Monday, December 2, 2013

HAKIKAT NEGARA KHILAFAH (2)

HAKIKAT NEGARA KHILAFAH (2)


KHILAFAH NABHANIYAH?
Jika dikatakan bahwa bentuk khilafah yang dipaparkan di sini adalah khilafah versi Hizbut Tahrir, menurut saya, sebenarnya pernyataan itu sangat berbau ashabiyah. Sebab, ijtihad versi siapa pun, tetap dinilai sebagai ijtihad islami, selama berdasarkan dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu, siapapun, baik individu atau kelompok, sah-sah saja melakukan ijtihad serupa (tentang struktur pemerintahan khilafah), asalkan berdasarkan hujjah yang kuat. Oleh karena itu, jika ada orang yang menyatakan bahwa bentuk negara khilafah yang akan dipaparkan di sini adalah khilafah versi Hizbut Tahrir (Khilafah Nabhaniyah), bukan Khilafah Nubuwwah, adalah pernyataan yang menikam. Bukan Hizbut Tahrir yang ditikam, tetapi pemikiran Islam (Islamic Thought) itulah yang ditikam. Na’udzubillah.

Perjuangan penegakan kembali khilafah Islam, telah dimulai sejak hampir seabad yang lalu. Sejak tahun pertama negara khilafah Usmaniyah diruntuhkan oleh agen Yahudi, Musthafa Kamal Pasha Attaturk, maka para ulama pun bereaksi dengan menggelar berbagai konferensi atau muktamar untuk mengembalikan institusi politik Islam itu. Tercatat Syaikh Haji Rasul (ayah dari ulama besar Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah) adalah tokoh yang turut menghadiri muktamar tersebut, untuk mengembalikan tegaknya khilafah Islamiyah. Bahkan, saat itu telah ada orang yang mendakwakan diri sebagai khalifah, yaitu Husein bin Ali dari Hijjaz, dan Raja Fuad dari Mesir. Namun, mereka tidak diakui sebab dianggap tidak mewakili kekuasaan umat Islam, tetapi hanya sebagian umat saja.

Para ulama kontemporer juga telah banyak yang menyepakati akan wajibnya sebuah kekhalifahan. Hizbut Tahrir, termasuk salah satu kelompok yang mewajibkan tegaknya khilafah Islam. Bahkan Hizbut Tahrir telah mempersiapkan konsep negara khilafah yang akan berdiri kelak dengan sistem pemerintahan Islam, sistem politik dalam dan luar negeri Islam, sistem sosial Islam, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, dan lain sebagainya. Namun yang mengherankan, di tengah-tengah tumbuhnya semangat mengembalikan tegaknya negara khilafah (dengan berbagai metodenya, termasuk Hizbut Tahrir), ada saja orang masih meragu-ragukan dengan menyatakan bahwa ijtihad itu hanya versi Taqiyuddin An Nabhani, sehingga negara khilafah hasil rancangan Hizbut Tahrir adalah negara Khilafah Nabhaniyah bukan negara Khilafah Nubuwwah.

Yang menggelikan lagi, orang yang meragukan atau menolak hasil ijtihad Hizbut Tahrir itu, sama sekali tidak mampu memberikan argumen yang kuat ketika disuruh menjabarkan maksud dari ‘khilafah ‘ala minhajin nubuwwah’. Ya, mereka yang menolak ijtihad Hizbut Tahrir itu pada umumnya tidak memahaminya, dan tidak mampu menjelaskan maksud dari ‘khilafah ‘ala minhajin nubuwwah’. Padahal, mereka mewajibkannya.

Sungguh aneh, ada orang yang mewajibkan tegaknya negara khilafah, tidak memiliki gambaran tentang negara khilafah, tetapi ketika ada orang yang berusaha memberikan tentang negara khilafah, maka dia menolaknya. Jika demikian, lalu dia mau menegakkan negara apa?

Ingat, negara khilafah yang akan berdiri kelak adalah negara khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Negara khilafah ‘ala minhajin nubuwwah adalah negara khilafah yang didirikan atas manhaj (metode) Rasulullah saw. dan dijalankan dengan metode Rasulullah saw. pula. Bagaimana cara mengetahui cara menjalankannya sesuai metode Rasul saw.? Tentu, tidak lain adalah dengan dalil-dalil syar’I baik dari Alquran maupun Sunnah Rasulullah saw. Dan, ijtihad yang dilakukan Hizbut Tahrir tentang sistem khilafah dan bagaimana menjalankan pemerintahannya, adalah berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasulullah saw. dengan hujjah yang kuat. Oleh karena itu, khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang dimaksud adalah khilafah yang dijalankan dengan dalil-dalil syar’i, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas Syar’i. Jika Hizbut Tahrir telah menjelaskan hal tersebut dalam berbagai kitabnya, lalu mengapa masih pula menolaknya?

Jika demikian, lalu khilafah 'ala minhajin nubuwwah seperti apa yang dimaksud?

HAKIKAT NEGARA KHILAFAH

Khilafah, secara etimologis, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi syar'i, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Batasan “kepimpinan umum” mempunyai konotasi, bahwa khilafah Islam bertugas mengurusi seluruh urusan, yang meliputi pelaksanaan semua hukum syara’ terhadap rakyat, tanpa terkecuali meliputi muslim dan non-muslim. Mulai dari masalah akidah, ibadah, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, semuanya diurus oleh khilafah Islam.

Bentuk dan sistem pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:
a. Negara Islam tidak berbentuk federasi ataupun persemakmuran (commonwealth), tetapi berbentuk kesatuan (union).

b. Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan (monarki), baik absolut, seperti kerajaan Saudi Arabia, maupun perlementer, seperti kerajaan Malaysia. Juga tidak berbentuk republik, baik presidensial, seperti Indonesia, maupun parlementer, seperti Rusia. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah, dimana khalifah tidak seperti presiden, juga tidak seperti perdana menteri, atau raja.

c. Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk demokrasi, teokrasi, ataupun autokrasi. Tetapi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah yang tidak sama dengan model pemerintahan yang ada di dunia saat ini.

d. Sistem pemerintahan Islam berbentuk sentralisasi, sedangkan administrasi atau birokrasinya menganut sistem desentralisasi.

e. Bentuk negara Islam yang sesungguhnya juga bukanlah bentuk negara bangsa (nation-state) seperti yang digagas oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo dengan Negara Islam Indonesianya. Tetapi bentuk negara Islam adalah bentuk negara global internasional, sebagai bentuk persatuan umat Islam sedunia.

Sistem khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang menerapkan hukum-hukum Allah Tuhan Semesta Alam yang diperuntukkan bagi manusia. Banyak hukum yang mengatur masalah khilafah Islam ini telah dibahas oleh ulama fiqih, yang sudah tidak terhitung jumlahnya, baik yang ditulis ulama klasik maupun kontemporer.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN MONARKI

Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem monarki, maupun yang sejenis dengan sistem monarki.

Dalam sistem monarki, pemerintahannya menerapkan sistem waris (putra mahkota), dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya, seperti kalau mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris. Namun, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibaiat oleh umat dengan penuh ridha dan bebas memilih.

Sistem monarki telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara pribadi raja memiliki kekebalan hukum. Dan kadangkala raja/ratu hanya simbol bagi rakyat, dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, sebagaimana raja-raja di Eropa, seperti yang terjadi di Inggris. Atau kadangkala, ada yang menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Dimana raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan sesuka hatinya, sebagaimana raja di Saudi, Maroko, dan Yordania. Termasuk juga, raja-raja Hindu pada zaman dahulu.

Lain halnya dengan sistem Islam. Sistem Islam tidak pernah memberikan kekhususan kepada khalifah atau imam (kepala negara) dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak khusus. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan hak rakyat biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi rakyat namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Khalifah juga bukan sebuah simbol yang berkuasa dan bisa memerintah serta mengendalikan negara beserta rakyatnya dengan sesuka hatinya. Tetapi, khalifah adalah pihak yang mewakili umat/rakyat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka baiat agar menerapkan syariat Allah. Sehingga khalifah juga tetap harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum. serta pelayanannya terhadap kepentingan umat/rakyat.

Di samping itu, dalam pemerintahan Islam tidak mengenal wilayatul ahdi (putra mahkota). Justru Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan Islam juga menolak mengambil pemerintahan dengan cara waris. Islam telah menentukan cara mengambil pemerintahan yaitu dengan baiat dari umat kepada khalifah atau imam, dengan penuh ridha dan bebas memilih.

Adapun yang terjadi pada masa Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Usmaniyah, maka sebenarnya hal itu adalah penyimpangan terhadap syariat, yang tidak akan mempengaruhi sedikit pun hukum wajib tidaknya menerapkan syariat Islam. Hizbut Tahrir mengakui, adanya kesalahan dalam penerapan syariat Islam pada masa dulu memang terjadi. Namun, perlu diingat, bahwa para putra mahkota yang diangkat, juga melalui proses baiat. Bukan semata-mata diangkat menjadi pemimpin. Oleh karena itu, sekalipun terjadi penyimpangan dalam menjalankan negara khilafah pada masa dulu, tetapi tetap bisa disebut sebagai negara khilafah, dengan adanya baiat itu.

Lagipula, pada umumnya orang yang menyatakan bahwa kekuasaan umat Islam zaman dulu bukanlah sistem kekhalifahan tetapi kerajaan, adalah orang yang menentang khilafah dan lebih pro terhadap sistem selain sistem Islam, seperti demokrasi atau yang lainnya. Tetapi masalahnya, ketidakadilan muncul di sini. Jika mereka adil, seharusnya buruknya penerapan sistem demokrasi, juga tidak bisa membuat negara yang menerapkan sistem demokrasi disebut sebagai negara demokrasi. Contohnya Amerika dan Indonesia. Bagi pegiat demokrasi, sekalipun Amerika dan Indonesia mengalami penyimpangan dalam penerapan demokrasi, tetap disebut sebagai negara demokrasi. Lalu mengapa, jika terjadi penyimpangan sedikit saja terhadap sistem pemerintahan Islam, langsung dikatakan bahwa itu bukanlah sistem khilafah? Sesungguhnya, sikap seperti ini hanya muncul dari orang-orang bermental penjajah, tidak bangga dengan keislamannya, dan memiliki sikap tidak adil dalam dirinya.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN REPUBLIK

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem republik berdiri di atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya jelas di tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta mengubahnya.

Rakyatlah yang menjadikan khamr legal dan tidak legal. Rakyatlah yang menjadikan klun-klub malam dinilai legal dan tidak legal. Rakyatlah yang menentukan Ahmadiyah itu diakui atau tidak diakui.

Sementara sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar akidah Islam, serta hukum-hukum syara'. Dimana kedaulatannya di tangan syara', bukan di tangan umat/rakyat. Dalam hal ini, baik umat maupun khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Karena yang berhak membuat aturan adalah Allah SWT. semata.

Sedangkan khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak untuk memecat khalifah. Karena yang berhak memecat khalifah adalah syara' semata. Akan tetapi, umat tetap berhak untuk mengangkatnya. Sebab Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat orang yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi wakil mereka.

Dalam sistem republik dengan bentuk presidensiilnya, seorang presiden memiliki wewenang sebagai seorang kepala negara serta wewenang sebagai seorang perdana menteri, sekaligus. Karena tidak ada perdana menteri dan yang ada hanya para menteri, semisal presiden Amerika. Sedangkan dalam sistem republik dengan bentuk parlementer, terdapat seorang presiden sekaligus dengan perdana menterinya. Dimana wewenang pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, bukan presiden. Seperti republik Prancis dan Jerman Barat.

Sedangkan di dalam sistem khilafah tidak ada menteri, maupun kementerian bersama seorang khalifah seperti halnya dalam konsep demokrasi, yang memiliki spesialisasi serta departemen-departemen tertentu. Yang ada dalam sistem khilafah Islam hanyalah para mu'awin yang senantiasa dimintai bantuan oleh khalifah. Tugas mereka adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah para pembantu dan sekaligus pelaksana. Ketika khalifah memimpin mereka, maka khalifah memimpin mereka bukan dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan hanya sebagai kepala negara. Sebab, dalam Islam tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan memiliki wewenang tertentu. Sehingga mu'awin tetap hanyalah pembantu khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenangnya.

Selain dua bentuk tersebut --baik presidensiil maupun parlementer-- dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab di depan rakyat atau yang mewakili suara rakyat. Dimana rakyat beserta wakilnya berhak untuk memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.

Kenyataan ini berbeda dengan sistem kekhilafahan. Karena seorang amirul mukminin (khalifah), sekalipun bertanggungjawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat termasuk para wakilnya tidak berhak untuk memberhentikannya. Amirul mukminin juga tidak akan diberhentikan kecuali apabila menyimpang dari hukum syara' dengan penyimpangan yang menyebabkan harus diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya adalah hanya mahkamah mazhalim.

Kepemimpinan dalam sistem republik, baik yang menganut presidensiil maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin bisa melebihi dari masa jabatan tersebut. Sementara di dalam sistem khilafah, tidak terdapat masa jabatan tertentu. Namun, batasannya hanyalah apakah masih menerapkan hukum syara' atau tidak. Karena itu, selama khalifah melaksanakan hukum syara', dengan cara menerapkan hukum-hukum Islam kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, yang diambil dari kitabullah serta sunah Rasul-Nya maka dia tetap menjadi khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang. Dan apabila dia telah meninggalkan hukum syara' serta menjauhkan penerapan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun baru sehari semalam. Sehingga tetap wajib diberhentikan.

Dari pemaparan di atas, maka nampak jelas perbedaan yang sedemikian jauh antara sistem kekhilafahan dengan sistem republik, antara presiden dalam sistem republik dengan khalifah dalam sistem Islam. Karena itu, sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem republik, atau mengeluarkan statemen: "Republik Islam". Sebab, terdapat perbedaan yang sedemikian besar antara kedua sistem tersebut pada aspek asas yang menjadi dasar tegaknya kedua sistem tersebut, serta adanya perbedaan di antara keduanya baik dari segi bentuk maupun substansi-substansi masalah berikutnya.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN KEKAISARAN

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem kekaisaran jauh sekali dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah dengan sistem Islam --sekalipun ras dan sukunya berbeda serta sentralisasi pada pemerintah pusat, dalam masalah pemerintahan-- tidak sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan, berbeda jauh dengan sistem kekaisaran, sebab sistem ini tidak menganggap sama antara ras satu dengan yang lain dalam hal pemberlakuan hukum di dalam wilayah kekaisaran. Dimana sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah pusat.

Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam wilayah-wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras). Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang non Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam. Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat --apapun mazhabnya-- yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim. Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan sistem kekaisaran.

Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan ekploitasi serta lahan subur yang senantiasa dikeruk untuk wilayah pusat. Dimana wilayah-wilayah tersebut tetap menjadi satu kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara wilayah tersebut dengan ibu kota negara Islam. Begitu pula masalah keragaman ras warganya. Sebab, setiap wilayah dianggap sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-sama memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat, atau wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabatnya, sistem serta perundang-undangannya sama semua dengan wilayah-wilayah yang lain.

PEMERINTAHAN ISLAM BUKAN FEDERASI

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Yang mecakup seluruh negeri seperti Marakis di bagian barat dan Khurasan di bagian timur. Seperti halnya yang dinamakan dengan mudiriyatul fuyum ketika ibu kota Islam berada di Kairo. Harta kekayaan seluruh wilayah negera Islam dianggap satu.

Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan hartanya. Kalau seandainya ada wilayah, yang pendapatan daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka negara Islam tidak akan mempertimbangkannya. Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.

Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk federasi, melainkan berbentuk kesatuan. Karena itu, sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang berbeda sama sekali dengan sistem-sistem yang telah populer lainnya saat ini. Baik dari aspek landasannya maupun substansi-substansinya. Sekalipun dalam beberapa prakteknya hampir ada yang menyerupai dengan praktek dalam sistem yang lain.

Di samping hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi, dimana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas yang penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil maupun yang besar. Negara Islam juga tidak akan sekali-kali mentolelir terjadinya pemisahan salah satu wilayahnya, sehingga wilayah-wilayah tersebut tidak akan lepas begitu saja. Negaralah yang akan mengangkat para panglima, wali dan amil, para pejabat dan penanggung jawab dalam urusan harta dan ekonomi. Negara juga yang akan mengangkat para qadli di setiap wilayahnya. Negara juga yang mengangkat orang yang bertugas menjadi pejabat (hakim). Disamping negara yang akan mengurusi secara langsung seluruh urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh negeri.

KESIMPULAN

Pendek kata, sistem pemerintahan di dalam Islam adalah sistem khilafah. Dan ijma' sahabat telah sepakat terhadap kesatuan khilafah dan kesatuan negara serta ketidakbolehan berbaiat selain kepada satu khalifah. Sistem ini telah disepakati oleh para imam mujtahid serta jumhur fuqaha'. Yaitu apabila ada seorang khalifah dibaiat, padahal sudah ada khalifah yang lain atau sudah ada baiat kepada seorang khalifah, maka khalifah yang kedua harus diperangi, sehingga khalifah yang pertama terbaiat. Sebab secara syar'i, baiat telah ditetapkan untuk orang yang pertama kali dibaiat dengan baiat yang sah.

Demikianlah sistem khilafah yang telah diijtihad Hizbut Tahrir. Benar, banyak orang menolaknya. Tetapi tidak sedikit yang menerima. Insya Allah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah akan segera kembali.

Wallahu a'lam

Al Ustadz Fauzi Sinnuqarth

Al Ustadz Fauzi Sinnuqarth berkata,

Saya ingat, pertama kali Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan masalah khilafah, ketika berada di Masjidil Aqsa yang penuh berkah, di salah satu sudut sebelah barat daya. Di sana terdapat ruangan yang memanjang. Beliau berbicara kepada orang banyak setelah salat Jumat, suatu pembicaraan yang sangat menyentuh dan jelas. Di sekeliling beliau ketika itu berkumpul ratusan orang. Beliau menceritakan kepada mereka Sirah Nabawiyah. Sesekali beliau menceritakan wafatnya Rasulullah saw dan bagaimana kaum muslim setelah beliau wafat; mereka menyibukkan diri di Saqifah Bani Saidah untuk mengangkat seorang khalifah bagi mereka, sementara mereka membiarkan pemakaman Beliau sampai baiat kepada Abu Bakar As Siddiq berhasil dilakukan. Jadi, itu merupakan pembahasan dan pembicaraan pertama tentang pengangkatan khalifah serta seruan untuk menegakkan khilafah. Peristiwa ini terjadi tepat pada tahun 1950

Agus trisna .

Berikut ini adalah kata-kata yang diungkapkan dengan penuh keberanian

Berikut ini adalah kata-kata yang diungkapkan dengan penuh keberanian. Dicuplik dari berbagai sumber.

Ketika Rasulullah dibujuk oleh pamannya (Abu Thalib) untuk mau mengikuti keinginan orang-orang Quraisy dan diberikan harta dan kuasa, maka dengan tegas Rasulullah pun berkata,

"Wahai pamanku, demi Allah, walau pun mereka menaruh matahari di sebelah kanan ku dan bulan di sebelah kiriku supaya aku meninggalkan urusan agama ini, niscaya sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya, sampai Allah memenangkan agamanya atau aku binasa karenanya."

Ketika terjadi Perang Mu'tah yang jumlah kaum muslimin 3.000 orang menghadapi pasukan Romawi yang berjumlah 200.000, Abdullah bin Rawahah memberikan semangat tempur bagi kaum muslimin,

"Wahai kaum muslimin, sesungguhnya yang paling kami sukai pada saat kalian keluar (untuk berjihad) adalah kalian mencari syahid. Kita tidak memerangi manusia dengan jumlah personel, juga tidak memerangi mereka dengan kekuatan dan banyaknya pasukan yang kita miliki. Kita tidak memerangi mereka melainkan dengan agama yang dengannya Allah telah memuliakan kita. Karena itu, berangkatlah. Sesungguhnya hasil dari perang ini hanyalah satu di antara dua kebaikan: menang atau mati syahid."

Suatu ketika seorang murid dari Imam Izzuddin bin Abdus Salam bertanya kepada gurunya ketika gurunya sedang menasehati penguasa, "Apakah Anda tidak takut kepadanya?" Sang imam menjawab,

"Demi Allah, sungguh! Ketika aku sudah menghadirkan kebesaran Allah dalam diriku, maka di hadapanku, penguasa itu tidak lebih dari seekor kucing."

Demikian pula, ketika Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dipanggil Raja Abdullah (Raja Yordania), dan beliau ditanya, "Apakah Anda akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah Anda juga akan memusuhi orang kami musuhi, ya syaikh?" Maka Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pun berkata kepada dirinya sendiri, "Jika aku lemah menyampaikan kebenaran hari ini, lalu apa yang akan aku ucapkan kepada orang2 sesudahku nanti?" Lalu beliau pun berdiri dan berkata kepada Raja Abdullah,

"Aku telah berjanji kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi agama Allah dan akan memusuhi orang-orang yang memusuhi agama Allah. Dan aku sangat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik."

Subhanallah..

Monday, December 3, 2012

Kejahatan Yahudi


Insya ALLAH perkiraan umur negara israel tidak lebih dari 76 tahun sejak berdirinya negara tersebut ( tahun 1948 ). Dan jANJI Allah Kehancuran Israel Menurut Al
-Qur'an dan Hadits

Kejahatan Yahudi
Tragedi Flotilla pekan lalu benar-benar meng
getarkan hati manusia di seluruh dunia yang masih memiliki nurani kemanusiaan. Sehingga kutukan terhadap kebiadaban Israel terus mengalir dari berbagai belaha
n dunia. Tragedi itu menunjukkan dengan kasat mata, betapa kejahatan Israel tidak memandang agama, ras, dan nilai-nilai kemanusiaan. Pokoknya siapa saja yang menentang kebijakan Israel memblokade Gaza akan mereka serang dengan cara apa pun. Kejahatan semacam ini belum seberapa dibandingkan dengan kejahatan nenek moyang mereka terhadap para Nabi. Berikut ini sejumlah kejahatan Yahudi yang direkam oleh Al-Qur’an dan Hadits.
Allah Ta'ala berfirman:

وَقَضَيْنَا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا

"Dan telah Kami tetapkan bagi Israil dalam al-Kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”. (QS. Al-Isra: 4)

Kejahatan Yahudi disebabkan sifat dengki mereka:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

“Sebagian besar Ahli Kitab (Yahudi) menginginkan sekali agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena kedengkian yang timbul dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran......". (QS. Al-Baqarah: 109)

Makar jahat mereka yang pertama terjadi pada zaman Nabi Ya’qub, moyang mereka. Mereka berkeinginan menyingkirkan saudaranya sendiri, Yusuf yang berakhlaq mulia sehingga mereka lebih dicintai bapaknya. (QS.Yusuf: 7-18). Kegemaran mereka membunuh para Nabi dan Rasul seperti membunuh Nabi Yahya secara kejam yaitu memenggal lehernya dan kepalanya diletakkan di nampan emas. Nabi Zakaria juga dibunuh secara keji, yaitu dengan digergaji tubuhnya. Kedua pembunuhan ini terjadi pada masa pemerintahan raja Herodes. Mereka juga gemar membunuh orang-orang sholeh lainnya.

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآَيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar, dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka dengan siksa yang pedih". (QS. Ali Imran: 21)

Yahudi telah membunuh para Nabi dan Rasul seperti membunuh Nabi Yahya secara kejam dengan memenggal lehernya dan kepalanya diletakkan di nampan emas. Nabi Zakaria juga dibunuh secara keji dengan digergaji tubuhnya.

Nabi Isa pun tidak luput dari rencana busuk mereka, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkannya. “Dan karena ucapan mereka: Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih Isa ibnu Maryam Rasul Allah”. Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh dan salib itu ialah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (Yudas Iskaryot). Sesungguhnya orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan Isa) benar-benar dalam keraguan tentang (yang dibunuh) itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak yakin bahwa yang mereka bunuh itu Isa”. (QS. An-Nisa’: 157).

Zu Nuwas adalah seorang raja Yahudi Najran di Yaman yang sangat fanatik, tidak ingin ada agama lain di daerah kekuasaannya. Alkisah ada sekelompok pengikut Nabi Isa yang setia (Nasrani), ketahuan oleh mata-mata kerajaan. Lalu mereka dipaksa murtad dan masuk Yahudi, siapa tidak mau akan dibakar hidup-hidup. Raja Zu Nuwas memerintahkan pasukannya untuk menggali parit dan menyiapkan kayu bakar, yang akan digunakan untuk membakar umat Nasrani yang tidak mau murtad. Kejadian ini dikisahkan di dalam Al-Qur’an: "Binasalah orang-orang yang membuat parit, yang berapi dinyalakan dengan kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu, melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj: 4-8)

Singkat cerita, kejahatan Yahudi pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam-pun tak kurang kejinya. Yahudi Bani Qainuqa' adalah Yahudi pertama yang mengingkari janjinya dengan Rasulullah, pemicunya adalah diganggunya seorang muslimah yang datang ke pasar mereka. Ia duduk di depan salah seorang pengrajin perhiasaan, mereka merayunya agar membuka cadar yang dipakainya namun ia menolak. Lalu si pengrajin menarik ujung baju si wanita dan mengikatkannya ke punggung wanita tadi, ketika berdiri terbukalah auratnya, lalu mereka menertawakannya. Sang wanita pun berteriak minta tolong. Seorang lelaki muslim mendengar lalu menerjang si pengrajin dan membunuhnya. Melihat kejadian itu orang-orang Yahudi mengerumuninya, dan beramai-ramai membunuh lelaki muslim tersebut. Mendengar berita kematian lelaki itu, maka keluarganya menuntut pertanggungjawaban orang-orang Yahudi. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang bersama para sahabat mengepung mereka selama 15 malam. Atas perintah beliau mereka diberi hukuman untuk meninggalkan Madinah.
Yahudi Bani Nadhir melakukan pengkhianatan yang kedua. Suatu saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pergi ke perkampungan Yahudi bani Nadhir untuk meminta diyat (denda) dua orang muslim yang terbunuh dari Bani Amir, yang melakukan pembunuhan adalah Amr bin Umayyah Ad-Dhimari, seorang Yahudi. Permintaan itu diajukan karena sudah adanya ikatan perjanjian persahabatan antara Rasulullah dengan mereka. Ketika beliau datang mengutarakan maksud kedatangannya, mereka berkata: “Baik wahai Abu Qasim! kami akan membantumu dengan apa yang engkau inginkan.”

Pada saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam duduk bersandar di dinding rumah mereka, kemudian mereka saling berbisik, kata mereka: “Kalian tidak pernah mendapati lelaki itu dalam keadaan seperti sekarang ini, ini kesempatan buat kita. Karena itu hendaklah salah seorang dari kita naik ke atas rumah dan menjatuhkan batu karang ke arahnya”, dan untuk tugas ini diserahkan kepada Amr bin Jahsy bin Ka’ab. Lantas ia naik ke atas rumah guna melaksanakan rencana pembunuhan ini, tetapi Allah melindungi Rasul-Nya dari makar orang-orang Yahudi tersebut dengan mengirimkan berita lewat Malaikat Jibril tentang rencana jahat itu. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bergegas pulang ke Madinah, dan memberitahukan kepada para sahabatnya tentang usaha makar tersebut. Beliau memerintahkan para sahabatnya untuk bersiap-siap pergi memerangi mereka. Ketika orang Yahudi Bani Nadhir mengetahui kedatangan pasukan Rasulullah, mereka cepat pergi berlindung di balik benteng. Pasukan Islam mengepung perkampungan mereka selama 6 malam, beliau memerintahkan untuk menebang pohon kurma mereka dan membakarnya. Kemudian Allah memasukkan rasa gentar dan takut di hati mereka, sehingga mereka memohon izin kepada Rasulullah untuk keluar dari Madinah dan mengampuni nyawa mereka. Mereka juga meminta izin untuk membawa harta seberat yang mampu dipikul unta-unta mereka kecuali persenjataan, dan Rasulullah pun mengizinkannya.
Peristiwa ini direkam oleh Al-Qur’an:

هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ

"Dialah yag mengeluarkan orang-orang kafir di antara Ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari siksaan Allah, maka Allah mendatangkan kepada mereka hukuman dari arah yang mereka tidak sangka. Dan Allah menancapkan ketakutan di dalam hati mereka, dan memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang beriman. Maka ambillah kejadian itu untuk menjadi pelajaran wahai orang yang mempunyai pandangan". (QS. al-Hasyr: 2)

Yahudi Bani Quraizhah melakukan pengkhianatan yang ketiga. Mereka membentuk pasukan Koalisi (al-Ahzab), antara pasukan musyrik dan pasukan Yahudi. Suku Quraisy dipimpin Abu Sufyan ibnu Harb, suku Gathafan di bawah pimpinan Uyainah ibnu Hushn, suku bani Murrah di bawah pimpinan Harits ibnu Auf dan suku-suku yang lain, sementara pasukan Yahudi bani Quraizhah akan menusuk dari belakang. Peperangan Al-Ahzab itu betul-betul menyesakkan dada kaum muslimin yang terkepung, apalagi tingkah golongan munafik yang membuat goyah pasukan Islam. Berkat kesabaran kaum muslimin, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengirim pasukan Malaikat dengan mendatangkan serangan berupa angin topan dan guntur yang memporak-porandakan pasukan koalisi. Mereka kocar-kacir, dan pulang ke tempat masing-masing dengan membawa kekalahan. Tinggallah Yahudi Bani Quraizhah, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengumumkan kepada pasukan Islam: “Bagi mereka yang mau mendengar dan taat agar jangan shalat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”

Kaum muslimin langsung bergerak menuju perkampungan Yahudi Bani Quraizah, dan mengepung mereka selama 25 malam. Orang-orang Yahudi tersebut benar-benar dicekam rasa ketakutan, lalu memohon kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam agar memberikan izin kepada mereka untuk keluar, sebagaimana yang beliau lakukan kepada Yahudi Bani Nadhir. Beliau menolak permohonan mereka, kecuali mereka keluar dan taat pada keputusan beliau. Kemudian Rasululah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyerahkan keputusan atas mereka kepada Sa’ad ibnu Mu’adz pemimpin suku Aus. Keputusan telah ditetapkan yaitu: laki-laki dewasa dieksekusi, harta dirampas, anak-anak dan wanita menjadi tawanan. Hukuman terhadap pengkhianatan Bani Quraizhah lebih berat dari pada Bani Qainuqa' dan Bani Nadzir, karena dampak dari pengkhianatan mereka hampir saja merontokkan moral kaum muslimin dan membahayakan nyawa mereka semua.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا وَجُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالًا شَدِيدًا

"Hai orang-orang yang beriman ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. Yaitu ketika datang (musuh) dari atas dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatanmu dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan, dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka disitulah diuji orang-orang mukmin, dan digoncangkan hatinya dengan goncangan yang sangat". (QS. al-Ahzab: 9-11)
Kehancuran Yahudi
Secara global Al-Qur’an mengabarkan kehancuran Yahudi, seperti firman-Nya:

فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآَخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا
"Dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan Israel) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang Islam di bawah pimpinan Imam Mahdi) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam Masjid (Al-Aqsha), sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama, dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa yang mereka kuasai”. (QS. Al-Isra’: 7)

Sejak 1948 Yahudi merampas tanah Palestina. Dan sejak 2006 sampai sekarang mereka memblokade Gaza. Sehingga sekitar 1,5 juta jiwa muslim terkurung rapat dari dunia luar. Berbagai upaya kemanusiaan untuk membantu mereka selalu digagalkan oleh Israel, termasuk misi kemanusiaan yang baru saja diserang pasukan komando Israel di perairan Gaza (Laut Mediterania). Tidak ada kekuatan di dunia ini yang mampu menghentikan kebiadaban Israel. Pengepungan dan pemenjaraan massal oleh penjajah Israel dengan pembangunan tembok pemisah dimulai 16 Juni 2002 di Tepi Barat dengan dalih pengamanan. Panjang tembok tersebut mencapai 721 km sepanjang Tepi Barat, tinggi 8 meter sehingga mengisolasi lahan pertanian milik penduduk Palestina yang ditanami berbagai buah, seperti anggur dan zaitun. Hal ini berakibat perekonomian Palestina terpuruk. Pengepungan ini sudah dinubuwatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Hampir tiba masanya tidak dibolehkan masuk (embargo) kepada penduduk Iraq meski hanya satu qafiz makanan dan satu dirham," Kami bertanya dari mana larangan itu? Beliau menjawab: "Dari orang-orang asing yang melarangnya." Kemudian berkata lagi: "Hampir tiba masanya tidak diperbolehkan masuk (blokade) kepada penduduk Syam (Palestina) meski hanya satu dinar dan satu mud makanan." Kami bertanya: "Dari mana larangan itu? Beliau menjawab: Dari orang-orang Romawi." (HR. Muslim)

Siapa kekuatan yang mampu menghancurkan Israel? Pasukan Islam dari Khurasan (Afghanistan) dengan bendera-bendera hitam, . . (al-Hadits)

Siapa kekuatan yang mampu menghancurkan Israel? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan: “Akan muncul dari Khurasan (Afghanistan) bendera-bendera hitam, maka tidak ada seorang pun yang mampu mencegahnya, sehingga bendera-bendera itu ditancapkan di Eliya (al-Quds)“. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Nu’aim bin Hammad). Kehancuran Israel berarti kiamat telah dekat, sehingga banyak orang mempertahankan eksistensi Negara Israel tersebut, namun janji Allah dan Rasul-Nya pasti akan terlaksana:

“Tidak akan terjadi kiamat sehingga kaum muslimin memerangi bangsa Yahudi, sampai-sampai orang Yahudi berlindung di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon tadi akan berbicara; Wahai orang Islam, hai hamba Allah! di belakangku ada orang-orang Yahudi, kemarilah, bunuhlah dia, kecuali pohon Ghorqod, sebab ia itu sungguh pohonnya Yahudi”. (HR. Ahmad)

“Kalian akan memerangi orang-orang Yahudi sehingga seorang diantara mereka bersembunyi di balik batu. Maka batu itu berkata, “Wahai hamba Allah, inilah si Yahudi di belakangku, maka bunuhlah ia”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (2767), dan Muslim dalam Shahih-nya (2922)].
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits ini terdapat tanda-tanda dekatnya hari kiamat, berupa berbicaranya benda-benda mati, pohon, dan batu. Lahiriahnya hadits ini (menunjukkan) bahwa benda-benda itu berbicara secara hakikat”. Wallahu a’lam.

Allah tidak dikatakan bagi-Nya "di luar", "di dalam", "menempel", dan atau "terpisah"



Allah tidak dikatakan bagi-Nya "di luar", "di dalam", "menempel", dan atau "terpisah"


oleh AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT pada 16 April 2010 pukul 11:50 ·
Kaum Musyabbihah (wahabi sekarang) memiliki kerancuan yang sangat menyesatkan, menyebutkan jika Allah ada tanpa tanpa tempat dan tanpa arah berarti sama dengan menafikan wujud Allah. Kemudian dari kesesatan mereka ini, mereka menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata: ”Pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat yang sama saja dengan menafikan wujud Allah”.

Cukup untuk membantah kesesatan mereka ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan benda; Dia bukan benda berbentuk kecil juga bukan benda berbentuk besar. Dan oleh karena Dia bukan benda maka keberadaan-Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan bagi-Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para ulama terkemuka dikalangan Ahlussunnah dari empat madzhab. Dan inilah pula keyakinan kaum Asy’ariyyah dan kaum al-Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, di mana mereka telah menetapkan keyakinan tentang kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat makhluk seperti; baru, gerak, diam, berkumpul, berpisah, bertempat, menempel dengan alam, terpisah dari alam, dan lainnya, ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah.

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dengan sangat tegas mengatakan bahwa Allah tidak boleh disifat dengan menempel atau terpisah dari sesuatu. Simak tulisan beliau berikut ini:

“Bila ada yang berkata bahwa menafikan arah dari Allah sama saja dengan menafikan keberadaan-Nya, kita jawab kesesatan ini: ”Jika kalian berpendapat bahwa segala yang ada itu harus menerima sifat menempel dan terpisah maka pendapat kalian ini benar, namun demikian bahwa Allah mustahil dari sifat menempel dan terpisah juga benar dan dapat diterima. Jika mereka berkata: ”Kalian memaksa kami untuk menetapkan sesuatu yang tidak dapat dipahami!”, kita jawab: ”Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang dapat dipahami itu adalah adalah sesuatu yang dapat dikhayalakan dan digambarkan oleh akal, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan seperti itu karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya, segala apapun yang dikhayalkan dan digambarkan oleh akal pastilah merupakan benda yang memiliki warna dan memiliki ukuran, karena khayalan dan gambaran akal itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran akal ini tidak dapat membayangkan apapun kecuali segala apa yang pernah diindra oleh mata karena gambaran adalah buah dari penglihatan dan indra”. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman tersebut tidak dapat diterima oleh akal, maka kita jawab: ”Telah kita jelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah dapat diterima oleh akal. Dan sesungguhnya akal sehat itu tidak memiliki alasan untuk menolak terhadap sesuatu yang logis. Ketahuilah, ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka dengan demikian secara logis nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya. Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan atau berpindah-pindah” (Lihat al-Bâz al-Asyhab, h. 59).

Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami berkata sebagai berikut:

“Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat menempel dan terpisah adalah bahwa sesuatu tersebut pastilah merupakan benda dan pasti membutuhkan kepada tempat. Dan dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda. Pendekatannya, seperti benda keras (al-jamâd; semacam batu) tidak kita katakan bahwa benda itu pintar juga tidak kita katakan bahwa dia itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup. Dan jika sifat hidup itu tidak ada (seperti batu tersebut) maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan darinya” (lihat al-I’lâm Bi Qawâthi’ al-Islâm pada tulisan pinggir (hâmisy) kitab al-Zawâjir, j. 2, h. 43-44).

Al-Imâm al-Hâfizh an-Nawawi dalam kitab Raudlah al-Thâlibin dalam kutipannya dari pernyataan al-Imâm al-Mutawalli berkata: “... atau apa bila seseorang menetapkan sesuatu bagi Allah yang secara Ijma’ telah ditetapkan bahwa sesuatu tersebut dinafikan dari-Nya, seperti menetapkan warna, menempel, dan terpisah, maka orang ini telah menjadi kafir” (Lihat Raudlah al-Thalibîn, j. 10, h. 64).

Anda lihat kutipan al-Imâm an-Nawawi dari al-Imâm al-Mutawalli bahwa seorang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat benda telah menjadi kafir. Perlu anda ketahui bahwa al-Imâm al-Mutawalli ini adalah seorang yang telah mencapai derajat Ash-hâb al-Wujûh dalam madzhab Syafi’i; adalah derajat keilmuan yang sangat tinggi, satu tingkat di bawah derajat para Mujtahid Mutlak.

Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamîn Wa al-Maurid al-Mu’în, seorang alim terkemuka, yaitu asy-Syaikh Muhammad ibn Ahmad Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai berikut:

“al-Imâm al-’Alim Abu Abdillah Muhammad ibn Jalal pernah ditanya apakah Allah tidak dikatakan di dalam alam ini juga tidak dikatakan di luarnya? yang bertanya ini kemudian berkata: Pertanyaan ini; yaitu Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam telah kami dengar dari beberapa guru kami. Ada sebagian orang yang menyanggah hal ini dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sama juga menafikan dua keadaan yang berlawanan. Ada pula sebagian orang yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah segala sesuatu dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan alam. Pendapat terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat al-Imâm al-Ghazali. Ada pula pendapat sebagian orang menyatakan bahwa pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang rancu dan sia-sia, serta tidak layak dipertanyakan demikian bagi Allah. Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia menjawab demikian atas pertanyaan tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam, sebagaimana ia tuliskan dalam syarh-nya terhadap kitab al-Risâlah.
Kemudian al-Imâm Ibn Jalal menjawab: ”Akidah yang kita nyatakan dan yang kita pegang teguh serta yang kita yakini sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam. Dan sesungguhnya merasa tidak mampu dan merasa lemah untuk meraih Allah maka itu adalah keyakinan yang benar. Keyakinan ini didasarkan kepada dalil-dalil yang sangat jelas baik dengan dalil akal, maupun dalil naql. Adapun dalil naql adalah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dalam al-Qur’an Allah berfirman bahwa Dia Allah sama sekali tidak menyerupai suatu apapun (QS. asy-Syura: 11). Jika Allah dikatakan berada di dalam alam atau berada di luar alam maka akan banyak yang serupa bagi-Nya. Karena jika Allah berada di dalam alam maka berarti Allah adalah bagian dari jenis-jenis alam itu sendiri, dan bila demikian maka berarti Allah wajib memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang wajib dimiliki oleh setiap bagian alam tersebut (seperti punah, berubah dan lainnya). Lalu jika dikatakan bahwa Allah berada di luar alam maka hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan, bisa jadi Dia menempel dengan alam tersebut dan bisa jadi Dia terpisah dari alam tersebut. Dan bila terpisah maka hal itu menuntut adanya jarak antara keduanya, baik jarak yang terbatas atau jarak yang tidak terbatas. Dan keadaan semacam ini sama saja menuntut bahwa adanya Allah membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya dalam keadaan tersebut. Adapun dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah:

كَانَ اللهُ وَلمْ يَكُنْ شَيءٌ مَعَهُ (روَاه البُخَارِي وَغيرُه)

“Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun bersama-Nya”. (HR al-Bukhari dan lainnya).

Sementara dalil dari Ijma’ ialah bahwa seluruh Ahl al-Haq telah sepakat bahwa Allah ada tanpa arah. Tidak boleh dikatakan bagi-Nya di atas, di bawah, di samping kanan, di samping kiri, di depan atau di belakang.
Adapun dalil secara akal maka telah sangat jelas bagi anda pada pembahasan di atas dalam makna dari firman Allah QS. asy-Syura: 11. Adapun pendapat yang menyanggah pernyataan ”Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam” karena sama saja dengan menafikan-Nya adalah pendapat yang tidak benar. Karena sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa diterima keberadaannya kecuali dengan adanya salah satu keadaan yang berlawanan (seperti bila tidak di luar, maka ia di dalam) hanya berlaku bagi sesuatu yang terikat oleh dua keadaan tersebut saja. Adapun sesuatu yang tidak disifati dengan dua keadaan tersebut maka hal itu bisa diterima, dan dua keadaan tersebut tidak dikatakan saling bertentangan. Pendekatannya, bila dikatakan “tembok ini tidak buta juga tidak melihat”, maka pernyataan semacam ini tidak dikatakan saling bertentangan, karena dua keadaan yang bertentangan tersebut tidak berlaku bagi tembok. Maka demikian pula ketika kita katakan bagi Allah bahwa Dia tidak di atas, juga tidak di bawah, atau semacamnya, itu semua bisa diterima oleh akal.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah segala sesuatu dari komponen alam ini, seperti yang dituduhkan kepada al-Ghazali, maka ini adalah pendapat yang berasal dari kaum filsafat yang belakangan diambil sebagai faham oleh beberapa kelompok kaum sufi gadungan. Dan pernyataan semacam ini jauh dari kebenaran. Adapun pendapat yang menuduh bahwa pernyataan ”Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam” sebagai pernyataan yang rancu dan sia-sia serta perkara yang tidak layak dipertanyakan bagi Allah, maka pendapat ini tidak bisa diterima karena telah jelas dalil-dalilnya seperti yang telah dibahas. Dan seandainya benar pendapat Ibn Miqlasy seperti ini, namun demikian ia tidak patut dijadikan rujukan dalam hal ini karena dia bukanlah seorang yang ahli seperti layaknya kaum teolog (dari kalangan Ahlussunnah). Dan sesungguhnya, memang banyak dari antara para ulama fiqih yang tidak benar-benar mumpuni dalam masalah teologi ini, terlebih lagi sangat mendalam dengan sedetailnya” (Lihat ad-Durr al-Tsamîn, h. 24-25).

Pernyataan bahwa Allah tidak di dalam alam dan tidak di luar alam juga telah diungkapkan oleh salah seorang pimpinan kaum teolog di kalangan Ahlussunnah, yaitu al-Imâm Abu al-Mu’ain an-Nasafi, demikian pula telah disebutkan oleh asy-Syaikh al-Qunawi, al-‘Allâmah asy-Syaikh al-Bayyadli, dan para ulama terkemuka lainnya. (Lihat Isyârât al-Marâm Min ’Ibârât al-Imâm, h. 197-198).
Al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari menuliskan:

”Setelah adanya penjelasan yang sangat terang ini maka janganlah engkau tertipu dengan kesesatan kaum Mujassimah hingga mereka memalingkanmu dari akidah tanzîh kepada akidah tasybîh. Biasanya mereka berkata: ”Pernyataan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa bentuk, tidak menempel dengan alam atau tidak terpisah dari alam adalah pendapat yang sama sekali tidak bisa dipahami”. Kita katakan kepada mereka: ”Di antara makhluk saja ada sesuatu yang wajib kita percayai keberadaannya, padahal sesuatu tersebut tidak dapat kita bayangkan. Tetapi demikian, akal kita menetapkan keberadaan sesuatu tersebut. Yaitu adanya satu waktu sebelum diciptakannya cahaya dan kegelapan. Sesungguhnya, cahaya dan kegelapan adalah makhluk Allah, sebelumnya tidak ada, lalu kemudian menjadi ada karena diciptakan oleh Allah, seperti dalam berfirman-Nya:

وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ (الأنعام: 1)

”Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala kegelapan dan cahaya” (QS. al-An’am: 1).

Dengan ayat ini kita wajib beriman bahwa kegelapan dan cahaya adalah makhluk Allah. Ini artinya kita wajib meyakini bahwa ada suatu waktu; di mana Allah belum menciptakan kegelapan dan belum menciptakan cahaya. Dalam hal ini akal manusia tidak akan bisa membayangkan adanya suatu waktu yang di dalamnya tidak ada kegelapan juga tidak ada cahaya. Jika pada makluk saja ada sesuatu yang harus kita percayai semacam ini yang tidak dapat digambarkan dan dibayangkan oleh akal maka terlebih lagi tentang Allah. Artinya, jika keberadaan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh akal dapat diterima oleh akal, maka demikian pula dapat diterima jika Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal; bahwa Dia ada tanpa bentuk, tanpa tempat, tanpa arah, tidak menempel atau di dalam alam dan juga tidak di luar alam. Bahkan adanya Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal harus lebih diterima dibanding waktu yang tidak ada kegelapan dan cahaya di dalamnya tersebut. Karena waktu tersebut adalah makhluk, sementara Allah adalah Khâliq, dan Dia sendiri telah berfirman dalam QS. asy-Syura: 11 bahwa Dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya” (Lihat Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ’Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, J. 1, h. 107).

Ingat, Aqidah Rasulullah, para sahabat, dan mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.