Monday, August 3, 2020

MENGHAPUS JEJAK KHILAFAH SEBAGAI KEJAHATAN INTELEKTUAL

MENGHAPUS JEJAK  KHILAFAH SEBAGAI KEJAHATAN INTELEKTUAL

Oleh : Ahmad Sastra

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (QS 12 : 111)

Islam sebagai agama sempurna terdiri dari fikrah (konsepsi) dan thoriqah (metode). Apa yang tertulis dalam Al Qur’an secara metologis telah dijalankan keseluruhan oleh Rasulullah yang didokumenkan dalam Hadis. Apa yang terjadi pada Rasulullah sepanjang hidupnya kemudian ditulis dalam interpretasi sirah nabawiyah. 

Al Qur’an, Al Hadis dan fakta sejarah Rasulullah tidak mungkin bisa dihapus. Namun demikian cara orang menuliskan sejarah, bisa berbeda-beda, bergantung kepada keterbatasan informasi sebelumnya dan kemampuan pemikirannya. Selama berlandaskan dalil yang kuat, maka perbedaan adalah keniscayaan. Sebagaimana ijtihad yang dilakukan oleh 4 imam mazhab adalah suatu keniscayaan. 

Sebagai sebuah rekam jejak manusia berikut karya-karyanya, William Osler  (1849-1919) menegaskan bahwa sejarah mengajarkan manusia pertumbuhan dan perkembangan ide (lihat Charles Singer, Studies in the History and Method of Science, England : Oxford University, 1917, hlm. v). 

Artinya dalam peristiwa sejarah masa lalu, maka manusia yang hadir di kemudian dan hendak menuliskannya, maka akan melibatkan sebuah interpretasi bahkan gagasan dan ide. Jika pengembangan ide dan gagasan itu bertujuan untuk memperkuat urgensi sejarah agar menjadi pelajaran di masa kini, maka usaha intelektual ini tak jadi soal. Sebab dalam peristiwa sejarah memang mengandung pelajaran hidup generasi yang datang kemudian. 
 
Menurut Karl Gotthard Lamprecht (1856-1915), sejarah sebenarnya merupakan sains sosio-psikologi. Maksudnya bahwa dalam penulisan sejarah sangat terkait dengan tendensi sekaligus preferensi seorang penulis (lihat Karl Lamprecht, What is History, Five Lectures on the Modern Science of History, New York: The Macmillan Company, 1905, hlm. 3). 

Sejalan dengan Karl, Sayyid Qutb memaknai sejarah sebagai sebuah interpretasi peristiwa yang memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat. Sejarah adalah interpretasi. Sejarah adalah pelajaran. Sementara Imam As Suyuthi mendeskripsikan sejarah sebagai pertarungan potensi kejahatan manusia dan potensi kebaikan manusia, keduanya akan dicatat sebagai sejarah. 

Maka, warisan sejarah Rasulullah dalam perjuangan Islam bukanlah sekedar romantisme tanpa makna atau hanya sekedar menjadi berhala tanpa ruh yang dibanggakan dan diceritakan dimana-mana. Sejarah Rasulullah juga bukan sekedar dokumentasi naratif yang hanya dipampang di rak-rak perpustakaan. Sejarah Rasulullah adalah warisan nilai agung sarat dengan pelajaran.
Sejarah Rasulullah bukan sejarah biasa, sebab Rasulullah adalah representasi sempurna dari Al Qur’an. Apa yang dibawa Rasulullah, maka umat Islam wajib mengambilnya. Apa yang dilarang oleh Rasulullah, maka muslim wajib meninggalkannya. Maka, mengambil ajaran Islam secara kaffah yang dibawa Rasulullah adalah bukti seorang muslim dan mukmin. 

Rasulullah meninggalkan ajaran Islam untuk umatnya di kemudian hari. Rasulullah juga meninggalkan para ulama yang harus menjadi pewaris ajarannya. Ulama adalah pewaris Nabi dalam arti mengajarkan dan mendakwahkan Islam kepada manusia. Rasulullah juga meninggalkan khilafah sebagai ajaran Islam bidang politik. Dengan khilafah, maka umat Islam akan bisa dipersatukan secara sempurna, syariah bisa diterapkan secara kaffah serta Islam bisa didakwahkan ke seluruh penjuru dunia. 

Sebagai ajaran tentang sholat, zakat, puasa dan haji, maka khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Bahkan kesempurnaan penerapan Islam hanya bisa diwujudkan dengan adanya khilafah. Aspek-aspek ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan peradaban Islam tak akan bisa terwujud tanpa institusi politik Islam ini. 

Apa jadinya jika ada orang dengan sengaja hendak menghapus ajaran Islam tentang sholat dan zakat. Apa pula jadinya, jika ada orang yang ingin menghapus ajaran Islam tentang ekonomi dan pendidikan. Bahkan ada orang yang dengan sengaja ingin menghapus ajaran Islam tentang khilafah. Maka selain sebagai sebuah penistaan, upaya menghapus ajaran Islam adalah sebuah kejahatan intelektual. 

Membangun interpretasi dan narasi baru yang bertujuan untuk menghapus jejak sejarah khilafah adalah sebuah kezoliman atas Islam. Fakta sejarah memang tak akan terhapus, karena sudah terjadi, namun membangun narasi agar jejak sejarah itu hilang bisa dilakukan manusia. Tujuannya adalah bahwa generasi mendatang akan kehilangan narasi sejarah yang sebenarnya. 

Sebagai contoh adalah apa yang ditulis oleh sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah jilid 1 dan 2 adalah bertujuan untuk meluruskan kembali sejarah Indonesia selama ini menjadi panduan masyarakat. Ada banyak koreksian dalam buku itu, sebab sejarah sebenarnya negeri ini justru banyak yang telah membelokkan. 

Dalam Buku Api Sejarah 1 ditulis dengan jelas bahwa sosok seperti Raden KH Abdullah Bin Nuh adalah seorang ulama sekaligus sejarawan. Beliau menulis sejarah sebagai ilmu (History as written). Analisanya bertolak dari fakta dan data (history as actually happened), sehingga beliau mampu mengoreksi kesalahan penulisan sejarah tentang Indonesia yang selama ini sudah ada. 

Abdullah Bin Nuh adalah ulama yang mampu memberikan interpretasi dan penulisan ulang (reinterpretation and rewrite) sejarah Indonesia, seperti halnya Hamka, Osman Raliby dan Abubakar Atjeh. Api sejarah adalah buku fenomenal yang akan mampu mengubah pandangan kita atas sejarah Indonesia. 

Abdullah bin Nuh menjadikan The Preaching of Islam, Thomas W Arnold sebagai salah satu referensi. Ditegaskan dalam Api Sejarah bahwa perjuangan dakwah ulama dan wirausahawan bukan hanya menjadikan rakyat Indonesia berbondong-bondong masuk Islam. Tapi lebih dari itu, perjuangan dakwah ulama telah berhasil membangun kesadaran politik Islam dengan berdirinya 40 kekuasaan politik Islam atau kesultanan. Bahkan pembacaan teks proklamasi 9 Ramadhan 1364 oleh Soekarno atas izin para ulama di Jawa Barat, Timur dan Tengah. 

Dari fakta sejarah, terbaca betapa besarnya peran kepemimpinan ulama dan santri dalam perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa dan negara dalam menjawab serangan imperialisme Barat dan timur. Maka tepatlah kesimpulan E.F.E Douwes Dekker Danoedirdjo bahwa djika tidak karena sikap dan semangat perrdjuangan para ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bahwa kita mengalami pemusnahan. (lihat Api Sejarah 1, Ahmad Mansur Suryanegara, 2009, Bandung : Salamadani, h.xv) 

Jauh sebelumnya, yang menjadi inspirasi perjuangan para ulama untuk kemerdekaan Indonesia abad 20 adalah Rasulullah SAW. Dengan semangat dakwah, jihad dan pendidikan, para ulama berhasil mengusir penjajah dari negeri ini. Pekikan takbir menjadi energi utama keimanan dan jihad para ulama saat itu. Meski Rasulullah telah wafat, tapi perjuangan kemerdekaan negeri-negeri muslim dilanjutkan oleh para khalifah dengan institusi politik khilafah. Khilafah adalah warisan sistem politik Rasulullah yang kelak menjadi cikal bakal kesultanan Islam di Indonesia. 

Khilafah tidak akan pernah bisa dihilangkan, namun bisa hilang dari benak generasi mendatang jika tidak pernah dituliskan atau dibelokkan dengan narasi lain. Khilafah sebagai ajaran mulia tak mungkin bisa dihapus, tapi narasi bahwa khilafah adalah keburukan bisa dibuat narasinya. Intinya generasi hari ini bisa kehilangan jejak sejarah khilafah, jika ajaran Islam ini justru dihilangkan dari penulisan sejarah. 

Jika menghapus ajaran Islam dengan sengaja, maka adalah sebuah kejahatan intelektual yang selama ini telah dilakukan oleh kaum orientalis. Para orientalis memang orang jahat yang sengaja ingin merusak epistemologi Islam agar kaum muslimin kehilangan kekuatannya. Sebab jika ajaran Islam masih ada dalam jiwa kaum muslimin, maka itu akan menjadi ancaman bagi Barat. 

Menurut Abdullah Bin Nuh, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M, namun ditulis oleh para orientalis pada abad ke 13, jarak waktu yang luar biasa jauh. Tidak hanya masalah waktu, kaum orientalis bahkan menulis bahwa kehadiran Islam di Indonesia dinilai mendatangkan perpecahan. Karena Islam telah menimbulkan banyak kesultanan sebagai institusi kekuasaan Islam, sehingga imperialis Barat mengalami kesulitan menguasai dan menghegemoni Indonesia. 
Inilah fakta penulisan sejarah yang dibelokkan demi kepentingan orang-orang yang jahat dan tidak bertanggungjawab. Celakanya, pola penulisan sejarah versi orientalis ini sudah menjadi rujukan banyak sejarwan di Indonesia. Maka jika ada manusia yang ingin menghapus jejak sejarah khilafah atau menghapus ajaran Islam tentang khilafah, bisa ditelusuri jejak dan relevansinya dari sini. 

Maka, sekali lagi, menghapus ajaran tentang khilafah adalah sama dengan menghapus ajaran tentang sholat. Sebab keduanya adalah ajaran Islam yang ada dalilnya. Apa sebutan yang tepat untuk manusia yang dengan sengaja menghapus ajaran Islam. Selain sebagai kejahatan intelektual, maka mereka pantas menyandang gelar sebagai musuh Allah. Kelak Allah akan menghinakan sehina-hinanya di dunia dan di akherat. 

(AhmadSastra,KotaHujan,24/11/19 : 00.50 WIB)

Saturday, August 1, 2020

KEMBALINYA KHILAFAH ADALAH BISYARAH NABAWIYYAH UNTUK KITA

KEMBALINYA KHILAFAH ADALAH BISYARAH NABAWIYYAH UNTUK KITA

Tanggapan atas artikel saudara Agus Maftuh Abegabriel

Kalau kita ikuti tulisan saudara Agus Maftuh yang judulnya Teologi Kekuasaan (JP, Sabtu 27 Oktober 2007), akan mengingatkan kita pada ungkapan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya, “Al-maghlub muli’un bitaqlidil ghalib” (bahwa yang dikalahkan itu ‘terobsesi’ untuk taklid pada yang mengalahkan). Ungkapan inilah yang tepat untuk membingkai kerangka pemikiran saudara Agus Maftuh. Artinya, pemikiran yang dia usung sebenarnya tidak lebih dari sikap membebek pada Barat yang dipandang oleh sebagian kecil komponen kaum Muslim  sebagai yang paling layak untuk dijadikan ‘model’ dalam menyelesaikan berbagai problematika kontemporer kaum Muslim saat ini.

Tema Teologi Kekuasaan yang diusung oleh Agus Maftuh memang bukanlah pemikiran baru. Pemikiran tersebut merupakan copy-paste dari apa yang dikemukakan oleh Khaled Abou El Fadl. Dalam Midle East Report 2001, El Fahd memaparkan bahwa, menurut dia,  teologi kekuasaan itu berlatar belakang ‘perasaan kalah, frustasi bahkan perasaan teralienasi’ dari komunitas modern.

Secara rinci dia memaparkan bahwa gerakan puritan adalah gerakan yang bermula dari sikap yang penuh dengan nuansa apologetic dengan ciri intellectual self-sufficiency yang cenderung arogan. Mereka beranggapan, Islam mencakup dan telah membicarakan segala-galanya. Isu-isu kontemporer, semuanya telah ada dalam Islam jauh sebelum Barat mengangkatnya. Namun, ketika berhadapan dengan realitas, di mana hegemoni Barat begitu kuat dan institusi medernitas begitu dominan, mereka terjebak ke dalam perasaan kalah, frustasi dan teralienasi.

Selanjutnya, masih menurut El Fadhl, untuk melawan hal tersebut mereka mengembangkan Teologi Kekuasaan  yang bercirikan pada pengangkatan simbol-simbol dan gerakan kekuatan yang tanpa kompromi dan bahkan arogan. Bukan  saja terhadap Barat dan non muslim, tapi juga terhadap sesama muslim yang berbeda aliran. Mereka juga cenderung menolak tradisi dan warisan Islam sehingga aspek kesejarahan Islam yang kaya nuansa menjadi terabaikan. Mereka ingin mengembangkan Islam langsung dari langit. Perspektif tunggal yang mereka miliki mengantarkan mereka kepada ketergantungan terhadap kekuasaan semata. Kekuasaan atau bahkan kekuatan bersenjata lalu menjadi acuan dalam gerakan-gerakan mereka.

Pandangan El Fahd yang diamini oleh Agus Maftuh ini sebenarnya merupakan pandangan khas Barat terhadap agama Kristen. Kesimpulan ini menjadi lebih rajih dengan diskripsi Agus Maftuh yang mengutip pendapat Esther Kaplan yang  secara begitu diskriptif mengambarkan intervensi agama, baca Kristen Katolik,  atas kebijakan Gedung Putih. Sayangnya mindset tersebut ‘dipaksakan’ untuk diberlakukan pada Islam. Padahal Islam sama sekali berbeda dengan Kristen dan kaum Musliminpun tidak memiliki pengalaman traumatik terhadap agamanya sebagaimana Barat terhadap Kristen. Ini adalah analogi yang salah, karena merupakan analogi atas dua obyek yang sama sekali berbeda. Dalam istilah ushul fiqh disebut qiyas ma’al farq.

Allah menurunkan Al-qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu (QS An-nahl:89). Al-hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan ayat tersebut dengan mengutip penjelasan Ibn Mas’ud RA: “sungguh bahwa Dia (Allah) menjelaskan dengan Al-qur’an ini semua ilmu dan semua hal”. Pemahaman bahwa Islam mengatur semua aspek kehidupan bukanlah mengada-ada dan bukan sekedar romantisme sejarah apalagi ‘reaksi kecemburuan’ yang berpadu dengan rasa putus asa terhadap realitas kontemporer kaum Muslim saat ini. Bahkan Al-qur’an menegaskan bahwa penerapan hukum Allah dalam seluruh kehidupan ini adalah bagian dari keimanan kita (QS An-nisa':65).  Maka sungguh tepat ungkapan Hadhratusy syeikh KH Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim: “…dan sebagaian dari mereka (para Ulama’) menyatakan tauhid itu mewajibkan Iman. Maka tidak ada Iman bagi orang yang tidak ada tauhid pada dirinya. Dan Iman itu mewajibkan syariah maka orang yang tidak ada syariah padanya maka tidak ada iman baginya dan tentunya tidak ada tauhid baginya”.   

Dengan begitu, menjadi suatu yang naïf kalau keinginan kita kaum Muslim, bukan hanya di Indonesia tapi diseluruh dunia, untuk membebaskan diri kita dari penjajahan dan hegemoni Barat yang kapitalistik serta kembali kepangkuan Islam, dianggap sebagai reaksi kecemburuan yang berpadu dengan rasa putus asa dan perasaan teralienasi dari hiruk pikuk modernitas, atau bahkan mimpi  kolektif yang mustahil. Pasti tidak demikian.  Justru yang  terjadi sebaliknya. Membebek  pada Barat untuk menjawab  berbagai problem kontemporer kaum Muslim lah yang sebenarnya merupakan mimpi yang mustahil. Islam cosmopolitan, Islam yang inklusif, tidak boleh ada monopoli kebenaran  dst. adalah jargon-jargon kosong yang miskin solusi dan sama sekali tidak kompatibel untuk menjawab berbagai masalah baik yang akut maupun yang kronik yang dihadapi oleh kaum Muslim. Jargon-jargon tersebut lebih mencerminkan sikap obsesif untuk membebek pada Barat secara habis-habisan, sembari berhalusinasi bahwa hal tersebut adalah solusi terhadap berbagai problem kontemporer kaum Muslim. Bukankah Ini sama seperti orang yang melihat fatamorgana di tengah padang pasir yang panas? Bukankah itu merupakan sikap yang digambarkan oleh Ibn Khaldun diatas? Sikap orang terjangkit pandemic inveriority complex.

Lagian kalau benar bahwa perjuangan untuk bertahkim pada hukum Allah adalah suatu perjuangan yang mustahil, mengapa Konfrensi Khilafah yang lalu yang diadakan diberbagai belahan dunia dan mendapat respons yang begitu luar biasa dari seluruh komponen kaum Muslim, termasuk Indonesia, direspons oleh George W Bush seperti orang ‘kesetanan': “We should open new chapter in the fight against enemies of freedom, against those who in the beginning of XXI century call Muslims to restore caliphate and to spread sharia“? Mengapa Bush Jr.  begitu takut pada mimpi?

********

Bagaimana dengan statemen saudara Agus Maftuh bahwa bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah dalam kitab Daulah Islamiyyah tidak disebutkan rawi atau sumber primernya bahkan dari segi kritik sanad gugur? Ini justru bukti keawaman saudara Agus Maftuh terhadap gaya penulisan para ulama’ fiqh, terutama ulama’ fiqh mutaqaddimin dan ilmu ushulul hadits. Komentar inilah yang atas  ‘phropetic porensic’ ala sudara Agus Miftah atas hadits tentang akan datangnya khilafah.

Saudara Agus Maftuh menyatakan, bahwa bangunan teologi kekuasaan yang diperjuangkan Taqiyudin An-nabhany yang juga pendiri  HTI didasarkan pada hadits tentang khilafah. Namun hadits tersebut tanpa penyebutan rawi ataupun sumber kitab primernya. Sebenarnya  kalau saudara Agus Maftuh familiar dengan gaya penulisan para Fuqaha’ mutaqaddimin tentu apa yang ada dalam kitab Daulah Islamiyyah tersebut bukan suatu hal yang ‘surprise’. Para fuqaha’ mutaqaddimin dalam karya-karya mereka lebih sering tidak mencantumkan sanad, baik dengan membuang sebagian sanad atau bahkan seluruhnya. Misalnya Imam Asy-syafi’I RA. dalam  kitab Ar-risalah menyatakan bahwa Rasulullah SAW menetapkan bahwa pencuri buah-buahan dan pondoh kurma tidak menyebabkan (hukum) potong tangan, tanpa menyebutkan sanadnya.

Ulama’ kenamaan di bidang studi hadits Prof Dr M M Al-a’dzami (1980), telah mengkaji secara mendalam fenomena tersebut. Beliau mencatat bahwa dalam kitab-kitab karya ulama-ulama mutaqaddimin, khususnya selain kitab-kitab hadits, secara umum didapati fenomena-fenomena  antara lain:

1.  Membuang (tidak menuliskan) sebagian sanad, untuk mempersingkat pembahasan kitab, dan cukup menyebutkan sebagian dari matan hadits yang berkaitan dengan bahasan itu

2.  Membuang sanad seluruhnya, dan langsung menyebutkan hadits dari sumbernya yang pertama

Kitab Daulah Islamiyyah termasuk kategori kitab fiqih,bukan kitab hadits. Wajar kalau syeikh Taqiyudin An-nabhani mengikuti metode penulisan gaya para fuqaha’ mutaqadimin.

Selanjutnya, masih menurut  saudara Agus Maftuh, bahwa hadits yang dijadikan main base oleh pendiri HTI itu jika dilakukan prophetic forensic akan tampak jelas bahwa dalam perspektif kritik sanad hadits tersebut ternyata ada seorang rawi bernama Habib bin salim al-anshari yang dipertanyatakan dan tidak tsiqah (terpercaya). Menurut informasi kitab Tahdzib al-tahdzib karya Ibnu Hajar Al-asqalani yang merupakan kitab popular dalam mengalisis validitas rawi. Habib bin Salim ini mendapatkan penilaian yang negative dari Imam Bukhari yang menilainya fihi nadzarun dan juga komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu, dia menyimpulkan, dengan demikian hadits tentang teologi kekuasaan khilafah Islamiyyah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.

Ungkapan saudara Agus Maftuh diatas menggambarkan betapa ‘kemecer-nya’ dia untuk menyerang aktifitas perjuangan untuk mengembalikan syariah melalui Khilafah Islam. Akibatnya dia terjangkiti penyakit jari’an fil fatawa wa I’tha’ul hukmi, padahal sikap ini sangat dijauhi oleh ulama’-ulama’ salaf, bahkan ada menganggap bahwa sikap tersebut mencerminkan ketidak ikhlasan seseorang.

Benarkah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tersebut dza’if? Benarkah Habib bin Salim Al-anshari tidak tsiqah? Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib Al-hafidz berkata: berkata Abu Hatim tsiqah, berkata Al-bukhari fihi nadzar, berkata Abu Ahmad bin Adi, laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad idhtharaba fii asanidi ma ruwiya ‘anhu (pada matan-matan haditnya tidak ada hadits munkar, tapi telah terjadi ishtirab pada sanad-sanad (hadits) yang diriwayatkan darinya). Kemudian Al-hafidz berkata, saya nyatakan, bahwa Al-ajiri berkata dari abi Dawud tsiqah, dan Ibn Hibban menyebutkan dalam (kitab) Ats-tsiqqat… Sedangkan dalam kitab Taqribut Tahdzib Al-hafidz  berkata laa ba’tsa bihi. 

Untuk lebih obyektifnya mari kita perhatikan ungkapan Imam Al-bukhari diatas secara lebih lengkap dalam kitab Tarikhul Kabir. Pada point ke 2606 tercatat, Habib bin Salim Maula An-nu’man bin Basyir Al-anshari dari Nu’man, meriwayatkan darinya Abu Basyir dan Basyir bin Tsabit dan Muhammad Al-muntasyir dan Khalid bin Urfuthah dan Ibrahim bin Muhajir dan dia adalah sekretaris An-nu’man fihi nadzar. Pada point ke 3347, ketika Imam Al-bukhari menyatakan bahwa Yazid bin An-nu’man bin Basyir sebagai sahabat Umar bin Abdul Aziz, beliau mengutip pernyataan Habib bin Salim (yang beliau nilai dengan ungkapan fihi nadzar).

Perlu dicatat bahwa Habib bin Salim al-anshari adalah salah satu rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang bacaan pada shalat ied dan jum’ah dari An-nu’man bin Basyir, melalui sanad Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishaq, dari Jarir, berkata Yahya telah memberitahu kami Jarir, dari Ibrahim bin Muhamad bin Al-muntasyir dari bapaknya dari Habib bin Muslim Maula Al-nu’man bin Basyir dari An-nu’man bin Basyir.  Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim Al-anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam muqaddimah kitab shahihnya.  Maka bisa dimengerti mengapa Al-hafidz dalam Taqribut Tahdzib menyatakan la ba’sa bihi. La ba’sa bihi menurut Ulama’ ilmu usulul hadits sebagaimana yang diungkapkan oleh As-sakhawi dalam kitab Fathul Mughits secara umum adalah tingkat paling rendah untuk menggolongkan perawi sebagai perawi tsiqah. Ibnu Mu’in, sebagaimana yang dinukil oleh Al-hafidz Ibn Katsir, juga mengungkapkan hal yang senada.

Untuk memahami pernyataan Imam Al-bukhari, fihi nadzar, Al-hafidz ibnu Katsir dalam kitab Al-ba’itsul Hatsits fikhtishari Ulumil Hadits menjelaskan, apabila Al-bukhari berkata tentang rajul(hadits) sakatu anhu atau fihi nadzar artinya fainnahu yakunu fi adnal manazili wa arda’iha indahu, lakinnahu lathiful ibarah fit-tajrih (ada pada tingkat terendah atau beban terberat baginya, tapi dia menggunakan ungkapan yang halus dalam tajrih). Inilah maksud Imam Al-bukhari dengan ungkapan fihi nadzar. Agar lebih diskriptif mari kita perhatikan apa yang disampaikan oleh Imam At-tirmidzi (IV/54), tentang hadits seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan budak istrinya. Beliau berkata hadits An-nu’man di dalam isnadnya terjadi idhtirab. Beliau juga berkata, saya mendengar Muhammad (maksudnya Al-bukhari) berkata bahwa Qatadah tidak mendengar dari Habib bin Salim hadits ini, tapi dia meriwayatkan dari Khalid bin Urfuthah. Dalam kitab Aunul Ma’bud disebutkan bahwa At-tirmidzi berkata saya bertanya pada Muhammad bin Isma’il (maksudnya Al-bukhari) tentang Khalid bin Urfuthah maka beliau berkata saya menahan diri  terhadap hadits ini. Penjelasan At-tirmidzi ini bisa kita gunakan untuk memahami arah ungkapan Imam Al-bukhari diatas. Logislah  kalau kemudian Imam Muslim, salah satu murid Imam Al-bukhari, mencantumkan hadits yang diriayatkan oleh Habib bin Salim dalam kitab shahih beliau.

Pernyataan Imam Ibnu Adi, laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad idhtharaba fii asanidi ma ruwiya anhu? Dalam kitab Al-kamil fii Dhua’afa’ir Rijal,  Ibnu Adi berkata: “…dan untuk Habib bin Salim hadits-hadits yang diimla’kan untuknya telah berbeda-beda sanadnya, meski pada matan-matan haditsnya bukan hadits munkar tapi terjadi idhtirab sanad-sanadnya apa yang diriwayatkan darinya Habib bin Abi Tsabit…“. Itulah ungkapan Ibnu Adi tentang Habib bin Salim. Dengan demikian tidak ada alasan yang kuat untuk mendhaifkan Habib bin Salim Al-anshari. Adapun indikasi idhtirab yang disampaikan oleh beliau juga bisa dijelaskan dari pernyataan At-tirmidzi diatas. Al-hafidz Al-manawi dalam kitab Faidhul Qadir menjelaskan dengan mengutip pernyataan Al-hafidz sungguh Habib bin Salim itu ma’ruf (popular) dalam riwayah dan dia adalah Tabi’i yang ma’ruf. Al-hafidz  Al-iraqi dalam kitab Mahajjatul Qarbi ila Mahabbatil Arab menegaskan bahwa hadits ini shahih. Ibrahim bin Dawud Al-wasithi ditsiqahkan oleh Abu Dawud Ath-thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rijal sisanya (termasuk) yang dibutuhkan dalam (kitab) shahih.

Khulashatul qaul, adalah tidak benar bahwa bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad. Masih banyak hadits-hadits lain yang bil makna sejalan dengan hadits shahih diatas. Misalnya hadits riwayat Muslim. Imam Abdul Wahab Asy-sya’rani, penulis kitab Al-mizanul Kubra, mencantumkan dalam kitab Mukhtashar Tadzkiratil Qurthubi, dibawah judul “apa yang datang tentang khalifah yang ada di akhir zaman yang dipanggil Al-mahdi serta tanda-tanda kemunculannya”, Rasulullah SAW bersabda:

“Bahwa pada masa akhir (zaman) dari akan ada dari umatku khalifah yang ‘menumpahkan’ harta yang tidak terhitung jumlahnya..”.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad (III/317),  dan Ibnu Hibban (XV/75). Selain itu masih banyak  hadits-hadits  yang lain. Misalnya  hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (VII/68), Ahmad (V/288), Al-Thabarani (Musnad Syamiyyin,VI/149), Al-baihaqi (IX/169) dan Al-hakim (XIX/186).

Jadi merupakan  suatu kesalahan yang fatal kalau saudara Agus Maftuh menganggap bahwa perjuangan untuk menerapkan hukum melalui khilafah islamaiyyah hanya didasarkan pada hadits dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam ahmad tentang akan datangnya khilafah adalah shahih. Masih banyak hadits-hadits lain yang bil ma’na menegaskan hal yang sama.

Tentang ungkapan bahwa hadits khilafah hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan tidak didukung oleh kitab-kitab hadits yang lain yang masyhur. Ungkapan ini justru lebih menegaskan keawaman saudara Agus Maftuh di bidang ilmu Musthalahul Hadits. Memang dikalangan ulama’ hadits muta’akhirin, telah sepakat untuk menetapkan lima kitab pokok. Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan an-nasa’I dan Sunan At-tirmidzi. Sebagian ulama’ muta’akhirin yang lain, Al-hafidz Abu Fadhl bin Thahir menggolongkan satu kitab lagi sehingga menjadi Kutub As-sittah. Beliau memasukkan Sunan Ibnu Majah. Pendapat ini diikuti oleh Al-hafidz Al-maqdisi, Al-mizzi, Ibnu Hajar Al-asqalani dan Al-khazraji.

Ini merupakan ikhtiar para Ulama Hadits untuk menentukan grade kwalitas kitab-kitab hadits secara umum. Tentu klasifikasi tersebut tidak mutlak serta  tidak otomatis menafikan kitab-kitab yang tidak termasuk dalam Kutubul Khamsah atau Kutubus Sittah. Seperti  As-sunanul Kubra karya Al-hafidz Al-kabir Al-baihaqi, shahih Ibnu Huzaimah, Shahih Ibnu Hibban dll.

****

Benarkah musyawarah para shahabat di Saqifah Bani Sa’idah kisruh? Bagaimana seharusnya kita mensikapi musyawarah para shahabat di Saqifah bani Sa’idah? Mari kita renungkan penjelasan Mufassir besar Imam Al-qurthubi dalam tafsirnya Al-jami’ li Ahkamil Qur’an(I/264-265): “…Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun  untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata:  bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun  yang lain, lalu  untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak wajib?”.

Terakhir, saya tegaskan bahwa tidak ada politisasi agama di dalam Islam. Allah menurunkan risalah Islam untuk rahmatan lil alamin dengan menurunkan aturan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Justru semua upaya menyempitkan Islam dengan hanya untuk ibadah ritual atau just for morality adalah upaya mendistorsi ajaran Islam dan menempatkan diri kita layaknya orang Barat memperlakukan agama Kristen. Kalau kita merujuk pada pendapat ulama’-ulama’ muktabar tidak satupun yang mempersoalkan wajibnya bertahkim pada hukum Allah dan  khilafah memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kaum Muslim. Memang ketika kaum Muslim tidak hidup dibawah naungan system Islam banyak sekali pendapat, pemikiran atau konsep yang bertentangan atau bersebrangan dengan Islam baik sharih maupun yang ghairu sharih. Barusan di media, kita dihebohkan dengan munculnya Nabi palsu yang mengaku mendapat wahyu dan menyamakan istrinya layaknya Khatijah ra. Hebatnya ketika dia diwawancarai di salahsatu stasiun TV Swasta dia mengaku sebagai upaya menyelamatkan Islam? Untuk filtrasi, rasanya  tepat kalau kita perhatikan ungkapan Imam Az-zuhri: “isnad itu adalah bagian dari agama kalaulah bukan karena isnad maka sungguh orang akan berkata semaunya”. Adalah suatu keniscayaan kalau kita memperhatikan darimana, dari siapa kita dapatkan dan belajar Islam.[Musthafa Ali Murtadlo]

Thursday, July 30, 2020

Mesir negeri para ilmuwan

Mesir Negeri Para Ilmuwan

Prof Dr. Fahmi Amhar

Setelah Tunisia, Mesir pun mengalami revolusi.  Husni Mubarak yang kini bagi rakyat Mesir diplesetkan menjadi “Laa Husni wa Laa Mubarak” (yang tidak bagus dan tidak barokah) akhirnya mundur, setelah didemo besar-besaran selama 18 hari, disindir terus majikannya, yakni Obama, Presiden AS dan akhirnya ditinggalkan tentaranya.

Tetapi belum pasti, apakah pergantian rezim ini berarti juga pergantian dari sistem sekuler menjadi sistem Islam.  Sistem sekuler terbukti hanya menjadikan Mesir terpuruk dan terhina.  Dari sisi sains dan teknologi, SDM bergelar “Master of Science” per sejuta penduduk di Mesir hanya ada 370 orang, sementara di Israel ada 13.000 orang!  Meski ini data dari UNDP tahun 2003, tapi sepertinya secara perbandingan belum ada perubahan signifikan.

Padahal dulu berabad-abad Mesir adalah negeri para ilmuwan, baik ilmuwan di bidang fiqih maupun di bidang sains dan teknologi.  Kehebatan Mesir hanya tertandingi oleh Cordoba dan Baghdad.  Rahasianya ada pada Islam.

Memang, berabad-abad sebelum Islam hadir di Mesir, negeri ini pernah memiliki banyak matematikawan, astronom dan insinyur yang hebat.  Para insinyur itu digunakan Fir’aun untuk membangun piramid raksasa dengan presisi yang tinggi.  Sebelum datangnya Romawi, Alexandria pernah memiliki perpustakaan terlengkap di dunia.  Namun Romawi lalu memusnahkan perpustakaan itu.  Selama enam setengah abad sesudahnya, Mesir tenggelam dalam kegelapan peradaban.  Sampai akhirnya cahaya Islam datang.

Ketika pasukan Amr bin Ash membebaskan Mesir dari tangan Romawi, pampasan perang yang diminta bukanlah emas, perak atau harta benda sejenisnya.  Tetapi semua buku kuno yang telah ditelantarkan berabad-abad.  Buku-buku itu lalu diterjemahkan, dipelajari dan dikembangkan.  Tanpa upaya ini, mungkin kita hanya mengenal Ptolomeus sebagai seorang jenderal yang menjabat gubernur, bukan sebagai astronom yang menulis buku astronomi Almagest, yang dipelajari di seantero dunia Islam sebagai tafsir ayat “Dan langit bagaimana ditinggikan” (QS al-Ghasiyah:18).

Al-Azhar, pabrik ilmuwan kelas dunia sejak 1000 tahun.
Al-Azhar, pabrik ilmuwan kelas dunia sejak 1000 tahun.

Di Mesirlah sejak tahun 969 M berdiri universitas kelas dunia, Universitas al-Azhar.  Dalam sejarahnya yang sangat panjang, dari universitas ini muncul tidak cuma orang-orang yang mumpuni dalam ilmu, tetapi juga rajin mengingatkan para penguasa yang lalai ataupun berdiri di garis depan dalam jihad fi sabilillah melawan tentara salib ataupun penjajah Barat lainnya.  Reputasi pabrik ilmuwan kelas dunia seperti itulah yang memanggil para aghniya untuk wakaf dengan aset-aset produktif – seperti kebun, pabrik atau pasar – agar Al-Azhar dapat terus memberi beasiswa calon-calon ulama pejuang dari seluruh dunia.

Dalam sejarahnya yang panjang itu Mesir bertabur bintang-bintang sains.  Inilah beberapa di antaranya:

Di bidang ilmu Kimia:

Pada 650-704 M, Khalid ibn Yazid adalah ahli kimia Muslim pertama yang menerjemahkan ilmu kimia kuno (alkimia) Mesir kuno ke dalam bahasa Arab.  Sejak itulah ilmu kimia berkembang di seantero dunia Islam.

Pada 1250 M, para insinyur di Mesir berhasil membuat senapan tangan (midfa), yang merupakan prototype pistol atau senjata api yang portable.  Senjata ini digunakan oleh pasukan Mesir untuk mengalahkan tentara Mongol dalam pertempuran di Ain Jalut.  Menurut Syamsuddin Muhammad (wafat 1327 M), pistol ini memiliki bubuk mesiu yang terdiri dari 74 persen amonia, 11 persen belerang dan 15 persen karbon) – sebuah komposisi yang ideal seperti di zaman modern.  Pasukan Mesir juga dikabarkan sudah menggunakan pakaian yang tahan api agar tidak terluka oleh cartridge mesiu yang mereka bawa.

Di bidang matematika dan fisika:

Pada 850-890 M hiduplah Abu Kamil Syuja ibn Aslam ibn Muhammad ibn Syuja, yang merupakan simpul penting dalam pengembangan matematika, penghubung antara al-Khwarizmi (penemu aljabar) dengan al-Karaji (penemu geometri analitis).  Abu Kamil lah orang pertama yang menuliskan notasi dengan tanda pangkat seperti

X n . X m = X n+m

Dalam dunia fisika, penemuan optika oleh Ibn al-Haitsam (1021 M) juga dapat dikatakan terjadi di Mesir, ketika al-Haitsam ini mengalami tahanan rumah, setelah insinyur yang berasal dari Iraq itu gagal menyelesaikan proyek bendungan sungai Nil, lalu pura-pura gila.

Pada 1312-1361 M, Tajuddin Ali ibn ad-Duraihim ibn Muhammad at-Tha’alibi al-Mausili menulis banyak hal tentang ilmu persandian (kriptologi).  Karyanya diungkap dalam salah satu bab dari ensiklopedi 14 jilid karya Syihabuddin Abu’l Abbas Ahmad ibn Ali bin Ahmad Abdullah al-Qalqasyandi (1356-1418 M).  Di situ dijelaskan teknik substitusi dan transposisi, dari yang sederhana hingga yang rumit, sehingga mampu membuat suatu plain-text menjadi text yang tidak dapat dibaca kecuali dengan analisis kripto tingkat tinggi.

Sekitar tahun 1000-1009 M, Ibnu Yunus mempublikasikan hasil risetnya di bidang fisika dan astronomi Al-Zij al Hakimi al Kabir.  Ini adalah deskripsi paling awal tentang gerak bandul (pendulum).  Dia juga membangun tugu astrolab yang pertama.

Di bidang teknologi rekayasa:

Pada 860 M, astronom al-Farghani membangun Nilometer, sebagai alat peringatan dini tinggi air sungai Nil, baik untuk mengantisipasi banjir ataupun kekeringan.

Pada 953 M Ma’ad al Mu’izz, seseorang qadi di Mesir, menemukan fulpen yang tidak akan mengotori tangan atau bajunya, yang tintanya tersimpan dalam suatu reservoir dan turun oleh gaya gravitasi dan kapiler.  Ini adalah penemuan fulpen yang tercatat pertama kali, seperti direkam oleh an-Nu’man al-Tamimi (wafat 974 M) dalam bukunya Kitab al-Majalis wa’l Musayardh.

Pada tahun 1000-an M, banyak penemuan teknik di Mesir seperti ventilator untuk pertambangan, penggilingan gandum bertenaga air sungai yang berbentuk jembatan (bridge mill) dan industri logam bertenaga air.

Pada 1551 M, insinyur Taqiyuddin yang disponsori pemerintah Utsmaniyah di Mesir menciptakan mesin uap, jauh lebih dulu dari James Watt (1736-1819) di Inggris.

Di bidang kedokteran:

Pada 800 M didirikan rumah sakit jiwa pertama di dunia oleh seorang dokter di Cairo.

Pada 1118-1174 M, penguasa Mesir Nur ad-Dien Zanqi memerintahkan membangun rumah sakit pendidikan pertama di dunia.  Dokternya, Abu al-Majid al-Bahili menyumbangkan perpustakaannya.

Pada 1285 M di Cairo berdiri rumah sakit terbesar di dunia, atas perintah Sultan Qalaun al-Mansur.  Menurut Willy Durant, rumah sakit ini dilengkapi dengan halaman-halaman terpisah untuk setiap kelompok pasien dengan penyakit yang berbeda, disejukkan dengan kolam-kolam air mancur, laboratorium, apotik, kantin, pemandian, perpustakaan, sarana ibadah, ruang kuliah, dan untuk pasien gangguan jiwa ada akomodasi yang menghibur (musik yang lembut atau pendongeng profesional).  Hebatnya lagi, pelayanannya diberikan gratis untuk seluruh pasien, tanpa memandang jenis kelamin, etnis atau penghasilan.  Bahkan saat mereka boleh pulang diberikan tunjangan agar tidak harus segera bekerja.

Semoga revolusi Mesir saat ini, mendorong rakyat Mesir untuk mendesak agar pemerintah yang baru menerapkan syariat Islam, agar Mesir meraih kembali kemuliannya dalam sejarah peradaban selama berabad-abad.[]

Nabi palsu sejak Zaman Rosulullah

Berikut ini nabi palsu yang sudah ada bahkan sejak zaman Rasulullah Muhammad ﷺ

1. Abhalah bin Ka’ab bin Ghauts Al Kadzdzab alias Al Aswadi Al Ansi.
2. Thulaihah bin Khuwailid bin Naufal.
3. Musailamah bin Tsumamah bin Habib Al Kadzdzab
4. Sajah binti Al Harits bin Suwaid.
5. Mukhtar bin Abi Ubaid.
6. Mirza Ali Mohammad.
7. Mirza Husein Ali.
8. Mirza Ghulam Ahmad.
9. Rashad Khalifa.
10. Asy Syaikhah Manal Wahid Manna.

Dan masih banyak lagi lainnya. Wal iyadhu biLlah...
.

Wednesday, July 15, 2020

Isabella sang pembunuh massal

ISABELLA SANG PEMBUNUH MASAL

Tahukah Anda bahwa “Jagal Wanita yang ada pada lukisan”

Dialah orang yang membongkar kuburan Kaum Muslimin kemudian dia gambar salib pada bagian dada dan wajah jenazah kuburan tersebut setelah jatuhnya kota Granada.

⁦Dia juga yang mendirikan inkuisisi Spanyol dan ia memaksa kaum Muslimin untuk memeluk Kristen atau dibunuh (jika menolak)
Dialah Isabella : Ratu Kastila.
.
Anehnya Eropa mau memproduksi dan menggambarkan bahwa dia adalah seorang Ratu Adil dan mencintai masyarakatnya (tanpa membedakan ras).
.
Lebih parahnya lagi film ini disiarkan juga oleh chanel Muslim 
ﻫﻞ ﺗﻌﻠﻢ ﺃﻥ “ ﺍﻟﺴﻔﺎﺣﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺑﺎﻟﺼﻮﺭﺓ ”
ﻫﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﻨﺒﺶ ﻗﺒﻮﺭ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻭﺗﺮﺳﻢ ﺍﻟﺼﻠﻴﺐ ﻋﻠﻰ ﺻﺪﻭﺭﻫﻢ ﻭﻭﺟﻮﻫﻬﻢ ﺑﻌﺪ ﺳﻘﻮﻁ ﻏﺮﻧﺎﻃﺔ؟
ﻭﻫﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻣﺮﺕ ﺑﺈﻧﺸﺎﺀ ﻣﺤﺎﻛﻢ ﺍﻟﺘﻔﺘﻴﺶ ﺍﻹﺳﺒﺎﻧﻴﺔ ﻭﻛﺎﻧﺖ ﺗﺠﺒﺮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻷﻧﺪﻟﺲ ﻋﻠﻰ ﺍﻋﺘﻨﺎﻕ ﺍﻟﻤﺴﻴﺤﻴﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﻘﺘﻞ .
‏( ﺇﻳﺰﺍﺑﻴﻼ : ﻣﻠﻜﺔ ﻗﺸﺘﺎﻟﺔ )
ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻌﺠﻴﺐ ﺃﻥ ﺍﻷﻭﺭﻭﺑﻴﻴﻦ ﻗﺎﻣﻮﺍ ﺑﺈﻧﺘﺎﺝ ﻓﻴﻠﻢ ﻳﻈﻬﺮﻫﺎ ﺑﻬﻴﺌﺔ ﺍﻟﻌﺎﺩﻟﺔ ﻭﺍﻟﺘﻲ ﺗﺤﺐ ﺷﻌﺒﻬﺎ ﻭﺗﺒﺜﻪ ﻗﻨﻮﺍﺕ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ .
Via Fb Tegar Alfianto
.
April Mop, Fakta Sejarah Kekejaman Tentara Salib Membantai Ribuan Muslim Spanyol.
Ilustrasi Pembantain Muslim Spanyol oleh Tentara Salib.
.
Islamedia – April Mop merupakan budaya Barat yang dikenal dengan The April’s Fool Day. Pada 1 April itu, orang boleh dan sah-sah saja menipu teman, orang tua, saudara, atau lainnya, dan sang target tidak boleh marah atau emosi ketika sadar bahwa dirinya telah menjadi sasaran April Mop. Biasanya sang target, jika sudah sadar kena April Mop, maka dirinya juga akan tertawa atau minimal mengumpat sebal, tentu saja bukan marah sungguhan, dengan mengatakan, “April Mop!”.
.
Namun banyak umat Islam yang ikut-ikutan merayakan April Mop ini tidak mengetahui, bahwa April Mop, atau The April’s Fool Day, berawal dari satu episode sejarah Muslim Spanyol di tahun 1487 M, atau bertepatan dengan 892 H.
.
Saat itu terjadi pembantaian ribuan umat Islam di Granada Spanyol di depan pelabuhan. Dengan tipuan akan diberangkatkan ke keluar Andalusia dengan kapal-kapal yang disediakan oleh Ratu Isabella, Muslim Andalusia malah dikonsentrasikan dan dengan mudah dibantai habis dalam waktu sangat singkat oleh ratusan pasukan salib yang mengelilingi dari segala penjuru.
.
Dengan satu teriakan dari pemimpinnya, ribuan tentara salib segera membantai umat Islam Spanyol tanpa rasa belas kasihan. Mereka kebanyakan terdiri atas para perempuan dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Jerit tangis dan takbir membahana. Seluruh Muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman.
.
Bagi umat kristiani, April Mop merupakan hari kemenangan atas dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib lewat cara-cara penipuan. Sebab itulah, mereka merayakan April Mop dengan cara melegalkan penipuan dan kebohongan walau dibungkus dengan dalih sekadar hiburan atau keisengan belaka.
.
Itulah akhir dari kejayaan Islam di Andalusia. Sebuah peradaban Islam yang dimulai dari perjuangan Tariq Bin Ziyad pada tahun 711 M dan berakhir pada 1487 M. Selama tujuh abad lebih peradaban ini telah menyumbangkan kepada dunia, kemajuan dalam berbagai ilmu pengetahuan, kebudayaan serta aspek-aspek ke-islaman, Andalusia kala itu boleh dikatakan sebagai pusat kebudayaan Islam dan Ilmu Pengetahuan yang tiada tandingannya setelah Konstantinopel dan Bagdad.
.
Namun ada sebuah kisah yang sangat memilukan. Pada 2 Januari 1492, kardinal Devider memasang salib di atas Istana Hamra; istana kerajaan Nashiriyah di Spanyol. Tujuannya sebagai bentuk proklamasi atas berakhirnya pemerintahan Islam di Spanyol.
Kaum Muslimin dilarang menganut Islam, dan dipaksa untuk murtad. Begitu juga mereka tidak boleh menggunakan bahasa Arab, siapa yang menentang perintah itu akan dibakar hidup hidup setelah disiksa dengan berbagai cara. Gereja di masa pemerintahan monarki Raja Ferdianand dan Isabella membuat Dewan Mahkamah Luar Biasa atau yang dikenal dengan Lembaga Inkuisi sebuah lembaga peradilan yang bertugas untuk menghabisi siapa saja orang-orang di luar Katholik. Lembaga ini kemudian bermetamorfosa menjadi Opus Dei.
.
Empat abad setelah jatuhnya Islam di Spanyol, Napoleon Bonaparte pada 1808 mengeluarkan instruksi untuk menghapuskan Dewan Mahkamah Luar Biasa tersebut. Dan di sinilah kisah ini berawal. Ditulis oleh Syaikh Muhammad Al Ghazali dalam bukunya At Ta’asub Wat Tasamuh (hal 311-318).

Tentara Prancis menemukan tempat sidang Dewan Mahkamah Luar Biasa itu di sebuah ruang rahasia di dalam gereja. Di sana ada alat alat penyiksaan seperti alat pematah tulang dan alat pengoyak badan. Alat ini untuk membelah tubuh manusia. Ditemukan pula satu peti sebesar kepala manusia. Di situlah diletakkan kepala orang yang hendak disiksa. Satu lagi alat penyiksaan ialah satu kotak yang dipasang mata pisau yang tajam. Mereka campakkan orang orang muda ke dalam kotak ini, bila dihempaskan pintu maka terkoyaklah badan yang disiksa tersebut.
.
Di samping itu ada mata kail yang menusuk lidah dan tersentak keluar, dan ada pula yang disangkutkan ke payudara wanita, lalu ditarik dengan kuat sehingga payudara tersebut terkoyak dan putus karena tajamnya benda benda tersebut. Nasib wanita dalam siksaan ini sama saja dengan nasib laki laki, mereka ditelanjangi dan tak terhindar dari siksaan.

Inilah jawaban untuk kita, mengapa saat ini, kita tidak menemukan bekas-bekas peradaban Islam yang masih hidup di Spanyol. Seolah-olah tersapu bersih, sebersih-bersihnya. Inilah balasan Barat terhadap Muslim.

Kajian Hj. Irena Handono
islamedia.id – Jumat, 1 April 2016
(nahimunkar.org)

Semoga bermanfaat,
Baca, Pahami, Renungkan, Pikirkan, Putuskan.

Tuesday, July 14, 2020

MANHAJ HADITS SYAIKH TAQIYYUDDIN AL-NABHANI

MANHAJ HADITS SYAIKH TAQIYYUDDIN AL-NABHANI

Oleh: Ustadz Yuana Ryan Tresna

Muara dalam ilmu hadits adalah terkait penerimaan dan penolakan sebuah hadits. Saat mengkaji kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, barangkali muncul pertanyaan, bagaimana manhaj syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam ilmu hadits, dan dalam penerimaan dan penolakan hadits? Berikut uraiannya:

Pertama, kaidah dalam menerima dan menolak rawi hadits (kaidah al-jarh wa al-ta’dil) adalah sebagaimana pendapat jumhur para ulama hadits, yakni keberadaannya harus adil dan dhabithh.

يُشترط فيمن يُحتج براويته أن يكون عدلاً ضابطاً لما يرويه. أما العدل فهو المسلم البالغ العاقل الذي سَلِمَ من أسباب الفسق وخوارم المروءة. وأما الضابط فهو المتيقظ غير المغفل، الحافظ لروايته إنْ روى مِن حفظه، الضابط لكتابته إن روى من الكتاب العالم بمعنى ما يرويه وما يحيل المعنى عن المراد، إن روي بالمعنى. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 329)

“Disyaratkan bagi orang yang periwayatannya dijadikan hujjah adalah seorang adil dan dhabithh terhadap apa yang diriwayatkannya. Adil adalah seorang muslim yang baligh, berakal dan selamat dari sebab-sebab kefasikan ataupun celah-celah muru’ah (wibawa). Sedangkan dhabithh adalah orang cerdas dan sigap, tidak pelupa, hafal terhadap periwayatannya (jika dia meriwayatkan dari hafalannya), dan cermat terhadap tulisannya (jika dia meriwayatkan dari kitabnya), mengetahui makna hadits yang diriwayatkannya dan makna yang melenceng dari yang dimaksudkannya kalau ia meriwayatkan dengan makna.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 329)

Kedua, periwayatan firqah-firqah dan madzhab-madzhab Islam termasuk ahli bid’ah diterima dengan syarat. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadits, tidak diterima atau ditolak secara mutlak.

كل مسلم اجتمعت فيه شروط قبول الرواية بأن كان عدلاً ضابطاً، تُقبل روايته بغض النظر عن مذهبه وفرقته، إلا إن كان داعياً لفرقته أو مذهبه، لأن الدعوة للفرقة والمذهب لا تجوز. أمّا إن كان داعياً للإسلام ويشرح الأفكار التي يتبناها بادلتها، فإنه تقبل روايته، لأنه يكون حينئذ داعياً للإسلام وهذا لا يطعن بروايته. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 332)

“Setiap muslim yang terkumpul padanya syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, yaitu (rawi tersebut) adil dan dhabithh, maka periwayatannya diterima tanpa melihat lagi madzhab dan kelompoknya, kecuali jika dia sebagai penyeru bagi kelompoknya atau madzhabnya, karena seruan untuk suatu kelompok atau suatu madzhab, tidak dibolehkan. Namun, jika dia sebagai penyeru untuk Islam, kemudian menjelaskan seluruh pemikiran yang diadopsinya beserta dalil-dalilnya, maka periwayatannya dapat diterima, karena dia adalah penyeru untuk Islam dan periwayatannya tidak dicela.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 332)

Ketiga, definisi hadits shahih dan hasan merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Khusus definisi hadits hasan, beliau menampilkan semua pendapat para ulama yang memang berbeda pendapat dalam mendefinisakan hadits hasan. Menampilkan semuanya tanpa menguatkan salah satunya, padahal definisi-definisi tersebut memiliki titik perbedaan yang cukup signifikan.

الصحيح: هو الحديث الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذاً ولا معللاً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 337(

“Shahih, adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir, tidak syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah) dan juga tidak ada ‘illat (cacat).” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 337)

الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء. أي أن لا يكون في إسناده من يُتَّهم بالكذب، ولا يكون حديثاً شاذاً. وهو نوعان:
أحدهما: الحديث الذي لا يخلو رجال إسناده من مستور لم تتحقق أهليته، غير أنه ليس مغفلاً كثير الخطأ، ولا هو متهماً بالكذب. ويكون متن الحديث قد روي مثله من وجه آخر فيخرج بذلك عن كونه شاذاً أو منكراً، ثانيهما: أن يكون راويه من المشهورين بالصدق والأمانة ولم يبلغ درجة رجال الصحيح في الحفظ والإتقان، ولا يُعد ما ينفرد به منكراً، ولا يكون المتن شاذاً ولا معللاً. فالحديث الحسن ما رواه عدل قل ضبطه متصل السند غير معلّل ولا شاذ. والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338)

“Hasan, adalah sesuatu (hadits) yang diketahui tempat periwayatannya dan terkenal para rawinya serta kebanyakan hadits bertumpu kepadanya. Hadits ini diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh kebanyakan fuqaha’. Artinya, dalam isnadnya tidak terdapat orang yang dituduh dusta dan tidak terdapat pula haditsnya yang syadz. Hadits hasan ada dua macam: Pertama, hadits yang tidak lepas rijal al-isnad dari orang yang mastur (majhul hal), yang tidak layak kemampuannya, tidak pelupa, tidak sering salah dan juga tidak dituduh dusta. Selain itu matan haditsnya (yang serupa) telah diriwayatkan melalui jalur lain sehingga dapat mengeluarkannya dari syadz atau munkar; Kedua, rawinya terdiri dari orang-orang yang terkenal, jujur dan amanah, tetapi tidak sampai kepada tingkatan rawi hadits shahih dari segi al-hifzh wa al-itqan (hafalan dan keakuratannya). Hadits yang menyendiri dari kriteria rawi diatas ini tidak dianggap sebagai hadits munkar, dan matannya tidak menjadi syadz dan tidak pula menjadi mu’allal. Hadits hasan diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang dhabithnya, bersambung sanadnya tidak mu’allal dan tidak syadz. Hadits hasan dapat diambil hujjahnya sebagaimana hadits shahih, satu dengan lainnya sama saja.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)

Keempat, definisi hadits dha’if juga merujuk kepada definisi para ulama hadits mu’tabar. Hadits dha’if yang parah kelemahannya tidak bisa naik menjadi shahih atau hasan. Adapun yang kelemahannya ringan bisa naik dengan banyaknya jalan periwayatan (sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya).

الضعيف: هو ما لم يجمع فيه صفات الصحيح ولا صفات الحسن. ولا يحتج بالضعيف مطلقاً. ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 338)

“Dha’if, sesuatu (hadits) yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan. Hadits dha’if sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Merupakan sebuah kekeliruan anggapan bahwa hadits dha’if apabila datang dari jalur yang bermacam-macam yang sama-sama dha’if maka (hadits dha’if) meningkat derajatnya menjadi derajat hadits hasan atau hadits shahih. Apabila kelemahan hadits disebabkan oleh kefasikan perawinya atau karena tertuduh dusta secra nyata, kemudian datang dari jalur lain berupa hal yang serupa maka justru akan bertambah lemah.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 338)

Kelima, bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan sebagai hujjah dan sebaliknya hadits dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Ini adalah kaidah umum para ulama hadits.

أن الحديث الصحيح والحديث الحسن هما اللذان يحتج بهما، والحديث الضعيف لا يُحتج به. والذي يجعل الحديث مقبولاً أو مردوداً هو النظر في السند والراوي والمتن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 339)

“Bahwa hadits shahih dan hadits hasan dapat dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan hadits dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Yang menjadikan suatu hadits bisa diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matannya.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 339)

Keenam, kaidah penetapan shahih atau dha’if suatu hadits merujuk kepada kaidah para ahli hadits mu’tamad yaitu dengan mempertimbangkan banyaknya jalan (jam’u al-thuruq), dan melakukan i’tibar dengan mempertimbangkan mutabi’ dan syawahid yang memungkinkan hadits dha’if (yang tidak parah) naik menjadi hasan li ghairihi. Adapun dalam penerimaan hadits sebagai hujjah, merujuk pada manhaj para fuqaha’.

فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 342)

“Suatu hadits tidak tertolak karena tidak terpenuhinya syarat-syarat hadits shahih, selama sanadnya dan para rawinya serta matannya diterima, yakni ketika haditsnya itu hasan di mana para rawinya lebih rendah sedikit dari para rawi hadits shahih, atau dalam hadits tersebut terdapat mastur atau butruk hafalannya, akan tetapi diperkuat dengan indikasi yang mengutamakan penerimaannya. Seperti halnya diperkuat dengan adanya mutabi’ atau syahid, yaitu dengan adanya seorang rawi yang diduga menyendiri, atau dengan adanya hadits lain. Jadi, tidak sembarangan menolak hadits. Selama bisa diterima sesuai ketentuan-ketentuan sanad, rawi dan matannya. Terlebih lagi jika telah diterima oleh sebagian besar ulama, dan sebagian fuqaha’ pun menggunakannya, maka hadits tersebut telah terpilih dan layak diterima, walaupun tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya termasuk hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 342)

Ketujuh, kaidah dalam menghukumi hadits (al-hukm ‘ala al-hadits) sangat kompleks, tidak hanya karena pertimbangan satu sanad. Lemahnya satu sanad belum tentu hadits tersebut lemah, karena boleh jadi ada sanad lain yang kuat atau menguatkan. Belum lagi dengan meneliti semua sanad yang ada dan membandingkan matan-matannya secara komprehensif. Ini adalah manhajnya para ulama hadits mutaqaddimin dan muta’akhirin.

تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد. ولذلك رد الإسناد لا يقتضي رد الحديث. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 345)

“Kekuatan sanad dianggap sebagai syarat dalam penerimaan hadits. Hanya saja patut diketahui bahwa lemahnya sanad hadits tidak mengharuskan menghukumi hadits tersebut juga lemah. Kadangkala hadits memiliki sanad yang lain, kecuali seorang imam menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak diriwayatkan kecuali melalui jalur ini. Maka barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits dengan sanad yang lemah lebih baik berhati-hati mengatakan bahwa hadits ini lemah dengan sanad ini. Tidak boleh menghukumi secara mutlak dengan lemahnya matan tanpa batasan. Jadi, penolakan terhadap sanad tidak otomatis menolak hadits.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 345)

Kedelapan, dalil bagi hukum syara’ (bukan perkara aqidah) cukup dengan hadits ahad (yang berfaidah zhanni) dengan syarat keberadaannya maqbul (shahih atau hasan). Ini adalah perkara yang sudah disepakati dan diketahui.

أما الحكم الشرعي فيكفي أن يكون دليله ظنياً. ولذلك فإنه كما يصلح أن يكون الحديث المتواتر دليلاً على الحكم الشرعي كذلك يصلح أن يكون خبر الآحاد دليلاً على الحكم الشرعي. إلا أن خبر الآحاد الذي يصح أن يكون دليلاً على الحكم الشرعي هو الحديث الصحيح والحديث الحسن. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346)

“Adapun hukum syara’ dalilnya cukup dengan dalil yang bersifat zhanni. Dengan demikian, hadits mutawatir dapat dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’, begitu juga khabar ahad layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’. Hanya saja khabar ahad yang layak dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’ adalah hadits shahih dan hadits hasan.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesembilan, metode penerimaan terhadap suatu hadits adalah cukup bahwa hadits tersebut dinilai maqbul oleh sebagian ulama hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Oleh karena itu, suatu kemestian untuk hati-hati dalam menolak suatu hadits hanya karena ada ulama yang melemahkannya.

وكل من يستدل به لا يعتبر أنه استدل بدليل شرعي. إلا أن اعتبار الحديث صحيحاً أو حسناً إنما هو عند المستدل به إن كانت لديه الأهلية لمعرفة الحديث، وليس عند جميع المحدثين. ذلك أن هناك رواة يُعتبرون ثقة عند بعض المحدثين، ويُعتبرون غير ثقة عند البعض، أو يعتبرون من المجهولين عند بعض المحدثين، ومعروفين عند البعض الآخر. وهناك أحاديث لم تصح من طريق وصحت من طريق أخرى. وهنالك طرق لم تصح عند البعض وصحت عند آخرين. وهناك أحاديث لم تعتبر عند بعض المحدثين وطعنوا بها، واعتبرها محدثون آخرون واحتجوا بها. وهناك أحاديث طعن بها بعض أهل الحديث، وقبلها عامة الفقهاء واحتجوا بها. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 346)

“Setiap orang yang menggunakan dalil tersebut tidak dianggap telah mengambil dalil syara’. Hanya saja anggapan suatu hadits sebagai hadits shahih atau hadits hasan ketika ada orang yang berdalil dengan hadits tersebut dan memiliki keahlian untuk mengetahui suatu hadits, tidak harus seluruh ulama hadits. Di sana terdapat para rawi yang dianggap tsiqah oleh sebagian ulama hadits tetapi tidak dianggap tsiqah oleh sebagian yang lain, atau mereka dianggap orang-orang yang majhul oleh sebagian ulama hadits tetapi dianggap orang-orang yang tidak ma’ruf oleh sebagian yang lain. Terdapat juga hadits-hadits yang tidak shahih melewati satu jalur tetapi shahih menurut jalur yang lain. Di sana terdapat jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian akan tetapi shahih menurut sebagian yang lain. Ada pula hadits-hadits yang tidak dijadikan rujukan menurut sebagian ulama hadits dan mereka mencelanya, sedangkan ulama hadits lain menganggapnya (menerimanya) dan bisa digunakan sebagai hujjah. Juga ada hadits-hadits yang sebagian ahli hadits mencelanya tetapi diterima oleh mayoritas para fuqaha’ dan mereka menggunakannya sebagai hujjah." (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 346)

Kesepuluh, prinsip kehati-hatian, dimana harus perlahan dalam mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah dalam penolakan hadits.

فيجب التأني والتفكير في الحديث قبل الإقدام على الطعن فيه أو رده. والمتتبع للرواة وللأحاديث يجد الاختلاف في ذلك بين المحدثين كثيراً، والأمثلة على ذلك كثيرة جداً. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 347)

“Jadi harus perlahan-lahan dan mempertimbangkan suatu hadits sebelum melangkah pada pencelaan atau penolakan. Orang yang mengamati para perawi dan hadits-hadits akan menemukan banyaknya pertentangan dalam masalah ini di kalangan ulama hadits. Contoh mengenai hal ini sangat banyak.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 347)

Kesebelas, sebagaimana pendapat jumhur fuqaha’, maka sah bagi seseorang untuk berdalil dengan suatu hadits selama dianggap maqbul (shahih dan hasan) menurut sebagian ulama hadits.

ويجوز الاستدلال بأي حديث إذا كان معتبراً عند بعض المحدثين وكان مستوفياً شروط الحديث الصحيح أو الحديث الحسن، ويعتبر دليلاً شرعياً على أن الحكم حكم شرعي. الشخصية الإسلامية الجزء الأول (ص: 350)

“Boleh berdalil dengan hadits apapun dibolehkan selama keberadaannya dianggap (diterima) oleh sebagian ulama hadits, mencukupi atau memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, dan hal itu dianggap sebagai dalil syara’, sehingga dengan sendirinya berarti telah berhukum dengan hukum syara’.” (Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 350)

Itulah manhaj syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam ushul hadits dan dalam penerimaan dan penolakan suatu hadits, adalah manhaj pemilik Kitab Sunan dan manhaj jumhur para fuqaha’.

*Kenaikan Derajat Hadits Karena Banyaknya Jalan*

Merujuk manhaj yang diterangkan sebelumnya, masih ada yang menyangka kalau syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani berpendapat bahwa hadits dha’if tidak bisa naik menjadi hasan lighairihi. Dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337), Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani rahimahullahu ta’ala menerangkan,

ولا يحتج بالضعيف مطلقاً

Karena memang teori dasarnya hadits dha’if itu tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan. Faktanya, dalam pengamalan hadits dha’if, para ulama merinci lagi dan diantara mereka terbagi menjadi 3 pendapat. Teorinya, hadits shahih itu wajib diamalkan. Faktanya, ada hadits shahih yang mukhtalif dengan kategori mansukh dan marjuh yang ghair ma’mul (tidak bisa diamalkan).

Masih dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz I (hlm. 337) disebutkan,

ومن الخطأ القول أن الحديث الضعيف إذا جاء من طرق متعددة ضعيفة ارتقى إلى درجة الحسن أو الصحيح. فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً، ثم جاء من طرق أخرى من هذا النوع ازداد ضعفاً إلى ضعف.

Jadi itu (tidak bisanya hadits dha'if naik menjadi hasan atau shahih) terjadi pada hadits yang kedha’ifannya parah. Ungkapan,

فإنه إذا كان ضعف الحديث لفسق راويه أو اتهامه بالكذب فعلاً

Memberikan keterangan bahwa kedha'ifan hadits karena fasiknya rawi atau karena rawi tertuduh dusta (muttaham bi al-kadzib) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah hadits munkar dan matruk. Artinya hadits yang dimaksud adalah yang kedha'ifannya sangat berat.

Jumhur ahli hadits sepakat bahwa hadits yang kedha’ifannya parah tidak bisa naik menjadi hasan atau shahih.

Secara praktik, syaikh Taqiyyuddin mengambil beberapa hadits dha’if yang diriwayatkan dengan banyak jalan (sehingga derajatnya naik menjadi hasan). Bahkan hadits yang jumhur ahli hadits menolaknya (hadits ajtahidu ra’yi Mu’adz bin Jabal dan hadits ihtimam bi amri al-muslimin), beliau menerimanya karena diterima oleh para fuqaha’, adanya jalan lain, atau bil makna disebutkan dalam hadits shahih. Lebih menarik lagi, dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi dan al-Nizham al-Ijtima’i, menunjukkan bagaimana manhaj syaikh Taqiyyuddin dalam menerima sebuah hadits dan menjadikannya sebagai hujjah.

Ada beberapa hadits yang kontroversial di kalangan ahli hadits yang beliau terima, karena secara makna shahih, atau ada jalan lain, atau para fuqaha telah menerimanya. Manhaj ini selaras dengan manhajnya Sunan Arba'ah (lihat Syuruth A'imah al-Khamsah wa al-Sittah). Inilah yang dinyatakan dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 337),

الحسن: هو ما عرف مخرّجه واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث، وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعمله عامة الفقهاء

dengan kesimpulan,

والحديث الحسن يُحتج به كما يُحتج بالصحيح سواء بسواء.

Karena memang manhaj beliau rahimahullahu ta'ala dalam penerimaan dan penolakan hadits adalah (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm.345),

تعتبر قوة السند شرطاً في قبول الحديث، إلا أنه ينبغي أن يعلم أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعين الحكم بضعفه في نفسه. إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يُروى إلا من هذا الوجه. فمن وجد حديثاً بإسناد ضعيف فالأحوط أن يقول أنه ضعيف بهذا الإسناد ولا يحكم بضعف المتن مطلقاً من غير تقييد

Dalam penilaian riwayat tafarrud, syaikh Taqiyyuddin termasuk yang menerima riwayat yang menyendiri asalkan tsiqah, meski yang lain tidak ada yang meriwayatkannya, dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 1 (hlm. 339) disebutkan,

وليس من الشاذ أن يروي الثقة ما لم يرو غيره. لأن ما رواه الثقة يُقبل ولو لم يروه غيره، ويُحتج به

Terakhir, penjelasan yang lebih terang adalah sebagaimana ungkapan Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani masih di kitab yang sama (al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz 1, hlm. 341), menjelaskan manhaj beliau dalam penerimaan suatu hadits dha’if dengan katsrah al-thuruq,

فلا يرد حديث لأنه لم يستوف شروط الصحيح ما دام سنده ورواته ومتنه مقبولة، أي متى كان حسناً بأن كل رجاله أقل من رجال الصحيح، أو كان فيه مستور أو كان فيه سيء الحفظ ولكن تقوى بقرينة ترجح قبوله، كان يتقوى بمتابع أو شاهد، أي براوٍ ظن تفرده، أو حديث آخر، فلا يتنطع في رد الحديث ما دام يمكن قبوله حسب مقتضيات السند والراوي والمتن. ولا سيما إذا قبله أكثر العلماء واستعمله عامة الفقهاء فإنه حري بالقبول، ولو لم يستوف شروط الصحيح لأنه يدخل في الحسن

Perhatikan ungkapan berikut,

كان يتقوى بمتابع أو شاهد

Adanya syahid dan mutabi’ itu jelas sekali karena banyak jalan (jalur lain). Itu bentuk I’tibar dengan katsrah al-thuruq.

Jadi jelaslah bahwa syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani menerima teori kenaikan derajat hadits dari dha’if menjadi hasan (maqbul) karena banyaknya jalan selama kedha'ifannya tidak parah.

Bandung, 8 Oktober 2018

===
> https://t.me/yuanaryantresna/
> https://www.fb.com/yuanaryantID/
> https://www.instagram.com/yuanaryantresna/

Tuesday, July 7, 2020

PENGARUH FILSAFAT TERHADAP KEMUNDURAN ISLAM

PENGARUH FILSAFAT TERHADAP KEMUNDURAN ISLAM

Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA.

Pengantar

Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah (w. 147 H/768 M). Selain menggunakan mantik, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar (substabsi) dan ‘aradh (aksiden), yang notabene banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya.

Ini membuktikan, bahwa mantik sebagai teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama kaum Muslim pada abad ke-2 H/8 M. Hanya saja, ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada zaman itu. Bukti di atas hanya membuktikan pemanfaatan logika mantik dalam menghasilkan kongklusi. Kesimpulan ini juga tidak dapat digunakan untuk menarik kongklusi yang lebih luas mengenai kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam oleh para mutakallimin, sebagaimana logika yang diuraikan oleh Ibn Sina. Sebab, bukti yang akurat menunjukkan, bahwa perkembangan pemikiran filsafat Yunani di negeri Islam baru terjadi setelah aktivitas penerjemahan pada zaman Abbasiyah.

Meski demikian, penggunaan logika (mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah masuknya filsafat di Dunia Islam. Karena itu, pasca generasi Washil, filsafat Yunani kemudian dipelajari secara mendalam oleh ulama Muktazilah, separti Dhirar bin Amr, Abu Hudhail al-‘Allaf, an-Nazhzham, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, lahir karya mereka, seperti Kitâb ar-Radd ‘alâ Aristhâlîs fî al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya Dhirar bin ‘Amr, Al-Jawâhir wa al-A‘râdh dan Tathbît al-A‘râdh, karya Abu Hudhail al-‘Allaf, Kitâb al-Manthiq dan Kitâb al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya an-Nazhzham.

Di samping itu, penyebaran filsafat ini semakin meningkat, khususnya sejak al-Makmun, murid Abu Hudhail al-‘Allaf, tokoh Muktazilah Baghdad, mendirikan Baitul Hikmah tahun 217 H/813 M; sebuah pusat kajian filsafat yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini juga al-Kindi (w. 260 H/873 M) banyak berinteraksi dengan para penerjemah filsafat dari bahasa Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M) dan Ibn Na‘imah (w. 220 H/830 M). Di sinilah al-Kindi juga dibesarkan sebagai filosof Arab yang pertama. Setelah itu, menyusul nama-nama seperti al-Farabi (w. 339 H/951 M) dan Ibn Sina (w. 428 H/1049 M). Mereka adalah para filosof yang hidup di Timur. Di Barat, lahir nama-nama seperti Ibn Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), Ibn Thufail (w. 581 H/1185 M), dan Ibn Rusyd (w. 600 H/1217 M).

Secara umum, ciri filsafat mereka tidak jauh dari filsafat Yunani yang didominasi oleh Plato dan muridnya, Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Thufail maupun Ibn Rusyd, semuanya nyaris hanya membela pandangan Plato atau Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk mengkompromikan kedua pandangan tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi, atau bahkan mencoba mengkompromikan Islam dengan pandangan kedua filosof Yunani tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-Kindi atau Ibn Rusyd. Karena itu, tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa mereka hanyalah para penjiplak (al-muntahilûn). Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan pemikiran mereka sendiri, melainkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Jumlah mereka, kata an-Nabhani, tidak banyak, sehingga pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat Islam pada zamannya.

Sementara itu, filsafat Persia dan India juga berkembang di Dunia Islam, terutama setelah ditaklukkannya kedua wilayah tersebut pada zaman permulaan Islam. Hanya saja, kalau filsafat Yunani telah melahirkan para filosof Muslim, maka filsafat Persia dan India tidak. Salah satu faktornya adalah karena minimnya referensi kedua filsafat tersebut—kalau tidak boleh dibilang tidak ada—yang bisa dikaji oleh kaum Muslim.

Adakah Filsafat dalam Islam?

Secara harfiah, istilah filsafat itu berasal dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM), yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M),  penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy (Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut. Hanya saja, bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi‘iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi.

Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi.

Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan Kitab Apel).

Secara khusus, hikmah (wisdom) ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah (intelektual) dan ‘amaliyyah (praktis). Sebab, kebahagiaan (happiness) yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya; virtuous activity is identical with happiness (melakukan kebaikan adalah identik dengan kebahagiaan). Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih melalui wisdom, baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good) maupun melaksanakan kebaikan (virtuous activity).

Istilah filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri. Al-Khawarizmi menyebutnya pengetahuan tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis (‘amali).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan pengetahuan, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq)? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr)? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.

Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku at-Tafkîr karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam

Harus ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya penggunaan logika (mantik), telah merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari bidang akidah, usul fikih hingga tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan dari penggunaan logika tersebut.

Di bidang akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ulama usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah yang menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan demi perdebatan. Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai pondasi. Sebab, akidah tersebut telah oleng. Para ulama ushuluddin yang juga ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola berpikir tersebut dalam bidang ushul fikih. Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai muqaddimah (premis) pun terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah kehilangan substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali hukum.

Fenomena pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim tentang qadhâ’ dan qadar, takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat kepada Allah. Kondisi ini diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak dipengaruhi filsafat Persia dan India—seputar kehidupan panteistik, asketik, dan lain-lain. Semuanya ini pada gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum Muslim.

Kemudian, fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan. Daya kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul fikih berkembang, tetapi ijtihad mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan ditutupnya pintu ijtihad, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah istinbâth (penggalian hukum).

Setelah semuanya itu, maka sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad itu telah hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka pun bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya. Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa membedakan: mana tsaqâfah, dan mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana madaniyah.

Seiring dengan kekalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil oleh kaum Muslim, mulai yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah, perundang-undangan ala Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model fikih taqnîn (yang berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai muncul; sebut saja kitab al-Ahkâm al-‘Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk dan menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian terjadilah pemisahan mahkamah menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi sedikit hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain dalam bidang ahwâl syakhshiyah.

Selanjutnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a'lam

Sumber: 
https://telegra.ph/PENGARUH-FILSAFAT-TERHADAP-KEMUNDURAN-ISLAM-04-13

. . . 
Pendapat Profesor Fahmi Amhar terkait Kerancuan Sejarah Filsafat
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210427854185086&id=1005666222