Sunday, April 10, 2011

Siapa yang Mengundang Intervensi Asing ?

Siapa yang Mengundang Intervensi Asing ?

Poros Negara Imperialis akhirnya menyerang Libya. Pesawat tempur NATO terutama Amerika, Inggris, dan Prancis membombardir Libya . Ratusan misil diluncurkan dari pesawat tempur, kapal induk, kapal selam, dan kapal tempur. Libyapun luluh lantak. Pejabat Libia mengatakan selain mengenai pangkalan angkatan laut, serangan udara juga mengenai desa nelayan yang terletak tak jauh dari Tripoli.

Korban tewas dari rakyat sipil pun berjatuhan. Tidak hanya itu, Kantor berita Fars melaporkan konfirmasi David Wilson- anggota Aliansi Anti-Perang Inggris- tentang penggunaan bom-bom yang mengandung uranium oleh Amerika Serikat dan sekutunya dalam serangan ke Libya.

Siapa yang mengundang serangan penjajah ini ? Pertama, diktator tiran yang brutal terhadap rakyatnya. Kebrutalan Mu’ammar Qaddafi yang melakukan pembantain terhadap rakyatnya sendiri telah dijadikan alat pembenaran poros negara penjajah untuk menyerang negeri Islam itu . Sama seperti Saddam Husain , sikap kejinya terhadap rakyat Irak telah dijadikan dalih bagi asing untuk menduduk Irak.

Di samping itu diamnya penguasa negeri Islam lainnya menjadi alasan kedua. Seharusnya, penguasa negeri Islam di Mesir, Tunisia, Suriah, Saudia lah yang harus mengirim pasukan untuk membebaskan rakyat Libya yang ditindas, bukan penjajah. Bukankah Allah SWT berfirman : Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan (QS al-Anfal [8]: 72)

Namun para penguasa negeri Islam memilih sikap diam, tindakan pengecut yang membuat penjajahan terhadap negeri Islam semakin menjadi-jadi. Mereka tahu, apapun yang mereka lakukan terhadap negeri Islam, penguasa negeri Islam tidak akan menggerakkan jutaan tentaranya untuk melawan. Mereka juga tahu, penguasa negeri Islam, akan mengikuti apapun yang diminta oleh mereka, bagaikan budak hina.

Padahal semua tahu, apa yang dilakukan oleh pasukan penjajah bukanlah untuk kepentingan kemanusiaan, apalagi untuk melindungi rakyat Libya. Bagaimana mungkin srigala diminta untuk menjaga dan melindungi domba ? Bagaimana negara brutal yang telah membantai dan membunuh umat Islam di Irak, Afghanistan, dan Pakistan diminta untuk menyelamatkan umat Islam.

Kalau alasan koalisi penjajah melindungi rakyat Libya, kenapa mereka hanya diam saat negara Zionis Yahudi membombardir Gaza yang telah menewaskan lebih dari 1500 orang penduduk sipil. Kenapa mereka tidak menyerang Birma negara yang juga dikenal represif terhadap rakyatnya ? Kalau mereka melakukan itu dalam rangka mendukung resolusi 1973 PBB, kenapa mereka diam ketika Israel melanggar dan tidak patuh terhadap banyak resolusi PBB ? Semua ini menunjukkan , tujuan dari semua serangan ini adalah kepentingan menguasai minyak Libya yang dikenal kaya!

Serangan ini dengan dalil resolusi PBB 1973, kembali menegaskan kepada kita bahwa PBB hanyalah alat kepentingan politik negara-negara penjajah Barat. Naskah resolusi yang disetujui Dewan Keamanan PBB memberikan kewenangan untuk melakukan ‘’semua langkah yang diperlukan”’ untuk melindungi warga sipil dari pasukan pro-Gaddafi, termasuk zona larangan terbang. Atas dasar ‘melakukan semua langkah yang diperlukan ‘ , berarti poros penjajah bisa melakukan apapun, menghalalkan segala cara!

No Free Lunch, tidak ada makan siang gratis, Amerika dan sekutunya akan memperhitungkan biaya perang yang mereka harus tanggung. Bayarannya tentu minyak Libya. Bayangkan, sebanyak 162 peluru kendali (rudal) Tomahawk yang diluncurkan pada 4 hari pertama operasi militer Odyssey Dawn (Fajar Odyssey) di Libya saja memakan biaya sekitar lebih dari US$ 1 juta (Rp 8,7 miliar) per rudal. Pesawat tempur F-15E yang jatuh di Libya Selasa (22/3) lalu, memakan biaya sekitar US$ 30 juta (Rp 261 miliar).

Pusat Penilaian Strategis dan Anggaran AS merilis hasil studi yang memperkirakan, penetapan pembatasan zona larangan terbang di Libya memakan biaya sekitar US$ 30 - 100 juta setiap minggunya. Biaya tersebut merupakan biaya bagi patroli pesawat-pesawat di zona larang terbang Libya.

Menyikapi hal ini sikap kita harus tegas. Pertama , kita mendukung upaya penggulingan rezim dikatator brutal seperti Qaddafi. Kedua,kita juga menolak intervensi asing dalam segala bentuknya. Ketiga, kita menyerukan umat untuk bersama-sama Hizbut Tahrir memperjuangkan tegaknya Khilafah.

Dengan Khilafah, umat Islam akan memiliki pemimpin amanah yang mengurus rakyat dengan kelembutan dan kebenaran. Khilafah juga akan menjadi negara adi daya yang membebaskan negari Islam yang rakyatnya tertindas dan mempersatukan umat . Khilafah juga akan menjadi al junnah (pelindung umat) dari segala bentuk kebrutalan penjajah asing. (Farid Wadjdi)

DPR= Dewan Pengkhianat Rakyat?

DPR= Dewan Pengkhianat Rakyat?

[Al Islam 551] Salah satu isu hangat belakangan ini adalah rencana DPR membangun gedung baru. Awalnya, DPR beralasan karena gedung DPR yang ada saat ini mengalami �kemiringan� beberapa derajat. Berikutnya DPR beralasan karena gedung yang ada saat ini sudah tidak memadai; ruangan masing-masing anggota DPR sudah terasa sempit, apalagi ada penambahan staf ahli masing-masing anggota DPR di setiap ruangan.

Rencana awal, pembagunan gedung itu akan menghabiskan biaya sekitar Rp 1,8 triliun rupiah. Saat masyarakat menganggap besarnya biaya itu terlalu mahal, DPR pun men�diskon�nya beberapa kali hingga menjadi hanya Rp 1,138 triliun saja saat ini.

Luas ruangan bagi setiap anggota DPR di gedung baru nanti direncanakan 111 meter persegi dengan total biaya per-ruangan sekitar Rp 800 juta. Itu belum termasuk mebel dan laptop (Detiknews.com, 5/4/2010). Lebih dari itu, dalam maket awal, gedung DPR baru ini juga dilengkapi dengan fasilitas layaknya hotel, antara lain kolam renang dan spa.

Awalnya, nyaris tak ada penolakan dari para anggota DPR terkait rencana tersebut. Namun belakangan, sebagian fraksi/anggota di DPR berbalik arah. Tidak aneh jika berubahnya sikap sebagian fraksi ini dianggap hanya merupakan upaya pencitraan saja. Pasalnya, perubahan sikap tersebut baru terjadi setelah berbagai kompenen masyarakat ramai-ramai memprotes rencana yang dianggap anti rakyat itu, apalagi dalam kondisi masih banyaknya rakyat miskin yang tak punya rumah.

Meski demikian, beberapa anggota DPR tetap ngotot. Salah satunya adalah Ketua DPR Marzuki Alie yang bersikeras bahwa rencana pembangunan telah melalui prosedur yang benar. Ia justru mempersoalkan sejumlah fraksi di DPR yang berubah sikap dalam masalah itu (Republika, 5/4/2010). Lebih dari itu, Ketua DPR Marzuki Alie menilai rakyat tidak perlu diajak bicara terkait dengan proyek gedung baru tersebut, karena mereka tidak paham. �Ini cuma orang-orang elite yang paham yang bisa membahas ini (pembangunan gedung baru DPR), rakyat biasa tidak bisa dibawa,� ujar Marzuki Alie kepada wartawan di gedung DPR, Jakarta, Jumat (1/4/2011) (Inilah.com, 5/4/20110).

Bukan Kasus Pertama

Kengototan DPR untuk mengegolkan rencana pembangunan gedung baru tersebut hanyalah salah satu dari sikap anti rakyat yang ditunjukkan DPR. Pada awal pelantikan para anggotanya saja, DPR telah menghamburkan uang rakyat miliaran rupiah. Padahal, seperti biasa, acara pelantikan tersebut lebih bersifat seremonial belaka. Sebagaimana kita ketahui, di tengah kemiskinan jutaan rakyat negeri ini, pelantikan Anggota DPR Terpilih Periode 2009-2014 saat itu tampak mewah karena menelan biaya sekitar Rp 11 miliar hanya untuk acara sekitar dua jam saja. Metro TV (7/9/2009) menyebutkan biaya pembuatan pin anggota DPR saja mencapai Rp 5 juta perorang. Dan biaya Rp 11 miliar itu baru dari KPU saja. Adapun dari DPR sendiri, Setjen DPR saat itu menganggarkan Rp 26 miliar atau sekitar Rp 46,5 juta peranggota untuk biaya pindah tugas (tiket keluarga anggota Dewan dan biaya pengepakan) bagi anggota baru terpilih dari luar Jakarta (Kompas.com, 9/9/2009).

Lalu baru beberapa bulan dilantik dan belum menunjukkan kinerjanya, beberapa waktu lalu ramai diberitakan tentang kunjungan para anggota DPR ke luar negeri dengan alasan �studi banding�; ke Amerika, Yunani, Afrika Selatan dan sejumlah negara Eropa. Lagi-lagi, �studi banding� itu dinilai banyak kalangan lebih merupakan pelesiran para anggota DPR menggunakan uang rakyat. Menurut Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Yuna Farhan, setiap kali kunjungan ke luar negeri, tiap anggota Dewan mendapat uang saku sebesar Rp 20-28 juta dan uang representasi US$ 2.000 (Sekitar Rp 20 juta). Koalisi Masyarakat Sipil memperkirakan, pada tahun 2010 dana studi banding DPR RI mencapai Rp 162,94 miliar dan berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi (Bisnis.com, 16/9/2010).

Kasus di atas hanyalah secuil contoh betapa DPR lebih peduli terhadap dirinya sendiri ketimbang terhadap rakyat yang mereka wakili. Faktanya, selama ini DPR abai terhadap nasib rakyat secara umum. Sebagaimana kita ketahui, saat ini puluhan juta rakyat di negeri ini masih dihimpit kemiskinan. Namun, tak ada tindakan nyata dari DPR untuk mendesak Pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang bisa mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Yang terjadi, DPR malah setali tiga uang dengan Pemerintah. DPR, malah menyetujui APBN anti rakyat yang diajukan Pemerintah, misalnya APBN 2011. Dari hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap APBN 2011, misalnya, ditemukan data bahwa anggaran �pelesiran� membengkak: dari rencana Rp 20,9 triliun dalam RAPBN 2011 menjadi Rp 24,5 triliun dalam APBN 2011. Menurut FITRA, belanja perjalanan adalah belanja yang terus membengkak setiap tahunnya. Dalam APBN 2010 pun, Pemerintah menetapkan anggaran perjalanan Rp 16,2 triliun, lalu membengkak menjadi Rp 19,5 triliun dalam APBN-P (Republika, 17/1/2011).

Membengkaknya anggaran perjalanan di APBN 2011 ini tentu bukan semata karena peran Pemerintah, tetapi juga DPR. Pasalnya, RAPBN 2011 yang diajukan Pemeritah harus mendapat persetujuan DPR hingga bisa disahkan menjadi APBN 2011. Jumlah anggaran perjalanan di atas, misalnya, jauh lebih besar dari jumlah anggaran Jamkesmas 2011 yang hanya sebesar Rp 5,6 triliun. Bahkan menurut analisis FITRA, Pemerintah justru memangkas belanja fungsi kesehatan dari 19,8 triliun Rupiah di APBN-P 2010 menjadi 13,6 triliun Rupiah di APBN 2011. Anggaran yang dialokasikan untuk menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp 209,5 miliar. Padahal dari berbagai data, di Indonesia terdapat 4,1 juta balita yang mengalami gizi buruk. Artinya, untuk satu balita hanya dialokasikan sekitar Rp 50 ribuan/balita/tahun atau sekitar Rp 4 ribuan/balita/bulan.

Disamping itu, seperti diketahui, pada akhir tahun 2010 tercatat masih ada 31,02 juta jiwa penduduk miskin di negeri ini. Di sisi lain, dengan alasan untuk menghemat anggaran, Pemerintah memutuskan melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Padahal, seperti yang diprediksi oleh BPS, pembatasan BBM bersubsidi itu pasti menyebabkan kenaikan harga barang atau inflasi. Ujung-ujungnya rakyat secara umum jugalah yang harus menanggung akibatnya. Pertanyaannya: pedulikah DPR terhadap semua ini yang notebene sangat terkait dengan kepentingan rakyat? Jawabannya: Tidak! DPR justru tampak abai kalau menyangkut kepentingan rakyat dan sebaliknya sangat peduli kalau menyangkut kepentingan dirinya sendiri.

Bukan hanya tidak peduli, DPR malah sering mengeluarkan UU seperti UU Migas, UU SDA, UU Listrik, UU Penanaman Modal, UU BHP, UU Minerba, dll, yang justru berpotensi menyengsarakan rakyat. Pasalnya, UU tersebut sarat dengan nuansa liberalisasi ekonomi. Muara dari liberalisasi ekonomi tidak lain adalah penyerahan kedaulatan atas sumberdaya alam milik rakyat kepada pihak asing. Karena itu, jangan aneh jika saat ini lebih dari 90 persen energi, misalnya, telah dikuasai pihak asing. Sumberdaya minyak dan gas (migas) juga telah banyak dikuasai pihak asing. Tentu saja semua itu legal berdasarkan UU yang diproduksi DPR. Akibatnya, di dalam negeri sendiri sering terjadi kelangkaan energi dan migas. BBM menjadi langka dan mahal. Akibatnya, kebijakan untuk menaikkan harga BBM atau pembatasan subsidi BBM selalu menjadi pilihan Pemerintah. Celakanya, kebijakan yang menyengsarakan rakyat itu sering disetujui DPR.

Mengkhianati Amanah, Menuai Laknat

Menjadi wakil rakyat sesungguhnya adalah amanah. Amanah ini berkaitan erat dengan faktor keimanan. Rasulullah saw. bersabda:

� ��� ��������� ������ ��� ��������� ���� �

Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah. (HR ath-Thabari).

Karena itu, amanah wajib dijaga dan sebaliknya haram untuk dikhianati. Amanah menjadi wakil rakyat tidak saja harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak. Sayangnya, jangankan di hadapan Allah di akhirat kelak, di hadapan rakyat pun para wakil rakyat tidak bisa mempertanggungjawabkan amanah rakyat yang mereka wakili. Pertanyaannya: layakkah terus-menerus berharap kepada wakil rakyat yang justru sering mengkhianati amanah rakyat yang mereka wakili? Tentu tidak! Sudah terlalu banyak bukti bahwa DPR-juga Pemerintah-yang notabene produk dari sistem demokrasi sekular, mengkhianati amanah rakyatnya sendiri. Hal ini wajar belaka. Sebab, dalam demokrasi yang berdaulat memang bukan rakyat, tetapi elit wakil rakyat yang berkolabirasi dengan penguasa dan para pemilik modal. Kepada merekalah demokrasi berkhidmat, bukan kepada rakyat. Karena itu, tak selayaknya umat ini berharap kepada mereka yang tidak amanah. Sebab, Baginda Nabi saw. bersabda:

�������� �������� ������������ ����������� ��������� . �������: ������ ������������ � �����: ����� ������ ��������� ����� ������ �������� ����������� ����������

�Jika amanah diabaikan maka tunggulah kehancurannya.� Sahabat bertanya, �Bilamana amanah diabaikan?� Rasul menjawab, �Jika suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.� (HR al-Bukhari dan Muslim).

Segera Kembali pada Sistem Islam

Jelas, umat saat ini wajib segera kembali ke sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara total atas mereka. Umat harus segera menegakkan Khilafah Islam dengan segera mengangkat penguasa (khalifah) yang beriman dan bertakwa, sekaligus mengangkat para wakil rakyat yang amanah. Hanya kepada merekalah kepercayaan dan amanah selayaknya digantungkan. Wall�h a�lam bi ash-shaw�b []

Komentar al-Islam:

BPK pada semester II 2010 menemukan 3.760 kasus dengan potensi kerugian negara Rp 3,87 triliun dan US $ 156,43 juta (detik.com, 5/4)

1. Reformasi ternyata hanya menghasilkan janji-janji politik. Faktanya pengelolaan pemerintahan yang menggunakan uang rakyat tidak kunjung bersih dari penyimpangan dan potensi korupsi yang merugikan rakyat.

2. Umat butuh perubahan rezim dan sistem kapitalisme yang menjadi biang keroknya dan ganti terapkan Islam dan syariahnya.

Mulai 1 April, Pemerintah menerapkan penjatahan BBM bersubsidi. Setiap SPBU mendapatkan jatah sesuai dengan yang sudah ditetapkan. Jika kuota habis, SPBU harus mengalihkan konsumen untuk membeli pertamax atau biodiesel. (Lihat, mediaindonesia.com, 1/4).

1. Itulah doktrin kapitalisme neo liberal yang disakralkan: subsidi BBM harus dihilangkan dan BBM harus diliberalisasi. Akibatnya rakyat buntung dan sebaliknya asing untung.

2. Satu lagi kebijakan pemerintah makin menyengsarakan rakyatnya.

3. Dalam Islam, sumber energi termasuk BBM adalah milik rakyat. Negara harus mengelolanya dan semua hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Bank Indonesia Milik Siapa?

NB :

Semisal Hongkong perang melawan Amerika, jangan dilihat pasukan Hongkong atau rakyat Hongkong melawan serdadu Amerika. Tetapi bank sentral ini di Hongkong sedang perang kepentingan melawan bank itu di Amerika. Lha serdadu-serdadunya? Hah itu sih cuma satpam-satpam punyanya bank sentral (baca : pengusaha2 iblis di balik bank sentral) aja.



Gold

Menancapkan & mengendalikan Bank Sentral & Hutang LN

Glory

One for All, All for New World Order, embrionya PBB à resolusi PBB

Gospel

Satu dunia, satu dien à Dien Demokrasi



Bank Indonesia Milik Siapa?

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara



Bank-bank sentral adalah perusahaan swasta yang diberi hak monopoli mencetak uang. BI milik siapa?

Kebanyakan orang, warga negara di hampir semua negara nasional di dunia ini, tidak memahami bahwa mata uang kertas yang mereka pakai di negaranya bukanlah terbitan pemerintah setempat. Hak monopoli penerbitan uang kertas diberikan kepada perusahan-perusahaan swasta yang menamakan dirinya sebagai "bank sentral". Sebelum ada bank sentral sejumlah bank swasta menerbitkan nota bank yang berlaku sebagai alat tukar tersebut. Dimulai di Inggris, dengan kelahiran Bank of England, hak menerbitkan uang kertas itu mulai diberikan hanya kepada satu pihak saja. Memang, kebanyakan bank sentral itu melabeli dirinya dengan nama yang berbau-bau nasionalisme, sesuai negara masing-masing.

Bank Sentral Milik Keluarga-Keluarga

Marilah kita ambil bank sentral paling berpengaruh saat ini, yaitu Federal Reserve AS, yang menerbitkan dolar AS. Saham terbesar Federal Reserve of America ni dimiliki oleh dua bank besar, yaitu Citibank (15%) dan Chase Manhattan (14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%) , Manufacturers Hannover (7%), dsb. Sampai pada tahun 1983 sebanyak 66% dari total saham Federal Reserve AS ini, setara dengan 7.005.700 saham, dikuasai hanya oleh 10 bank komersial, sisanya 44% dibagi oleh 17 bank lainnya.

Bahkan, kalau dilihat dengan lebih sederhana lagi, 53% saham Federal Reserve AS dimilik hanya oleh lima besar yang disebutkan di atas. Bahkan, kalau diperhatikan benar, saham yang menentukan pada Federal Reserve Bank of New York, yang menetapkan tingkat dan skala operasinya secara keseluruhan berada di bawah pengaruh bank-bank yang secara langsung dikontrol oleh 'London Connection', yaitu, Bank of England, yang dikuasai oleh keluarga Rothschild.

Sama halnya dengan bank-bank sentral di berbagai negara lain, namanya berbau nasionalis, tapi pemilikannya adalah privat. Bank of England, sudah disebutkan sebelumnya, bukan milik rakyat Inggris tapi para bankir swasta, yang sejak 1825 sangat kuat di bawah pengaruh satu pihak saja, keluarga Rothschild. Pengambilalihan oleh keluarga ini terjadi setelah mereka mem-bail out utang negara saat terjadi krisis di Inggris. Deutsche Bank bukanlah milik rakyat Jerman tapi dikuasai oleh keluarga Siemens dan Ludwig Bumberger.

Sanghai and Hong Kong Bank bukan milik warga Hong Kong tapi di bawah kontrol Ernest Cassel. Sama halnya dengan National Bank of Marocco dan National Bank of Egypt didirikan dan dikuasai oleh Cassel yang sama, bukan milik kaum Muslim Maroko atau Mesir. Imperial Ottoman Bank bukan milik rakyat Turki melainkan dikendalikan oleh Pereire Bersaudara, Credit Mobilier, dari Perancis. Demikian seterusnya.

Jadi, 'Bank-bank Nasional' seperti ini, sebenarnya, adalah sindikat keuangan inter-nasional, modal 'antar-bangsa' yang secara riel tidak ada dalam bentuk aset nyata (specie) apa pun, kecuali dalam bentuk angka-angka nominal di atas kertas atau byte yang berkedap-kedip di permukaan layar komputer. Bank-bank ini sebagian besar dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sebagian sudah disebutkan di atas.

Utang-utang yang mereka berikan kepada pemerintahan suatu negara tidak pernah diminta oleh rakyat negara tempat mereka beroperasi tapi dibuat oleh pemerintahan demokratis yang mengatasnamakan warga negara. Mereka, para bankir ini, adalah orang-orang yang tidak dipilih, tak punya loyalitas kebangsaan, dan tidak akuntabel, tetapi mengendalikan kebijakan paling mendasar suatu negara. Dan, setiap kali mereka menciptakan kredit, setiap kali itu pula mereka mencetak uang baru dari byte komputer belaka.

Bank Indonesia Milik Siapa?

Kalau bank-bank sentral di negeri-negeri lain milik keluarga tertentu yang tidak memiliki loyalitas kebangsaan, siapakah yang memiliki Bank Indonesia?

Ini adalah pertanyaan valid yang seharusnya kita ajukan sebagai warga negara Republik Indonesia. Kita tahu, rupiah pun diterbitkan oleh BI, sebagai pihak yang diberi hak monopoli untuk itu. Kita tidak pernah diberitahu siapa pemegang saham BI. Tapi, marilah kita tengok sejarah asal-muasal bank sentral di Indonesia ini.

Begitu Indonesia dinyatakan merdeka, para pendiri republik baru ini, menetapkan BNI 1946 sebagai bank sentral, dan menerbitkan uang kertas pertamanya, yaitu ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), dengan standar emas, setiap Rp 10 didukung dengan 2 gr emas. Ini artinya rupiah dijamin 1/5 gram emas per 1 rupiah.

Tapi, ketika Ir Soekarno dan Drs M Hatta menyatakan kemderdekaan RI, Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengakuinya, apalagi menyerahkan kedaulatan republik baru ini. Belanda mengajukan beberapa syarat untuk dipenuhi, dan selama beberapa tahun terus mengganggu secara milter, dengan beberapa agresi KNIL. Akhirnya, sejarah menunjukkan pada kita, terjadilah perundingan itu, 1949, dengan nama Konferensi Meja Bundar (KMB).

Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949, disepakatilah beberapa kondisi pokok agar RI dapat pengakuan Belanda.


Pertama, penghentian Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 sebagai bank sentral republik, dan digantikan oleh N.V De Javasche Bank, sebuah perusahaan swasta milik beberapa pedagang Yahudi Belanda, yang berganti nama menjadi Bank Indonesia (BI).


Kedua, dengan lahirnya bank sentral baru itu pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI), sebagai salah satu wujud kedaulatan republik baru itu dihentikan, digantikan dengan Uang Bank Indonesia (direalisasikan sejak 1952).


Ketiga, bersamaan dengan itu, utang pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar AS� kepada para bankir swasta itu tentunya - diambilalih dan menjadi "dosa bawaan" republik baru ini.

Kondisi ini berlangsung sampai pertengahan 1965, ketika Bung Karno menyadari kuku-kuku neokolonialisme yang semakin kuat mencenkeram bangsa muda ini. Maka, Agustus 1965, Bung Karno memutuskan menolak kehadiran lebih lama IMF dan Bank Dunia di Indonesia, bahkan menyatakan merdeka dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Sebelumnya, antara 1963-1965, Presiden Soekarno telah menasionalisasi aset-aset perusahaan-perusahaan Inggris dan Malaysia, serta Amerika; sebagai kelanjutan dari pengambilalihan aset-aset perusahaan Belanda, pada masa 1957-1958.

Tapi Bung Karno harus membayar mahal tindakan politik penyelamatan bangsa Indonesia dari kuku neokolonialisme ini: Ir Soekarno harus enyah dari Republik ini, dan itu terjadi 1967, dengan naiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI ke-2. Dengan enyahnya Ir Soekarno, neokolonialsme bukan saja kembali, tetapi menjadi semakin kuat. Tindakan pertama Jenderal Soeharto, 1967, adalah mengundang kembali IMF dan Bank Dunia, dan kembali menundukkan diri sebagai anggota PBB.

Nekolonialisme Berlanjut

Berkuasanya Orde Baru, di bawah Jenderal Soeharto, menjadi alat kepanjangan neokolonilaisme melalui pemberian 'paket bantuan pembangunan'. Untuk dapat 'membangun', bagi bangsa-bangsa 'terbelakang, miskin dan bodoh, dalam definisi baru sebagai "Dunia Ketiga"' yang baru merdeka ini, tentu memerlukan uang. Maka disediakankan 'paket bantuan', termasuk sumbangan untuk mendidik segelintir elit, tepatnya mengindoktrinasi mereka, dengan 'ilmu ekonomi pembangunan', 'manajemen pemerintahan'; plus 'pinjaman lunak, bantuan pembangunan', lewat lembaga-lembaga keuangan internasional (dengan dua lokomotifnya yakni IMF, Bank Pembangunan/Bank Dunia).

Kepada segelintir elit baru ini diajarkanlah ekonomi neoklasik, dengan model pembiayaan melalui defisit-anggaran-nya, dengan teknik Repelita bersama mimpi-mimpi elusif Rostowian-nya (teori Tinggal Landas yang terkenal itu), sebagai legitimasi dan pembenaran bagi utang negara yang disulap menjadi 'proyek-proyek pembangunan' dan diwadahi dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Untuk hal-hal teknis para teknokrat tersebut, kemudian 'didampingi' oleh para konsultan spesial � para economic hit men sebagaimana dipersaksikan oleh John Perkins itu. Semuanya, dilabel dengan nama indah, 'Kebijakan dan Perencanaan Publik'.

Maka, utang luar negeri Indonesia yang hanya 6.3 milyar dolar AS di akhir masa Soekarno (dengan 4 miliar dolar di antaranya adalah warisan Hindia Belanda tersebut di atas), ketika Orde Baru berakhir menjadi 54 milyar dolar AS (posisi Desember 1997). Lebih dari sepuluh tahun sesudah Soeharto lengser utang luar negeri kita pun semakin membengkak menjadi lebih dari 150 milyar dolar AS. Kita tahu, jatuhnya Jenderal Soeharto, adalah akibat "krisis moneter", yang disebabkan oleh kelakuan para bankir dan spekulan valas. Tetapi, rumus klasik dalam menyelesaikan "krisis moneter" adalah bail out, yang artinya pemerintah � atas nama rakyat � harus melunasi utang itu. Ironisnya, langkahnya adalah dengan cara mengambil utang baru, dari para bankir itu sendiri!

Dan, bayaran untuk itu semua, dari ironi menjadi tragedi, adalah republik ini kini sepenuhnya dikendalikan oleh para bankir. Melalui letter of intent seluruh kebijakan pemerintahan RI, tanpa kecuali, hanyalah menuruti semua yang ditetapkan oleh para bankir. Dua di antaranya yang terkait dengan bank sentral dan kebijakan uang adalah:


Mulai 1999, Bank Indonesia, yang semula adalah De Javasche Bank itu, telah sama sekali dilepaskan dari Republik Indonesia. Gubernur BI bukan lagi bagian dari Kabinet RI. Ia tidak lagi harus akuntabel kepada rakyat RI.


Mulai 2011 melalui UU Mata Uang (kalau disahkan) Bank Indonesia dilegalisir sebagai pemegang hak monopoli menerbitkan uang kertas di Indonesia. Dan bersamaan dengan ini dilakukan kriminalisasi atas pemakaian mata uang lain sebagai alat tukar di Republik Indonesia. Dengan kemungkinan pengecualian atas mata uang kertas tertentu, yang bisa kita duga maksudnya, tentu saja adalah dolar AS.

Dolar Hong Kong diterbitkan oleh Bank-Bank Swasta

Kalau para wakil rakyat di DPR, yang kini tengah merampungkan UU Mata Uang, tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti semua konstelasi ini, warga Republik ini harus memahaminya. Dan, sebagai warga negara yang mengerti, kita memiliki hak asasi dan hak konstitusional untuk mengambil keputusan sendiri.


Dibaca : 467 kali

http://www.wakalanusantara.com/detilurl/Bank.Indonesia.Milik.Siapa?/756/id

Beriman kepada Hari Akhir

Beriman kepada Hari Akhir

Beriman kepada Hari Akhir artinya meyakini dengan teguh apa yang diberitakan oleh Allah dalam kitabNya dan apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya terkait dengan peristiwa yang terjadi sesudah mati, mulai fitnah kubur, azab dan nikmat kubur dan seterusnya sampai surga dan neraka.

Beriman kepada Hari Akhir adalah rukun iman yang kelima dari enam rukun iman. Di dalam al-Qur`an dan di dalam hadits beriman kepada Hari Akhir sering digandengkan dengan beriman kepada Allah karena orang yang tidak beriman kepada Hari Akhir tidak mungkin beriman kepada Allah, orang yang tidak beriman kepada Hari Akhir tidak akan beramal, orang beramal karena ada harapan kemuliaan di Hari Akhir dan ada ketakutan terhadap azab di Hari akhir, jika dia tidak beriman kepadanya maka dia seperti orang-orang yang disebutkan oleh Allah dan firmanNya,

“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa,’ dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (Al-Jatsiyah: 24).

Hari Akhir disebut demikian sebab tidak ada hari setelahnya. Perlu diketahui bahwa al-Qur`an menetapkan lima fase yang dilalui oleh setiap orang: fase ketiadaan, fase alam rahim, fase dunia, fase alam Barzakh dan yang terakhir adalah alam akhirat.

Fase pertama ditetapkan oleh firman Allah, “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (Al-Insan: 1).

“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu.” (Al-Baqarah: 28).

Fase kedua ditetapkan oleh firman Allah,“Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan.” (Az-Zumar: 6).

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan.” (Al-Haj: 5).

Fase ketiga ditetapkan oleh firman Allah,“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl: 78).

“Kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya.” (Al-Haj: 5).

Fase ketiga ini adalah fase ujian, ia merupakan tolak ukur kebahagiaan dan kesengsaraan untuk fase selanjutnya. Firman Allah, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk: 2).

Fase keempat ditetapkan oleh firman Allah, “Agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (Al-Mukminun: 100).

Fase kelima merupakan tujuan akhir, ia ditetapkan oleh firman Allah, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di Hari Kiamat.” (Al-Mukminun: 15-16).

Dalil yang menetapkan kewajiban beriman kepada Hari Akhir berjumlah banyak, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Yang pertama hadir dalam bentuk perintah beriman kepada Hari akhir dan penetapan bahwa beriman kepada Hari Akhir termasuk sifat orang-orang yang beriman. Yang kedua tentang penetapan terhadap sebagian perkara hari Akhir seperti kebangkitan, hisab, pembagian buku catatan amal dan lain-lain.

Dalil yang pertama seperti firman Allah,“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal shalih, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 62).

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Al-Baqarah: 177).

Sabda Nabi saw,

???? ???????? ??????? ??????????????? ?????????? ???????????? ?????????? ???????? ?????????? ?????????? ???????? ????????? .

“Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, kepada Hari Akhir dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dalil yang kedua seperti firman Allah tentang kebangkitan, “Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, ‘Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (At-Taghabun: 7).

Firman Allah tentang hisab dan pembagian buku catatan,“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuiNya. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak, ‘Celakalah aku.’ Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Al-Insyiqaq: 6-12).

Di antara perkara pokok yang menjadi pertentangan antara Rasulullah saw dengan masyarakat jahiliyah adalah kehidupan sesudah kematian. Masyarakat jahiliyah menganggap mustahil dan tidak nalar kalau jasad yang sudah habis dimakan tanah dihidupkan kembali. Di dalam al-Qur`an Allah menyampaikan ucapan-ucapan mereka yang mengungkapkan pengingkaran mereka terhadap kehidupan setelah kematian. Firman Allah, “Mereka berkata, ‘Apakah betul, apabila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan ? Sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah diberi ancaman (dengan) ini dahulu, ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu kala!” (Al-Mukminun: 82-83).

“Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah (kami akan kembali lagi)? Itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin.” (Qaaf: 3).

Penyair mereka berkata,

?????? ????? ?????? ????? ??????

???????? ????????? ??? ????? ???????

Karena kuatnya pengingkaran mereka terhadap kebangkitan sesudah kematian maka al-Qur`an menyanggah dan meyakinkan mereka dengan metode:

Al-Qur`an menetapkan kodrat dan kekuasaan Allah dalam menciptakan makhluk-makhluk yang besar lagi agung. Selanjutnya al-Qur`an menetapkan jika Allah berkuasa menciptakan makhluk-makhluk tersebut lalu apa yang menghalangi Allah untuk menghidupkan orang mati di mana ia lebih mudah? Firman Allah, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, kuasa menghidupkan orang-orang mati? Ya (bahkan) sesungguhnya dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Al-Ahqaf: 33).

“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ghafir: 57).

Al-Qur`an menetapkan bahwa Allah menciptakan manusia yang sebelumnya dalam ketiadaan, selanjutnya al-Qur`an menetapkan jika Allah mampu menciptakan manusia dari ketiadaan niscaya lebih mudah bagiNya mengembalikan manusia yang sebelumnya telah ada karena siapa pun mengetahui bahwa mengembalikan yang sudah ada lebih mudah daripada menciptakan dari ketiadaan. Firman Allah, “Dan Dia-lah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagiNya. Dan bagiNya-lah sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi; dan Dia-lah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Ar-Rum: 27).

“Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata, ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?’ Katakanlah, ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (Yasin: 78-79).

Al-Qur`an mengajak manusia melihat kepada bumi yang mati lalu Allah menurunkan air dari langit dan menghidupkan bumi. Bukankah ini adalah menghidupkan setelah kematian? Firman Allah, “Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Al-Haj: 5).

“Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (Az-Zukhruf: 11).

Al-Qur`an menetapkan peistiwa-peristiwa penghidupan sebagian orang yang mati di dunia ini sebagai bukti tidak terbantahkan akan kekuasaan Allah dalam menghidupkan setelah mematian. Firman Allah, “Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman, ‘Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu. Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaannya agar kamu mengerti.” (Al-Baqarah: 72-73).

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka, ‘Matilah kamu,’ kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Al-Baqarah: 243).



http://sunatullah.com/kiamat/beriman-kepada-hari-akhir.html

Film '?' Hanung Layak Diberi Judul 'Sang Murtadin'

Film '?' Hanung Layak Diberi Judul 'Sang Murtadin'

Jakarta (voa-islam) - Toleransi ala Hanung seperti jalan yang menghantarkan umat
ini pada sebuah pendangkalan aqidah dan jembatan menuju Neraka. Aroma pluralisme
dalam film ”?” terasa begitu menyengat. Stereotype umat Islam yang buruk,
dilukiskan Hanung dengan cara pandang yang lebay, tendensius, dan fatal.

Setelah Film “Perempuan Berkalung Surban” menuai kontroversi, Sutradara
Hanung Bramantyo kembali menggarap film terbarunya yang hanya diberi tanda
“?” (tanda tanya). Difilm ke-14 nya tersebut, Hanung menggaet beberapa
bintang film muda, seperti Reza Rahardian, Revalina S Temat, Agus Kuncoro,
Endhita, Rio Dewanto, Hengky Sulaeman, David Chalik, dan Glenn Fredly.

Film ”?” merupakan hasil produksi kerjasama antara Mahaka Picture dan Dapur
Film ini, dimana Erick Thohir sebagai Produser Eksekutifnya, Titien Wattimena
(penulis naskah), Tya Subiakto (penata musik), dan Yadi Sugandi (penata
fotografi). Untuk lokasi syuting dipilih di kota Semarang, Jawa Tengah.

“Saya pilih tempat di Semarang, karena di sana ada lima agama, tapi tidak
pernah terjadi penusukan terhadap umat beragama yang berbeda. Ini sebuah film
yang menceritakan kegelisahan saya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Saya
ingin berstatmen dalam bentuk film,” tukas Hanung.

Saat menyaksikan launcing pemutaran film berdurasi 100 menit ini di bioskop
Jakarta Teater, voa islam mencatat, ada beberapa adegan yang sangat menyengat
dan melukai hati umat Islam. Aroma pluralisme sudah bisa dirakan saat melihat
poster film itu dengan kata: “masih pentingkah kita berbeda?”. Bahkan Hanung
akan memberi doorprize senilai Rp. 100 juta kepada penonton yang memberikan
judul untuk film “?” ini.

Melukai Umat Islam

Di awal-awal film itu, penonton sudah disengat dengan hal yang sensitif, seperti
adegan penusukan terhadap seorang pendeta bernama Albertus. Tidak jelas apa
motif penusukan yang dilakukan oleh seseorang yang berpenampilan preman
tersebut. Meski tidak menunjuk hidung secara langsung, namun ada kesan Hanung
hendak menggiring sterotype buruk, seolah yang suka melakukan tindakan anakis
datang dari kelompok agama tertentu.

Adegan selanjutnya, tanpa alasan yang jelas pula, sekelompok pemuda Islam
bersarung dan berpeci tiba-tiba mencerca seorang keturunan Cina dengan panggilan
”Cino” (menyebut Cina dengan logat Jawa). Dalam film ini, Hanung banyak
menggunakan simbolik-simbolik sensasi murahan yang didramatisir, yang berpangkal
dari sebuah kemarahan terpendam.

Dangan dalih toleransi, Hanung juga menciptakan adegan seorang Muslimah
berkerudung yang merasa nyaman bekerja di sebuah rumah makan (restoran) yang
menyajikan daging babi yang diharamkan oleh Islam. Toleransi ala Hanung ingin
mengesankan, bahwa muslimah yang diperankan oleh Revalina S Temat adalah
muslimah yang ideal, yang bisa menghargai sebuah perbedaan. Meski tidak sampai
memakannya, tidak terlihat kegalauan hati dari seorang Muslimah, seolah daging
babi bukan sesuatu yang diharamkan.

Di sela adegan itu, ada seorang Muslimah yang menolak bekerja di sebuah restoran
yang sama, dengan alasan prinsip agama yang dipegang. Namun, cara pandang Hanung
yang keliru, ingin menunjukkan bahwa Muslimah yang menolak bekerja di restoran
Cina karena menyajikan daging babi itu sabagai muslimah yang tidak toleran.

Sang Murtadin

Adegan yang menyesatkan lainnya adalah ketika seorang wanita (diperankan
Endhita) yang sebelumnya beragama Islam kemudian berpindah agama alias murtad
menjadi seorang pemeluk Nasrani yang taat. Ada sebuah ungkapa yang terlontar
dari bibir sang murtadin tadi, bahwa dirinya pindah agama tidak berarti
mengkhinati Tuhan. Pesan yang disampaikan dalam film ini adalah manusia berhak
menjadi murtad, dan itu adalah hak asasi yang patut dihargai.

Adegan yang lebih menyengat lagi adalah ketika seorang pemuda Muslim (diperankan
Agus Kuncoro) bersedia diajak bermain drama di sebuah gereja pada perayaan
Paskah, dengan memerankan sebagai Yesus Kristus. Mulanya hatinya galau, tapi
setelah berkonsultasi pada seorang ustadz muda (diperankan oleh David Khalik),
ditemukan jawaban yang amat sesat menyesatkan.

Katanya, bahwa untuk menjaga keimanan bukan terletak pada fisik, melainkan hati.
Maka masuk gereja, bahkan memerankan aktor sebagai Yesus sekalipun bukan sesuatu
yang subhat dan diharamkan. Bagi Hanung, hal itu tak perlu dipersoalkan.

Serasa kontras, usai memerankan Yesus, pemuda muslim yang sehari-hari tinggal di
masjid itu pun melafadzkan QS. Al Ikhlas. Hanung ingin menggambarkan, memerankan
Yesus bukan ancaman yang bisa mendangkalkan akidah keislaman seseorang. Justru
ia semakin shaleh. Inilah kampanye pluralisme yang diusung Hanung.

Kok bisa, QS Al Ikhlas yang menegaskan bahwa Dia (Allah Swt) Tuhan yang Maha
Esa. Tuhan tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tapi oleh Hanung, Al
Ikhlas ditafsirkan secara serampangan dengan kacamata pluralis, yang
membenarkan Yesus sebagai anak Tuhan. Setidaknya Hanung memnghantarkan seorang
Muslim menjadi hipokrit bahkan musyrik.

Adegan yang terasa lebay juga dilukiskan Hanung, pada saat restoran Cina
mengalami kerugian saat memasuki bulan Ramadhan dimana umat Islam sedang
berpuasa. Ada kesan, bahwa pelanggan restoran yang suka makan daging babi itu
adalah dari umat Islam. Sehingga ketika umat islam sedang menjalankan ibadah
puasa, maka restoran pun menjadi sepi. Bahkan pada saat lebaran, pemilik
restoran Cina itu lagi-lagi melarang karyawannya untuk libur atau pulang
kampung, dengan alasan restoran merugi, karena terlalu lama libur.

Konyolnya, diciptakan insiden penyerangan terhadap restoran Cina itu oleh
sekelompok umat Islam dengan membawa kayu dan terjadi tindakan anarkis yang
disertai pemukulan. Hanung lagi-lagi membuat stereotype buruk atas umat Islam
yang suka dengan anarkis. Bisa dibayangkan, apa mungkin di hari lebaran umat
Islam melakukan penyerangan dan perusakan. Hanung yang mengaku Muslim nampak
lebay dan tidak waras, dimana umat Islam digambarkan sebagai makhluk yang bengis
dan biadab.

Adegan Banser yang menjaga gereja pun digambarkan sebagai hero. Oleh Hanung,
Banser NU adalah sebuah pekerjaan yang disediakan untuk para pengangguran,
seperti Soleh (diperankan oleh Reza Rahadian). Dari banyak adegan dalam film
tersebut, nampak alur cerita yang tidak sistematis, tergesa-gesa, vulgar,
sarkasme, sekedar simbolik untuk mendramatisir kisah yang penuh amarah, dan jauh
dari kualitas. Film Hanung tak ubahnya ”sampah” yang melukai hati umat
Islam.

Hanung sepertinya pura-pura bodoh, ketika ditanya apa itu pluralisme. Bahkan ia
mengelak film garapannya itu punya motif untuk mengkampanyekan pluralisme.
“Saya tidak mengerti apa itu pluralisme. Nanti, kalau saya bilang, film itu
pluralisme, nanti golongan pluralis akan berusaha memanfaatkan. Begitu juga
kalau saya bilang ini liberal, nanti mereka akan mengklaimnya juga.”

Jadi istilah pluralisme buat Hanung tidak lagi sesederhana istilahnya saja
karena di dalamnya sudah ada muatan politis, pergerakan dan keyakinan. Saya
berusaha melepas diri dari itu semua. Saya adalah peribadi yang hanya berusaha
memotret semua persoalan yang berkelindan di dalam diri saya.

Ketika ditanya, bagaimana anda memahami pluralisme? Hanung mengaku tidak tahu
pluralisme itu apa, karena ia sangat hati-hati dengan istilah pluralisme.
“Makanya saya kasih judul film itu hanya tanda tanya,” ujarnya berdalih.

Bila Hanung mempersilahkan penonton memberi judul film “?” ini, maka pantas,
jika film ini diberi judul “Sang Murtadin”. Setuju??? ● Desastian


http://voa-islam.com/news/indonesiana/2011/04/08/14049/film-hanung-layak-diberi-\
judul-sang-murtadin/

Jihad Bangsa Moro

Jihad Bangsa Moro


Kamis, 10 Maret 2011 06:54 administrator

Cahaya Islam memasuki tanah air Bangsa Moro pada tahun 1310 M (sekitar 710 H)
melalui para pedagang Arab, perantau, pengembara Sufi, dan para dai.
Institusi-institusi politik dan pengaruh islami berasal dari Sumatera melalui
kedatangan Raja Baginda Ali dengan menteri dan prajuritnya. Islam berkembang
pesat sehingga berdirilah negara muslim Sulu dan Maguindanao pada tahun 1830.
Sultan pertama dari Kesultanan Sulu ialah Sayyid Abu Bakar. Kesultanan ini
merupakan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, yang memiliki hubungan
diplomatik dan perdagangan dengan negara-negara lain di wilayah tersebut.
Sedangkan Syarif Muhammad Kabungsuan, seorang Arab Melayu dari Malaysia,
mendirikan Kesultanan Maguindanao yang berada di pulau kedua yang terbesar dan
terkaya di Filipina.

Ketika dua kesultanan Muslim di selatan berkembang dengan cepat dan semakin
kuat dan menjadi bangsa yang merdeka, kabupaten-kabupaten muslim lain lahir dan
kemudian dikenal sebagai emirat (keamiran) seperti Emirat Raja Sulaiman (Manila
) dan Emirat Panay. Dapat dikatakan pula bahwa negara-negara Islam dan emirat
muslim merdeka berdiri 600-an tahun yang lalu, jauh sebelum Barat (Spanyol)
menemukan Filipina. Kesultanan Sulu dan Maguindanao eksis secara de facto sampai
tahun 1933 dan terus eksis secara seremonial saja dari tahun 1935 hingga 1946.

Fakta-fakta penting tentang tanah air Bangsa Moro yang tidak bisa diabaikan
oleh para sarjana dan ahli sejarah modern yang meneliti akar permasalahan Bangsa
Moro adalah sebagai berikut :

1. Institusi politik
pertama yang berdiri di tanah air Bangsa Moro bersifat islami.

2. Agama samawi pertama
yang sampai di wilayah tersebut adalah Islam.

3. Sistem pendidikan
pertama di pulau itu adalah pendidikan Islam dengan naskah pertama kali yang
dikenalkan adalah berbahasa Arab.

4. Peradaban pertama
yang diperkenalkan di Filipina adalah peradaban Islam.

Invasi Spanyol sekitar 160 tahun setelah eksistensi kesultanan dan
kabupaten-kabupaten Islam menandai permulaan pengawasan Spanyol dan hambatan
terhadap perkembangan Islam di kepulauan bagian utara (Luzon dan Visayas).
Selanjutnya Bangsa Moro dari Mindanao dan Sulu berjuang melawan kolonialisme
Barat atas nama Islam selama 377 tahun (1521-1898).

Hispanisasi dan kristenisasi yang dilakukan oleh orang-orang Filipina Baru
(muda) menjadi landasan kuat bagi kampanye antimuslim—baik secara militer
maupun lainnya—setelah Perjanjian Paris 10 Desember 1898 yang menyerahkan
Filipina kepada Amerika Serikat dengan kompensasi 20 juta dolar AS. Agresi AS
pada tahun 1899 dihadapi dengan ketahanan kaum muslimin di selatan yang bertekad
untuk bertempur sampai titik darah penghabisan. Dengan keyakinan bahwa Spanyol
tidak pernah punya hak untuk menjual tanah air mereka dan tidak mau menerima
aturan Amerika, kaum muslimin memberikan perlawanan berdarah yang berlangsung
selama 47 tahun (1899-1946).

Amerika membalas secara taktis dengan menawarkan sebuah gencatan senjata
yang menghasilkan Bates Treaty, The Carpenter Agreement, dan seterusnya. Ini
merupakan manuver politis dan sosial ekonomi yang membuat Amerika mampu untuk
menaklukkan Bangsa Moro.



Aneksasi (perebutan) Filipina terhadap Kesultanan Islam Bangsa Moro

Di samping memperlakukan Kesultanan Sulu dan Maguindanao sebagai wilayah
protektorat, Amerika Serikat mendirikan pemerintahan Persemakmuran Filipina pada
tahun 1935. Pemerintahan semacam ini berfungsi sebagai transisi ke arah
kemerdekaan penuh yang akan dihadiahkan segera kepada Filipina. Sebenarnya pada
situasi semacam ini sekalipun tanah air Bangsa Moro tidak pernah dimasukkan oleh
Amerika ke dalam wilayah administrasi Filipina.

Dengan memanfaatkan pemerintahan transisi dan ketidakpedulian politis
masyarakat awal Bangsa Moro, para pemimpin politik Kristen Filipina melakukan
manuver dan berusaha menganeksasi Tanah Air Bangsa Moro yang terdiri dari
Kepulauan Mindanao, Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, dan Palawan.

Di samping memberikan kemerdekaan pada Filipina pada tanggal 4 Juli 1946
AS juga menganeksasi Tanah Air Bangsa Moro ke dalam negara Filipina Merdeka.
Tindakan pemerintah AS ini berlawanan dengan kemauan masyarakat Bangsa Moro.

Ketika orang-orang Kristen Filipina dari Luzon, Visayas, dan daerah-daerah
lain di kepulauan bagian utara dengan gembira ria merayakan apa yang mereka
anggap sebagai awal dari kebebasan dan kelahiran bangsa baru, masyarakat Bangsa
Moro bersedih karena mereka menganggap itu sebagai akhir dari kebebasan,
kemerdekaan, dan kedaulatan selama ratusan tahun. Namun Bangsa Moro tidak bisa
bereaksi secara cepat karena mereka berperang melawan Spanyol selama 377 tahun
dan 47 tahun melawan Amerika. Hal itu memperlemah mereka bahkan lebih dari itu
membawa mereka kepada kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan yang buruk.

Bangsa Moro seolah menjadi orang sakit yang tidak mempunyai obat untuk
menyembuhkan dirinya sendiri serta tidak cukup makanan dan ketika alam
menyembuhkannya dia mendapati dirinya diperbudak oleh orang yang lebih kuat dan
sehat. Karena itu, ketika Bangsa Moro masih dalam taraf penyembuhan dari
kerusakan-kerusakan parah akibat peperangan, pemerintah Filipina memanfaatkan
kelemahan Bangsa Moro untuk merintis jalan penegakan pendudukan orang-orang
Kristen di Tanah Air Bangsa Moro.

Penting dicatat bahwa selama masa Pra-Spanyol tidak diketahui ada seorang
Kristen pun di tanah air Bangsa Moro. Orang-orang Kristen yang tinggal di negeri
itu adalah budak-budak Spanyol atau buruh-buruh Amerika yang memilih untuk
tinggal di tanah air Bangsa Moro untuk menikmati kebebasan daripada pulang ke
negeri asal di bagian utara dan tetap menjadi budak dan pekerja..

Langkah-langkah yang diambil orang-orang Kristen Filipina untuk menaklukkan
dan menggagalkan aspirasi Bangsa Moro selama rezim sipil mengindikasikan
pengaruh yang semakin kuat dari teori bahwa kristenisasi atau filipinisasi
merupakan satu-satunya jalan untuk menghentikan perlawanan kaum Muslimin. Kali
ini masa depan Bangsa Moro sebagai Muslim terancam.

Sebuah hukum Filipina diberlakukan untuk mendorong pendudukan orang-orang
Kristen dari selatan dengan membuka lahan-lahan besar dari tanah-tanah Bangsa
Moro kepada para penghuni Kristen dengan bantuan pemerintah secara langsung dan
material-material.

Pada tahun 1946 dasar hukum yang lebih kuat diberlakukan yang memberi
orang-orang Kristen Filipina pengaruh dan kekuatan lebih di wilayah-wilayah kaum
Muslimin yang menimbulkan migrasi besar-besaran orang-orang Kristen dari tahun
1950-1970 untuk merebut tanah leluhur Bangsa Moro Muslim. Penduduk Kristen ini
berkembang secara cepat sehingga melebihi penduduk asli Bangsa Moro dan pemilik
sah dari tanah-tanah tersebut pada tahun 70-an di berbagai area di Mindanao.
Bersamaan dengan meningkatnya jumlah orang-orang Kristen, gangguan terhadap
Bangsa Moro Muslim juga meningkat. Tujuan utamanya adalah untuk meraih kekuasaan
politik.



Gerakan Ilaga dan Teror Orang-Orang Kristen

Pada tahun 1970 para penduduk Kristen di Tanah Air Moro mengorganisir dan
mendirikan sebuah organisasi bersenjata yang dinamai ILAGA yang para pemimpin
serta perintisnya adalah personil militer Kristen yang aktif, perwira
purnawirawan angkatan darat Kristen dan para politisi Kristen.

Organisasi teroris ini digerakkan dengan persetujuan pemerintah Manila.
Operasinya dimulai dengan membunuh individu muslim dilanjutkan dengan
pembantaian keluarga-keluarga muslim. Bersamaan dengan meningkatnya semangat
permusuhan, orang-orang kristen fanatik mulai menyerang desa-desa muslim,
membunuh wanita-wanita muslimah, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Para
teroris itu membakar rumah-rumah, masjid-masjid, madrasah-madrasah, buku-buku
Islam termasuk setiap kopian Al-Qur’an. Mereka menghancurkan ladang-ladang
pertanian Bangsa Moro, kebun buah-buahan, ladang-ladang dan hampir segala hal
yang dimiliki orang Muslim.

Otoritas pemerintah Filipina tetap tuli terhadap keluhan-keluhan kaum
Muslimin dan tidak menghiraukan seruan kaum muslimin untuk menciptakan
kedamaian. Kedamaian dan keteraturan telah menjadi agak genting. Darah orang
Islam yang tak bersalah berceceran di berbagai sudut tanah air Bangsa Moro.

Ketika peristiwa-peristiwa tersebut berkembang sehingga meningkatkan
ketegangan, kaum Muslimin tidak punya pilihan lain lagi kecuali balas memerangi
dan mempertahankan diri. Dalam perkembangan pergerakan Moro di tanah airnya,
kaum muslimin menyaksikan munculnya sebuah pergerakan revolusioner baru yang
berbeda dalam hal sifat dan pendekatan dari pergerakan Moro pada era yang lalu.
Elemen baru tersebut adalah para pemimpin Moro muda yang merupakan keturunan
dari kaum Muslimin yang gagah berani melawan Spanyol dan Amerika selama lebih
dari 400 tahun.

Dengan persenjataan yang kurang, para pembela kaum muslimin menunjukkan
superioritas mereka dalam perang. Ketika milisi teroris Kristen tidak mampu
menghadapinya, oknum-oknum dari Angkatan Darat Filipina turut campur dan
membantu ILAGA. Pada tahun 1972 Martial Law (Hukum Perang) diumumkan untuk
menerobos pertahanan kaum Muslimin.



Jihad Bangsa Moro Melawan Pemerintah Filipina

Bangsa Moro Muslim menderita berbagai macam tekanan dan ketidakadilan di bawah
pemerintahan Filipina. Pemerintah Filipina mendiskriminasi mereka sebagai warga
negara kelas dua, bahkan berlanjut mencapai titik terendah dengan memperlakukan
mereka secara tidak manusiawi. Pembunuhan Wanton terhadap kaum Muslimin dimulai
pada tahun 1972 dan puncaknya deklarasi Martial Law (Hukum Perang) pada tanggal
21 September tahun itu juga.

Selama rezim Martial Law, Angkatan Bersenjata Filipina melancarkan
serangan udara, laut dan darat besar-besaran terhadap desa-desa atau masyarakat
Muslim di Mindanao, Basilam, Sulu, Palawan dan Tawi-Tawi. Konon, sebagian
pengamat mengatakan serangan tersebut melebihi serangan yang dilakukan oleh
Jepang ke Pearl Harbour dan bagian-bagian lain di Pasifik selama Perang Dunia
II.

Pada tahap awal perang, Mujahidin Moro mampu untuk menahan agresi musuh dan
menghentikan gerak maju kekuatan militer Filipina yang berjumlah sekitar seratus
ribu personil yang menguasai udara dan laut secara penuh. Mujahidin mampu untuk
mempertahankan beberapa wilayah sebelum mundur ke hutan karena kekurangan
amunisi. Kali ini perang gerilya terus dilakukan tanpa henti, sehingga memaksa
Pemerintah Filipina meminta gencatan senjata sehingga diambil solusi damai
terhadap problem Bangsa Moro. Dengan demikian masuklah Perjanjian Tripoli pada
tahun 1976.

Meskipun demikian, serangan terhadap masyarakat muslim yang dilakukan oleh
militer dan milisi Filipina terus berlangsung, guna menumpas kekuatan perjuangan
Bangsa Moro. Bangsa Moro pun balas menyerang meski daya tahan hidup mereka dalam
keadaan darurat. Hingga berlanjut ke meja perundingan atas mediasi OKI.

Tiba-tiba sejarah berbalik terhadap rezim diktator Ferdinand Marcos.
Revolusi EDSA pada tanggal 24 Februari 1986 telah menggulingkan Marcos, dan
mengantarkan Corazon Aquino, janda musuh bebuyutan Marcos, Benigno Aquino Jr. ke
kursi kepresidenan. Di bawah rezim Aquino, mujahidin Bangsa Moro dijanjikan
gencatan senjata yang lain, kali ini dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front)
untuk merintis jalan menuju perdamaian, pembangunan dan kemajuan di tanah air.

Sayangnya, kesepakatan tersebut gagal mencapai sasarannya karena
Presiden Aquino menyelisihi perjanjian dengan MILF. Sehingga pertempuran antara
mujahidin MILF dan elemen-elemen Angkatan Bersenjata Filipina dan milisi-milisi
fanatiknya berlanjut secara sporadis diberbagai wilayah dari Davao Oriental di
Timur ke Surigao Del Norte di utara dan Tawi-Tawi di barat daya.

Sebagai upaya untuk mengakhiri aspirasi kaum Muslimin untuk mendirikan
negara Islam, pemerintah Aquino membuat dan mengumumkan Republic Act No. 6734,
sebuah undang-undang untuk mendirikan wilayah otonomi dalam Mindanao Muslim
(ARMM) di tanah air yang terdiri dari Sulu, Tawi-Tawi Lanao Del Sur dan
Maguindanao. Bagi penduduk Moro ini merupakan aturan yang dibuat untuk
memisahkan kaum muslimin di wilayah-wilayah yang disebutkan di atas dengan
saudara-saudaranya yang lain di tanah air yang sama, dalam rangka melemahkan
kekuatan Bangsa Moro.

Agar tetap bertahan, Bangsa Moro tidak punya pilihan kecuali menolak
seluruh undang-undang yang bertentangan dengan eksistensi mereka. Berbekal
segala keterampilan untuk membela diri, mereka harus berjihad di jalan Allah dan
membayar harga kemerdekaan dari tekanan dan penjajahan dengan darah dan jiwa
mereka.

Dengan peran utama yang dimainkan oleh BIAF (Angkatan Perang Islam Bangsa
Moro), masyarakat bertempur dengan hebat untuk mempertahankan tanah air. Ujian
pun semakin berat setelah kini Angkatan Bersenjata Filipina dibantu militer AS
di bawah kampanye global perang melawan terorisme.

sumber : an-najah.net

Cara liberalkan indonesia

Tuesday, 05 April 2011 10:07

Kalangan liberal berusaha membangun sebuah sistem yang kondusif bagi berkembangnya paham liberal dengan berbagai cara secara terus menerus.

Bukan hal aneh bila kalangan liberal selalu membela Ahmadiyah. Soalnya, adanya kasus ini bisa menjadi pintu masuk bagi liberalisasi di Indonesia. Masih ingat kasus bentrokan Monas 2008? Setelah itu mereka berusaha menggugat keberadaan peraturan yang selama ini dianggap sebagai penghalang bagi proses liberalisasi tersebut.

Saat itu tujuh lembaga swadaya masyarakat (LSM), yakni IMPARSIAL (Rachland Nashidik), ELSAM (Asmara Nababan), PBHI (Syamsudin Radjab), DEMOS (Anton Pradjasto), Perkumpulan Masyarakat Setara (Hendardi), Desantara Foundation (M. Nur Khoiron) dan YLBHI (Patra M Zen) serta individu yakni Abdurrah-man Wahid, Musdah Mulia, M. Dawam Rahardjo dan Maman Imanul Haq, mengajukan permo-honan uji materiil (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penoda-an Agama.

Mereka menilai UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 bertentang-an dengan hak asasi manusia (HAM) karena di dalamnya ada la-rangan, “untuk tidak mencerita-kan, menganjurkan, atau meng-usahakan dukungan umum me-lakukan penafsiran tentang sua-tu agama yang dianut di Indo-nesia (Islam) atau melakukan kegiatan keagamaan yang me-nyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyim-pang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Untungnya, Mahkamah Konstitusi masih bisa jernih me-lihat permasalahan tersebut. Gu-gatan kaum yang mengagung-kan HAM dan kebebasan (liberal-isme) ditolak.

Sebelum itu mereka meng-gugat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tahun 2005 MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman pluralisme, liberal-isme, dan sekulerisme agama. Mereka sangat marah dan kalap terhadap munculnya fatwa ter-sebut. Sampai-sampai Ulil Ab-shar Abdalla sempat menyata-kan, “MUI tolol dan ngawur” meski kemudian minta maaf.

Anehnya pemuja liberal-isme justru tak menghormati kebebasan tapi berusaha keras memaksakan pendapatnya me-lalui berbagai cara, mencerca MUI, dan sama sekali tidak meng-hormati pendapat MUI yang berbeda pendapat dengan me-reka. Seolah-olah semua orang harus sama dengan mereka.

Tak berhenti di situ, bela-kangan setelah adanya kasus Cikeusik, Temanggung, dan Pa-suruan, kaum liberal kian gencar menyuarakan pembubaran or-ganisasi masyarakat (ormas) Is-lam. Mereka tak peduli terhadap akar permasalahan yang sebe-narnya yakni penodaan agama oleh Ahmadiyah terhadap Islam.

Pasca kejadian bentrokan di berbagai tempat tersebut, kalangan liberal rajin mengada-kan forum-forum diskusi yang isinya menyerang Islam. Mereka berusaha menguasai opini di media massa dengan mengarah-kan bahwa Ahmadiyah hanyalah korban, karenanya harus dilin-dungi. Yang bersalah adalah umat Islam, lebih khusus yang mereka sebut sebagai kelompok garis keras.

Kalangan liberal ini berko-laborasi dengan insan media massa. Bahkan sesuatu yang tak ada sangkut pautnya dengan bentrok antar agama pun diplin-tir sedemikian rupa sehingga bisa menjatuhkan citra Islam dan kaum Muslimin. Sebagai contoh, bentrokan di Pasuruan. Ternyata itu adalah tawuran yang sudah biasa terjadi. Tapi kemudian di-blow up sedemikian rupa seolah-olah ini adalah kekerasan yang ditimbulkan oleh umat Islam karena tidak toleran terhadap kelompok yang lain.

Pemerintah sendiri seperti-nya sejalan dengan opini yang berkembang. Apalagi saat ini pemerintah melalui Badan Nasi-onal Penanggulangan Terorisme (BNPT) sedang menggarap pro-yek deradikalisasi secara massif. Proyek ini diarahkan untuk 'me-lawan' kalangan Islam yang ingin menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah.

Bersamaan dengan itu pemerintah sedang berancang-ancang merevisi undang-un-dang tentang keormasan. Undang-undang ini memungkinkan bisa digunakan untuk mem-persempit gerak, bahkan bisa memberangus, aktivitas gerakan Islam di Indonesia.

Di luar itu, pemerintah melalui aparat kepolisian mere-kayasa opini secara terus mene-rus tentang terorisme. Setiap ada penangkapan terhadap orang yang disangka teroris, selalu ada stigmatisasi negatif terhadap Islam. Seolah-olah begitulah gambaran pejuang Islam secara umum.

Seperti pernah disampai-kan oleh Ustadz Abu Bakar Ba'asyir kepada Media Umat, stig-matisasi negatif terhadap umat Islam seolah-olah umat Islam itu teroris merupakan tujuan dari musuh-musuh Islam. ”Memang tujuannya itu. Tujuannya adalah agar membuat pemerintah membatasi dakwah Islam kaffah,” katanya.

Ia menilai ini adalah bagian dari strategi global untuk mele-mahkan Islam di Indonesia yang sedang bangkit. ”Itu sunnatullah, wataknya orang kafir itu senan-tiasa membuat makar. Wa maka-ru wa makarallah, wallahu khay-rul makirin (Mereka membuat makar dan Allah pun membuat makar, dan makar Allah adalah makar terbaik-red),” jelasnya.

Ujung dari semua serangan dan rekayasa itu adalah memba-ngun paradigma berpikir baru bagi umat Islam Indonesia yang keluar dari frame dasar Islam. Umat Islam diarahkan agar rela berpikir cara Barat. Dengan begitu, mereka bisa menerima apapun yang datang dari Barat yang kafir tanpa ada resistensi sedikit pun. Kalau sudah demi-kian, Barat bisa tetap aman mengangkangi negeri Muslim dan mengeruk seluruh kekayaan alamnya. Inilah bahaya liberalisme yang sesungguhnya![] humaidi

Serangan Terorganisir Kaum Kafir

Gelombang liberalisasi yang bergulir di Indonesia tidaklah berjalan sendiri. Serangan demi serangan itu by design itu dilakukan oleh kalangan anti Islam baik yang ada dalam negeri maupun di luar negeri.

Menarik membaca laporan Rand Corporation—sebuah lembaga think tank AS— yang dikeluarkan tahun 2007 berjudul: Building Moderate Muslim Network. Rand mencoba memberikan strategi bagaimana menghadapi apa yang mereka sebut sebagai 'fundamentalis/radikalis' di dunia Islam. Caranya adalah dengan mendukung sepenuhnya kelompok liberal di dunia Islam.

Siapa mitra yang layak jadi 'teman' AS di dunia Islam? Mereka adalah 1) Akademisi dan intelektual Muslim yang liberal dan sekuler, 2) Mahasiswa muda religius yang moderat, 3) Komunitas aktivis, 4) Organisasi-organisasi yang mengkampanyekan persamaan gender, dan 5) Wartawan dan penulis moderat. Mereka ini dinilai mampu memberikan dampak perang pemikiran secara cepat di tengah masyarakat.

Rand Corp. merinci kriteria kalangan moderat-liberal yang dijadikan mitra AS, yakni: 1) Mendukung demokrasi, 2) Mengenal hak-hak manusia, termasuk di dalamnya kesetaraan gender dan kebebasan berkeyakinan, 3) Menghargai keberagaman, 4) Menerima sumber hukum yang non sektarian, 5) Menentang terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan ilegal lainnya.

Dalam kajian tahun 2003 berjudul Civil Democratic Islam, lembaga ini membagi umat Islam ke dalam kelompok-kelompok: fundamentalis, tradisionalis, modernis, dan sekuleris. Untuk menggempur kalangan yang mereka sebut fundamentalis, Amerika mendukung kelompok modernis, mendukung kaum tradisionalis dalam menentang kaum fundamentalis, mengkonfrontasi dan menentang kaum fundamentalis, dan mendukung kaum sekuler secara selektif. Umat Islam dipecah belah dan diadu domba.[] humaidi

http://www.mediaumat.com/media-utama/2619-54-1001-cara-liberalkan-indonesi