Saturday, January 17, 2015

Sebab anjloknya harga minyak dunia secara tiba tiba

Jawab Soal
Sebab Anjloknya Harga Minyak Secara Tiba-Tiba

Pertanyaan:

Beberapa media massa hari ini, Rabu 7/1/2015 melansir berita bahwa
harga minyak mentah Brent ( Brent crude oil ) tercatat pada level US$
49,66 per barel. Harga minyak mentah Amerika (American crude ) juga
anjlok ke harga US$ 47 per barel. Perlu diketahui bahwa harga minyak
pada tahun 2014 telah pernah mencapai US$ 115 per barel di awal
musim panas Juni 2014. Kemudian harga minyak kembali turun secara
gradual sampai pada awal musim dingin pada akhir Desember 2014 ke
level harga US$ 60 per barel. Bahkan harganya terus turun hingga
harga minyak mentah Texas (west Texas crude oil ) pada level US$
58,53 per barel. Harga pada minggu pertama Januari 2015 sampai ke
level US$ 50 per barel. Artinya harga minyak turun lebih dari 50%
dalam waktu lima bulan! Lalu apa sebab anjloknya harga minyak
secara tiba-tiba ini? Apa kemungkinan yang ada untuk harga minyak
di masa mendatang?
Jawab:
Turunnya harga minyak itu memiliki sebab-sebab yang berbeda. Yang
paling menonjol adalah faktor ekonomi murni, bebas dari tujuan-
tujuan politik… Diantaranya juga ada faktor politik untuk menggerakkan
faktor ekonomi, semisal kepentingan pemilik faktor politik tersebut…
Adapun faktor ekonomi murni, bebas dari tujuan politik, maka itu
mencakup: (meningkatnya penawaran atau menurunnya permintaan…),
(ketegangan dan khususnya eskalasi militer di wilayah-wilayah minyak
dan sekitarnya…), (spekulasi di pasar minyak dan eksploitasi data-
data melemahnya perekonomian negara-negara berpengaruh dalam hal
minyak baik ekspor atau impor…)
Adapun faktor politik untuk menggerakkan faktor ekonomi ke arah
kepentingan negara pemilik aksi politik itu. Misal (bertambahnya
produksi atau penawaran sejumlah besar cadangan minyak,namun
bukan karena kebutuhan ekonomi), akan tetapi (untuk menurunkan
harga dengan tujuan mempengaruhi politik negara-negara pesaing,
khususnya negara yang neraca APBN-nya bergantung pada harga
minyak), atau (untuk membatasi produksi minyak bebatuan (shale oil)
dengan jalan menurunkan harga minyak alami ke batas yang lebih
rendah dari biaya produksi minyak bebatuan (shale oil) agar
eksplorasi minyak bebatuan ( shale oil ) tidak ekonomis).
Dan kami akan memaparkan perkara-perkara ini, kemudian kami
simpulkan pada sebab yang lebih rajih seputar anjloknya harga minyak
itu:
Pertama, faktor ekonomi murni,bebas dari tujuan politik:
1. Penawaran dan Permintaan
Minyak sama saja dengan komoditi lainnya. Harganya ditentukan
melalui faktor permintaan dan penawaran. Ketika pasar melihat
penawaran minyak berlebih, maka harganya turun. Ini terjadi pada
kondisi krisis ekonomi melanda negara-negara pengimpor yang
menurunkan permintaan,karena melemahnya kemampuan negara yang
dilanda krisis itu untuk mengimpor minyak dengan harga tinggi. Maka
permintaan minyak pun turun, sehingga harga minyakjuga turun … dan
semisal itu pula ketika permintaan minyak melonjak melebihi
penawaran, maka harga minyak juga melonjak.
2. Ketegangan dan meningkatnya tensi secara militer:
Ada juga faktor lain yang mempengaruhi harga minyak, yaitu
ekspektasi yakni prediksi pasar minyak, seperti terjadinya kerusakan
pasokan akibat perang atau ketegangan di wilayah-wilayah minyak…
Dan karena itu, maka ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang
merupakan wilayah minyak mungkin menjadi sebab naiknya harga
minyak, meski tidak terjadi perubahan dalam hal kuantitas minyak
yang ditawarkan atau kuantitas permintaan terhadap minyak. Pasar
minyak kadang kala terdorong ke arah naiknya harga minyak jika
dikhawatirkan kerusakan pasokan mungkin terjadi. Ketika ketegangan
itu mereda maka harga minyak turun dan kembali ke nilai sebelumnya
atau ke harga hakiki. Sebagai contoh, seruan perang antara negara
Yahudi dan Amerika Serikat dan Iran pada Februari 2012 menyebabkan
naiknya harga minyak. Majalah Forbes menyebutkan: “bersamaan
dengan naiknya harga minyak sampai ke level tertinggi sejak beberapa
tahun, sebagian besar sebabnya adalah kekhawatiran geopolitik
dengan diletakkannya Iran di atas meja pergolaan militeristik sekali
lagi” (Invasi Iran Akan Mendorong AS ke Resesi, Forbes Februari 2012).
3. Spekulasi dan ekploitasi data-data ekonomi:
Data-data ekonomi yang buruk dari beberapa negara yang memiliki
hubungan berpengaruh pada minyak, baik ekspor maupun impor,
misalnya AS dan Cina, bisa menyebabkan jatuhnya harga minyak,
tanpa mempedulikan perubahan penawaran dan permintaan terhadap
minyak. Pada kondisi ini, pasar mengawatirkan perlambatan akibat
ekonomi. Pasar menafsirkannya bahwa itu merupakan penurunan pasti
konsumsi minyak dan berikutnya harga minyak pun turun. Para
spekulan mencari prediksi-prediksi pasar untuk menaikkan harga
minyak atau menurunkannya untuk mendapat keuntungan. Akibatnya,
harga minyak terpengaruh melalui penawaran dan permintaan.
Data-data ekonomi dan spekulasi itu berkaitan dengan sejumlah
pemain utama, terdiri dari negara-negara produsen minyak (misal
Rusia, Kanada, Arab Saudi … dan lainnya), dan negara-negara importir
minyak (misal, Cina, Jepang … dan lainnya), perusahaan-perusahaan
multi nasional (misal Exxonmobile, BP … dan lainnya) serta kartel
minyak (misal, OPEC, para pedagang minyak yang sudah dikenal
dengan nama para spekulan). Semua kelompok itu memiliki
kemampuan mempengaruhi harga minyak, baik melalui pengaruh
terhadap penawaran dan permintaan, ataupun melalui antisipasi
terhadap fluktuasi harga minyak karena spekulasi. Data-data ekonomi
dan spekulasi hasil dari terjadinya krisis ekonomi di negara-negara
yang memiliki keterkaitan itu bisa dengan kuat mempengaruhi harga
minyak.
Kedua, faktor politik untuk menggerakkan faktor ekonomi demi
kepentingan pemilik aksi politik tersebut.
1. Isu minyak bebatuan ( shale oil )
AS berhasil melampaui Arab Saudi dan Rusia sebagai eksportir minyak
terbesar di dunia disebabkan ekstraksi minyak melalui pemecahan
batuan sedimen di bawah tanah. Bank of America menyebutkan pada
musim panas 2014: “AS akan terus menjadi produsen terbesar minyak
di dunia pada tahun ini, melampui Arab Saudi dan Rusia, dalam
mengekstraksi energi dari minyak bebatuan (shale oil ). Itulah yang
membangkitkan perekonomian dalam negeri. Produksi minyak mentah
AS, berdampingan dengan cair, dan pemisahan minyak dari gas alam,
telah melampaui negara lain pada tahun ini. Produksi minyak AS lebih
dari 11 juta barel pada kuartal pertama tahun ini… (“AS menjadi
produsen minyak terbesar setelah menyalip Arab Saudi”, Bloomberg , 4
Juli 2014).
Revolusi minyak dan gas bebatuan ( shale oil and gas) di AS
menyebabkan peningkatan produksi minyak dari 5,5 juta barel per hari
pada tahun 2011 menjadi saat ini 10 juta barel per hari. Hal itu bisa
menutupi sebagian besar kebutuhannya sehingga impor minyak AS
dari Arab Saudi menurun sampai setengahnya yaitu menjadi 878 ribu
barel per hari dari sebelumnya 1,32 juta barel per hari.
Akan tetapi masalah minyak bebatuan ( shale oil ) adalah biaya
produksinya mencapai 75 dolar per barel. Sementara biaya produksi
minyak alami tidak lebih dari 7 dolar per barel. Ini artinya bahwa
negara-negara produsen minyak bebatuan ( shale oil ) terutama AS akan
terpukul jika harga minyak menurun hingga level di bawah biaya
produksi itu…
2. Isu penurunan harga bukan karena kebutuhan ekonomi akan tetapi
sebagai bagian dari sanksi terhadap negara pesaing:
Ada dua isu internasional yang memiliki pengaruh dan menjadi
perhatian global:
Isu perundingan nuklir Iran dan isu pendudukan Rusia terhadap
Krimea. Kedua negara ini neraca APBN-nya banyak bergantung pada
ekspor minyak. Ketika harga minyak turun secara tiba-tiba menjadi
setengahnya, maka tanpa diragukan lagi akan berpengaruh terhadap
politik kedua negara itu terhadap kedua isu tersebut. APBN Rusia,
kontribusi minyak dan gas yakni energi sebesar 50%, bahkan beberapa
estimasi menyatakan lebih dari itu. Maka Rusia memerlukan agar harga
minyak pada level US$ 105 per barel supaya neraca APBN-nya
seimbang.
Neraca APBN Iran, kontribusi minyak malah lebih dari itu… Bahkan
mencapai lebih dari 80% dari neraca APBN-nya. Iran memandang
bahwa harga minyak harus dinaikkan pada level lebih dari US$ 130 per
barel agar bisa mengkover proyek dalam negerinya dan bisa membantu
para pengikutnya di kawasan. Karena itu, jika harga minyak anjlok
sampai pada level ini, maka pasti akan sangat berpengaruh terhadap
neraca APBN-nya.
Ketiga, dari paparan sebab-sebab sebelumnya itu maka jelaslah hal
berikut:
1. Faktor ekonomi murni,bebas dari tujuan politik:
2. Penawaran dan permintaan hampir tidak ada perubahan selama
beberapa tahun terakhir, tetapi hanya berubah sedikit yang tidak
berpengaruh kepada anjloknya harga. Hingga musim panas lalu,
harga minyak global stabil pada level sekitar US$ 106 per barel
(minyak mentah West Texas) hampir selama empat tahun. Akan
tetapi kemudian harga minyak anjlok, yang tidak bisa ditafsirkan
penuh secara ekonomi. Produksi minyak lebih dari 80 juta barel per
hari selama satu dekade lalu sejak 2004. Pada akhir 2013, pasar
minyak global menghasilkan minyak 86,6 juta barel per hari.
Kemudian produksi minyak meningkat. Setelah itu permintaan
minyak pun meningkat pada akhir tahun 2013 dan selama kuartal
ketiga tahun 2014. Hingga akhirnya penawaran dan permintaan
berdekatan. Berdasarkan data yang diberikan oleh IEA (International
Energy Agency) pada kuartal ketiga 2014, rata-rata penawaran
mencapai 93,74 juta barel dan rata-rata permintaan mencapai 93,08
juta barel (situs IEA). Itu hanya penambahan kecil selama empat
tahun yang berpengaruh pada turunnya harga secara gradual
beberapa dolar per barel. Akan tetapi tidak mungkin harga minyak
itu anjlok menjadi setengahnya selama lima bulan kecuali jika faktor
ekonomi itu tidak menjadi faktor utama.
3. Ketegangan dan eskalasi militer, hal itu juga bukan hal baru bahkan
hampir tetap selama empat tahun terakhir… Krisis kawasan tidak
meningkat drastis secara tiba-tiba sehingga bisa menyebabkan
anjloknya harga minyak secara tiba-tiba. Eskalasi dan ketegangan
di kawasan sejak 2011 hingga sekarang terus terjadi hampir-hampir
tidak ada yang mengejutkan.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya di tengah terjadinya krisis politik
di kawasan dan di dunia akan terjadi kenaikan harga minyak seperti
yang terjadi pada sejumlah insiden sejak tahun 1973. Dan sekarang
krisis di Ukraina, Suria, Irak dan Libya makin intensif. Maka justru bisa
diduga harga minyak akan melonjak menjadi US$ 120 per barel, bahkan
bisa sampai US$ 150 per barel menurut beberapa prediksi. Anjloknya
harga minyak dalam model seperti ini adalah tidak biasa jika faktor
penyebabnya adalah ekonomi saja. Sebab krisis dan perang akan
berpengaruh pada jalan pasokan dan berikutnya bisa menurunkan
penawaran dan harga pun meningkat, bukannya malah menurun. Jadi
ada sebab lain selain faktor ekonomi murni.
1. Spekulasi dan eksploitasi data-data ekonomi. Sejak tahun 2008
ketika krisis ekonomi pada puncaknya dan berbagai masalah tidak
stabil ternyata harga minyak tidak memburuk akan tetapi justru
membaik. Karena itu, bisa dikatakan bahwa faktor ekonomi murni
bukan menjadi sebab utama anjloknya harga minyak yang anjlok
hingga 50 persennya dari level harga lima bulan sebelumnya.
2. Faktor politik untuk menggerakkan ekonomi demi kepentingan
pemilik faktor politik itu:
3. Isu minyak bebatuan ( shale oil ):
Biaya ekstraksi minyak bebatuan ( shale oil ) antara 70 – 80 dolar per
barel. Dengan menggunakan teknik modern untuk mengekstrak minyak,
biaya itu bisa turun sampai pada level 50 – 60 dolar per barel.
Perusahaan IHS (sebuah perusahaan research) meyakini bahwa biaya
produksi per barel minyak bebatuan (shale oil ) telah turun dari 70
dolar per barel ke 57 dolar per barel pada tahun lalu, karena orang-
orang perminyakan telah mempelajari mekanisme menggali sumur
secara cepat dan mengeluarkan lebih banyak minyak (“The Senate
versus Shale Oil” , The Economist , 6 Desember 2014). Karena itu,
anjloknya harga minyak menjadi 50 atau 40 dolar per barel membuat
ekstraksi minyak bebatuan ( shale oil ) tidak ekonomis. Bahkan
seandainya harga minyak anjlok ke level 60-70 dolar per barel
sekalipun, ekstraksi minyak bebatuan (shale oil ) masih belum
ekonomis sebab keekonomian itu menuntut adanya selisih yang sesuai
antara biaya dan harga jual.
Karena itu, tidak adanya penurunan produksi OPEC atau lebih tepat
tidak adanya penurunan produksi Arab Saudi adalah termasuk sebab
(anjloknya harga minyak)… Sudah diketahui bersama bahwa Amerika
mengeksploitasi produksi minyak bebatuan (shale oil ) disebabkan
naiknya harga minyak alami di atas 100 dolar per barel. Karena itu,
anjloknya harga minyak alami membuat produksi minyak bebatuan
(shale oil ) tidak ekonomis.
Harga minyak alami bisa menanggung penurunan harga minyak dan
masih tetap ekonomis, sebab biaya produksinya tidak melebihi 7 dolar
per barel.Sementara pada saat yang sama minyak bebatuan (shale oil)
biaya produksinya mencapai sepuluh kali lipat dari biaya itu, seperti
yang baru saja kami sebutkan. Atas dasar itu maka bagaimanapun
harga minyak alami itu turun maka masih tetap ekonomis. Seperti yang
dikatakan oleh Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ali an-Nu’aimi,
“bahwa OPEC tidak akan mengurangi produksinya sampai seandainya
harga minyak mentah di pasar global anjlok hingga ke level US$ 20 per
barel sekalipun” (Aljazeera, 24/12/2014). Ia menjelaskan bahwa “porsi
OPEC dan demikian juga Arab Saudi tidak berubah sejak beberapa
tahun lalu, yaitu sekitar 30 juta barel per hari diantaranya 6,9 juta barel
berasal dari produksi Saudi. Sementara produksi di luar OPEC terus
meningkat”.
Seperti sudah diketahui bersama, pemerintahan di Arab Saudi di bawah
raja Abdullah sekarang memiliki hubungan yang kuat dengan Inggris.
Atas dasar itu kita bisa mengatakan bahwa perhatian Arab Saudi untuk
tidak menurunkan jumlah produksi dan menekan OPEC dalam hal itu
adalah masih dalam cakupan politik Inggris yang bersepakat dengan
Arab Saudi untuk mempengaruhi produksi Amerika atas minyak
bebatuan (shale oil ).
1. Amerika mengetahui orientasi ini di dalam OPEC dengan pengaruh
dari Arab Saudi yang memiliki peran besar di OPEC. Apalagi, OPEC
telah melakukan pertemuan di pusatnya di Wina pada 27/11/2014
dan anggota OPEC tidak sepakat untuk menurunkan produksi untuk
menguatkan harga. Hal itu karena Arab Saudi menolak penurunan
produksi. Mereka menyebutkan bahwa mereka bisa menyelaraskan
diri dengan penurunan harga dalam jangka pendek. Ketika Amerika
mengetahui hal itu, maka John Kerry,menteri luar negeri
AS,melakukan kunjungan ke Arab Saudi pada 11/9/2014 bertemu
dengan Raja Arab Saudi, Raja Abdullah, di istana musim panasnya
dalam sebuah kunjungan yang tidak direncanakan sebelumnya.
Meskipun media massa menyebutkan sebab lain selain minyak
untuk kunjungan itu, namun berbagai indikasi yang ada
menunjukkan bahwa topik kunjungan tersebut adalah minyak dan
harga minyak… Setelah kunjungan itu sendiri Arab Saudi mulai
menambah produksi minyaknya lebih dari 100 ribu barel per hari
selama sisa bulan September. Pada minggu pertama November Arab
Saudi menurunkan harga minyak jenis Arab Light sebesar 45 cent
per barel. Hal itu lantas mendorong harga minyak terus turun cepat
dari harga US$ 80 per barel. Pejabat senior di kementerian luar
negeri Amerika menegaskan bahwa pasokan minyak global dibahas
dalam pertemuan itu.
Ketika dia tidak berhasil meyakinkan Arab Saudi untuk menurunkan
produksinya, dia membahas isu tersebut dari sisi yang lain. Dia
mengekspresikan persetujuan atas penurunan harga dan bahwa hal itu
akan berpengaruh pada Rusia yang menduduki Krimea dan juga
berpengaruh pada Iran dalam konteks pembicaraan nuklir. Dia
berpandangan bahwa kedua justifikasi itu akan mendapatkan
keridhaan dari Arab Saudi. Akan tetapi dia meminta agar penurunan
harga itu pada batas US$ 80 per barel. Dan tampak bahwa Arab Saudi
setuju atas hal itu atau menampakkan persetujuan. Surat kabar Inggris
The Times pada edisi 166/10/2014 menyebutkan bahwa “Arab Saudi
telah mengambil posisi yang diperhitungkan dengan hati-hati terhadap
dukungannya untuk menurunkan harga minyak ke level US$ 80 per
barel sehingga membuat ekstraksi minyak bebatuan ( shale oil) tidak
ekonomis. Satu hal yang bisa membuat Amerika Serikat kembali
mengimpor minyak dari Arab Saudi dan mengeluarkan gas bebatuan
(shale gas) dari pasar”. Ungkapan ini tumbuh dari posisi Inggris di
belakang Arab Saudi dalam menghadapi Amerika yang bekerja
menggiatkan perekonomiannya sampai lepas dari dampak-dampak
krisis finansial meski merugikan dan memukul pihak lain. Sudah
diketahui bersama bahwa rezim Abdullah Ali Saud sekarang ini loyal
kepada Inggris.
Amerika Serikat memperlihatkan persetujuan kepada Arab Saudi, dari
sisi persetujuan atas penurunan harga. Begitu juga, AS
memperlihatkan kepada Eropa bahwa tuduhan Eropa bahwa Amerika
tidak memberikan tekanan serius terhadap Rusia karena menduduki
Krimea dan tidak menekan Iran secara serius pada isu energi nuklir…
AS memperlihatkan kepada Eropa bahwa tuduhan itu tidak benar
dengan bukti persetujuannya untuk menurunkan harga minyak yang
berpengaruh pada neraca APBN kedua negara itu (Rusia dan Iran)…
Kemudian AS membuat senang sebagian oposisi Rusia. Jauh
sebelumnya, pada Maret lalu miliarder Goerge Soros mengusulkan
kepada pemerintah Amerika sarana untuk menghukum Rusia karena
menggabungkan semenanjung Krimea, yaitu dengan jalan menurunkan
harga minyak… Begitulah, Kerry berusaha memperlihatkan
persetujuannya terhadap penurunan harga akan tetapi pada batas
tertentu, kemudian mengelabui Eropa dan oposisi Rusia bahwa Amerika
serius dalam menolong Ukraina melawan Rusia, berlawanan dengan
realita sebenarnya…
Akan tetapi, untuk pertama kalinya Amerika mendapati dirinya tidak
berhasil. Angin berhembus tidak seperti yang diharapkan oleh perahu.
Penurunan minyak terjadi sampai ke level US$ 60 per barel hanya
dalam beberapa bulan saja, sebab Arab Saudi berkeras untuk tidak
menurunkan produksinya, bahkan Arab Saudi justru meningkatkan
produksinya. Semua ini melahirkan reaksi di pasar minyak seperti yang
sudah diketahui berupa pengaruh aspek-aspek tertentu terhadap harga
pasar.
Keempat, adapun yang mungkin terjadi sekarang:
1. Ada kesulitan harga akan kembali ke level sebelumnya.
2. Akan tetapi, penurunan harga yang terus berlanjut akan berpengaruh
pada kedua pihak:
3. Terhadap Arab Saudi, dan Eropa yang ada di belakangnya
khususnya Inggris. Sebab neraca APBN Arab Saudi tahun ini telah
mengalami defisit sebesar 145 miliar Riyal Saudi dari anggaran
belanja sebesar 860 miliar Riyal, yakni defisit sekitar 40 miliar dolar.
Hal itu disebabkan turunnya harga minyak. Ini berpengaruh terhadap
proyek-proyeknya di dalam negeri. Dan yang lebih penting lagi
adalah apa yang menimpa ekspor Inggris ke Arab Saudi khususnya
senjata disebabkan turunnya neraca APBN Arab Saudi dan defisit
yang terjadi itu. Ekspor Inggris ke Arab Saudi tahun 2012 mencapai
7,5 miliar Pounsterling. Ditambah lagi investasi korporasi-korporasi
Inggris yang mencapai sekitar 200 korporat dengan nilai sekitar 11,5
miliar Poundsterling dalam satu tahun. Semua itu akan terpengaruh
oleh menurunnya kemampuan finansial Arab Saudi disebabkan
turunnya harga minyak… Khususnya neraca pemerintah Arab Saudi
89 persen pemasukannya berasal dari ekspor minyak. Karena itu,
terus berlanjutnya penurunan harga minyak akan berpengaruh dari
aspek ini…
4. Dari aspek lain, berlanjutnya penurunan harga minyak berpengaruh
pada produksi Amerika atas minyak bebatuan (shale oil ). Hal itu
karena naiknya harga minyak pada tahun-tahun lalu membuat
Amerika melakukan investasi miliaran dolar dalam ekstraksi minyak
bebatuan (shale oil ) di Amerika. Tampaknya hal itu berhasil
sehingga menambah 4 juta barel minyak per hari sejak tahun 2008.
Dan ini berpengaruh pada produksi minyak global.
Turunnya harga minyak akan menggiatkan perekonomian Amerika.
Akan tetapi, kehilangannya dari perdagangan minyak bebatuan (shale
oil) lebih besar dari itu. Tidak mudah bagi Amerika membiarkan Eropa,
Saudi dan OPEC menghancurkan investasi Amerika.
3. Berdasarkan hal itu, maka Amerika berusaha menggunakan teknik
modern untuk menurunkan biaya produksi minyak bebatuan (shale
oil) sehingga menjadi ekonomis meski harga minyak turun sekarang
ini. Ini bukan perkara mudah, khususnya jika harga minyak terus
turun. Tampaknya penurunan harga minyak belum akan berhenti.
Hari ini 7/1/2015 dilaporkan harga minyak turun di bawah US$ 50
per barel… Bisa jadi, Amerika akan menyasar langsung Arab Saudi,
lalu Amerika merekayasa beberapa krisis untuk Arab Saudi dan
membuat defisit neraca APBN Arab Saudi meningkat sehingga Arab
Saudi terpaksa menurunkan produksi minyaknya kemudian harga
minyak pun meningkat… Atau bisa jadi, Amerika akan meringankan
pemicuan krisis untuk Inggris di Yaman dan Libya dengan
kompensasi Inggris menekan Arab Saudi sehingga Arab Saudi
menurunkan produksi minyaknya dan berikutnya OPEC menurunkan
produksinya sehingga harga minyak kembali naik lagi … karena
salah satu dari ketiga faktor itu memerlukan strategi bahkan
konspirasi… Atas dasar itu, krisis turunnya harga minyak akan terus
menjadi obyek konflik, harga minyak akan terus berfluktuasi naik
turun mengikuti pergolakan kekuatan atau mengikuti transaksi-
transaksi kompromi berdasarkan metode kapitalisme…
Kelima, politik internasional sedang berada dalam turbulensi dan
berguncang. Belum keluar dari satu krisis sudah masuk ke krisis
berikutnya. Semua itu akibat rusaknya sistem kapitalisme yang
mendominasi di dunia yang memang secara internal mengandung
krisis internasional. Hal itu menciptakan kesempitan hidup bagi
masyarakat khususnya dan untuk sistem internasional secara umum…
Semua kerusakan, perusakan, kesengsaraan dan derita ini akan terus
berlanjut selama sistem kapitalisme tetap mendominasi. Semua krisis-
krisis ini tidak akan berhenti kecuali dengan solusi sistem Rabbani
yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya , yaitu
sistem Khilafah Rasyidah yang secara inheren mengandung keadilan
dan ketenteraman bagi siapa saja yang berteduh di bawah
naungannya.
﴿ﻭَﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﻣَﺘَﻰ ﻫُﻮَ ﻗُﻞْ ﻋَﺴَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﻗَﺮِﻳﺒًﺎ﴾
“Mereka berkata: “Kapan itu (akan terjadi)?” Katakanlah: “Mudah-
mudahan waktu berbangkit itu dekat.” (TQS al-Isra’ [17]: 51)
16 Rabiul Awal 1436 H

No comments: