Sunday, April 10, 2011

Sibak Tirai Kekalahan,Rengkuh Kemenangan

Sibak Tirai Kekalahan,Rengkuh Kemenangan

Kamis, 10 Maret 2011 06:43 administrator

Laki-laki pemberani itu terbujur kaku dengan dada tercabik-cabik. Sadis. Itulah jasad Hamzah bin Abdul Muththalib , paman dan saudara sepersusuan Rasulullah r yang syahid dalam Perang Uhud. Tangis Rasulullah r pun pecah. Tangisnya terdengar seperti rintihan. Walaupun dengan kesedihan yang tiada terkatakan, akhirnya, jenazah "Panglima Para Syuhada" itu dikafankan dengan kafan yang tidak sampai menutup kedua kakinya, lalu dikuburkan bersama saudara sepupu dan sepersusuannya, Abdullah bin Jahsyi t, dalam satu liang.

"Tidak pernah beliau terlihat sedih sesedih itu. Tidak juga pernah terlihat beliau menangis sekeras itu," kata Ibnu Mas'ud t. Panorama para syuhada uhud itu memang sangat mengiris hati. Terbaring 65 orang sahabat beliau dari kaum Anshar, 4 orang dari kaum Muhajirin, dan seorang dari kaum Yahudi yang telah memeluk Islam. Angka 70 orang syuhada itu terlalu banyak. Bandingkanlah dengan syuhada Badar yang hanya berjumlah 14 orang, atau dengan jumlah korban tewas dari kaum Musyrikin yang hanya berjumlah 37 orang.

Mungkin, memang tidak tepat menyebut peristiwa itu sebagai kekalahan, setidak-tidaknya jika dilihat dengan lensa keimanan. Akan tetapi, biarlah dalam hitungan peperangan kita menganggap itu sebagai sebuah kekalahan. Itulah yang membuat Rasulullah r begitu terpukul, begitu sedih, sampai beliau menangis tersedu-sedu; sebuah tangis yang tidak pernah diulanginya sepanjang hidupnya. Bahkan, beberapa hari sebelum beliau wafat, beliau menyempatkan diri mengunjungi kuburan para syuhada Uhud. Para sahabat yang menyaksikan kesedihan beliau itu merasakan kesedihan yang lebih mendalam, sekaligus diliputi perasaan bersalah yang mengguncang batin mereka.

Tidak Sekedar Kalah

Meskipun demikian, Allah I tidak menginginkan mereka berlarut dalam kesedihan. Memang kesedihan adalah tabiat hati dan hak jiwa, tetapi selalu ada batas yang wajar untuk sebuah emosi. Maka, di tengah deraan kesedihan itulah Allah I menurunkan bimbingan-Nya. Itulah salah satu cara Allah I memberikan pelajaran: peristiwa kehidupan adalah momentum yang paling tepat untuk mengajarkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah tertentu, dan bahwa sejumlah nilai atau kaidah tertentu hanya dapat dipahami dengan baik melalui peristiwa nyata dalam kehidupan.

Maka, berbicaralah Allah I tentang peperangan Uhud dalam 60 ayat, surah Ali 'Imran dimulai dari ayat 121 hingga ayat 179. Penjelasan itu diawali dengan sebuah rekonstruksi yang menjelaskan latar belakang psiko-historis Perang Uhud (ayat 121) dan diakhiri dengan sebuah komentar penutup yang menggambarkan keseluruhan makna dan hikmah dari peristiwa tersebut (ayat 179). Allah I mengatakan,

"Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (Mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar." (Ali 'Imran: 179)

Menang-Kalah Adalah Sunnatullah Perjuangan

Inilah kandungan tersirat dalam firman Allah I di atas. Bahwa menang dan kalah hanyalah sebuah pergiliran bukan penentu kemuliaan. Terkadang, secara fisik Nabi dan pengikutnya menang, di lain waktu mereka mengalami kekalahan, seperti pada Perang Uhud.

Ketika seorang muslim terjun di gelanggang dakwah dan jihad, ia harus tanamkan dalam dirinya; ia dan orang-orang yang bersamanya bisa memenangkan pertempuran meski juga tidak luput dari kekalahan.

Allah I berfirman di ayat sebelumnya,

“Dan Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. …” (Ali Imron:140)

Walau Fisik Kalah, Jangan Kalah Mental

Minder, Kekalahan mental yang banyak melanda kaum muslim hari ini. Kalah mental, berakibat lebih dahsyat dari pada kalah fisik. Kalah mental menjadikan pelakunya merasa hina, tidak bergairah untuk bangkit, dan yang lebih parah, ia kehilangan semangat perlawanan. Pasrah pada keadaaan yang hina.

Allah I telah mewanti-wanti virus yang berbahaya ini.

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran:139)

Ayat ini turun berkenaan dengan Perang Uhud. Ketika banyak korban dari pihak muslimin yang berjatuhan. Allah mengajarkan; walau banyak kerugian dan korban berjatuhan jangan sampai mental juang runtuh. Justru yang wajib ditanamkan dalam jiwa mereka adalah mental pemenang, karena mereka adalah _ الْأَعْلَوْنَ_ yang tertinggi, yang mulia, yang benar, pemanggul panji Allah. Mereka memiliki potensi untuk menang.

Spirit perlawanan mutlak dibutuhkan bagi setiap pejuang. Moralitas perjuangan sangat menentukan kemenangan. Ini telah menjadi kesepakatan setiap komandan.

Dikisahkan sebelum pecah perang Yarmuk antara bangsa Arab yang memeluk Islam dengan pasukan Romawi, yang masa itu terkenal sebagai salah satu Negara super power dan memiliki prajurit yang terlatih serta persenjataan yang lengkap, adalah seorang prajurit muslim berkata kepada Khalid bin Walid t,

“Alangkah banyaknya pasukan Romawi dan betapa sedikitnya pasukan Islam.”

Khalid t langsung menimpali, “Betapa sedikitnya pasukan Romawi dan betapa banyaknya pasukan kaum muslimin. Suatu pasukan perang disebut banyak banyak karena kemenangan dan disebut sedikit karena kekalahan.”

“Maksudnya. “ Ungkap Jendral Mahmud Syait Khattab menjelaskan bagian akhir dari ungkapan Kholid t, “Kemenangan pasukan perang tidak tergantung seberapa banyak jumlah personil dan persiapannya. Tapi moral lah yang menentukan. Jika tidak memiliki moral, pasukan tidak akan berbobot di medan laga. Sebaliknya, pasukan yang memiliki moril (spirit) perjuangan yang tinggi, ia akan mampu menumpas pasukan musuh yang banyak walau jumlah mereka minim.” (al Islam wan Nashr, hlm. 13)

Dalam tarikhnya, Ibnu Atsir menceritakan derita umat Islam akibat kekalahan mental dan moril saat invansi Tartar.

“Ketakutan kepada tentara Tartar sangat mencekam. Bahkan, jika ada salah seorang tentara Tartar masuk ke perkumpulan kaum muslimin, ia bisa membantai mereka satu persatu tanpa ada seorangpun dari kaum muslimin melawannya dengan pedang. Padahal tentara Tartar tadi hanya seorang diri.” (Al Kamil Fi Tarikh, 5/314)

Hari ini kaum muslimin telah mengalami kekalahan mental yang sangat akut. Ketakutan kepada kekuatan Amerika dan Barat telah meyunat spirit perlawanan dalam dada kaum muslimin.

Akibatnya, bukan sekedar rela dihina, dirampok kekayaan negaranya atau dilecehkan kehormatan Islam dan dirinya. Tapi, lebih parah dari itu; mereka menyalahkan saudara-saudaranya yang masih memiliki spirit dan moril baik yang melawan keangkara-murkaan ini.

Tidak Merasa Kalah

Tidak sedikit yang terinfeksi racun “mental buruk” ini dari kalangan terpelajar. Mereka berupaya mencari pembenaran terhadap kesalahan dan kekalahannya. Bahkan, tidak jarang mereka membuat syubhat untuk menihilkan jihad yang merupakan gerbang kemenangan.

Mulai dari syubhat, tidak ada jihad kecuali ada izin Imam, tidak boleh I’dad, tidak boleh jihad sampai ada tashfiyah dan seabrek syubat yang dibuat untuk melenyapkan spirit perlawanan. Syubhat ini semakin laris tatkala dibungkusi dalil-dalil syar’i yang diputar balik maknanya.

Di masyarakat Islam awam dan para munafiqin, bukannya menyadari bahwa saat ini kaum muslimin dalam keadaan kalah, justru sebaliknya mereka menganggap saat ini kaum muslimin dalam puncak kemenangan.

Kedekatan dengan tokoh atau organisasi sekuler dan organisasi kafir lainnya dianggap sebuah kemenangan. Keberhasilan mengundang investor asing dan Negara kafir untuk menanam riba dan modal maksiat, seperti perhotelan, bar, cafe yang bertebaran di pantai-pantai dan pinggiran kota, dianggap sebagai sebuah keberhasilan.

Sungguh, cara pandang telah terbalik. Standar nilai telah rusak. Semuanya bermuara dari kebodohan terhadap nash syar’ie dan realita serta kekalahan mental yang dialami oleh sebagian besar umat Islam hari ini.

Jika bukan karena kekalahan mental yang menimpa mayoritas umat Islam, khususnya orang-orang Arab dan para penguasanya, niscaya hari ini kita tidak lagi menyaksikan pembunuhan dan pembantaian kaum muslimin Palestina oleh Yahudi la’natullah yang dibantu oleh Amerika. Atau pembantaian muslimin Afghanistan di tangan pasukan Salib Amerika.. Atau penodaan Islam dan wanita muslimah di Irak oleh tangan-tangan kotor pasukan Salib Amerika dibantu orang-orang musyrik syi’ah rofidhoh. Atau…

Kalau bukan karena takut mati, benci jihad dan mental banci mayoritas umat Islam niscaya saudara-saudara kita muslimin Chechnya tidak lagi merasakan pedihnya penjajahan komunis Rusia.

Dan jikalau bukan karena takut mati, benci jihad dan mental banci mayoritas umat Islam, kita tidak lagi mendengarkan jeritan tangis dan derita saudara-saudari muslim-muslimah di Moro, Filipina Selatan.

Yang memperparah kekalahan umat adalah fatwa sesat para ulama suu’ yang mendaulat pemerintah sekuler yang merupakan kepanjang tangan dari penjajah salibis, sebagai ‘umara’ yang wajib ditaati. Syubhat dan penihilan jihad yang mereka umbar untuk menjauhkan kaum muslimin dari kemenangan dan mematikan spirit perlawanan terhadap penjajahan. Merekalah salah satu faktor penghambat penegakkan syari’at Islam secara kaffah dan tersistem.

Ulama-ulama ini dan para da’I yang membela kekuasaan sekuler yang syirik telah menempatkan dirinya sebagai du’atun ilá abwabi jahannam. Mungkin, kesimpulan ini terlalu gegabah. Kalaupun demikian, mereka adalah manusia yang dibutakan mata hatinya dari cahaya wahyu.

Dalam tafsirnya, Syaikh Asy-Syanqithi rahimahullah berkata,

“Dengan nash-nash wahyu yang telah kami kemukakan di atas, jelas sekali bahwa; orang-orang yang mengikuti undang-undang positif yang disyari’atkan oleh setan lewat lisan para walinya, menyelisihi syari’at Allah I lewat lisan para rasulNya, tidak diragukan bahwa mereka telah kafir dan syirik, (yang tidak mengakuinya)hanyalah orang-orang buta dan telah dihapus mata hatinya dari cahaya wahyu.” (Adhwa’, 3/328).

Wallahu a’lam bish showab.* (Mas’ud

http://www.an-najah.net/index.php?option=com_content&view=article&id=117:as&catid=42:temautama&Itemid=86

No comments: