Friday, April 30, 2010

Mengapa Doa Tidak Makbul

Mengapa Doa Tidak Makbul

Agama Islam menyuruh penganutnya supaya selalu bermohon kepada Allah swt. Setiap doa yang terbit dari hati yang tulus ikhlas akan diperkenankan oleh Allah Yang Maha Pemurah.

Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 186 yang bermaksud:
Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang aku (Allah) maka (jawablah) bahawa aku ini hampir.. Aku memperkenankan doa orang yang memohon apabila dia (sungguh-sungguh) bermohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, semoga mereka selalu mendapat panduan yang baik .

Ramai manusia mengeluh bahawa doanya masih belum diperkenankan Tuhan. Setiap pagi dan malam dia menadahkan tangan bermohon kepada Allah tetapi apa yang dimintanya tidak kunjung tiba.

Timbul pertanyaan di dalam hatinya : Kenapakah permohonannya itu masih belum dikabulkan Tuhan? Jarang orang yang berusaha untuk melakukan penelitian apakah sebab-sebabnya.

Pada hakikatnya sebab-sebabnya itu banyak terletak pada diri si pemohon itu sendiri. Kerana salah satu syarat yang penting untuk mendapat pengkabulan doa dari Ilahi haruslah doa itu disertai denagn hati yang khusyuk, bukan berdoa hanya di mulut sahaja. Tidak ada ertinya mulut yang kumat kamit sehingga kering tekak tetapi hati menerawang ke alam lain, jiwa tidak khusyuk mengadap Ilahi.

Dalam salah satu hadis dijelaskan bagaimana sifat dan bentuk doa yang diperkenankan Allah.
Sabda Rasulullah saw yang bermaksud : Apabila kamu meminta kepada Allah bermohonlah dalam keadaan kamu yakin sepenuhnya akan dikabulkan Tuhan. Allah tidak memperkenankan doa seorang hamba yang hatinya lalai.

Dari hadis tersebut, ditegaskan oleh Rasulullah saw supaya setiap orang yang berdoa harus yakin bahawa doanya akan diperkenankan Tuhan sama ada segera atau lambat. Yakin itu akan timbul apabila seluruh jiwa dan raga dipusatkan mengadap Ilahi.

Salah seorang ulama sufi yang terkemuka iaitu Ibrahim Bin Adham yang hidup pada abad kelapan, pernah memberikan huraian tentang sebab-sebab doa seseorang tidak diperkenankan Tuhan. Tatkala berkunjung ke Basrah, beliau menerima pertanyaan dari sebahagian penduduk : Kenapakah nasib kami masih belum berubah, pada hal kami selalu berdoa, sedangkan Allah menjanjikan dalam al-Quran akan memperkenankan doa setiap orang yang bermohon? Ibrahim Bin Adham memberikan jawapan bahawa sebab-sebabnya ada 10 macam, iaitu:

Yang pertama : Kamu tidak menunaikan hak-hak Allah. Kamu kenal Allah tetapi tidak memenuhi hak-haknya. Hak Allah swt yang paling utama ialah untuk disembah. Setiap orang wajib mensyukuri nikmat yang dilimpahkan Allah kepadanya dengan jalan menyembahnya dengan sebenar-benar erti ibadah.Bagaimanakah Tuhan akan memperkenankan doa seseorang hamba kalau Tuhan mengatakan supaya dia berjalan ke kanan tapi masih ditempuhnya jalan ke kiri.

Kedua : Kamu tidak mengamalkan isi al-Quran. Kamu senantiasa membaca al-Quran tapi tidak kamu amalkan isi-isinya. Kitab Suci al-Quran senantiasa dibaca, dilagukan dengan bermacam-macam lagu tetapi isinya tidak dipelajari dan dihayati. Kalau pun ada satu dua ayat yang dapat difahamkan tidak pula diamalkan bahkan kadang-kadang sengaja dilanggar.

Ketiga : Kamu tidak mengamalkan sunnah Rasulullah saw. Kamu selalu mendakwa cinta kepada Rasulullah saw tapi kamu tinggalkan sunnahnya. Rasulullah saw menunjukkan jalan yang lurus tapi tidak sedikit manusia yang memilih jalan yang bengkok. Kadang-kadang ada juga yang katanya mengikuti Sunnah Rasul tapi apa yang dikerjakannya itu bertentangan dengan apa yang dilakukan atau digariskan oleh Rasulullah saw, masih lagi mengikuti perkara-perkara khurafat yang bukan dari al-Quran atau as-Sunnah yang sahih.

Keempat : Kamu patuh kepada syaitan. Kamu sentiasa menyatakan bermusuh dengan syaitan tapi kamu patuhi dia. Syaitan itu adalah musuh manusia yang selalu berusaha menjatuhkan anak Adam ke lembah kehinaan dengan jalan mempengarohi nafsu manusia yang jelik. Dalam pergaulan hidup sehari-hari kebanyakkan manusia berlutut kepada syaitan dengan memperturutkan hawa nafsu yang buruk. Seharusnya manusialah yang menguasai nafsunya dan dengan sikapnya itu dia akan berjaya mengalahkan godaan syaitan.

Kelima : Kamu menerjunkan diri sendiri ke jurang kebinasaan. Kamu selalu berdoa supaya terhindar dari api neraka tapi kamu limparkan dirimu sendiri ke dalamnya. Iaitu kebanyakkan manusia ingin memasuki pintu kebahgiaan tapi sebaliknya dia sendiri seolah-olah mengunci pintu itu. Dia tidak mahu mengerjakan kebajikan tapi selalu bergelumang dengan perbuatan dosa dan maksiat.

Keenam : Ingin masuk Syurga tapi tidak beramal. Iaitu kamu berdoa untuk masuk Syurga tapi kamu sendiri tidak beramal untuknya.

Ketujuh : Sedar akan mati tapi tidak bersiap-siap untuk menghadapinya. Kamu mengatakan bahawa kematian itu pasti datang tapi tidak pula mempersiapkan diri menghadapinya. Kamu mengakui dan insaf bahawa hidup di dunia ini hanya sementara sahaja sedangkan hidup yang abadi ialah di akhirat kelak, namun demikian kamu tidak mengerjakan amal saleh yang akan menjadi anak kunci membuka pintu kehidupan yang abadi itu.

Kelapan : Kamu melihat cacat orang lain, cacat sendiri tidak nampak. Kamu sibuk memikirkan dan mengurus aib saudara-sudaramu, tapi kamu tidak melihat aib kamu sendiri . Orang yang demikian selalu menuding jari kepada orang lain tapi amat jarang menghadapkan telunjuknya ke dadanya sendiri.

Kesembilan : Kamu mengecap nikmat tetapi tidak bersyukur. Kamu makan nikmat Ilahi tapi kamu tidak bersyukur atas kurnia itu. Sejak kecil manusia menikmati nikmat Ilahi dan beratus-ratus kurniaan yang lainnya tapi tidak berterima kasih, malah kadang-kadang membangkang menunjukkan sikap bongkak dan lupa daratan.

Kesepuluh : Kamu menguburkan jenazah tapi tidak menginsafkan diri. Kamu turut menguburkan orang yang mati tapi kamu sendiri tidak mengambil iktibar dari peristiwa itu. Iaitu kalau ada orang yang meninggal dunia kamu selalu tidak ketinggalan turut menghantar jenazah itu sampai ke kubur, tapi malang sekali jarang kamu mengambil pelajaran dari kejadian itu, bahawa apabila hari ini kita turut menghantar orang ke kubur, mungkin esok lusa kita sendiri akan dihantar orang.

Demikianlah sepuluh sebab doa seseorang tidak diperkenankan Allah menurut butir-butir hikmah Ibrahim bin Adham. Ini seharusnya mengetuk pintu hati setiap mukmin untuk membuat penilaian dan mengenal diri sendiri. Moga-moga Allah menjadikan kita orang-orang mukmin yang melaksanakan kewajipan-kewajipan kita dengan ikhlas dan yakin.

Sumber:
http://cahayamukmin .blogspot. com/

Geologi dalam Peradaban Islam

Geologi merupakan cabang ilmu alam yang mempelajari bumi, komposisinya, struktur, sifat-sifat fisik, sejarah, dan proses asal mula terbentuknya bumi serta sejarah perkembangannya. Studi ini mendapat perhatian penting dari para ilmuwan Muslim
di zaman kekhalifahan.

Ilmu ini dipandang memiliki kegunaan dan manfaat yang begitu besar. Betapa tidak. Geologi mampu membantu peradaban Manusia dalam menemukan dan mengatur sumber daya alam yang ada di bumi, seperti minyak bumi, batu bara, dan juga metal seperti besi, tembaga, emas dan uranium.

Selain itu, studi yang dikembangkan para saintis Islam itu juga sangat membantu dalam menemukan zat mineral lainnya yang memiliki nilai ekonomi, seperti: asbestos, perlit, mika, fosfat, zeolit, tanah liat, pumis, kuarsa, dan silika, dan juga elemen
lainnya seperti belerang, klorin, dan helium. Sejak era kekhalifahan, umat Islam telah mampu menemukan ladang minyak serta besi, emas dan lainnya.

Adalah ilmuwan Barat bernama Fielding H Garisson yang menyatakan bahwa studi geologi modern dimulai pada era kekhalifahan. Dalam bukunya berjudul History of Medicine, Garisson mengatakan, “Umat Islam di abad pertengahan tak hanya mengawali berkembangnya aljabar, kimia dan geologi. Namun, juga telah meningkatkan dan memuliakan peradaban.”

Abdus Salam (1984) dalam Islam and Sciencemenyatakan bahwa Abu al-Raihan al-Biruni (973-1048 M) merupakan geolog Muslimperintis yang berjasa mendirikan studi geologi modern.. Secara mendalam, ilmuwanMuslim abad ke-11 M itu menulis tentang geologi India. Al-Biruni melontarkan sebuah hipotesis bahwa anak benua India awalnya adalah sebuah lautan.

"Jika Anda melihat tanah India denganmata sendiri dan mengamati alamnya, sebenarnya daratan India awalnya adalah laut,” papar al-Biruni dalam Book of Coordinates. Ia juga menuturkan bahwa keberadaan kerang dan fosil di wilayah negeri Hindustan menunjukkan bahwa kawasan itu adalah lautan yang kemudian meningkat menjadi daratan kering.

Berdasarkan penemuannya itu, al-Biruni menyatakan bahwa bumi secara konstan mengembang.Temuannya itu memperkuat pandangan Islam yang menyatakan bahwa bumi tak kekal. Teori bumi tak kekal yang dilontarkan al-Biruni itu berlawanan dengan keyakinan ilmuwan Yunani Kuno yang berpendapat bahwa bumi itu kekal.

Al-Biruni pun lalu menyatakan bahwa bumi juga memiliki usia. Pendapat sang ilmuwan Muslim di era kekhalifahan itu terbukti. Para Geolog modern akhirnya membuktikan pendapat itu dengan menyatakan usia Bumi diperkirakan sekitar 4,5 miliar (4,5x109) tahun.

Ilmuwan Muslim legendaris, Ibnu Sina (981-1037) juga turut memberi kontribusi yang amat penting bagi studi geologi. Avicenna – begitu masyarakat Barat biasa menyebutnya -- menamakan geologi sebagai Attabieyat. Dalam bab lima ensiklopedia berjudul Kitab al-Shifa, Ibnu Sina menjelaskan tentang mineralogi, meteorologi.

Selain itu, bab keenam Kitab Al-Shifa, juga mengupas berbagai hal tentang bumi dan proses pembentukannya. Secara rinci dan lugas, Ibnu Sina membahas tentang; pembentukan gunung; manfaat gunung dalam pembentukan awan: sumber-sumber air, asal muasal gempa bumi; pembentukan mineral-mineral; serta keanekaragamaan lahan tanah di bumi.

Pemikiran Ibnu Sina tentang geologi ternyata sangat berpengaruh terhadap peradaban Barat. Berkat jasa Avicenna-lah, masyarakat Barat kemudian mengenal hukum superposisi, konsep katastropisme (bencana besar) serta doktrin uniformitarianism. Buah pikir Ibnu Sina juga banyak mempengaruhi ilmuwan Barat bernama James Hutton dalam mencetuskan Teori Bumi pada abad ke-18 M.

Secara terang-terangan, dua akademisi Barat bernama Toulmin dan Goodfield (1965), menjelaskan sumbangsih yang diberika Ibnu Sina bagi studi geologi
modern. “Sekitar abad ke-10 M, Avicenna telah melontarkan hipotesis tentang asal-muasal bentangan gunung. Padahal, 800 tahun kemudian, pemikiran seperti itu masih dianggap radikal di dunia Kristen,” papar Toulim dan Goodfield.

Tak cuma itu, metodelogi ilmiah serta observasi lapangan yang dikembangkan Ibnu Sina hingga kini masih tetap menjadi bagian yang penting dalam investigasi geologi modern. Studi geologi juga sebenarnya secara lusa tercantum dalam Alquran. Dalam Surat Al-Hijr ayat 19 Allah SWT berfirman: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu
menurut ukuran.

Dalam Surat An-Nahl ayat 15, Sang Khalik juga berfirman: “Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk.” Ayat-ayat inilah yang kemungkinan memberi inspirasi bagi para ilmuwan Muslim untuk mengkaji studi geologi.

Sumbangan lainnya yang didedikasikan ilmuwan Muslim untuk studi geologi adalah penemuan kristalisasi dalam proses pemurnian. Terobosan penting yang dilakukan Jabir Ibnu Hayyan – saintis pada abad ke-8 M – itu sangat penting dalam kristallogi. Bapak Sejarah Sains, George Sarton menegaskan bahwa Jabir Ibnu Hayyan juga turut berkontribusi dalam geologi.

“Kami menemukan dalam tulisannya (Jabir) pandangan tentang metode penelitian kimia, sebuah teori pembentukan logam pada lapisan tanah, ” papar Sarton. Dalam risalah yang ditulisnya, papar Sarton, Jabir Ibnu Hayyan menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat enam logam yang berbeda, akibat adanya perbedaan perbandingan sulfur dan merkuri pada keenam jenis logam itu.

Bila kita simak secara teliti, studi geologi mendapat perhatian dalam Alquran. Selain banyak memaparkan tentang gunung, ayat suci Alquran juga membahas tentang tanah. Dalam surat Al-A'raaf ayat 58, Allah SWT berfirman, “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh
subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”

Dalam ayat lainnya, Alquran juga menjelaskan adanya kandungan penting dalam tanah. “Kepunyaan-Nya- lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.” (QS:Thaahaa: ayat 6). Allah SWT juga berfirman dalam Surat Al-Kahfi ayat 41, “Atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi".

Sumbangsih Saintis Muslim bagi Geologi

Sejarah mencatat begitu banyak ilmuwan Muslim yang mengkaji geologi di era keemasan Islam. Menurut Guru Besar Universitas Yordania, Prof Abdulkader M Abed, para saintis Islam itu mengkaji tema-tema khusus seperti mineral, batu-batuan serta permata. Sayangnya, kebanyakan risalah itu banyak yang hilang dan tak eksis lagi.

Berikut ini beberapa ilmuwan Muslim yang mengkaji geologi:

* Yahya bin
Masawaih (wafat 857 M): Dia menulis tentang permata dan kekayaannya.

* Al-Kindi (wafat 873 M): Menulis tiga risalah. Salah satu karyanya yang terbaik berjudul "Gems and the Likes".

* Al-Hasan
Bin Ahmad al-Hamdani(334 H): Menulis tiga buku mengenai metode eksplorasi emas, perak, permata dan bahan mineral lainnya.

* Ikhwaan As-Safa
(pertengahan abad ke-4 H): Menulis ensiklopedia yang berisi bagian-bagian minelar serta klasifikasinya.

* Abu Ar-Rayhan
Mohammad Bin Ahmad al-Biruni: (wafat 1048 M): Adalah ahli minerallogi terhebat sepanjang seharah peradaban Islam. Selain menulis Book of Coordinates, dia juga menyusun buku berjudul Al-Jamhir fi Ma'rifatil Al-Jawahir. Yang mengupas tentang cara mengenali permata. Buku itu dinilai sebagai kontribusi
terbaik yang disumbangkan perdaban Islam bagi studi minerallogi.

* Ahmad Bin
Yousef Al-Tifashi: Ia menulis kitab Azhar Al-Afkar fi Jawahir Al-Ahjar yang berisi tentang cara mengenali
batu-batu mulia.

* Mohammad Bin
Ibrahim Ibnu Al-Akfani (wafat 1348A): menulis buku berjudul Nukhab Al-Thakhair fi Ahwaal Al-Jawahir. Mengupas karakteristik batu-batu mulia.

Mineralogi di Era Kekhalifahan

Para ilmuwan Muslim
di abad ke-10 hingga 11 M banyak menaruh perhatian untuk meneliti dan menulis risalah tentang mineralogi. Studi mineralogi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari geologi. Sebab, mineralogi merupakan cabang geologi yang berfokus pada sifat kimia, struktur kristal, dan fisika dari mineral.

Studi ini juga mencakup proses pembentukan dan perubahan mineral. Sekitar 10 abad yang lalu, para saintis Muslim sudah mampu mengidentifikasi beragam jenis mineral. Mereka mendedikasikan dirinya untuk mempelajari mineral. Al-Biruni dikenal sebagai pakar mineralogi Muslim yang paling hebat dalam sejarah
peradaban Islam.

Di zaman itu, para ilmuwan Islam sudah mampu menjelaskan komposisi kimia dan struktur kristal. Batu permata dan batu mulia dinilai para ilmuwan Muslim sebagai jenis mineral yang khusus. Intan, batu nilam, jamrud serta yang lainnya digolongkan ke dalam mineral. Sejak zaman dahulu batu-batu mulia itu menjadi lambang kemewahan raja-raja dan para wanita.

Sumbangan peradaban Islam dalam bidang mineralogi tak lepas dari keberhasilan umat Islam menguasai wilayah-wilayah penting seperti Mesir, Mesopotamia, India dan Romawi. Peradaban wilayah itu sebelumnya juga telah mengenal beragam jenis mineral, batu mulia, dan permata. Karya-karya terdahulu itu lalu dikembangkan dan diteliti lebih lanjut oleh para ilmuwan Muslim. Hri



http://www.republik a.co.id/berita/ 61926/Geologi_ dalam_Peradaban_ Islam

Orang munafik dim sekitar kita

Written by Oleh: Arief B. Iskandar

(QS an-Nisa' [4]: 142).

Mengomentari ayat ini, Ibn Katsir di dalam tafsirnya antara lain menyatakan, bahwa orang-orang munafik biasa menipu Allah SWT. Padahal tidak diragukan lagi, bahwa Allah SWT tidak mungkin ditipu karena Dia Mahatahu atas segala hal yang tersembunyi. Bahkan dalam kalimat selanjutnya dinyatakan, bahwa Allah SWT membalas tipuan mereka. Maknanya, Allah semakin menjerumuskan mereka di dunia dalam kesombongan, kesesatan dan pelecehan mereka terhadap kebenaran (Ibn Katsir, I/156).

Sebagaimana diketahui, pada bagian awal Alquran surah al-Baqarah, Allah SWT mengelompokkan umat manusia ke dalam tiga golongan: Mukmin, kafir dan munafik. Allah SWT menjelaskan ciri-ciri orang Mukmin dengan ringkas. Ciri-ciri orang kafir bahkan cukup dijelaskan dengan satu ayat. Namun, saat menjelaskan ciri-ciri orang munafik, Allah memaparkannya secara panjang-lebar. Mengapa? Karena faktanya, golongan munafik adalah golongan yang lebih berbahaya di masyarakat, karena mereka adalah 'musuh dalam selimut'. Karena itu, tentu sangat perlu kita mengenali ciri-ciri mereka ini.

Allah SWT telah menyebut kata dan kata jadiannya dalam Alquran sebanyak 37 kali dalam surah yang berbeda.
Sebagian ulama membagi sifat menjadi dua.


Pertama: . Pelakunya pada dasarnya kafir, tetapi berpura-pura atau menampilkan diri sebagai Muslim. Munafik jenis ini ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Mereka inilah 'musuh dalam selimut'. Mereka ini, di dalam hatinya pada hakikatnya mendustakan kitab-kitab Allah dan para malaikat-Nya atau mendustakan salah satu asas Islam (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 8-10).


Kedua: . Pelakunya boleh jadi Muslim, tetapi memiliki sifat-sifat/ciri-ciri orang munafik. Dalam hal ini, Rasulullah SWA bersabda, “Ada tiga tanda orang munafik: jika berkata, berdusta; jika berjanji, ingkar; jika dipercaya, khianat.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam salah satu kitabnya, ‘A'id Abdullah al-Qarni menyebutkan

tiga puluh sifat orang-orang munafik yang disebutkan dalam Alquran, di antaranya:

''dusta; khianat; ingkar janji; malas beribadah; riya; sedikit berzikir; sering terburu-buru dalam shalat; mencela orang-orang taat dan shalih; memperolok-olok Alquran, as-Sunnah dan Rasulullah SAW; bersumpah palsu; enggan berinfak; tidak peduli terhadap nasib kaum Muslim; suka menyebarkan kabar bohong; mengingkari takdir; mencaci-maki kehormatan orang-orang shalih; sering meninggalkan shalat berjamaah; membuat kerusakan di muka bumi dengan dalih mengadakan perbaikan; tidak ada kesesuaian antara lahiriah dan batiniah; takut terhadap kejadian apapun; menyuruh kemungkaran dan mencegah kemakrufan; bakhil; melupakan Allah SWT; mendustakan janji Allah dan Rasul-Nya; sombong dalam berbicara; awam dalam agama; menantang Allah dengan terus berbuat dosa; senang dengan musibah yang menimpa kaum Mukmin dan dengki terhadap kebahagiaan mereka.''

*****

Sahabat Hudzaifah ra pernah berkata, “Orang-orang munafik sekarang lebih jahat (berbahaya) daripada orang munafik pada masa Rasulullah SAW.” Ia lalu ditanya, “Mengapa demikian?” Hudzaifah menjawab, “Karena pada masa Rasulullah SAW mereka menyembunyikan kemunafikannya, sedangkan sekarang mereka berani menampakkannya.” (Diriwayatkan oleh al-Farayabi tentang sifat an nifaq [51-51], dengan isnad sahih).

Ingat, pernyataan sahabat Hudzaifah ra itu diucapkannya pada 14 abad yang lampau. Jika demikian, bagaimana dengan orang-orang munafik pada abad ini?

Kenyataannya, saat ini mereka melakukan perilaku munafiknya secara terang-terangan dengan penuh kebanggaan; tanpa rasa malu, takut dan berdosa kepada Allah SWT. Lihatlah para penguasa/calon penguasa yang berpura-pura tampil sebagai Muslim yang shalih dan Muslimah yang shalihah. Mereka berpura-pura shalat atau mengenakan jilbab. Mereka seolah-olah dekat dengan para ulama. Mereka seperti peduli terhadap kaum Muslim. Padahal sebelumnya semua itu jarang sekali mereka lakukan. Mereka melakukan apa saja demi mempercantik citra mereka di mata rakyat yang sebetulnya 'tidak cantik' itu. Mereka tidak sadar, bahwa semua yang mereka lakukan itu hakikatnya hanyalah menipu Allah SWT. Bayangkan, Allah SWT saja mereka tipu. Bagaimana dengan rakyat mereka?!!...

Semoga kita dijauhkan dari para penguasa munafik seperti itu, juga dari sifat-sifat kemunafikan yang mungkin saja tanpa disadari melekat pada diri kita masing-masing. Wamâ tawfîqi illâ billah.[]

Islam Dan Liberalisme

Islam Dan Liberalisme

Penulis: Kholid Syamhudi, Lc.

20 March 2009

Musuh-musuh islam tidak henti-hentinya menyerang kaum muslimin dan merusak agama mereka. Tidak cukup hanya dengan mencabik-cabik negara Islam menjadi negara-negara kecil dan terbelakang dengan mengambil sumber daya alamnya yang demikian kaya. Mereka masih terus dan akan terus merusak agama dan kehidupan kaum muslimin hingga mereka meninggalkan Islam dan mengikuti mereka. Allah Ta’ala berfirman:

Artinya: “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya“. [QS. Al-Baqarah: 217]

Hal itu karena kedengkian yang terus ada dihati mereka.

Artinya: “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran”. [QS. Al-Baqarah: 109]

Semua ini telah terbukti dan dijelaskan dalam ayat lainnya. Mereka tidak berhenti hingga kaum muslimin murtad dan mengikuti agama mereka. Allah berfirman:

Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu“. [QS. Al-Baqarah: 120]

Dalam ayat yang mulia ini Allah memerintahkan kita untuk menampakkan petunjuk Allah dalam menghadapi semua konspirasi mereka.

Karenanya, kita lihat banyak sekali pemikiran-pemikiran musuh-musuh Islam tersebut yang dimasukkan secara halus ataupun secara paksa masuk ke dalam tubuh kaum muslimin. Baik melalui tangan mereka secara langsung maupun melalui tangan-tangan anak-anak kaum muslimin yang tumbuh dalam didikan mereka. Anak-anak kaum muslimin ini mereka jejali dengan pemikiran dan harta berlimpah agar dapat menjalankan semua program terpadu mereka dalam merusak akidah Islam dan kaum muslimin. Memang mereka terlanjur kagum kepada para musuh tersebut dan terlalu butuh dengan bantuan finansial dan non finansial dari mereka sehingga dengan mudahnya menyebarkan pemikiran tersebut tanpa melihat akibat yang timbul darinya.

Diantara pemikiran yang disebarkan tersebut adalah pemikiran liberal (liberalisme) yang dengan bangganya menampakkan kepalanya ditengah-tengah kaum muslimin tanpa rasa khawatir dan takut sama sekali. Melihat ini semua nampaknya perlu kita mengetahui sedikit tentang pemikiran ini dalam tinjauan islam agar kita tidak terjerumus ke dalamnya. Lebih lagi di zaman yang penuh dengan fitnah ini.

Pengertian Liberalisme

Liberal adalah satu istilah asing yang diambil dari kata Liberalism dalam bahasa Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya dan Liberte dalam bahasa prancisnya yang bermakna bebas. [Hakikat Liberaliyah wa mauqif Muslim minha, Sulaiman al-Khirasyi, ha.l 12]

Liberalisme adalah istilah eropa yang sangat samar sehingga para peneliti baik dari mereka ataupun dari selainnya berselisih dalam mendefinisikan pemikiran ini. Namun seluruh definisi yang ada kembali kepada pengertian kebebasan dalam pengertian barat tentunya.

Tertulis dalam The World Book Encyclopedia pada pembahasan Liberalism : “Liberalism dianggap sebagai istilah yang samar, karena pengertian dan pendukung-pendukungnya berubah dalam bentuk tertentu dengan berlalunya waktu”[Dinukil dari Hakekat Libraliyah, hal. 16].

Oleh karena itu syeikh Sulaiman al-Khirasyi menyimpulkan bahwa Liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu dan memandang kewajiban menghormati kemerdekaan individu serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah adalah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, mengungkapkan pendapat, kepemilikan pribadi dan kebebasan individu serta sejenisnya.

Ensiklopedia Inggris menuliskan: “Kata Liberty (kebebasan) adalah kata yang menyimpan kesamaran, demikian juga kata liberal. Seorang liberalis bisa jadi beriman bahwa kebebasan adalah masalah khusus individu semata dan peran negara harus terbatas atau bisa jadi beriman bahwa kebebasan itu adalah masalah khusus negara. Sehingga negara dengan kemampuannya atau kemungkinan menggunakannya sebagai alat penguat kebebasan” [Encyclopedia Britannica pada pembahasan liberalism, dinukil dari Hakekat Libraliyah al-Khirasyi, hal. 17]

Asas Pemikiran Liberal

Secara umum asas liberalisme ada tiga; kebebasan, individualis dan Aqlani (mendewakan akal).

1. Asas pertama: Kebebasan

Yang dimaksud disini adalah setiap individu bebas dalam perbuatannya dan mandiri dalam tingkah lakunya tanpa diatur dari negara atau selainnya. Mereka hanya dibatasi oleh undang-undang yang mereka buat sendiri dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan demikian liberalisme disini adalah sisi lain dari sekulerisme secara pengertian umum yaitu memisahkan agama dan membolehkan lepas dari ketentuannya. Sehingga menurut mereka manusia tu bebas berbuat, berkata, berkeyakinan dan berhukum sesukanya tanpa batasan syari’at Allah. Sehingga manusia menjadi tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya serta bebas dari hukum ilahi dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran ilahi. Padahal Allah berfirman:

Artinya: “Katakanlah:”Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupki dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya;dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [QS. Al-An'am: 162-163]

dan firman Allah:

Artinya: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui“. [QS. al-Jaatsiyah : 18]

[Lihat Dalil al-'Uqul al-Haa'irah Fi Kasyfi al-Mazhahib al-Mu'ashorah, Haamid bin Abdillah al-'Ali hal. 18]

2. Asas kedua: Individualisme (Al-Fardiyah)

Dalam hal ini ada dua pemahaman dalam Liberalisme:

a. Individual dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang menguasai pemikiran eropa sejak masa kebangkitan eropa hingga abad keduapuluh masehi.

b. Individual dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Inilah pemahaman baru dalam agama liberal yang dikenal dengan Pragmatisme.

[lihat Hakekat Libraliyah al-Khirasyi, hal. 17]

3. Asas ketiga: Mendewakan Akal (Aqlaniyah)

Dalam pengertian kemerdekaan akal dalam mengetahui dan mencapai kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya.

Hal ini dapat tampak dari hal-hal berikut ini:

a. Kebebasan adalah hak-hak yang dibangun diatas dasar materi bukan perkara diluar dari materi yang dapat disaksikan dan cara mengetahuinya adalah dengan akal, pancaindra dan percobaan.

b. Negara dijauhkan dari semua yang berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan menuntut tidak adanya satu yang pasti dan yakin; karena tidak mungkin mencapai hakekat sesuatu kecuali dengan perantara akal dari hasil percobaan yang ada. Sehingga -menurut mereka- manusia sebelum melakukan percobaan tidak mengetahui apa-apa sehingga tidak mampu untuk memastikan sesuatu. Ini dinamakan ideologi toleransi (al-Mabda’ at-Tasaamuh)[1]. Hakekatnya adalah menghilangkan komitmen agama, karena ia memberikan manusia hak untuk berkeyakinan semaunya dan menampakkannya serta tidak boleh mengkafirkannya walaupun ia seorang mulhid. Negara berkewajiban melindungi rakyatnya dalam hal ini, sebab negara -versi mereka- terbentuk untuk menjaga hak-hak asasi setiap orang. Hal ini menuntut negara terpisah total dari agama dan madzhab pemikiran yang ada. [Musykilah al-Hurriyah hal 233 dinukil dari Hakekat Libraliyah hal 24]. Ini jelas dibuat oleh akal yang hanya beriman kepada perkara kasat mata sehingga menganggap agama itu tidak ilmiyah dan tidak dapat dijadikan sumber ilmu. -Ta’alallahu ‘Amma Yaquluna ‘Uluwaan kabiran-

c. Undang-undang yang mengatur kebebasan ini dari tergelicir dalam kerusakan -versi seluruh kelompok liberal – adalah undang-undang buatan manusia yang bersandar kepada akal yang merdeka dan jauh dari syari’at Allah. Sumber hokum mereka dalam undang-undang dan individu adalah akal.

Islam dan Liberal

Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa Liberalisme hanyalah bentuk lain dari sekulerisme yang dibangun diatas sikap berpaling dari syari’at Allah, kufur kepada ajaran dan petunjuk Allah dan rasulNya Shallallahu’alaihi Wasallam serta menghalangi manusia dari jalan Allah. Juga memerangi orang-orang sholih dan memotivasi orang berbuat kemungkaran, kesesatan pemikiran dan kebejatan moral manusia dibawah slogan kebebasan yang semu. Kebebasan yang hakekatnya adalah mentaati dan menyembah syeitan. Lalu bisakah Islam bergandengan dengan Liberal?

Upaya menyatukan Islam dan Liberal.

Pemikiran Liberal masuk kedalam tubuh kaum muslimin melalui para penjajah colonial, kemudian disambut orang-orang yang kagum dengan modernisasi eropa waktu itu. Muncullah dalam tubuh kaum muslimin kelompok madrosah Al-Ishlahiyah dan madrasah At-Tajdid (kaum reformis) serta Al-Ashraniyun (kaum modernis) yang berusaha menggandengkan islam dengan liberal ditambah dengan banyaknya pelajar muslim yang dibina para orientalis dinegara-negara eropa. Upaya menyatukan liberalism kedalam islam sudah dilakukan oleh gerakan ‘Islahiyah’ pimpinan Muhammad Abduh dan para muridnya kemudian ditahun 60-an muncullah gerakan reformis (Madrasah At-Tajdid) dengan tokoh seperti Rifa’ah ath-Thohthawi dan Khoiruddin at-Tunisi. Pemikiran mereka ini tidaklah satu namun mereka memiliki kesamaan dalam upaya menggabung ajaran islam dengan modernisasi barat dan merekonstruksi ajaran agama agar sesuai dengan modernisasi barat. Oleh karena itu pemikiran mereka berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan mereka terhadap komodernan barat dan kemajuannya yang terus berubah. Demikian juga mereka sepakat menjadikan akal sebagai sumber hukum sebagaimana akal juga menjadi sumber hukum dalam agama liberal.

Dari sini jelaslah kaum reformis dan modernis ini ternyata memiliki prinsip dan latar belakang serta orientasi pemikiran yang berbeda-beda meskipun mereka sepakat untuk mengedepankan logika akal daripada Al-Qur’an dan sunnah dan pengaruh kuat pemikiran barat.

Ada diantara mereka yang secara terus terang mengungkapkan niat mereka menghancurkan islam karena terpengaruh pemikiran nasionalisme sekuler atau sayap kiri komunis. Ada yang berusaha memunculkan keraguan kedalam tubuh kaum muslimin dengan berbagai istilah bid’ah yang sulit dicerna pengertiannya atau dengan cara membolak-balikkan fakta dan realitas ajaran islam sejati dengan pemikiran dan gerakannya. Mereka menempatkan orang sesat dan menyimpang sebagai pemikir yang bijak dan ksatria revolusioner. Sementara para ulama islam ditempatkan sebagai kalangan yang kolot konservatif dan tidak tahu hak asasi manusia.[2]

Yang lebih menyakitkan lagi adalah ungkapan sebagian mereka yang menuduh orang yang kembali merujuk nash syari’at sebagai orang yang kolot dan paganis. Prof. Fahmi Huwaidi dalam artikelnya yang berjudul: Watsaniyun Hum ‘Abadatun Nushush (Paganis itu adalah mereka yang menyembah nash-nash Syari’at) menggambarkan hal tersebut sebagai paganisme baru (Watsaniyah jadidah). Hal itu karena Paganisme tidak hanya berbentuk penyembahan patung berhala semata, karena ini adalah paganisme zaman dahulu. Namun paganism zaman ini telah berubah menjadi bentuk penyembahan simbol dan rumus pada penyembahan nash-nash dan ritualisme. (Lihat Al-Aqlaniyun Aprakh al-Mu’tazilah al-’Ashriyun, hal.63).

Sebenarnya hakekat usaha mereka ini adalah mengajak kaum muslimin untuk mengikuti ajaran barat (westernisasi) dan menghilangkan akidah islam dari tubuh kaum muslimin serta memberikan kemudahan kepada musuh-musuh islam dalam menghancurkan kaum muslimin. Sehingga mereka menganggap aturan liberal dan demokrasi adalah perkara mendesak dan sangat cocok dengan hakekat islam dan ajarannya serta tidak mengingkarinya kecuali fundamentalis garis keras.

Demikianlah usaha mereka ini akhirnya menghasilkan penghapusan banyak sekali pokok-pokok ajaran islam dan memasukkan nilai-nilai liberalisme dan humanisme kedalam ajaran islam dan aqidah kaum muslimin. Karena itu seorang orientalis bernama Gibb menyatakan: “Reformasi adalah program utama dari liberalisme barat. Kita tinggal menunggu saja semoga orientasi tersebut dari kalangan reformis bias menjadi semacam managerial modern untuk menggali nilai-nilai liberalisme dan humanism”[Menjawab Modernisasi Islam, hal 178].

Demikianlah nilai-nilai pemahaman liberal masuk kedalam tubuh kaum muslimin dan kita berlindung kepada Allah darinya dan dari semua penyeru ajaran ini

Liberal dalam pandangan hukum Islam

Liberalisme adalah pemikiran asing yang masuk kedalam islam dan bukan hasil dari kaum muslimin. Pemikiran ini menafikan adanya hubungan dengan agama sama sekali dan menganggap agama sebagai rantai pengikat yang berat atas kebebasan yang harus dibuang jauh-jauh. Para perintis dan pemikir liberal yang menyusun pokok-pokok ajarannya dalam semua marhalah dan sepanjang masa telah membentuk liberal berada diluar garis seluruh agama yang ada dan tidak seorangpun dari mereka yang mengklaim adanya hubungan dengan satu agama tertentu walaupun agama yang menyimpang.

Sehingga Liberalisme sangat bertentangan dengan islam bahkan banyak sekali pembatal-pembatal keislaman yang ada padanya, diantaranya:
1. Kufur
2. Berhukum dengan selain hukum Allah
3. Menghilangkan aqidah Al-Wala Dan Bara’
4. Menghapus banyak sekali ajaran dan hukum islam.

Sehingga para ulama menghukuminya sebagai kekufuran sebagaimana dalam fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan yang dimuat dalam Surat kabar al-Jazirah hari Selasa tanggal 11 Jumada akhir tahun 1428 H.

Adakah Islam Liberal?

Sungguh amat mengherankan masih juga ada orang yang ingin menggabungkan antara liberal dengan Islam padahal jelas sekali ketidak-mungkinannya. Sehingga bila ada yang menyatakan, saya adalah muslim liberal atau istilah Jaringan Islam Liberal ini adalah satu perkara yang kontradiktif. Ironisnya orang yang disebut profesor atau intelektual tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang hal ini.

Wallahu al-Hadi ila Shirath al-Mustaqim.

Referensi.
1. Hakikat Liberaliyah Wa Mauqif Muslim Minha, Sulaiman al-Khirasyi
2. Al-’Ashraniyun Baina Mazaa’im At-Tajdid Wa Mayaadin At-Taghrib Muhammad Hamid an-naashir dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Menjawab Modernisasi Islam, terbitan Darul Haq
3. ‘Al-Aqlaniyun Aprakh Al-Mu’tazilah Al-’Ashriyun, Syeikh Ali Hasan Ali Abdulhamid , cetakan pertama tahun 1413 H, Maktabah al-ghuraba al-Atsariyah.
4. Dalil Al-’Uqul Al-Haa’Irah Fi Kasyfi Al-Mazhahib Al-Mu’ashorah, Haamid bin Abdillah al-’Ali

Artikel UstadzKholid.Com

Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin 2

Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin 2

Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami” (HR Imam Muslim).

Yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua.

Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah Swt. Berfirman: ]ÅöäøóãóÇ ÇáÕøóÏóÞóÇÊõ áöáúÝõÞóÑóÇÁö æóÇáúãóÓóÇßöíäö “Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…” (QS at-Taubah [9]: 60).

Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal. Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum muslim secara kolektif. Allah Swt. berfirman:

]æóÝöí ÃóãúæóÇáöåöãú ÍóÞøñ áöáÓøóÇÆöáö æóÇáúãóÍúÑõæãö “Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian” (QS adz-Dzariyat [51]: 19).

Rasulullah saw. juga bersabda:

“Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka” (HR Imam Ahmad).

“Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya” (HR al-Bazzar).Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.

Demikianlah mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum muslim secara individu membantu orang yang miskin; dan negara memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya hingga mencukupi.

Pengaturan Kepemilikan

Pengaturan kepemilikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah.

Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pengaturan kepemilikan ini dapat mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.

Jenis-jenis Kepemilikan

Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari asy-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

•Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt.. kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu Allah Swt. telah memberi hak kepada individu untuk memiliki harta, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain.

Adanya kepemilikan individu ini, menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.

Kepemilikan umum adalah izin dari Allah Swt. kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu

Aset yang tergolong kepemilikan umum ini, tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan persengkataan jika ia lenyap[4], misalnya padang rumput, air, pembangkit listrik, dan lain-lain; kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu[5], misalnya sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain; ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.

Dalam praktiknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh negara, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset startegis masyakat dapat dinikmati bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa, sebagaimana yang tejadi dalam sistem kapitalis. Dengan demikian, masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.

Kepemilikan negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada khalifah (sesuai dengan ijtihadnya) sebagai kepala negara Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya adalah fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain.Adanya kepemilikan negara dalam Islam, jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian, negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.

Pengelolaan KepemilikanPengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul mal) dan penginfaqkan harta (infaqul mal). Baik dalam pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Islam, misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi atau melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan) hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain. Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.

Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat

Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini, menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan. Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut senantiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali secara langsung atau tidak langsung mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan.

Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum waris. Secara terperinci syariat mengatur kepada siapa harta warisan harus dibagikan. Jadi, seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang tidak adil.

Lebih dari itu, negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan, setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.

Penyediaan Lapangan Kerja

Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadis Rasululah saw.: “Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda:“Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja” Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif sehingga kemiskinan dapat teratasi.

Penyediaan Layanan Pendidikan

Masalah kemiskinan sering muncul akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun keterampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layanan pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya.

Syariat Islam telah mewajibkan negara untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, inovatif, dan produktif. Dengan demikian, kemiskinan kultural akan dapat teratasi.

Keberhasilan Islam dalam Mengatasi Kemiskinan

Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah. Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah, “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya beliau berkata lagi,“Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta”.[6] Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum muslim yang tidak mampu; membayar utang-utang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.

Kodisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut,“Telitilah, barang siapa berutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah utangnya”. Kemudian, gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau,“Sesungguhnya aku telah melunasi utang orang-orang yang mempunyai tanggungan utang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai utang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban, “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya”. Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perintahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya, “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah[1]

Ayat dan hadis di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah Swt. berfirman: ]æóÚóáóì ÇáúãóæúáõæÏö áóåõ ÑöÒúÞõåõäøó æóßöÓúæóÊõåõäøó ÈöÇáúãóÚúÑõæÝö “Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf” (QS al-Baqarah [2]: 233). ]ÃóÓúßöäõæåõäøó ãöäú ÍóíúËõ ÓóßóäúÊõãú ãöäú æõÌúÏößõãú “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu” (QS ath-Thalaq [65]: 6). Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.

Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya

Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya, lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya? Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah Swt. berfirman:

]æóÚóáóì ÇáúãóæúáõæÏö áóåõ ÑöÒúÞõåõäøó æóßöÓúæóÊõåõäøó ÈöÇáúãóÚúÑõæÝö áÇó ÊõßóáøóÝõ äóÝúÓñ ÅöáÇøó æõÓúÚóåóÇ áÇó ÊõÖóÇÑøó æóÇáöÏóÉñÈöæóáóÏöåóÇ æóáÇó ãóæúáõæÏñ áóåõ ÈöæóáóÏöåö æóÚóáóì ÇáúæóÇÑöËö ãöËúáõ Ðóáößó

“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah [2]: 233).

Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi, melainkan yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris. Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya. Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.

Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standar masyarakat sekitarnya. Rasulullah saw. Bersabda: “Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan (HR Imam Bukhari dari Abu Hurairah).

“Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan” (HR Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu Hurairah). Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini adalah harta ketika manusia (dengan keadaan yang dimilikinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah) dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standar masyarakat sekitarnya.

bersambung Insya Allah ..

Refleksi HAM Atas Hukum-hukum Perempuan

Refleksi HAM Atas Hukum-hukum Perempuan


Oleh: Najmah Saiidah (Anggota Lajnah Tsaqofiyah MHTI, Anggota DPP HTI)
HAM atau Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dipunyai oleh semua orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi (Ensiklopedia ilmu-ilmu sosial). Hak Asasi Manusia selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental dan penting. Oleh karenanya banyak yang berpendapat bahwa Hak Asasi Manusia adalah ‘kekuasaan dan keamanan’ yang dimiliki oleh individu. Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Versi yang lain munculnya HAM ini pada abad 17 dan 18 sebagai reaksi dari keabsolutan raja-raja dan kaum feodal pada zaman itu terhadap rakyat lapisan bawah. Dimana pada waktu itu masyarakat lapisan bawah tidak memiliki hak-hak, diperlakukan sewenang-wenang, layaknya sebagai budak. Maka muncullah ide untuk menegakkan HAM, dengan konsep bahwa semua orang itu sama, semuanya merdeka bersaudara, tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi atau lebih rendah.

Sejak itu upaya penegakkan HAM terus berlangsung mulai dari usaha penghapusan perbudakan, perlindungan terhadap kaum minoritas, sampai pada perlindungan korban perang. Puncak dari upaya tersebut adalah dikeluarkannya Deklarasi Universal Tentang Hak-hak Asasi Manusia atau UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Rancangan piagam hak-hak asasi manusia disusun oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris hasil kerja panitia tersebut dikukuhkan. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak - Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.

Pada tanggal 10 Desember 1948 inilah disahkan hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, laki-laki atau perempuan, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua. Deklarasi ini bertujuan untuk melindungi hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi; kebebasan berpendapat, berkumpul secara damai, berserikat dan bebas beragama, bebas bergerak dan melarang adanya perbudakan, penahanan dengan sewenang-wenang, pemenjaraan tanpa paroses peradilan yang adil dan jujur dan melanggar hak pribadi seseorang . Disamping itu deklarasi ini mengandung jaminan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sejak itulah akhirnya HAM dijadikan RUJUKAN bahkan HUKUM TERTINGGI untuk menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk persoalan-persoalan perempuan. Bahkan kemudian muncul istilah Hak Asasi Perempuan, sebagai reaksi dari adanya diskriminasi terhadap perempuan. Bagi negara-negara anggota PBB, deklarasi itu dan turunannya sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia di suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya untuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.

Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah konsep HAM yang telah dijadikan sebagai “Hukum Tertinggi” ini berjalan dengan semestinya, sesuai dengan harapan orang-orang yang mendukungnya atau malah dijadikan alat bagi negara-negara besar bahkan negara nomor satu untuk mengelabui negara-negara lainnya ?
Dari proses kelahirannya, jelaslah bahwa konsep HAM yang berlandaskan pada kebebasan (kebebasan beragama, kebebasan pemilikan, kebebasan berpendapat dan kebebasan bertingkah laku) dibuat oleh manusia, sudah dapat dipastikan kalau konsep ini akan mengandung banyak kelemahan di sana sini. Karena manfaat dijadikan sebagai landasan bagi tegaknya aturan. Jika hal tersebut bermanfaat bagi pihak tertentu (terutama bagi pihak yang berkuasa) sekalipun merugikan pihak yang lain, maka aturan tersebut bisa dilaksanakan. Kita akan bisa temukan banyak contoh terkait masalah ini.
Senantiasa tertanam dalam benak kita bagaimana AS menggempur dan memboikot Irak selama lebih dari 10 tahun dengan alasan Irak telah melanggar hak-hak orang Syi’ah dan Suku Kurdi. Akan tetapi AS dan sekutunya diam dan tidak mau menggempur Serbia yang telah melakukan pembunuhan, pemerkosaan, perampasan harta kaum Muslimin di Bosnia yang terang-terangan telah melanggar HAM. AS juga membenarkan tindakan pendudukan Israel atas bumi Palestina yang telah sangat jelas menelan banyak korban, tidak hanya kaum lelakinya, tetapi anak-anak, kaum perempuan dan ibu-ibu menjadi korban kebiadaban Israel. Tidak hanya itu, Negara-negara anggota PBB berdiam diri ketika terjadi pelarangan penggunaan jilbab dan kerudung di Perancis, penangkapan dan penyiksaan terhadap perempuan yang berupaya menutup auratnya di Jerman. Demikian pula apa yang dialami oleh Leyla Sahin yang dikeluarkan dari ruang kuliah di Universitas Istambul Turki karena menggunakan pakaian muslimah. Bahkan akhirnya Mahkamah Hak Asasi Manusia memutuskan bahwa Turki boleh melarang penggunaan pakaian muslimah di universitas di seluruh negeri. Bukankah ketika seseorang berupaya menjalankan aturan agamanya dengan benar, tidak boleh ada siapapun menghalanginya apalagi menjatuhkan sanksi ?

Dari beberapa fakta tersebut nampak dengan transparan sebenarnya kalau Negara-negara besar, terutama AS dan beberapa Negara Eropa menjadikan HAM sebagai tameng untuk mengelabui Negara-negara kecil, terutama negeri-negeri muslim serta mengokohkan ideologi mereka (kapitalis-sekular) di tengah-tengah kaum muslimin, yang pada akhirnya menjauhkan kaum muslimin dari hukum-hukum Islam dengan dalih bahwa hukum-hukum Islam mengekang umatnya, mengekang atau mendiskriminasikan perempuan atau bertentangan dengan HAM. Sehingga wajar jika kemudian muncul berbagai aturan yang merupakan turunan dari HAM yang sebenarnya justru mengajak umat Islam, termasuk perempuan untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam yang seharusnya dilaksanakan dengan sempurna oleh umat Islam.

Refleksi HAM Atas Hukum-hukum Perempuan
Kajian tentang HAM ini terus berkembang, hingga muncul istilah-istilah baru diantaranya Hak Asasi Perempuan atau Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan, menyangkut yang lebih spesifik, yaitu hak-hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia sebagai manusia atau sebagai seorang perempuan. Dari sinilah, lahir kemudian berbagai undang-undang ataupun konvensi internasional sebagai upaya agar tujuan mereka berhasil. Salah satunya adalah dihasilkannya Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women/ CEDAW) pada tahun 1979 (ditandatangani pada`tahun 1979 dan mulai berlaku pada tahun 1981). Untuk menguatkan cengkeramannya di negeri-negeri muslim, maka PBB (dalam hal ini AS) mengharuskan setiap negara peserta/anggotannya meratifikasi setiap konvensi ataupun keputusan/ketetapan-ketetapan yang dihasilkan dari konferensi yang diselenggarakan, termasuk CEDAW ini. Konferensi PBB tentang perempuan ke II 1980 di Kopenhagen menguatkan isi konvensi ini. CEDAW ini merupakan konvensi awal yang spesifik, khusus membahas tentang perempuan. Karenanya wajar jika kelahirannya dianggap penting, sebagai momentum gerakan hak asasi perempuan yang selanjutnya mewarnai gerakan perempuan dalam forum internasional dan hukum internasional.

Adanya keharusan untuk mengambil dan melaksanakan hasil konvensi-konvensi internasional oleh setiap negara anggota, menjadikan Indonesia mau tidak mau harus meratifikasi semua instrumen tersebut. Karenanya di Indonesia, CEDAW sendiri sebenarnya telah mengilhami lahirnya berbagai upaya pembuatan hukum atau Undang-undang terutama terkait perempuan, baik keseluruhan maupun sebagian isi, diantaranya UU no.7 Tahun 1984 (ratifikasi dari CEDAW, UU ini menjadi acuan bagi penyelesaian segala macam persoalan perempuan), CLD-KHI, UU PKDRT, UU Pornografi-Pornoaksi dan sebagainya.
1. CLD-KHI (Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam)
Draft ini disusun oleh Kelompok Kerja (PokJa) PUG DEPAG dengan di ketuai oleh Siti Musdah Mulia dengan 10 anggota dan mendapatkan dana dari The Asia Foundation sebesar 6 miliar (termasuk untuk melakukan penelitian di berbagai daerah). Untuk menjaga kualitas draf, Pokja ini tidak bekerja sendirian, tetapi melibatkan sejumlah kontributor aktif yang mewakili beberapa elemen masyarakat Islam,seperti NU, Muhammadiyah, universitas, dan peneliti yang tertarik dalam kajian tersebut. MUI tidak dilibatkan dalam proses ini karena penolakan Komisi Fatwa MUI sejak awal. CLD-KHI pada tahun 2004 menawarkan 23 point untuk pembaruan Hukum Keluarga Islam, diantaranya:

Perkawinan bukan Ibadah,tetapi akad sosial kemanusiaan (muamalah)
Pencatatan perkawinan oleh Pemerintah adalah rukun Perkawinan
Perempuan bisa menikahkan diri sendiri (tanpa wali) dan menjadi wali pernikahan
Mahar bisa diberikan oleh calon suami dan calon istri
Poligami dilarang
Pernikahan dengan pembatasan waktu boleh dilakukan (nikah muth’ah)
Perkawinan antar agama dibolehkan
Istri punya hak talak dan rujuk
Hak dan kewajiban suami istri setara

Dari point- point di atas dapat disimpulkan bahwa tak ada bedanya antara nikah dengan transaksi bisnis, artinya dengan siapa dan caranya tergantung kesepakatan. Bila demikian, apa bedanya dengan perzinahan ? Seringkali Perlindungan terhadap hak perempuan, persamaan hak dan derajat laki-laki dan perempuan, dijadikan alasan lahirnya aturan yang dibuat manusia. Upaya ini selintas nampak menentramkan dan sangat mulia, seolah-olah seluruh permasalahan perempuan bisa terselesaikan. Padahal jika kita perhatikan dengan seksama justru upaya ini sangat membahayakan, tidak hanya bagi kaum perempuan tapi umat secara keseluruhan baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak. Mengapa ? Di balik mulut manisnya tersimpan racun yang sangat berbisa yang dapat menjatuhkan umat Islam kepada jurang kehinaan karena mencampakkan hukum-hukum Allah dan RasulNya. Karena beberapa pasal yang ada di dalamnya justru bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, seorang perempuan menikah tanpa disertai wali, maka pernikahannya tidak sah demikian pula dalam Islam tidak membolehkan perempuan menjadi wali.

لاَ نكاحَ إلاّ بِوَلِيٍِّ

eLaa nikaaha illa biwaliyyi’ (Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali) (HR yang lima kecuali An-Nasai).

اَيُّما امْرأةٍِ نَكَحَتْ بغيرِ إذْنِ وليّها، فنكاحُها باطِلٌُ فنكاحُها باطِلٌُ فنكاحُها باطِلٌُ

‘Perempuan manapun yang menikah tanpa mendapat ijin walinya, maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil (HR yang lima becuali An-Nasai).

لاَ تُزَوِّجُ المرأةُ المرأَةَ ولاَ تزوّجُ المرأَةُ نفسَها فأنّ الزّانيَةَ هِيَ التي تزَوِّجُ نفسَها

‘Seorang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya. Seorang perempuan juga tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya perempuan pezina itu adalah (seorang perempuan) yang menikahkan dirinya sendiri (HR Ibnu Majah dan Daruquthniy)
Jelaslah bahwa upaya pembuatan draft ini merupakan penawaran suatu rumusan Syari’at Islam ‘ BARU’ yang sesuai dengan kehidupan demokrasi dan mencerminkan karakter kebudayaan Indonesia dengan keharusan menegakkan demokrasi dalam Negara kesatuan Indonesia yang tidak saja tidak mampu menyelesaikan seluruh permasalahan perempuan bahkan merupakan upaya yang sangat berbahaya bagi umat karena akan mencegah formalisasi syari’at Islam di Indonesia. Karenanya wajar jika konsep CLD-KHI ini ditolak oleh berbagai pihak, terutama Mentri Agama pada waktu itu dan MUI, karena banyak penyimpangan terhadap hukum-hukum Islam.

2. Undang-Undang no.23/2004 Tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Terkait kekerasan yang terjadi pada kehidupan umum yang melanggar norma HAM, Pemerintah RI telah mengeluarkan kepres no.61 Tahun 2003 tanggal 31 Juli 2003 tentang Rencana Aksi Nasional HAM 1998-2003, dan pada poin (B) tercantum tentang pemajuan dan peningkatan perlindungan hak-hak perempuan. Sedangkan UU no 23/2004 khusus kekerasan dalam rumah tangga. Dengan disahkannya UU no.23 tahun 2004 ini diharapkan dapat menghilangkan kekerasan di rumah tangga. Banyak pihak yang memahami bahwa penyebab terjadinya KDRT adalah sikap laki-laki yang superior terhadap perempuan, sehingga dengan lahirnya UU PKDRT seolah memberi angin segar bagi mereka dan berupaya mensosialisasikan undang-undang ini sesegera mungkin. Apakah benar UU ini akan menyelesaikan permasalahan ?

Jika kita cermati dengan baik, maka banyak pasal-pasal karet di dalamnya yang memberi peluang penafsiran yang banyak terhadap pasal-pasal tersebut. Seluruh pasal yang ada pada UU PKDRT adalah realisasi dari langkah tindak konferensi Beijing terkait dengan kekerasan terhadap perempuan di lingkup rumah tangga. Definisi kekerasan pada undang-undang PKDRT sama persis dengan definisi yang ada pada laporan hasil konferensi Beijing. Definisi tentang kekerasan tersebut lahir dari cara pandang sekularis liberal. Sehingga bentuk-bentuk kekerasan ditentukan pula dari cara pandang tersebut. Akibatnya banyak hal yang termasuk pelaksanaan hukum syara seperti mahar, sunat perempuan, poligami, dipandang sebagai kekerasan.

Setidaknya ada beberapa pasal bermasalah dalam UU PKDRT, di antaranya Pasal 1 Bab I mengenai Ketentuan Umum yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumahtangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga“. Sedangkan apa yang dimaksud kekerasan fisik, seksual, psikologis dan penelantaran rumah tangga diatur dalam Bab III mengenai Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pasal 6, 7, 8 dan 9, yakni (pasal 6) bahwa kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat; (pasal 7) bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang; (pasal bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumahtangga atau terhadap salah seorang dalam lingkup rumahtangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sementara Pasal 9 ayat 2, menyebutkan bahwa penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Selanjutnya dalam Bab VIII, mulai pasal 44 sampai 47 diatur mengenai sanksi pidana yang akan dikenakan kepada pelaku tindak kekerasan. Misalnya saja, kekerasan fisik dikenai denda mulai 5 hingga 45 juta rupiah atau dengan sanksi kurungan mulai dari 4 bulan sampai 15 tahun. Kekerasan psikis, dikenai denda antara 3 hingga 9 juta rupiah atau kurungan selama 4 bulan hingga 3 tahun. Kekerasan seksual (termasuk memaksa isteri) dikenai denda mulai dari 12 juta hingga 300 juta rupiah atau kurungan antara 4 sampai 15 tahun, atau jika menimbulkan luka, gangguan jiwa atau gugurnya janin akan dikurung 5 sampai 20 tahun atau denda 25 juta hingga 500 juta rupiah.

Jika dikaitkan dengan nash, maka hukum Islam membolehkan seorang suami memukul isterinya (dengan pukulan yang tidak melukai) ketika istri melakukan pembangkangan terhadap hukum syara’ terkait kewajiban pelayanan terhadap suami (nusyuz). Dan kebolehan orangtua memukul anaknya yang sudah berumur 10 tahun manakala tidak mau shalat. (Perintahkanlah anak kalian untuk mengerjakan sholat jika sudah sampai usia 7 tahun dan apabila telah berusia sepuluh tahun pukullah ia jika sampai mengabaikannya ( HR Abu Dawud). Pukulan tersebut dalam rangka ta’dib (mendidik), tidak boleh mengenai tempat-tempat yang vital dan tidak membekas/menyakitkan.

Implementasi hukum tersebut dapat dikenai delik pelanggaran terhadap UU KDRT. Demikian pula dengan hukum poligami yang kebolehannya telah ditetapkan syara’ (QS : An-Nisaa’ : 3), keharaman seorang isteri menolak ajakan suaminya ketika tidak ada uzur syar’iy atau hak suami melarang isterinya bekerja yang hukumnya boleh bagi perempuan, bisa dianggap melanggar ketentuan UU tersebut karena semuanya terkatagori tindak kekerasan seksual, psikhis dan penelantaran rumahtangga yang bisa dipidanakan dengan ketentuan sanksi seperti telah dijelaskan. Persoalannya, bisakah aturan yang dibuat oleh manusia ‘mengalahkan’ hukum yang berasal dari Al-Khaliq?

Adanya upaya untuk menarik kasus kerumahtanggaan — yang dalam Islam termasuk ahwal asy-syakhshiyah (perkara perdata)– ke dalam tataran pidana (jârimah) seperti ini sebenarnya bisa berbahaya. Selain akan menggoyahkan dasar-dasar kehidupan pernikahan yang hakekatnya merupakan kehidupan persahabatan dan silaturrahmi dalam kerangka membangun ketaatan kepada Allah, juga akan memunculkan persoalan baru ketika hukum tersebut diterapkan, seperti bagaimana status isteri yang suaminya dipidana 12 tahun karena kasus KDRT atas pengaduan dirinya, apakah cerai atau tidak. Dan jika tidak, bagaimana dengan pelaksanaan hak dan kewajiban keduanya yang satu sama lain masih saling terikat.

3. Undang-Undang Perlindungan Anak
Pada tahun 1990, Indonesia menandatangani ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) berisi pengaturan perlindungan anak. Dengan adanya ratifikasi ini, Indonesia mau tidak mau, berkewajiban melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tindak lanjut dan memenuhi hak-hak anak sesuai butir-butir konvensi. Sebagai bentuk tanggungjawab ratifikasi KHA ini pemerintah mensahkan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Subtansi UU No.23 tahun 2002 diadopsi penuh dari Konvensi Hak Anak Dewan Umum PBB pada 20 November 1989. Bila kita mencermati pasal demi pasal UU No 23/2002, ada sesuatu yang harus dikritisi. Berawal dari pasal tentang definisi anak. Dalam pasal 1 anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan dikaitkan pasal 26 © : Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak . Faktanya usia 18 tahun umumnya sudah dewasa, karena umumnya usia 18 perempuan sudah menstruasi dan laki-laki sudah mimpi basah, dalam Islam 2 hal ini merupakan tanda dewasanya seseorang. Dengan pembatasan ini menjadikan anak-anak terlambat kematangan syakhshiyah (kepribadiannya), sedangkan kematangan biologisnya lebih cepat, apalagi dengan maraknya produk-produk pornografi dan pornoaksi saat ini ditambah lagi dengan adanya larangan menikah dini (pasal 26) maka peluang seks bebas semakin besar.

Pasal 1 (3) : Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami isteri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya, ayah ibu dan anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga. Dari definisi keluarga ini seolah-olah ada pelegalan terhadap perzinahan yang berbuah kepada single parent. Bisa dipahami selanjutnya yang terjadi adalah hancurnya institusi keluarga, karena anak dengan salah satu orang tua (ayah/ibu) sudah bisa dikatakan sebagai keluarga. Indikasi penghancuran keluarga ini juga nampak dalam beberapa pasal yang berkaitan dengan anak terlantar, anak asuh dan anak angkat baik dari definisi yang bisa menimbulkan banyak persepsi juga dari sisi pengasuhan. Adanya badan atau lembaga yang secara hukum memiliki wewenang untuk mengambil alih hak asuh anak dengan dalih perlindungan anak sangat terbuka lebar. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya pengambil alihan hak asuh anak dari orang tuanya, jika orang tuanya dinilai tidak mampu memberi perlindungan terhadap anak. ( pasal 1(5), pasal 1 (6), pasal 1 (9), pasal 1 (10), pasal 7 (2), pasal 30 (1), pasal 33 (1), pasal 34, pasal 35 (1), pasal 37 (1), pasal 37 (2), pasal 39 (4), pasal 55 (1), pasal 55 (2), pasal 57, pasal 58, pasal 72 (1), pasal 72 (2)).

Demikian beberapa upaya legislasi yang dilakukan di Indonesia dengan mengatasnamakan HAM (Hak Asasi Manusia) atau Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan, yang sebenarnya kental dengan propaganda dan ‘pesan-pesan’ untuk menguatkan cengkeraman ideologi negara-negara besar (AS dan beberapa negara Eropa yang menganut ideologi kapitalis-sekular). Telah sangat jelas penyimpangannya dari aturan-aturan Allah dan RasulNya. Karenanya sudah saatnya kita membuang jauh-jauh seluruh pemikiran kapitalis sekular dan seluruh produknya, termasuk konsep HAM dan turunannya dari benak dan kehidupan kita dan umat Islam, kemudian menggantinya dengan pemikiran dan sistem yang dibuat oleh Sang Maha Pencipta Manusia dan alam semesta, Allah swt. Yaitu sistem dan aturan-aturan Islam. Karena hanya aturan yang dibuat Sang Pencipta sajalah yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal, yang pada akhirnya membawa manusia kepada ketenangan. Kinilah saatnya umat Islam berjuang menegakkan aturan-aturan Islam secara kaaffah dalam institusi Daulah Khilafah Rasyidah ‘ala minhaajin nubuwwah untuk menjadi pemimpin dunia.
Wallahu A’lam`bishawwab

Daftar Pustaka
1. Aliansi Penulis Pro Syariah. Keadilan dan Kesetaran Gender Tipu Daya Penghancuran Keluarga.2007
2. An-Nizhomul Ijtima’iy fil Islam. Taqiyyuddin An-Nabhani. Beirut
3. Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW. Sri Wiyanti Eddyono. Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Jakarta. 2004
4. Kumpulan Makalah Forum Kajian Tokoh Muslimah. Di balik Perdebatan Nikah Siri. MHTI. 2009
5. Makalah Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Yefrizawati. Program Studi Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2005.
6. Beberapa edisi Al-Waie

sumber : www.hizbut-tahrir.or.id