Choirul Anam
ADAKAH KEBEBASAN DI DALAM KHILAFAH?
Mungkin satu hal yang paling ditakutkan orang dari Khilafah adalah
tentang hilangnya kebebasan. Digambarkan bahwa di dalam Khilafah,
masyarakat hidupnya akan terkekang dan terbelenggu. Diimajinasikan
bahwa Khilafah Islamiyah adalah negara totaliter. Itulah yang
digambarkan oleh media massa mainstream dan tokoh-tokoh liberal.
Diopinikan bahwa masyarakat harus begini dan begitu, tidak boleh
melakukan ini dan itu. Tidak boleh berpendapat, tidak boleh kritis, tidak
boleh kreatif, tidak boleh kaya, tidak boleh menguasai teknologi dan tidak
boleh-tidak boleh yang lain. Yang laki-laki harus berjenggot dan berbaju
kumel. Yang perempuan tidak boleh keluar rumah dan dilarang sekolah
atau mencari ilmu.
Benarkah Khilafah seperti itu?
******
Khilafah adalah sistem pemerintahan yang disyari’ahkan Allah. Jadi
semua peraturan yang diterapkan adalah peraturan Allah, Yang Maha
Tahu. Peraturan Allah itu tercirman pada hukum yang lima (ahkam al
khamsah). Hukum Allah itu tidak hanya wajib (fardlu) dan haram
(mahdzur), namun ada hukum-hukum lain. Diantaranya adalah hukum
mubah atau dalam bahasa awam disebut bebas. Kita bebas melakukan
atau tidak. Tidak ada yang maksa kita dalam wilayah ini.
Mubah adalah bebas dalam kerangka hukum syara’. Sekedar contoh,
memakai baju untuk menutup aurat adalah wajib, membuka aurat di
tempat umum adalah haram. Sementara warna-warni baju yang
digunakan hukumnya adalah mubah. Seseorang bebas (mubah atau
boleh) memakai baju warna putih, kuning, merah, hijau, atau warna-
warna apapun. Inilah yang dimaksud bebas dalam kerangka hukum
syara’.
Contoh lain, riba hukumnya haram, sementara mencari nafkah pagi laki-
laki hukumnya wajib. Jika ditanyakan pekerjaan apakah yang boleh
dilakukan oleh seseorang? Jawabnya bebas. Mau jadi petani boleh, mau
berdagang boleh, mau wirausaha boleh, mau kerja kepada seseorang
boleh, mau jadi ahli fisika boleh, mau ahli kimia boleh dan lain-lain.
Intinya bekerja apa saja boleh, selama diijinkan oleh syariah. Inilah bebas
dalam kerangka hukum syara’.
Jumlah hukum mubah (bebas) ini jumlahnya nyaris tak terbatas.
Jadi, semestinya seseorang tidak perlu khawatir kreativitasnya tidak bisa
dikembangkan di dalam Khilafah. Islam hanya membingkai bahwa yang
terpenting adalah kreativitas itu harus berada dalam koridor syariah.
Sebenarnya jika ada orang yang khawatir kreativitasnya dimatikan oleh
Islam, itu tanda bahwa orang tersebut tidak kreatif. Ya, tidak kreatif!
Kreativitas itu bersemanyam di dalam diri seseorang, sehingga kreativitas
tidak akan pernah dapat dimatikan oleh lingkungan, apalagi lingkungan
Islam yang justru mendorong kreativitas. Tetapi, memang tidak dipungkiri
bahwa banyak sekali orang tak kreatif, tetapi sok kreatif. Orang tipe inilah
yang biasanya berteriak-teriak menentang syariah dan Khilafah.
Sementara terkait dengan sikap kritis terhadap negara, apakah
dibolehkan? Atau dalam bahasa lain, bolehkah kita mengkritik kebijakan
Khalifah dan para pejabat yang lain?Bukan hanya boleh, jika memang
Khalifah itu melakukan kemaksiyatan atau kedazaliman kepada rakyat,
maka mengkritik dan menasehati mereka sangat didorong oleh Islam.
Bahkan Rasulullah menggambarkan seseorang yang meninggal karena
terbunuh saat mengkritik penguasa yang dzalim termasuk pemimpin
syuhada (sayyid asy syuhada’). Sungguh luar biasa!.
Dalam sejarah Islam yang sangat panjang, tentu diantara Khalifah dan
para pejabat lainnya ada yang menyimpang dari hukum syara’ dan
melakukan kedzaliman. Sejarah telah mencatat bahwa saat ada Khalifah
dan para pejabat lainnya yang menyimpang, rakyat pasti akan menasehati
dan mengoreksi mereka tanpa perasaan takut, terutama para ulama. Para
ulama paham betul tanggung-jawabnya bahwa mengoreksi penguasa
yang menyimpang adalah tugas utama mereka. Hal ini seperti
diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat
disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa
disebabkan kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh
kerusakan cinta harta dan kedudukan, dan barangsiapa dikuasai oleh
ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat, apalagi
penguasanya.” (Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, Juz II, hal. 381).
Memberi nasihat, muhasabah dan kritik sama sekali bukan barang mewah
di dalam Khilafah Islamiyah.
Berikut ini sekedar contoh surat nasihat dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah
dan Mu'adz bin Jabal, kepada Umar bin Al-Khaththab. “Kesejahteraan
semoga dilirnpahkan kepadamu. Amma ba'd. Kami nasihatkan kepadamu,
sehubungan dengan tugasmu yang amat penting ini. Kini engkau sudah
menjadi pemimpin umat ini, apa pun warna kulitnya. Di hadapanmu akan
duduk orang yang mulia dan yang hina, musuh dan teman. Masing-
masing harus engkau perlakukan secara adil. Maka pikirkan kedudukanmu
dalam hal ini wahai Umar. Kami ingin mengingatkan kepadamu tentang
suatu hari yang pada saat itu wajah-wajah manusia akan mengisut dan
mengering, serta hujah-hujah akan terputus karena ada hujah Sang
Penguasa yang memaksa mereka dengan kekuasaan-Nya. Semua makhluk
akan dihimpun di hadapan-Nya, mengharapkan rahmat-Nya dan takut
akan siksa-Nya.
Kami juga ingin memberitahukan bahwa keadaan umat ini akan muncul
kembali pada akhir zaman, yang boleh jadi mereka akan menjadi saudara
di luarnya saja, padahal mereka adalah musuh dalam selimut. Kami
berlindung kepada Allah agar surat kami ini tiba di tanganmu bukan di
suatu tempat seperti yang turun pada hati kami. Kami perlu menulis surat
ini sekedar untuk memberikan nasihat kepadamu. wassalamu
alaika." (Ath-Thabrany di dalam Al-Majma', 5:214)
Contoh lainnya adalah kritik Dirwas bin Habib al-Ajali kepada Khalifah
Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah Bani Umayyah, saat
rakyat tertimpa kelaparan dan paceklik.
Dirwas berkata, “Ya Amirul Mukminin. Tiga tahun berturut-turut, kami
para rakyat memikul beban berat dan sulit. Tahun pertama memakan
daging kami. Tahun kedua mencairkan lemak kami. Dan tahun ketiga
menghisap tulang kami. Padahal di tangan kalian terdapat harta yang
melimpah. Jika harta itu milik Allah maka sayangilah hamba-hambaNya
dengannya. Jika harta itu milik rakyat mengapa engkau menahannya dari
mereka sementara kalian membelanjakannya secara cepat dan berlebih-
lebihan, padahal Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebiha
n. Dan jika harta itu milik kalian, maka bersedekahlah kepada mereka.
Sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang
bersedekah.”
Jadi, nasihat, muhasabah dan kritik, itu bebas dilakukan dalam Khilafah.
Tentu saja semuanya dilakukan dalam kerangka syariah. Inilah nasihat
dan kritik yang membangun. Sementara kritik yang dilakukan asal-asalan,
tanpa koridor yang jelas, seperti dalam demokrasi hanya akan membuat
kegaduhan dan kehebohan.
Lihatlah fenomena kritik dalam demokrasi saat ini. Kritik asal kritik.
Rezim A mengkritik rezim B sampai berbusa-busa. Pada saat lain, saat
rezim A berkuasa, sebaliknya rezim B mengkritik rezim A juga sampai
berbusa-busa. Padahal isi kritiknya sama. Coba perhatikan bagaimana
dahulu PDIP mengkritik kenaikan BBM. Namun saat mereka berkuasa,
semua kritiknya dahulu justru dijilat sendiri. Inilah kritik abal-abal! Kritik
tanpa standar yang jelas.
*****
Islam tidak akan mengekang manusia. Islam hanya mengatur manusia
sehingga kehidupan manusia berjalan dengan harmoni dan membawa
kebahagian serta keberkahan hidup. Islam memberi kebebasan yang
sehat, yaitu kebebasan dalam koridor syariah. Bukan kebebasan yang
merusak, yaitu kebebasan semata-mata karena nafsu.
Apakah Islam memperbolehkan kita jadi orang kaya? Tentu saja sangat
boleh. Bahkan sangat dianjurkan. Tetapi, semuanya harus dengan cara
yang dibenarkan oleh syara’ (halal). Lihatlah sahabat Abdur Rahma bin
Auf. Beliau adalah seorang pebisnis sukses pada zaman Rasulullah
dahulu, yang asetnya triliyunan rupiah (jika dikonversi ke rupiah). Apakah
Rasulullah pernah melarang bisnisnya? Tidak. Justru Rasulullah sangat
memuji beliau, karena bisnisnya dijalankan sesuai dengan syariah dan
hasilnya digunakan untuk mencari ridlo Allah.
Lalu, mengapa para aktivis Islam selalu mengkritik kapitalisme?
Bukankah kapitalisme adalah wujud penghargaan terhadap bisnis dan
modal (kapital)?
Jika kita jeli, kapital dengan kapitalisme itu dua hal berbeda. Kapital
adalah modal (ra’sul mal). Siapapun orang yang mau berbisnis tentu
butuh modal (kapital), dalam Islampun juga sama. Itulah kapital.
Sementara kapitalisme (kapital dengan tambahan isme) adalah sebuah
ideologi dengan doktrin dan praktik yang sangat bertentangan dengan
Islam. Kapitalisme merupakan paham yang mengharuskan segala sesuatu
harus mengikuti pasar bebas, dan melarang campur tangan negara dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kapitalisme adalah paham yang
menuntut bahwa negara harus memberikan semua SDA yang menguasai
hajat hidup orang banyak kepada swasta, baik domestik atau asing.
Kapitalisme adalah paham, dimana halal dan haram ditentukan
berdasarkan profit dan selera pasar. Kapitalisme adalah paham yang
memaksa bahwa orang fakir-miskin harus bersaing bebas dengan para
konglomerat. Kapitalisme adalah paham dimana kemuliaan sesorang
dinilai dari besarnya modal (kapital) yang dimiliki seseorang. Kapitalisme
inilah yang telah menjerumuskan manusia saat ini hingga ke derajat yang
lebih rendah dari hewan. Manusia memakan manusia, hanya demi
mengejar profit. Itulah kapitalisme. Sebuah ideologi yang sangat
bertentangan dengan Islam.
Kembali kepada kebebasan. Apakah dalam Khilafah boleh makan enak?
Silahkan aja, yang penting halal dan thoyyib. Apakah dalam Khilafah
wanita boleh berpendidikan tinggi? Tentu saja. Bahkan mencari ilmu itu
kewajiban semua orang, baik laki-laki atau perempuan. Apakah dalam
Khilafah kita boleh mengembangkan sains dan teknologi? Tentu. Bukan
hanya boleh, tetap pengembangan sains dan teknologi adalah fardlu
kifayah. Imam Al Ghazali pernah menyampaikan, bahwa jika sains dan
teknologi Umat Islam kalah dibanding orang kafir, maka kita semua
berdosa. Sebab, umat terbaik (khoiru ummah) itu harus nomer satu dalam
penguasaan sains dan teknologi. Apakah di dalam Khilafah dibolehkan
memakai pakai yang modis? Tentu saja. Yang penting pakaian yang
syar’i.
Singkatnya, silahkan melakukan apapun selama dalam kerangka syariah.
Hal-hal yang mubah itu jumlahnya nyaris tak hingga. Silahkan berkreasi
dalam area tersebut.
Jika demikian, mengapa sering dijelaskan tidak ada kebebasan dalam
Islam? Sebetulnya, yang dimaksud dengan pernyataan itu adalah
kebebasan model liberalisme, yaitu kebebasan tanpa batas. Mubah dalam
Islam tidak sama dengan liberalisme, karena liberalisme adalah bebas
tanpa batas atau bebas tanpa batasan yang jelas.
Sebenarnya konsep kebebasan tanpa batas, adalah konsep yang utopis.
Itu tidak mungkin. Sebab, di dunia ini, semuanya pasti ada batasnya.
Akan hancur dunia ini kalau kebebasan tidak ada batasnya. Dalam
liberalisme sendiri sebenarnya kebebasan juga dibatasi, yaitu dengan
ungkapan "selama tidak mengganngu kebebasan orang lain". Secara
filosofis, kebebasan yang terbatas sebenarnya bukanlah bebas.
Kebebasan dalam liberalisme justru sangat relatif, karena batasnya tidak
jelas. Karenanya batas kebebasan sering ditetapkan oleh para kapitalis
dan para pejabat, sesuai dengan kepentingan mereka. Liberalisme
memang memberi kebebasan kepada manusia, apakah mau pilih masuk ke
mulut singa atau buaya!?! Pilih pemimpin ndeso yang menaikkan BBM
atau pemimpin moderen (wajah kota) yang juga menaikkan BBM?!?
Memilih pemimpin itu pilihan bebas, tetapi kenaikan BBM itu bukan
pilihan. Itu keputusan IMF dan World Bank!.
Jadi, kebebasan dalam Islam jauh lebih definitif, yaitu kebebasan dalam
koridor syariah. Kebebasan dalam Islamlah yang akan mengantarkan
kepada kebahagiaan dan keharmonisan. Sementara kebebasan model
liberalisme justru akan mengantarkan kekisruhan di masyarakat.
Wallahu a’lam.
ADAKAH KEBEBASAN DI DALAM KHILAFAH?
Mungkin satu hal yang paling ditakutkan orang dari Khilafah adalah
tentang hilangnya kebebasan. Digambarkan bahwa di dalam Khilafah,
masyarakat hidupnya akan terkekang dan terbelenggu. Diimajinasikan
bahwa Khilafah Islamiyah adalah negara totaliter. Itulah yang
digambarkan oleh media massa mainstream dan tokoh-tokoh liberal.
Diopinikan bahwa masyarakat harus begini dan begitu, tidak boleh
melakukan ini dan itu. Tidak boleh berpendapat, tidak boleh kritis, tidak
boleh kreatif, tidak boleh kaya, tidak boleh menguasai teknologi dan tidak
boleh-tidak boleh yang lain. Yang laki-laki harus berjenggot dan berbaju
kumel. Yang perempuan tidak boleh keluar rumah dan dilarang sekolah
atau mencari ilmu.
Benarkah Khilafah seperti itu?
******
Khilafah adalah sistem pemerintahan yang disyari’ahkan Allah. Jadi
semua peraturan yang diterapkan adalah peraturan Allah, Yang Maha
Tahu. Peraturan Allah itu tercirman pada hukum yang lima (ahkam al
khamsah). Hukum Allah itu tidak hanya wajib (fardlu) dan haram
(mahdzur), namun ada hukum-hukum lain. Diantaranya adalah hukum
mubah atau dalam bahasa awam disebut bebas. Kita bebas melakukan
atau tidak. Tidak ada yang maksa kita dalam wilayah ini.
Mubah adalah bebas dalam kerangka hukum syara’. Sekedar contoh,
memakai baju untuk menutup aurat adalah wajib, membuka aurat di
tempat umum adalah haram. Sementara warna-warni baju yang
digunakan hukumnya adalah mubah. Seseorang bebas (mubah atau
boleh) memakai baju warna putih, kuning, merah, hijau, atau warna-
warna apapun. Inilah yang dimaksud bebas dalam kerangka hukum
syara’.
Contoh lain, riba hukumnya haram, sementara mencari nafkah pagi laki-
laki hukumnya wajib. Jika ditanyakan pekerjaan apakah yang boleh
dilakukan oleh seseorang? Jawabnya bebas. Mau jadi petani boleh, mau
berdagang boleh, mau wirausaha boleh, mau kerja kepada seseorang
boleh, mau jadi ahli fisika boleh, mau ahli kimia boleh dan lain-lain.
Intinya bekerja apa saja boleh, selama diijinkan oleh syariah. Inilah bebas
dalam kerangka hukum syara’.
Jumlah hukum mubah (bebas) ini jumlahnya nyaris tak terbatas.
Jadi, semestinya seseorang tidak perlu khawatir kreativitasnya tidak bisa
dikembangkan di dalam Khilafah. Islam hanya membingkai bahwa yang
terpenting adalah kreativitas itu harus berada dalam koridor syariah.
Sebenarnya jika ada orang yang khawatir kreativitasnya dimatikan oleh
Islam, itu tanda bahwa orang tersebut tidak kreatif. Ya, tidak kreatif!
Kreativitas itu bersemanyam di dalam diri seseorang, sehingga kreativitas
tidak akan pernah dapat dimatikan oleh lingkungan, apalagi lingkungan
Islam yang justru mendorong kreativitas. Tetapi, memang tidak dipungkiri
bahwa banyak sekali orang tak kreatif, tetapi sok kreatif. Orang tipe inilah
yang biasanya berteriak-teriak menentang syariah dan Khilafah.
Sementara terkait dengan sikap kritis terhadap negara, apakah
dibolehkan? Atau dalam bahasa lain, bolehkah kita mengkritik kebijakan
Khalifah dan para pejabat yang lain?Bukan hanya boleh, jika memang
Khalifah itu melakukan kemaksiyatan atau kedazaliman kepada rakyat,
maka mengkritik dan menasehati mereka sangat didorong oleh Islam.
Bahkan Rasulullah menggambarkan seseorang yang meninggal karena
terbunuh saat mengkritik penguasa yang dzalim termasuk pemimpin
syuhada (sayyid asy syuhada’). Sungguh luar biasa!.
Dalam sejarah Islam yang sangat panjang, tentu diantara Khalifah dan
para pejabat lainnya ada yang menyimpang dari hukum syara’ dan
melakukan kedzaliman. Sejarah telah mencatat bahwa saat ada Khalifah
dan para pejabat lainnya yang menyimpang, rakyat pasti akan menasehati
dan mengoreksi mereka tanpa perasaan takut, terutama para ulama. Para
ulama paham betul tanggung-jawabnya bahwa mengoreksi penguasa
yang menyimpang adalah tugas utama mereka. Hal ini seperti
diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat
disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa
disebabkan kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh
kerusakan cinta harta dan kedudukan, dan barangsiapa dikuasai oleh
ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat, apalagi
penguasanya.” (Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, Juz II, hal. 381).
Memberi nasihat, muhasabah dan kritik sama sekali bukan barang mewah
di dalam Khilafah Islamiyah.
Berikut ini sekedar contoh surat nasihat dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah
dan Mu'adz bin Jabal, kepada Umar bin Al-Khaththab. “Kesejahteraan
semoga dilirnpahkan kepadamu. Amma ba'd. Kami nasihatkan kepadamu,
sehubungan dengan tugasmu yang amat penting ini. Kini engkau sudah
menjadi pemimpin umat ini, apa pun warna kulitnya. Di hadapanmu akan
duduk orang yang mulia dan yang hina, musuh dan teman. Masing-
masing harus engkau perlakukan secara adil. Maka pikirkan kedudukanmu
dalam hal ini wahai Umar. Kami ingin mengingatkan kepadamu tentang
suatu hari yang pada saat itu wajah-wajah manusia akan mengisut dan
mengering, serta hujah-hujah akan terputus karena ada hujah Sang
Penguasa yang memaksa mereka dengan kekuasaan-Nya. Semua makhluk
akan dihimpun di hadapan-Nya, mengharapkan rahmat-Nya dan takut
akan siksa-Nya.
Kami juga ingin memberitahukan bahwa keadaan umat ini akan muncul
kembali pada akhir zaman, yang boleh jadi mereka akan menjadi saudara
di luarnya saja, padahal mereka adalah musuh dalam selimut. Kami
berlindung kepada Allah agar surat kami ini tiba di tanganmu bukan di
suatu tempat seperti yang turun pada hati kami. Kami perlu menulis surat
ini sekedar untuk memberikan nasihat kepadamu. wassalamu
alaika." (Ath-Thabrany di dalam Al-Majma', 5:214)
Contoh lainnya adalah kritik Dirwas bin Habib al-Ajali kepada Khalifah
Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah Bani Umayyah, saat
rakyat tertimpa kelaparan dan paceklik.
Dirwas berkata, “Ya Amirul Mukminin. Tiga tahun berturut-turut, kami
para rakyat memikul beban berat dan sulit. Tahun pertama memakan
daging kami. Tahun kedua mencairkan lemak kami. Dan tahun ketiga
menghisap tulang kami. Padahal di tangan kalian terdapat harta yang
melimpah. Jika harta itu milik Allah maka sayangilah hamba-hambaNya
dengannya. Jika harta itu milik rakyat mengapa engkau menahannya dari
mereka sementara kalian membelanjakannya secara cepat dan berlebih-
lebihan, padahal Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebiha
n. Dan jika harta itu milik kalian, maka bersedekahlah kepada mereka.
Sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang
bersedekah.”
Jadi, nasihat, muhasabah dan kritik, itu bebas dilakukan dalam Khilafah.
Tentu saja semuanya dilakukan dalam kerangka syariah. Inilah nasihat
dan kritik yang membangun. Sementara kritik yang dilakukan asal-asalan,
tanpa koridor yang jelas, seperti dalam demokrasi hanya akan membuat
kegaduhan dan kehebohan.
Lihatlah fenomena kritik dalam demokrasi saat ini. Kritik asal kritik.
Rezim A mengkritik rezim B sampai berbusa-busa. Pada saat lain, saat
rezim A berkuasa, sebaliknya rezim B mengkritik rezim A juga sampai
berbusa-busa. Padahal isi kritiknya sama. Coba perhatikan bagaimana
dahulu PDIP mengkritik kenaikan BBM. Namun saat mereka berkuasa,
semua kritiknya dahulu justru dijilat sendiri. Inilah kritik abal-abal! Kritik
tanpa standar yang jelas.
*****
Islam tidak akan mengekang manusia. Islam hanya mengatur manusia
sehingga kehidupan manusia berjalan dengan harmoni dan membawa
kebahagian serta keberkahan hidup. Islam memberi kebebasan yang
sehat, yaitu kebebasan dalam koridor syariah. Bukan kebebasan yang
merusak, yaitu kebebasan semata-mata karena nafsu.
Apakah Islam memperbolehkan kita jadi orang kaya? Tentu saja sangat
boleh. Bahkan sangat dianjurkan. Tetapi, semuanya harus dengan cara
yang dibenarkan oleh syara’ (halal). Lihatlah sahabat Abdur Rahma bin
Auf. Beliau adalah seorang pebisnis sukses pada zaman Rasulullah
dahulu, yang asetnya triliyunan rupiah (jika dikonversi ke rupiah). Apakah
Rasulullah pernah melarang bisnisnya? Tidak. Justru Rasulullah sangat
memuji beliau, karena bisnisnya dijalankan sesuai dengan syariah dan
hasilnya digunakan untuk mencari ridlo Allah.
Lalu, mengapa para aktivis Islam selalu mengkritik kapitalisme?
Bukankah kapitalisme adalah wujud penghargaan terhadap bisnis dan
modal (kapital)?
Jika kita jeli, kapital dengan kapitalisme itu dua hal berbeda. Kapital
adalah modal (ra’sul mal). Siapapun orang yang mau berbisnis tentu
butuh modal (kapital), dalam Islampun juga sama. Itulah kapital.
Sementara kapitalisme (kapital dengan tambahan isme) adalah sebuah
ideologi dengan doktrin dan praktik yang sangat bertentangan dengan
Islam. Kapitalisme merupakan paham yang mengharuskan segala sesuatu
harus mengikuti pasar bebas, dan melarang campur tangan negara dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kapitalisme adalah paham yang
menuntut bahwa negara harus memberikan semua SDA yang menguasai
hajat hidup orang banyak kepada swasta, baik domestik atau asing.
Kapitalisme adalah paham, dimana halal dan haram ditentukan
berdasarkan profit dan selera pasar. Kapitalisme adalah paham yang
memaksa bahwa orang fakir-miskin harus bersaing bebas dengan para
konglomerat. Kapitalisme adalah paham dimana kemuliaan sesorang
dinilai dari besarnya modal (kapital) yang dimiliki seseorang. Kapitalisme
inilah yang telah menjerumuskan manusia saat ini hingga ke derajat yang
lebih rendah dari hewan. Manusia memakan manusia, hanya demi
mengejar profit. Itulah kapitalisme. Sebuah ideologi yang sangat
bertentangan dengan Islam.
Kembali kepada kebebasan. Apakah dalam Khilafah boleh makan enak?
Silahkan aja, yang penting halal dan thoyyib. Apakah dalam Khilafah
wanita boleh berpendidikan tinggi? Tentu saja. Bahkan mencari ilmu itu
kewajiban semua orang, baik laki-laki atau perempuan. Apakah dalam
Khilafah kita boleh mengembangkan sains dan teknologi? Tentu. Bukan
hanya boleh, tetap pengembangan sains dan teknologi adalah fardlu
kifayah. Imam Al Ghazali pernah menyampaikan, bahwa jika sains dan
teknologi Umat Islam kalah dibanding orang kafir, maka kita semua
berdosa. Sebab, umat terbaik (khoiru ummah) itu harus nomer satu dalam
penguasaan sains dan teknologi. Apakah di dalam Khilafah dibolehkan
memakai pakai yang modis? Tentu saja. Yang penting pakaian yang
syar’i.
Singkatnya, silahkan melakukan apapun selama dalam kerangka syariah.
Hal-hal yang mubah itu jumlahnya nyaris tak hingga. Silahkan berkreasi
dalam area tersebut.
Jika demikian, mengapa sering dijelaskan tidak ada kebebasan dalam
Islam? Sebetulnya, yang dimaksud dengan pernyataan itu adalah
kebebasan model liberalisme, yaitu kebebasan tanpa batas. Mubah dalam
Islam tidak sama dengan liberalisme, karena liberalisme adalah bebas
tanpa batas atau bebas tanpa batasan yang jelas.
Sebenarnya konsep kebebasan tanpa batas, adalah konsep yang utopis.
Itu tidak mungkin. Sebab, di dunia ini, semuanya pasti ada batasnya.
Akan hancur dunia ini kalau kebebasan tidak ada batasnya. Dalam
liberalisme sendiri sebenarnya kebebasan juga dibatasi, yaitu dengan
ungkapan "selama tidak mengganngu kebebasan orang lain". Secara
filosofis, kebebasan yang terbatas sebenarnya bukanlah bebas.
Kebebasan dalam liberalisme justru sangat relatif, karena batasnya tidak
jelas. Karenanya batas kebebasan sering ditetapkan oleh para kapitalis
dan para pejabat, sesuai dengan kepentingan mereka. Liberalisme
memang memberi kebebasan kepada manusia, apakah mau pilih masuk ke
mulut singa atau buaya!?! Pilih pemimpin ndeso yang menaikkan BBM
atau pemimpin moderen (wajah kota) yang juga menaikkan BBM?!?
Memilih pemimpin itu pilihan bebas, tetapi kenaikan BBM itu bukan
pilihan. Itu keputusan IMF dan World Bank!.
Jadi, kebebasan dalam Islam jauh lebih definitif, yaitu kebebasan dalam
koridor syariah. Kebebasan dalam Islamlah yang akan mengantarkan
kepada kebahagiaan dan keharmonisan. Sementara kebebasan model
liberalisme justru akan mengantarkan kekisruhan di masyarakat.
Wallahu a’lam.