Monday, March 10, 2014

Pembebasan Bersyarat Corby, Antara Motiv Politik dan Lemahnya Komitmen Berantas Narkoba

Pembebasan Bersyarat Corby, Antara Motiv Politik dan Lemahnya Komitmen Berantas Narkoba

Al-Islam edisi 693, 14 Rabiuts Tsani 1435 H – 14 Februari 2014 M
Schapelle Leigh Corby, yang sering disebut Ratu Mariyuana, mendapat pembebasan bersyarat. Corby pun bisa keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Denpasar, tempat ia menjalani hukuman selama ini. Corby meninggalkan LP Kerobokan Senin 10 Februari sekitar pukul 08.00 WITA dengan kawalan ketat petugas LP dan polisi.
Sejak Awal Kental Aroma Politik
Corby tertangkap tangan 8 Oktober 2004 di Bandara Ngurah Rai, membawa 4,2 kg ganja kering di dalam tas yang dibawa dari Sidney. Tekanan dari berbagai pihak di Australia agar Corby tidak dihukum datang bertubi-tubi. Politisi Australia mengecam Indonesia. Staf Konjen RI di Perth menerima ancaman. Juru Bicara Partai Buruh Australia untuk Urusan Luar Negeri, Kevin Rudd, mengecam melalui surat bernada ancaman. Staf KBRI di Canberra dan Konjen di seluruh Australia mendapatkan email ancaman pembunuhan.
Menlu Australia Alexander Downer di harian The Age mengatakan, pemerintahnya menyiapkan draf untuk pertukaran tahanan antara Indonesia dan Australia. Draft yang disiapkan Australia itu berlalu.
Pada 27 Mei 2005, majelis hakim PN Denpasar memvonis Corby dengan hukuman penjara 20 tahun. Buntutnya, pada 30 Mei, Konjen Indonesia di Sydney dilempari proyektil peluru dan diplomat RI di Perth dikirimi dua butir peluru. Esoknya, KBRI di Canberra mendapatkan kiriman yang berisi serbuk. PM Australia John Howard menyebutkannya sebagai bakteri sejenis antraks.
Pada 12 Oktober 2005, pengadilan banding di PT Denpasar mengurangi hukuman Corby menjadi 15 tahun. Lalu Majelis hakim kasasi Mahkamah Agung pada 12 Januari 2006 memutuskan hukuman penjara 20 tahun dan denda Rp 100 juta kepada Corby. MA pada Maret 2008 kembali menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan Corby.
Di ranah pemberantasan korupsi, Adrian Kiki Ariawan, terpidana kasus BLBI melarikan diri dan diketahui berada di Australia. Pada awal 2006, Pemerintah RI mengajukan permohonan ekstradisi, namun tidak ditanggapi positif oleh Australia. Mungkin itu semacam balasan karena draft pertukaran tahanan yang pernah dibuat pemerintah Australia tidak ditanggapi pemerintah RI.
Perkembangan mengejutkan terjadi. Presiden SBY melalui Kepres RI No. 22/G Th. 2012 tanggal 15 Mei 2012 memberi grasi 5 tahun kepada Corby. Hukuman Corby berkurang menjadi 15 tahun (180 bulan) penjara.
Selama 2006-2011 Corby mendapat sejumlah remisi totalnya 25 bulan. Dengan grasi dan remisi itu masa hukuman Corby menyusut dari vonis awal 20 tahun (240 bulan) menjadi 155 bulan (12 tahun 11 bulan).
Sesuai aturan yang berlaku, narapidana bisa mengajukan dan mendapatkan pembebasan bersyarat (PB) setelah menjalani 2/3 masa hukuman. Maka pada Oktober 2013 Corby mengajukan permohonan pembebasan bersyarat.
Pada 22 Januari 2014, buronan terpidana BLBI, Adrian Kiki Ariawan diekstradisi dari Perth, Australia. Menurut Wamenhuk dan HAM Denny Indrayana (Kompas.com, 8/2), ekstradisi Adrian adalah proses hukum. Setelah melalui proses selama 8 tahun, High Court Australia atau pengadilan tertinggi di Australia memutuskan untuk mengabulkan permohonan ekstradisi yang diajukan Pemerintah RI.
Kembali ke kasus Corby, menurut Menhuk dan HAM, Amir Syamsudin (Kompas.com, 7/2), pada 30 Januari 2014, tim Pengamat Pemasyarakatan Ditjen Pemasyarakatan telah menyidangkan 1.798 narapidana yang mengajukan pembebasan bersyarat. Sebanyak 1.291 diantaranya diberi pembebasan bersyarat. Corby menjadi salah satunya karena dinilai telah memenuhi persyaratan substantif dan administratif.
Memang semua itu adalah proses hukum. Namun dari rangkaian waktu proses sulit untuk dinafikan adanya motiv politik. Pemberian grasi bisa dirasakan sebagai sinyal untuk mendorong proses ekstradisi Adrian yang ditangkap oleh pihak Australia. Grasi Corby terasa menjadi semacam kunci terjadinya ekstradisi Adrian oleh pemerintah Australia pada 22/1/2014 lalu. Setelah itu, permohonan pembebasan bersyarat Corby dikabulkan meski sejak awal sudah disadari hal itu akan menuai pro dan kontra.
Permohonan pembebasan bersyarat sebenarnya bisa saja ditolak. Kejahatan narkoba dianggap sebagai kejahatan luar biasa yang layak diperlakukan secara luar biasa. Pemberian grasi sebelumnya pun telah mendapat reaksi keras dari publik Indonesia. Sewajarnya, semua itu mendorong tidak diberikan pembebasan bersyarat kepada Corby. Karena itu, pembebasan bersyarat Corby sulit dilepaskan dari motiv dan tekanan politik yang memang sudah terasa sejak awal kasus. Namun, untuk menyamarkan, semua itu dikemas dalam proses hukum baik di Indonesia maupun Australia.
Komitmen Berantas Narkoba???
Pemberantasan kejahatan narkoba mestinya digencarkan. Indonesia terus jadi incaran sindikat narkoba sehingga jumlah kasus narkoba terus meningkat. Menurut Kapolri jenderal Sutarman (GATRAnews, 27/12/2013), kasus kejahatan narkoba meningkat 22,25% atau sebanyak 5.909 kasus dari total 26.561 kasus di tahun 2012, menjadi 32.470 kasus di tahun 2013. Jumlah tersangka kasus narkoba naik 7.165 orang atau 21,78%, dari 32.892 orang tahun 2012, menjadi 40.057 orang tahun 2013. Barang bukti yang disita dari semua jenis juga terus meningkat. Untuk jenis ganja (sejenis dengan yang dibawa Corby) sebanyak 16.157,127 kg atau 16 ton lebih.
Corby diberi grasi 5 tahun, remisi 25 bulan antara 2006-2011 (bahkan konon hingga akhir 2013 total remisinya 39 bulan) dan diberi pembebasan bersyarat. Semua itu, wajar saja komitmen berantas narkoba dari pemerintah dipertanyakan. Juga wajar, kedaulatan pemerintah atas tekanan luar khususnya Australia dinilai lemah. Apalagi jika juga dikaitkan dengan tindakan Australia terkait pengungsi dan kasus penyadapan yang terbongkar tahun lalu. Juga wajar ada anggapan, pemerintah bersikap keras kepada warganya sendiri, tetapi lunak terhadap warga asing yang melakukan kejahatan luar biasa (kejahatan narkoba).
Ini sekali lagi adalah bukti lemahnya sistem hukum buatan manusia dalam memberantas kejahatan, khususnya kejahatan narkoba yang dianggap kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Faktanya hukuman bagi pengedar narkoba masih dinilai ringan. Yang dihukum pun masih bisa mendapat remisi hingga beberapa kali. Bahkan yang divonis hukuman mati sekalipun bisa mendapat keringanan hukuman. Dari 57 terpidana mati kasus narkoba, Mabes Polri mendapati 7 (tujuh) diantaranya mendapatkan keringanan. Semua itu masih ditambah lagi dengan ketentuan pembebasan bersyarat jika telah menjalani 2/3 masa hukuman. Akhirnya, narapidana cukup menjalani setengah dari masa hukuman vonis pengadilan. Dalam kasus Corby, ia hanya menjalani kurang dari setengah masa hukumannya, yakni 9 tahun dari vonis 20 tahun. Luar biasa!!!
Hukuman atas kejahatan narkoba yang tidak memberikan efek jera itu justru makin memperparah masalah. Jangankan membuat jera orang lain, orang yang sudah dihukum pun tidak jera. Kejahatan narkoba yang dianggap kejahatan luar biasa, nyatanya dalam kasus Corby ini diperlakukan secara lunak. Boleh jadi, itu akan bisa memicu makin maraknya kejahatan narkoba. Dan boleh jadi pula, ke depan, jalur peredaran narkoba akan bertambah melalui Australia dengan melibatkan warga negara Australia karena beranggapan kalaupun toh tertangkap bisa jadi akan bisa mendapat perlakuan lunak seperti Corby.
Menyalahi Islam
Kejahatan narkoba merupakan dosa dan perbuatan kriminal yang termasuk jenis ta’zir. Bentuk, jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi. Bisa berupa sanksi diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.
Dalam konteks ta’zir, saat kasus diproses, Khalifah boleh meringankan hukuman bagi pelakunya bahkan memaafkannya. Rasul saw bersabda:
«أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إلَّا الْحُدُودَ»
Ringankan hukuman orang yang tergelincir melakukan kesalahan kecuali hudud (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Bukhari di Adab al-Mufrad)

Dalam konteks narkoba, sanksi yang ringan itu bisa dijatuhkan pada orang yang tergelincir mengkonsumsi narkoba untuk pertama kalinya, selain bahwa ia harus diobati dan ikut program rehabilitasi. Bagi pecandu yang berulang-ulang mengkonsumsi narkoba, sanksinya bisa lebih berat lagi, tentu selain harus menjalani pengobatan dan ikut program rehabilitasi. Sedangkan bagi pengedar narkoba, tentu mereka tidak layak mendapat keringanan hukuman, sebab selain melakukan kejahatan narkoba ini, mereka juga melakukan kejahatan membahayakan masyarakat. Bahkan demi keselamatan umat, para pengedar narkoba harus dijatuhi hukuman yang berat, bisa sampai hukuman mati sehingga menimbulkan efek jera.
Adapun jika vonis telah dijatuhkan, syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât (hal. 110, Darul Ummah, cet. Ii. 1990) menyatakan, pemaafan atau pengurangan hukuman oleh Imam itu tidak boleh. Beliau menyatakan, “Sedangkan untuk ta’zir dan mukhalafat, keputusan Qadhi jika telah ditetapkan maka telah mengikat seluruh kaum muslim, karenanya tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah, diringankan atau yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah. Sebab hukum ketika sudah diucapkan oleh Qadhi, maka tidak bisa diangkat sama sekali, sementara pemaafan itu adalah pembatalan vonis (sebagian atau total), karena itu tidak boleh.”
Wahai Kaum Muslim
Nyatalah, sistem hukum buatan manusia yang sedang diterapkan begitu rusak dan menghasilkan kerusakan. Lebih parah lagi, komitmen terhadapnya lemah dan bisa dipermainkan. Akibatnya umat akan terus terancam oleh tindak kejahatan termasuk narkoba. Semua itu, makin menegaskan pentingnya meninggalkan sistem rusak buatan manusia dan segera kembali mengadopsi sistem yang berasal dari Allah yang Mahabijaksana, yaitu syariah Islam yang diterapkan dalam sistem khilafah rasyidah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]

Komentar Al Islam:

Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) mengungkap indikasi penyelewengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang dikorupsi oknum di Kemenag. Irjen Kemenag, M Yasin, mengatakan ada beberapa nama yang diindikasikan terkait penyalahgunaan dana BPIH (Republika, 11/2)
  1. Astaghfirullah… biaya ibadah pun sampai dikorupsi, sungguh-sungguh terlalu.
  2. Bukti betapa rusak sistem yang ada. Di institusi yang mengurusi masalah agama, yang identik dengan ketakwaan dan moral, korupsi masih terus bisa berjalan.
  3. Bersihkan negeri ini dengan aparat yang bersih dan bertakwa dengan sistem yang baik yaitu syariah Islam di bawah Khilafah.

Musibah: Membangkitkan Energi Perbaikan dan Ketaatan

Musibah: Membangkitkan Energi Perbaikan dan Ketaatan

[Al-Islam edisi 694, 21 Rabiuts Tsani 1435 H-21 Februari 2014 M]
Negeri ini ibarat dikepung musibah dari sisi air maupun daratan. Kota Manado luluh lantah disapu air bah menimbulkan sejumlah korban dan kerugian fisik sangat besar.
Banjir melanda sisi utara pulau Jawa, dari barat hingga timur, di Tangerang Banten, DKI Jakarta, Bekasi, Subang, Karawang, Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Pati, Kudus, Jepara, Rembang, Tuban. Akibatnya, lebih dari seratus ribu orang harus mengungsi. Puluhan orang meninggal. Kerugian materi mencapai triliunan.
Dari sisi daratan, musibah juga datang. Gempa bumi melanda Cilacap, Banyumas, Kebumen dan sekitarnya. Lalu gunung Sinabung di Sumatera Utara meletus mendatangkan musibah bagi warga di sekitarnya. Sekitar 28 ribu jiwa dari 34 desa harus mengungsi. Kerugian yang ada mencapai ratusan miliar rupiah bahkan triliunan. Belum selesai, musibah di sisi Sumatera, musibah kembali melanda pulau Jawa. Gunung Kelud di Kediri meletus melontarkan jutaan ton material ke udara setinggi hampir 17 km. Pasir dan debu halusnya melanglang hampir meliputi seluruh pulau Jawa. Sekitar seratus ribu orang mengungsi. Meski korban meninggal tidak melebihi hitungan jari, namun kerugian materi sangat besar. Kerugian akibat bencana letusan Gunung Kelud ditaksir mencapai Rp 1,2 triliun. Nilai kerugian itu belum termasuk penghitungan kerugian di wilayah 10 kilometer dari puncak gunung atau wilayah terlarang. (Kompas.com, 17/2).
Semua itu baru kerugian fisik ekonomis itu, belum memperhitungkan kerugian atau dampak psikologis dan mental yang tak dapat diangkakan, seperti hilangnya rasa aman, makin meningkatnya rasa cemas atau tertekan, dan tekanan kesulitan hidup sebagai dampak lanjutan dari musibah yang terjadi. Musibah yang bertubi-tubi dan menimbulkan kerugian begitu besar ini, harus kita renungkan dan maknai untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik ke depan baik di dunia dan terutama di akhirat.
Iman dan Sabar
Berbagai musibah yang melanda itu terjadi atas izin dan sesuai kehendak Allah sebagai ketetapan-Nya. Allah berfirman:
﴿قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ﴾
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.’” (TQS. at-Tawbah [9]: 51).
Sebagai ketetapan (qadha’) maka musibah itu harus dilakoni dengan lapang dada, perasaan ridha, disertai kesabaran dan tawakkal kepada Allah (QS al-Baqarah: 155-157). Hanya saja, kesabaran yang harus dibangun bukan hanya kesabaran yang bersifat pasif dan kepasrahan, melainkan kesabaran yang positif dan aktif. Yaitu kesabaran yang disertai perenungan untuk menarik pelajaran guna membangun sikap, tindakan dan aksi ke depan demi membangun kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat.

Memantik Kesadaran Sebagai Hamba Yang Lemah
Musibah dari sisi air dan daratan didatangkan oleh Allah untuk mengingatkan dan mengembalikan kesadaran spiritualitas manusia akan azab Allah SWT. Firman-Nya:
﴿أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (١٦) أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (17)﴾
Apakah kamu merasa aman terhadap (hukuman) Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Atau apakah kamu merasa aman terhadap (azab) Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan angin disertai debu dan kerikil, maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” (TQS al-Mulk [67]: 16-17)

Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’âlim at-Tanzîl menjelaskan: “Ibn Abbas ra berkata: “a amintum man fî as-samâ`i -apakah kamu merasa aman dari yang ada di langit-“ yakni dari azab Zat yang ada di langit jika kamu bermaksiyat kepada-Nya. “An yakhsifa bikum al-ardha faidzâ hiya tamûr -Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kamu sehingga bumi bergoncang.” Al-Hasan berkata: ‘bumi bergerak beserta penduduknya. Dan dikatakan ambruk pada mereka.’ Maknanya, Allah menggerakkan bumi pada saat perjungkirbalikan sehingga bumi melemparkan mereka ke bawah, bumi lebih tinggi dari mereka dan berjalan di atas mereka.”
Allah menutup ayat berikutnya dengan memberitahukan “fasata’lamûna kayfa nadzîrin”. Imam Ibn Katsir menjelaskan dalam Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm: “yakni bagaimana peringatanku dan kesudahan orang yang menyimpang darinya dan mendustakannya.”
Jadi musibah yang Allah timpakan itu pada dasarnya untuk memberi peringatan dan mengembalikan kesadaran pada diri manusia terhadap keMahakuasaan Allah Pencipta alam semesta. Mengingatkan dan mengembalikan kesadaran betapa lemahnya manusia, dan betapa terbatasnya pengetahuan manusia. Mengembalikan kesadaran sebagai makhluk ciptaan dan sebagai hamba dari al-Khaliq yang tidak layak bermaksiyat kepada-Nya dan menyimpang atau menyalahi peringatan yakni wahyu-Nya serta mendustakannya.

Membangkitkan Energi Perbaikan dan Ketaatan
Kesadaran spiritual yang dikembalikan oleh musibah itu haruslah membangkitkan energi penghambaan kepada Allah dan menjauhi kemaksiyatan. Energi untuk makin meningkatkan ibadah kepada Allah SWT dalam arti yang luas.
Selain itu kesadaran spiritual itu haruslah juga membangkitkan energi untuk melakukan perbaikan, meluruskan penyimpangan, melakukan ketaatan dan kembali menempuh jalan dan menerapkan sistem yang benar, jalan dan sistem yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala. Kesadaran nalar ini harus muncul, sebab pada dasarnya semua musibah yang terjadi, di dalamnya selalu ada peran dan keterlibatan manusia. Allah Ta’ala berfirman:
﴿وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ﴾
“Musibah apa saja yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar.” (TQS. asy-Syura [42]: 30).

Keterlibatan manusia itu bisa pada konteks terjadinya musibah yang diantaranya berupa perilaku yang memiliki hubungan sebab akibat dengan terjadinya musibah menurut sunatullah. Atau perilaku, tindakan dan kebijakan yang berakibat pada besarnya dampak musibah.
Perilaku buruk membuang sampah ke sungai, membuka lahan serampangan, membangun pemukiman di sempadan sungai, dan sebagainya hanyalah sekedar contoh. Begitu pula perambahan hutan, penambangan terbuka di hutan lindung, alih fungsi lahan sembarangan, pembukaan perumahan tak ramah alam, penimbunan situ, daerah resapan dilapisi beton dan aspal, ruang terbuka hijau sesak ditanami gedung, mal dan kawasan bisnis, dan sebagainya. Semuanya merupakan peran manusia secara individu dan kelompok dalam terjadinya bencana. Semua itu bisa terjadi karena dibiarkan atau lebih buruk lagi justru dibingkai oleh kebijakan buruk dari pengambil kebijakan.
Kebijakan yang buruk juga berandil membesarnya dampak musibah. Berbagai musibah sebenarnya bisa dicegah. Potensi bencana yang mengancam bisa dikurangi. Dampak musibah bisa diminimalkan. Namun data bencana yang ada belum dimanfaatkan optimal. Peta kerawanan bencana, data curah hujan, peringatan pergerakan tanah, peringatan cuaca ekstrem, dan pengalaman bencana sebelumnya tidak dijadikan pembelajaran untuk mengantisipasi bencana. Saat bencana melanda, politisi dan penguasa mencari kambing hitam, menyalahkan penguasa lalu, bahkan menyalahkan hujan, lempar tanggung jawab dan manajemen penanganan bencana tidak terpadu. Kepemimpinan pun tidak tampak dalam mengantisipasi, menangani dan mengatasi bencana. Lemahnya koordinasi antarlembaga dan antar daerah menjadi bukti. Semua itu makin diperparah dengan sistem anggaran yang tidak adaptif terhadap musibah. Kebijakan dan tindakan sebelum, selama dan sesudah terjadinya musibah yang seharusnya dibuat dan dilakukan justru diabaikan. Hal itu diantaranya akibat absennya perhatian terhadap urusan rakyat dan nihilnya spirit pelayanan dan ri’ayah menjamin berbagai kemaslahatan rakyat, terkikis oleh doktrin, sistem politik dan ideologi sekuler kapitalisme.
Semua perilaku dan tindakan buruk baik dari individu maupun kelompok itu haruslah dipertanggungjawabkan. Kebijakan yang diambil dan tindakan buruk yang dilakukan, atau sebaliknya kebijakan yang seharusnya diambil tapi tidak diambil dan tindakan yang semestinya dilakukan tetapi tidak; yang semua itu secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya musibah atau memperparah dampak musibah haruslah dipertanggungjawabkan oleh pengambil kebijakan dan penguasa yang bertanggungjawab.
Dan yang lebih penting lagi, musibah yang terjadi haruslah bisa membangkitkan energi dan menumbuhkan keberanian untuk meluruskan segala hal yang salah dan melakukan perbaikan atas berbagai kerusakan (fasad) yang ada. Juga membangkitkan energi dan menumbuhkan keberanian untuk mengakhiri dan meninggalkan sistem bobrok buatan manusia yakni sistem dan ideologi sekuler kapitalisme yang saat ini diterapkan; dan menggantinya dengan kembali kepada aturan, sistem dan ideologi yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT. Tanpa sampai pada kesadaran itu, maka kita telah gagal memaknai musibah atau setidaknya telah memaknainya secara pincang. Semua itu hanya bisa sempurna kita wujudkan dengan menerapkan syariah islamiyah secara total melalui sistem Khilafah Rasyidah. Itulah sesungguhnya hikmah dari musibah yang harus diwujudkan. Allah Ta’ala berfirman:
﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(TQS ar-Rum [30]: 41)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar:
Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 yang menghabiskan anggaran hingga 11,8 triliun tak hanya punya kinerja yang relatif rendah. Anggota DPR yang menghadiri acara, seperti rapat di Kompleks Parlemen, belakangan ini juga tidak sebanyak yang menandatangani daftar hadir (Kompas, 18/2).
  1. Itulah potret para politisi wakil rakyat yang hampir tidak berubah dari satu periode ke periode lainnya. Tampak amanah diabaikan dan kurang peduli pada kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Sungguh mencederai perwakilan yang dipercayakan rakyat kepada mereka.
  2. Apakah politisi seperti itu, politisi didikan mereka dan konco-konco mereka masih layak diberi kepercayaan perwakilan?

Sistem Membuat “Gila”?!

Sistem Membuat “Gila”?!

Al-Islam edidi 696, 5 Jumadul Awal 1435 H-8 Maret 2014 M

Fenomena calon anggota legislatif melakukan ritual ke tempat keramat meningkat menjelang pemilihan umum. Para calon wakil rakyat itu menanggalkan rasionalitas untuk mengejar jabatan (detikNews, 4/3).
Berbagai aksi tidak rasional dilakukan para caleg demi ambisi. Ritual di tempat yang keramat, mendatangi makam keramat, bahkan ritual “nyembah” pohon besar. Jasa paranormal, dukun dan ahli spiritual juga menjadi langganan para caleg.
Tidak Rasional Akibat Sistem
Banyak pihak menilai, semua perilaku itu akibat sistem politik pemilu. Menurut Ketua DPC PD Kab. Tulungagung, Jatim Menurut Goldy kebiasaan politisi mengunjungi makam keramat meningkat menjelang pemungutan suara. Umumnya dilakukan akibat seorang calon anggota legislatif memiliki kepercayaan diri yang lemah. Ongkos besar yang terlanjur dikeluarkan saat kampanye membuat pola pikir seorang calon anggota legislatif tidak lagi rasional (lihat, detikNews, 4/3).
Pada pemilu tahun 2014 ini para caleg harus bekerja lebih keras dan jor-joran. Persaingan bakal lebih ketat dari Pemilu 2009 lalu. Selain jumlah caleg makin banyak, ‘harga’ satu kursi di Dewan Perwakilan Rakyat RI dipastikan juga lebih mahal. Baik harga finansial maupun harga berupa jumlah suara yang harus diperoleh seorang caleg untuk bisa duduk di kursi dewan.
Bisa Gila Beneran
Sistem politik pemilu yang ada bahkan bisa membuat orang gila benaran. Ini sudah terbukti pada pemilu 2004 dan 2009.
Menurut data Kemenkes, pada pemilu 2009, ada 7.736 caleg yang mengalami gangguan jiwa berat alias gila. Sebanyak 49 orang caleg DPR, 496 orang caleg DPRD I, 4 caleg DPD dan 6.827 orang caleg DPRD II.
Prof. Dadang Hawari memperkirakan, “pada 2014 ini saya pikir akan lebih banyak lagi caleg gila dibanding 2009.” (Media Umat, edisi 122). Bahkan dr. Teddy Hidayat, psikiater yang juga Ketua Penanggulangan Narkoba RS Hasan Sadikin Bandung, memprediksi stress caleg akan mencapai 30% baik bagi yang terpillih maupun yang gagal. (Galamedia, 21/1).
Melihat pengalaman pemilu 2004 dan 2009 serta prediksi Pemilu 2014 mendatang, sejumlah rumah sakit dan rumah sakit jiwa sudah bersiap-siap. Diberitakan di antara yang sudah bersiap itu antara lain: RSJKO Prov. Bengkulu, RSJ Ernaldi Bahar Palembang, RSJ Tampan Pekanbaru, RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta; RSJ Marzoeki Mahdi Bogor, RSU Kota Banjar Jabar, RSJD Solo, RS Panembahan Senopati (RSPS) Bantul, RSUD Banyumas, RSUD Kudus Jateng, RSUD Kartini Jepara, RSJ Menur Surabaya, RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Malang, RSUD Kanjuruhan Malang, RSJ Prov. Kalbar di Singkawang, Dinkes Kota Balikpapan Kaltim, dan RSKD Maluku.
Sistem Membuat “Gila”
Sistem politik pemilu membuat kontentasi di dalam pemilu jadi sangat mahal, persaingan sangat ketat dan peluang berhasil sangat kecil. Peluang seorang caleg hanya 10%. Untuk DPR ada 560 kursi, DPD ada 132 kursi, DPRD provinsi ada 2.112 kursi dan DPRD Kabupaten Kota 16.895 kursi. Total nasional ada 19.699 kursi. Jumlah kursi sebanyak itu diperebutkan oleh sekitar 200 ribu caleg DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II. Artinya, hanya 10% caleg yang akan berhasil. Sekitar 180 ribu caleg atau 90 % dipastikan akan gagal.
Persaingan itu untuk kursi DPR malah lebih ketat lagi. Jumlah 560 kursi diperebutkan oleh 6.607 caleg. Hanya 8,5% yang akan lolos ke senayan. Sebanyak 6.047 caleg DPR dipastikan akan gagal.
Kecilnya peluang itu masih diperumit lagi oleh sistem pemilu yang digunakan. Dengan sistem yang ada, persaingan sengit bukan hanya dengan caleg dari partai lain, tetapi juga antar caleg dari satu partai yang sama di dapil yang sama.
Dan untuk tingkat DPR, hanya partai yang mendapat suara total nasional minimal 3,5% yag dikenal sebagai angka parliamentary treshold saja yang akan bisa duduk di DPR. Meski seorang caleg meraih suara terbanyak, jika partinya tidak lolos parliamentary treshold itu maka ambisinya akan kandas dan dia menjadi caleg gagal.
Semua persaingan dan mekanisme itu membuat setiap caleg habis-habisan agar dapat suara terbanyak. Segala cara dilakukan. Adu banyak iklan, baliho, spanduk, poster, stiker, pamflet, kaos, blusukan, sumbangan, bantuan, sembako. Banyak-banyakan tim kampanye dan pemenangan untuk rekrut suara dan kampanye dari pintu ke pintu, dsb. Dan tidak menutup kemungkinan, besar-besaran uang pemberian pun sangat mungkin terjadi. Semua itu harus dilakukan jauh-jauh hari dan jangka waktu lama. Semua itu perlu uang, uang dan uang.
Riset Pramono Anung menunjukkan, biaya kampanye pemilu 2009 naik 3,5 kali lipat dibandingkan pemilu 2004. Ia memperkirakan biaya kampanye akan naik lagi 1,5 kali lipat dari pemilu 2009. Secara rata-rata, biaya kampanye pada 2009 bagi caleg DPR mencapai Rp 3 miliar. Pemilu 2014 ini ia perkirakan rata-rata biaya kampanye caleg DPR mencapai Rp 4,5 miliar. Menurutnya, setidaknya dana kampanye yang harus disiapkan oleh seorang caleg DPR Rp 1,2 – 1,5 miliar.
Dalam beberapa pemberitaan, sejumlah caleg DPR mengaku sudah menyiapkan dana kampanye Rp 6 miliar. Untuk calon DPD dan caleg DPRD I serta DPRD II setidaknya dana yang harus disiapkan pada angka ratusan juta rupiah.
Bisa dibayangkan ketika gambarnya sudah terpampang dimana-mana calon wakil rakyat, sudah habis-habisan harta, boleh jadi sudah jual tanah, sawah, gadaikan rumah, mobil, atau utang ratusan juga hingga miliaran, terkuras fisik, finansial dan mental, lantas gagal, jelas tekanan batin menimpanya. Yang tidak kuat akan mengalami ganggungan jiwa baik ringan hingga berat alias gila. Merekalah, korban pertama dari sistem politik pemilu, atas kemauan, kesadaran dan pilihan sendiri.
Rakyat Jadi Korban
Sementara caleg yang terpilih, nanti justru menjadi sumber problem baru bagi rakyat. Rakyat akan menjadi korban dari perilaku caleg terpilih yang koruptif, kolutif dan permisif.
Biaya politik tinggi itu meminta kompensasi dan membawa konsekuensi. Kompensasinya, caleg harus mengkompensasi dana yang dia peroleh dari cukong, jika tenyata dana kampanyenya berasal dari cukong. Itu melalui dua cara: pertama, kebijakan yang menguntungkan para kapitalis, seperti pemberian konsesi lahan atau tambang; keringanan pajak, pembebasan bea, pajak dibayari negara. Atau kedua, dengan rekayasa atau pengaturan proyek. Proyek dibuat dan dibagi-bagi untuk para cukong itu.
Juga membawa konsekuensi, yaitu bagaimana secepatnya kembali modal. Maka begitu terpilih, caleg pun berubah pelupa, lupa pada rakyat, lupa pada janji kampanye, lupa moral bahkan berpura-pura lupa dosa. Cara korupsi, manipulasi dan cara-cara kotor lainnya dilakukan. Dan ditambah dengan memperbesar pendapatan legal atas nama tunjangan, peningkatan gaji, fasilitas, insentif, dsb.
Lihat saja, sejak 2004 hampir 3.000 anggota DPRD kabupaten/kota diseluruh Indonesia terjerat hukum. Kasus korupsi yang mendominasi (Republika online, 23/2/2013). Sementara itu menurut wakil ketua KPK Adnan Pandu Praja, selama empat tahun berturut-turut DPR menjadi lembaga nomor satu terkorup (merdeka online, 14/2/2013).
Anggota dewan juga begitu mudah terbeli dan menyetujui berbagai undang-undang yang menguntungkan asing, seperti selama ini. Menurut Rizal Ramli, setidaknya ada 20 UU yang pembuatannya didanai asing. Sementara menurut pengakuan Eva Kusuma Sundari (tempo.co.id, 20/8/2010), ada campur tangan asing terlibat dalam penyusunan puluhan undang-undang di Indonesia. “Ada 76 UU yang draft-nya dilakukan pihak asing” ucapnya. Temuan itu diperolehnya dari sumber BIN. Menurutnya, inti dari intervensi itu adalah upaya meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Contohnya, UU tentang migas, kelistirikan, keuangan dan perbankan, sumber daya air, dsb.
Akibatnya, kekayaan alam tambang, mineral, migas, energi, sektor keuangan dan perbankan dsb dikuasai asing. Rakyat tidak bisa mendapatkan manfaat maksimal dari kekayaan yang katanya adalah milik rakyat. Maka pada akhirnya, rakyat jugalah yang jadi korban akhir dari semua itu.
Khilafah dengan Majelis Ummah Sebagai Solusi
Solusi untuk mengakhiri dan memperbaiki semua kerusakan dan “kegilaan” itu hanyalah khilafah dengan sistem Majelis Ummah-nya. Anggota Majelis Ummah dipilih langsung oleh rakyat di wilayah masing-masing.
Dalam Islam, anggota Majelis Ummah tidak memiliki hak dan fungsi budgeting dan legislating. Tetapi hanya fungsi penyalur aspirasi umat, dan pengoreksi. Jadi tidak ada kewenangan anggota majelis umat yang bisa dikomersilkan dan dijadikan ajang korupsi melalui kebijakan. Dengan begitu bibit korupsi, kolusi dan manipulasi bisa dimatikan sejak dini dari akarnya.
Sementara untuk hukum, perkara yang sudah jelas tinggal merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Sedangkan untuk perkara yang belum jelas atau perkara baru, maka dilakukan ijtihad menggali hukum dari dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat maupun qiyas oleh para mujtahid. Lalu khalifah bisa mengadopsi salah satu hukum yang dia pandang paling kuat baik hasil ijtihadnya sendiri atau hasil ijtihad mujtahid lain. Dengan begitu legislasi menjadi murah, cepat dan hemat, berkebalikan dari yang sekarang.
Dan karena rujukannya jelas dan baku, tetap tidak berubah, yaitu al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas, maka mudah bagi siapa saja untuk mengoreksinya jika keliru, atau jika ada penyimpangan, atau jika ada maksud tertentu di balik pengadopsian undang-undang.
Wahai Kaum Muslimin
Semua itu hanya bisa dijalankan dalam sistem khilafah islamiyah. Maka untuk mengakhiri keburukan sistem sekarang yang terus menjadikan rakyat sebagai korbannya, maka sistem khilafah dengan Majelis Ummah-nya itu harus segera diwujudkan. Jika tidak, Allah SWT bertanya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?(TQS al-Maidah [5]: 50)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]


Komentar Al Islam:

Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak yakin partai politik bakal menuruti surat keputusan bersama (SKB) moratorium iklan kampanye. Hal itu karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum masih memiliki celah sehingga parpol bisa lolos dari jerat sanksi jika melakukan iklan terselubung di luar waktu yang ditetapkan.(Kompas.com, 4/3)
  1. UU-nya saja yang buat wakil-wakil parpol, tentu mereka lebih jago cari celahnya. Itulah, dalam demokrasi, UU tidak bisa lepas dari kepentingan, sehingga selalu bias dan tidak fair.
  2. Jika tidak nurut, parpol sebagai pilar demokrasi negeri ini sudah menunjukkan sulit diatur. Jika begitu perilaku pilarnya, bagaimana bisa meminta masyarakat nurut aturan? Ibarat, guru kencing berdiri, tak bisa larang murid kencing berlari.

Monday, December 2, 2013

HAKIKAT NEGARA KHILAFAH (2)

HAKIKAT NEGARA KHILAFAH (2)


KHILAFAH NABHANIYAH?
Jika dikatakan bahwa bentuk khilafah yang dipaparkan di sini adalah khilafah versi Hizbut Tahrir, menurut saya, sebenarnya pernyataan itu sangat berbau ashabiyah. Sebab, ijtihad versi siapa pun, tetap dinilai sebagai ijtihad islami, selama berdasarkan dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu, siapapun, baik individu atau kelompok, sah-sah saja melakukan ijtihad serupa (tentang struktur pemerintahan khilafah), asalkan berdasarkan hujjah yang kuat. Oleh karena itu, jika ada orang yang menyatakan bahwa bentuk negara khilafah yang akan dipaparkan di sini adalah khilafah versi Hizbut Tahrir (Khilafah Nabhaniyah), bukan Khilafah Nubuwwah, adalah pernyataan yang menikam. Bukan Hizbut Tahrir yang ditikam, tetapi pemikiran Islam (Islamic Thought) itulah yang ditikam. Na’udzubillah.

Perjuangan penegakan kembali khilafah Islam, telah dimulai sejak hampir seabad yang lalu. Sejak tahun pertama negara khilafah Usmaniyah diruntuhkan oleh agen Yahudi, Musthafa Kamal Pasha Attaturk, maka para ulama pun bereaksi dengan menggelar berbagai konferensi atau muktamar untuk mengembalikan institusi politik Islam itu. Tercatat Syaikh Haji Rasul (ayah dari ulama besar Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah) adalah tokoh yang turut menghadiri muktamar tersebut, untuk mengembalikan tegaknya khilafah Islamiyah. Bahkan, saat itu telah ada orang yang mendakwakan diri sebagai khalifah, yaitu Husein bin Ali dari Hijjaz, dan Raja Fuad dari Mesir. Namun, mereka tidak diakui sebab dianggap tidak mewakili kekuasaan umat Islam, tetapi hanya sebagian umat saja.

Para ulama kontemporer juga telah banyak yang menyepakati akan wajibnya sebuah kekhalifahan. Hizbut Tahrir, termasuk salah satu kelompok yang mewajibkan tegaknya khilafah Islam. Bahkan Hizbut Tahrir telah mempersiapkan konsep negara khilafah yang akan berdiri kelak dengan sistem pemerintahan Islam, sistem politik dalam dan luar negeri Islam, sistem sosial Islam, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, dan lain sebagainya. Namun yang mengherankan, di tengah-tengah tumbuhnya semangat mengembalikan tegaknya negara khilafah (dengan berbagai metodenya, termasuk Hizbut Tahrir), ada saja orang masih meragu-ragukan dengan menyatakan bahwa ijtihad itu hanya versi Taqiyuddin An Nabhani, sehingga negara khilafah hasil rancangan Hizbut Tahrir adalah negara Khilafah Nabhaniyah bukan negara Khilafah Nubuwwah.

Yang menggelikan lagi, orang yang meragukan atau menolak hasil ijtihad Hizbut Tahrir itu, sama sekali tidak mampu memberikan argumen yang kuat ketika disuruh menjabarkan maksud dari ‘khilafah ‘ala minhajin nubuwwah’. Ya, mereka yang menolak ijtihad Hizbut Tahrir itu pada umumnya tidak memahaminya, dan tidak mampu menjelaskan maksud dari ‘khilafah ‘ala minhajin nubuwwah’. Padahal, mereka mewajibkannya.

Sungguh aneh, ada orang yang mewajibkan tegaknya negara khilafah, tidak memiliki gambaran tentang negara khilafah, tetapi ketika ada orang yang berusaha memberikan tentang negara khilafah, maka dia menolaknya. Jika demikian, lalu dia mau menegakkan negara apa?

Ingat, negara khilafah yang akan berdiri kelak adalah negara khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Negara khilafah ‘ala minhajin nubuwwah adalah negara khilafah yang didirikan atas manhaj (metode) Rasulullah saw. dan dijalankan dengan metode Rasulullah saw. pula. Bagaimana cara mengetahui cara menjalankannya sesuai metode Rasul saw.? Tentu, tidak lain adalah dengan dalil-dalil syar’I baik dari Alquran maupun Sunnah Rasulullah saw. Dan, ijtihad yang dilakukan Hizbut Tahrir tentang sistem khilafah dan bagaimana menjalankan pemerintahannya, adalah berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasulullah saw. dengan hujjah yang kuat. Oleh karena itu, khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang dimaksud adalah khilafah yang dijalankan dengan dalil-dalil syar’i, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas Syar’i. Jika Hizbut Tahrir telah menjelaskan hal tersebut dalam berbagai kitabnya, lalu mengapa masih pula menolaknya?

Jika demikian, lalu khilafah 'ala minhajin nubuwwah seperti apa yang dimaksud?

HAKIKAT NEGARA KHILAFAH

Khilafah, secara etimologis, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi syar'i, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Batasan “kepimpinan umum” mempunyai konotasi, bahwa khilafah Islam bertugas mengurusi seluruh urusan, yang meliputi pelaksanaan semua hukum syara’ terhadap rakyat, tanpa terkecuali meliputi muslim dan non-muslim. Mulai dari masalah akidah, ibadah, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, semuanya diurus oleh khilafah Islam.

Bentuk dan sistem pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:
a. Negara Islam tidak berbentuk federasi ataupun persemakmuran (commonwealth), tetapi berbentuk kesatuan (union).

b. Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan (monarki), baik absolut, seperti kerajaan Saudi Arabia, maupun perlementer, seperti kerajaan Malaysia. Juga tidak berbentuk republik, baik presidensial, seperti Indonesia, maupun parlementer, seperti Rusia. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah, dimana khalifah tidak seperti presiden, juga tidak seperti perdana menteri, atau raja.

c. Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk demokrasi, teokrasi, ataupun autokrasi. Tetapi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah yang tidak sama dengan model pemerintahan yang ada di dunia saat ini.

d. Sistem pemerintahan Islam berbentuk sentralisasi, sedangkan administrasi atau birokrasinya menganut sistem desentralisasi.

e. Bentuk negara Islam yang sesungguhnya juga bukanlah bentuk negara bangsa (nation-state) seperti yang digagas oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo dengan Negara Islam Indonesianya. Tetapi bentuk negara Islam adalah bentuk negara global internasional, sebagai bentuk persatuan umat Islam sedunia.

Sistem khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang menerapkan hukum-hukum Allah Tuhan Semesta Alam yang diperuntukkan bagi manusia. Banyak hukum yang mengatur masalah khilafah Islam ini telah dibahas oleh ulama fiqih, yang sudah tidak terhitung jumlahnya, baik yang ditulis ulama klasik maupun kontemporer.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN MONARKI

Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem monarki, maupun yang sejenis dengan sistem monarki.

Dalam sistem monarki, pemerintahannya menerapkan sistem waris (putra mahkota), dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya, seperti kalau mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris. Namun, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibaiat oleh umat dengan penuh ridha dan bebas memilih.

Sistem monarki telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara pribadi raja memiliki kekebalan hukum. Dan kadangkala raja/ratu hanya simbol bagi rakyat, dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, sebagaimana raja-raja di Eropa, seperti yang terjadi di Inggris. Atau kadangkala, ada yang menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Dimana raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan sesuka hatinya, sebagaimana raja di Saudi, Maroko, dan Yordania. Termasuk juga, raja-raja Hindu pada zaman dahulu.

Lain halnya dengan sistem Islam. Sistem Islam tidak pernah memberikan kekhususan kepada khalifah atau imam (kepala negara) dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak khusus. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan hak rakyat biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi rakyat namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Khalifah juga bukan sebuah simbol yang berkuasa dan bisa memerintah serta mengendalikan negara beserta rakyatnya dengan sesuka hatinya. Tetapi, khalifah adalah pihak yang mewakili umat/rakyat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka baiat agar menerapkan syariat Allah. Sehingga khalifah juga tetap harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum. serta pelayanannya terhadap kepentingan umat/rakyat.

Di samping itu, dalam pemerintahan Islam tidak mengenal wilayatul ahdi (putra mahkota). Justru Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan Islam juga menolak mengambil pemerintahan dengan cara waris. Islam telah menentukan cara mengambil pemerintahan yaitu dengan baiat dari umat kepada khalifah atau imam, dengan penuh ridha dan bebas memilih.

Adapun yang terjadi pada masa Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Usmaniyah, maka sebenarnya hal itu adalah penyimpangan terhadap syariat, yang tidak akan mempengaruhi sedikit pun hukum wajib tidaknya menerapkan syariat Islam. Hizbut Tahrir mengakui, adanya kesalahan dalam penerapan syariat Islam pada masa dulu memang terjadi. Namun, perlu diingat, bahwa para putra mahkota yang diangkat, juga melalui proses baiat. Bukan semata-mata diangkat menjadi pemimpin. Oleh karena itu, sekalipun terjadi penyimpangan dalam menjalankan negara khilafah pada masa dulu, tetapi tetap bisa disebut sebagai negara khilafah, dengan adanya baiat itu.

Lagipula, pada umumnya orang yang menyatakan bahwa kekuasaan umat Islam zaman dulu bukanlah sistem kekhalifahan tetapi kerajaan, adalah orang yang menentang khilafah dan lebih pro terhadap sistem selain sistem Islam, seperti demokrasi atau yang lainnya. Tetapi masalahnya, ketidakadilan muncul di sini. Jika mereka adil, seharusnya buruknya penerapan sistem demokrasi, juga tidak bisa membuat negara yang menerapkan sistem demokrasi disebut sebagai negara demokrasi. Contohnya Amerika dan Indonesia. Bagi pegiat demokrasi, sekalipun Amerika dan Indonesia mengalami penyimpangan dalam penerapan demokrasi, tetap disebut sebagai negara demokrasi. Lalu mengapa, jika terjadi penyimpangan sedikit saja terhadap sistem pemerintahan Islam, langsung dikatakan bahwa itu bukanlah sistem khilafah? Sesungguhnya, sikap seperti ini hanya muncul dari orang-orang bermental penjajah, tidak bangga dengan keislamannya, dan memiliki sikap tidak adil dalam dirinya.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN REPUBLIK

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem republik berdiri di atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya jelas di tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta mengubahnya.

Rakyatlah yang menjadikan khamr legal dan tidak legal. Rakyatlah yang menjadikan klun-klub malam dinilai legal dan tidak legal. Rakyatlah yang menentukan Ahmadiyah itu diakui atau tidak diakui.

Sementara sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar akidah Islam, serta hukum-hukum syara'. Dimana kedaulatannya di tangan syara', bukan di tangan umat/rakyat. Dalam hal ini, baik umat maupun khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Karena yang berhak membuat aturan adalah Allah SWT. semata.

Sedangkan khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak untuk memecat khalifah. Karena yang berhak memecat khalifah adalah syara' semata. Akan tetapi, umat tetap berhak untuk mengangkatnya. Sebab Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat orang yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi wakil mereka.

Dalam sistem republik dengan bentuk presidensiilnya, seorang presiden memiliki wewenang sebagai seorang kepala negara serta wewenang sebagai seorang perdana menteri, sekaligus. Karena tidak ada perdana menteri dan yang ada hanya para menteri, semisal presiden Amerika. Sedangkan dalam sistem republik dengan bentuk parlementer, terdapat seorang presiden sekaligus dengan perdana menterinya. Dimana wewenang pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, bukan presiden. Seperti republik Prancis dan Jerman Barat.

Sedangkan di dalam sistem khilafah tidak ada menteri, maupun kementerian bersama seorang khalifah seperti halnya dalam konsep demokrasi, yang memiliki spesialisasi serta departemen-departemen tertentu. Yang ada dalam sistem khilafah Islam hanyalah para mu'awin yang senantiasa dimintai bantuan oleh khalifah. Tugas mereka adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah para pembantu dan sekaligus pelaksana. Ketika khalifah memimpin mereka, maka khalifah memimpin mereka bukan dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan hanya sebagai kepala negara. Sebab, dalam Islam tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan memiliki wewenang tertentu. Sehingga mu'awin tetap hanyalah pembantu khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenangnya.

Selain dua bentuk tersebut --baik presidensiil maupun parlementer-- dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab di depan rakyat atau yang mewakili suara rakyat. Dimana rakyat beserta wakilnya berhak untuk memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.

Kenyataan ini berbeda dengan sistem kekhilafahan. Karena seorang amirul mukminin (khalifah), sekalipun bertanggungjawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat termasuk para wakilnya tidak berhak untuk memberhentikannya. Amirul mukminin juga tidak akan diberhentikan kecuali apabila menyimpang dari hukum syara' dengan penyimpangan yang menyebabkan harus diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya adalah hanya mahkamah mazhalim.

Kepemimpinan dalam sistem republik, baik yang menganut presidensiil maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin bisa melebihi dari masa jabatan tersebut. Sementara di dalam sistem khilafah, tidak terdapat masa jabatan tertentu. Namun, batasannya hanyalah apakah masih menerapkan hukum syara' atau tidak. Karena itu, selama khalifah melaksanakan hukum syara', dengan cara menerapkan hukum-hukum Islam kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, yang diambil dari kitabullah serta sunah Rasul-Nya maka dia tetap menjadi khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang. Dan apabila dia telah meninggalkan hukum syara' serta menjauhkan penerapan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun baru sehari semalam. Sehingga tetap wajib diberhentikan.

Dari pemaparan di atas, maka nampak jelas perbedaan yang sedemikian jauh antara sistem kekhilafahan dengan sistem republik, antara presiden dalam sistem republik dengan khalifah dalam sistem Islam. Karena itu, sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem republik, atau mengeluarkan statemen: "Republik Islam". Sebab, terdapat perbedaan yang sedemikian besar antara kedua sistem tersebut pada aspek asas yang menjadi dasar tegaknya kedua sistem tersebut, serta adanya perbedaan di antara keduanya baik dari segi bentuk maupun substansi-substansi masalah berikutnya.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN KEKAISARAN

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem kekaisaran jauh sekali dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah dengan sistem Islam --sekalipun ras dan sukunya berbeda serta sentralisasi pada pemerintah pusat, dalam masalah pemerintahan-- tidak sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan, berbeda jauh dengan sistem kekaisaran, sebab sistem ini tidak menganggap sama antara ras satu dengan yang lain dalam hal pemberlakuan hukum di dalam wilayah kekaisaran. Dimana sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah pusat.

Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam wilayah-wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras). Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang non Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam. Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat --apapun mazhabnya-- yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim. Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan sistem kekaisaran.

Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan ekploitasi serta lahan subur yang senantiasa dikeruk untuk wilayah pusat. Dimana wilayah-wilayah tersebut tetap menjadi satu kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara wilayah tersebut dengan ibu kota negara Islam. Begitu pula masalah keragaman ras warganya. Sebab, setiap wilayah dianggap sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-sama memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat, atau wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabatnya, sistem serta perundang-undangannya sama semua dengan wilayah-wilayah yang lain.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN FEDERASI

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Yang mecakup seluruh negeri seperti Marakis di bagian barat dan Khurasan di bagian timur. Seperti halnya yang dinamakan dengan mudiriyatul fuyum ketika ibu kota Islam berada di Kairo. Harta kekayaan seluruh wilayah negera Islam dianggap satu.

Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan hartanya. Kalau seandainya ada wilayah, yang pendapatan daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka negara Islam tidak akan mempertimbangkannya. Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.

Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk federasi, melainkan berbentuk kesatuan. Karena itu, sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang berbeda sama sekali dengan sistem-sistem yang telah populer lainnya saat ini. Baik dari aspek landasannya maupun substansi-substansinya. Sekalipun dalam beberapa prakteknya hampir ada yang menyerupai dengan praktek dalam sistem yang lain.

Di samping hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi, dimana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas yang penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil maupun yang besar. Negara Islam juga tidak akan sekali-kali mentolelir terjadinya pemisahan salah satu wilayahnya, sehingga wilayah-wilayah tersebut tidak akan lepas begitu saja. Negaralah yang akan mengangkat para panglima, wali dan amil, para pejabat dan penanggung jawab dalam urusan harta dan ekonomi. Negara juga yang akan mengangkat para qadli di setiap wilayahnya. Negara juga yang mengangkat orang yang bertugas menjadi pejabat (hakim). Disamping negara yang akan mengurusi secara langsung seluruh urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh negeri.

KESIMPULAN

Pendek kata, sistem pemerintahan di dalam Islam adalah sistem khilafah. Dan ijma' sahabat telah sepakat terhadap kesatuan khilafah dan kesatuan negara serta ketidakbolehan berbaiat selain kepada satu khalifah. Sistem ini telah disepakati oleh para imam mujtahid serta jumhur fuqaha'. Yaitu apabila ada seorang khalifah dibaiat, padahal sudah ada khalifah yang lain atau sudah ada baiat kepada seorang khalifah, maka khalifah yang kedua harus diperangi, sehingga khalifah yang pertama terbaiat. Sebab secara syar'i, baiat telah ditetapkan untuk orang yang pertama kali dibaiat dengan baiat yang sah.

Demikianlah sistem khilafah yang telah diijtihad Hizbut Tahrir. Benar, banyak orang menolaknya. Tetapi tidak sedikit yang menerima. Insya Allah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah akan segera kembali.

Wallahu a'lam

HAKIKAT NEGARA KHILAFAH (2)

HAKIKAT NEGARA KHILAFAH (2)


KHILAFAH NABHANIYAH?
Jika dikatakan bahwa bentuk khilafah yang dipaparkan di sini adalah khilafah versi Hizbut Tahrir, menurut saya, sebenarnya pernyataan itu sangat berbau ashabiyah. Sebab, ijtihad versi siapa pun, tetap dinilai sebagai ijtihad islami, selama berdasarkan dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu, siapapun, baik individu atau kelompok, sah-sah saja melakukan ijtihad serupa (tentang struktur pemerintahan khilafah), asalkan berdasarkan hujjah yang kuat. Oleh karena itu, jika ada orang yang menyatakan bahwa bentuk negara khilafah yang akan dipaparkan di sini adalah khilafah versi Hizbut Tahrir (Khilafah Nabhaniyah), bukan Khilafah Nubuwwah, adalah pernyataan yang menikam. Bukan Hizbut Tahrir yang ditikam, tetapi pemikiran Islam (Islamic Thought) itulah yang ditikam. Na’udzubillah.

Perjuangan penegakan kembali khilafah Islam, telah dimulai sejak hampir seabad yang lalu. Sejak tahun pertama negara khilafah Usmaniyah diruntuhkan oleh agen Yahudi, Musthafa Kamal Pasha Attaturk, maka para ulama pun bereaksi dengan menggelar berbagai konferensi atau muktamar untuk mengembalikan institusi politik Islam itu. Tercatat Syaikh Haji Rasul (ayah dari ulama besar Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah) adalah tokoh yang turut menghadiri muktamar tersebut, untuk mengembalikan tegaknya khilafah Islamiyah. Bahkan, saat itu telah ada orang yang mendakwakan diri sebagai khalifah, yaitu Husein bin Ali dari Hijjaz, dan Raja Fuad dari Mesir. Namun, mereka tidak diakui sebab dianggap tidak mewakili kekuasaan umat Islam, tetapi hanya sebagian umat saja.

Para ulama kontemporer juga telah banyak yang menyepakati akan wajibnya sebuah kekhalifahan. Hizbut Tahrir, termasuk salah satu kelompok yang mewajibkan tegaknya khilafah Islam. Bahkan Hizbut Tahrir telah mempersiapkan konsep negara khilafah yang akan berdiri kelak dengan sistem pemerintahan Islam, sistem politik dalam dan luar negeri Islam, sistem sosial Islam, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, dan lain sebagainya. Namun yang mengherankan, di tengah-tengah tumbuhnya semangat mengembalikan tegaknya negara khilafah (dengan berbagai metodenya, termasuk Hizbut Tahrir), ada saja orang masih meragu-ragukan dengan menyatakan bahwa ijtihad itu hanya versi Taqiyuddin An Nabhani, sehingga negara khilafah hasil rancangan Hizbut Tahrir adalah negara Khilafah Nabhaniyah bukan negara Khilafah Nubuwwah.

Yang menggelikan lagi, orang yang meragukan atau menolak hasil ijtihad Hizbut Tahrir itu, sama sekali tidak mampu memberikan argumen yang kuat ketika disuruh menjabarkan maksud dari ‘khilafah ‘ala minhajin nubuwwah’. Ya, mereka yang menolak ijtihad Hizbut Tahrir itu pada umumnya tidak memahaminya, dan tidak mampu menjelaskan maksud dari ‘khilafah ‘ala minhajin nubuwwah’. Padahal, mereka mewajibkannya.

Sungguh aneh, ada orang yang mewajibkan tegaknya negara khilafah, tidak memiliki gambaran tentang negara khilafah, tetapi ketika ada orang yang berusaha memberikan tentang negara khilafah, maka dia menolaknya. Jika demikian, lalu dia mau menegakkan negara apa?

Ingat, negara khilafah yang akan berdiri kelak adalah negara khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Negara khilafah ‘ala minhajin nubuwwah adalah negara khilafah yang didirikan atas manhaj (metode) Rasulullah saw. dan dijalankan dengan metode Rasulullah saw. pula. Bagaimana cara mengetahui cara menjalankannya sesuai metode Rasul saw.? Tentu, tidak lain adalah dengan dalil-dalil syar’I baik dari Alquran maupun Sunnah Rasulullah saw. Dan, ijtihad yang dilakukan Hizbut Tahrir tentang sistem khilafah dan bagaimana menjalankan pemerintahannya, adalah berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasulullah saw. dengan hujjah yang kuat. Oleh karena itu, khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang dimaksud adalah khilafah yang dijalankan dengan dalil-dalil syar’i, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas Syar’i. Jika Hizbut Tahrir telah menjelaskan hal tersebut dalam berbagai kitabnya, lalu mengapa masih pula menolaknya?

Jika demikian, lalu khilafah 'ala minhajin nubuwwah seperti apa yang dimaksud?

HAKIKAT NEGARA KHILAFAH

Khilafah, secara etimologis, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi syar'i, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Batasan “kepimpinan umum” mempunyai konotasi, bahwa khilafah Islam bertugas mengurusi seluruh urusan, yang meliputi pelaksanaan semua hukum syara’ terhadap rakyat, tanpa terkecuali meliputi muslim dan non-muslim. Mulai dari masalah akidah, ibadah, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, semuanya diurus oleh khilafah Islam.

Bentuk dan sistem pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:
a. Negara Islam tidak berbentuk federasi ataupun persemakmuran (commonwealth), tetapi berbentuk kesatuan (union).

b. Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan (monarki), baik absolut, seperti kerajaan Saudi Arabia, maupun perlementer, seperti kerajaan Malaysia. Juga tidak berbentuk republik, baik presidensial, seperti Indonesia, maupun parlementer, seperti Rusia. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah, dimana khalifah tidak seperti presiden, juga tidak seperti perdana menteri, atau raja.

c. Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk demokrasi, teokrasi, ataupun autokrasi. Tetapi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah yang tidak sama dengan model pemerintahan yang ada di dunia saat ini.

d. Sistem pemerintahan Islam berbentuk sentralisasi, sedangkan administrasi atau birokrasinya menganut sistem desentralisasi.

e. Bentuk negara Islam yang sesungguhnya juga bukanlah bentuk negara bangsa (nation-state) seperti yang digagas oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo dengan Negara Islam Indonesianya. Tetapi bentuk negara Islam adalah bentuk negara global internasional, sebagai bentuk persatuan umat Islam sedunia.

Sistem khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang menerapkan hukum-hukum Allah Tuhan Semesta Alam yang diperuntukkan bagi manusia. Banyak hukum yang mengatur masalah khilafah Islam ini telah dibahas oleh ulama fiqih, yang sudah tidak terhitung jumlahnya, baik yang ditulis ulama klasik maupun kontemporer.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN MONARKI

Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem monarki, maupun yang sejenis dengan sistem monarki.

Dalam sistem monarki, pemerintahannya menerapkan sistem waris (putra mahkota), dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya, seperti kalau mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris. Namun, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibaiat oleh umat dengan penuh ridha dan bebas memilih.

Sistem monarki telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara pribadi raja memiliki kekebalan hukum. Dan kadangkala raja/ratu hanya simbol bagi rakyat, dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, sebagaimana raja-raja di Eropa, seperti yang terjadi di Inggris. Atau kadangkala, ada yang menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Dimana raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan sesuka hatinya, sebagaimana raja di Saudi, Maroko, dan Yordania. Termasuk juga, raja-raja Hindu pada zaman dahulu.

Lain halnya dengan sistem Islam. Sistem Islam tidak pernah memberikan kekhususan kepada khalifah atau imam (kepala negara) dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak khusus. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan hak rakyat biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi rakyat namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Khalifah juga bukan sebuah simbol yang berkuasa dan bisa memerintah serta mengendalikan negara beserta rakyatnya dengan sesuka hatinya. Tetapi, khalifah adalah pihak yang mewakili umat/rakyat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka baiat agar menerapkan syariat Allah. Sehingga khalifah juga tetap harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum. serta pelayanannya terhadap kepentingan umat/rakyat.

Di samping itu, dalam pemerintahan Islam tidak mengenal wilayatul ahdi (putra mahkota). Justru Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan Islam juga menolak mengambil pemerintahan dengan cara waris. Islam telah menentukan cara mengambil pemerintahan yaitu dengan baiat dari umat kepada khalifah atau imam, dengan penuh ridha dan bebas memilih.

Adapun yang terjadi pada masa Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Usmaniyah, maka sebenarnya hal itu adalah penyimpangan terhadap syariat, yang tidak akan mempengaruhi sedikit pun hukum wajib tidaknya menerapkan syariat Islam. Hizbut Tahrir mengakui, adanya kesalahan dalam penerapan syariat Islam pada masa dulu memang terjadi. Namun, perlu diingat, bahwa para putra mahkota yang diangkat, juga melalui proses baiat. Bukan semata-mata diangkat menjadi pemimpin. Oleh karena itu, sekalipun terjadi penyimpangan dalam menjalankan negara khilafah pada masa dulu, tetapi tetap bisa disebut sebagai negara khilafah, dengan adanya baiat itu.

Lagipula, pada umumnya orang yang menyatakan bahwa kekuasaan umat Islam zaman dulu bukanlah sistem kekhalifahan tetapi kerajaan, adalah orang yang menentang khilafah dan lebih pro terhadap sistem selain sistem Islam, seperti demokrasi atau yang lainnya. Tetapi masalahnya, ketidakadilan muncul di sini. Jika mereka adil, seharusnya buruknya penerapan sistem demokrasi, juga tidak bisa membuat negara yang menerapkan sistem demokrasi disebut sebagai negara demokrasi. Contohnya Amerika dan Indonesia. Bagi pegiat demokrasi, sekalipun Amerika dan Indonesia mengalami penyimpangan dalam penerapan demokrasi, tetap disebut sebagai negara demokrasi. Lalu mengapa, jika terjadi penyimpangan sedikit saja terhadap sistem pemerintahan Islam, langsung dikatakan bahwa itu bukanlah sistem khilafah? Sesungguhnya, sikap seperti ini hanya muncul dari orang-orang bermental penjajah, tidak bangga dengan keislamannya, dan memiliki sikap tidak adil dalam dirinya.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN REPUBLIK

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem republik berdiri di atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya jelas di tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta mengubahnya.

Rakyatlah yang menjadikan khamr legal dan tidak legal. Rakyatlah yang menjadikan klun-klub malam dinilai legal dan tidak legal. Rakyatlah yang menentukan Ahmadiyah itu diakui atau tidak diakui.

Sementara sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar akidah Islam, serta hukum-hukum syara'. Dimana kedaulatannya di tangan syara', bukan di tangan umat/rakyat. Dalam hal ini, baik umat maupun khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Karena yang berhak membuat aturan adalah Allah SWT. semata.

Sedangkan khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak untuk memecat khalifah. Karena yang berhak memecat khalifah adalah syara' semata. Akan tetapi, umat tetap berhak untuk mengangkatnya. Sebab Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat orang yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi wakil mereka.

Dalam sistem republik dengan bentuk presidensiilnya, seorang presiden memiliki wewenang sebagai seorang kepala negara serta wewenang sebagai seorang perdana menteri, sekaligus. Karena tidak ada perdana menteri dan yang ada hanya para menteri, semisal presiden Amerika. Sedangkan dalam sistem republik dengan bentuk parlementer, terdapat seorang presiden sekaligus dengan perdana menterinya. Dimana wewenang pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, bukan presiden. Seperti republik Prancis dan Jerman Barat.

Sedangkan di dalam sistem khilafah tidak ada menteri, maupun kementerian bersama seorang khalifah seperti halnya dalam konsep demokrasi, yang memiliki spesialisasi serta departemen-departemen tertentu. Yang ada dalam sistem khilafah Islam hanyalah para mu'awin yang senantiasa dimintai bantuan oleh khalifah. Tugas mereka adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah para pembantu dan sekaligus pelaksana. Ketika khalifah memimpin mereka, maka khalifah memimpin mereka bukan dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan hanya sebagai kepala negara. Sebab, dalam Islam tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan memiliki wewenang tertentu. Sehingga mu'awin tetap hanyalah pembantu khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenangnya.

Selain dua bentuk tersebut --baik presidensiil maupun parlementer-- dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab di depan rakyat atau yang mewakili suara rakyat. Dimana rakyat beserta wakilnya berhak untuk memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.

Kenyataan ini berbeda dengan sistem kekhilafahan. Karena seorang amirul mukminin (khalifah), sekalipun bertanggungjawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat termasuk para wakilnya tidak berhak untuk memberhentikannya. Amirul mukminin juga tidak akan diberhentikan kecuali apabila menyimpang dari hukum syara' dengan penyimpangan yang menyebabkan harus diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya adalah hanya mahkamah mazhalim.

Kepemimpinan dalam sistem republik, baik yang menganut presidensiil maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin bisa melebihi dari masa jabatan tersebut. Sementara di dalam sistem khilafah, tidak terdapat masa jabatan tertentu. Namun, batasannya hanyalah apakah masih menerapkan hukum syara' atau tidak. Karena itu, selama khalifah melaksanakan hukum syara', dengan cara menerapkan hukum-hukum Islam kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, yang diambil dari kitabullah serta sunah Rasul-Nya maka dia tetap menjadi khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang. Dan apabila dia telah meninggalkan hukum syara' serta menjauhkan penerapan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun baru sehari semalam. Sehingga tetap wajib diberhentikan.

Dari pemaparan di atas, maka nampak jelas perbedaan yang sedemikian jauh antara sistem kekhilafahan dengan sistem republik, antara presiden dalam sistem republik dengan khalifah dalam sistem Islam. Karena itu, sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem republik, atau mengeluarkan statemen: "Republik Islam". Sebab, terdapat perbedaan yang sedemikian besar antara kedua sistem tersebut pada aspek asas yang menjadi dasar tegaknya kedua sistem tersebut, serta adanya perbedaan di antara keduanya baik dari segi bentuk maupun substansi-substansi masalah berikutnya.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN KEKAISARAN

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem kekaisaran jauh sekali dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah dengan sistem Islam --sekalipun ras dan sukunya berbeda serta sentralisasi pada pemerintah pusat, dalam masalah pemerintahan-- tidak sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan, berbeda jauh dengan sistem kekaisaran, sebab sistem ini tidak menganggap sama antara ras satu dengan yang lain dalam hal pemberlakuan hukum di dalam wilayah kekaisaran. Dimana sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah pusat.

Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam wilayah-wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras). Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang non Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam. Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat --apapun mazhabnya-- yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim. Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan sistem kekaisaran.

Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan ekploitasi serta lahan subur yang senantiasa dikeruk untuk wilayah pusat. Dimana wilayah-wilayah tersebut tetap menjadi satu kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara wilayah tersebut dengan ibu kota negara Islam. Begitu pula masalah keragaman ras warganya. Sebab, setiap wilayah dianggap sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-sama memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat, atau wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabatnya, sistem serta perundang-undangannya sama semua dengan wilayah-wilayah yang lain.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN FEDERASI

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Yang mecakup seluruh negeri seperti Marakis di bagian barat dan Khurasan di bagian timur. Seperti halnya yang dinamakan dengan mudiriyatul fuyum ketika ibu kota Islam berada di Kairo. Harta kekayaan seluruh wilayah negera Islam dianggap satu.

Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan hartanya. Kalau seandainya ada wilayah, yang pendapatan daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka negara Islam tidak akan mempertimbangkannya. Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.

Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk federasi, melainkan berbentuk kesatuan. Karena itu, sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang berbeda sama sekali dengan sistem-sistem yang telah populer lainnya saat ini. Baik dari aspek landasannya maupun substansi-substansinya. Sekalipun dalam beberapa prakteknya hampir ada yang menyerupai dengan praktek dalam sistem yang lain.

Di samping hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi, dimana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas yang penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil maupun yang besar. Negara Islam juga tidak akan sekali-kali mentolelir terjadinya pemisahan salah satu wilayahnya, sehingga wilayah-wilayah tersebut tidak akan lepas begitu saja. Negaralah yang akan mengangkat para panglima, wali dan amil, para pejabat dan penanggung jawab dalam urusan harta dan ekonomi. Negara juga yang akan mengangkat para qadli di setiap wilayahnya. Negara juga yang mengangkat orang yang bertugas menjadi pejabat (hakim). Disamping negara yang akan mengurusi secara langsung seluruh urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh negeri.

KESIMPULAN

Pendek kata, sistem pemerintahan di dalam Islam adalah sistem khilafah. Dan ijma' sahabat telah sepakat terhadap kesatuan khilafah dan kesatuan negara serta ketidakbolehan berbaiat selain kepada satu khalifah. Sistem ini telah disepakati oleh para imam mujtahid serta jumhur fuqaha'. Yaitu apabila ada seorang khalifah dibaiat, padahal sudah ada khalifah yang lain atau sudah ada baiat kepada seorang khalifah, maka khalifah yang kedua harus diperangi, sehingga khalifah yang pertama terbaiat. Sebab secara syar'i, baiat telah ditetapkan untuk orang yang pertama kali dibaiat dengan baiat yang sah.

Demikianlah sistem khilafah yang telah diijtihad Hizbut Tahrir. Benar, banyak orang menolaknya. Tetapi tidak sedikit yang menerima. Insya Allah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah akan segera kembali.

Wallahu a'lam

Al Ustadz Fauzi Sinnuqarth

Al Ustadz Fauzi Sinnuqarth berkata,

Saya ingat, pertama kali Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan masalah khilafah, ketika berada di Masjidil Aqsa yang penuh berkah, di salah satu sudut sebelah barat daya. Di sana terdapat ruangan yang memanjang. Beliau berbicara kepada orang banyak setelah salat Jumat, suatu pembicaraan yang sangat menyentuh dan jelas. Di sekeliling beliau ketika itu berkumpul ratusan orang. Beliau menceritakan kepada mereka Sirah Nabawiyah. Sesekali beliau menceritakan wafatnya Rasulullah saw dan bagaimana kaum muslim setelah beliau wafat; mereka menyibukkan diri di Saqifah Bani Saidah untuk mengangkat seorang khalifah bagi mereka, sementara mereka membiarkan pemakaman Beliau sampai baiat kepada Abu Bakar As Siddiq berhasil dilakukan. Jadi, itu merupakan pembahasan dan pembicaraan pertama tentang pengangkatan khalifah serta seruan untuk menegakkan khilafah. Peristiwa ini terjadi tepat pada tahun 1950

Agus trisna .

Berikut ini adalah kata-kata yang diungkapkan dengan penuh keberanian

Berikut ini adalah kata-kata yang diungkapkan dengan penuh keberanian. Dicuplik dari berbagai sumber.

Ketika Rasulullah dibujuk oleh pamannya (Abu Thalib) untuk mau mengikuti keinginan orang-orang Quraisy dan diberikan harta dan kuasa, maka dengan tegas Rasulullah pun berkata,

"Wahai pamanku, demi Allah, walau pun mereka menaruh matahari di sebelah kanan ku dan bulan di sebelah kiriku supaya aku meninggalkan urusan agama ini, niscaya sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya, sampai Allah memenangkan agamanya atau aku binasa karenanya."

Ketika terjadi Perang Mu'tah yang jumlah kaum muslimin 3.000 orang menghadapi pasukan Romawi yang berjumlah 200.000, Abdullah bin Rawahah memberikan semangat tempur bagi kaum muslimin,

"Wahai kaum muslimin, sesungguhnya yang paling kami sukai pada saat kalian keluar (untuk berjihad) adalah kalian mencari syahid. Kita tidak memerangi manusia dengan jumlah personel, juga tidak memerangi mereka dengan kekuatan dan banyaknya pasukan yang kita miliki. Kita tidak memerangi mereka melainkan dengan agama yang dengannya Allah telah memuliakan kita. Karena itu, berangkatlah. Sesungguhnya hasil dari perang ini hanyalah satu di antara dua kebaikan: menang atau mati syahid."

Suatu ketika seorang murid dari Imam Izzuddin bin Abdus Salam bertanya kepada gurunya ketika gurunya sedang menasehati penguasa, "Apakah Anda tidak takut kepadanya?" Sang imam menjawab,

"Demi Allah, sungguh! Ketika aku sudah menghadirkan kebesaran Allah dalam diriku, maka di hadapanku, penguasa itu tidak lebih dari seekor kucing."

Demikian pula, ketika Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dipanggil Raja Abdullah (Raja Yordania), dan beliau ditanya, "Apakah Anda akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah Anda juga akan memusuhi orang kami musuhi, ya syaikh?" Maka Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pun berkata kepada dirinya sendiri, "Jika aku lemah menyampaikan kebenaran hari ini, lalu apa yang akan aku ucapkan kepada orang2 sesudahku nanti?" Lalu beliau pun berdiri dan berkata kepada Raja Abdullah,

"Aku telah berjanji kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi agama Allah dan akan memusuhi orang-orang yang memusuhi agama Allah. Dan aku sangat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik."

Subhanallah..