Monday, March 10, 2014

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Cara Lain Memalak Rakyat

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Cara Lain Memalak Rakyat

Al-Islam edisi 687, 1 Rabiul Awwal 1435 H – 3 Januari 2014 M 
Meski ada protes dan keraguan pemberi pelayanan kesehatan untuk berpartisipasi pada Jaminan Kesehatan Nasional yang akan diterapkan 1 Januari 2014, cukup banyak klinik, puskesmas atau rumah sakit yang bergabung.
Menurut Wamenkes, Ali Ghufron Mukti, sejauh ini ada sekitar 15.800 dokter praktek mandiri, klinik dan puskesmas yang akan memberi pelayanan kesehatan dasar. Pelayanan tingkat lanjutan akan dilakukan sekitar 1.700 rumah sakit pemerintah dan swasta yang tersebar di Indonesia. (Kompas, 30/12/2013).
Bukan Jaminan, Tapi Asuransi Kesehatan Nasional
Katanya jika program JKN sempurna, seluruh rakyat akan mendapat jaminan kesehatan. Katanya, jika JKN sudah jalan, rakyat akan mendapat pelayanan kesehatan gratis.
Itu hanya propaganda. Realitanya justru sebaliknya. Yang ada bukanlah jaminan kesehatan nasional, akan tetapi asuransi kesehatan nasional. Dua hal yang sangat berbeda bahkan berkebalikan.
Pelaksanaan JKN per 1 Januari 2014 ini adalah amanat dari UU No. 40 th. 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 th. 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).
UU SJSN Pasal 19 ayat 1 menegaskan: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 1 ayat 3). Prinsip ekuitas artinya tiap peserta yang membayar iuran akan mendapat pelayanan kesehatan sebanding dengan iuran yang dibayarkan.
UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan kesehatan menjadi kewajiban rakyat. Hak rakyat justru diubah menjadi kewajiban rakyat. Konsekuensinya, rakyat kehilangan haknya untuk mendapat jaminan kesehatan yang seharusnya wajib dipenuhi oleh negara.
UU ini “menghilangkan” kewajiban dari negara dan memindahkannya ke pundak rakyat. Rakyat wajib menanggung pelayanan kesehatannya sendiri dan sesama rakyat. Itulah prinsip kegotong-royongan SJSN yaitu prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya (penjelasan pasal 4).
Bukan Gratis, Tapi Wajib Bayar
Dalam sistem JKN ini tidak ada yang gratis. Justru seluruh rakyat wajib membayar dahulu, tiap bulan. JKN adalah asuransi sosial. Hanya peserta yang membayar premi yang akan dapat layanan kesehatan JKN. Itu wajib bagi seluruh rakyat sesuai prinsip kepesertaan wajib UU SJSN. Yakni seluruh penduduk wajib jadi peserta asuransi sosial kesehatan (JKN), dan tentu wajib membayar premi/iuran tiap bulan. Pasal 17: “(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.”
Iuran untuk orang miskin dibayar oleh pemerintah (ayat 4) dan mereka disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI), atas nama hak sosial rakyat. Tapi hak itu tidak langsung diberikan kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada pihak ketiga (BPJS) dari uang rakyat yang dipungut melalui pajak. Jadi realitanya, rakyat diwajibkan membiayai layanan kesehatan diri mereka dan sesama rakyat lainnya.
Jadi tidak ada yang gratis untuk rakyat. Justru rakyat wajib bayar iuran, baik layanan itu ia pakai atau tidak. JKN lebih tepat disebut layanan kesehatan prabayar, persis seperti layanan telepon prabayar. Sebab setiap rakyat wajib bayar premi (iuran) tiap bulan, baik layanan itu dimanfaatkan bulan itu atau tidak. Jika tidak bayar maka tidak akan mendapat manfaat layanan kesehatan JKN.
Besarnya iuran per bulan telah ditetapkan. Dalam Perpres ditetapkan nominal iuran PBI per jiwa Rp. 19.225, akan mendapat layanan rawat inap kelas 3. Iuran PNS/TNI/Polri/pensiunan sebesar 5% per keluarga (2% dari pekerja dan 3% dari pemberi kerja) dan akan dapat layanan rawat inap kelas 1 untuk golongan III ke atas atau yang setara, dan rawat inap kelas 2 untuk di bawah golongan III.
Untuk pekerja penerima upah selain PNS dan lainnya, iuran ditetapkan 4,5% per keluarga (0,5% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) hingga 30 Juni 2015, dan menjadi 5% per keluarga (1% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) mulai 1 Juli 2015. Mereka akan mendapat layanan rawat inap kelas 1 jika bergaji lebih dari dua kali pendapatan tidak kena pajak (sekitar Rp. 4 juta) dan rawat inap kelas 2 jika bergaji di bawahnya. Jika pekerja bergaji Rp 2 juta, sampai 30 Juni 2015, ia harus membayar Rp. 10 ribu per keluarga (untuk 5 anggota keluarga), dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Dan mulai 1 Juli 2015, tiap pekerja harus membayar Rp. 20 ribu, dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Jadi pemberi kerja tiap bulan harus membayar Rp. 80 ribu dikalikan jumlah pekerjanya.
Sementara untuk pekerja bukan penerima upah (bekerja sendiri) atau bukan pekerja, iuran Rp. 25.500 per jiwa (layanan rawat inap kelas 3), Rp. 42.500 per jiwa (rawat inap kelas 2), dan Rp. 59.500 per jiwa (rawat inap kelas 1). Untuk satu keluarga tinggal dikalikan jumlah anggota keluarga. Jumlah itulah yang wajib dibayarkan tiap bulan.
Jika ada biaya lebih dari yang dikover JKN, maka harus dibayar sendiri. Masalahnya, tarif yang ditetapkan sangat kecil. Contohnya, untuk RS Pratama, praktik dokter, dan fasilitas kesehatan yang setara tarif yang dikover hanya Rp. 8.000-10.000 per peserta per bulan; praktek dokter gigi malah hanya Rp 2.000.
Perpres tentang JKN, menetapkan prosedur layanan JKN, bahwa peserta harus mendapat pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar. Di fasilitas lain hanya boleh jika di luar wilayah atau kegawatdaruratan medis. Itu artinya, meski masih di kota yang sama, jika bukan di tempat peserta terdaftar, tidak akan dikover oleh JKN, artinya harus bayar sendiri.

“Memalak” Rakyat, Himpun Dana
JKN (Jaminan Sosial Nasional) merupakan cara lain memungut dana secara wajib – “memalak”- seluruh rakyat. Tiap orang akan terkena pungutan. Pemberi kerja akan terkena pungutan sangat besar. Makin banyak pekerjanya, makin besar pungutan yang harus dibayarnya. Biaya itu bisa saja dimasukkan harga jual produk/jasa. Maka beban seluruhnya kembali kepada rakyat pada umumnya.
Lebih menyesakkan lagi, jika telat bayar, tidak diberi layanan, bisa didenda, bahkan tidak diberi pelayanan administratif publik seperti ngurus KTP, akte, sertifikat, IMB, dsb. Pemberi kerja atau kepala keluarga yang tidak mendaftarkan pekerja atau anggota keluarganya, bisa dikenai sanksi bahkan sampai sanksi pidana. Inilah kezaliman luar biasa. Sudah dipalak, jika telat dijatuhi sanksi, jika menghindar bisa dipidana.
Itulah “pemalakan” rakyat untuk menghimpun dana besar. Kompas (26/12) menyebutkan, penyelenggara jaminan kesehatan diperkirakan akan mengumpulkan dana iuran peserta sedikitnya Rp. 80 triliun per tahun. Akumulasi dana ini akan bertambah besar saat BPJS ketenagakerjaan beroperasi penuh pada 1 Juli 2015 dan menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian dan jaminan pensiun.
Dana Jaminan Sosial itu wajib disimpan dan diadministrasikan di bank kustodian yang merupakan BUMN (Pasl 40 UU BPJS). Artinya Bank BUMN bisa mendapat sumber dana baru. Sesuai amanat Pasal 11 UU BPJS, dana itu diinvestasikan. Tentu dalam bentuk surat berharga, termasuk Surat Utang Negara dan surat berharga swasta. Dengan itu, negara dapat sumber dana baru. Selain negara, swasta dan para kapitalis juga akan menikmati dana itu yang diinvestasikan melalui instrumen investasi mereka. Mungkin karena itulah Barat (khususnya melalui Bank Dunia, IMF, ADB, USAID) sangat getol bahkan mendekte agar SJSN dalam bentuk asuransi sosial itu segera eksis dan berjalan.

Islam: Pelayanan Kesehatan Kewajiban Negara
Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas kesehatan merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq), yang wajib dipenuhi negara, sebab termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)

Secara praktis, penyediaan layanan kesehatan gratis telah dipraktekkan dan dicontohkan oleh Nabi saw sebagai kepala negara, dan para Khulafa’ur Rasyidin. Hal itu menjadi sunnah Nabi saw dan ijmak sahabat bahwa negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat. Itu menjadi hak setiap individu rakyat sesuai kebutuhan layanan kesehatan yang diperlukan tanpa memandang tingkat ekonominya.
Dana untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditetapkan syariah. Bisa dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, seperti hutan, bermacam tambang, migas, panas bumi, hasil laut dan kekayaan alam lainnya. Juga dari kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis untuk seluruh rakyat.
Namun semua itu hanya bisa terwujud, jika Syariah Islam diterapkan secara total dalam sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Untuk itu, kewajiban kita semua, umat Islam, untuk sesegera mungkin mewujudkannya. Lebih dari itu, mewujudkannya adalah kewajiban syar’i dan konsekuensi dari akidah Islam yang kita yakini. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar Al Islam:
Satu dasawarsa sejak KPK dibentuk pada 29 Desember 2003, ternyata korupsi di Indonesia semakin canggih modusnya dan melibatkan banyak pelaku, termasuk pihak asing. Korupsi pun makin menjadi ancaman bagi keutuhan Indonesia sebagai negara kesatuan, karena sering masuk pada lingkaran kekuasaan dan menjadikan rakyat sebagai korban pemiskinan sistemik. (Kompas, 30/12/2013).
  1. Akibat penerapan sistem politik demokrasi, apalagi dengan biaya tinggi, semua itu wajar saja terjadi.
  2. Diperparah dengan penerapan sistem ekonomi kapitalisme, pemiskinan rakyat secara sistemik pun makin menjadi-jadi, dan sebaliknya memperkaya kapitalis khususnya asing.
  3. Terapkan sistem politik Islam, niscaya korupsi bisa diberantas. Dengan dibarengi penerapan sistem ekonomi Islam, niscaya rakyat seluruhnya akan sejahtera.

Pemerintah Melegalkan Khamr: Membuka Pintu Kerusakan

Pemerintah Melegalkan Khamr: Membuka Pintu Kerusakan

[Al-Islam edisi 689, 15 Rabiul Awal 1435 H-17 Januari 2014 M]
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani peraturan presiden (perpres) baru tentang pengendalian minuman beralkohol (mihol). Aturan baru itu adalah Perpres No. 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang ditandatangani SBY pada 6-12-2013. Melalui peraturan itu, pemerintah kembali mengategorikan minuman beralkohol sebagai barang dalam pengawasan. (lihat, Republika.co.id, 3/1/2014).
Khamr Tidak Dilarang, Hanya Diatur
Perpres itu menegaskan bahwa khamr pada dasarnya tidak dilarang. Hanya, produksi dan peredaran/penjualan khamr diatur dan diawasi. Pasal 3 ayat 3: “Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi pengawasan terhadap pengadaan minuman beralkohol dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya.”
Perpres itu membagi minuman beralkohol (mihol) dalam tiga golongan. Golongan A, mihol dengan kadar etanol sampai 5%. Golongan B, mihol dengan kadar etanol 5 – 20 %. Dan golongan C, mihol dengan kadar etanol 20 – 55 %.
Menurut Perpres ini, mihol hanya boleh diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industri dari Menteri Perindustrian; atau diimpor oleh pelaku usaha yang memiliki izin impor dari Menteri Perdagangan. Peredararan mihol hanya dapat dilakukan setelah memiliki izin dari Kepala BPOM Kemenkes. Dan dari Pasal 4 ayat 4, mihol hanya dapat diperdagangankan oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin memperdagangkan Minuman Beralkohol dari Menteri Perdagangan.
Pasal 7, mihol golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di: a. Hotel, Bar, dan Restoran yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan; b. Toko bebas bea; dan c. Tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk DKI Jakarta. Di luar tempat-tempat tersebut, mihol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Perpres ini juga memberikan wewenang kepada Bupati/Walikota dan Gubernur untuk DKI Jakarta menetapkan pembatasan peredaran mihol dengan mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal.
Jadi Perpres itu jelas melegalkan mihol (khamr). Menurut Perpres itu, khamr legal untuk diproduksi dan diimpor, asal mendapat izin. Khamr juga legal untuk dijual ditempat tertentu asal ada izin. Bahkan khamr golongan A boleh dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan, seperti dalam botol, kaleng, kemasan pack, dan sebagainya.

Bukan Demi Kemaslahatan Umat
Dengan otonomi daerah banyak daerah membuat perda anti miras. Banyak diantaranya lalu disebut perda syariah anti miras.
Namun perda-perda itu dipersoalkan oleh Kemendagri karena dianggap menyalahi Kepres No. 3/1997. Kepres itu tidak melarang miras (khamr) tetapi hanya mengatur pembatasan miras (khamr).
Kepres No. 3/1997 itu pun digugat ke Mahkamah Agung. Pada tanggal 18 Juni 2013, MA melalui putusan MA Nomor 42P/HUM/2012 menyatakan Kepres No. 3/1997 itu sebagai tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Maka dibuatlah Perpres No. 74/2013 untuk menggantikan Kepres tersebut. Jika dilihat isinya masih sama, hanya sedikit perubahan dan tambahan.
Jika Kepres No. 3/1997 dipakai untuk mempersoalkan perda-perda anti miras, hal itu akan terulang dengan Perpres No. 74/2013 ini. Kapuspen Kemendagri, Restuardy Daud, mengatakan, perpres yang baru juga tak serta-merta memberikan pemda kebebasan tak terbatas menerbitkan perda pelarangan minuman keras. Ia mengatakan, “Perpres itu mengatur pengendalian dan pengawasan dan nantinya akan sinkronisasi dengan peraturan daerah” (Republika.co.id, 3/1/2014). Ia menegaskan, Perpres 74/2013 tetap harus ditaati meskipun kepala daerah atau pun Dinas Perdagangan Perindustrian terkait mempunyai regulasi tertentu.
Artinya, Kemendagri akan “mengklarifikasi” perda-perda syariah anti miras agar tak berbenturan dengan perpres yang baru. Itu sama saja meminta (memerintahkan) agar perda-perda syariah anti miras dibatalkan atau diubah sehingga tidak lagi melarang miras secara total, tetapi hanya mengatur dan membatasinya yaitu melaksanakan Perpres 74/2013 itu. Dengan itu maka kegaduhan yang terjadi sebelumnya sangat boleh jadi akan terulang. Jika itu benar-benar terjadi, maka penyebabnya adalah terbitnya perpres ini.
Padahal aspirasi masyarakat banyak menginginkan agar miras yaitu khamr dilarang. Sudah banyak sekali akibat buruk yang muncul akibat miras. Meski diklaim Perpres itu untuk melindungi masyarakat, yang terjadi justru sebaliknya. Perpres itu ibarat membuka pintu kerusakan. Sebab khamr (miras) adalah pintu kerusakan, induk keburukan. Nabi saw memperingatkan:
«الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ وَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ مِنْهُ صَلاَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا فَإِنْ مَاتَ وَهِىَ فِى بَطْنِهِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً »
“Khamr itu adalah induk keburukan dan siapa meminumnya, Allah tidak menerima sholatnya 40 hari. Jika ia mati dan khamr itu ada di dalam perutnya maka ia mati dengan kematian jahiliyah.” (HR ath-Thabrani, ad-Daraquthni, al-Qadha’iy)

Menurut WHO sebanyak 320.000 orang di dunia meninggal per tahun karena penyakit berkaitan dengan alkohol. Di daerah, Kapolres Kendari AKBP Anjar Wicaksana, pernah menyebutkan, penyebab kejahatan yang banyak terjadi dalam kurun waktu Bulan Juni 2013 sekitar 80% dimulai dari konsumsi miras (baubaupos.com/16/7/2013). Sementara itu Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Polri Kombes (Pol) Agus Rianto mengemukakan, kecelakaan yang disebabkan pengendara mengkonsumsi miras hingga pertengahan tahun 2013 ada 49 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya (jaringnews.com/12/8/2013). Begitu pula sudah banyak diungkap, para pelaku kejahatan biasanya menenggak khamar sebelum beraksi.
Di sisi lain, yang untung jelas para “pebisnis khamr”. Sebab bisnis jalan terus, uang pun terus mengalir, meski sedikit terpengaruh. Negara juga mendapat pemasukan dari cukai dan pajak mihol. Ironisnya, semua itu dengan mengorbankan kemaslahatan masyarakat pada umumnya. Semua itu terjadi karena yang dijadikan pegangan adalah ideologi sekuler demokrasi kapitalisme. Demokrasi menyerahkan pembuatan hukum kepada manusia. Sementara, doktrin ekonomi kapitalisme, menganggap khamr, sebagai barang ekonomis, selama ada permintaan, harus dipenuhi. Maka tidak boleh dilarang, hanya diatur saja.

Islam Membabat Khamr
Berbeda dengan peraturan buatan manusia itu, dalam Islam khamr adalah haram. Allah SWT berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (TQS al-Maidah [5]: 90)

Rasul saw. menjelaskan bahwa semua minuman yang memabukkan merupakan khamr dan haram.
«كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ»
“Semua yang memabukkan adalah khamr dan semua khamr adalah haram.” (HR Muslim)

Keharaman khamr itu berlaku baik sedikit ataupun banyak.
«مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ»
“Apa (minuman/cairan) yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya adalah haram” (HR Ahmad dan Ashhabus Sunan)

Khamar itu haram dijual. Rasul saw. menegaskan:
«إِنَّ الَّذِي حُرِّمَ شَرْبُهَا حُرِّمَ بَيْعُهَا»
“Sesungguhnya apa yang diharamkan meminumnya maka diharamkan pula menjualnya.” (HR Muslim)

Selain itu, terkait Khamr ada sepuluh pihak yang dilaknat. Dari Anas bin Malik bahwa Rasul saw bersabda:
«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ r فِي الخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا، وَالمُشْتَرِي لَهَا، وَالمُشْتَرَاةُ لَهُ»
“Rasulullah saw melaknat dalam hal khamr sepuluh pihak: yang memerasnya, yang diperaskan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan, yang menuangkan, yang menjualnya, yang memakan harganya, yang membeli dan yang dibelikan.” (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah)

Dari semua itu, maka Islam tegas melarang dan mengharamkan khamr. Juga melarang penjualan khamr dan sepuluh pihak lainnya. Itu artinya, khamr dilarang beredar di masyarakat.
Dan siapa saja yang minum khamar, sedikit atau pun banyak, jika terbukti di pengadilan, maka dalam Islam ia dijatuhi sanksi jilid sebanyak 40 atau 80 kali. Anas menuturkan:
«كان النبي r يَضْرِبُ فِي الخَمْرِ باِلجَرِيْدِ وَالنَّعَالِ أَرْبَعِيْنَ»
“Nabi Muhammad saw. mendera orang yang minum khamar dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali dera.”(HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Ali bin Abi Thalib juga menuturkan:
«جَلَّدَ رَسُوْلُ اللّهِ r أَرْبَعِيْنَ، وَأبُو بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ، وعُمَرُ ثَمَانِيْنَ، وَكُلٌّ سُنَّةٌ، وهَذَا أحَبُّ إِليَّ»
“Rasulullah saw. mencambuk (orang minum khamr) empat puluh kali, Abu Bakar mencambuk empat puluh kali, Umar mencambuk delapan puluh kali. Masing-masing adalah sunnah. Dan ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR Muslim)

Sementara untuk pihak selain yang meminum khamr, maka sanksinya berupa sanksi ta’zir. Bentuk dan kadar sanksi itu diserahkan kepada Khalifah atau qadhi, sesuai ketentuan syariah. Tentu sanksi itu harus memberikan efek jera.

Wahai Kaum Muslimin
Dengan bekal ketakwaan individu yang senantiasa dipupuk oleh negara, maka individu akan enggan menyentuh khamr. Negara pun tidak boleh memfasilitasi baik langsung maupun tidak langsung, terhadap peredaran khamr. Dan siapa saja yang meminum khamr dan yang terlibat terkait khamr dijatuhi hukuman syar’i tersebut. Dengan semua itu, Islam akan mampu membabat khamr, dan menyelamatkan orang dari belenggu miras. Namun semua itu hanya terwujud, melalui penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Itulah kewajiban kita yang harus segera kita tunaikan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Komentar:
Untuk menutup defisit anggaran, serta membayar utang jatuh tempo, pemerintah Indonesia berencana menerbitkan surat utang berupa surat berharga negara (SBN) dengan nilai Rp 357,96 triliun tahun ini. Dari nilai tersebut, sebanyak Rp 205,07 triliun, digunakan untuk murni pembiayaan defisit anggaran tahun ini. Sisanya atau Rp 152,89 triliun adalah untuk membayar utang jatuh tempo atau refinancing. (detikfinance, 11/1/2014)
  1. Padahal hingga November 2013, utang pemerintah Indonesia sudah mencapai Rp 2.354,54 triliun. Artinya, tiap orang dari 248,9 juta penduduk Indonesia termasuk bayi yang baru lahir terbebani utang Rp 9,4 juta.
  2. Utang sudah menumpuk tapi pemerintah masih gemar ngutang. Inilah prestasi negeri ini: jago ngutang.
Print Friendly

Mahalnya Biaya Capres

Mahalnya Biaya Capres

[Al-Islam edisi 691, 29 Rabiul Awal 1435 H – 31 Januari 2014 M]
Seorang calon presiden butuh dana hingga Rp 3 triliun untuk mengikuti pemilihan presiden di Indonesia. Hal ini karena capres sudah harus bergerak sebelum rangkaian kampanye yang ditetapkan KPU. ”Dana yang dilaporkan ke KPU hanya Rp 300 miliar-Rp 500 miliar. Ini karena penghitungan dimulai sejak tahapan resmi KPU dimulai”, kata Ketua Balitbang Partai Golkar Indra J Piliang di Jakarta, Sabtu (25/1).
Dana triliunan rupiah itu digunakan untuk membiayai perjalanan sosialisasi, relawan, logistik partai, pertemuan dengan ormas, survei, dan iklan. ”Proporsi untuk iklan cukup banyak karena bisa menjangkau seluruh Indonesia. Hanya turun ke lapangan saja tidak akan efektif,” ujar Indra. (kompas.com, 26/1).
Menurut Pengamat politik dari Charta Politika, Arya Fernandes, ada tiga faktor yang membuat biaya capres makin mahal (inilah.com, 26/1). Pertama, adanya perubahan model kampanye dengan pemilihan presiden secara langsung. Menurutnya, perubahan ini membuat biaya politik sangat mahal. Yang diuntungkan orang-orang yang punya duit banyak.
Faktor kedua, munculnya iklan di televisi yang menjadi alat efektif untuk pengaruhi pemilih dan jangkauannya yang luas. Arya mencontohkan, dana kampanye Obama (Presiden AS) setelah 2008, sebanyak 54% habis di iklan. Menurutnya, di 2014 nanti, setengah dana capres juga akan habis di iklan.
Faktor ketiga, pergeseran politik yang makin personal, maka orang makin butuh personal branding (pencitraan personal). Semua itu butuh biaya. Biaya mahal juga dibutuhkan bagi siapa saja yang maju dalam pemilu legislatif.
Mahalnya biaya capres bukan hanya terjadi di negeri ini. Mahalnya biaya menjadi pemimpin bisa jadi merupakan karakteristik sistem politik demokrasi. Di negara yang demokrasinya dianggap lebih maju, biaya pencapresan juga sangat mahal.
Di Amerika Serikat misalnya, menurut Center for Responsive Politic (http://www.opensecrets.org/pres12/) pada pemilu presiden 2012 lalu dana yang dibelanjakan oleh tim kampanye Mitt Romney, calon dari Republik yang kalah mencapai US$ 1,238 miliar atau sekitar Rp 12,38 triliun (1 US$= Rp 10.000). Sementara belanja tim kampanye Obama mencapai US 1,107 miliar dolar atau sekitar Rp 11.07 triliun.
Sementara itu Politico melaporkan bahwa ketua Federal Election Commission Ellen Weintraub mengumumkan belanja pemilu di AS tahun 2012 mencapai US$ 7 miliar. Terdiri dari total belanja kandidat US$ 3,2 miliar, belanja partai US$ 2 miliar dan belanja grup luar (organisasi pendukung) US 2,1 miliar (http://www.motherjones.com/mojo/2013/02/2012-election-cost-7-billion-obama-romney).
Obama pada tahun 2008 membelanjakan US$ 730 juta atau sekitar Rp 7,3 triliun untuk menjadi presiden AS. Jumlah itu dua kali jumlah yang dibelanjakan oleh George Bush pada tahun 2004 dan lebih dari 260 kali yang dibelanjakan Abraham Lincoln pada tahun 1860 (jika dihitung dengan dolar pada tahun 2011).
Biaya besar juga masih tetap dibutuhkan untuk pencapresan di Perancis. Padahal biaya pencapresan di Perancis dianggap sangat murah. Sebab belanja kampanye dibatasi oleh Undang-undang, termasuk tidak boleh ada iklan di televisi dan setiap kandidat diberi dana kampanye oleh negara sebesar 8 juta Euro. Meski demikian, pada tahun 2007 Sarkozy untuk memenangi pemilu dan menjadi presiden harus membelanjakan 21 juta Euro. Sementara lawannya seorang sosialis Ségolène Royal membelanjakan 20 juta Euro (http://www.huffingtonpost.com/sophie-meunier/france-election-laws_b_1438456.html)
Kompensasi
Pertanyaannya, dari mana dana sebesar itu? Dana sebesar itu sebagian bisa berasal dari kantong kandidat sendiri. Sebagian lainnya berasal dari donor, baik perusahaan atau individu, termasuk sumbangan kecil-kecil dari individu.
Ada pepatah, tidak ada makan siang gratis. Semua donasi itu, terutama yang berasal dari perusahaan atau individu kapitalis/pemilik modal, tentu tidak gratis, melainkan harus diberi kompensasi baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hitungan kapitalis, donasi itu merupakan investasi yang harus kembali beserta keuntungan.
Kompensasi kepada para pemodal kampanye itu bisa diberikan secara langsung dalam bentuk proyek-proyek. Karena itulah, kenapa tak jarang terdengar atau terungkap adanya pengaturan proyek untuk pihak-pihak tertentu baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.
Kompensasi juga bisa diberikan secara tidak langsung. Yaitu dengan jalan dibuat kebijakan-kebijakan, peraturan dan undang-undang yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan kapitalis. Contohnya, pemberian berbagai fasilitas fiskal, keringanan pajak, pajak ditanggung negara, pembebasan bea, dan sebagainya. Atau kebijakan pemberian konsesi pengusahaan tambang, hutan, perkebunan dan sebagainya. Dan jika perlu peraturan diubah untuk mengakomodasinya. Bisa juga dalam bentuk peraturan yang membuka jalan bagi investasi kapitalis secara leluasa, seperti berbagai peraturan dan undang-undang liberal misal, UU penanaman modal, UU Migas, UU kelistirikan, UU Minerba, UU pengadaan tanah, UU SJSN dan BPJS, dan sebagainya.
Akibatnya, negara pun menjadi korporatokrasi di mana pemerintahan dan pengaturan negara dilakukan layaknya perusahaan. Hubungan rakyat dengan pemerintah tidak lagi hubungan pelayanan dan ri’ayah, tetapi menjadi seperti hubungan dagang, di mana pemerintah bertindak sebagai pedagang dan rakyat diposisikan sebagai konsumen. Akibat lainnya, kekayaan alam yang semestinya menjadi milik seluruh rakyat akhirnya diserahkan kepada swasta. Keuntungannya lebih banyak untuk kemakmuran para kapitalis. Di sisi lain, berbagai subsidi untuk rakyat pun dikurangi dan jika mungkin dihilangkan. Makin besarnya biaya politik baik untuk capres maupun caleg, maka corak korporatokrasi itu ke depan akan makin kental. Kepentingan rakyat akan makin terpinggirkan.
Konsekuensi
Mahalnya biaya politik menjadi capres dan caleg itu juga akan melahirkan konsekuensi berupa pengembalian modal yang dikeluarkan oleh calon. Jika jalan legal yang ditempuh, maka akan ada pelegalan agar penguasa dan politisi (anggota legislatif) memiliki penghasilan legal yang besar. Setidaknya kecenderungan seperti itu telah berkali-kali tampak. Misalnya dalam berbagai usulan agar gaji anggota legislatif atau gaji pejabat termasuk presiden dinaikkan. Jika pun gaji tidak naik, maka penghasilan yang bisa dibawa ke rumah oleh seorang pejabat akan dibuat sebesar mungkin.
Saat ini, ternyata penghasilan gubernur dan wakil gubernur bisa dibilang sangat besar dan semuanya legal menurut peraturan yang ada. Hal itu bisa seperti yang dirilis oleh LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tentang pendapatan yang diterima gubernur dan wakil gubernur (wagub) dalam sebulan (http://news.liputan6.com/read/761648/10-gubernur-gaji-tertinggi-jokowi-teratas-riau-terbuncit).
Menurut Knowledge Manager Fitra Hadi Prayitno, penghasilan gubernur dan wagub yang besar, datang dari gaji pokok yang dilipatgandakan. Hal itu sesuai PP Nomor 69 Tahun 2010, dan tunjangan operasional berdasarkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sesuai PP no 109 Tahun 2000. Makin besar PAD, penghasilan gubernur dan wagub akan makin besar. Data FITRA itu menyebutkan diantaranya penghasilan perbulan Gub. DKI Jakarta Rp 1,759 miliar dan Wagub Rp 1,740 miliar; Gubernur Jabar Rp 710,026 juta dan Wagub Rp 691,546 juta; Gubernur Jatim Rp 670,843 juta dan Wagub Rp 655,723 juta. Angka itu adalah angka penghasilan berasal dari gaji, tunjangan dan pendapatan lainnya sesuai peraturan.
Konsekuensi dari mahalnya biaya politik itu, ke depan akan bisa disaksikan dibuatnya peraturan dan UU yang memberikan gaji, tunjangan, fasilitas dan penghasilan yang makin besar untuk penguasa dan anggota legislatif. Para penguasa dan politisi akhirnya tidak lagi berperan sebagaimana seharusnya yaitu sebagai pemelihara dan pelayan umat, tetapi justru menjadi tuan bagi rakyat dan rakyat diposisikan sebagai pelayan. Padahal peran penguasa adalah memelihara dan mengatur urusan-urusan rakyat. Kepentingan dan kelaslahatan rakyat haruslah dikedepankan dan diutamakan, bukan kepentingan pribadi. Rasul saw bersabda:
«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ»
“Dan seorang pemimpin adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas mereka.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Konsekuensi lain dari mahalnya biaya politik itu, adalah terjadinya korupsi, kolusi, manipulasi dan sejenisnya, untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan. Sudah menjadi anekdot bahwa dalam lima tahun menjabat, dua tahun awal untuk mengembalikan modal dan dua tahun terakhir untuk mengumpulkan modal bagi proses politik berikutnya. Dalam Islam hal itu adalah haram dan dilarang keras, bahkan pelakunya diancam tidak akan masuk surga. Rasul saw bersabda:
«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seorang hamba diserahi Allah mengurus urusan rakyat, dia mati dan pada hari kematiannya ia menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan baginya surga (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Wahai Kaum Muslimin
Semua itu akan berujung pada terjadi kerusakan akibat kebijakan, peraturan dan perundangan yang bercorak liberal kapitalistik berlandaskan ideologi sekuler. Juga akibat perilaku buruk dan merusak yang dilakukan oleh para penguasa, pejabat dan politisi.
Tidak ada jalan untuk memperbaiki dan menyelamat masyarakat dari semua kerusakan itu kecuali dengan kembali kepada petunjuk dan aturan yang diturunkan oleh Allah yang Maha Bijaksana. Dan itu tidak lain adalah dengan menerapkan syariah secara total di bawah naungan sistem politik yang digariskan oleh Islam yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.[]
Komentar:
Kepala PPATK M Yusuf mengatakan transaksi mencurigakan di partai politik meningkat 20-25 persen menjelang pelaksanaan pemilu. (Republika, 28/1)
  1. Itu terjadi akibat sistem politik yang berbiaya mahal. Itu adalah awal dari persekongkolan politisi-pemodal dan menguatnya korporatokrasi. Itulah salah satu sumber kebobrokan sistem poltiim demokrasi.
  2. Akibatnya, kepentingan rakyat terpinggirkan dan sumber daya kekayaan milik rakyat diserahkan kepada swasta. Rakyat tinggal gigit jari.
  3. Hanya dengan sistem politik Islam dalam naungan khilafah saja, penguasa, pejabat dan politisi akan benar-benar memperhatikan urusan rakyat; dan kekayaan milik rakyat benar-benar untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.

Kehormatan dan Nyawa Makin Tak Terlindungi

Kehormatan dan Nyawa Makin Tak Terlindungi

Al-Islam edisi 692, 7 Rabiuts Tsani 1435 H – 7 Februari 2014 M
Di DKI Jakarta dan sekitarnya, selama Januari – awal Februari terjadi sejumlah pembunuhan: Feby Lorita, ditemukan tewas di bagasi mobil Nisan March, Sabtu (25/1); Ny. Adika Adi Putri dibunuh di Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakpus, Senin (3/2); Septiawan dibunuh di Gang Bedeng, Jl. Sahardjo, Tebet, Jaksel, Jumat (31/1); penemuan mayat L Edward dalam karung di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakpus, Selasa (4/2); penemuan mayat laki-laki di Kali Pesanggrahan, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jaksel, Senin (27/1); penemuan mayat perempuan di Km 7+800 Tol Jatibening, Bekasi, Jumat (17/1); Epi Suhendar membunuh anaknya sendiri Ihsan Fazle Mawla, Senin (27/1); Desi Hayatun Nupus dibunuh oleh suaminya, Erik (30), di Rawabebek Kotabaru, Bekasi Barat, Minggu (25/1). Dua sosok jasad ditemukan di Jl. Ir H Juanda, Bekasi Timur, Sabtu (25/1). Sebelumnya, Deni Sulaiman ditemukan tewas di Gang Anggrek, Cimanggis, Depok, Kamis (23/1).
Di Medan, ketua Ikatan Pemuda Karya (IPK) Frengky Simatupang dibunuh oleh lima orang (Poskotanews.com, 29/1). Di Lampung, Rido Hasan, Sabtu (1/2) tewas ditusuk tersangka F di Desa Candimas, Natar, Lampung Selatan. Di Lumajang Jatim, Siman warga Merakan Kec. Padang Lumajang, pada Sabtu (1/2) membunuh Usnan yang tengah berhubungan intim dengan isteri Siman (Poskotanews.com, 2/2).
Pemerkosaan juga banyak terjadi selama awal 2014. Di Lampung kasus pemerkosaan atas seorang gadis oleh belasan laki-laki belum juga kelar. Di Jakarta seorang wanita dinodai oleh empat orang petugas Trans Jakarta di halte Harmoni. Percobaan perkosaan juga terjadi atas seorang mahasiswi di Jakut. Sementara di Bandung, seorang mahasiswi mengalami perkosaan pada 27/1.
Kriminal Marak, Sistem Gagal Lindungi Warga
Maraknya kejahatan itu membuat rasa aman makin hilang. Orang telah begitu mudah membunuh, memperkosa, dan berbuat kejahatan. Kehormatan dan nyawa begitu mudah dihilangkan, bahkan kadang karena dipicu oleh hal-hal sepele.
Angka kejahatan di negeri ini terbilang besar. Tahun 2013, Polda Metro Jaya mencatat ada 51.444 kasus kriminal di Jakarta dan sekitarnya, atau satu kejahatan tiap 10 menit 13 detik. Pembunuhan 74 kasus, naik 2 kasus (3%) dari tahun 2012. Artinya satu pembunuhan tiap lima hari. Pencurian dengan kekerasan 1.004 kasus dan pencurian dengan pemberatan 5.011 kasus. Sementara, dari 57 kasus pemerkosaan selama tahun 2013, baru 36 kasus berhasil diselesaikan. Di tahun 2014, Polda Metro Jaya memprediksi praktik kejahatan akan meningkat. (detikNews, 29/12/2013)
Di Bekasi, tahun 2013 ada 1771 kasus pidana, naik 12 % atau naik 201 kasus dari tahun 2012. (Beritabekasi.co, 2/1/2014). Di Bangkalan, di tahun 2013 angka kejahatan 523 kasus atau naik 5,02 % dari tahun 2012 (mediamadura.com, 2/1/2014).
Sepanjang 1998-2010, tercatat 4.845 kasus perkosaan di Indonesia, atau 1 perkosaan setiap hari. Kebanyakan korban adalah anak-anak. Sementara di Jogjakarta, menurut Thontowi dari Rifka Annisa data kasus yang terlapor di Rifka Annisa, sepanjang 2009 – 2012, terjadi 131 kasus perkosaan dan 71 kasus pelecehan seksual. Pada Januari-September 2013, terjadi 32 kasus perkosaan dan 10 kasus pelecehan seksual. (itoday.com).
Akibat Sistem Sekuler Kapitalistik
Kriminolog Universitas Asyafi’iyah, Masriadi Pasaribu, mengatakan banyaknya kasus pembunuhan merupakan suatu fenomena. Masyarakat sangat mudah tersinggung. Ketika ketersinggungan terus dipelihara, lama-kelamaan menjadi dendam. Tinggal menunggu amarah yang memuncak. Menurutnya, “Masyarakat Ibu Kota dan daerah penyangga sudah dalam tahap stres yang tinggi sehingga melakukan pembunuhan dijadikan cara yang dianggap efektif untuk menghilangkan kepenatan dan menuntaskan amarah.”
Faktor ketidakharmonisan rumah tangga dan faktor kecemburuan juga berperan, seperti kasus pembunuhan Desy Hayatun Nupus yang tengah hamil. Menurut Humas Polres Bekasi Kota AKP Siswo Motif, sementara diduga karena cemburu. (detikNews, com, 29/1). Septiawan tewas di jl. Saharjo Jaksel jadi korban salah sasaran karena mirip dengan selingkuhan isteri pelaku (poskotanews.com, 1/2).
Kadang pembunuhan dipicu oleh faktor ekonomi. Epi Suhendar membunuh anaknya sendiri diduga karena faktor beban pekerjaan serta himpitan ekonomi (detikNews, 29/1) atau karena ia takut dipecat dari tempat kerjanya karena kurang memenuhi target. Sementara pembunuhan Frengky Simatupang di Medan diduga terkait permasalahan lahan tanah garapan (poskotanews.com, 29/1). Di Bangkalan, menurut Kapolres Bangkalan AKBP Sulistiyono, “banyaknya kasus kriminalitas di kabupaten Bangkalan karena masih sedikitnya lapangan pekerjaan, sebab para pelaku kriminal rata-rata pengangguran.” (mediamadura.com, 2/1/2014)
Bila diperhatikan, berbagai kasus kejahatan (pembunuhan) itu disebabkan oleh banyak faktor saling berkaitan yang semuanya bermuara pada penerapan sistem sekuler kapitalistik. Sistem sekuler tidak memperhatikan masalah iman dan takwa. Bahkan, sekulerisme yang diterapkan justru makin menipiskan iman dan takwa.
Sistem kapitalistik membuat beban hidup (beban ekonomi) rakyat makin besar. Tingkat stress di masyarakat pun makin tinggi yang makin mudah membuat orang gelap mata dan berbuat kejahatan.
Sementara paham liberal membuat pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan termasuk yang sudah bersuami/isteri. Perselingkuhan akhirnya banyak terjadi.
Semua itu diperparah, dengan bobroknya sistem hukum pidana dan sanksi yang tidak bisa mencegah orang berbuat jahat. Dalam sistem hukum buatan manusia yang sedang diterapkan, orang tidak bisa mendapatkan keadilan melalui hukum, muncullah tindakan balas dendam atau main hakim sendiri (street justice).
Walhasil, maraknya kejahatan baik pembunuhan, perkosaan, pencurian dan lainnya itu adalah akibat sistem sekuler kapitalistik yang diterapkan saat ini. Selama sistem sekuler kapitalistik dengan hukum buatan manusia itu masih diterapkan, maka angka kejahatan akan tetap tinggi dan makin meningkat. Rasa aman bagi masyarakat pun makin tipis dan hilang. Kehormatan dan nyawa seolah makin murah, makin tidak berharga dan makin mudah dilanggar dan dihilangkan.
Hanya Dengan Sistem Islam Bisa Tuntas
Mencegah dan mengatasi berbagai tindak kejahatan tidak bisa terwujud dalam sistem sekuler kapitalistik sekarang ini. Sebab sistem sekuler kapitalistik itu sendiri justru menjadi faktor mendasarnya.
Mencegah dan mengatasi kejahatan hanya bisa dilakukan tuntas dengan sistem Islam yang menerapkan syariah Islam secara total. Dalam Islam, kehidupan masyarakat dibangun berlandaskan akidah Islam, iman dan takwa. Negara wajib membina iman dan takwa warganya.
Penerapan sistem ekonomi Islam membuat distribusi harta terjadi secara merata dan berkeadilan. Dalam Islam, negara diwajibkan menjamin lapangan kerja untuk rakyat secara riil. Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok baik pangan, papan dan sandang tiap individu rakyat. Hal itu bisa direalisasi dengan mekanisme ekonomi dan non ekonomi yang telah diatur dalam syariah Islam. Negara juga wajib menjamin pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, pelayanan kesehatan dan keamanan untuk rakyat secara langsung dan bebas biaya. Semua itu mungkin diantaranya dengan dijadikannya kekayaan alam dan berbagai kepemilikan umum sebagai milik seluruh rakyat, harus dikelola negara, tidak boleh diserahkan kepada swasta, dan semua hasilnya digunakan demi kemaslahatan rakyat.
Sementara dengan penerapan sistem ‘uqubat Islam, rasa keadilan bisa diraih. Orang yang terbukti berzina, jika belum pernah menikah dihukum jilid seratus kali, dan jika pernah menikah maka dirajam hingga mati. Pemerkosa harus dijatuhi dengan sanksi ini dan bisa ditambah sanksinya sebab selain berzina, juga disertai kekerasan. Pelaksanaan hukuman itu harus disaksikan oleh khalayak.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (TQS an-Nur [24]: 2)

Orang yang membunuh dengan disengaja, dihukum qishash (dihukum bunuh) kecuali dimaafkan oleh ahli waris korban, dan dia harus membayar diyat 100 ekor onta, 40 diantaranya sedang bunting. Sementara untuk selain pembunuhan disengaja, pelaku harus membayar diyat 100 ekor onta atau 1.000 dinar atau sekitar Rp 2 miliar (1 dinar= Rp 1.946.883,- geraidinar.com, 4/2)-. Pelaksanaan qishash, rajam dan hukuman jilid harus disaksikan oleh khalayak.
Sanksi itu memberikan efek jera mencegah orang berbuat kejahatan. Efek jera itu bukan semata karena beratnya hukuman, tetapi juga karena pelaksanaan hukuman itu bisa disaksikan dan diketahui oleh masyarakat. Allah menegaskan, di dalam qishash ada kehidupan.
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (TQS al-Baqarah [2]: 179)

Wahai Kaum Muslimin
Dengan penerapan sistem Islam secara total itu, masalah maraknya kejahatan tidak akan terjadi. Kalaupun terjadi, akan dengan mudah dan segera bisa diselesaikan dengan tuntas. Dengan itu rasa aman akan dirasakan oleh seluruh rakyat. Kehormatan, darah, harta dan nyawa akan benar-benar terlindungi. Kuncinya adalah segera diterapkan syariah Islam secara menyeluruh dan itu tidak akan terwujud kecuali di bawah naungan Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar:
Komisi Pemberantasan Korupsi menilai dana saksi partai politik dalam pemilu berpotensi dikorupsi karena tak jelas perencanaan dan pengawasannya. Daripada terjadi penyelewengan, KPK merekomendasikan agar pemerintah tidak mengalokasikan anggaran itu dalam APBN (Kompas, 4/2).
  1. Sudah biasa, setiap menjelang pemilu, penyelewengan dana meningkat. Ingat, penyelewengan dana lainnya sangat mungkin banyak terjadi.
  2. Itu adalah akibat logis dari sistem politik yang mahal. Itulah kebobrokan sistem politik demokrasi.

Pembebasan Bersyarat Corby, Antara Motiv Politik dan Lemahnya Komitmen Berantas Narkoba

Pembebasan Bersyarat Corby, Antara Motiv Politik dan Lemahnya Komitmen Berantas Narkoba

Al-Islam edisi 693, 14 Rabiuts Tsani 1435 H – 14 Februari 2014 M
Schapelle Leigh Corby, yang sering disebut Ratu Mariyuana, mendapat pembebasan bersyarat. Corby pun bisa keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Denpasar, tempat ia menjalani hukuman selama ini. Corby meninggalkan LP Kerobokan Senin 10 Februari sekitar pukul 08.00 WITA dengan kawalan ketat petugas LP dan polisi.
Sejak Awal Kental Aroma Politik
Corby tertangkap tangan 8 Oktober 2004 di Bandara Ngurah Rai, membawa 4,2 kg ganja kering di dalam tas yang dibawa dari Sidney. Tekanan dari berbagai pihak di Australia agar Corby tidak dihukum datang bertubi-tubi. Politisi Australia mengecam Indonesia. Staf Konjen RI di Perth menerima ancaman. Juru Bicara Partai Buruh Australia untuk Urusan Luar Negeri, Kevin Rudd, mengecam melalui surat bernada ancaman. Staf KBRI di Canberra dan Konjen di seluruh Australia mendapatkan email ancaman pembunuhan.
Menlu Australia Alexander Downer di harian The Age mengatakan, pemerintahnya menyiapkan draf untuk pertukaran tahanan antara Indonesia dan Australia. Draft yang disiapkan Australia itu berlalu.
Pada 27 Mei 2005, majelis hakim PN Denpasar memvonis Corby dengan hukuman penjara 20 tahun. Buntutnya, pada 30 Mei, Konjen Indonesia di Sydney dilempari proyektil peluru dan diplomat RI di Perth dikirimi dua butir peluru. Esoknya, KBRI di Canberra mendapatkan kiriman yang berisi serbuk. PM Australia John Howard menyebutkannya sebagai bakteri sejenis antraks.
Pada 12 Oktober 2005, pengadilan banding di PT Denpasar mengurangi hukuman Corby menjadi 15 tahun. Lalu Majelis hakim kasasi Mahkamah Agung pada 12 Januari 2006 memutuskan hukuman penjara 20 tahun dan denda Rp 100 juta kepada Corby. MA pada Maret 2008 kembali menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan Corby.
Di ranah pemberantasan korupsi, Adrian Kiki Ariawan, terpidana kasus BLBI melarikan diri dan diketahui berada di Australia. Pada awal 2006, Pemerintah RI mengajukan permohonan ekstradisi, namun tidak ditanggapi positif oleh Australia. Mungkin itu semacam balasan karena draft pertukaran tahanan yang pernah dibuat pemerintah Australia tidak ditanggapi pemerintah RI.
Perkembangan mengejutkan terjadi. Presiden SBY melalui Kepres RI No. 22/G Th. 2012 tanggal 15 Mei 2012 memberi grasi 5 tahun kepada Corby. Hukuman Corby berkurang menjadi 15 tahun (180 bulan) penjara.
Selama 2006-2011 Corby mendapat sejumlah remisi totalnya 25 bulan. Dengan grasi dan remisi itu masa hukuman Corby menyusut dari vonis awal 20 tahun (240 bulan) menjadi 155 bulan (12 tahun 11 bulan).
Sesuai aturan yang berlaku, narapidana bisa mengajukan dan mendapatkan pembebasan bersyarat (PB) setelah menjalani 2/3 masa hukuman. Maka pada Oktober 2013 Corby mengajukan permohonan pembebasan bersyarat.
Pada 22 Januari 2014, buronan terpidana BLBI, Adrian Kiki Ariawan diekstradisi dari Perth, Australia. Menurut Wamenhuk dan HAM Denny Indrayana (Kompas.com, 8/2), ekstradisi Adrian adalah proses hukum. Setelah melalui proses selama 8 tahun, High Court Australia atau pengadilan tertinggi di Australia memutuskan untuk mengabulkan permohonan ekstradisi yang diajukan Pemerintah RI.
Kembali ke kasus Corby, menurut Menhuk dan HAM, Amir Syamsudin (Kompas.com, 7/2), pada 30 Januari 2014, tim Pengamat Pemasyarakatan Ditjen Pemasyarakatan telah menyidangkan 1.798 narapidana yang mengajukan pembebasan bersyarat. Sebanyak 1.291 diantaranya diberi pembebasan bersyarat. Corby menjadi salah satunya karena dinilai telah memenuhi persyaratan substantif dan administratif.
Memang semua itu adalah proses hukum. Namun dari rangkaian waktu proses sulit untuk dinafikan adanya motiv politik. Pemberian grasi bisa dirasakan sebagai sinyal untuk mendorong proses ekstradisi Adrian yang ditangkap oleh pihak Australia. Grasi Corby terasa menjadi semacam kunci terjadinya ekstradisi Adrian oleh pemerintah Australia pada 22/1/2014 lalu. Setelah itu, permohonan pembebasan bersyarat Corby dikabulkan meski sejak awal sudah disadari hal itu akan menuai pro dan kontra.
Permohonan pembebasan bersyarat sebenarnya bisa saja ditolak. Kejahatan narkoba dianggap sebagai kejahatan luar biasa yang layak diperlakukan secara luar biasa. Pemberian grasi sebelumnya pun telah mendapat reaksi keras dari publik Indonesia. Sewajarnya, semua itu mendorong tidak diberikan pembebasan bersyarat kepada Corby. Karena itu, pembebasan bersyarat Corby sulit dilepaskan dari motiv dan tekanan politik yang memang sudah terasa sejak awal kasus. Namun, untuk menyamarkan, semua itu dikemas dalam proses hukum baik di Indonesia maupun Australia.
Komitmen Berantas Narkoba???
Pemberantasan kejahatan narkoba mestinya digencarkan. Indonesia terus jadi incaran sindikat narkoba sehingga jumlah kasus narkoba terus meningkat. Menurut Kapolri jenderal Sutarman (GATRAnews, 27/12/2013), kasus kejahatan narkoba meningkat 22,25% atau sebanyak 5.909 kasus dari total 26.561 kasus di tahun 2012, menjadi 32.470 kasus di tahun 2013. Jumlah tersangka kasus narkoba naik 7.165 orang atau 21,78%, dari 32.892 orang tahun 2012, menjadi 40.057 orang tahun 2013. Barang bukti yang disita dari semua jenis juga terus meningkat. Untuk jenis ganja (sejenis dengan yang dibawa Corby) sebanyak 16.157,127 kg atau 16 ton lebih.
Corby diberi grasi 5 tahun, remisi 25 bulan antara 2006-2011 (bahkan konon hingga akhir 2013 total remisinya 39 bulan) dan diberi pembebasan bersyarat. Semua itu, wajar saja komitmen berantas narkoba dari pemerintah dipertanyakan. Juga wajar, kedaulatan pemerintah atas tekanan luar khususnya Australia dinilai lemah. Apalagi jika juga dikaitkan dengan tindakan Australia terkait pengungsi dan kasus penyadapan yang terbongkar tahun lalu. Juga wajar ada anggapan, pemerintah bersikap keras kepada warganya sendiri, tetapi lunak terhadap warga asing yang melakukan kejahatan luar biasa (kejahatan narkoba).
Ini sekali lagi adalah bukti lemahnya sistem hukum buatan manusia dalam memberantas kejahatan, khususnya kejahatan narkoba yang dianggap kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Faktanya hukuman bagi pengedar narkoba masih dinilai ringan. Yang dihukum pun masih bisa mendapat remisi hingga beberapa kali. Bahkan yang divonis hukuman mati sekalipun bisa mendapat keringanan hukuman. Dari 57 terpidana mati kasus narkoba, Mabes Polri mendapati 7 (tujuh) diantaranya mendapatkan keringanan. Semua itu masih ditambah lagi dengan ketentuan pembebasan bersyarat jika telah menjalani 2/3 masa hukuman. Akhirnya, narapidana cukup menjalani setengah dari masa hukuman vonis pengadilan. Dalam kasus Corby, ia hanya menjalani kurang dari setengah masa hukumannya, yakni 9 tahun dari vonis 20 tahun. Luar biasa!!!
Hukuman atas kejahatan narkoba yang tidak memberikan efek jera itu justru makin memperparah masalah. Jangankan membuat jera orang lain, orang yang sudah dihukum pun tidak jera. Kejahatan narkoba yang dianggap kejahatan luar biasa, nyatanya dalam kasus Corby ini diperlakukan secara lunak. Boleh jadi, itu akan bisa memicu makin maraknya kejahatan narkoba. Dan boleh jadi pula, ke depan, jalur peredaran narkoba akan bertambah melalui Australia dengan melibatkan warga negara Australia karena beranggapan kalaupun toh tertangkap bisa jadi akan bisa mendapat perlakuan lunak seperti Corby.
Menyalahi Islam
Kejahatan narkoba merupakan dosa dan perbuatan kriminal yang termasuk jenis ta’zir. Bentuk, jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi. Bisa berupa sanksi diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.
Dalam konteks ta’zir, saat kasus diproses, Khalifah boleh meringankan hukuman bagi pelakunya bahkan memaafkannya. Rasul saw bersabda:
«أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إلَّا الْحُدُودَ»
Ringankan hukuman orang yang tergelincir melakukan kesalahan kecuali hudud (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Bukhari di Adab al-Mufrad)

Dalam konteks narkoba, sanksi yang ringan itu bisa dijatuhkan pada orang yang tergelincir mengkonsumsi narkoba untuk pertama kalinya, selain bahwa ia harus diobati dan ikut program rehabilitasi. Bagi pecandu yang berulang-ulang mengkonsumsi narkoba, sanksinya bisa lebih berat lagi, tentu selain harus menjalani pengobatan dan ikut program rehabilitasi. Sedangkan bagi pengedar narkoba, tentu mereka tidak layak mendapat keringanan hukuman, sebab selain melakukan kejahatan narkoba ini, mereka juga melakukan kejahatan membahayakan masyarakat. Bahkan demi keselamatan umat, para pengedar narkoba harus dijatuhi hukuman yang berat, bisa sampai hukuman mati sehingga menimbulkan efek jera.
Adapun jika vonis telah dijatuhkan, syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât (hal. 110, Darul Ummah, cet. Ii. 1990) menyatakan, pemaafan atau pengurangan hukuman oleh Imam itu tidak boleh. Beliau menyatakan, “Sedangkan untuk ta’zir dan mukhalafat, keputusan Qadhi jika telah ditetapkan maka telah mengikat seluruh kaum muslim, karenanya tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah, diringankan atau yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah. Sebab hukum ketika sudah diucapkan oleh Qadhi, maka tidak bisa diangkat sama sekali, sementara pemaafan itu adalah pembatalan vonis (sebagian atau total), karena itu tidak boleh.”
Wahai Kaum Muslim
Nyatalah, sistem hukum buatan manusia yang sedang diterapkan begitu rusak dan menghasilkan kerusakan. Lebih parah lagi, komitmen terhadapnya lemah dan bisa dipermainkan. Akibatnya umat akan terus terancam oleh tindak kejahatan termasuk narkoba. Semua itu, makin menegaskan pentingnya meninggalkan sistem rusak buatan manusia dan segera kembali mengadopsi sistem yang berasal dari Allah yang Mahabijaksana, yaitu syariah Islam yang diterapkan dalam sistem khilafah rasyidah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]

Komentar Al Islam:

Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) mengungkap indikasi penyelewengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang dikorupsi oknum di Kemenag. Irjen Kemenag, M Yasin, mengatakan ada beberapa nama yang diindikasikan terkait penyalahgunaan dana BPIH (Republika, 11/2)
  1. Astaghfirullah… biaya ibadah pun sampai dikorupsi, sungguh-sungguh terlalu.
  2. Bukti betapa rusak sistem yang ada. Di institusi yang mengurusi masalah agama, yang identik dengan ketakwaan dan moral, korupsi masih terus bisa berjalan.
  3. Bersihkan negeri ini dengan aparat yang bersih dan bertakwa dengan sistem yang baik yaitu syariah Islam di bawah Khilafah.

Musibah: Membangkitkan Energi Perbaikan dan Ketaatan

Musibah: Membangkitkan Energi Perbaikan dan Ketaatan

[Al-Islam edisi 694, 21 Rabiuts Tsani 1435 H-21 Februari 2014 M]
Negeri ini ibarat dikepung musibah dari sisi air maupun daratan. Kota Manado luluh lantah disapu air bah menimbulkan sejumlah korban dan kerugian fisik sangat besar.
Banjir melanda sisi utara pulau Jawa, dari barat hingga timur, di Tangerang Banten, DKI Jakarta, Bekasi, Subang, Karawang, Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Pati, Kudus, Jepara, Rembang, Tuban. Akibatnya, lebih dari seratus ribu orang harus mengungsi. Puluhan orang meninggal. Kerugian materi mencapai triliunan.
Dari sisi daratan, musibah juga datang. Gempa bumi melanda Cilacap, Banyumas, Kebumen dan sekitarnya. Lalu gunung Sinabung di Sumatera Utara meletus mendatangkan musibah bagi warga di sekitarnya. Sekitar 28 ribu jiwa dari 34 desa harus mengungsi. Kerugian yang ada mencapai ratusan miliar rupiah bahkan triliunan. Belum selesai, musibah di sisi Sumatera, musibah kembali melanda pulau Jawa. Gunung Kelud di Kediri meletus melontarkan jutaan ton material ke udara setinggi hampir 17 km. Pasir dan debu halusnya melanglang hampir meliputi seluruh pulau Jawa. Sekitar seratus ribu orang mengungsi. Meski korban meninggal tidak melebihi hitungan jari, namun kerugian materi sangat besar. Kerugian akibat bencana letusan Gunung Kelud ditaksir mencapai Rp 1,2 triliun. Nilai kerugian itu belum termasuk penghitungan kerugian di wilayah 10 kilometer dari puncak gunung atau wilayah terlarang. (Kompas.com, 17/2).
Semua itu baru kerugian fisik ekonomis itu, belum memperhitungkan kerugian atau dampak psikologis dan mental yang tak dapat diangkakan, seperti hilangnya rasa aman, makin meningkatnya rasa cemas atau tertekan, dan tekanan kesulitan hidup sebagai dampak lanjutan dari musibah yang terjadi. Musibah yang bertubi-tubi dan menimbulkan kerugian begitu besar ini, harus kita renungkan dan maknai untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik ke depan baik di dunia dan terutama di akhirat.
Iman dan Sabar
Berbagai musibah yang melanda itu terjadi atas izin dan sesuai kehendak Allah sebagai ketetapan-Nya. Allah berfirman:
﴿قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ﴾
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.’” (TQS. at-Tawbah [9]: 51).
Sebagai ketetapan (qadha’) maka musibah itu harus dilakoni dengan lapang dada, perasaan ridha, disertai kesabaran dan tawakkal kepada Allah (QS al-Baqarah: 155-157). Hanya saja, kesabaran yang harus dibangun bukan hanya kesabaran yang bersifat pasif dan kepasrahan, melainkan kesabaran yang positif dan aktif. Yaitu kesabaran yang disertai perenungan untuk menarik pelajaran guna membangun sikap, tindakan dan aksi ke depan demi membangun kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat.

Memantik Kesadaran Sebagai Hamba Yang Lemah
Musibah dari sisi air dan daratan didatangkan oleh Allah untuk mengingatkan dan mengembalikan kesadaran spiritualitas manusia akan azab Allah SWT. Firman-Nya:
﴿أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (١٦) أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (17)﴾
Apakah kamu merasa aman terhadap (hukuman) Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Atau apakah kamu merasa aman terhadap (azab) Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan angin disertai debu dan kerikil, maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” (TQS al-Mulk [67]: 16-17)

Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’âlim at-Tanzîl menjelaskan: “Ibn Abbas ra berkata: “a amintum man fî as-samâ`i -apakah kamu merasa aman dari yang ada di langit-“ yakni dari azab Zat yang ada di langit jika kamu bermaksiyat kepada-Nya. “An yakhsifa bikum al-ardha faidzâ hiya tamûr -Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kamu sehingga bumi bergoncang.” Al-Hasan berkata: ‘bumi bergerak beserta penduduknya. Dan dikatakan ambruk pada mereka.’ Maknanya, Allah menggerakkan bumi pada saat perjungkirbalikan sehingga bumi melemparkan mereka ke bawah, bumi lebih tinggi dari mereka dan berjalan di atas mereka.”
Allah menutup ayat berikutnya dengan memberitahukan “fasata’lamûna kayfa nadzîrin”. Imam Ibn Katsir menjelaskan dalam Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm: “yakni bagaimana peringatanku dan kesudahan orang yang menyimpang darinya dan mendustakannya.”
Jadi musibah yang Allah timpakan itu pada dasarnya untuk memberi peringatan dan mengembalikan kesadaran pada diri manusia terhadap keMahakuasaan Allah Pencipta alam semesta. Mengingatkan dan mengembalikan kesadaran betapa lemahnya manusia, dan betapa terbatasnya pengetahuan manusia. Mengembalikan kesadaran sebagai makhluk ciptaan dan sebagai hamba dari al-Khaliq yang tidak layak bermaksiyat kepada-Nya dan menyimpang atau menyalahi peringatan yakni wahyu-Nya serta mendustakannya.

Membangkitkan Energi Perbaikan dan Ketaatan
Kesadaran spiritual yang dikembalikan oleh musibah itu haruslah membangkitkan energi penghambaan kepada Allah dan menjauhi kemaksiyatan. Energi untuk makin meningkatkan ibadah kepada Allah SWT dalam arti yang luas.
Selain itu kesadaran spiritual itu haruslah juga membangkitkan energi untuk melakukan perbaikan, meluruskan penyimpangan, melakukan ketaatan dan kembali menempuh jalan dan menerapkan sistem yang benar, jalan dan sistem yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala. Kesadaran nalar ini harus muncul, sebab pada dasarnya semua musibah yang terjadi, di dalamnya selalu ada peran dan keterlibatan manusia. Allah Ta’ala berfirman:
﴿وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ﴾
“Musibah apa saja yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar.” (TQS. asy-Syura [42]: 30).

Keterlibatan manusia itu bisa pada konteks terjadinya musibah yang diantaranya berupa perilaku yang memiliki hubungan sebab akibat dengan terjadinya musibah menurut sunatullah. Atau perilaku, tindakan dan kebijakan yang berakibat pada besarnya dampak musibah.
Perilaku buruk membuang sampah ke sungai, membuka lahan serampangan, membangun pemukiman di sempadan sungai, dan sebagainya hanyalah sekedar contoh. Begitu pula perambahan hutan, penambangan terbuka di hutan lindung, alih fungsi lahan sembarangan, pembukaan perumahan tak ramah alam, penimbunan situ, daerah resapan dilapisi beton dan aspal, ruang terbuka hijau sesak ditanami gedung, mal dan kawasan bisnis, dan sebagainya. Semuanya merupakan peran manusia secara individu dan kelompok dalam terjadinya bencana. Semua itu bisa terjadi karena dibiarkan atau lebih buruk lagi justru dibingkai oleh kebijakan buruk dari pengambil kebijakan.
Kebijakan yang buruk juga berandil membesarnya dampak musibah. Berbagai musibah sebenarnya bisa dicegah. Potensi bencana yang mengancam bisa dikurangi. Dampak musibah bisa diminimalkan. Namun data bencana yang ada belum dimanfaatkan optimal. Peta kerawanan bencana, data curah hujan, peringatan pergerakan tanah, peringatan cuaca ekstrem, dan pengalaman bencana sebelumnya tidak dijadikan pembelajaran untuk mengantisipasi bencana. Saat bencana melanda, politisi dan penguasa mencari kambing hitam, menyalahkan penguasa lalu, bahkan menyalahkan hujan, lempar tanggung jawab dan manajemen penanganan bencana tidak terpadu. Kepemimpinan pun tidak tampak dalam mengantisipasi, menangani dan mengatasi bencana. Lemahnya koordinasi antarlembaga dan antar daerah menjadi bukti. Semua itu makin diperparah dengan sistem anggaran yang tidak adaptif terhadap musibah. Kebijakan dan tindakan sebelum, selama dan sesudah terjadinya musibah yang seharusnya dibuat dan dilakukan justru diabaikan. Hal itu diantaranya akibat absennya perhatian terhadap urusan rakyat dan nihilnya spirit pelayanan dan ri’ayah menjamin berbagai kemaslahatan rakyat, terkikis oleh doktrin, sistem politik dan ideologi sekuler kapitalisme.
Semua perilaku dan tindakan buruk baik dari individu maupun kelompok itu haruslah dipertanggungjawabkan. Kebijakan yang diambil dan tindakan buruk yang dilakukan, atau sebaliknya kebijakan yang seharusnya diambil tapi tidak diambil dan tindakan yang semestinya dilakukan tetapi tidak; yang semua itu secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya musibah atau memperparah dampak musibah haruslah dipertanggungjawabkan oleh pengambil kebijakan dan penguasa yang bertanggungjawab.
Dan yang lebih penting lagi, musibah yang terjadi haruslah bisa membangkitkan energi dan menumbuhkan keberanian untuk meluruskan segala hal yang salah dan melakukan perbaikan atas berbagai kerusakan (fasad) yang ada. Juga membangkitkan energi dan menumbuhkan keberanian untuk mengakhiri dan meninggalkan sistem bobrok buatan manusia yakni sistem dan ideologi sekuler kapitalisme yang saat ini diterapkan; dan menggantinya dengan kembali kepada aturan, sistem dan ideologi yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT. Tanpa sampai pada kesadaran itu, maka kita telah gagal memaknai musibah atau setidaknya telah memaknainya secara pincang. Semua itu hanya bisa sempurna kita wujudkan dengan menerapkan syariah islamiyah secara total melalui sistem Khilafah Rasyidah. Itulah sesungguhnya hikmah dari musibah yang harus diwujudkan. Allah Ta’ala berfirman:
﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(TQS ar-Rum [30]: 41)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar:
Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 yang menghabiskan anggaran hingga 11,8 triliun tak hanya punya kinerja yang relatif rendah. Anggota DPR yang menghadiri acara, seperti rapat di Kompleks Parlemen, belakangan ini juga tidak sebanyak yang menandatangani daftar hadir (Kompas, 18/2).
  1. Itulah potret para politisi wakil rakyat yang hampir tidak berubah dari satu periode ke periode lainnya. Tampak amanah diabaikan dan kurang peduli pada kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Sungguh mencederai perwakilan yang dipercayakan rakyat kepada mereka.
  2. Apakah politisi seperti itu, politisi didikan mereka dan konco-konco mereka masih layak diberi kepercayaan perwakilan?

Sistem Membuat “Gila”?!

Sistem Membuat “Gila”?!

Al-Islam edidi 696, 5 Jumadul Awal 1435 H-8 Maret 2014 M

Fenomena calon anggota legislatif melakukan ritual ke tempat keramat meningkat menjelang pemilihan umum. Para calon wakil rakyat itu menanggalkan rasionalitas untuk mengejar jabatan (detikNews, 4/3).
Berbagai aksi tidak rasional dilakukan para caleg demi ambisi. Ritual di tempat yang keramat, mendatangi makam keramat, bahkan ritual “nyembah” pohon besar. Jasa paranormal, dukun dan ahli spiritual juga menjadi langganan para caleg.
Tidak Rasional Akibat Sistem
Banyak pihak menilai, semua perilaku itu akibat sistem politik pemilu. Menurut Ketua DPC PD Kab. Tulungagung, Jatim Menurut Goldy kebiasaan politisi mengunjungi makam keramat meningkat menjelang pemungutan suara. Umumnya dilakukan akibat seorang calon anggota legislatif memiliki kepercayaan diri yang lemah. Ongkos besar yang terlanjur dikeluarkan saat kampanye membuat pola pikir seorang calon anggota legislatif tidak lagi rasional (lihat, detikNews, 4/3).
Pada pemilu tahun 2014 ini para caleg harus bekerja lebih keras dan jor-joran. Persaingan bakal lebih ketat dari Pemilu 2009 lalu. Selain jumlah caleg makin banyak, ‘harga’ satu kursi di Dewan Perwakilan Rakyat RI dipastikan juga lebih mahal. Baik harga finansial maupun harga berupa jumlah suara yang harus diperoleh seorang caleg untuk bisa duduk di kursi dewan.
Bisa Gila Beneran
Sistem politik pemilu yang ada bahkan bisa membuat orang gila benaran. Ini sudah terbukti pada pemilu 2004 dan 2009.
Menurut data Kemenkes, pada pemilu 2009, ada 7.736 caleg yang mengalami gangguan jiwa berat alias gila. Sebanyak 49 orang caleg DPR, 496 orang caleg DPRD I, 4 caleg DPD dan 6.827 orang caleg DPRD II.
Prof. Dadang Hawari memperkirakan, “pada 2014 ini saya pikir akan lebih banyak lagi caleg gila dibanding 2009.” (Media Umat, edisi 122). Bahkan dr. Teddy Hidayat, psikiater yang juga Ketua Penanggulangan Narkoba RS Hasan Sadikin Bandung, memprediksi stress caleg akan mencapai 30% baik bagi yang terpillih maupun yang gagal. (Galamedia, 21/1).
Melihat pengalaman pemilu 2004 dan 2009 serta prediksi Pemilu 2014 mendatang, sejumlah rumah sakit dan rumah sakit jiwa sudah bersiap-siap. Diberitakan di antara yang sudah bersiap itu antara lain: RSJKO Prov. Bengkulu, RSJ Ernaldi Bahar Palembang, RSJ Tampan Pekanbaru, RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta; RSJ Marzoeki Mahdi Bogor, RSU Kota Banjar Jabar, RSJD Solo, RS Panembahan Senopati (RSPS) Bantul, RSUD Banyumas, RSUD Kudus Jateng, RSUD Kartini Jepara, RSJ Menur Surabaya, RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Malang, RSUD Kanjuruhan Malang, RSJ Prov. Kalbar di Singkawang, Dinkes Kota Balikpapan Kaltim, dan RSKD Maluku.
Sistem Membuat “Gila”
Sistem politik pemilu membuat kontentasi di dalam pemilu jadi sangat mahal, persaingan sangat ketat dan peluang berhasil sangat kecil. Peluang seorang caleg hanya 10%. Untuk DPR ada 560 kursi, DPD ada 132 kursi, DPRD provinsi ada 2.112 kursi dan DPRD Kabupaten Kota 16.895 kursi. Total nasional ada 19.699 kursi. Jumlah kursi sebanyak itu diperebutkan oleh sekitar 200 ribu caleg DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II. Artinya, hanya 10% caleg yang akan berhasil. Sekitar 180 ribu caleg atau 90 % dipastikan akan gagal.
Persaingan itu untuk kursi DPR malah lebih ketat lagi. Jumlah 560 kursi diperebutkan oleh 6.607 caleg. Hanya 8,5% yang akan lolos ke senayan. Sebanyak 6.047 caleg DPR dipastikan akan gagal.
Kecilnya peluang itu masih diperumit lagi oleh sistem pemilu yang digunakan. Dengan sistem yang ada, persaingan sengit bukan hanya dengan caleg dari partai lain, tetapi juga antar caleg dari satu partai yang sama di dapil yang sama.
Dan untuk tingkat DPR, hanya partai yang mendapat suara total nasional minimal 3,5% yag dikenal sebagai angka parliamentary treshold saja yang akan bisa duduk di DPR. Meski seorang caleg meraih suara terbanyak, jika partinya tidak lolos parliamentary treshold itu maka ambisinya akan kandas dan dia menjadi caleg gagal.
Semua persaingan dan mekanisme itu membuat setiap caleg habis-habisan agar dapat suara terbanyak. Segala cara dilakukan. Adu banyak iklan, baliho, spanduk, poster, stiker, pamflet, kaos, blusukan, sumbangan, bantuan, sembako. Banyak-banyakan tim kampanye dan pemenangan untuk rekrut suara dan kampanye dari pintu ke pintu, dsb. Dan tidak menutup kemungkinan, besar-besaran uang pemberian pun sangat mungkin terjadi. Semua itu harus dilakukan jauh-jauh hari dan jangka waktu lama. Semua itu perlu uang, uang dan uang.
Riset Pramono Anung menunjukkan, biaya kampanye pemilu 2009 naik 3,5 kali lipat dibandingkan pemilu 2004. Ia memperkirakan biaya kampanye akan naik lagi 1,5 kali lipat dari pemilu 2009. Secara rata-rata, biaya kampanye pada 2009 bagi caleg DPR mencapai Rp 3 miliar. Pemilu 2014 ini ia perkirakan rata-rata biaya kampanye caleg DPR mencapai Rp 4,5 miliar. Menurutnya, setidaknya dana kampanye yang harus disiapkan oleh seorang caleg DPR Rp 1,2 – 1,5 miliar.
Dalam beberapa pemberitaan, sejumlah caleg DPR mengaku sudah menyiapkan dana kampanye Rp 6 miliar. Untuk calon DPD dan caleg DPRD I serta DPRD II setidaknya dana yang harus disiapkan pada angka ratusan juta rupiah.
Bisa dibayangkan ketika gambarnya sudah terpampang dimana-mana calon wakil rakyat, sudah habis-habisan harta, boleh jadi sudah jual tanah, sawah, gadaikan rumah, mobil, atau utang ratusan juga hingga miliaran, terkuras fisik, finansial dan mental, lantas gagal, jelas tekanan batin menimpanya. Yang tidak kuat akan mengalami ganggungan jiwa baik ringan hingga berat alias gila. Merekalah, korban pertama dari sistem politik pemilu, atas kemauan, kesadaran dan pilihan sendiri.
Rakyat Jadi Korban
Sementara caleg yang terpilih, nanti justru menjadi sumber problem baru bagi rakyat. Rakyat akan menjadi korban dari perilaku caleg terpilih yang koruptif, kolutif dan permisif.
Biaya politik tinggi itu meminta kompensasi dan membawa konsekuensi. Kompensasinya, caleg harus mengkompensasi dana yang dia peroleh dari cukong, jika tenyata dana kampanyenya berasal dari cukong. Itu melalui dua cara: pertama, kebijakan yang menguntungkan para kapitalis, seperti pemberian konsesi lahan atau tambang; keringanan pajak, pembebasan bea, pajak dibayari negara. Atau kedua, dengan rekayasa atau pengaturan proyek. Proyek dibuat dan dibagi-bagi untuk para cukong itu.
Juga membawa konsekuensi, yaitu bagaimana secepatnya kembali modal. Maka begitu terpilih, caleg pun berubah pelupa, lupa pada rakyat, lupa pada janji kampanye, lupa moral bahkan berpura-pura lupa dosa. Cara korupsi, manipulasi dan cara-cara kotor lainnya dilakukan. Dan ditambah dengan memperbesar pendapatan legal atas nama tunjangan, peningkatan gaji, fasilitas, insentif, dsb.
Lihat saja, sejak 2004 hampir 3.000 anggota DPRD kabupaten/kota diseluruh Indonesia terjerat hukum. Kasus korupsi yang mendominasi (Republika online, 23/2/2013). Sementara itu menurut wakil ketua KPK Adnan Pandu Praja, selama empat tahun berturut-turut DPR menjadi lembaga nomor satu terkorup (merdeka online, 14/2/2013).
Anggota dewan juga begitu mudah terbeli dan menyetujui berbagai undang-undang yang menguntungkan asing, seperti selama ini. Menurut Rizal Ramli, setidaknya ada 20 UU yang pembuatannya didanai asing. Sementara menurut pengakuan Eva Kusuma Sundari (tempo.co.id, 20/8/2010), ada campur tangan asing terlibat dalam penyusunan puluhan undang-undang di Indonesia. “Ada 76 UU yang draft-nya dilakukan pihak asing” ucapnya. Temuan itu diperolehnya dari sumber BIN. Menurutnya, inti dari intervensi itu adalah upaya meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Contohnya, UU tentang migas, kelistirikan, keuangan dan perbankan, sumber daya air, dsb.
Akibatnya, kekayaan alam tambang, mineral, migas, energi, sektor keuangan dan perbankan dsb dikuasai asing. Rakyat tidak bisa mendapatkan manfaat maksimal dari kekayaan yang katanya adalah milik rakyat. Maka pada akhirnya, rakyat jugalah yang jadi korban akhir dari semua itu.
Khilafah dengan Majelis Ummah Sebagai Solusi
Solusi untuk mengakhiri dan memperbaiki semua kerusakan dan “kegilaan” itu hanyalah khilafah dengan sistem Majelis Ummah-nya. Anggota Majelis Ummah dipilih langsung oleh rakyat di wilayah masing-masing.
Dalam Islam, anggota Majelis Ummah tidak memiliki hak dan fungsi budgeting dan legislating. Tetapi hanya fungsi penyalur aspirasi umat, dan pengoreksi. Jadi tidak ada kewenangan anggota majelis umat yang bisa dikomersilkan dan dijadikan ajang korupsi melalui kebijakan. Dengan begitu bibit korupsi, kolusi dan manipulasi bisa dimatikan sejak dini dari akarnya.
Sementara untuk hukum, perkara yang sudah jelas tinggal merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Sedangkan untuk perkara yang belum jelas atau perkara baru, maka dilakukan ijtihad menggali hukum dari dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat maupun qiyas oleh para mujtahid. Lalu khalifah bisa mengadopsi salah satu hukum yang dia pandang paling kuat baik hasil ijtihadnya sendiri atau hasil ijtihad mujtahid lain. Dengan begitu legislasi menjadi murah, cepat dan hemat, berkebalikan dari yang sekarang.
Dan karena rujukannya jelas dan baku, tetap tidak berubah, yaitu al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas, maka mudah bagi siapa saja untuk mengoreksinya jika keliru, atau jika ada penyimpangan, atau jika ada maksud tertentu di balik pengadopsian undang-undang.
Wahai Kaum Muslimin
Semua itu hanya bisa dijalankan dalam sistem khilafah islamiyah. Maka untuk mengakhiri keburukan sistem sekarang yang terus menjadikan rakyat sebagai korbannya, maka sistem khilafah dengan Majelis Ummah-nya itu harus segera diwujudkan. Jika tidak, Allah SWT bertanya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?(TQS al-Maidah [5]: 50)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]


Komentar Al Islam:

Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak yakin partai politik bakal menuruti surat keputusan bersama (SKB) moratorium iklan kampanye. Hal itu karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum masih memiliki celah sehingga parpol bisa lolos dari jerat sanksi jika melakukan iklan terselubung di luar waktu yang ditetapkan.(Kompas.com, 4/3)
  1. UU-nya saja yang buat wakil-wakil parpol, tentu mereka lebih jago cari celahnya. Itulah, dalam demokrasi, UU tidak bisa lepas dari kepentingan, sehingga selalu bias dan tidak fair.
  2. Jika tidak nurut, parpol sebagai pilar demokrasi negeri ini sudah menunjukkan sulit diatur. Jika begitu perilaku pilarnya, bagaimana bisa meminta masyarakat nurut aturan? Ibarat, guru kencing berdiri, tak bisa larang murid kencing berlari.