untuk menguasai, memperbanyak, serta memiliki harta tersebut (QS. Al-Hadîd [57]: 7). Karena itu kepemilikan (al-milkiyyah) adalah izin pembuat Syariat untuk memanfaatkan zat tertentu. Yang dimaksud izin adalah hukum syara’, pembuat syariat adalah Allah swt, sedangkan zat adalah barang yang bisa dimanfaatkan. Perlu dipahami, dalam Islam hukum kepemilikan harta kekayaan tidak dibatasi ukuran kuantitas, tetapi dibatasi tatacara atau mekanisme tertentu. Hal ini sesuai fitrah manusia dan sangat proporsional. Kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga, yakni: (1) kepemilikan individu (private ownership), (2) kepemilikan umum (public property), dan (3) kepemilikan negara (state property).


*Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah)* adalah hukum syariah yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memastikan adanya kesempatan bagi pemiliknya –sesuai hukum tersebut– memanfaatkan sesuatu, serta memperoleh kompensasi darinya. Atau izin pembuat syariat (Allah swt) bagi individu untuk memanfaatkan benda. 


Hak kepemilikan individu merupakan hak syar’i bagi individu. Seorang individu berhak memiliki harta bergerak maupun tidak bergerak, misal: mobil, motor, tanah, dan uang tunai. Hak ini dijaga dan diatur syariah Islam. Perlindungan kepemilikan individu adalah kewajiban negara. Karena itu, hukum syara’ menetapkan adanya sanksi sebagai tindakan preventif bagi siapa saja yang menyalahgunakan hak tersebut.


Harta yang boleh dimiliki oleh individu bukanlah harta milik negara, maupun milik umum, atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Syariat Islam membatasi sebab-sebab kepemilikan harta bagi individu dengan lima sebab, yaitu:


(1) Bekerja, dalam perdagangan, perindustrian, maupun pertanian. Syariah menentukan secara rinci masalah ini dalam beragam kitab fikih muktabar, dalam konteks ini meliputi: a) Menghidupkan tanah mati; b) Menggali kandungan dalam perut bumi ataupun udara, yang kuantitasnya terbatas, misal rikaz; c) Berburu; d) Samsarah (makelar) dan dalalah (pemandu); e) Mudharabah (kerjasama bisnis); f) Musaqat (mengairi pertanian); dan g) Ijarah (kontrak kerja).


(2) Warisan, sebagaimana penjelasan dalam kitab fikih.. 


(3) Kebutuhan akan harta demi menyambung hidup; Misal, terpaksa mencuri saat masa kelaparan atau krisis. Rasul saw bersabda (artinya): “Tidak ada hukum potong tangan (bagi pencuri) pada masa-masa kelaparan. (HR. Al-Khatib al-Baghdadi dari Abu Umamah, Kanzul Ummal, no. 13333).


(4) Pemberian harta negara kepada rakyat (subsidi); Misal: Khalifah Umar ra. pernah memberi  para petani Irak harta dari Baitul Mal, yang bisa membantu mereka menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan hidup mereka, tanpa mesti dikembalikan kepada Negara.


(5) Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta atau tenaga. Misal: a) hadiah, hibah, dan wasiat; b) Ganti rugi kemadharatan yang menimpa seseorang, seperti: Diyat (tebusan/denda) pembunuhan atau luka fisik; c) Mendapat mahar dan harta lainnya dalam akad nikah bagi istri; d) Barang temuan (luqathah); e) Santunan bagi Khalifah dan pejabat pemerintahannya, seperti yang terjadi pada Khalifah Abu Bakar ra. Beliau memperoleh santunan, karena menahan dirinya dari berbisnis ketika beliau diminta fokus pada urusan seluruh kaum muslim, sahabat pun mendiamkan alias menyepakatinya.


*Kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘âmmah)* adalah izin pembuat Syariat (Allah swt) kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan benda atau barang. Berbagai benda yang termasuk kategori kepemilikan umum, adalah benda-benda yang dinyatakan pembuat syariat memang diperuntukan bagi suatu komunitas masyarakat, dan Allah swt melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya seorang saja (privatisasi). Benda-benda tersebut terwujud dalam tiga hal berikut: 


(1) Sesuatu yang termasuk fasilitas umum, ketika tidak tersedia di suatu negeri atau suatu masyarakat, maka bisa menimbulkan kekacauan dan sengketa dalam mencarinya. Seperti: air, padang rumput, dan api. Rasul saw, bersabda (artinya): “Kaum Muslim mempuyai kepentingan bersama dalam tiga perkara, yaitu: Padang, Air dan Api.” (HR. Abu Dawud, no. 3479).


(2) Termasuk kepemilikan umum adalah setiap peralatan yang digunakan untuk mengelola fasilitas umum, misal: alat pengebor air yang dibutuhkan masyarakat umum, serta pipa-pipa yang digunakan untuk mengalirkannya. Demikian juga peralatan yang digunakan sebagai pembangkit listrik yang memanfaatkan air milik umum (PLTA), tiang-tiang, kabel-kabel, dan stasiun distribusinya.


(3) Barang tambang yang depositnya tidak terbatas. Misalnya: tambang emas, perak, minyak bumi, fosfat dan sebagainya. Dalilnya, adalah riwayat Abyadh bin Hamal al-Maziniy, bahwa Abyadh meminta kepada Rasul saw untuk mengelola tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seseorang yang berkata kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasul kemudian berkata (artinya), “Tariklah kembali tambang tersebut darinya.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1301). Rasul bersikap demikian karena sesungguhnya garam adalah barang tambang seperti air mengalir yang tidak terbatas depositnya. Adapun bila sebuah komoditi jumlahnya sedikit dan terbatas maka dapat saja menjadi kepemilikan individu, artinya boleh dimiliki pribadi.


(4) Segala fasilitas yang secara alami tidak bisa dimiliki dan didominasi individu. Seperti: jalan umum, sungai, teluk, laut, danau, mesjid, sekolah negeri, dan lapangan umum, Rasul saw bersabda (artinya): “Tidak ada proteksi (terhadap fasilitas umum) kecuali oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, Ahmad, dan Al-Hakim). Makna hadits ini adalah, tidak ada hak bagi seorangpun untuk memberikan batasan (proteksi) atau pagar (mengkapling) segala sesuatu yang memang diperuntukkan bagi masyarakat umum.


*Kepemilikan Negara (milkiyyah ad-daulah)* adalah setiap harta yang pengelolaannya diwakilkan (diserahkan) kepada Khalifah selaku kepala negara. Atau, seluruh harta kekayaan yang penggunaannya tergantung pada pendapat dan ijtihad Khalifah.


Karena itu, harta milik negara merupakan harta yang tidak termasuk kategori milik umum melainkan milik pribadi, karena sifat harta tersebut yang memang bisa dimiliki secara personal. Namun, harta tersebut terkadang tekait sekali dengan hak atau kebutuhan kaum muslim secara umum. Sehingga pengelolaannya menjadi milik negara, dalam hal ini pengelolaannya berdasarkan pandangan dan ijtihad Kepala Negara. Yang termasuk kepemilikan negara adalah: (1) Ghanimah; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) Harta orang-orang murtad; (5) Harta orang yang tidak memiliki ahli waris; (6) Gedung dan kompleks pejabat negara, yang dibangun oleh Negara; (7) Tanah-tanah yang dimiliki oleh negara; dan (8) Dharibah.


*Asas Kedua: Pengelolaan Kepemilikan*


Pengeloaan kepemilikan adalah cara yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim ketika menggunakan dan memanfaatkan hartanya. Artinya, setelah manusia memiliki harta melalui sebab-sebab kepemilikan yang disebutkan sebelumnya, maka manusia tentu akan mengelola kepemilikan harta yang dia miliki, dalam konteks ini manusia dalam mengelola hartanya mesti tetap sesuai dengan ketentuan syariah, manusia tidak bisa bebas seenaknya dalam mengelola hartanya. Pengelolaan kepemilikan harta dalam sistem ekonomi Islam, dilakukan dengan dua cara: (1) pengembangan kepemilikan (tanmiyyah al-milkiyyah), dan (2) penggunaan harta (infâq al-mâl).


*Pengembangan Kepemilikan*


Pengembangan kepemilikan terkait dengan mekanisme yang digunakan seseorang untuk menghasilkan pertambahan kepemilikan tersebut. Dalam konteks sekarang dikenal dengan pemanfaatan harta untuk keperluan produktif. Disini digunakan istilah pengembangan kepemilikan bukan pengembangan harta, karena pengembangan harta biasanya terkait dengan alat dan teknik produsksi, sedangkan pengembangan kepemilikan terkait dengan mekanisme. Masalah alat dan teknik produksi, Islam menyerahkannya kepada manusia. Dalam konteks ini, terdapat dua kriteria dalam pengembangan kepemilikan: (1) Pengembangan kepemilikan sesuai syariah (mubah); dan (2) Pengembangan kepemilikan yang tidak sesuai syariah (haram).


*Pengembangan Kepemilikan Sesuai Syariah*: (1) Perdagangan tanpa Riba (QS. Al-Baqarah: 275), meliputi: Perdagangan dalam negeri; dan perdagangan luar negeri.


(2) Bidang Industri (manufaktur), diperbolehkan sesuai taqrir atau persetujuan Rasul saw atas aktivitas industri pada masanya: seperti pembuatan cincin Nabi saw (HR. Al-Bukhari, no. 5427; Muslim, no. 3898); pembuatan mimbar (HR. Al-Bukhari, no. 429), dll. Hukum sebuah pabrik industri mengikuti hukum komoditi yang diproduksinya; jika produknya barang haram maka pabriknya ikut mejadi haram; jika produknya halal, maka pabriknya ikut menjadi halal. Hal ini sesuai aplikasi kaidah syara’.


(3) Bidang pertanian: a) Menghidupkan tanah mati, Rasul saw bersabda (artinya): “Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Al-Bukhari, dan Abu Dawud, no. 2671). Ijma’ sahabat menyatakan, siapapun yang menelantarkan tanah selama 3 tahun, maka tanah itu mesti diambil dari pemiliknya, lalu diberikan kepada yang lain. (Riwayat Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj, berdasarkan ucapan Umar bin al-Khattab ra). b) Mengelola pertanian & larangan menyewakan tanah, Rasul saw (artnya): “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya. Apabila dia menelantarkannya, maka hendaknya tanah tersebut diambil darinya.” (HR. Al-Bukhari, no. 2172). Karena itu mubah mengelola sendiri tanahnya, namun menyewakan tanah adalah haram (HR. Muslim, no. 2864; An-Nasai, no. 3802 dll).


(4) Syirkah atau kerjasama bisnis (HR. Al-Bukhari, no. 2317, Abu Dawud, no. 2936) yakni: Suatu akad (transaksi) antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha bersifat finansial dengan tujuan memperoleh keuntungan. 


Ada lima macam syirkah dalam fikih Islam: a) syirkah inân: syirkah antara dua pihak atau lebih, masing-masing memberi kontribusi kerja dan modal. b) syirkah abdân: syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja, tanpa konstribusi modal; c) syirkah mudhârabah: syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja, sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal; d) syirkah wujûh: syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan konstribusi kerja, dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal, atau syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak; dan e) syirkah mufâwadhah: syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah tadi.


*Pengembangan Kepemilikan Tidak Sesuai Syariah*: (1) Pengembangan perseroan model Kapitalisme. Meliputi: (a) Firma; (b) Perseroan Terbatas (PT); (c) Koperasi; (d) Asuransi; dan (e) Bursa Saham. Semua ini diharamkan, sebab faktanya bertentangan dengan ketentuan Syirkah dalam Islam yang telah disebutkan sebelumnya. 


Menurut An-Nizhâm al-Iqtishâdi fi al-Islâm. Perseroan terbatas batil karena: a) Tidak ada dua pihak yang berakad sempurna (ijab qabul), pendiri hanya membuat syarat, lalu pihak yang ingin bergabung menandatangani akte dan mendaftaran dengan membeli saham. Jadi hanya ada qabul saja, tidak ada ijab; b) Tidak ada pengelola riil yang melakukan usaha, yang ada hanya pemodal saja, sedangkan pengelolaan diserahkan pada pihak lain yang tidak terlibat dalam akad (misal: direksi); dan c) Perseroan yang bersifat abadi bertentangan dengan syara’, padahal seharusnya perseroan bisa bubar jika terdapat alasan yang dibenarkan syara.


(2) Riba dalam utang-piutang. Riba ini dikenal dengan istilah riba nasi’ah, yang bermakna: tambahan atau ‘premi’ yang harus diberikan penghutang karena telah diberi waktu untuk membayar hutangnya. Sistem ekonomi Islam mengharamkan terlibat dengan riba tersebut. (QS. Al-Baqarah: 275 & 279; HR. Muslim, no. 2990).


(3) Riba dalam jual beli dan valuta asing (valas). Riba fadhal adalah tambahan atau keuntungan yang diperoleh dari transaksi tukar-menukar/jual-beli barang-barang tertentu. Riba fadhal tidak akan terjadi pada praktik jual beli dan salam (pesanan), kecuali pada enam barang: (a) kurma, (b) qamh, (c) sya’îr, (d) garam, (e) emas, dan (f) perak. Dalam melakukan jual-beli atau salam (pesanan) terhadap keenam jenis barang tersebut, harus dengan ukuran setimbang dan harus kontan, kelebihan yang diambil dari proses transaksi tersebut adalah riba (HR. Muslim, no. 2969). Adapun yang berkaitan dengan mata uang, ialah pada emas dan perak. As-Sunnah mengharamkan riba fadhal yang terjadi pada transaksi mata uang (HR. Al-Bukhari, no. 2031, 2029; Sunan at-Tirmidzi, no. 1162, dll).


(4) Perjudian dengan segala jenisnya. Hal ini diharamkan syariah, misal: kasino-kasino, togel, dll. (QS. Al-Mâidah [5]: 90-91).


(5) Penimbunan: Sebuah cara yang dilakukan penimbun, yakni mengumpulkan barang-barang, lalu menunggu naiknya harga barang tersebut, sehingga ia jual dengan harga tinggi, yang mengakibatkan masyarakat sulit membelinya. Rasul saw bersabda (artinya): “Siapa saja yang melakukan penimbunan, dia telah berbuat salah. (HR. Muslim, no. 3012).


(6) Manipulasi keji dalam harga (al-gabn al-fâhisy). Yakni, membeli dengan harga yang sangat jauh dari harga rata-rata, sementara pihak yang dimanipulasi ini tidak mengetahui harga pasar. (HR. Al-Bukhari, no. 1974).


(7) Penipuan dalam Jual Beli (tadlîs fi al-bai’). Penipuan ini bisa dilakukan oleh penjual maupun pembeli; penipuan pihak penjual adalah apabila penjual menyembunyikan cacat barang dagangannya; penipuan pihak pembeli adalah apabila pembeli memanipulasi alat pembayaran. (HR. Al-Bukhari, no. 2004; Ibnu Majah, no. 2237).


(8) Menyewakan Lahan Pertanian. Rasul saw bersabda (artinya): “Rasul saw melarang menyewakan lahan pertanian.” (HR. Al-Bukhari, no. 2124; Muslim, no. 2882).


(9) Pengembangan Industri dan Bisnis yang haram. Kaidah syara’ menyatakan: “Hukum sebuah pabrik-industri mengikuti hukum produk yang di keluarkannya.” Artinya, jika ada pabrik atau bisnis yang memproduksi miras, daging babi, pelacuran dll. Maka status pabrik-industri atau bisnis tersebut haram hukumnya, karena memproduksi sesuatu yang diharamkan.


(10) Pematokan harga (tas’îr). Pematokan atau pembatasan harga biasanya dilakukan penguasa melalui departemen atau instansi terkait. Dalam praktik, pembatasan harga itu ada dua bentuk: (a) pematokan harga maksimum atau harga tertinggi, yaitu dengan mematok harga tertinggi; penjual tidak boleh menjual dengan harga yang lebih tinggi; (b) pematokan harga minimum atau harga terendah, yaitu dengan mematok harga terendah; pedagang dilarang membeli dengan harga yang lebih rendah. Pematokan harga statusnya haram berdasarkan Sunnah, Anas ra, menuturkan (artinya): Harga meroket pada masa Rasulullah saw. Lalu mereka (para Sahabat) meminta, “Ya Rasulullah, patoklah harga untuk kami.” Beliau saw menjawab, “Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezeki; sementara aku sungguh ingin menjumpai Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntut aku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1235; Ibnu Majah, no. 2191; Ad-Darimi, no. 2600 dan Ahmad, no. 12131).


*Penggunaan Harta*


Dalam Islam pengelolaan yang dilakukan melalui penggunaan atau pengeluaran harta (infâq al-mâl) tanpa kompensasi,

NEGERI TANPA PAJAK, HANYA ISLAM YANG BISA

 NEGERI TANPA PAJAK, HANYA ISLAM YANG BISA


Oleh : Ustadz Budi Ashari, Lc


Ribut-ribut soal pajak. Pajak merupakan penopang terbesar APBN Indonesia. Pembiayaan terbesar negara ini berasal dari pajak. Sehingga negara ini sangat bergantung pada pajak untuk pembangunan dan penggajian pegawainya.


Tapi seiring dengan itu bermunculan para pegawai pajak yang kaya raya, walau hanya bergaji kecil. Lembaga pajak pun dinobatkan sebagai salah satu lembaga paling korup di negara muslim ini. Padahal disinyalir yang ditangkap baru tikus kecil. Para pemimpinnya berlaku bak pahlawan yang sedang mengusir dan membantai tikus.


Para ahli bicara. Semua memberi komentar. Kalimat paling standar pun muncul; kalau di rumah ada tikus, bunuh tikusnya jangan bakar rumahnya. Belum pernah ada yang berani sekadar berwacana: Negeri Tanpa Pajak. Walau sekadar berwacana. Tidak para ahli itu. Tidak para pengamat. Tidak para motivator yang biasa mengajak orang keluar dari kebiasaan. Tidak pemimpin agama.


Yang ada justru berbagai macam jenis pajak terus bermunculan. Pemerintah yang berhasil mengumpulkan pajak paling banyak sebagai income negara dianggap yang paling sukses. Saking liarnya wacana pajak, rakyat kecil yang hanya berjualan di sepanjang trotoar pun diwacanakan harus dipajaki. Nah, di sinilah dahsyatnya iman dan ilmu. Kalau sulit dijumpai orang yang sekadar berwacana tentang negeri tanpa pajak. Pembahasan kita ini bukan saja wacana. Bahkan merupakan iman! Dan telah teruji secara empiris!!!


Pajak, Warisan Romawi dan Persia

Dua negara adidaya itu yang mengajari tentang pajak. Berbagai macam pajak diwajibkan kepada rakyat. Tidak peduli apakah mereka tersiksa atau sekarat. Hidup semakin sulit. Sementara harta terkumpul di istana. Pantas saja, dua imperium besar itu layak dan harus ditutup. Karena kekuasaan yang dibangun di atas kedzaliman. Dan hanya Islam yang mampu menutupnya. Di zaman Khalifah adil Umar bin Khattab, keduanya berhasil tutup buku!


Berikut ini penjelasan Prof. Dr. Akram Dhiya’ dalam ‘Ashr al Khilafah Ar Rasyidah tentang Romawi,

“Adapun keadaan ekonominya, riba dan penimbunan adalah merupakan asas aturannya. Kaisar Heraklius mewajibkan pajak-pajak baru terhadap penduduk wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi, untuk menutup hutang besar pembiayaan perang dengan Persia.”


Selanjutnya, Akram menjelaskan dampak pajak-pajak yang semakin membuat income negara semakin besar tetapi membuat rakyat semakin sengsara,

“Emperium Bizantium mengalami penurunan drastis disebabkan oleh semakin besarnya berbagai pungutan dan pajak. Penurunan pada aktifitas bisnis, diabaikannya sektor pertanian dan semakin berkurangnya bangunan-bangunan.”


Akram menukil tulisan Alfred J. Butler dari bukunya Arab Conquest of Egypt sebagai penguat hal tersebut,

“Cukuplah untuk menjelaskan bagaimana Emperium Romawi mengatur wilayah-wilayahnya dengan melihat tulisan Butler tentang pengaturan Mesir:

(Romawi di Mesir menetapkan pajak jiwa juga pajak-pajak yang jenisnya banyak sekali.)

Dia juga menjelaskan:

(Tidak diragukan lagi, pajak-pajak Romawi di luar kemampuan masyarakatnya. Dijalankan tanpa mempedulikan asas keadilan.)

Dia kembali menjelaskan:

(Pemerintahan Romawi di Mesir hanya memiliki satu tujuan yaitu mengumpulkan harta sebanyak-sebanyaknya dari rakyat untuk pundi-pundi bagi para penguasa.)

Akram juga menukil literatur lain tulisan William J. Durant sebagai penguat:

(Bahkan masyarakat asli Romawi sendiri merasa keberatan terhadap pajak-pajak tersebut, khususnya para petani yang terpaksa menjual tanah-tanah mereka untuk membayar pajak dan kemudian pergi meninggalkan kotanya.)

Keadaan ketika masyarakat tercekik oleh pajak yang digunakan untuk pesta para penguasa, membuat mereka berlari ketika ada alternatif lain. Apalagi yang datang bukan buaya sebagai pengganti singa. Benar-benar generasi cahaya.


Saat Amr bin Ash memimpin penaklukan Mesir, dia menjumpai masyarakat Mesir justru menyambut dengan baik kehadiran muslimin. Apalagi mereka telah mendengar keadilan muslimin begitu terkenal di seluruh dunia.

Amr bin Ash berangkat dari Palestina, masuk ke Mesir melalui Rafah, menuju Arisy terus ke Farma berikutnya Kairo dan Iskandariyah.

DR. Ali Ash Shalaby berkata,

“Amr maju (masuk Mesir) ke arah barat, dia tidak menemui pasukan Romawi kecuali setelah sampai di wilayah Farma. Adapun sebelum wilayah itu, masyarakat Mesir menyambutnya ucapan selamat datang dan kegembiraan.”


Sebenarnya ini ancaman bagi negeri manapun. Masyarakat yang sudah muak dengan pajak yang semakin menyulitkan dan para penguasa yang berpesta, mereka akan segera menumpahkan kesetiaannya bagi kekuatan yang membebaskan mereka dari perpajakan. Untuk itulah setelah Amr bin Ash berhasil membuka Mesir, dia resmi mengumumkan ditutupnya pajak. Dan begitulah diberlakukan di seluruh dunia kekhilafahan saat itu.


Penghapusan Pajak di Pemerintahan Nuruddin Az Zenky

Nuruddin Az Zenky adalah seorang penguasa muslim yang hebat. Menegakkan aturan Islam di masyarakat. Menjaga keutuhan negara dari berbagai serangan; baik dari sekte-sekte sesat dan pasukan salib. Dialah yang berhasil menyatukan kembali Syam yang terkoyak karena perpecahan dan akhirnya lemah di hadapan musuh Islam. Negara menjadi tempat yang nyaman untuk beraktifitas ekonomi. Keamanan, kemakmuran, berawal dari keadilan dan jihad Nuruddin Mahmud Az Zenky. DR. Ali Ash Shalaby menulis buku:


عصر الدولة الزنكية

ونجاح المشروع الإسلامي بقيادة نور الدين محمود

الشهيد في مقاومة التغلغل الباطني والغزو الصليبي


(Pemerintahan Zenky Keberhasilan Gerakan Islam dipimpin Nuruddin Mahmud Asy Syahid menghadapi Kebatinan dan Perang Salib)


Salah satu konsep Nuruddin Az Zenky membangun keadilan, kebesaran dan kemakmuran negara adalah dengan dihilangkan semua bentuk pajak dan pungutan. Seluruh wilayahnya; Syam, Jazirah Arab, Mesir dan lainnya tadinya harus mengeluarkan pajak dengan besaran hingga mencapai 45%. Pengumuman resmi kenegaraan disampaikannya di seluruh wilayah, di masjid-masjid. Inilah yang dibacakan oleh Nuruddin di Mosul tahun 566 H di hadapan masyarakat:


وقد قنعنا من الأموال باليسير من الحلال، فسحقا للسحت، ومحقاً للحرام الحقيق بالمقت، وبعداً لما يبعد من رضا الرب، وقد استخرنا الله وتقربنا إليه بإسقاط كل مكس وضريبة في كل ولاية لنا بعيدة أو قريبة ومحو كل سنة سيئة شنيعة، ونفي كل مظلمة فظيعة وإحياء كل سنة حسنة .. إيثاراً للثواب الآجل على الحطام العاجل


“Kami rela dengan harta yang sedikit tapi halal, celakalah harta haram itu, sungguh celaka. Jauh dari ridho Robb. Kami telah istikhoroh kepada Alah dan mendekatkan diri kepada Nya dengan menghapus segala bentuk pungutan dan pajak di semua wilayah; yang dekat ataupun yang jauh. Menghilangkan semua jalan buruk, meniadakan setiap kedzaliman dan menghidupkan setiap sunnah (jalan) yang baik...lebih memilih balasan di kemudian hari di bandingkan kehancuran yang segera.”


Tak hanya membacakan resmi keputusan baru negara di setiap wilayahnya. Tetapi Nuruddin juga memohon kepada para khatib-khatib di masjid-masjid untuk menyampaikan permohonan maaf negara atas pungutan dan pajak yang selama ini diambil.


Pemerintahan Nuruddin Zenky selanjutnya memberikan ancaman hingga hukuman mati bagi siapapun pejabat yang masih melakukan pungutan atau pajak. Pasti kemudian muncul pertanyaan: dari mana, negara membiayai semua kegiatannya.


Islam mempunyai jawaban yang sangat lengkap. Sumber pemasukan negara yang ditetapkan Islam halal dan berkah. Kehalalan dan keberkahan lah yang membuat negara justru menjadi lebih banyak pemasukannya.


Tulisan ini belum membahas detail masalah itu. Dan justru di sinilah pentingnya para ulama hari ini menyuguhkan konsep jelas dan detailnya. Tetapi mari kita dengarkan hasil global yang diperoleh oleh pemerintahan Nuruddin.


DR. Ali Ash Shalaby menjelaskan,

“Hasil yang lazim setelah itu, masyarakat menjadi lebih giat untuk bekerja. Para pebisnis mau mengeluarkan harta-harta mereka untuk terus berbisnis. Pungutan yang sesuai dengan syariat justru berlipat-lipat lebih banyak dibandingkan pungutan haram.”


Kemudian dia menukil kalimat Ibnu Khaldun:

“Perlakuan tidak baik terhadap harta masyarakat, akan melenyapkan harapan mereka dalam mengembangkan harta mereka. Karena mereka sadar, ujungnya uang mereka akan hilang dari tangan. Jika ini terjadi, maka mereka akan cenderung menahan diri untuk berkarya. Tergantung seberapa besar kedzaliman terhadap mereka, sebesar itulah mereka menahan diri dari pengembangan harta. Maka rugilah pasar-pasar, gedung-gedung dan rusaklah keadaan.....kedzaliman terhadap harta masyarakat, kehormatan, darah dan rahasia mereka menyebabkan keguncangan dan kerusakan sekaligus. Negara pun runtuh dengan cepat."


Hasil baik dari penghapusan pajak yang sering tidak diduga di zaman egois seperti ini adalah peran orang-orang kaya terhadap masyarakat miskin. Terbentuklah masyarakat yang saling menanggung dan menjamin seperti yang terjadi di pemerintahan Nuruddin Zenky. Hal ini mereka lakukan karena meneladani pemimpin negara sekaligus mengharap balasan dari Allah. Sehingga bermunculanlah swadaya untuk membangun sekolah-sekolah, masjid-masjid, rumah-rumah yatim dan sebagainya.


So, solusi itu memang hanya ada di Islam.


Negeri tanpa pajak bukanlah wacana. Negeri tanpa pajak adalah solusi pembangunan yang benar-benar membangun.

Tuesday, October 15, 2024

NABI TIDAK MENDIRIKAN KHILAFAH ?

 NABI TIDAK MENDIRIKAN KHILAFAH

.

© Doni Riw

.

Ada seorang ustadz yang menulis bahwa Rasul Salallahu Alaihi Wasalam tidak mendirikan Khilafah.

.

Ketika mengirim surat kepada Kaisar Romawi, Kaisar Persia, dan para Raja, juga tidak menggunakan nama Khilafah.

.

Apakah benar demikian? Tentu saja benar. Karena Khilafah itu berasal dari akar kata Khalafa/Yakhlufu yang berarti "Mengganti". Bagaimana penjelasannya? Mari simak terus, tulisan ini tidak panjang kok.

.

Bentuk Fa'il (subjek) atas kata Khalafa (mengganti) adalah Khalifah yang berarti "Pengganti". Kata ini muncul di dalam QS Al Baqarah ayat 30, bahwa Allah akan menciptakan Khalifah di muka bumi.

.

Rasul SAW sebagai kepala negara tentu saja tidak disebut Khalifah (Pengganti), karena beliaulah yang mendirikan Daulah Islam tersebut tahun 622M.

.

Baru setelah Rasul SAW wafat, Abu Bakar menggantikan posisi beliau sebagai kepala negara. Maka Abu Bakar disebut sebagai Khalifah. Lengkapnya adalah Khalifatur Rasul, yang berarti pengganti Rasul. Bukan pengganti sebagai Nabi, tetapi sebagai kepala negara.

.

Posisi Abu Bakar sebagai pemimpin negara disebut Khalifah. Maka negaranya disebut Khilafah, ideologinya Islam, kedaulatan hukumnya Syariah.

.

Jadi jelas ya, bahwa Rasul SAW memang bukan Khalifah (Pengganti), karena posisi beliaulah yang digantikan oleh para Khalifah penerusnya.

.

Sedangkan Para Sahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in, dan seterusnya sampai kita, berkewajiban melanjutkan perjuangan nabi, melanjutkan mendaulatkan Syari'at, melanjutkan kepemimpinan beliau SAW.

.

Kalau orang kafir menolak melanjutkan Daulah dan kepemimpinan Beliau SAW itu ya wajar saja.

.

Tapi kalau ada muslimin ngaku beriman kok nyinyiri Khilafah, nyinyiri Khulafaur Rasyidin, itu sebenernya imannya beneran atau di bibir saja?

.

Jogja 1622

IG @doniriw

t.me/doniriw_channel

YouTube.com/doniriw

.

#KhilafahPenerusNabi #doniriw

Sunday, September 22, 2024

TANGGAPAN ATAS PERNYATAAN GURU KAMI, BUYA YAHYA

 TANGGAPAN ATAS PERNYATAAN GURU KAMI, BUYA YAHYA


Oleh: Irkham Fahmi Al-Anjatani


1. Beberapa bulan terakhir, jagat dakwah di dunia maya disuguhkan pernyataan-pernyataan guru kami yang mulia, Buya Yahya (Pembina LPD Al-Bahjah Cirebon), mengenai sanad keilmuan HT (Hizbut Tahrir).


2. Meskipun beliau tidak menuduh langsung bahwa pemikiran-pemikiran HT adalah tidak “bertuan”, tetapi secara tersirat Buya Yahya sudah memandang bahwa pemikiran-pemikiran HT tidak dilandasi dengan sanad keilmuan yang mutashil hingga kepada para ulama-ulama salaf, bahkan anti madzhab.


3. Menurut penuturan orang-orang HTI, beberapa tahun yang lalu mereka pernah sowan ke kediaman Buya Yahya. Singkat cerita, Buya Yahya langsung mengajukan satu pertanyaan, “HTI itu akidahnya apa ?”, spontan dijawab oleh teman-teman HTI, “Akidah Islamiyyah”. Inilah jawaban yang ternyata membuat Buya Yahya berpikir yang tidak-tidak tentang HTI.


4. Mungkin jawaban yang diharapkan Buya Yahya dari HTI adalah, “Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang secara akidah berlandaskan pemahaman Abu Hasan al-Asy’ari dan Al-Maturidi, secara fiqih berlandaskan Madzahibul Arba’ah, dan secara Tasawuf berlandaskan pemahaman Al-Ghazali dan Abu Yazid Al-Busthami ”.


5. Lantas, apa kemudian hanya dengan jawaban yang disampaikan oleh rekan-rekan HTI itu kita dengan mudahnya langsung menyimpulkan ?.. apalagi jawaban itu keluar secara spontanitas dari teman-teman HTI, mereka belum tau arah pertanyaan Buya Yahya kemana.


6. Padahal jika harus jujur, hakikat dari jawaban (“Akidah Islamiyyah”) yang disampaikan oleh syabab-syabab HTI adalah sama saja dengan apa yang dipahami oleh Buya, lebih-lebih banyak juga syabab-syabab HTI yang aktif di pengajian-pengajian Al-Bahjah. Jawaban itu adalah jawaban sederhana yang tidak sepatutnya untuk dijadikan bahan tuduhan yang bukan-bukan.


7. Menanggapi hal tersebut, Penulis akan mengklarifikasi berbagai sangkaan-sangkaan terhadap HTI. Ini merupakan wujud rasa cinta Penulis kepada guru tercinta, Buya Yahya. Penulis sering mendengar nasehat Buya, bahwa perhatikanlah apa yang disampaikan, jangan memperhatikan siapa yang menyampaikan.


8. Walaupun yang menyampaikan anak kecil, tetapi apabila yang disampaikannya itu adalah benar, maka wajib bagi kita untuk mentaatinya. Begitupun sebaliknya, meski yang menyampaikan adalah seorang ulama terkemuka, tetapi jika yang disampaikannya itu bermasalah secara syariat, maka wajib bagi kita untuk mengingkarinya.


9. SANAD KEILMUAN HIZBUT TAHRIR

HT didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, beliau adalah pewaris ilmu dan sanad ilmu dari ayahandanya Syaikh Ibrahim bin Musthafa bin Ismail An-Nabhani. Beliau juga mendapat ilmu dan sanad ilmu dari kakek beliau SYAIKH YUSUF BIN ISMAIL AN-NABHANI, pengarang kitab “Afdhalu Ash-Shalawat ‘Ala Sayyid As-Sadat”, juga kitab “Jami'ul Karamah al Auliya'. Jika kita melihat silsilah sanad keilmuan KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU ) yang diterbitkan secara resmi oleh PBNU, niscaya dalam poster (catatan) itu akan tertulis nama dari Kakek pendiri Hizbut Tahrir itu.


10. Syaikh Yusuf Annabhani (kakek pendiri HT) berguru pada banyak ulama' terutama kepada Syaikh Syamsuddin al-Ambabi as-Syafi’i, satu-satunya Syaikh pada masanya yang mendapat julukan Hujjatul Ilmi dan guru besar Universitas Al-Azhar pada masa itu. Banyak ulama' Indonesia yang berguru pada beliau (syaikh Yusuf) baik langsung maupun tidak langsung. Salah satunya adalah ulama Betawi, yaitu sayid Utsman bin Abdillah bin Aqil bin Yahya aI 'Alawi, yang masyhur dengan nama julukan "Mufti Betawi".


11. Syaikh Taqiyuddin (pendiri HT) secara khusus dititipkan oleh Syaikh Yusuf An-Nabhani kepada sahabat-sahabat beliau yang mengajar di Al-Azhar sehingga Syaikh Taqiyuddin secara keilmuan terjaga dan secara sanad ilmu juga tetap tersambung. Setelah Syaikh Taqiyuddin lulus dari Al-Azhar beliau mengajar dan kemudian jadi Qadhi, baru setelah itu beliau mendirikan HT.


12. Disinilah letak keunikannya, meskipun HT sebuah gerakan politik tetapi HT memiliki kekhasan yang "mungkin" tidak dimiliki gerakan lain, yaitu terjaganya sanad ilmu para kadernya. Mereka yang berhak memberi Halqah (tatsqif) hanyalah para Musyrif yang telah mendapatkan Ijazah (lisensi) untuk mengajarkan afkar mutabanat HT kepada para anggota dibawahnya. Dan itu berlaku sejak pertamakali HT didirikan.


13. Sehingga tsaqafah (ilmu) yang didapatkan oleh para syabab HT adalah dari musrifnya, dari musrifnya lagi hingga ke pendiri dan pengarang kitab (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani) di mana Syaikh Taqiyuddin sendiri sanadnya tersambung ke ayahnya, kakeknya, dan guru-gurunya di Al-Azhar hingga tersambung sampai ke Nabi Muhammad saw.


13. Jika kita mau untuk membuka situs resmi Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, niscaya semuanya akan tau bahwa ternyata Al-Azhar Assyarif telah memasukkan Syaikh Taqiyuddin Annabhani sebagai ulama terkemuka yang paling dikenang di kampus itu.


14. PROSES PEREKRUTAN ANGGOTA HT

Ketika HT merkerut anggota, HT tidak sekedar menyuruh calon anggota untuk mengisi formulir dan kemudian selesai, menjadi anggota resmi HT. Siapapun di antara kita (walaupun sekelas ustadz dan kiai) yang hendak bergabung dengan HT maka ia harus halaqoh (mengkaji 4 Kitab awal HT, karya Syaikh Taqiyuddin Annabhani), terlebih dahulu, umumnya ini berlangsung selama 3 hingga 4 tahun.


15. Di dalam halaqoh itu ia boleh mengkritisi “sepuasnya” berbagai materi yang ada di dalam kitab. Setelah mengkaji empat kitab itu ia ditawarkan, apakah mau bergabung menjadi anggota resmi atau tidak. Jelaslah bahwa HT bukan gerakan yang otodidak memahami nash-nash Syara', tetapi HT memahami nash syara' sebagaimana para ulama' memahaminya, bukan hanya mencomot dan membaca sendiri kitabnya, tetapi HT memiliki sanad ilmu terhadap pemahaman yang ada dalam kitab ulama'-ulama' tersebut.


16. Hal ini sangat sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh Nashir Al-Asad: “Orang yang hanya mengambil Ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majelis-majelis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim”.


17. Para 'ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dhaif (lemah).

Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, sanad dalam riwayat menurut pandangan Penulis adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini.


18. Terakhir, penjelasan tentang bagaimana proses menegakkan Khilafah sudah sangat terang benderang di dalam kitab-kitab HT. Semuanya dikaji berlandaskan dalil-dalil syara’ secara kritis dan komprehensif. Semoga kita sekalian mau untuk mengkajinya.

SEMOGA KITA BISA MERAJUT UKHUWAH & MEMBANGUN DAKWAH..


#KhilafahAjaranIslam

Saturday, September 21, 2024

MENCINTAI NABI SAW. SEPENUH HATI

 *MENCINTAI NABI SAW. SEPENUH HATI*


Buletin Kaffah No. 361 (16 Rabiul Awwal 1446 H/20 September 2024 M)


Tak terasa, kita kembali berada pada bulan Rabiul Awwal. Bulan kelahiran Baginda Rasulullah saw. Seperti biasa, Peringatan Hari Kelahiran (Maulid) Rasulullah saw. Muhammad ramai diselenggarakan oleh kaum Muslim di berbagai tempat dengan penuh kegembiraan.


Kegembiraan itu tentu wajar. Pasalnya, kelahiran Rasulullah saw. adalah nikmat yang paling agung bagi umat manusia. Allah SWT berfirman:


لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاَ مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِه وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ


Sungguh, Allah telah memberi kaum Mukmin karunia ketika Dia mengutus seorang rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri. Ia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka serta mengajari mereka al-Kitab (al-Quran) dan Hikmah (as-Sunnah) meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata (TQS Ali Imran [3]: 164).


*Wajib Mencintai Nabi saw.*


Peringatan Maulid Nabi saw. adalah salah satu wasilah untuk terus memelihara rasa cinta (mahabbah) kepada beliau. Mencintai beliau tentu tidak seperti mencintai sesama manusia. Kecintaan seorang Muslim kepada beliau harus di atas kecintaan kepada yang lain. Nabi saw. sendiri yang menyatakan demikian:


لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ


Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia menjadikan aku lebih dia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan segenap manusia (HR al-Bukhari).


Karena itu mencintai Nabi Muhammad saw. hukumnya wajib. Al-Quran telah mengancam dengan keras siapa saja yang cintanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya terpalingkan oleh kecintaan kepada yang lain:


قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ


Katakanlah, “Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian dan keluarga kalian, juga harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya. Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang fasik.” (TQS at-Taubah [9]: 24).


Siapa pun yang mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya sepenuh hati, yang terus ia pertahankan sampai mati, ia pasti akan bersama-sama dengan beliau di surga-Nya nanti. Beliau bersabda:


أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ


“Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR al-Bukhari).


*Haram Menyakiti Nabi saw.*


Jika memang mencintai Nabi saw. setulus dan sepenuh hati, seorang Muslim tidak boleh sedikitpun menyakiti hati beliau. Allah SWT telah mengancam dengan keras siapa saja yang menyakiti beliau, sebagaimana firman-Nya:


وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


Orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih (TQS at-Taubah [9]: 61).


Jika memang mencintai Nabi saw. setulus dan sepenuh hati, seorang Muslim juga tidak boleh sedikitpun membuat beliau marah. Apa yang bisa membuat beliau marah? Jawabannya dituturkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra.: Rasulullah saw. pernah datang menemui diriku dalam keadaan marah. Aku berkata, “Siapa yang telah membuat engkau marah, wahai Rasulullah? Semoga Allah memasukkan mereka ke dalam neraka.” Beliau menjawab:


أَوَمَا شَعَرْتِ أَنِّي أَمَرْتُ النَّاسَ بِأَمْرٍ، فَإِذَا هُمْ يَتَرَدَّدُوْنَ


“Bagaimana perasaanmu ketika aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah, lalu mereka bimbang (ragu untuk melaksanakan perintah tersebut, red.).” (HR Muslim dan Ibnu Hibban).


Dengan demikian jelas bahwa bukti cinta hakiki kepada Nabi saw. adalah mentaati beliau tanpa bimbang dan ragu. 


Ketaatan kaum Muslim kepada beliau akan mengantarkan mereka ke dalam surga-Nya. Hal ini telah ditegaskan oleh beliau sendiri:


كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى


"Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan," Para Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, siapa yang enggan?" Beliau menjawab, "Siapa yang mentaati aku pasti masuk surga dan siapa yang membangkang kepadaku berarti ia enggan (masuk surga)." (HR al-Bukhari).


*Totalitas dalam Ketaatan*


Bukti cinta kepada Nabi saw. tidak lain adalah ketaatan total kepada beliau. Sebagaimana dinukil oleh Imam al-Qusyairi dalam Risâlah al-Qusyairiyyah:


إِنَّ مِنْ عَلاَمَاتِ اْلحُبِّ الطَّاعَةُ


Sungguh di antara tanda cinta itu adalah taat.


Jika memang demikian kenyataannya maka kaum Muslim wajib mentaati Rasulullah Muhammad saw. dalam seluruh aspek kehidupan beliau. Bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlak beliau saja. Hal ini sekaligus menjadi bukti cinta hakiki kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:


قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي


Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (TQS Ali Imran [3]: 31).


Dalam ayat di atas, frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi saw. 


Allah SWT juga berfirman:


وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ


Sungguh engkau (Muhammad) berada di atas khuluq yang agung (TQS al-Qalam [68]: 4).


Di dalam tafsirnya, Imam Jalalain menyatakan bahwa kata khuluq dalam ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain, Tafsîr Jalâlayn, 1/758). 


Dengan demikian ayat di atas bisa dimaknai: “Sungguh engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung.” 


Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: “Sungguh engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam.” (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, 4/403). 


Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah ra., istri Nabi saw., pernah ditanya oleh Saad bin Hisyam ra. mengenai akhlak Nabi saw. Aisyah ra. lalu menjawab:


كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ 


Sungguh akhlak beliau adalah al-Quran (HR Ahmad).


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cara meneladani Nabi Muhammad saw. hakikatnya adalah dengan mengamalkan seluruh isi al-Quran, yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai dari akidah dan ibadah hingga berbagai muamalah seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum dan pemerintahan. Sebabnya, Rasulullah saw. sendiri tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta melaksanakan shalat, shaum, zakat dan haji secara benar. Beliau pun mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan, melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan sanksi-sanksi hukum (‘uqûbat) bagi pelaku kriminal serta mengatur pemerintahan/negara secara benar dengan syariah Islam. Lalu apakah memang Rasulullah saw. hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja tidak! 


Jika demikian, mengapa saat ini kita enggan meninggalkan riba dan transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme sekuler? Enggan mengatur urusan sosial, pendidikan, politik dengan aturan Islam? Enggan menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi yang murtad, dll)? Juga enggan mengatur pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikkan oleh Rasulullah saw. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah)?


Padahal Allah SWT telah menegaskan:


وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا


Apa saja yang Rasul bawa kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah (TQS al-Hasyr [59]: 7).


Kata “mâ” (apa saja) pada ayat di atas bermakna umum, yakni mencakup semua perkara.


Namun sayang, pada akhirnya, jujur harus kita akui, terkait Peringatan Maulid Nabi saw. saat ini, di tengah-tengah kaum Muslim justru banyak ironi. Buktinya: Setiap tahun Maulid Nabi saw. diperingati. Akan tetapi, korupsi yang diharamkan beliau justru makin menjadi-jadi. Ekonomi ribawi yang beliau larang masih menjadi tumpuan di negeri ini. Ideologi yang diterapkan bukan ideologi Islam yang dibawa Nabi saw. Yang diterapkan malah ideologi Kapitalisme-sekuler dari Barat yang justru bertentangan dengan tuntunan beliau. Al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum peninggalan beliau juga terus dilucuti, sementara hukum-hukum sekuler yang lahir dari proses demokrasi dianggap yang paling layak diikuti.


Setiap tahun Maulid Nabi saw. diperingati. Akan tetapi, yang diterapkan dalam politik di negeri ini adalah sistem demokrasi yang diajarkan oleh para ahli Barat sekuler seperti Montesquie, John Locke, dll. Bukan sistem pemerintahan Islam yang diwariskan Nabi saw., yakni Khilafah Islamiyah, dan dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin. Padahal Rasulullah saw. telah bersabda:


فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ


Kalian wajib berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah pada sunnah itu dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi). 


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Allah SWT berfirman:


لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ


Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul (yakni Rasulullah Muhammad saw.) dari kalangan kalian sendiri. Berat terasa oleh dia penderitaan kalian. Dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Dia amat belas kasihan lagi penyayang kepada kaum Mukmin. (TQS at-Taubah [9]: 128). []

Saturday, September 14, 2024

Keajaiban Al-Qur'an dalam angka


Al-Qur'an dalam angka:


_Kata HUKUMAN   ada 117 kali_

_Kata AMPUNAN  ada  234 kali_.


_ALLAH lebih menyukai pemberian maaf daripada membalas kesalahan orang, oleh karena itu jumlah kata  AMPUNAN persis 2 kali nya jumlah kata HUKUMAN_.


_Beberapa kata yang seimbang :_

_Kata KATAKANLAH                    332  kali_

_Kata MEREKA MENGATAKAN   332 kali_.


_Kata DUNIA                115 kali_

_Kata AKHIRAT             115 kali_.


_Kata SETAN                88 kali_

_Kata MALAIKAT         88 kali_.


_Kata SURGA               77 kali_

_Kata NERAKA            77 kali_.


_Kata    ZAKAT            32 kali_

_Kata  BERKAH           32 kali_.


_Kata MUSIM PANAS   dan  PANAS   5 kali_

_Kata MUSIM DINGIN  dan DINGIN   5 kali_.


_Kata LAKI LAKI        23   kali_

_Kata PEREMPUAN  23   kali_.

_Manusia memiliki jumlah kromosom 46  yg berasal  dari LAKI LAKI (Ayah) 23 dan dari PEREMPUAN (Ibu) 23 jadi jumlahnya 46_.


_Kata KEKAYAAN      26 kali_

_Kata KEMISKINAN  13 kali_

_Karena itu ALLAH memerintahkan kita bekerjalah seolah olah kita akan hidup 1.000 tahun lagi  agar mendapat KEKAYAAN yang jauh lebih penting dari KEMISKINAN,    karena dg adanya KEKAYAAN kita bisa berzakat, bersedekah,  dan bisa berbagi._


_Kata TANAH    13 kali_

_Kata LAUT       32 kali_.

_Kalau dijumlahkan = 45_


_TANAH = 13/45  = 28.888 %_

_LAUT  =  32/45  = 71.111%_


_Buka peta dunia maka akan terlihat bahwa luas daratan atau TANAH  memang 28.888 % luas  dunia._

_Dan luas LAUT memang 71.111 % luas dunia_.


*_Kesimpulan :_*

AL QURAN BENAR BENAR DARI ALLAH,  KARENA TIDAK ADA SEORANG PUN YANG AKAN MAMPU MENULIS SESUATU  SE AKURAT DAN SE KONSISTEN ITU


Subhanallah..._ wa masyaa Allah


*_SILAHKAN DI SHARE_*


https://youtu.be/Dvbu3GryHu4


#indonesiamakmurberkeadilan

TOLERANSI TANPA MERUSAK AQIDAH ISLAM

 *TOLERANSI TANPA MERUSAK AQIDAH ISLAM*


Buletin Kaffah No. 360 (9 Rabi’ul Awwal 1446 H/13 September 2024 M)


Baru-baru ini Paus Fransiskus datang ke Indonesia. Kedatangan Paus ke Indonesia merupakan kunjungan yang pertama dalam 35 tahun setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989 silam. Tak hanya datang, Pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan itu juga mengadakan misa agung di Gelora Bung Karno (GBK) yang dihadiri ribuan umat Kristiani. 


Kedatangan Paus disambut dengan gegap-gempita. Namun, penyambutan atas kedatangannya dinilai berlebihan dan menulai polemik di tengah kaum Muslim. Pasalnya, serangkaian prosesi penyambutan Paus—yang dinarasikan sebagai misi perdamaian, kemanusiaan dan toleransi—telah kebablasan dan menabrak batas-batas Aqidah Islam. 


Polemik itu berawal dari surat yang dilayangkan oleh panitia kunjungan Paus Fransiskus tertanggal 9 Agustus 2024 kepada Kementerian Agama terkait permohonan dukungan kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia 3-6 September 2024. Sebagai tindak lanjut, Kementerian Agama bersurat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tertanggal 1 September 2024. Surat yang ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam dan Katolik itu di antaranya berisi: Pertama, saran agar Misa bersama Paus Fransiskus pada Kamis 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00–19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kedua, agar penanda waktu maghrib di televisi nasional cukup ditunjukkan dalam bentuk running text (bukan kumandang azan seperti biasanya). Dengan itu misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia.


Ada juga agenda pembacaan Injil dan al-Quran untuk menyambut Paus di Masjid Istiqlal Jakarta. Bersama Paus Fransiskus juga dilakukan penandatanganan dokumen kemanusiaan dengan tujuan untuk menguatkan opini seputar toleransi umat beragama di negeri ini. 


Tampak jelas bahwa serangkaian prosesi penyambutan Paus ini mengarah pada sinkretisme, pluralisme dan humanisme beragama.


*Perlu Sikap Kritis*


Tentu diperlukan sikap kritis terhadap praktik sinkretisme, pluralisme dan humanisme beragama ini. 


1. Sinkretisme beragama. 


Sinkretisme beragama bermakna mencampuradukkan ajaran agama-agama. Termasuk mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan ajaran agama-agama lain. Sinkrestisme beragama semacam ini jelas mencampuradukkan yang haq dan yang batil, yang nyata-nyata terlarang dalam Islam. Allah SWT berfirman: 


وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ 


Janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Jangan pula kalian menyembunyikan yang haq itu, sedangkan kalian mengetahui (TQS al-Baqarah [2]: 42).


2. Pluralisme agama. 


Pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Karena itu kebenaran setiap agama adalah relatif. Konsekuensinya, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. 


Setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini: Pertama, aspek normatif. Secara normatif, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islam. Pluralisme bertentangan antara lain dengan firman Allah SWT berikut:


إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ وَمَا ٱخۡتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡعِلۡمُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ 


Sungguh agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Siapa saja yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, sungguh Allah sangat cepat hisab-Nya (TQS Ali Imran [3]: 19). 


Allah SWT juga berfirman:


وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِيْنًا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ 


Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekali-kali agama itu tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi (TQS Ali Imran [3]: 85).


Dengan alasan itu, wajar jika pluralisme agama difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia dalam Munas VII MUI tahun 2005.


Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tetapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok.


Ketiga, aspek inkonsistensi Gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentu Gereja harus menganggap agama Islam juga benar. Tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Dengan begitu mereka tidak melakukan misi kristenisasi kepada umat Islam.


Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi Kapitalisme yang Kristen atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai membawa misi imperialisme. 


3. Humanisme beragama.


Humanisme muncul pada era Renaissance di Eropa. Ketika itu banyak pemikir seperti Petrarch, Erasmus dan Pico della Mirandola mulai memusatkan perhatian pada kebangkitan budaya klasik Yunani dan Romawi. Mereka juga menggali potensi manusia di luar dogma agama yang dominan saat itu. Sejak kelahirannya, paham humanisme ini justru ingin menghilangkan peran agama dalam kehidupan. Caranya dengan menjadikan manusia pusat edar kehidupan, dengan mengabaikan Tuhan dan agama. 

Paham humanisme bertentangan dengan firman Allah SWT: 


قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ 


Katakanlah, “Sungguh shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (TQS al-An’am [6]: 162). 


*Sikap Muslim Seharusnya*


Dengan demikian para tokoh umat semestinya paham bahwa kunjungan orang kafir ke negeri ini seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim, seperti menampakkan syiar dan dakwah Islam kepada mereka. Bukan sebaliknya, justru mereka dibiarkan membawa misi agama mereka kepada umat Islam. 


Rasulullah saw. sebagai teladan kaum Muslim juga biasa menampakkan syiar dan dakwah Islam kepada para pemimpin kafir. Rasulullah saw. pernah mengirimkan utusan kepada Kaisar Romawi, Raja Persia, Raja Muqawqis Agung, Raja Qibti Mesir dan Raja Habasyah dengan surat yang berisi ajakan masuk Islam. Kepada Raja Persia, misalnya, Rasulullah saw. dalam suratnya tegas menyatakan: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah kepada Raja Agung Persia. Semoga keselamatan atas siapa saja yang mengikuti jalan, beriman kepada Allah dan utusan-Nya, serta bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah yang Satu, tiada sekutu, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku menyeru dengan seruan Allah. Sungguh aku adalah utusan Allah kepada seluruh manusia, untuk memperingatkan orang yang hidup dan membenarkan perkataan kepada orang-orang kafir. Masuklah Islam. Niscaya Anda akan selamat. Jika Anda mengabaikan seruan ini maka Anda menanggung dosa orang-orang Majusi (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, 2/123; Al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdaad, 1/132). 


Selain itu, konsep toleransi dalam Islam bukan mengarah pada paham sinkretisme, pluralisme dan humanisme yang merusak Aqidah Islam. Toleransi adalah membiarkan serta tidak mengganggu ibadah dan kepercayaan agama lain. Hal ini digambarkan dengan jelas dalam firman Allah SWT: 


قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ (1) لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ (2) وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ (3) وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمۡ (4) وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ (5) لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ (6)


Katakanlah, "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian juga bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Kalian pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalian agama kalian dan untuk aku agamaku.” (TQS al-Kafirun [109]: 1-6).


Secara historis, praktik pertama toleransi beragama dijalankan oleh Rasulullah saw. di dalam naungan Negara Islam di Madinah al-Munawarah dengan sangat indah. Selanjutnya praktik toleransi dalam Islam juga terwujud indah dalam peradaban Islam di bawah naungan Khilafah Islam sepanjang sejarahnya. Di Mesir, misalnya, umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak masa Khulafaur Rasyidin. Di India, sepanjang Kekhalifahan Bani Umayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, Muslim dan Hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Toleransi dalam Islam juga terbangun indah pada masa Kekhilafahan Islam di Spanyol. Di Spanyol, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen juga hidup berdampingan dengan tenang dan damai.


Keindahan praktik toleransi dalam Islam ini sejalan dengan misi pengutusan Rasulullah saw. kepada seluruh manusia untuk menebarkan rahmat. Allah SWT berfirman: 


وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةً لِّلۡعَٰلَمِينَ 


Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107). 


Karena itu selayaknya kita terus berdakwah demi tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Sebabnya, sudah terbukti bahwa hanya Khilafahlah—melalui penegakan syariah secara kâffah dan misi dakwahnya yang universal—yang mampu mewujudkan toleransi yang hakiki sekaligus menebarkan rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta. 


WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []


---*---


*Hikmah:*


Allah SWT berfirman:


وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ


Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang mengajak pada (agama) Allah, mengerjakan amal shalih, dan berkata, "Sungguh aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (TQS al-Fushilat [41]: 33). []

Friday, September 13, 2024

TAK KENAL LELAH MENCARI “NUSHRAH

 TAK KENAL LELAH MENCARI “NUSHRAH”

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman


Setelah Rasulullah saw. mengalami ujian yang luar biasa beratnya di Thaif, sebagaimana yang disampaikan Nabi kepada ‘Aisyah, ketika dakwahnya mendapatkan kemenangan, dan telah memiliki negara. 


Tanya ‘Aisyah, “Apakah ada suatu yang lebih berat bagimu, ya Rasulullah, melebihi peristiwa Perang Uhud?” Nabi saw. pun menjawab, “Aku benar-benar telah mendapatkan dari kaummu, apa yang telah aku alami. Itu lebih berat, ketimbang apa yang pernah aku alami.. Ketika aku menawarkan diriku kepada putra Abdi Yalil bin ‘Abdi Kulal, salah seorang pemuka Thaif, namun tidak mau memenuhi apa yang aku inginkan. Aku pun pergi meninggalkannya dengan raut wajah penuh kesedihan. Aku pun merasakan kesedihan hingga sampai di Qarn at-Ta’alib [Qarnu al-Manazil].” [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz VI/312-315]


Setelah mendapatkan bisyarah dari langit, saat di Wadi Nakhlah, ketika Allah mengirim Malaikat Jibril dan Malaikat penunggu gunung untuk membalas perlakuan Bani Tsaqif di Thaif, dan jin-jin yang berdatangan mendengarkan bacaan Nabi saw. saat di lembah itu, Nabi saw. akhirnya kembali ke Makkah dengan perlindungan dari Muth’im bin ‘Adi. Peristiwa Thaif tidak menyurutkan nyali Nabi saw. untuk terus berusaha mencari dukungan [nushrah] dari suku dan kabilah lain. 


Imam az-Zuhri, menuturkan, bahwa kabilah dan suku yang pernah didatangi oleh Rasulullah saw. untuk didakwahi, diajak memeluk Islam dan memberikan “nushrah” untuk menolong dakwahnya adalah Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Bani Muharib bin Khashfah, Bani Fazarah, Bani Ghassan, Bani Murrah, Bani Hanifah, Bani Sulaim, Bani ‘Abas, Bani Nashr, Bani Buka’, Bani Kindah, Bani Kalb, Bani al-Harits bin Ka’ab, Bani ‘Udzrah, Bani Hadharimah, namun tak seorang pun dari mereka yang bersedia memenuhi seruannya [Lihat, Syaikh ‘Abdullah an-Najadi, Mukhtashar Sirah ar-Rasul, hal. 149]. 


Hanya saja, kabilah dan suku yang disebutkan oleh az-Zuhri ini tidak semuanya didatangi oleh Nabi saw. pada satu tahun yang sama. Juga tidak pada satu musim haji yang sama, melainkan sudah didatangi sejak tahun 4 kenabian, hingga akhir musim haji, sebelum hijrah ke Madinah. Memang, ada kabilah-kabilah tersebut yang bisa dipastikan telah didatangi oleh Nabi saw. pada tahun 10 kenabian, sebagaimana yang disebutkan oleh al-‘Allamah al-Manshur Fauri [Lihat, Rahmatu li al-‘Alamin, Juz I/74; an-Najib Abadi, Tarikh Islam, Juz I/125].


Mengenai respon berbagai suku dan kabilah yang pernah didatangi oleh Nabi saw. itu telah diuraikan oleh Ibn Ishaq, secara singkat, sebagai berikut: 


1- Bani Kalb, misalnya, telah didatangi Nabi saw. Salah satu suku yang didatangi adalah Bani ‘Abdullah. Mereka diajak Nabi saw. agar mengimani Allah, dan baginda saw. menawarkan dirinya kepada mereka. Sampai Nabi saw. harus menyampaikan kepada mereka, “Wahai Bani ‘Abdullah, sesungguhnya Allah SWT telah memilih nama terbaik untuk orang tua kalian. Namun, mereka tetap tidak menerima apa yang baginda saw. sampaikan kepada mereka.”


2- Bani Hanifah telah didatangi oleh Nabi saw. di rumah-rumah mereka. Mereka telah diajak oleh Nabi saw. untuk mengimani Allah, Nabi saw. juga menawarkan dirinya kepada mereka, tetapi mereka tidak memenuhi seruannya. Bahkan, tak ada satu pun bangsa Arab yang lebih buruk penolakannya kepada Nabi saw. melebihi penolakan mereka. 


3- Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah juga telah didatangi oleh Nabi saw. Mereka telah diajak oleh Nabi saw. untuk mengimani Allah, Nabi saw. juga menawarkan dirinya kepada mereka. Buhairah bin Firas, salah seorang tokoh  mereka, menyatakan kepada Nabi saw, “Demi Allah, kalau sampai aku mengambil pemuda Quraisy ini, maka dengannya, aku akan menguasai bangsa Arab.” Lalu, dia bertanya, “Bagaimana menurutmu, jika kami membai’at kamu dalam urusanmu, kemudian Allah memenangkan kamu terhadap siapa saja yang menentangmu, apakah kami berhak untuk mendapatkan urusan ini setelahmu?” Nabi saw. menjawab, “Urusan ini urusan Allah. Dia akan memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki."


Buhairah kemudian menimpalinya, "Bagaimana nalarnya, kami menyerahkan leher kami untuk disembelih bangsa Arab dalam rangka membelamu, lalu ketika Allah memenangkan kamu, kemudian urusan ini tidak menjadi milik kami? Kalau begitu, kami tidak membutuhkan urusanmu.” Mereka pun menolaknya, dan mengusir baginda saw.  


4- Bani Kindah, didatangi oleh Nabi saw. di rumah-rumah mereka. Di antara mereka ada pemuka suku, yang bernama Malih. Mereka diajak oleh Nabi saw. untuk mengimani Allah, Nabi saw. juga menawarkan dirinya kepada mereka. Namun, sayang mereka tidak mau menerima ajakan Nabi saw. Dalam riwayat lain, Nabi bertanya, “Dari manakah kaum itu?” Mereka menjawab, “Dari penduduk Yaman.” Nabi saw. bertanya, “Yaman mana?” Mereka menjawab, “Dari Kindah.” Nabi saw. bertanya lagi, “Dari Kindah yang mana?” Mereka menjawab, “Dari Bani ‘Amir bin Mu’awiyah.” Nabi saw. bertanya, “Apakah kalian memiliki sesuatu [untuk mewujudkan] kebaikan?” Mereka bertanya, “Apa itu?” Nabi saw. menjawab, “Kalian bersaksi, bahwa tidak ada Dzat yang berhak disembah, kecuali Allah. Mendirikan shalat, dan mengimani apa yang dibawa dari Allah SWT.” 


Ada juga para syaikh kaumnya, yang bertanya kepada Nabi saw, “Jika kamu menang, apakah Engkau akan menjadikan kekuasaan itu menjadi milik kami?” Nabi saw. menjawab, “Sesungguhnya kekuasaan itu milik Allah, Dia akan berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” Mereka mengatakan, “Kalau begitu, kami tidak membutuhkan apa yang Engkau bawa kepada kami.” 


Nabi saw. juga mendatangi Bani Hamdan, saat musim haji, ketika mereka di Arafah, tempat wukuf. Nabi saw. sampaikan kepada mereka, “Apakah ada di antara kalian yang bisa membawaku kepada kaumnya? Karena kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan firman Tuhanku ‘Azza wa Jalla.” Maka, seseorang dari Bani Hamdan mendatangi baginda saw. Baginda saw. bertanya, “Dari manakah kamu?” Orang itu menjawab, “Dari Hamdan.” Nabi saw. bertanya, “Apakah kaummu mempunyai kekuatan [untuk melindungi dakwah]?” Dia menjawab, “Tentu.” Tapi, orang ini khawatir, baginda saw. akan disepelekan oleh kaumnya. Nabi saw. pun bersabda kepadanya, “Aku akan mendatangi mereka tahun depan. Aku akan mendatangimu tahun depan.” Dia menjawab, “Baik.” 


Dia pun meninggalkan Nabi saw. Pada bulan Rajab, delegasi kaum Anshar pun tiba. Ini telah diriwayatkan oleh empat pemilik kitab Sunan, dari berbagai jalur. At-Tirmidzi berkomentar, “Hadits ini statusnya hasan shahih.” [Lihat, Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz I/430]


Pendek kata, nushrah yang diharapkan oleh Nabi saw. saat itu belum kunjung tiba. Justru sebaliknya, apa yang dialami oleh Nabi saw. menggambarkan sebaliknya. Tetapi, Nabi saw. tidak pernah putus asa. Bahkan, ketika Nabi saw. mendatangi suku dan kabilah yang datang haji, di Arafah, saat mereka wukuf, selalu dikuntit oleh Abu Lahab. Apa yang disampaikan oleh Nabi kepada mereka selalu dimentahkan dan diserang balik. 


Semua peristiwa itu disaksikan oleh ‘Ali dan Abu Bakar yang menemani Nabi saw. saat mengontak mereka di Afarah. Begitulah perjuangan Nabi saw. dalam mendapatkan nushrah, penuh berliku, tidak mudah, dan melelahkan.


#PerjuanganMenujuKebangkitan

Wednesday, September 11, 2024

METODE ILMIAH SUDAH RUNTUH

 METODE ILMIAH SUDAH RUNTUH


Lagi ramai tentang metode ilmiah. Guru Gembul memuja metode ilmiah Barat yang ukuran kebenaran harus empiris yang harus membatalkan banyak sekali silsilah dan status para habaib yang sudah established dalam catatan mereka ratusan tahun. Tulisan ini  tidak akan masuk ke kontroversi nasabnya, melainkan mengkritik metode ilmiah Barat.


Bila Pak Guru sedang memujanya, saya pernah menulis makalah menggugat dan mengkritik metode ilmiah Barat itu 25 tahun lalu alias ¼ abad lalu ketika dosen dan sejarawan UNPAD, Nina Herlina Lubis, dalam makalah Seminar tentang Sunan Gunung Djati di Cirebon tahun 2001, melalui metode ilmiah, dia harus meragukan keberadaan Sunan Gunung Djati karena keberadaan tentang Sultan Cirebon pertama itu sumbernya tak ilmiah atau lemah secara ilmiah. Ilmiah mana yang dimaksud? Dalam pengertian Barat!!


Soal ini, Nina (dulu) tampaknya kurang kritis dan Guru Gembul sekarang tampaknya kurang bacaannya. Selain usia masih muda, mungkin tak mendalami soal metode ilmiah yang di masyarakat Muslim atau tradisi keilmuan Islam, problematik itu.


Ini makalah saya 25 tahun lalu, sebagiannya pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat. Tulisan ini, konteksnya menanggapi Nina saat itu, tapi masih relevan dan akan terus relevan. Sekarang pun menemukan relevansinya dengan kasus Guru Gembul itu. Mudah²an bermanfaat. Terima kasih kepada Facebook, makalah panjang bisa masuk semua di status. Keren dah 👍☕🚬

________


HISTORIOGRAFI TRADISIONAL DAN KRITIK ATAS METODE SEJARAH ILMIAH


Oleh Moeflich Hasbullah


Sejarah ilmiah mengenal adanya teori yang disebut teori sejarah kritis (critical theory of history). Teori ini mengkritik kecenderungan karya-karya sejarah yang ditulis tidak berdasarkan sumber-sumber primer yang kuat seperti subur dalam historiografi tradisional yang mengandalkan sumber-sumber lokal yang umumnya berupa sastra sejarah yaitu babad, cerita, kisah, dongeng dan riwayat yang diwarnai legenda dan mitos. Teori sejarah kritis sangat penting dalam menyaring tingkat validitas atau kebenaran suatu informasi sejarah karena prosesnya sangat ketat. 


Namun, kelemahannya metode ini sangat positivistik dimana sejarah mutlak bergantung pada fakta empirik (hardfact). Sejarah tanpa fakta kuat dan teruji secara teori adalah dusta. Pendekatan ini menjadi problematis terutama ketika diterapkan ke dalam medan historis negara-negara berkembang atau masyarakat tradisional atau kurun sejarah abad-18 ke belakang yang tidak meninggalkan sumber-sumber yang “ilmiah” dalam pengertian Barat. 


Syarif Hidayatullah misalnya, yang dikenal dengan Sunan Gunung Djati, secara keagamaan sosoknya sangat dihormati dan dipercaya sebagai seorang waliyullah yang kedudukan ruhaninya tinggi sebagai wali qutub. Diantara walisongo, hanya Sunan Gunung Djati yang memiliki posisi sebagai ulama dan raja, wali sekaligus sultan. Dialah sultan pertama kerajaan Islam Cirebon yang menyebarkan Islam di tatar Sunda secara intensif melalui kekuasaannya, mendirikan kesultanan Banten, menaklukan Sunda Kalapa, kerajaan Sunda Pajajaran dan mengakhiri kekuasaan politik Hindu di Jawa Barat. Tak seorang pun meragukan keberadaannya dan tak satu pun fakta keras yang tidak mendukung keberadaannya. 


Tetapi, melalui teori sejarah kritis (menurut Nina dulu), keberadaan Sunan Gunung Djati harus masih mempertanyakan karena analisis historis yang kuat dari berbagai fakta yang saling mendukung menyimpulkan bahwa ia tidak bisa begitu saja dipercaya benar-benar ada.


Metode Sejarah Kritis


Menurut Garraghan (1946), peristiwa sejarah yang benar-benar dapat dipercaya atau diakui kebenarannya (valid) hanyalah peristiwa-peristiwa yang menyandarkan pada strictly primary sources (sumber-sumber primer yang kuat). Mereka adalah sumber atau penulis sumber yang menyaksikan sendiri (eye-witness), mendengar sendiri (ear-witness) atau mengalami sendiri (the actor) sebuah peristiwa yang dituliskan dalam sebuah sumber. Inilah sumber yang paling terpercaya. Dibawahnya adalah less/contemporary strictly primary sources (masih sumber primer tapi kurang kuat). Bila strictly primary sources merujuk pada saksi mata dan pelaku, less/contemporary strictly primary sources adalah penulis sumber yang bukan saksi atau pelaku tapi hidup sezaman dengan peristiwa. 


Ketika unsur strictly primary source ini sudah terpenuhi, dalam memberikan keterangan sejarah atau menuliskan sumber sejarah, saksi mata yang pernah bertemu, hidup sezaman, mendengar langsung dan sebagai pelaku pun harus benar-benar teruji kejujurannya dalam menggambarkan sebuah peristiwa dan menyampaikan kebenaran. Selain itu, bila ditemukan satu sumber primer yang kuat juga belum cukup. Sumber primer tersebut harus didukung oleh sumber-sumber lain yang “bebas” dan tidak saling mempengaruhi untuk menemukan dukungan penuh kuatnya sebuah fakta. Metode ini disebut metode korborasi.


Selama ini, semua sumber sejarah tentang adanya Sunan Gunung Djati, pendiri kesultanan Islam Cirebon, bersumber dari historiografi tradisional. Sumber-sumber itu adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Cirebon, Sajarah Babad Nagari Cirebon, Babad Tanah Djawi, Babab Sunan Gunung Djati, Wawacan Sunan Gunung Djati, Babad Walangsungsang dan sebagainya. Dari penelitian Dadan Wildan (2001), ditemukan bahwa semua naskah-naskah itu ditulis sejak awal abad ke-18 atau 150 tahun lebih dari masa hidup Sunan Gunung Djati. 


Selama ini, berarti, sejarah Sunan Gunung Djati ditulis hanya berdasarkan naskah-naskah sekunder. Dengan demikian, tingkat kebenarannya lemah. Belum ditemukan sumber-sumber primer yang kuat seperti diharapkan stricly primary resources tentang Sunan Gunung Djati dari naskah-naskah pribumi (lokal) yaitu karya-karya sejarah yang ditulis oleh Sunan Gunung Djati sendiri, oleh keluarganya, oleh sahabatnya atau orang lain yang hidup dekat (serumah, sekeluarga, sekerajaan, sedaerah) atau sezaman yang melihat dengan mata kepala sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri. 


Dengan demikian, dari perspektif metodologi kritis, kesimpulan yang mesti ditarik adalah sosok dan keberadaan Sunan Gunung Djati hingga saat ini masih diragukan dan perlu dipertanyakan. Analisis ilmiah-akademis belum menunjukkan kebenaran adanya sosok Sunan Gunung Djati pernah hidup di masa silam.


Beberapa Pertanyaan


Metode ketat seperti ini tentu saja penting. Sejarah memang harus dikritisi seradikal mungkin. Sejarah harus dibersihkan dari unsur-unsur mitos dan legenda, agar masyarakat membaca sejarah yang “benar.” Tetapi, pendekatan ini bukan tanpa masalah. Sejarah dan kehidupan tidak sesederhana ilmu pengetahuan modern menganalisisnya. 


Jawablah ini:


Bagaimana membuktikan ribuan peristiwa-peristiwa sejarah yang secara common sense dipercaya keberadaannya oleh masyarakat tapi tidak memenuhi standar metodologi sejarah kritis apalagi korborasi?


Metode ini bisa dengan mudah menjawab pertanyaan di atas dengan menyerukan untuk tidak lagi menganggap yang selama ini sesungguhnya mitos, legenda dan dongeng sebagai sejarah. Tetapi, bagaimana ketika “penghapusan” memori kolektif masyarakat tersebut sedang diusahakan, sementara mitos, legenda dan dongeng tidak pernah hilang, tetap hidup dan dipercaya masyarakat serta lebih fungsional untuk konstruksi dan peneguhan nilai-nilai kehidupan masyarakat?


Bagaimana kita akan menyebut bahwa sebuah peristiwa atau sejarah hidup seseorang —atas nama metode sejarah kritis— tidak bisa dipercaya karena tidak ditemukan sumber-sumber yang kuat sementara puluhan fakta-fakta lain mendukungnya seperti adanya keturunan, artifact (bangunan, candi, kuburan, keraton), mentifact (kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat sesuai tradisi berfikir) dan seterusnya? 


Islam mengharuskan keimanan kepada adanya nabi-nabi yang tidak pernah meninggalkan sumber-sumber yang kuat. Kalau kita konsisten dengan metode sejarah kritis, kita mesti meragukan bahwa Nabi Adam A.S sampai Nabi Muhammad SAW pernah hidup selama belum ditemukannya sumber-sumber primer yang kuat.


Selama ini belum ada sumber primer yang kuat dalam tradisi ilmiah Barat tentang keberadaan Nabi Adam, Nuh, Hud, Luth, Sulaeman, Daud, Ibrahim, Yusuf dan yang lainnya selain keterangan dari kitab suci Al-Qur’an dan sedikit penemuan arkeologis. Makam Nabi Muhammad harus diragukan karena tidak ada tulisan di nisannya bahwa itu benar-benar kuburan Nabi yang dicatat saat itu, kalau pun ada bisa saja dibuat orang beberapa abad setelahnya. Kemudian, naskah asli dan teruji tulisan tangan Zaid bin Tsabit (penulis turunnya wahyu kepada Rasulullah) tentang turunnya ayat-ayat Qur’an juga tidak ditemukan. Demikian juga naskah asli dan teruji sebagai tulisan tangan Aisyah, Khadijah dll yang pernah menjadi istri-istri Nabi, naskah asli dan teruji dari Fatimah Az-Zahra (anak perempuan Nabi), naskah asli dan teruji sebagai tulisan tangan sendiri para sahabat Nabi yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. 


Saat itu, tradisi pengetahuan di kalangan bangsa Arab adalah tradisi lisan, ingatan dan hafalan yang kuat bukan tradisi tulisan. Kita bisa mengatakan, Tuhanlah dan kitab suci bisa dipercaya karena Tuhan adalah kesaksian langsung sejarah atas diutusnya nabi-nabi. Tapi bukankah Tuhan tidak pernah diakui kehadirannya dalam konvensi ilmiah?Tradisi ilmiah akan mencibir dan tertawa bila seseorang bersaksi lewat pertemuannya dengan hal-hal yan ghaib. Dalam tradisi berpikir modern, ghaib itu tidak ilmiah yang selama ribuan tahun dianut orang-orang Islam sebagai ajaran agamanya, sementara ayat Allah mengatakan:


“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah 2 -5).


Tuhan menyatakan “la rayba” (tidak ada keraguan) pada kitab suci Al-Qur’an sebagai firman-Nya, tapi metode sejarah kritis harus meragukan keberadaan nabi-nabi sebagai pelaku sejarah karena tidak adanya sumber-sumber primer yang kuat tentang mereka. Kitab suci Al-Qur’an tidak bisa menjadi sumber sejarah karena tidak pernah menyebutkan waktu dan tempat sebuah peristiwa. 


Persoalan hadits lebih rumit lagi. Berdasarkan derajat validitas, hadits telah diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan: maudhu’ (palsu), hasan (bisa diterima), marfu (bohong), maqtu (terputus sanadnya), shahih (kuat/valid), muttafaq ‘alaih (disepakati oleh ahli-ahli hadits), dan mutawatir (valid berdasarkan kesaksian banyak orang). Hadist-hadist Bukhari-Muslim yang dulu dipercaya keshahihannya, belakangan sudah banyak yang diragukan. Ribuan hadits telah dipalsukan. 


Naskah-naskah asli tulisan zaman Nabi berupa kesaksian dan tulisan langsung mereka terhadap peristiwa turunnya ayat-ayat Qur’an, pengakuan hidup Nabi dari tulisan Nabi sendiri atau pengakuan para sahabatanya, selama ini semuanya belum ada. Bagaimana kita mengakui adanya Nabi Muhammad karena fisiknya sendiri tidak boleh digambarkan? 


Peristiwa Isra Mi’raj tidak ada satu pun saksi sejarahnya. Abu Bakar membenarkannya, yang membuatnya digelari Ash-Siddiq, bukan dari kesaksiannya melihat fisik Nabi terbang melesat ke langit, tetapi karena iman. Pembuktian semua peristiwa ini lemah secara sejarah kritis. Bagaimana semua ini harus dipercaya? 


Semua peristiwa sejarah yang diceritakan dalam kitab suci, yang “tak ada keraguan padanya” menjadi persoalan dalam metode sejarah kritis. Tentu ini masalah besar karena kita dihadapkan pada dua pilihan mendasar. Mana yang harus lebih dipercaya: kitab suci firman Tuhan atau kitab metode ilmiah pikiran manusia? Bila kitab suci tidak memenuhi standar ilmiah, apakah fakta juga benar-benar ilmiah? 


Sejarah adalah peristiwa masa lampau yang memiliki kaitan dengan kehidupan manusia. Sebuah fakta akan selalu terkait dengan sistem nilai, kesadaran, ideologi, subyektifitas dan kepentingan manusia. Dengan demikian, fakta selalu merupakan produk mental sejarawan dan “fakta adalah hasil konstruksi subyek” (Sartono, 1992: 17). Maka sesungguhnya tidak ada sebuah fakta pun yang obyektif dan “bebas kepentingan” yang diandaikan oleh metode koroborasi. Bila semua fakta adalah subyektif dan “bebas kepentingan” adalah tidak mungkin, bukankah metode kritis dan korborasi hanya sebuah khayalan belaka?


Problematika Sumber-sumber Barat


Sejak para sejarawan Barat menaruh perhatian pada sejarah Islam Asia Tenggara dengan segala aspeknya, mereka menemukan bahwa sejarah Asia Tenggara, khususnya di masa awal, sangat kompleks, rumit dan membingungkan. Hingga kini para sejarawan belum mampu merumuskan suatu paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan bersama (Azra, 1989). Para pengkaji Islam Asia Tenggara memiliki perbedaan-perbedaan tentang konsep dasar yang menyebabkan mereka sulit untuk menyamakan pandangan satu sama lain.


Salah satu problem dan kesulitan itu adalah bahwa sumber-sumber pribumi lokal untuk studi-studi klasik (abad XIX ke belakang) di Asia Tenggara lebih bersifat sastra sejarah ketimbang karya sejarah “ilmiah” dalam pengertian Barat. Historiografi yang terdapat di Asia Tenggara sesungguhnya melimpah tetapi “sayang” karena “hanya” berbentuk hikayat, babad, silsilah, cerita, syair dan lain-lain. Seperti diungkapkan Anthony John, kebanyakan literatur tersebut memiliki citra rendah dan tidak menguntungkan sebagai sumber-sumber sejarah. Sumber-sumber pribumi berupa roman, balada, dongeng, kronik dan risalah, semua itu tidak memenuhi kategori-kategori Barat tentang sumber ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itulah, “para peneliti atau sejarawan kemudian berpaling kepada sumber-sumber asing, khususnya yang ditulis oleh orang-orang Eropa yang datang ke Asia Tenggara sebagai pengembara, wartawan, misionaris dan kemudian juga sebagai kolonialis-imperialis” (Azyumardi (1989: vii). 


Karena historiografi tradisional merupakan sumber-sumber sekunder yang kredibilitas infomasinya diragukan, banyak sejarawan kemudian berpaling pada sumber-sumber Portugis dan Belanda. Sumber-sumber Portugis (yang sezaman dengan Sunan Gunung Djati) misalnya adalah Suma Oriental karya Tome Pires, Da Asia karya De Barros, Perigrinacoes karya Mendez Pinto dan 

dari sumber Belanda karangan Frederick de Haan.


Namun demikian, penggunaan catatan-catatan atau sumber-sumber asing juga bukan tanpa masalah. Sumber-sumber itu juga problematis. Bagi kalangan sejarawan Muslim apalagi. Alam dan tradisi berpikir Eropa, istilah-istilah yang lahir dari nomenklatur masyarakat dan sistem nilai dan budaya Eropa, struktur sosial-politik Eropa sering begitu saja diproyeksikan ke dalam kehidupan Asia Tenggara dan masyarakat Islam. Akhirnya bias budaya tak terhindarkan. Muncullah miskonsepsi dan distorsi dalam memandang Islam. Azyumardi menjelaskan gamblang persoalan ini. 


"Bias historis Barat sejak dari waktu yang paling awal, melihat Islam di Timur Tengah tidak urung lagi juga sangat mewarnai pandangan Barat terhadap Islam dan kaum Muslimin secara keseluruhan di Asia Tenggara. Von Mehden baru-baru ini dalam sebuah studinya tentang agama dan modernisasi di Asia Tenggara, misalnya menyatakan bahwa bias para penulis Barat awal dalam melihat agama (Islam khususya yang merupakan agama yang dianut oleh sebagian terbesar penduduk kawasan ini) dilatarbelakangi oleh kebodohan, rasa superioritas rasial, perbedaan agama, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kolonial. Para pengembara atau wartawan Barat yang menulis tentang Asia Tenggara khususnya, bukanlah para ahli, dan mereka umumnya membuat catatan-catatan berdasarkan kunjungan singkat dan kebanyakannya mengamati dari daerah perkotaan, sehingga mereka sebenarnya tidak banyak tahu tentang keadaan nyata penduduk pedesaan, pola-pola sosial mereka dan lain-lainnya. Di pihak lain, para misionaris Kristen pada umumnya menggambarkan agama-agama yang mereka temukan di Asia Tenggara sebagai kepercayaan sesat belaka, karena itu para penganutnya ialah orang-orang bodoh dan terkutuk. Meskipun terdapat penulis-penulis dari kalangan misionaris yang cukup “obyektif,” pada umumnya nada tulisan mereka adalah negatif, disebabkan perbedaan agama yang memang sulit disembunyikan. Sejauh menyangkut penggambaran Islam di Asia Tenggara, datangnya kekuasaan kolonial tidaklah membuat keadaan pengkajian Islam menjadi lebih baik. Pengkajian-pengkajian Islam dilihat dari sudut kepentingan pengukuhan status quo kolonialisme. Karenanya peneliti yang menggunakan sumber-sumber kolonial ini harus selalu mawas diri terhadap bias kolonial dalam sumber yang ia kaji, sehingga tidak tersesat pula mengikuti pandangan kolonialis." (hal. viii)


Kutipan tersebut jelas sekali memesankan dua hal secara eksplisit: (1) sumber-sumber Barat bukan alternatif dan tidak bisa dipercaya karena penuh dengan subyektifitas dan prasangka, (2) para sejarawan harus hati-hati atau mawas diri agar tidak terjebak ke dalam pandangan kolonial yang menyesatkan. Atas kenyataan itu Azyumardi berkesimpulan bahwa bagi sejarawan yang ingin menemukan obyektifitas, sumber-sumber asing ternyata tidak lebih reliable ketimbang sumber-sumber pribumi.


Inilah juga yang dirasakan De Graaf. Dalam tulisannya ‘Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century’ (The Cambridge History of Islam, 1987), ia memulai tulisannya dengan kegamangan atas sumber-sumber pribumi. “Secara keseluruhan,” kata De Graaf, “catatan-catatan tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi Melayu dan Indonesia tidak dapat dipercaya, betapa pun banyaknya catatan-catatan itu. Terdapat semacam keseragaman tentang catatan-catatan itu, yang tidak benar bunyinya.” 


Tapi, bagi De Graaf, bersandar pada sumber-sumber Barat juga bukan menjadi lebih baik. Dan, Graaf harus mengkingkari pernyataannya sendiri karena sebuah “ketakberdayaan historis.” Bersama dengan Pigeaud, Graaf menulis buku yang terkenal De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, Studien over de Staatkundige Gesschiedenis van de 15de en 16de Eeuw (Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16). Buku ini mengulas pengaruh Hindu – Budha dan masuknya agama Islam ke Nusantara dengan menggunakan seluruh sumber-sumber tardisional yang ada yaitu sejarah Jawa asli seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kandha, Babad Mataram dan Babad Sangkala sambil di sana-sini kritis terhadap sumber-sumber Barat atau modern. 


Misalnya ada dua contoh. Pertama, ketika Graaf-Pigeaud mengikuti pemberitaan Portugis yaitu Mendez Pinto tentang Sunan Gunung Djati, mereka menyelipkan sebuah kalimat “yang tidak sepenuhnya dapat dipercaya” (hal. 142). Kedua, ketika Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa wibawa kerohanian Sunan Gunung Djati di Jawa Barat sebenarnya kurang besar dibandingkan dengan “para ulama” Giri/Gresik di Jawa Timur pada abad ke-16 dan 17. Graaf-Pigeaud mengkritik pernyataan itu dengan mengatakan Hoesein tidak mempertimbangkan bahwa sejak awal abad ke-16, tradisi Islam sudah lebih awal tumbuh dan berkembang di Jawa Timur dan itu menjadi basis penghormatan masyarakat terhadap Sunan Giri/Gresik. (Hal. 144). Dan kini, pendapat Hoesein itu juga digugurkan oleh kenyataan bahwa ziarah ke makam Sunan Gunung Djati di Cirebon paling ramai dibandingkan dengan makam-makam lainnya. 


Buku Graaf-Pigeaud ini telah diangggap mengoreksi wajah sejarah Jawa yang telah ditulis para sejarawan Eropa yang hanya berdasarkan sumber-sumber asing. Dua sejarawan Belanda kawakan ini mempelopori penggunaan sumber-sumber pribumi. Berbeda dengan perspektif asing, pembahasan dalam buku itu bersifat menyeluruh menyangkut soal-soal keagamaan, sosial, dan ekonomi.

Tentu saja ini bukan sebuah ironi Graaf-Pigeaud, melainkan sebuah sikap, sebuah ketegasan memilih. 


Sumber-sumber tradisional kurang bisa dipercaya, banyak hikayat, mitos dan legenda. Tapi sumber Barat juga sama tidak bisa dipercayanya, banyak kepentingan dan prasangka. Akhirnya, keputusan harus dijatuhkan dan Graaf-Pigeaud lebih memilih sumber-sumber tradisional, karena mereka lebih dekat dengan obyektifitas, merekalah pelaku sejarah Asia Tenggara, orang-orang Eropa itu orang asing yang mengamati, tidak bisa obyektifitas diharapkan dari mereka. Strictly primary source disini tidak berlaku. Sejarah mesti memakai sumber “yang paling ada” bukan yang “harus ada.” 


Bukan hanya Graaf-Pigeaud, sejarawan Barat yang menegaskan pilihannya kepada sumber-sumber tradisional. Anthony Reid menggunakan Babad ing Sangkala 1738 bahkan yang sudah yang diterjemahkan terlebih dahulu oleh Ricklefs. Juga Babad Lombok dan Babad Tanah Djawi ketika menuliskan karya magnum opus-nya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 -1680 (1993). Selain babad, dia juga menggunakan sekitar delapan buah hikayat (Hikayat Banjar, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Patani, Hikayat Pocut Muhammat, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Ranto dan hikayat Teungku de Meuke) dan sumber-sumber tradisional lainnya, selebihnya adalah buku-buku modern-sekunder. 


Sebagai sejarawan ahli Jawa, Ricklefs juga tak bisa menghindari sumber-sumber tradisional. Ia menggunakan Carita Purwaka Caruban Nagari dalam bukunya A History of Modern Indonesia (1981), dan banyak sumber-sumber tradisional Jawa kuno dalam bukunya tentang pemerintahan Mangku Bumi, The Seen and Unseen World in Java (1997). 


Buku klasik penting tentang Asia Tenggara, Sejarah Melayu (The Malay Annal) yang hanya sebuah cerita dan “tidak ilmiah” hampir menjadi acuan semua sejarawan yang mengkaji Asia Tenggara. Rata-rata, buku-buku sejarah “ilmiah” karya-karya penulis asing, selain sedikit menggunakan sumber-sumber pribumi, ratusan lainnya adalah sumber-sumber sekunder karya-karya penulis asing atau pribumi periode-priode modern (lihat Anthony Milner, The Invention of Politics in Colonial Malaya (1994); A. Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 -1680 (1993); Keith Buchanan, The Southeast Asian World (1967); D.G.E. Hall, A History of Southeasi Asia (1970); juga John Bastin (1967), van Leur (1955), Schrieke (1960) dll. Mereka semua memakai sumber-sumber tradisional dan sumber primer yang ada yang ditulis bahkan pada abad ke-20, padahal mereka menulis sejarah klasik, tanpa harus menyatakan kesimpulan bahwa sejarah Asia Tenggara masa-masa awal tidak usah dipercaya, bahwa keberadaan tokoh-tokoh sejarah abad-abad lalu hanya sekedar legenda dan mitos dan susah pembuktian historisnya.


Semua sejarawan di atas, Barat maupun pribumi, yang telah menghasilkan ratusan karya-karya berharga tidak ada yang bisa menghindari penggunaan sumber-sumber tradisional, yang tidak memenuhi standar ilmiah Barat itu. Tetapi, bukan berarti sejarah tidak harus direkonstruksi, tidak harus dituliskan dan tidak harus dipercaya hanya karena argumen tidak tersedianya strictly primary sources. 


Strictly primary sources dengan demikian hanya sebuah utopia yang sesungguhnya tidak menemukan juntrungannya dalam studi sejarah klasik. Ia hanya mungkin bagi studi-studi sejarah kontemporer dimana manusia sudah memiliki tradisi menuliskan apa yang dijalaninya. Strictly primary sources bahkan bisa menjadi a-historis ketika diterapkan sebab ia mengharuskan “penghapusan” dan “penghilangan” periode sejarah klasik. 


Makalah Nina (bagi saya dalam Seminar Sunan Gunung Djati di Cirebon 2001), yang menggunakan metode sejarah kritis yang ketat dalam seminar di Cirebon, tidak sama sekali memberikan perspektif baru, penemuan baru, data baru dan penguatan baru atas sejarah Sunan Gunung Djati. Ia tak lebih hanya sekadar intellectual game dan intellectual exoticism yang menarik tapi sesungguhnya kurang bermanfaat.


Bias Barat Sejarawan Pribumi


Kembali ke persoalan bias sejarawan seperti diungkap Azyumardi di atas, penulis tidak berpretensi mengatakan bahwa Nina “telah tersesat,” tidak juga pandangannya telah menyimpang, karena ia juga menemukan pandangan biasnya Tome Pires ketika mengisahkan “Lebe Uca” yang –mengikuti rekaan Atja– diduga adalah “Sunan Gunung Djati” dan “Pate Rodin” adalah “Raden Patah.” Tetapi bahwa pandangan Nina yang mengatakan bahwa “soal pertemuannya [Sunan Gunung Djati] dengan ruh Nabi Muhammad dan kisah-kisah legendaris [kesaktian para wali] tidak bisa dibuktikan secara historis,” adalah sebuah persoalan, terutama karena Nina adalah sejarawan Muslim. Pandangan ini sangat bias kolonial, empiris-materialis dan menafikkan nilai-nilai kepercayaan yang hidup dalam masyarakat sebagai fakta sejarah.


Dari pernyataannya di atas muncul dua persoalan: 


Pertama, “tidak bisa dibuktikan secara historis.” Apa yang ia maksud dengan “historis”? Disini, Nina sama sekali tidak memakai perspektif Islam dalam memahami sejarah Islam. Pendekatan multidisipliner –yang diprakarsai Sartono– hanya sebatas ilmu-ilmu “umum” (filologi, semiotika, ekonomi, sosiologi, politik dll) dan tidak memasukkan khazanah “ilmu-ilmu Islam.” Padahal, dalam mengkaji sejarah Islam pendekatan ilmu dan tradisi Islam adalah sebuah kemutlakan. 


Bagaimana seseorang akan mempelajari struktur, ideologi dan gerakan tarekat tanpa faham ilmu tasawuf? Dalam ilmu dan tradisi tasawuf (sufisme), pertemuan dengan ruh yang sudah meninggal adalah hal biasa dan bisa dibuktikan oleh orang yang ingin membuktikan. Bila mesti ada saksi lain yang membenarkan peristiwa itu (korborasi), dalam tasawuf, orang tersebut harus menjalani (terlibat) dalam apa yang diamalkan dan dikembangkan dalam tasawuf (melalui taqarrub, taubat, dzikir, hadharah, riyadhah dll). Dengan kata lain, dia harus menjadi murid, darwis atau sufi melalui sejumlah amalan. Bila ini dijalani, atas izin Allah, seseorang akan dengan mudah berhubungan dan berkomunikasi dengan hal-hal ghaib. Dalam tasawuf, pertemuan dengan ruh Muhammad adalah dambaan dan impian para sufi, dan tidak akan mengalaminya kecuali sudah mencapai maqam tertentu. Oleh Syeikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, pengalaman bertemu dengan ruh Nabi Muhammad adalah sesuatu yang sangat mungkin dan biasa, apalagi Sunan Gunung Djati diyakini orang dari dulu sampai sekarang sebagai wali bahkan disebut wali qutb (pemimpin para wali dari walisanga) karena mungkin selain “paling wali,” secara geneologis, beliau adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad sendiri. 


Kedua, walaupun maksud “historis” disitu ukurannya adalah empiris dan materialis, sesungguhnya hal-hal ghaib terdapat pembuktian empirisnya. Bukankah sihir dan teluh ada fakta empirisnya? Bukankah ketika Nabi Musa berdialog dengan Tuhan (Musa ingin melihat wajah Tuhan) ada fakta empirisnya berupa gunung yang meledak? Bukankah ketika Nabi Muhammad menerima ajaran-ajaran dari yang Maha Ghaib (Allah) ada fakta historis-empirisnya berupa tubuh Nabi yang bergetar, peluh keringat dan catatan Al-Qur’an yang dijamin kemurniannya? 


Dalam tradisi tasawuf, seseorang berjalan di atas air tanpa basah, shalat jum’at seorang kyai sufi di dua tempat dalam satu waktu yaitu Mekkah dan di pesantrennya, merubah batu jadi emas, bertemu dan dialog dengan jin dan ruh yang sudah meninggal adalah biasa dan bisa dibuktikan. Dan al-Qur’an sendiri (surat 2: 154) menyatakan “wala taqûlû liman yuqtalu fí sabilillahi amwátun, bal ahyá-un, wa lá killa tasy'urûn” (Janganlah kalian menganggap mati mereka yang telah meninggal karena berjuang di jalan Allah. Sesungguhnya mereka itu hidup, kamu saja yang tidak mengetahui). 


Ketiga, “hanya dipercaya oleh orang yang percaya saja.” Benar kata Nina, persoalannya adalah kepercayaan alias keimanan. Dan benar pula, sepanjang seseorang tidak percaya berarti baginya itu bukan fakta tapi hanya ilusi atau mimpi. Mudah-mudahan milyaran umat Islam tidak sedang mimpi dengan keyakinan agamanya, tentang nabi-nabinya, tentang Tuhan, malaikat dan akhirat dsb karena bagi strictly primary resources, semua itu hanya ilusi dan mimpi.


Ditempat lain, pernyataan bahwa “hanya dipercaya oleh orang yang percaya saja” adalah tergolong kepada mentifact yang tidak kuat. Karena kategorinya tidak kuat, nampaknya Nina tidak menempatkan diri disitu. Ia meragukan mentifact. Pernyataannya ini ironis dengan beberapa kesimpulannya. Misalnya ia mengatakan bahwa Sunan Gunung Djati adalah “seorang wali dari walisanga.” Dari mana Nina mengetahui dan meyakini bahwa Sunan Gunung Djati adalah seorang wali? Tentang keberadaan sejarah dan sosok Sunan Gunung Djati saja ia tidak percaya karena selama ini hanya bersumber dari historiografi tradisional yang ditulis tidak sezaman dengan masa hidup pendiri kesultanan Cirebon itu, apalagi anggapan bahwa dirinya adalah seorang wali.


Metode Ilmiah Barat Sudah Runtuh


Ilmu pengetahuan modern mengeksplorasi manusia dan alam bukan untuk kepentingan manusia itu sendiri (not for the sake of human being), dengan kata lain, ilmu hanya untuk ilmu, ilmu demi eksplanasi (for the sake of explanation), dan ilmu demi pengukuhan supremasi rasionalisme, bahkan ilmu demi kekuasaan (science for power). Akibatnya, perkembangan ilmu pengetahuan sering terlepas dari subyeknya yaitu manusianya sendiri. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan semakin berkembang cepat tapi tidak membawa kebahagiaan sejati manusia modern. Ilmu pengetahuan semakin complicated dan teknologi semakin canggih tetapi manusia modern malah mengalami dislokasi, disorientasi dan krisis dalam kehidupannya.


Menurut kesaksian Arnold (1992), hal itu terjadi karena wajah sains modern sesungguhnya adalah korup. Kepalsuan teori dan kerancuan prakteknya adalah karakeristik dari modernitas. Dalam bukunya yang menyengat, The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992), Arnold berujar: 


“Modern sciences and technologies are corrupt not because they are evil in themselves…. but because many perceptions in, and methods of, science are wrong in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its possible applications. Such an attitude makes technicians out of those who profess to practice science.” 


Lebih jauh, Arnold menyebutkan terdapat DELAPAN DOSA BESAR sains modern yang berkaitan erat satu sama lain: Pertama, orientasi mekanistis dan materialis yang ekslusif; Kedua, keasyikan dalam beroperasi (‘how’ things work) dengan melepaskan sebab-sebab dan akibatnya (‘why’ things work); Ketiga, spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global; Keempat, mengungkap hanya “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk menciptakan hanya satu jenis pengetahuan; Kelima, melayani vested-interest dan mode; Keenam, dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan atau dilenyapkan; Ketujuh, kepura-puraan bahwa sains adalah bebas nilai; Kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia (hal. 16).


Bila dikritisi secara cermat, delapan poin kritik pedas Arnold di atas bukan melulu dominasi sains alam dan fisika saja, enam kritik terakhir dari poin-poin tersebut adalah watak khas ilmu-ilmu sosial juga, termasuk ilmu sejarah. Dalam tradisi ilmu sosial, seorang peneliti dan penstudi peristiwa sosial baru sah disebut sebagai “ilmuwan” bila memenuhi kriteria-kriteria yang disebutkan Arnold. Dalam studi sosial, subyek disyaratkan menjaga jarak dari obyek studi. “Obyektifitas” diukur oleh ketidakterlibatan. Tugas ilmuwan adalah hanya menjelaskan (to explain) di atas dogma-dogma obyektifitas dan netralitas, dan bukan terlibat (to involve). Bila sang subyek terlibat dengan nilai-nilai dan ideologi obyek maka ia kita pandang telah meruntuhkan otoritas keilmuwanannya. Ilmuwan demikian, kita klaim sebagai ideolog, mubaligh, demagog atau bahkan ”provokator.”


Analisis historis Nina tentang Sunan Gunung Djati sangat spesialis-teoritis ilmu sejarah, sangat only for the sake of explanation dan “objectivity is everything.” Nina, tampaknya, merasa naif bila ia harus berpihak pada sumber-sumber tradisional. Analisis Nina dalam tulisannya, hemat penulis, adalah manifestasi dari poin ke tiga sampai delapan dari ciri-ciri yang disebutkan Arnold di atas: sangat menekankan spesialisasi ilmu sejarah dan lepas dari pertimbangan makna, dampak sosial dan nilai-nilai religius-kultural masyarakat Jawa Barat, mengasumsikan hanya terdapat satu jenis pengetahuan (metode ilmiah Barat), kepura-puraan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai (value- free), dan tidak berpusat pada manusia (scientific-oriented). 


Padahal, para pemikir belakangan membuktikan bahwa doktrin obyektifitas dan netralitas ilmu pengetahuan itu non-sense adanya. Habermas, salah satu juru bicara Frankfurt School yang paling menonjol, berhasil membuktikan bahwa sains modern telah lama berkolaborasi dengan imperium kapitalisme. Demikian juga Foucault. Seperti ia bongkar dalam Madness and Civilization (1965), ketika Foucault menggambarkan sejarah “kegilaan,” dengan terpana penuh kekagetan ia menyaksikan ternyata ilmu pengetahuan adalah hasil konstruksi kekuasaan selama berabad-abad. Sedangkan menurut Anthony Gidden, modernitas —sains adalah penopangnya— tak lebih dari sekadar sebuah proyek Barat. Bagi para pemikir posmodern, netralitas dan obyektifitas yang dipropagandakan modernitas tak lain kecuali ‘dagelan ilmu.’ Klaim “obyektifitas” dan “netralitas” sebagai doktrin ilmu pengetahuan Barat modern, hanya mengukuhkan tesisnya Foucault tentang “knowledge is power” atau tesisnya Habermas tentang “knowledge and interest,” bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan sejak zaman Fajar Budi pasca renaissance Eropa abad ke-18, yang menjadi basis dari hegemoni modernitas, merupakan konstruksi yang dibangun dalam rangka mempertahankan imperium narasi besar modernisme dan status quo yang bertengger di pusat kekuasaan kapitalisme dan peradaban Barat modern.[]


Moeflich Hasbullah, Dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Djati. Alumni Southeast Asian Studies ANU Canberra, Australia.


Daftar Pustaka


Anthony Milner, The Invention of Politics in Colonial Malaya. Contensting Nationalism and the Expansion of the Public Sphere, Cambridge University Press, 1994. 


Arnold Arnold, The Corrupted Sciences. Challenging the Myths of Modern Science, Paladin, 1992.


Azyumardi Azra, Perspektif Islam Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1989.


Bastin, Jhon and Harry J. Benda, A History of Modern Southeast Asia, Prentice Hall, 1967.


De Graaf, H.J., ‘Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century’ dalam The Cambridge History of Islam, 1987.


De Graaf, H.J. & Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, Jakarta, Grafitti, 1984.  


Hall, D.G.E, A History of Southeast Asia, Third Edition, Macmillan, ST Martin Press, New York, 1970.


Keith Buchanan, The Southeast Asian World. An Introductory Essay, London: G. Bell and Sons. Ltd, 1967. 


Michel Foucault, Madness and Civilization. A History of Insanity in the Age of Reason, New York: Random House, 1965.


Nina H. Lubis, Analisis Historis tentang Sunan Gunung Jati, Makalah pada Seminar Sunan Gunung Djati, 2001.


Reid, Anthony, 1993, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two: Expansion and Crisis, Yale University Press, New Haven and London.


Ricklefs, M.C. 1981. A History of Modern Indonesia. Asian Histories Series: MacMillan.


Ricklefs, M.C. The Seen and Unseen World in Java, Allen&Unwin, 1997.


Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Gramedia, Jakarta, 1992.


Schrieke, B, Indonesian Sociological Studies, Sumur Bandung, 2nd Edition, 1960.